Jumat, 07 Desember 2012

Sulihan Tulang Berpengeresapan-Antibiotik dalam Bedah Orthopedi dan Trauma - Sebuah Tinjauan Sistematik Literatur

Abstrak
Terdapat beberapa pilihan untuk terapi antibiotik lokal pada bedah orthopedi dan trauma. Selama tahun-tahun lalu, penggunaan antibiotic-impregnated bone grafts (AIBGs) telah menjadi satu prosedur populer dalam mengobati berbagai infeksi tulang dan sendi. Keuntungan major AIBGs meliputi kemungkinan impregnasi (pengeresapan) bermacam-macam antibiotik bergantung pada profil sensitifitas dari organisme penyebab, di mana satu pembedahan ekstra bertujuan membuang pembawa antibiotik tidak dibutuhkan, sebagaimana pada penggunaan semen tulang berbebankan-antibiotik. Namun, simpulan umumnya tidak dapat dengan jelas tergambarkan dari literatur yang ada akibat dari keberbedaan dalam hal penggunaan macam jenis tulang, metode pengeresapan, antibiotik, dosisnya, situasi laboratorium, atau indikasi klinik. Tulisan ini meninjau literatur sehubungan dengan topik ini dan menyoroti beberapa pilihan ke tulang dan antibiotik, rincian pembuatannya, dan pengalaman klinik.

1. Pendahuluan
Kendatipun telah terdapat berbagai kemajuan dalam  penggunaan tindakan pencegahan, infeksi masih tetap merupakan sebuah komplikasi major dalam bedah orthopedi dan traumatologi. Bergantung pada pelokalisasian infeksi, saat manifestasi infeksi, kehadiran barang dari logam, organisme patogen, virulensinya, dan profil sensitifitas antibiotik, beberapa pilihan pengobatan telah tersedia, yang kebanyakannya terdiri dari revisi bedah, terapi antibiotik sistemik dan lokal.
Terdapat sejumlah perangkat untuk terapi antibiotik lokal. Idealnya, semua perangkat ini haruslah melepas konsentrasi antibiotik-tinggi sepanjang satu periode waktu yang berkepanjangan dalam rangka tidak hanya mengeradikasi infeksi namun juga mencegah timbulnya infeksi berulang yang disebabkan oleh bakteri yang mungkin bertahan hidup setelah konsentrasi antibiotik jatuh ke level-level subinhibitor. Umumnya, semua media ini dibagi menjadi biodegradabel (mis., spon kolagen) dan berupa media yang harus dibuang melalui satu tindakan pembedahan lanjutannya (mis., semen atau manik-manik pengatur jarak). Spon kolagen mengelusi antibiotik dengan memadai sepanjang 7 – 14 hari in vivo (1). Perangkat semen dapat melepas antibiotik hingga 30 hari setelah pengimplatasiannya, di mana majoritas jumlah pengelusian antibiotik terjadi dalam 48 jam pertama (2). Namun, pada tahun-tahun belakangan dijumpai meningkatnya jumlah kajian yang mengindikasikan bahwa bakteri mampu untuk melekat ke atau bahkan mengkolonisasi semen berbebankan-antibiotik sehingga membuat perhatian meningkat yang terkait dengan periode pengimplatasian yang berkepanjangan dan kemungkinan infeksi berulang atau persisten (3). Satu solusi yang mungkin adalah dapat berupa pemakaian peralatan biodegradabel dengan sifat-sifat farmakokinetik lebih unggul dibanding dengan spon kolagen, tetapi juga dengan pilihan dari pengeresapan tambahan antibiotik (antibiotik-antibiotik) tergantung pada organisme penyebab tertentu.
Sebagai wahana pembawanya yang mungkin dapat memecahkan permasalahan tersebut adalah tulang itu sendiri. Konsep dari mengeresapkan tulang dengan antibiotik bukanlah merupakan satu ide baru. De Grood adalah yang pertamakali melaporkan mencampurkan penisilin dengan tulang kanselus ketika ia mengisi defek tulang pada tahun 1947 (4). Dua pasiennya dengan berhasil terobati untuk sisa lobang akibat dari osteomyelitis. Walaupun ide ini kelihatannya menjanjikan, tidaklah demikian halnya perkembangannya hingga kemudian pada pertengahan tahun 80-an yang melaporkan lebih lanjut dalam berbagai penyajiannya pada berbagai pertemuan ilmiah berbeda tentang penggunaan cara-cara ini (5 – 7). Sejak itu, berbagai laporan telah dipublikasikan tentang pemakaian sulihan tulang berpengeresapan-antibiotik in vitro, khewan, dan dalam berbagai kajian in vivo.
Kendatipun popularitas pilihan pengobatan ini meningkat, simpulan umumnya masih tetap tidak dapat digambarkan dari literatur yang ada akibat dari keberbedaan tulang dan antibiotika yang digunakan, metode dan dosis pengerasapannya, situasi laboratorium, atau indikasi klinisnya. Oleh sebab itu, tujuan dari tulisan ini adalah meninjau literatur yang berhubungan dengan topik ini dan menyorot ke pada pilihan tulang dan antibiotik, rincian pembuatannya, dan pengalaman klinik.

2. Penyertaan Kajian
Satu penelusuran literatur sistematik dilakukan hingga 2010. Penelusuran istilah meliputi “bone (allo)graft(s)”, dan “antibiotic-loaded/impregnated”, sendiri-sendiri dan kombinasinya. Hanya artikel tentang bedah orthopedi dan trauma dievaluasi kecuali bagi artikel yang berasal dari fasilitas bedah lainnya tapi menyediakan informasi baru untuk topik ini. Dari kajian yang diambil awalnya, penelusuran lanjutannya dilaksanakan diseluruh bibliografi dari publikasi-publikasi yang teridentifikasi untuk memasukkan sebanyak mungkin kajian-kajian. Hanya publikasi berbahasa Inggris dimasukkan ke dalam proses peninjauan. Tulisan berupa tinjauan dan laporan kasus dikeluarkan dari kajian  kecuali jika mereka menyediakan informasi baru yang tidak dilaporkan dalam publikasi teridentifikasi lainnya. Seluruhnya sebanyak 35 kajian dapat diidentifikasi (7-41).

