Abstrak
Biokeramik kalsium fosfat secara luas digunakan dalam
berbagai aplikasi orthopedi dan gigi dan porous
scaffolds made mereka merupakan kandidat serius dalam wilayah perekayasaan
jaringan tulang. Mereka memiliki sifat-sifat unggul bagi penyetimulasian
pembentukan tulang dan penyatuan tulang, keduanya dikaitkan dengan berbagai
interaksi spesifik dari permukaan mereka dengan cairan dan sl ekstraseluler,
mis., berbagai perubahan ionik, pengaturan ulang molekuler superfisial dan
aktifitas seluler.
Kata
kunci: kalsium fosfat, biomaterial, rekayasa
jaringan, sel osteoprogenitor, osteokonduksi, osteoinduksi
Pendahuluan
Biokeramik kalsium fosfat memiliki sebuah karakteristik unik
untuk substitusi tulang dibandingkan dengan biomaterial lainnya. Mereka
memiliki kemiripan komposisi dengan mineral tulang dalam hal mereka menginduksi
satu respon biologis yang sama dengan apa yang terbangkitkan sewaktu remodeling tulang terjadi. Remodeling atau pembaruan tulang terdiri
dari penyerapan mineral tulang tua disandingkan dengan pembentukan tulang baru.
Sewaktu penyerapan, produk-produk degradasi dari biokeramik kalsium fosfat
(ion-ion kalsium dan fosfat) secara alami dimetabolisasi dan mereka tidaklah
menginduksi level-level kalsium atau fosfat taknormal dalam urin, serum, atau organ (hati, kulit,
otak, jantung, ginjal, paru, dan usus halus) (den Hollander dkk 1991).
Biomaterial kalsium fosfat secara berhasil digunakan dalam pembedahan
kranio-maksilofasial, gigi, dan orthopedi. Mereka berasal dari sintetik
(didapat setelah aqueous precipitation
atau setelah sintering) atau berasal
alami (kering-beku atau tulang tersimpan pada bank tulang dan yang berasal dari
hidroksiapatit koral), dan mereka digunakan sebagi filler tulang dalam bentuk semen atau granul. Karena mereka tidak
dapat menggantikan seperti fungsi tulang sebagai penopangan-beban akibat dari
sifat-sifat mekanik mereka yang rendah, mereka juga dengan berhasil digunakan
sebagai selimutan (coatings) pada implan-implan
panggul dan gigi metalik di klinik (Epinette dan Manley 2004). Biomaterial
kalsium fosfat alam berpori telah dipilih sebagai kandidat scaffold relevan dalam perekayasaan jaringan tulang (Kruyt dkk
2004; Arinzeh dkk 2005). Teknisnya, banyak prosedur telah dikembangkan untuk
merangkai the scaffolds, seperti
misalnya rapid prototyping (Wilson
dkk 2004), phase mixing (Li dkk
2002), penggunaan agen-agen porogenik (Barralet dkk 2002), atau shape replication (Tancred dkk 1998).
Tambahannya, melalui penyeleksin dan/atau pengobinasian fase-fase kalsium
fosfat, seseorang dapat merangkai kinetika penyerapan (resorption kinetics), dan juga efek penyetimulasian mereka pada
pembentukan tulang (Dhert dkk 1991; Dhert dkk 1993; Barrere dkk 2003a; Rahbek dkk
2004; Habibovic dkk 2005b; Schopper dkk 2005).
Tinjauan ini menekankan pada interaksi molekuler dan seluler
yang terjadi pada permukaan kalsium fofat dan menghubungkan mereka dengan
kerelevansiannya dalam regenerasi tulang.
Tulang
Tulang merupakan
komponen dari sistim skelet yang dilibatkan dalam perlindungan, penyokongan,
dan gerakan tubuh. Tulang merupakan sebuah lokasi perlindungan dan penghasilan
dari jaringan khusus seperti misalnya sistim pembentukan-darah, mis., sumsum
tulang. Jantung, paru, dan organ-organ dan struktur-struktur lainnya dalam dada
dilindungi oleh tulang yang membentuk sangkar rusuk. Fungsi dari organ-organ
ini meliputi gerakan, ekspansi, dan kontraksi memerlukan fleksibilitas dan
elastisitas dari perlindungan sangkar rusuk. Tulang menyokong secara struktural
aksi mekanik jaringan lunak, seperti kontraksi otot-otot atau ekspansi paru.
Akhirnya, ia adalah sebuah gudang penyimpanan mineral, di mana sistim endokrin mengatur
level ion kalsium dan fosfat di dalam cairan tubuh yang bersirkulasi.
Struktur tulang
Struktur makro-
dan mikroskopik tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik, metabolik, dan
mekanik. Semua faktor intrinsik ini merupakan penyebab utama dari diversitas makrostruktural
tulang. Sebagai contoh, tulang dengan permukaan luas, berupa plat mendatar,
seperti skapula, merupakan tempat terpancangnya masa otot besar, pada mana
tulang berbentuk pipa berlobang dan berdinding tebal, seperti femur atau
radius, menyokong berat beban. Semua tulang terdiri dari sebuah struktur ganda
dasar, yang kepentingan dari padanya bervariasi sesuai dengan fungsinya. Satu lapisan eksterna, atau korteks,
menyelimuti tulang; ia adalah halus, padat, dan kontinyu. Dalam interior,
tulang kanselus terrangkai dalam sebuah jejaring dari plat dan spikula saling
berpotongan bervariasi dalam besarannya dan menutupi ruang-ruang. Semua kavitas
ini terisi dengan pembuluh darah dan sumsum, baik yang berwarna merah adalah
hematopoietik, ataupun kuning adalah adipos, karakternya bervariasi dengan usia
dan lokasi.
Secara
mikroskopis, tulang merupakan sebuah bentuk jaringan ikat yang sangat kompleks
dan khusus. Ia merupakan sebuah jaringan termineralisasi, yang berkomposisikan
sebuah matriks organik diperkuat oleh deposit dari kristal kalsium fosfat;
dengan kata lain, tulang merupakan sebuah material komposit alami. Matriks organik berkomposisikan serat
kolagen tipe I (mendekati 95%) dan proteoglikan dan berbagai protein
non-kolagen (5%). Matriks organik ini, terkalsifikasi oleh mineral kalsium
fostat, menanamkan sel-sel tulang, yang mana berpartisipasi dalam
mempertahankan dan mengorganisasi tulang, disebut sel-sel osteoprogenitor,
osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Sifat-sifat mekanik
tulang
Persatuan yang kuat
campuran dari komponen-komponen anorganik keras dengan organik menghasilkan
sifat-sifat mekanik yang sempurna. Sebagai contoh, spesimen tulang kompak
diketahui memiliki tensile strength
700 hingga 1400 kg/cm2, dan compressive
strength dalam rentangan 1400 hingga 2100 kg/cm2. Nilai-nilai
ini adalah di dalam besaran yang sama seperti untuk aluminium atau baja ringan,
namun tulang adalah lebih ringan banyak. Daya kekuatan tulang yang besar
terujud terutama sepanjang aksisnya dan karenanya secara kasarnya sejajar
dengan aksis serat kolagen maupun dengan aksis panjang kristal mineral.
Walaupun kelihatannya kaku, tulang memerlihatkan sebuah derajat elastisitas
yang besar, yang mana adalah penting dalam kemampuan kerangka untuk menahan
benturan. Perkiraan modulus elastisitas contoh-contoh tulang adalah dari urutan
420 hingga 700 kg/cm2, nilai-nilai yang sangat jauh lebih rendah
dibandingkan dengan baja untuk contoh mengindikasikan elastisitas tulang yang
jauh lebih besar.
Pembaruan tulang
Tulang adalah
sebuah jaringan dinamik. Dalam tahun pertama kehidupan, laju turnover dari skelet mendekati 100% per tahun. Laju kecepatan ini menurun
hingga sekitar 10% per tahun dalam
usia akhir masa kanak-kanak, dan kemudian biasanya berlanjut sedikitnya seperti
laju ini atau lebih lambat sepanjang usia, hingga seratus tahun. Setelah
penyempurnaan pertumbuhan tulang, bone
turnover adalah terutama dari hasil remodeling:
sebuah siklus terkoordinasi dari penyerapan dan pembentukan jaringan pada regio
ekstensif tulang dan periode yang lama. Sepanjang usia remodeling fisiologis, pembuangan, dan penggantian tulang, pada
lokasi yang sama secara kasar, terjadi tanpa memengaruhi bentuk atau densitas
tulang, melewati serangkaian kejadian yang meliputi (i) aktifasi osteoklas,
(ii) penyerapan tulang, (iii) aktifasi osteoblas, (iv) pembentukan tulang baru
pada lokasi penyerapan (Buckwalter et al 1996). Karena sifat remodeling ini, berbagai defek dan
fraktur dengan mudah diperbaiki hingga ke ukurannya yang disebut defek kritis (critical defects), didefinisikan sebagai
defek dengan ukuran yang akan tidak sembuh selama masa hidup khewan (Schmitz
and Hollinger 1986). Untuk defek yang lebih besar, intervensi manusia
diperlukan dalam rangka membantu atau merangsang penyembuhan.
Mineral tulang
Mineral tulang, atau enamel (apatit biologis) memiliki struktur dekat
dengan sebuah struktur apatitik kalsium fosfat terkarbonasi tipe AB lebih atau
kurang defisien (more or less deficient),
yang dapat diwakilkan sementara dengan rumus (Rey 1990),
Namun, apatit mineral tulang mengandung kelompok karbonat
dan fosfat non-apatitik, yang mana, secara struktural dan fisik, tak stabil dan
sangat reaktif. Reaktifitas tinggi ini menyediakan fitur fisikokimia, biologis,
fungsional dan kimia tertentu yang penting dalam pembentukan dan disolusi dari
kristal dalam jaringan biologis. Terlebih, tulang mengandung elemen-elemen
minor dan trace, yang tidak
diindikasikan dalam rumusan di atas dan yang sulit untuk dipertalikan baik
dengan fase mineral ataupun dengan matriks organik (Rey 1990). Di dalam tulang dan jaringan termineralisasi
lainnya, kristal mineral dibentuk dari plat tipis berbentuk tidak teratur.
Ukurannya berrentang dalam panjang dari 20 Å untuk partikel yang paling kecil,
hingga 1100 Å untuk partikel terbesar (Moradianoldak et al 1991; Kim et al 1995)
Semua kristal tulang ini memapar sebuah permukaan sangat luas dengan cairan
ekstraseluler, yang adalah sangat penting bagi pertukaran ion cepat dengan
cairan ini.
Mineral tulang
memulai nukleasi (nucleate) ke dalam lobang
dan pori yang hadir dalam serat-serat kolagen (Glimcher 1987). Nukleasi
heterogenus ini dikatalisis oleh keberadaan kelompok ester terfosfatkan (phosphated esters groups) (Glimcher dkk
1984) dan kelompok karboksilat (Rhee dkk 2000) yang terdapat dalam serat-serat
kolagen. Setelahnya, pertumbuhan, atau mineralisasi, berlangsung sepanjang
serat-serat kolagen, alhasil menghubung-hubungkan keseluruhan serat-serat
kolagen.
Berlangsungnya
fase mineral utama yang terbentuk mendahului apatit mineral tulang dewasa masih
dalam perdebatan. Menurut Posner, apatit mineral tulang berasal dari klaster
kalsium fosfast (Ca9(PO4)6) yang terpaket
secara acak dengan air antarmuka untuk membentuk prekursor kalsium fosfat amorf
(Poner 1985). Teori ini didukung oleh keberadaan beberapa penghambat
pertumbuhan kalsium fosfat seperti misalnya magnesium yang menyetabilisasi
keadaan amorf. Namun, fase-fase dicalcium phosphate (DCPD) (Grynpas dkk 1984;
Roberts dkk 1992) dan octacalcium phosphate (OCP) telah juga diajukan sebagai
prekursor mineral tulang karena persamaan parsiilnya, khususnya di antara
apatit dan OCP (Brown dkk 1987). DCDP dan OCP secara kinetik lebih disuka untuk
dibandingkan dengan fase-fase apatitik, mendukung peranan mereka sebagai
prekursor dalam pembentukan apatit tulang (Nancollas dan Wu 2000). Namun, Kuhn
dkk (2000) telah memerlihatkan bahwa fase apatitik kelihatannya menjadi yang sangat dominan dibandingkan dengan
kemungkinan fase-fase transien lainnya bahkan pada saat stadium-stadium paling
awal mineralisasi.
Kalsium fosfat yang relevan secara biologis
Klasium fosfat
sintetik
Kalsium fosfat, atau lebih tepatnya calcium orthophosphate,
merupakan garam dari orthophosphoric acid (H3PO4), dan dus dapat membentuk senyawsa yang mengandung atau .
Garam kalsium fosfat merupakan sebuah kelompok yang luas
senyawa-senyawa (Elliot 1994). Tabel 1 meringkas nama kimia, formula,
singkatan, dan perbandingan kalsium terhadap fosfor (Ca/P) dari beberapa
senyawa kalsium fosfat. Garam kalsium fosfat bervariasi oleh komposisi dan
struktur kristal mereka, mengawali kepada sifat-sifat fisikokimia spesifik.
Tabel
1
Biologi utama berbagai garam kalsium fosfat relevan
Apatit
Hidroksiapatit (HA) stoikhiometrik adalah anggota dari
kelompok apatitik umum dan luas, diwakilkan oleh formula:
Di mana Me adalah merupakan metal divalen (Ca2+,
Sr2+, Ba2+, Pb2+ …), XO4 adalah
sebuah anion trivalen , dan Y adalah sebuah anion monovalen (F− Cl−,
Br−, I−, OH−…). Struktur kristal apatitik
biasanya memiliki sebuah kisi heksagonal, memiliki kemapuan kuat membentuk
cairan solid, dan menerima sejmlah substitusi.
Struktur apatit biologis, disebut mineral tulang,
dentin, atau enamel gigi, adalah jauh berbeda dari HA stoikhiometrik karena
oleh banyaknya substitusi (i) oleh hydrogenophosphate dari kelompok XO4 dan (ii) oleh
carbonate dari kelompok Y2 dan XO4. Tambahannya,
Rey (1990) memerlihatkan bahwa apatit-apatit mineral tulang mengandung
kelompok-kelompok karbonat dan fosfat non-apatitik, yang mana, secara struktur
dan fisik, tak stabil dan sangat reaktif (Rey 1990). Rektifitas tinggi ini
menyediakan fitur-fitur fisikokimia, biologis, fungsional, dan kimia tertentu
yang penting dalam pembentukan dan disolusi kristal dalam jaringan biologis.
Substitusi memengaruhi parameter apatitic
lattice: ukuran kristal dikurangi, dan dengan demikian area permukaan
ditingkatkan dibandingkan dengan HA stoikiometrik (Legeros 1991). Apatit-apatit
biologis mengandung bermacam trace
elements dari asal intrinsik, sebagai contoh, florid hadir dalam apatit
gigi dan menganugrahkan email gigi daya
disolusi rendahnya untuk menahan serangan asam; atau dari asal ekstrinsik,
sebagai contoh, polusi air merupakan sebuah asupan langsung trace elements bagi
tulang akibat dari kapasitas penerimaannya yang
tinggi (Cazalbou dkk 2004). Tambahannya, semua trace elements ini hadir dalam cairan ekstraseluler dan dalam
apatit tulang mungkin memiliki sebuah peran spesifik pada kualitas tulang dan
kesehatan. Tabel 2 menghadirkan trace
elements yang dikenal memiliki suatu efek pada tulang.
Tabel
2
Penyeleksian dari beberapa trace elements yang memiliki satu efek pada tulang seperti atau pada biomaterial kalsium fosfat
Biomaterial berbasis-HA hingga saat ini telah menjadi
material paling banyak digunakan dalam substitusi tulang modern (Epinette dan
Manley 2004). Secara klinik, biomaterial apatitik secara luas digunakan dalam
bentuk sintered macroporous granules,
semen dalam berbagai aplikasi yang non-load-bearing,
dan dalam bentuk atau selimutan pada berbagai prothese metalik. Lebih terkini,
biomaterial apatit terkarbonasi telah dikembangkan sebagaimana karakteristik
komposisi dan struktur mereka yang mendekati apa yang terdapat pada mineral
tulang. Tapi superioritas mereka dibandingkan dengan apatit murni belumlah
terbukti
Trikalsium
fosfat
Dua fase berbeda major dari kristal anhydrous tricalcium phosphate (TCP) memerlihatkan: fase-fase α-TCP
dan β-TCP. α-TCP berkristalisasi dalam kelompok monoclinic space, dan β-TCP berkristalisasi dalam kelompok rhombohedral space. Di samping persaman
komposisi kimia mereka, fitur-fitur kristalografik berbeda mereka menganugerahkan fitur-fitur resorpsi berbeda: α-TCP
lebih mudah larut dibandingkan dengan β-TCP dan ini diperoleh setelah
memanaskan β-TCP hingga ke lebih dari 1170°C. Secara klinis, α-TCP merupakan
sebuah reagen major dalam komposisi semen sebagaimana mereka berhidrolisa
menjadi struktur-struktur apatitik, tapi ia juga solid di bawah bentuk bubuk, blok, atau granul, seperti β-TCP. Dalam
berbagai studi pra-klinik, selimutan TCP pada prosthese panggul telah dibandingkan
dengan selimutan HA bagi pembentukan tulang dan fiksasi tulang (Dhert dkk 1991,
1993).
Dikalsium
fosfat dihidrat
Kristal-kristal
DCPD (CaHPO4.2H2O) adalah monoklinik. Terdapat empat
formula per unit sel dengan sebuah
unit asimetrik CaHPO4.2H2O. Kristal DCPD merupakan satu
dari garam kalsium fosfat yang paling mudah larut, dan yang paling stabil pada
pH=5.0. Mereka dapat berupa produk akhir dari brushite calcium phosphate cement. Namun, dalam aplikasi klinis,
kristal DCPD digunakan sebagai sebuah komponen awal bagi semen tulang.