3. Pemilihan Sulihan Tulang
Berdasarkan pada pengalaman yang diperoleh dari pembedahan aseptik, sebagian terbesar kajian melapor tentang pemakaian sulihan tulang kanselus (Tabel 1). Disebabkan oleh telah dikenalnya sifat-sifat osteokonduktifnya, tulang kanselus membawa risiko teoretik pembentukan sekuester yang lebih rendah dibandingkan dengan tulang kortikal yang hal ini sangat penting dalam pengobatan infeksi tulang.
Bergantung pada indikasi bedah itu sendiri, pelokalisasian infeksi, ukuran defek tulang, dan kehadiran dari satu bank tulang internal, baik sulihan tulang otolog ataupun alogenik mungkin digunakan. Secara umum, terdapat tiga tipe sulihan tulang alogenik yang tersedia : (i) segar atau beku-segar, (ii) beku-kering, dan (iii) beku-kering terdemineralisasi. Kendatipun penggunaannya yang mendunia dari bermacam tipe sulihan tulang itu, tidak terdapat informasi apakah terdapat perbedaan yang terkait sifat-sifat farmakokinetik di antara kelompok-kelompok sulihan itu. Terlebih, adalah belum jelas apakah tidakan fragmentasi manual sulihan sebelum atau sesudah proses pengeresapan mungkin juga memiliki dampak teoretik pada sifat-sifat farmakokinetik dari AIBGs.

4. Pembebanan Antibiotik: Pemilihan Obat dan Metode Pengeresapannya
Pengetahuan tentang sifat-sifat farmakokinetik tulang itu sendiri demikian juga tentang kemungkinan pengaruh antibiotik yang tergabung terhadap sifat-sifat fisik tulang merupakan satu bahan pemikiran penting sebelum pemakaian klinik sulihan tulang berbebankan-antibiotik diputuskan. Secara teoritis, semua antibiotik mungkin cocok untuk pengeresapan tulang sepanjang mereka dielusikan hingga mencapai jumlah yang mencukupi. Sebaliknya dengan semen tulang akrilik, di mana panas akibat polimerisasi mengawali ke satu penginaktifasian agen-agen yang digabungkan (2), sifat-sifat fisik antibiotik tidak dipengaruhi oleh proses pengeresapan pada lokasi AIBGs.
Walau tidak terdapat tuntunan spesifik, pemilihan obat haruslah secara umum dibuat berdampingan dengan profil sensitifitas dari organisme patogen penyebab (bila diketahui sebelum operasi). Sebaliknya kalau itu tidak tersedia, satu perhitungan terapi antibiotik lokal haruslah dipakai, dalam hal ini harus efektif melawan organisme patogen yang sering pada bedah orthopedi (mis., Staphylococci). Laporan data literatur kebanyakannya tentang pembebanan-monoantibiotik. Informasi yang lebih terinci tentang topik ini didiskusikan kemudian pada tulisan ini.
Berkaitan dengan proses pengeresapan, banyak metoda dijelaskan dalam literatur. Beberapa penulis menggabungkan antibiotik dengan cara pencampuran manual, sementara yang lainnya menempatkan sulihan tulang ke dalam cairan berisikan-antibiotik untuk bermacam-macam periode waktu. Pada beberapa kasusnya, sulihan tulang yang dipanen telah dipersiapkan secara khusus sebelum tindakan pengeresapan antibiotik (34). Metode yang mana yang mengawali ke pada pengeresapan antibiotik yang paling tinggi, bagaimanapun, masih tetap belum diketahui.
Di samping bermacam metoda tersebut di atas, terdapat laporan tunggal telah mengindikasikan bahwa iontoforesis mungkin juga menjadi satu metoda baru untuk menggabungkan antibiotik ke dalam tulang (17, 24, 27). Di bawah kondisi-kondisi eksperimental, level-level tinggi gentamisin dan flukloksasilin dapat dilepas secara dini, di mana sejumlah yang cukup dapat dielusikan untuk satu periode hingga dua minggu dan antibiotik tetap aktif secara biologis (17).
Lebih lanjut, timbul perbedaan sehubungan dengan rasio antibiotik/sulihan tulang yang pas. Beberapa peneliti menentukan jumlah pengeresapan per kaput femur atau per gram tulang, di mana yang lainnya menentukan ini menurut volum tulang. Ini semua membuat satu usaha untuk melakukan pembandingan dari literatur menjadi sangat sulit. Secara intraoperatif, tulang yang terpanen mungkin bervariasi luas menurut luasnya atau tidak dapat diperbandingkan dengan sebuah kaput femur bergantung pada area panenan (mis., krista iliak anterior) disebabkan oleh perbedaan menurut struktur kanselus atau densitas tulang. Dengan demikian, untuk kajian lebih lanjutnya mungkin disarankan dalam penentuan jumlah antibiotik adalah disesuaikan dengan volum tulang yang digunakan yang dengan cara itu akan lebih mudah untuk menentukannya secara intraoperatif dibandingkan dengan berat tulang.

5. Sifat-sifat Farmakokinetik
Pengetahuan tentang kinetik elusi dari AIBGs merupakan pemikiran yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan dan pengobatan infeksi tulang dan sendi yang berhasil. Sejumlah publikasi menyediakan informasi sekitaran topik ini yang kebanyakan darinya adalah berupa kajian in vitro dan khewan.
Sebagai wahana pembawa pengeresapan-antibiotik lokal lain, seperti misalnya semen tulang, gentamisin dianggap merupakan antibiotik dengan sifat-sifat farmakokinetik yang paling baik (2). Namun, dalam kasus AIBGs, antibiotik lainnya telah terbukti unggul. Dalam satu kajian in vitro, Winkler dkk dapat mengunjukkan bahwa vancomycin secara bermakna lebih baik terelusi dari tulang kanselus dalam perbandingannya dengan tobramycin (34). Witsø dkk. menyelidiki kinetik pelepasan dari 8 antibiotik dari tulang kanselus dan melaporkan satu elusi hingga 21 hari dengan rifampicin yang terpanjang dan betalactamase yang terpendek (37). Kanellakopoulou dkk membandingkan elusi fusidic acid dan teicoplanin dari tulang kanselus in vitro (20). Sementara sulihan alogenik yang terresapi dengan fusidic acid dapat melepas konsentrasi tinggi untuk 20 hari pertama, sulihan alogenik yang terbebankan teicoplanin memerlihatkan konsentrasi rendah setelah 4 hari pertama.
Konsentrasi antibiotik terelusikan dari sulihan tulang terresapi-antibiotik adalah jauh melebihi dari pada wahana pembawa berbebankan-antibiotik lokal lainnya (11, 21, 34, 36). Kanellakopoulou dkk menentukan konsentrasi moxifloxacin tertinggi melebihi 4,500 μg/mL pada hari pertama di bawah kondisi eksperimental (21). Winkler dkk membandingkan in vitro kinetik elusi tulang kortikal dan kanselus diresapi dengan vancomycin dan tobramycin (34). Konsentrasi vancomycin awal tertinggi rata-ratanya adalah 20,900 μg/mL dan 5, 700 μg/mL secara berturut-turut (perbedaannya adalah bermakna). Pelepasan tobramycin secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan vancomycin. Buttaro dkk melaporkan konsentrasi vancomycin tertinggi sebesar 1,400 μg/mL dari sulihan tulang yang digunakan dalam pengobatan arthroplasti panggul terinfeksi (11). Untuk indikasi bedah yang sama, Winkler dkk dapat mengukur rerata level vancomycin dalam cairan drainase sebesar 535 μg/mL pada hari pertama pascaoperasi, menurun hingga 400 μg/mL pada hari ketiga (36). Walaupun konsentrasi lokal tinggi memenuhi syarat bagi berhasilnya eradikasi infeksi, harus diingat bahwa semua konsentrasi ini mungkin berhubungan dengan satu efek beracun yang menyertainya terhadap sel. Konsentrasi tinggi vancomycin telah dilaporkan sebagai pada dasarnya menurunkan replikasi osteoblas dan bahkan menyebabkan kematian sel (42, 43).
Dalam hal kombinasi antibiotik, satu efek sinergistik telah dijelaskan di antara aminoglycoside dan glycopeptide ketika dielusikan dari semen tulang akrilik (2). Efek ini mungkin muncul bagi satu kelompok antibiotik tunggal atau keduanya bergantung pada rasio antibiotik (2). Sepanjang yang diketahui, terdapat hanya satu kajian tunggal yang mencoba menyelidiki efek ini pada lokasi AIBGs. Witsø dkk. melaporkan bahwa jumlah vancomycin yang dielusikan dari sulihan terbebani-vancomycin-netilmicin secara bermakna menurun dibandingkan dengan sulihan yang dibebankan hanya dengan vancomycin, di mana pelepasan netilmicin adalah sama pada kedua kelompok (39). Apakah efek ini mungkin bervariasi bergantung pada rasio antibiotik dari kedua agen ini ataukah juga demikian adanya untuk kelompok antibiotik lainnya masih tidak jelas.
Rhyu dkk. menyelidiki apakah satu proses demineralisasi dapat memiliki sebuah dampak positif pada sifat-sifat farmakokinetik tulang kanselus berbebankan-vancomycin dan apakah penambahan darah akan bekerja sebagi sebuah penghalang biologis untuk mengontrol angka laju pelepasan obat (32). Para peneliti telah dapat mengunjukkan satu perbedaan bermakna sehubungan dengan jumlah serapan antibiotik di antara tulang demineral dengan yang tidak demineral. Lebih jauh, penambahan darah secara bermakna memperlambat elusi antibiotik selama 7 hari pertama in vitro.