Octakalsium fosfat
Kristal octacalcium
phosphate (OCP, Ca8H2(PO4)6.5H2O)
adalah triklinik dan mereka terdiri dari selang-seling antara (alternating) “apatite layers” (rangkaian kelompok kalsium dan fosfat yang sama
dengan pada apatit) dengan “hydrated
layers”. Kedua lapisan ini terhubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan Van
der Walls dan hidrogen. OCP seringkali terjadi sebagai sebuah transient intermediate dalam presipitasi
dari HA yang lebih stabil secara thermodinamik dan dalam apatit-apatit
biologis. Hubungan dekat di antara OCP dengan HA telah digunakan untuk
menjelaskan penggabungan (lewat hidrolisis) dari kotoran, khususnya ion karbonat,
magnesium, dan sodium, dan dengan demikian the
non-stoichiometry of precipitated apatites (Legeros 1991). OCP adalah
biokompatibel, dapat diserap, dan osteokonduktif dalam bentuk bubuk padat atau
dalam bentuk pelapisan biomimetik (Barrere dkk 1999, 2003a; Sasano dkk 1999).
Dalam otot kambing, material berpori berlapis-OCP biomimetik dijumpai menjadi
osteokonduktif (Barrere dkk 2003a). Namun, semua material ini belumlah
digunakan secara klinis.
Kalsium fosfat amorf
Kalsium
fosfat amorf bervsariasi luas dalam komposisi karena adanya kemungkinan insersi
dari banyak ion sekunder. Mereka
dikarakterisasi dengan benturan difraksi sinar-x yang luas, dan dengan
pita-pita PO4 komponen-tunggal infra merah. Unit struktur dasar dari
kalsium fosfat amorf adalah sebuah klaster ion terdiri dari Ca9(PO4)6
terpaket dengan air antar muka untuk membentuk entitas yang lebih besar.
Kalsium fosfat amorf merupakan garam kalsium fosfat yang paling mudah larut;
mereka digunakan sebagai komponen awal dari beberapa semen.
Kalsium fosfat bifasik
Klasium fosfat bifasik (BCP) merupakan sebuah campuran dari dua fase
kalsium fosfat berbeda: HA yang berdaya larut cukup dan trikalsium fosfat yang
berdaya larut tinggi pada perbandingan berbeda. BCPs didapat dengan sintering apatit-apatit difisien (Ca10-xMx(PO4)6-y(HPO4)y(OH)2,
Ca/P<1.67) pada atau di atas 700°C mengikuti reaksi berikut (Legaros dkk
2003):
Kobinasi kedua fase kalsium fosfat berbeda ini dengan
kelarutan berbeda dalam sebuah biomaterial memungkinkan kinetika degradasinya
untuk disetel in vitro dan in vivo. Secara klinis, BCP digunakan
sebagai bone fillers.
Stabilitas kalsium
fosfat
Stabilitas
thermal
Disampaikan di sini sebuah ringkasan mengenai tingkah laku
transformasi thermal, yang secara ekstensif dikembangkan oleh Elliot (Elliot
1994).
TCP dan HA
adalah satu-satunya garam kalsium fosfat yang sepenuhnya stabil hingga 1000°C.
Untuk TCP, hingga 1125°C, β-TCP adalah fase yang paling stabil, di mana di atas
ini dan hingga 1430°C fase α-TCP adalah yang paling stabil. Untuk HA
stoikhiometrik, di atas 1000°C, beberapa kelompok hidroksil mungkin
berkondensasi untuk menghasilkan air mengikuti reaksi berikut:
DCPD, OCP, karbonat, dan/atau apatit
defisien adalah menjadi sasaran transformasi thermal:
Fase-fase berkandungan-air
seperti misalnya DCPD atau dehidrat OCP pada suhu mendekati 180°C. Fase-fase kalsium fosfat berkandungan HPO4
seperti misalnya apatit difisien, OCP atau DCPD memungkinkan satu kondensasi yang
menghasilkan pembentukan ion pirofosfat pada suhu mendekati 300°C mengikuti reaksi:
Bergantung pada mode substitusi, perlakuan thermal dari
apatit terkarbonasi dapat mengawali ke pada pelepasan gas CO2 dengan
pengaturan ulang ikutannya.
Sebagai sebuah hasil dari perlakuan thermal apatit
terkarbonasi dan/atau apatit defisien, OCP, dan DCPD akan berubah bentuk
menjadi sebuah campuran dari sub-products:
pirofosfat, HA, dan TCP.
Stabilitas
dalam sistim fisiologis
Pembentukan, disolusi, dan transformasi kalsium fosfat adalah
bergantung pada sifat-sifat dari wujud kalsium fosfat (ukuran partikel, fitur
kristalografik, densitas) dan sifat dari cairan (komposisi, pH, suhu).
Kebanyakan kalsium fosfat adalah berdaya larut cukup dalam
air, dan beberapa adalah sangat tak larut, namun seluruhnya larut dalam asam.
Kelarutan mereka, didefinisikan sebagai jumlah zat terlarut yang terkandung
dalam sebuah cairan tersaturasi ketika partikel-partikel dari zat terlarut
adalah secara terus-menerus berlarut sementara partikel-partikel lainnya
kembali ke fase zat terlarut padat (bertumbuh) pada laju kecepatan yang
benar-benar sama (Wu dan Nancollas 1998), menurun dengan meningkatnya suhu dan
pH (de Groot 1983).
Setiap fase kalsium fosfat memiliki kelarutan thermodinamiknya
sendiri-sendiri. Sebagai contoh pada pH=7 dan 37°C, HA adalah dalam fase paling
stabil, diikuti oleh TCP, OCP, dan akhirnya DCPD. Namun, semua pertimbangan
thermodinamikal ini adalah di bawah kondisi setimbang, dan dengan demikian
mereka tidaklah memperhitungkan kinetika yang menentukan pembentukan dari satu
atau fase yang lainnya di bawah kondisi dinamik.
Faktor penting kedua dalam kestabilan kalsium fosfat adalah
karakteristik dari cairan di dalam mana semua garam ini dibentuk atau
diletakkan, disebut cairan jenuh dalam ion-ion kalsium dan fosfat bebas (Tang
dkk 2001). Pada pH dan suhu yang diberikan, suatu cairan yang berkandungan
bebas ion kalsium dan fosfat dapat di kategorisasikan menjadi tiga keadaan
berbeda: (i) zona stabil (tak jenuh), di mana kristalisasi adalah tidak
mungkin, (ii) zona metastabil (jenuh), di mana kristalisasi spontan dari garam
kalsium dan fosfat adalah mustahil, walau konsentrasinya adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan yang sama dengan kelarutan garam. Bila sebuah benih kristal
diletakkan dalam suatu cairan metastabil, pertumbuhan akan terjadi pada benih;
(iii) zona takstabil atau labil (jenuh), di mana kristalisasi spontan kalsium
fosfat adalah mungkin, tapi tidak tak terelakkan (Mullin 1993).
Cairan ekstraseluler yang jenuh untuk kalsium dan fosfat
dapat menginduksi nukleasi dan pertumbuhan kristal kalsium fosfat baru.
Lingkungan biologis
In vivo, interaksi
di antara implan dengan “lingkungan biologis” nya adalah sangatlah kompleks
akibat dari kondisi tidak-seimbang dan akibat dari banyaknya senyawa yang tidak
tertentukan yang memainkan peran di dalam semua interaksi ini. Dhert dkk (1998)
menekankan kinetika dari kejadian awal berlangsung di dalam bulan pertama pada
antar muka di antara implan berselubung-kalsium fosfat dalam sebuah press fit model, mis., implan dengan
dimensi defeknya adalah sama, mengimplikasikan sebuah kontak maksimal di antara
jaringan tulang inang dengan biomaterial. Dengan mengabaikan sifat-sifat biomaterial, lingkungan biologis berkembang
dengan berjalannya waktu. Dalam hari ke tiga, darah akan sudah menginvasi
keseluruhan ruang-ruang kosong di antara tulang asli dengan implan. Setelah
itu, pada akhir minggu pertama pengimplantasian, kalus dan jaringan mesenkhimal
akan mengganti keseluruhan darah sementara resorpsi tulang inang dimulai.
Akhirnya, di antara minggu kedua dengan keempat pengimplantasian, kalus,
jaringan mesenkhimal, dan tulang inang akan telah menghilang secara bertahap
mendukung terbentuknya tulang baru sementara remodeling tulang mengambil alih (Dhert dkk 1998). Singkatnya,
komponen dari cairan biologis dan sel akan berinteraksi dengan biomaterial.
Sifat-sifat biomaterial dapat memengaruhi interaksi molekuler dan seluler pada
permukaannya dan dengan konsekuensi dapat memengaruhi proses pembentukan
tulang.