6. Temuan Histopatologik, Radiografik, dan Imunohistokimia dalam Kajian-kajian pada Khewan
Sepanjang sebuah operasi sulihan tulang, biasanya terjadi satu penundaan di antara usaha untuk mendapatkan sulihan dengan pengimplantasiannya. Penundaannya dapat berrentang dari beberapa menit hingga beberapa jam. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan praktis berkenaan dengan berbagai efek buruk pada osteogenesis pada akhirnya: untuk berapa lama sulihan dapat dibiarkan tanpa menjadi rusak, lingkungan optimal untuk sulihan, dan berbagai efek merusak dari antibiotik terhadap sulihan dan bantalan sulihan. Gray dan Elves mencoba untuk menjawab semua pertanyaan ini pada sebuah kajian pada tikus (19). Peneliti ini dapat mengunjukkan bahwa serapan antibiotik yang digunakan memiliki perbedaan yang bermakna bergantung pada media yang digunakan juga periode waktu penyimpanan. Lebih jauh, pemakaian setiap persiapan antibiotik mengawali ke pada menurunnya sangat bermakna dalam indeks relatif osteogenesis dibandingkan dengan kontrol tanpa pengobatan. Temuan yang sama dapat memerlihatkan dalam pemeriksaan histologis dari semua sulihan ini, yang mengindikasikan satu penurunan dalam laju osteogenesis; namun, efek ini adalah bergantung-dosis antibiotik. Sebaliknya, Peri tidak dapat menentukan setiap perbedaan statistik dari aktifitas osteogenik di antara sulihan tulang bersuplementasikan-antibiotik dan kontrol mereka pada satu model babi (29). Dalam kajian ini, tulang demineralisasi memiliki satu serapan antibiotik yang lebih tinggi dibandingkan dengan sulihan alogenik mineralisasi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok berbebankan-antibiotik. Lebih jauh, sulihan demineralisasi merangsang lebih banyak pertumbuhan tulang dibandingkan dengan sulihan mineralisasi pada kelompok berbebankan-antibiotik.
Pada sebuah model anjing, Lindsey dan rekan-rekannya tidak dapat mengamati adanya perbedaan statistik dalam hal histologis, mikroradiografik, ataupun biomekanik setelah pengimplantasian sulihan tulang berbebankan–tobramycin dibandingkan dengan kelompok kontrol (25). Level serum tobramycin pada 24 dan 48 jam ditemukan di bawah level teraputik normal. Hal yang sama dengan itu, Buttaro dkk menyelidiki dalam satu kajian pada khewan babi, temuan radiografik, histopatologik, dan imunohistokimia setelah penggabungan sulihan tulang terresapi-vancomycin (10). Dibandingkan dengan kelompok kontrol di mana sulihan tulang alogenik tanpa antibiotik digunakan, peneliti di sini tidak dapat menentukan ada perbedaan statistik di antara kedua kelompok berdasarkan penyembuhan tulang radiografi, laju penggabungan sulihan, atau parameter-parameter histopatologik atau imunohistokimia yang sama lainnya. Konsentrasi antibiotik dapat mencapai hingga 220 kali MIC (minimum inhibitory concentration) pada satu rasio 1g vancomycin/300 g sulihan alogenik tulang. Sebaliknya, tetracycline yang didepositkan secara lokal diperlihatkan oleh Gudmundson dengan jelas menghambat penggabungan sulihan tulang (44).

7. Pengalaman Klinis
Dalam praktek klinik, AIBGs mungkin digunakan untuk profilaksis juga untuk tujuan pengobatan infeksi tulang dan sendi (Tabel 1). Pemakaian profilaktik dari sulihan tulang berbebankan-antibiotik untuk pencegahan infeksi luka setelah pembedahan orthopedi jarang sekali dibicarakan dalam literatur. Sepanjang yang diketahui, hanya terdapat dua buah kajian saja yang mencoba menyelidiki efek profilaktik ini pada laju infeksi pascaoperatif. Borkhuu dan rekan melaporkan satu penurunan bermakna dalam laju infeksi setelah pembedahan tulang belakang pada anak-anak dengan skoliosis karena palsi serebral setelah pemakaian lokal AIBGs dibandingkan dengan kelompok di mana sulihan tulang polos diinsersikan (dari 15% hingga 4%) (9). Khoo dkk. menentukan laju infeksi pada 31 kasus setelah insersi dari 34 sulihan alogenik segmental teriontoforesis pada lokasi dari berbagai macam pembedahan orthopedi penyelamatan anggota gerak (24). Tidak terdapat infeksi dini, walaupun dua infeksi lanjut terjadi yang diduga akibat proses hematogen pada masa ikutan rata-rata 51 (24-82) bulan. 28 dari 34 sulihan alogenik dipertahankan.