Komponen molekuler
Tubuh manusia
dapat dibagi menjadi dua kompartemen cair major: 2/3 nya adalah cairan
intraseluler di dalam sel, dan 1/3 nya adalah cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler dibagi menjadi kompartemen yang lebih kecil yang dibedakah oleh
lokasi yang berbeda dan dengan karakteristik kinetik yang berbeda: (i) cairan
interstisiil terletak di dalam celah dari seluruh jaringan tubuh yang
memandikan seluruh sel dalam tubuh dan menghubungkan di antara cairan
interseluler dengan kompartemen intravaskuler. Oksigen, makanan, sampah, dan
pesan-pesan kimia kesemuanya lewat melalui cairan interstisiil; (ii) plasma
merupakan kompartemen cairan major satu-satunya yang keberadaannya sebagai
sebuah koleksi cairan nyata kesemua dalam sebuah lokasi. Ia berbeda dari cairan
interstisiil dalam hal isi proteinnya yang jauh lebih tinggi dan dalam hal
tingginya jumlah aliran yang beredar banyak (fungsi transpor). Plasma adalah
cair pada mana sel-sel darah merah dan sel darah putih digantungkan. Air pada
plasma adalah dengan bebas dapat ditukarkan dengan yang ada dalam sel-sel tubuh
dan dengan cairan ekstraseluler lainnya dan ia tersedia untuk memertahankan
keadaan hidrasi normal dari keseluruhan jaringan; (iii) cairan transeluler
adalah sebuah kompartemen kecil yang mewakili keseluruhan dari cairan tubuh
yang terbentuk dari aktifitas transpor sel-sel; (iv) tulang dan jaringan ikat
padat mewakili 15% dari air tubuh (intraseluler:ekstraseluler, 55:45). Air ini
dimobilisasi jauh lebih lambat dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya
dari cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler adalah terdiri dari
molekul-molekul yang larut dalam air: bahan-bahan organik (berbagai gula asam
amino, koenzim asam lemak, vitamin, hormon, neurotransmiter) dan anorganik
(kalsium, fosfat, kalium, karbonat, sulfat, magnesium, khlorida, natrium,
tembaga, seng) juga produk-produk sampah dari metabolisme seluler.
Komponen seluler
Ketika
pembentukan tulang berlangsung dalam suatu organisme selama perkembangan
embryonic, remodeling pertumbuhan ,
dan penyembuhan fraktur, dan setelah implantasi ektopik dari berbagai matriks
osteoinduktif, suatu sebuah penyimpanan besar dari sel-sel dalam tubuh
berkemampuan osteogenesis di sepanjang hidup organisme yang bersangkutan (Aubin
2001). Walaupun biomaterial dikenakan dengan sejumlah interaksi seluler dari
beragam asal, di sini akan meninjau hanya sel-sel yang paling terkait secara
langsung dengan pembentukan tulang dan regenerasi.
Osteoblas
Osteoblas berasal
dari sel-sel punca mesenkhimal pluripoten yang memiliki kapasitas untuk
berdiferensiasi menjadi bermacam garis turunan. Osteoblas dewasa adalah tidak
bergerak/beredar (non-migratory),
merupakan sel yang sangat terdiferensiasi yang dapat berbeda secara substansiil
di dalam sifat-sifatnya bergantung dari stadium perkembangan mereka. Fungsi dan
fenotip mereka bermacam-macam dan empat kategori sel dapat di jelaskan sbb.
Pertama-tama, osteoblas aktif berbentuk kuboid, mononuklear, dan mereka kaya
akan aktifitas fosfatase akali. Mereka menyintesis dan menyekresi tipe I
kolagen dan glikoprotein (osteopontin, osteokalsin), sitokin, dan faktor
pertumbuhan ke dalam sebuah wilayah matriks tak termineralisasi (osteoid) di
antara sel dengan matriks termineralisasi (Kartsogiannis dan Ng 2004).
Osteoblas memroduksi juga mineral kalsium fosfat ekstra- dan intraseluler di
dalam vesikel (Annaz dkk 2004b). Kedua, osteosit merupakan osteoblas dewasa
yang menjadi terkungkung di dalam matriks tulang dan bertanggung jawab bagi
pemeliharaannya. Ketiga, sel-sel bone-lining
dijumpai sepanjang permukaan tulang yang tidak menjalani pembentukan tulang
tidak juga penyerapan tulang. Akhirnya, osteoblas tak aktif adalah sel
memanjang, tak dapat dibedakan secara morfologis dari sel-sel bone-lining.
Osteoklas
Osteoklas berasal
dari sel-sel punca hematopoietik yang berdiferensiasi sepanjang garis turunan
monosit-makrofag. Mereka bertanggung jawab bagi penyerapan tulang melalui
pengasaman mineral tulang mengawali ke pada disolusinya dan melalui degradasi
enzimatik dari matriks tulang ekstraseluler terdemineralisasi. Osteoklas dewasa
merupakan sebuah sel terpolarisasi secara fungsional yang berikatan lewat kutub
apikalnya dengan matriks tulang termineralisasi melalui pembentukan sebuah tight ring-like zone of adhesion, the sealing zone. Ikatan ini menyangkut
interaksi spesifik di antara membran sel dengan beberapa protein matriks tulang
lewat integrin (protein pengadhesian transmembran memerantarai
interaksi-interaksi sel - substratum dan sel – sel). Dalam kompartemen
penyerapan, bertempat di bawah sel dan dibatasi oleh the sealing zone, osteoklas membangkitkan sebuah lingkungan
pengasaman mengakibatkan disolusi dari mineral tulang. Pengasaman osteoklastik
ini diperantarai oleh aksi karbonat anhidrase yang memroduksi karbon dioksida,
air, dan proton yang dikeluarkan melintasi membran sel ke dalam kompartemen
penyerapan (Kartsogiannis dan Ng 2004).
Sel punca mesenkhim dan sel
osteoprogenitor
Sel-sel punca mesenkhim dewasa dapat diiolasikan dari sumsum
tulang, jaringan lemak, atau membran amniotik. Sel-sel punca mesenkhimal, oleh
definisinya, berkapasitas pembaharuan diri dan mampu memopulasi ulang seluruh
garis turunan diferensiasi yang tepat. Mereka adalah sel-sel multipoten yang
dapat berdiferensiasi menjadi garis turunan osteoblastik, myoblastik,
adipositik, khondrositik, endothelial, dan neurogenik melalui serangkaian
diferensiasi langkah berganda sebagai berikut: proliferasi, commitment, progresi garis turunan,
pendewasaan, dan diferensiasi. Untuk garis turunan osteogenik, sel-sel punca
mesenkhimal menyokong sebuah kaskade langkah-langkah diferensiasi sebagaimana
dijelaskan oleh rangkaian berikut: sel punca mesenkhimal à
osteoprogenitor imatur à osteoprogenitor matur à praosteoblas à
osteoblast matur à
osteosit atau lining cells atau apoptosis. Semakin akhir stadium
diferensiasi, maka semakin rendah kemampuan pembaharuan diri sel dan kapasitas
peroliferasinya (Aubin 2001). Dalam sumsum tulang, sel-sel osteoprogenitor
menunjukkan sebuah persentase sangat kecil ( eg <0.005%) dari tipe-tipe sel
berinti dalam tulang dewasa sehat (Block 2005). Sel punca embryonik juga
merupakan sebuah sumber potensiil dikarenakan oleh pluripotensialitas mereka
dan dengan demikian kemampuan mereka untuk berdiferensiasi menjadi garis
turunan osteogenik. Diferensiasi sel punca-osteoprogenitor dikontrol oleh “osteogenic mastergene” Cbfa1/Osf2 yang
merintangi dalam mineralisasi tulang skelet dan gigi (Sodek dan Cheifetz 2001).
Sel-sel osteoprogenitor yang menjalani diferensiasi mengekspres banyak
makromolekul matriks tulang, disebut alkalin fosfatase, tipe I kolagen, Cbfa1,
sialoprotein tulang, osteokalsin, dan osteopontin (Sodek dan Cheifetz 2001).
Kejadian biologis
pada substrat kalsium fosfat
Pertukaran ionik pada
permukaan kalsium fosfat
Secara fisiko-kimia, permukaan kalsium fosfat menyokong
kaskade disolusi-represipitasi sebagai hasil dari pertukaran pada sebuah antar
muka padat – cair dalam kondisi-kondisi jenuh. Dalam sistim biologis, fenomena
fisiko-kimia ini merupakan hasil dari sebuah proses dinamik multi-komponen
menyangkutkan berbagai ion dan protein.
Dalam hal reaktifitas permukaan, transfer ionik terjadi dari
fase padat ke fase berair encer lewat hidrasi permukaan dari kalsium, berbagai
spesies fosfat anorganik, dan berbagai limbah yang mungkin seperti karbonat,
fluorid, atau khlorida hadir dalam biomaterial. Di bawah kondisi fisiologis,
proses disolusi ini adalah sangat bergantung pada sifat-sifat substrat kalsium
fosfat (Okazaki dkk1982; Dhert dkk 1993; Ducheyne dkk 1993; Radin dan Ducheyne
1993; Christoffersen dkk 1997; Doi dkk 1999; Barrere dkk 2003b), dan pada
komposisi dan kejenuhan dari lingkungan in
vitro (Hyakuna dkk 1990; Raynaud dkk 1998; Tang dkk 2001), atau lokasi
pengimplatasian in vitro (Daculsi dkk
1990; Barralet dkk 2000). Transfer ionik juga terjadi dari cairan sekitar
substrat kalsium fosfat in vitro dan in vivio sebagaimana di ilustrasikan
oleh pembentukan nanokristal apatit terkarbonasi sebagai hasil dari
transformasi permukaan (Heughebaert dkk 1988; Daculsi dkk 1989, 1990; Johnsson dkk
1991; de Bruijn dkk 1992a; Radin dan Ducheyne 1993; Barrere dkk 2003b).
Kehadiran magnesium dan karbonat menyumbang pembentukan dari sebuah apatit
terkarbonasi yang terkristal dengan buruk yang memiliki gambaran sama dengan
fase mineral tulang (Furedi-Milhofer dkk 1976; Legeros 1991; Elliot 1994). Dalam
kehadiran protein, fase mineral yang terbentuk baru ini juga dikaitkan dengan
bahan-bahan organik (Heughebaert dkk 1988; de Bruijn dkk 1995; Barrere dkk
2003b). Transformasi fase ini terjadi untuk keseluruhan biokeramik kalsium
fosfat, bahkan untuk struktur-struktur apatitik stabil, karena mereka memiliki
sebuah kemampuan kuat untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka melalui
penerimaan ion-ion asing dan kemudian dilanjutkan dengan menopang pengaturan
ulang atomik (Cazalbau dkk 2004). Namun, substrat hidroksiapatitik kristalin
seringkali sangat stabil untuk berubah.
Hasil dari semua pertukaran ionik ini menguntungkan fase
baik transformasi ataupun disolusi mengikuti urutan stabilitas thermodinamikal,
mis HA>TCP>OCP>DCPD dari yang paling tak mudah larut hingga yang
paling mudah larut. Reaktifitas permukaan ini memiliki berbagai implikasi
penting di dalam relevansi biologis dari biokeramik kalsium fosfat. Namun,
untuk sebuah fase kalsium fosfat tertentu gambaran kristalin misalnya,
kehadiran standar dalam kisi kristal atau menurunnya ukuran kristal, memercepat
disolusi. Alhasil, biomaterial amorf hancur lebih cepat dibandingkan dengan
yang kristalin (Legeros 1991; de Bruijn dkk 1992b; Barrere dkk 2000).
Tambahannya, kehadiran beberapa aditif berasal mineral di dalam struktur
kalsium fosfat dapat memengaruhi kisi kristal, dan dengan demikian dapat
memercepat disolusi, misalnya karbonat, silikat, atau strontium dalam HA. Di
lain pihak, beberapa aditif menurunkan proses disolusi in vitro dan in vivo,
misalnya fluorid dalam HA, magnesium atau seng dalam beta-TCP (Okazaki dkk 1982;
Legeros 1991; Dhert dkk 1993; Elliot 1994; Christoffersen dkk 1997; Ito dkk
2002; Porter dkk 2004a). Penggabungan berbagai protein ke dalam kalsium fosfat
dapat juga memengaruhi kinetika disolusi (Liu dkk 2003). Akhirnya, setidaknya
porositas mikro maupun makro memainkan sebuah peran penting dalam proses
disolusi fisikokimia kalsium fosfat. Semakin luas permukaan terpapar dengan
lingkungan, maka semakin cepat kehancuran biomaterial, semua itu hanyalah
karena jumlah pertukaran yang lebih besar dapat berlangsung di sana
(Radin dan Ducheyne 1994).
Berbagai protein dari cairan sekitar juga tersangkut dalam
mekanisme pertukaran ionik sebagaimana terawasi in vitro. Interaksi mereka dengan substrat kalsium fosfat
bergantung pada karakteristik biokeramik (seperti misalnya fase, kristalinitas,
komposisi, tekstur) (Sharpe dkk 1997; El-Ghannam dkk 1999; Rouahi dkk 2006),
dan pada fitur-fitur protein (seperti penyesuaian, titik isoelektrik,
komposisi), konsentrasi mereka, dan apakah mereka bekerja dalam larutan ataukah
pada substrat (Johnsson dkk 1991; Hunter dkk 1996; Koutsopoulos dan Dalas 2000;
Combes dan Rey 2002; Ofir dkk 2004). Pertama, dalam suspensi, protein dapat
menghambat atau menyokong nukleasi dan pertumbuhan kalsium fosfat (Johnsson dkk
1991; Hunter dkk 1996; Boskey dan Paschalis 2001). Untuk protein-protein
terfosforilasi, seperti kolagen, osteopontin, osteonektin, sialoprotein tulang,
atau osteokalsin, berbagai entitas terfosforilasi telah mengunjukkan kemampuan
mereka untuk menukleasi dan menumbuhkan kristal kalsium fosfat (Boskey dan
Paschalis 2001). Namun, tidak semua protein terfosforilasi menginduksi
pembentukan kalsium fosfat; osteopontin khususnya, merupakan sebuah penghambat
kristalisasi kuat (Hunter dkk 1996). Kedua, ketika protein adsorb ke substrat kalsium fosfat, tugas mereka, konsentrasi
mereka, dan kehadiran kalsium dalam cairan sekitar memengaruhi kinetika dan
pola surface-coverage yang dapat
berkembang dengan waktu (Kawasaki
dkk 2003). Semua protein yang di-adsorb
ini dapat setelah itu memengaruhi pembentukan baru kristal kalsium fosfat
melalui pengeblokan atau bukan pengeblokan lokasi nukleasi substrat (Koutsopoulos
dan Dalas 2000; Combes dan Rey 2002; Ofir dkk 2004), tanpa memerhatikan titik
isoelektrik protein (Offir dkk 2004).
Semua hasil ini didapat dari percobaan in vitro yang berbeda kuat dengan percobaan in vivo, sebagaimana ratusan protein terdapat dalam cairan
biologis, dan efek global mereka pada reaktifitas kalsium fosfat adalah
terfahami tak mencukupi. Namun, jelaslah bahwa mereka memainkan sebuah peran
yang bermakna dalam pertukaran ionik dan efek lanjutan mereka pada aktifitas
biologis mereka, karena protein dideteksi dalam asosiasi dekat dengan apatit
terkarbonasi nanokristalin yang terbentuk pada permukaan biokeramik kalsium
fosfat in vitro dan in vivo (Heughebaert dkk 1988; Johnsson
dkk 1991; de Bruijn dkk 1992b; de Bruijn dkk 1994b; Radin dkk 1998; Barrere dkk
2003b). Konseuensinya, sifat, kuantitas, dan penggabungan semua protein ini
pada permukaan biomaterial akan menentukan aktifitas seluler (El-Ghannam dkk
1999; Rouahi dkk 2006).
Interaksi seluler dengan permukaan kalsium fosfat
Umumnya, interaksi sel – biomaterial bergantung pada
karakteristik permukaan seperti misalnya topografi, kimiawi, dan fisika
permukaan. Sebagaimana disebutkan di atas, karakteristik permukaan menentukan
dinamika pertukaran ionik dan adsorpsi protein. Mereka juga memengaruhi
aktifitas seluler, yaitu perlekatan, proliferasi, dan diferensiasi mereka.
Kalsium fosfat – osteoblas dan sel osteoprogenitor
In vitro,
interaksi sel – biomaterial diuji oleh osteoblas primer, garis sel
osteosarkoma, dan sel osteoprogenitor - mesenkhimal yang dikeluarkan dari
sumsum tulang. Lebih dan lebih banyak lagi penelitian saat ini mengalamatkan
interaksi di antara sel-sel progenitor -
punca mesenkhimal dan scaffolds,
sebagaimana semua sel-sel ini berpartisipasi pada stadium dini dari pembentukan
jaringan tulang in vivo (Dhert dkk
1998; Davies dan Hosseini 2001; Devlin dan Sloan 2002).
Sealiknya dengan osteoblas terdiferensiasi, sel-sel
osteoprogenitor adalah beredar, merupakan sel sangat proliferatif dan mereka
memiliki suatu potensi diferensiasi yang lebih besar. Mereka dapat bermigrasi
pada sebuah substrat dengan cara membangkitkan siklus adhesi lemah,traksi,
pergerakan, dan pelepasan. Pada akhir fase migrasi, seperti sel-sel
osteoprogenitor – mesenkhimal osteoblas melekat ke substrat dengan cara
mengembangkan perlekatan fokal kuat dengan substrat dalam rangka memulai fase
diferensiasi mereka. Migrasi dan perlekatan sel-sel tulang umumnya diperantarai
lewat integrin yang adalah protein transmembran (Anselme 2000). Di antara
superfamili integrin, fibronektin dan vitronektin merupakan perotein terlibat
dalam perlekatan osteoblas pada biomaterial in
vitro (El Ghannam dkk 1999; Anselme 2000). Prihal interaksi mereka dengan
kalsium fosfat, osteoblas sangat erat dalam kontaknya dengan permukaan kalsium
fosfat karena produksi kolagen ekstraseluler yang dengan kuatnya melekat tegak
lurus atau sejajar dengan substrat (Annaz dkk 2004b).
Fase diferensiasi osteogenik terdiri dari tiga periode
biologis utama: proliferasi seluler, maturasi seluler, dan mineralisasi
matriks. Melalui semua periode ini, osteoblas diketahui menyintesis dan
sesudahnya menyekresi kolagen tipe I, alkali fosfatase, dan protein matriks
tulang ekstraseluler non-kolagen lain seperti misalnya osteokalsin,
osteopontin, osteonektin, dan sialoprotein tulang. Kolagen tipe I diekspres
selama periode awal proliferasi dan biosintesis matriks ekstraseluler, pada
mana alkali fosfatase diekspres selama periode pasca-proliferatif dari maturasi
matriks ekstraseluler, dan pengekspresian osteopontin, osteokalsin, dan
sialoprotein tulang terjadi kemudiannya selama periode ketiga mineralisasi
matriks-ekstraseluler (Sodek dan Cheifetz 2001). Konsekuensinya, karena tidak
ada penanda tunggal spesifik untuk osteoblas, maka pengekspresian seluler dari sebuah
rentangan protein non-kolagen dan kolagen demikian juga alkali fosfatase dan
Cbfa1 haruslah diselidiki, ketika memeriksa diferensiasi osteoblastik.