Table 1
Pengalaman klinis dalam hal pemakaian sulihan tulang berbebankan-antibiotik pada bedah orthopedi dan trauma.



Prihal pemakaian teraputik AIBGs, beberapa hasil sangat menggembirakan akhir-akhir ini telah dipublikasikan sekitaran penggunaan sulihan tulang berbebankan-vncomycin dalam pengobatan infeksi lanjut setelah penggantian sendi panggul total. Dalam laporan terakhir mereka, Winkle dkk. menemukan satu laju eradikasi infeksi sebesar 92% pada 37 pasien pada rerata ikutan selama 4 tahun setelah revisi tidak pakai semen satu-tahapan (36). Setelah revisi dua-tahapan pada 29 kasus, Buttaro dkk. dapat mengamati adanya laju infeksi berulang sebesar 3.3% pada rerata ikutan selama 32 bulan (11). Dengan berhasilnya pengobatan, ini mengawali mereka membuat usulan bahwa tulang terresapi-vancomycin dapat juga digunakan sebagai profilaksis antibiotik pada pasien-pasien yang menjalani revisi ganti sendi panggul total  untuk aseptic loosening. Hasil menggembirakan yang sama juga dilaporkan oleh English dan rekan setelah pemakaian sulihan tulang berbebankan-vancomycin, -gentamicin, atau –flucoxacillin (18).
Dalam karya lainnya oleh Buttaro dkk. (12), mereka memiliki kesempatan untuk mengevaluasi secara histologik tingkah laku semua sulihan alogenik ini dalam satu rekonstruksi femur dan asetabuler. Kedua pasien menderita fraktur periprostetik yang mesti direvisi. Mikroskopi pembesaran rendah memerlihatkan tiga area pada kedua spesimen biopsi. Tulang laminer dan periosteum yang normal secara histologis teramati pada area eksternal. Tulang trabekuler viabel dengan polymethylmetacrylate teramati pada area tengah spesimen, juga kadang makrofag, yang barangkali dalam responnya terhadap partikel semen. Pulau-pulau tulang nekrotik kecil teramati dalam wilayah ini. Teramati sejumlah bervariasi jaringan fibrotik mengelilingi tulang ini, juga limfosit dan sel plasma. Area interna memerlihatkan fragmen tulang nekrotik dan vabel, yang diinterpretasikan sebagai tergabungnya sulihan tulang. Fragmen tulang trabekuler nekrotik kecil-kecil secara bertahap digantikan oleh tulang baru viabel, dijelaskan sebagai creeping substitution, menyarankan bahwa tulang nekrotik adalah sulihan alogenik. Inflamasi akut atau wear debris tidak ada bukti. Berdasarkan atas semua temuan ini, peneliti menyimpulkan bahwa level-level tinggi vancomycin tidak memengaruhi penggabungan sulihan tulang dalam sebuah setingan klinik.
Di samping penggunaannya yang menjanjikan dari yang tersebut dalam pengobatan pembedahan orthopedi infeksi, hasil yang memuaskan yang sama telah dipublikasikan dari pembedahan trauma. Chan dan rekan mengevaluasi dalam laporan terakhir mereka 96 pasien yang diobati untuk non-union tibia terinfeksi (15). Semua pasien ditangani dengan terapi manik-manik antibiotik lokal dan pengeresapan-antibiotik berjenjang (n = 46) atau dengan sulihan tulang kanselus otogen murni (n = 50). Pada kelompok pertama, laju eradikasi infeksi adalah sebesar 95% pada rata-rata pengikutan selama 4.8 tahun, di mana pada kelompok kedua lajunya adalah 82% pada rata-rata pengikutan selama 4.5 tahun (berbeda bermakna). Laju penyatuan tulangnya adalah 100% pada kelompok pertama dan 98% pada kelompok kedua, berturut-turut. Dalam satu laporan yang sama, Chen dkk. (16) dapat mengamati satu laju eradikasi infeksi sebesar 100% pada 18 pasien yang menderita defek tibia terinfeksi kecil pada sebuah rata-rata pengikutan selama 48 bulan setelah penyulihan tulang terresapi-vancomycin (16). Penyatuan tulang tercapai dalam 72% kasus pada rata-rata 5.8 bulan. Peneliti mengaitkan laju penyatuan tulang yang bermutu lebih rendah ini dibandingkan dengan hasil-hasil dari Chan dkk. (15) dengan dosis vancomycin yang digunakan lebih rendah.
Terdapat sebuah kajian tunggal yang melaporkan pemakaian klinik sulihan xenogenik dalam pengobatan osteomyelitis kronik. Seber dkk. menyajikan tujuh kasus yang dapat dengan berhasil diobati dengan memakai sulihan xenogenik berbebankan-gentamicin pada satu rata-rata pengikutan selama 3.5 tahun (33) Peneliti ini menyebutkan bahwa walaupun kemampuan osteogenik sulihan xenogenik bermutu lebih rendah dibanding dengan tulang otolog, dalam beberapa kasus adalah tidaklah mungkin mengisi lobang bsar dengan sulihan otolog, dan angka kesakitan dari lokasi donor mungkin mengikuti.
Dalam beberapa kasus dengan kehilangan tulang masif akibat dari infeksi kronik, ahli bedah seringkali memiliki kemungkinan langkah rekonstruktif terbatas. Pemakaian sulihan alogenik struktural mungkin menjadi sebuah penyelesaian yang memungkinkan karena sulihan alogenik ini dapat tetap menjaga jaringan lunak dan prostese revisi konvensional dapat tetap digunakan. Di sisi lainnya, perhatian mungkin meningkat karena sulihan alogenik pasti avaskuler selama periode pascaoperatif dini dan membawa risiko tinggi kolonisasi bakterial, dan, karenanya, memunculkan infeksi klinik. Namun, Michalak dan rekan dapat mengunjukkan bahwa pemakaian sulihan alogenik segmental teriontoforesis mungkin menjadi satu pilihan efektif dalam menangani infeksi pada arthroplasti revisi (27). Dua belas pasien menjalani revisi dua-tahap untuk infeksi dengan  major uncontained bony defect diobati dengan pengimplantasian sulihan alogenik struktural yang dibebankan dengan gentamicin dan flucloxacillin lewat iontoforesis. Pada rerata pengikutan 47 bulan tidak satupun pasien menjadi terinfeksi ulang dan seluruh sulihan alogenik tetap in situ, yang memberikan satu laju penahanan sulihan alogenik sebesar 100%. Hanya dalam satu kasus, tindakan penyulihan tulang lanjutan dilakukan akibat dari non-union 26 bulan setelah pembedahan pertama.