Akhirnya, osteoblas berpasrtisipasi secara aktif terhadap mineralisasi
biomaterial (Radin dkk 1998) dengan cara menghasilkan vesikel-vesikel
berkandungan kalsium fosfat (Annaz dkk 2004b). Dalam praktik, mineralisasi
osteoblas tidak dapat diuji pada biomaterial kalsium fosfat oleh sebab kesamaan
dalam komposisi di antara substrat dengan mineral ekstraseluler
Beberapa parameter kalsium fosfat dapat memengaruhi
aktifitas seluler:
- (i) Disolusi. Bergantung pada reaktifitas kalsium
fosfat (mis., tingkah laku disolusi – presipitasi) fungsi osteoblas dapat
dipengaruhi, dalam proliferasi mereka, diferensiasi mereka, dan fenotip
maturasi mereka (de Bruijn dkk 1992a, 1994b; Midy dkk 2001; Knabe dkk 2004; Siebers
dkk 2004; Wang dkk 2004; Arinzeh dkk 2005; Berube dkk 2005). De Bruijn dkk
mengunjukkan sebuah kaitan jelas di antara angka disolusi dengan pembentukan tulang
dini in vivo dan dengan diferensiasi
osteogenik in vitro, menyarankan
dengan demikian pengaruh dari kalsium dan fosfat anorganik bebas pada
pembentukan tulang (de Bruijn dkk 1992a, 1994b). Sebagaimana diterangkan
sebelumya, konsentrasi kalsium dan fosfat lingkungan mungkin meningkat atau
menurun ketika keramik kalsium fosfat terbenam. Level modifikasi ini yang
diinduksi oleh pembenaman keramik kalsium fosfat dapat bahkan menginduksi
kematian sel (Hyakuna dkk 1989). Perubahan dalam isi kalsium atau fosfat dalam
medium benihan juga memengaruhi
aktifitas osteoblastik secara langsung (Bellows dkk 1992; Meleti dkk 2000; Adams
dkk 2001; Dvorak dkk 2004). Sebagai sebuah konsekuensi dari transformasi
permukaan, aktifitas seluler selanjutnya mungkin terpengaruh sebagaimana
substrat berubah secara bermakna (Anselme dkk 1997);
- (ii) Komposisi. Sebuah perubahan dalam perbandingan
kalsium terhadap fosfat dalam biokeramik berarti sebuah perubahan dalam
komposisi dan sebagai konsekuensinya sebuah efek langsung pada mekanisme
pertukaran ionik, sebagaimana dibicarakan sebelumnya. Penggabungan ion mineral
seperti misalnya seng (hingga ke tingkat tertentu) atau silikat dalam
biokeramik kalsium fosfat menunjukan satu peningkatan perlekatan dan
proliferasi osteoblas (Ishikaw dkk 2002; Thian dkk 2005). Sementara kehadiran
karbonat dalam jejaring apatitik biomaterial memiliki efek berlawanan pada
proliferasi osteoblastik dan produksi alkali fosfatase dibandingkan dengan
substrat HA (Anselme dkk 1997; Redey dkk 2000; Midy dkk 2001);
- (iii) Topografi. Di satu sisi, permukaan kalsium fosfat beralur memengaruhi
tuntunan osteoblastik, dan profil aluran bebas dari sifat substrat (Lu dan Leng
2003). Di lain pihak, dalam kontaknya dengan pori mikro dan makro keramik
kalsium fosfat, osteoblas merasakan
mikroporositas permukaan dan mereka dapat menjembatani bahkan pori-pori besar yang berkali-kali lebih besar dari osteoblas yang sepenuhnya diratakan (Annaz dkk 2004a). Untuk diferensiasi osteoblas, Chou dkk
mengunjukkan in vitro bahwa sel-sel
MC3T3 peka terhadap bentuk kristal: kristal apatit besar menginduksi lebih
banyak pengespresian sialoprotein tulang dan osteokalsin setelah 3 minggu
pembenihan dibanding kristal apatit kecil (Chou dkk 2005b);
-
(iv)
Energi permukaan. Studi oleh Redey dkk (2000) memerlihatkan bahwa energi
permukaan dengan kuat memengaruhi aktifitas osteoblastik awal bagi proliferasi
dan fungsi, sementara pada satu waktu belakangan, permukaan yang kurang
menguntungkan menunjukkan sebuah aktifitas osteoblastik yang sebanding terhadap
permukaan yang paling menguntungkan.
Kalcium-fosfat
– osteoklas
Heymann dkk (1999) telah secara ekstensif menangani
degradasi seluler keramik kalsium fosfat in
vitro dan in vivo. Setelah
kolonisasi substrat oleh monosit – makrofag yang direkrut selama reaksi
inflamasi setelah pembedahan (Basle dkk 1993; Heymann dkk 1999), osteoklas
bertanggung jawab untuk terjadinya degradasi mineral tulang, yaitu resorpsi
tulang. Teramati bahwa, osteoklas mendegradasi keramik kalsium fosfat dalam
sebuah cara yang sama dengan mineral tulang: osteoklas melekat erat dengan substrate sealing zone. Di tengah-tengah
zona ini, mereka menyekresi H+ mengawali ke pada sebuah pH=4 - 5
lokal. In vivo, osteoklas
berpartisipasi secara parsiil dalam degradasi keramik kalsium fosfat (Gauthier dkk
1999; Lu dkk 2002; Ooms dkk 2002; Wenisch dkk 2003; Zerbo dkk 2005). Dalam
kontaknya dengan osteoklas, biokeramik yang diimplantasikan memamerkan
lobang-lobang resorpsi terkait dengan tulang yang terbentuk baru (Gauthier dkk
1999; Ooms dkk 2002; Wenisch dkk 2003). Namun, degradasi in vivo material kalsium fosfat juga dikaitkan dengan sebuah
fenomena disolusi (Gauthier dkk 1999; Lu dkk 2002). Aktifitas osteoklas versus proses disolusi dari sebuah
keramik kalsium fosfat bergantung pada sifat kalsium fosfat (seperti misal,
semen, keramik kumpulan besar, partikel, TCP berdaya larut tinggi, HA berdaya
larut rendah) (Gauthier dkk 1999; Lu dkk 2002). Dalam degradasi dari keramik
TCP berdaya larut tinggi in vivo,
Zerbo dkk (2005) menunjukkan bahwa disolusi fisikokimia berlangsung hingga ke
satu tingkat yang lebih besar dari pada resorpsi osteoklastik. Osteoklas juga
dapat mendegradasi kalsium fosfat melalui proses fagositik, yaitu, penggabungan
dalam sitoplasma sel dan kemudiannya dicernakan melalui serangan asam atau
proses enzimatik ketika partikel-partikel biomaterial dibangkitkan sebagai
hasil dari disolusi lokal pada batas-batas butiran ataupun melalui stress
mekanik yang membangkitkan debris
(Heymann dkk 1999). Aktifitas osteoklastik biasanya ditentukan oleh sebuah
enzim osteoklastik spesifik (tartrate-resistent acid phosphatase) bergantung
pada sifat-sifat intrinsik keramik kalsium fosfat yang dapat bervariasi dari
satu studi ke studi lainnya. Namun, beberapa kecenderungan umum dapat diuraikan
sbb:
- (i) Kinetika disolusi fisikokimia dari bio-material:
keramik kalsium fosfat tidaklah seluruhnya berinteraksi dalam cara yang sama
dengan osteoklas. Pelepasan ion kalsium dari biomaterial kelihatannya memainkan
sebuah peran penting dalam aktifitas osteoklastik; level ion kalsium di atas
rentangan kritis, resorpsi osteoklastik dihambat (de Bruijn dkk 1994a; Yamada dkk
1997; Doi dkk 1999). Bersama-sama dengan tingkah laku disolusi, struktur
keramik kalsium fosfat dan kristalinitas memengaruhi aktifitas osteoklastik (de
Bruijn dkk 1994a; Yamada dkk 1997; Leeuwenburgh dkk 2001).
- (ii) Karbonat dan ion mineral lainnya: garam apatitik
terkarbonasi, mis., dentin, mineral
tulang, apatit terkarbonasi sintetik, dan berbagai struktur kalsium karbonat
(yaitu, aroganite, calcite), diresorpsi oleh osteoklas. Telah diajukan, isi
karbonat mungkin merangsang aktifitas anhidrase karbonik yang telah dikenal
mendorong sekresi asidik osteoklastik in
vitro (Doi dkk 1999; Leeuwenburgh dkk 2001). Di sisi lain, seng dan fluorid
yang terkandung dalam biomaterial kalsium fosfat telah juga memerlihatkan
sebuah efek penghambatan pada resorpsi osteoklastik in vitro (Sakae dkk 2000; Ito dkk 2002) dan in vivo (Kawamura dkk 2003; Sakae dkk 2003) untuk konsentrasi yang
spesifik dalam kalsium fosfat – kalsium fosfat berisikan seng.
- (iii) Energi permukaan biomaterial kalsium fosfat:
Komponen kutub energi permukaan diketahui memodulasi adhesi osteoklastik in vitro. Namun, penyebaran dan resorpsi
lanjutannya tidaklah dipengaruhi oleh pertimbangan energi permukaan (Redey dkk
1999).