8. Perlekatan Bakterial
Walaupun tulang otolog merupakan standar emas untuk restorasi tulang, morbiditas lokasi donor dan terbatasnya volum tulang telah mengawali ke pada meningkatnya penggunaan tulang sulihan alogenik. Sebagai ilustrasi, sedikitnya 800,000 transplantasi sulihan alogenik tulang dilakukan setahunnya di Amerika Serikat (23). Kendatipun profilaksis antibiotik telah meluas sedemikian rupa, insiden kolonisasi sulihan yang dilaporkan masih tetap pada rentangan 4% hingga 12% (23). Seperti implan metalik, sulihan alogenik bekerja sebagai badan-badan asing yang sangat berpori, nonseluler, dan avaskuler yang mudah sekali mengalami pengadhesian bakteri. Sekali bakteri melekat, mereka menyekresi matriks glikokaliks tebal menyebabkan mereka tidak sampai terawasi oleh sistim imun dan mekanisme pertahanan seluler lokal (23). Sebagai tambahan atas soal ini, kolonisasi bakterial dapat juga terjadi pada AIBGs ketika antibiotik dielusikan dalam jumlahnya yang tak mencukupi (di bawah MIC) dan bakteria bertahan hidup kendatipun konsentrasi antibiotik-tinggi pada awalnya sudah tersedia. Lebih lanjut, tipe juga lokasi donor mungkin juga mengawali timbulnya laju kontaminasi berbeda.
Ketonis dan rekan mencoba untuk menilai sifat-sifat antimikroba in vitro dari sulihan alogenik tulang melawan satu strain S. aureus (23). Tiga kelompok diujikan dalam kajian ini: tulang dengan antibiotik, tulang di mana vancomycin ditambahkan sebagai cairan 12 jam setelah kontaminasi bakterial awal, dan tulang dibebankan dengan vancomycin dari sejak semula. Sulihan alogenik berpengeresapan-vancomycin mengunjukkan secara bermakna sifat-sifat antibakterial yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Peneliti dapat mengamati bahwa S. aureus berkemampuan melekatkan diri dan menginisiasi pembentukan biofilem dalam 6 jam. Kelihatannya bahwa kolonisasi bakterial dipotensiasikan oleh keadaan alami tulang yang berpori yang menyediakan bakteri dengan niche terlindungi secara topografi di mana mereka dapat menempel, berproliferasi, dan membentuk sebuah biofilem dewasa.

9. Toksisitas Sistemik
Idealnya, pembawa antibiotik lokal haruslah melepas konsentrasi antibiotik-tinggi yang dengan jauh melebihi apa yang dicapai setelah pemberian secara sistemik dengan toksisitas sistemik yang rendah atau tidak ada. Adalah telah dikenal bahwa walaupun perlatan berbebankan-antibiotik lainnya seperti semen tulang akrilik dianggap aman, satu risiko tersisa masih tetap ada (45).
Sehubungan dengan toksisitas sistemik AIBGs, data literaturnya langka. Pada 1986, McLaren dan Maniaci menyajikan satu kajian in vivo yang menggali keefektifan pengiriman antibiotik dengan memakai sulihan tulang kanselus morselized sebagai sebuah wahana untuk tobramycin bentuk bedak (5). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan lokal dengan manik-manik antibiotik dapat dicapai hingga 3 minggu tanpa konsentrasi serum toksik. Pada 1988, McLaren kembali menemukan konsentrasi rendah antibiotik dalam serum dan urin, kendati level-level jaringan lokalnya tinggi (6). Temuan ini  memicunya untuk merekomendasikan sulihan tulang kanselus berpengeresapan-tobramycin sebagai sebuah metode efektif untuk merekonstruksi secara akut kehilangan tulang pada fraktur-fraktur terbuka.
Witsø dkk. mengkaji konsentrasi sistemik setelah insersi lokal sulihan tulang berbebankan-netilmicin, -vancomycin pada satu model kelinci (39). Pada khewan yang dioperasi dengan pengimplantasian tulang berbebankan-netilmicin, rerata konsentrasi puncak adalah 4.2 (3.7-4.7) μg/mL 2 – 3 jam pascaoperatif, pada mana yang dengan vancomycin tidak dapat dideteksi sama sekali dalam serum. Winkler dkk. dapat mengukur satu rerata level serum pascaoperatif dari vancomycin sebesar 0.2 (0.0-1.8) μg/mL pada hari pascaoperatif pertama (36). Pada 37 kasus fungsi ginjal tidak memerlihatkan perubahan luar biasa apapun pascaoperatif. Seber dkk. menentukan level urin gentamicin setelah penginsersian sulihan xenogenik berbebankan-gentamicin dalam mengobati osteomyelitis (33). Level rerata pada 24 jam adalah 4 μg/mL, menurun di bawah level efektif sebesar 0.5 μg/mL setelah 8 hari. Tidak satupun kasus akibat nefrotiksisitas atau ototoksisitas dapat diamati.

Selasa, 20 November 2012

Etiologi Osteoarthritis Sendi Panggul: Sebuah Konsep Mekanik Terintegrasi





Abstrak
Etiologi osteoarthritis (OA) sendi panggul telah lama dipertimbangkan timbul sekunder (misal, akibat kelainan kongenital atau deformitas perkembangan) atau primer (dianggap  dari beberapa abnormalitas yang melandasi rawan sendi).  Informasi akhir-akhir ini mendukung hipotesis yang disebut OA primer adalah juga sekunder terhadap abnormalitas perkembangan yang tak kentara dan mekanisme dalam kasus ini adalah tumbukan femoroasetabuler lebih dari pada stres kontak berlebih. Lokasi yang paling banyak untuk tumbukan femoroasetabuler adalah area tepi lingkar anterosuperior dan gerakan yang paling genting adalah rotasi internal panggul dalam keadaan fleksi 900. Dua tipe tumbukan femoroasetabuler telah diidentifikasi. Tumbukan femoroasetabuler tipe bubungan (cam-type), lebih lazim pada pasien pria muda, disebabkan oleh sebuah patomorfologi penyeimbang di antara kepala dan leher femur dan menghasilkan sebuah delaminasi outside-in asetabulum. Tumbukan femoroasetabuler tipe penjepit (pincer-type), lebih lazim pada wanita usia pertengahan, dihasilkan oleh satu benturan yang lebih linier di antara liputan berlebih lokal (retroversi asetabulum) atau liputan berlebih umum (coxa profunda/protrusio) dari asetabulum. Pola kerusakannya lebih terbatas pada tepian lingkaran dan proses degenerasi sendinya lebih lambat. Kebanyakan panggul, bagaimanapun, memerlihatkan pola tumbukan femoroasetabuler campuran dengan tipe bubungan yang paling berpengaruh. Upaya pembedahan untuk mengembalikan anatomi normal guna menghindari tumbukan femoroasetabuler harus dilakukan dalam stdium dini sebelum kerusakan rawan sendi terjadi.

Pendahuluan
Empat dekade yang lalu, Murray (46) menyarankan sebuah hubungan di antara deformitas agak tak kentara dari femur proksimal, yang disebutnya dengan “tilt deformity”, dengan menyusulnya perkembangan OA sendi panggul (46). Karena hanya radiograf AP yang tersedia, deformitas ini tidaklah sepenuhnya dikarakterisasikan, namun filem AP menyarankan sebuah deformitas berderajat ringan terjadi seringkali setelah slipped capital femoral epiphysis (SCFE) minimal. Kelihatannya ini meramalkan perkembangan OA sendi panggul di kemudiannya (22)(Gambar 1).


Gambar 1A-D
Radiograf AP dari (A) panggul normal dan tiga bentuk dari abnormalitas terkait dengan SCFE ringan disebut (B) ‘flattening”, (C) ‘bump”, dan (D) “hook” (Harris WH. Etiology of osteoarthritis of the hip. Clin Orthop Relat Res. 1986;213:22).


 Gambar 2
Perbandingan deformitas ringan dari femur proksimal sekunder dari sebuah SCFE yang dikenali dengan garis luar dari gagang sebuah pistol. Karena kesamaannya, semua tipe deformitas femur proksimal ini disebut “deformitas gagang pistol (pistol grip deformities)”. (Stulberg SD, Unrecognized childhood hip disease: a major cause of idiopathic osteoarthritis of the hip. In: Cordell LD, Harris WH, Ramsey PL, MacEwen GD, eds. The Hip: Proceedings of the Third Open Scientific Meeting of the Hip Society. St Louis, MO: CV Mosby; 1975:212–228).

Dirangsang oleh pengamatan Murray, Solomon dan koleganya di Afrika Selatan (54-58) dan Harris dan koleganya di Amerika Serikat (20-22, 61, 62) memerluas saran aseli Murray. Dari ketiga set pengamatan, tumbuh sebuah hipotesis kontroversiil tentang etiologi OA panggul (20-22, 54-58, 61, 62): teori mengusulkan banyak kasus OA sendi panggul yang sebelumnya dipertimbangkan sebagai “primer” atau “sekunder” adalah, sesungguhnya, disebabkan oleh deformitas perkembangan minor yang sebelumnya tidak dikenali atau diabaikan dan semua deformitas ini menyebabkan arthritis berkembang dari apa yang saat ini disebut tumbukan femoroasetabuler (FAI, femoroacetabuler impingement).
Tinjauan ini mengintegrasikan hipotesis usulan ini untuk pertamakalinya tentang etiologi OA panggul ke dalam konsep FAI yang diusulkan oleh Ganz dkk akhir-akhir ini (17).
Riwayat perjalanan Teori
Teori yang baru pertama-tama membutuhkan satu set ekstensif kriteria pengecualian: penyakit inflamasi seni panggul (seperti arthritis rheumatoid, spondilitis ankilosa, sindrom dari Reiter, atau lupus) juga penyakit kalsium pirofosfat, hiperostosis skeletal idiopatik difus, pirai, dan hemokhromatosis. Juga mengenyampingkan osteonekrosis dan fraktur sekitar sendi, termasuk fraktur asetabulum, kaput femur, dan leher femur. Hal yang sama, kasus-kasus yang merusak rawan sendi dari infeksi atau sebagai hasil dari penetrasi sebuah peralatan fiksasi ke dalam ruang sendi disisihkan. Satu set pengecualian ini penting untuk memersempit definisi OA sendi panggul terhadap semua penyebab yang timbul di dalam sendi itu sendiri tanpa penyebab-penyebab inflamasi, trauma, dan metabolik yang tak ada kaitannya, seperti OA yang dapat terjadi setelah sebuah kerusakan septik dini atau setelah arthritis rheumatoid yang telah merusak sendi pada saat muda dan kumat sebagai sebuah proses rheumatoid aktif.
Kedua, di dalam kelompok pendefinisian ulang ini, beberapa pengamatan kunci tambahan dibuat. Jelasnya, banyak kasus OA sendi panggul dihasilkan dari deformitas perkembangan atau didapat yang parah dari sendi panggul yang terjadi pada masa bayi atau anak-anak. Anak-anak dengan displasia perkembangan menghasilkan sebuah artikulasi asetabuler hipoplastik berpasangan dengan sebuah kaput femur yang berubah bentuk seringkali berkembang menjadi arthritis panggul progresif dan parah pada usia remaja lanjut atau usia dewasa muda. Hal yang sama, beberapa pasien dengan SCFE atau penyakit LCP parah dapat menimbulkan OA lanjut. Adalah disetujui secara umum bahwa OA panggul dalam semua contoh ini adalah terhubug secara kausal dengan deformitas berat. Sebaliknya, fokus dari konsep baru ini mengalamatkan semua penyebab sisa dari OA panggul pada mana deformitas dipertimbangkan ringan, enteng atau bahkan, pada mata pengamat umum, tidaklah kelihatan. Pada masa lalu, kasus-kasus seperti itu umumnya dipertimbangkan sebagai “primer” (yakni, tanpa etiologi dikenal).
Demikianlah, dalam kelompok pasien yang dengan deformitas ringan inilah hipotesis ini berkembang. Hasil kerja Murray (46) menyarankan OA panggul dapat berkembang  dari deformitas sekunder yang sedikit tak kentara, yang kadangkala tak dikenali pada waktu sebelum ini yang terjadi sebelum sepenuhnya skelet mendewasa. Sebuah contohnya adalah perkembangan OA panggul sekunder dari SCFE ringan, tak diketahui, dan tak terobati. Harris dan Solomon dan teman-teman kerjanya memaparkan data longitudinal tambahan tentang kasus-kasus yang dicatat dari penyakit panggul perkembangan yang ringan yang tak diketahui, sebagai tidak normal oleh ahli radiologi dan ahli bedah tulang, yang mengawali menjadi OA panggul bertahun-tahun sesudahnya (20-22, 54-58, 61, 62). Kondisi-kondisi yang mengawali yang menyumbang bagi berbagai deformitas tak kentara ini adalah displasia panggul perkembangan, SCFE, LCP, displasia epipiseal multipel, dan displasia spondiloepipiseal.
Konsep ini kemudian disokong dalam analisis retrospektif dari pasien-pasien yang memaparkan OA panggul pada usia dewasanya, yang tidak dengan satupun kondisi yang disisihkan, kepada siapa radiograf pendahuluan tersedia untuk analisis setelah usia dewasa tercapai, namun sebelum setiap tanda-taanda radigraf arthritis kelihatan. Dari semua studi ini, satu pengamatan menyolok dibuat: 79% dari kasus memiliki gejala tak kentara namun jelas dari sebuah abnormalitas perkembangan yang melandasi (21, 61, 62).
Di atara para wanita, keadaan displasia yang tak diketahui dan tak diobati yang menonjol (61). Di antara pria, abnormalitas dominannya adalah femur, bukan asetabuler, dan memiliki karakteristik dari deformitas “tilt” pada radiograf AP (62). Ketika dinilai menggunakan tiga pandangan radiografik (AP, frog lateral, dan crosstable lateral), deformitas femoral ini lebih penuh terjelaskan dan dinamai sebagai deformitas “pistol grip” (21, 62). Kajian-kajian ikutan longitudinal terinci yang berjangka panjang mengonfirmasi konfigurasi karakteristik dari kaput dan leher femur ini dapat dihasilkan oleh beberapa penyebab, sebut saja SCFE, penyakit LCP, displasia epifisela multipel, dan displasia spondiloepifiseal. Deformitas femur yang sama juga muncul pada banyak pasien, baik laki maupun perempuan, yang memiliki displasia asetabuler perkembangan. Jadi, deformitas femur yang sering ini dapat muncul baik yang dengan ataupun tanpa sebuah displasia asetabuler. Terlebih lagi, sebagaimana telah diketahui, kajian longitudinal memerlihatkan beberapa kasus penykit LCP yang mulai sebagai satu abnormalitas femur murni menghasilkan satu deformitas pistol grip dapat secara sekunder mengawali ke pada deformitas asetabuler (21, 61, 62).
Jadi, konsep ini diperkuat oleh pembuktian dari kajian longitudinal mengikuti kasus-kasus displasia perkembangan panggul yang telah dikenal, SCFE, dan penyakit LCP masuk ke usia dewasa maupun dari kajian retrospektif dari kasus-kasu orang dewasa dengan OA, yang memerlihatkan sebuah hubungan kuat di antara semua deformitas panggul ini sebagai hasil dari berbagai kondisi infantil, anak-anak, dan usia remaja dan kelanjutannya berupa OA panggul dewasa.
Sebuah kajian retrospektif dari kasus-kasus orang-orang Kaukasia di Amerika Serikat menyarankan sebanyak 79% dari kasus OA dewasa dihubungkan dengan semua deformitas ini, dan ketika sisanya yang sebanyak 21% kasus lebih lanjut diperiksa dalam rentangan waktu lebih lama, satu tambahan sebesar 10% kasus memiliki atau kemudiannya mengembangkan tanda-tanda arthritis rheumatoid, hemokhromatosis, atau penyakit kalsium pirofosfat (21). Jadi, setelah menghilangkan kondisi-kondisi yang dikecualikan sebagaimana terdaftar di atas yang mengawali ke pada berbagai perubahan degeneratif dalam sendi panggul, sedikitnya 90% kasus dari OA panggul orang dewasa dikaitkan dengan beberapa abnormalitas perkembangan.
Solomon dkk. (54-58) membuat pengamatan yang sama pada orang-orang Kaukasia yang hidup di Afrika Selatan. Terlebih, mereka membuat pengamatan relevan lainnya. Mereka menemukan satu insiden OA panggul yang lebih rendah secara jelas pada orang-orang Afrika di Afrika Selatan dibandingkan dengan ras Kaukasia. Keberbedaan ini juga berkaitan dengan sebuah insiden lebih rendah dengan jelas dari mereka-mereka yang terkait kondisi-kondisi perkembangan yang terdaftar di atas, kondisi yang adalah umum di antara anak-anak dan remaja ras Kaukasia di Afrika Selatan namun tidak umum di antara orang-orang Afrika. Semua perbedaan paralel pada orang Afrika ini selanjutnya menyarankan sebuah peran kausal dari deformitas perkembangan panggul dalam mengawali ke pada OA panggul dewasa (55). Hubungan di antara berbagai deformitas perkembangan dengan kelanjutan timbulnya OA selanjutnya diperkuat oleh pengidentifikasian oleh Solomon dan sejawat sekerjanya berupa dua buah “komunitas orang Afrika yang terisolasi secara geografik pada siapa OA panggul umum terdapat secara tak terduga; pada keduanya, terdapat juga satu insiden yang tinggi displasia panggul” (56).
Adanya hubungan di antara bermacam deformitas perkembangan dengan OA panggul tidaklah merupakan hal baru. Selama puluhan tahun, banyak kasus OA panggul telah disebut “sekunder”, sebagai contoh, sekunder terhadap displasia parah. Perbedaannya di sini terletak pada konsep baru bahwa deformitas yang lebih tak kentara, seringkali tak dikenali di masa lalu sebagai deformitas berarti, dapat menimbulkan OA panggul (Gambar 3). Hipotesis ini mengusulkan hampir seluruhnya, kalo bukan seluruhnya, OA panggul adalah sekunder, seringkali sekunder terhadap displasia tak kentara namun nyata dan umumnya terlewatkan, diabaikan, atau tidak dikenali atau deformitas gagang pistol.