- (iv) Kkesaran permukaan diketahui umumnya memengaruhi
perlekatan sel in vitro dan
ditunjukan juga in vitro bagi
perlekatan osteoklastik. Permukaan apatitik kasar nampaknya menguatkan
perlekatan osteoklastik dibandingkan dengan yang berpermukaan halus (Gomi dkk
1993).
Arah ke masa depan dalam interaksi sel –
kalsium fosfat
Sumber-sumber
sel
Saat ini, reaktifitas substrat kalsium fosfat dievaluasi
dari osteoblas primer, garis turunan sel osteosarkoma, sel-sel pra-osteoblas, dan
osteoprogenitor. Walaupun sel-sel osteoprogenitor manusia kelihatannya menjadi
yang paling beradaptasi untuk perekayasaan jaringan tulang, sangat sedikit
laporan yang berurusan dengan benihan sel-sel osteoprogenitor manusia. Semua
sel ini adalah bergantung donor dan benihan (Mendes dkk 2002) dan pluripotensi
mereka menurun dengan passage numbers.
Kecuali banyak sel donor digunakan untuk menyaring biomaterial kalsium fosfat,
sel-sel osteoprogenitor manusia tidaklah merupakan sebuah alat yang berguna
untuk memahami berbagai interaksi mereka dengan kalsium fosfat, sebagaimana
sel-sel donor yang lain mungkin bekerja dengan sangat berbeda. Sepengetahuan
kita, tidak ada studi ekstensif terhadap sel osteoprogenitor manusia berbeda
telah dilakukan secara umumnya pada biomaterial. Pada sisi lain, cell lines memberikan hasil yang lebih direproduksi "dimanipulasi"
dan mungkin tidak mewakili situasi nyata, sebagaimana cell lines berbeda mengunjukkan sebuah variasi dalam
kebertanggapannya ketika dibenihkan pada sebuah material kalsium fosfat yang
sama (Rochet dkk 2003). Sel-sel punca embryonik juga merupakan sebuah sumber
potensiil dalam perekayasaan jaringan dan mereka telah pula diteliti pada
biomaterial kalsium fosfat (Both dkk 2005; Melville dkk 2006)
Petanyaan yang masih tetap terbuka, tipe sel yang mana yang
difokuskan dalam memahami berbagai interaksi sel – kalsium fosfat bagi sebuah
teknik pendekatan perekayasaan jaringan.
Sistim ko-kultur, yaitu, membenihkan dua tipe sel, merupakan
pusat perhatian baru dalam domain
perekayasaan jaringan tulang. Sebagai contoh, jaringan tulang-terrekayasa
menghasilkan viabilitas rendah akibat dari vaskularisasi yang tak menyukupi.
Sebagaimana angiogenesis dalam sumsum tulang dikaitkan secara dekat dengan
osteogenesis dalam perkembangan dan pendewasaan tulang, ko-kultur sel-sel
osteoprogenitor dengan sel-sel endothel dimulaikan dalam rangka menyiptakan
secara bersama-sama vaskularisasi dan pembentukan tulang. Namun, sepengetahuan
kita, tidak terdapat laporan yang memasukkan pengaruh dari sebuah biomaterial
kalsium fosfat (atau biomaterial lainnya) dengan ko-kultur osteoprogenitor-sel
endothel. Hal ini harus diperhitungkan di masa depan, sebagaimana diperlihatkan
bahwa sebuah substrat kalsium fosfat, dalam kontaknya dengan sebuah sistim
ko-kultur hematopoietik-osteoblas, menginduksi sebuah jalur diferensiasi
spesifik sepenuhnya dibandingkan dengan tissue
culture-treated plastic (Rochet dkk 2002). Dapatkah proses resorpsi
osteoklastik sebelumnya dari biomaterial kalsium fosfat akan memengaruhi
aktifitas osteoblastik sebagaimana diamati dalam remodeling tulang alami?
Akhirnya, pengamatan langsung berbagai benihan sel luminesen
transgenik menawarkan berbagai kesempatan besar untuk mengevaluasi berbagai
aktifitas jangka panjang pada contoh yang sama in vivo dan in vitro (Cao
dkk 2005; Kotobuki dkk 2005; de Boer dkk 2006). Secara lebih spesifik untuk
tulang, de Boer dkk akhir-akhir ini telah mengalamatkan aplikasi kultur sel
luminesen transgenic dipasangkan dengan reporters
osteogenik (de Boer dkk 2006).
Keterbatasan
pengujian in vitro
Kalsium fosfat
adalah reaktif dan reaktifitas mereka bergantung pada karakteristik mereka
(seperti misalnya komposisi, disolusi, sintering
temperature, struktur mikro). Sebagai konsekuensinya, level kalsium dan
fosfat dalam medium benihan sel dapat bervariasi secara substansiil tanpa
menjadi terregulasi dan ini dapat memengaruhi fungsi sel (Bellows dkk 1992; Meleti
dkk 2000; Adams dkk 2001; Midy dkk 2001; Dvorak dkk 2004; Wang dkk 2004; Arinzeh
dkk 2005; Berube dkk 2005); sementara in
vivo, semua variasi ini secara otomatik dan dengan cepat terregulasi.
Dengan demikian, prediktibilitas in vitro
dari biomaterial seperti itu seringkali tidak meyakinkan (Habibovic dkk 2005a).
Dalam konteks perekayasaan jaringan tulang, scaffolds
dan sel ada dalam kontak in vitro
untuk beberapa hari sebelum diimplantasikan, karenanya aktifitas seluler in vitro tetap bersangkut paut. Namun,
Kruyt dkk (2004) tidaklah menjumpai satupun perbedaan in vivo di antara rekayasa konstruksi
jaringan tulang dikultur dalam medium diferensiasi merangsang atau tidak-merangsang osteogenik selama 6 hari,
sementara mereka mengukur sebuah keberbedaan bermakna dalam aktifitas alkali
fosfatase in vitro di antara kedua kondisi
itu. Di sisi lain, jumlah pengujian biologis meningkat seiring waktu, namun
mereka masih tetap dalam tahap perkembangan. Kadangkala sulit dipahami
pengaturan beberapa protein sebagaimana dilaporkan oleh Chou dkk (Chou dkk
2005a, 2005b). Hitungan aktifitas alkali fosfatase adalah merupakan yang paling
sering dan merupakan pengujian biologis langsung pada diferensiasi osteogenik,
namun kehadiran dari fosfat anorganik dapat menghambat produksi oleh sel dari
aktifitas alkali fosfatase tanpa penghambatan proses mineralisasi ikutannya oleh
osteoblas (Bellows dkk 1992). Jadi, mengukur aktifitas alkali fosfatase sebagai
sebuah pengujian diferensiasi unik pada biokeramik kalsium fosfat mungkin tidak
mewakili satu hitungan sahih dari diferensiasi osteogenik.
Relevansi kalsium fosfat bagi regenerasi jaringan
tulang
Kemampuan
pengikatan-tulang (bone-bonding ability)
Fenomena pertukaran ionik yang terjadi dengan biokeramik
kalsium fosfat dikaitkan dengan reaktifitas menuju bone bonding, yaitu, pembentukan dari sebuah lapisan
termineralisasi antar muka di antara biokeramik dengan jaringan tulang yang menjamin
kohesi mereka. Secara struktural, lapisan ini adalah sebanding dengan filem
yang tumbuh in vitro melalui
mekanisme disolusi-presipitasi, yaitu nanokristal dari apatit terkarbonasi di
dalam cairan tubuh dalam simulasi yang meniru komposisi mineral plasma arah.
Ketika dibentuk dalam kehadiran eksperimen-eksperimen sel-sel osteogenik,
lapisan termineralsasi ini sebanding dengan cement
lines tersintesis in vivo (de
Bruijn dkk 1995; Dvies 1996). In vivo
(lingkungan osseous dan non-osseous), fisiko-kimia, dan
kontinyuitas kristalografik dapat teramati di antara implan kalsium fosfat
dengan lapisan termineralisasi yang terbentuk baru (Daculsi dkk 1989; de Bruijn
dkk 1992b; Neo dkk 1993).Peristiwa dan ketebalannya dihubungkan dengan
reaktifitas (disolusi-presipitasi) substrat kalsium fosfat (Neo dkk 1993), yang
disebut bioaktifitas (Hench dan Wilson 1984). Antar muka termineralisasi ini memastikan sebuah kohesi fisikokimia dan
mekanik di antara implan dengan tulang inang. Hal ini sangat relevan bagi aplikasi
penopangan-beban, yaitu, berbagai prostesis metalik panggul yang terselimuti
dengan kalsium fosfat yang mana tidak diragukan lagi memerbaiki stabilitas
mekanik implan melalui penambahan dan pemercepatan aposisi tulang (Geesink dkk
1987; Dhert dkk 1993; Rahbek dkk 2004).