 Gambar 3A-C
(A) FAI diperlihatkan pada seorang pria berusia 34 tahun dengan penampakan radiograf AP yang normal. (B) Kaput femur nonsferik menyebabkan berkurangnya offset pada leher femur dan predisposisi menjadi FAI tipe bubungan nampak pada radiografi lateral. (C) Pindaian MRI mengonfirmasi robekan labral dan cedera khondral sebagai hasil dari FAI (Ganz R, Parvizi J, Beck M, Leunig M, Nötzli H, Siebenrock KA, Femoroacetabular impingement. Clin Orthop Relat Res. 2003;417:115).

Permasalahan dengan Teori
Sementara data penyokongaan hipotesis ini kelihatannya kuat, beberapa potongan kritis masih hilang. Pertama adalah konfirmasi klinis. Kajian radiografik berskala besar dari orang-orang usia muda tak bergejala yang mendokumentasikan persentase orang-orang dengan semua abnormalitas perkembangan dapat secara potensiil menyediakan bukti yang mengonfirmasi. Kajian ikutan jangka-panjang longitudinal prospektif dapat mengunjukkan kekuatan prediktif positif dan negatif dari hipotesis. Kajian dari lingkup kelainan ini akan menyumbang bagi pertanyaan penting seperti  “apakah pasien-pasien yang dengan semua abnormalitas ini selalu mendapatkan OA?” dan “apakah semua deformitas ini satu-satunya menyebabkan OA?”
Potongan kedua dari data hilang itu adalah mekanisme dengan mana beberapa dari semua abnormalitas tak kentara ini, sebagai contoh, deformitas-deformitas kaput, kaput-leher, atau leher femur yang tak kentara mengawali timbulnya OA. Sebaliknya dengan pertanyaan ini dalam hubungannya dengan deformitas minor, pada kasus-kasus dengan deformitas parah, area kontak sendi secara tiikal adalah berkurang dengan distorsi asetabulum atau kaput femur atau keduanya dan sehingga riwayat tekanan kontak pada rawan sendi meningkat. Namun, tidaklah dipercaya sebuah pengurangan major dalam area kontak akan merupakan satu penjelasan memuaskan dalam semua kasus deformitas tak kentara ini, sebagai contoh, dalam kasus dengan satu kondisi kontur asetabuler normal dengan hanya satu kontur kaput-femur yang abnormal ringan.
Potongan yang hilang ketiga adalah, dan mungkin yang terpenting bagi pasien dengan abnormalitas tak kentara, adalah cara untuk menangani deformitas dan menghentikan atau memerlambat proses. Bila semua deformitas ini secara kausal berkaitan dengan pembangkitan OA, apa yang harus dilakukan, pembedahan ataukah sebaliknya, yang dapat memerlambat atau mengeliminasi progresi penyakit di bawah keadaan risiko yang cukup rendah yang intervensi dini seperti itu akan dibenarkan?
Jadi, hipotesis ini bersandar pada sebuah keadaan tak tentu selama 40 tahun, belum dikonfirmasi dan belum menggoda dalam usulan mungkinnya bahwa apakah mekanisme proses osteoarthritik dari semua deformitas ini dapat dimapankan, sehingga satu solusi untuk menghambat kerusakan progresif mungkin diciptakan.