Osteoinduksi oleh kalsium fosfat
Material
osteoinduktif merupakan biomaterial yang memiliki sifat-sifat intrinsik untuk
menginduksi pembentukan tulang dalam sebuah lingkungan non-osseous. Akhir-akhir ini, telah diunjukkan pada kambing,
kalsium fosfat berpori-makro osteoinduktif dapat merangsang pembentukan lebih
banyak tulang sebagaimana perekayasaan jaringan hasilkan secara ektopik (Kruyt
dkk 2004) dan seperti dalam model-model defek orthopedi berukuran kritis
(Habibovic dkk 2005b). Walaupun mekanisme osteoinduksi masih belum jelas,
sifat-sifat pertukaran ionik scaffolds
kalsium fosfat dengan lingkungan yang mengitari telah menunjukkan sebagai
sebuah parameter relevan di antara hal yang lainnya (Yuan dkk 2001). Melalui
pengimplantasian intramuskuler pada kambing dua buah scaffolds kalsium fosfat berpori makro yang identik dalam
komposisi, kristalinitas, dan porositas tapi dengan mikroporositas berbeda,
Habibovic dkk (2005b) telah mengunjukkan bahwa sebuah peningkatan
mikroporositas telah bertanggung jawab bagi pembentukan tulang ektopik.
Mikroporositas tinggi ini secara langsung dikaitkan dengan permukaan terpapar,
dan dengan demikian suatu disolusi meningkat dalam pori di mana level dari
level kritis stabil dari ion kalsium bebas dan kemungkinan ion orthofosfat
bebas dapat memicu diferensiai sel menjadi garis turunan osteogenik.
Tambahannya, melalui sebuah proses disolusi-presipitasi, perkembangan dari
sebuah lapisan mineral seperti-tulang dapat memulai pembentukan tulang baik melalui
peniruan dengan struktur mineral tulang ataukah melalui kehadiran bahan-bahan
osteogenik (sebagai contoh bone
morphogenetic proteins, BMPs) yang terkandung alami dalam cairan tubuh yang
mungkin telah terkonsentrasi pada lapisan mineral yang terbentuk baru
(Ripamonti 1996).
Tailoring kinetika resorpsi kalsium fosfat
Pada berbagai defek besar yang tak mngkin sembuh secara
alami oleh tulang, pengaturan kinetika degradasi dari pengisi tulang kalsium
fosfat dengan kinetika dari angka pembentukan tulang hingga kini masih
merupakan sebuah tantangan besar dalam regenerasi jaringan tulang. Sementara
penyumbangan terhadap pembentukan tulang, the
scaffolds haruslah berdegradasi dengan sebuah cara yang terkontrol untuk meninggalkan
lebih banyak ruang bagi tulang yag terbentuk baru hingga tercapai regenerasi
jaringan sepenuhnya. Pencampuran pada berbagai perbandingan dari sebuah fase
dapat larut rendah (HA) dengan sebuah fase dapat larut tinggi (TCP amorf)
menghasilkan keramik kalsium fosfat bifasik (BCP), meliputi aditif (magnesium,
karboat, fluorid) dalam satu fase kristalin yang diberikan, atau fase-fase
kalsium fosfat berbeda yang diseleksi (amorf, DCPD, OCP, HA, TCP), adalah
pilihan untuk menyesuaikan kinetik degradasi keramik kalsium dari beberapa
minggu hingga beberapa tahun. Dalam teori dan dalam praktik, seseorang dapat
mengubah kinetika resorpsi keramik kalsium fosfat; namun, tidak ada scaffolds yang dapat larut universal
telah dikembangkan, dan sifat-sifat degradasi mereka haruslah didisain
bergantung pada pengaplikasian mereka. Di bawah, disampaikan dua tipe pola
degradasi dijelaskan, satunya bagi penopangan-beban dan yang lainnya bagi
pengaplikasian penopangan-tanpa beban
Aplikasi
penopangan-beban
Kalsium fosfat yang diaplikasikan sebagai selimutan pada
prostesis metalik memiliki satu catatan klinik dengan angka keberhasilan tinggi
untuk arthoplati panggul (Epinette dan Manley 2004). Selimutan ini secara
bermakna memercepat pertumbuhan tulang pada implan metalik, memerbaiki fiksasi
implan, dan memerpanjang umur pakai prostesis. Berbagai studi pada khewan
ekstensif yang telah dilaksanakan memerhitungkan angka pembentukan tulang versus angka resorpsi dan stabilitas
mekanik. Melalui perubahan parameter dari selimutan (teknik, temperatur,
komposisi) seseorang dapat mengubah karakteristik degradasi dari selimutan. Untuk
prostesis panggul, kinetik resorpsi selimutan kalsium fosfat memiliki sebuah
paradigma tertentu. Di satu sisi,
selimutan yang dapat larut menguatkan pembentukan tulang pada saat dini tahap
pengimplantasian, menginduksikan sebuah fiksasi dini yang cepat, namun
selimutan yang dapat larut dapat mengawali ke pada satu instabilitas mekanik
tahap kedua di antara implan metalik dengan tulang sekitarnya. Di sisi lain,
selimutan yang tak dapat larut melambatkan fiksasi tulang, yaitu, stabilitas
mekanik tahap pertama, namun selimutan yang tak dapat larut menyetabilisasi
fiksasi jangka-panjang implan dengan jaringan sekitar (Dhert dkk 1993, 1998; de Bruijn dkk 1994b; Rahbek dkk 2004).
Aplikasi
penopangan tanpa-beban
Pada situasi tanpa-pembebanan, kalsium fosfat telanjang
digunakan sebagai granul atau semen. Komposisi mereka dapat memiliki variasi
keterbatasan yang sebenarnya dengan memertimbangkan struktur, penggabungan
aditif, dan pencampuran fase mereka. Scaffolds
sekarang ada yang berdegradasi terlalu cepat (dan dengan demikian tidak
memungkinkan stabilitas mencukupi bagi pembentukan tulang baru), ataukah scaffolds yang tidak terresorpsi
sepenuhnya (dan masih terbungkus oleh tulang ang terbentuk baru, menghindari restorasi
menyeluruh dari kekuatan mekanik tulang alami). Satu cara umum untuk
menyempurnakan sifat-sifat degradasi scaffolds
kalsium fosfat adalah mengombinasikan sebuah fase yang dapat larut tinggi (TCP)
dengan sebuah fase yang tak dapat larut (HA), untuk menyiptakan apa yang
disebut keramik BCP (Legeros dkk 2003). Bergantung pada perbandingan HA/TCP,
pembentukan tulang versus resorpsi
biomaterial dapat diperbaiki secara bermakna atau diturunkan (Schopper dkk
2005).
Fungsionalisasi
kalsium fosfat bagi pemicuan regenerasi tulang
Mengingat sifat disolusi kalsium fosfat, beberapa kelompok peneliti
telah menggunakan keramik kalsium fosfat sebagai sistim pengiriman melalui (i)
adsorpsi pada bubuk diikuti oleh kompaksi (ii) ko-presipitasi, atau (iii)
penambahan pasta semen diaplikasikan dalam regenerasi tulang dan berbagai
wilayah terapi gen (Shen dkk 2004), atau pengiriman obat lokal (Urist dkk 1987;
Lebugle dkk 2002; Stigter dkk 2004; Kroese-Deutman dkk 2005; Liu dkk 2005).
Untuk stimulasi regenerasi tulang, berbagai protein spesifik telah digunakan
lewat pembawa kalsium fosfat. Bone
morphogenetic proteins (BMP, khususnya BMP-2) adsorps pada keramik (Urist
dkk 1987; Kroese-Deutman dkk 2005) atau ko-presipitasi ke dalam selimutan
apatit terkarbonasi biomimetik (Liu dkk 2005) menginduksi lebih banyak
pembentukan tulang dibandingkan dengan hanya keramik in vivo. Akhir-akhir ini, penggabungan ion silikat dan seng, dalam
keramik TCP dan HA berturut-turut, dilaporkan memiliki sebuah pengaruh bermakna
pada osteogenesis in vitro dan in vivo (Kawamura dkk 2000; Ikeuchi dkk
2003; Porter dkk 2004b).
Simpulan dan
perspektif ke depan
Kalsium fosfat memiliki sifat-sifat intrinsik yang merangsang regenerasi
tulang. Namun, saat ini, mekanisme perangsangan mereka
masih terfahami tidak mencukupi. Potensi nanoteknologi yang diaplikasikan dalam
regenerasi jaringan telah mengunjukkan banyak jalan berbeda, mis., (i)
penggabungan gen-gen luminesen dalam sel-sel dan khewan (Cao dkk 2005; de Ber
dkk 2006), memungkinkan pencitraan molekuler langsung dan dengan demikian dapat
mengikutinya pada beberapa kali pada seekor khewan dan pada satu tipe
biomaterial; (ii) penyusunan-mikro biomaterial pada skala nano-liter (Anderson
dkk 2004) memungkinkan dilakukannya penyaringan ribuan biomaterial relevan
dalam sebuah pengurangan waktu yang bermakna, dan fasilitas; (iii)
peregulasian-nanotopografi permukaan diferensiasi sel (McBeath dkk 2004).
Perkembangan nanoteknologi lebih lanjut
yang diaplikasikan pada wilayah biomaterial, dan seluler dan molekuler
biologi akan memasilitasi wawasan yang lebih dekat dan pemahaman yang lebih
dalam pada level-level interaksi sel – biomaterial. Terimakasih diucapkan atas
kontribusi nanoteknologi yang memungkinkan kita berharap menerobos perkembangan
biomaterial dan scaffolds baru bagi
pengobatan defek tulang lebih efisien.