Bukti Terkini Dalam Menyokong Teori
Dua buah perkembangan terkini menguatkan hipotesis dan memainkan satu peran prediktif dalam mengonfirmasi hipotesis. Dua buah kunci perkembangan itu adalah (1) pengakuan akan mekanisme untuk berkembangnya OA panggul yang disebabkan oleh deformitas ringan dan (2) kemungkinan bahwa pengoreksian dari mekanisme itu dapat menghambat perkembangan OA.
Dirintis pertamakali dan dirangsang oleh Ganz dan sejawat sekerjanya (4-6, 12, 14, 16-18, 23, 24, 30-36, 39-41, 47, 52, 53, 60, 66), dan sekarang dikonfirmasikan oleh bermacam pengamatan dari banyak pusat-pusat penelitian di seluruh dunia (1-3, 7-11, 19, 25, 27, 28, 42, 43, 45, 48-51, 59, 63-65, 68, 69), sebuah mekanisme telah ditetapkan yang menjelaskan bagaimana semua abnormalitas perkembangan tak kentara ini berpengaruh buruk pada sendi dan menyebabkan OA dalam banyak kasus. Mekanisme dominannya adalah FAI yang terinduksi oleh gerakan dari panggul yang terbatasi baik. Pada semua kasus dari deformitas parah sendi panggul sekunder terhadap abnormalitas perkembangan, maka mekanisme OA nya adalah riwayat stres kontak berlebih pada rawan sendi sekunder untuk mengurangi area kontak. Hal ini tidaklah demikian adanya untuk deformitas tak kentara yang menghasilkan FAI karena area kontak tidak dikurangi. Pengakuan akan mekanisme penting ini, bagaimanapun, tidak dapat dilakukan hingga setelah teknik bedah pendislokasian panggul bisa dieksekusi tanpa risiko nekrosis avaskuler dan telah dikembangkan dalam satu cara yang menghasilkan morbiditas sedikit atau tidak sama sekali dari prosedur (15, 16, 18). Bedah pendislokasian sendi panggul memungkinkan tidak hanya untuk pengamatan in situ proses FAI namun juga untuk memertalikan bermacam pola kerusakan di dalam sendi terhadap berbagai morfologi FAI berbeda (4). Walaupun FAI dapat terjadi di manapun sekitar sendi femoroasetabuler, lokasi paling sering adalah anterolateral dan dihasilkan oleh gerakan rotasi internal femur dalam posisi fleksi.
Dua tipe FAI berbeda telah diidentifikasi (Gambar 4). Yang pertama adalah ditandai oleh benturan linier tepian asetabuler terhadap persimpangan kepala-leher femur dalam satu liputan berlebih lokal (misalnya, retroversi asetabuler) atau global (mislnya, coxa profunda atau protrusio) dari asetabulum; sehingga dengan demikian disebut FAI menjepit/pincer. Tipe kedua terjadi dengan macetnya satu ekstensi nonsferik kaput femur ke dalam kavitas asetabuler; dengan demikian disebut FAI bubungan/cam (17). Kedua abnormalitas morfologi adalah sering dan kerap kali berkombinasi (4). Dengan retroversi asetabulum, spina iskhium pada kebanyakan kasusnya tampak dalam kavitas pelvis (26), yang menyarankan satu abnormalitas rotasional sejati dari asetabulum. Nonsferisitas kaput femur kebanyakannya berlokasi anterolateral dan dengan demikian not necessarily kelihatan pada rdiograf AP (44). Manakala ia kelihatan pada radiograf AP, ia dikenal sebagai deformitas gagang pistol (pistol grip deformity) (62). Ekstensi nonsferik kaput femur seringkali akibat dari satu abnormalitas epifisis kaput femur (53) dan di selimuti oleh kartilago hyalin (66), Namun, metafisis pada SCFE (37, 38), juga deformitas yang lainnya dari femur proksimal seperti penyakit LCP (13) atau jika tidak dari retrotilt fraktur leher femur yang sembuh sempurna (12), dapat juga menghasilkan sebuah FAI tipe bubungan.


Gambar 4A-D
Diagram mengilustrasikan mekanisme kerusakan sendi pada FAI yang diajukan. (A) Pada FAI tipe penjepit (pincher), benturan linier akibat dari liputan berlebih terjadi anterior. Pembatasan anterior yang persisten dengan pengaruh pengumpilan kronik dari kaput femur pada asetabulum kadangkala menghasilkan cedera khondral pada regio “contrecoup” dari asetabulum postero-inferior. (B) Pada FAI tipe bubungan (cam), pertemuan kaput/leher femur yang menonjol (C) macet di dalam asetabulum menyebabkan kerusakan kartilago perifer saat fleksi dan rotasi interna (D) (Lavigne M, Parvizi J, Beck M, Siebenrock KA, Ganz R, Leunig M, Anterior femoroacetabular impingement. Part I. Techniques of joint preserving surgery. Clin Orthop Relat Res. 2004;418:71).

Pola kerusakan dari FAI tipe penjepit dan tipe bubungan adalah berbeda secara mendasar ketika satu dari kedua tipe muncul sebagai sebuah deformitas terisolasi (Gambar 5). Pada FAI tipe penjepit, struktur pertama yang akan gagal adalah labrum, memerlihatkan intrasubstance fissuring dan pembentukan intrasubstance ganglion. Dengan berjalannya waktu, aposisi tulang terjadi pada tepi tulang dekat labrum, mendorong labrum kearah depan. Labrumnya sendiri menjadi lebih tipis dan menipis terus hingga ia akhirnya tidak lagi dapat dibedakan. Aposisi tulang terlihat pada MRI (67) juga pada radiografi baku sebagai sebuah garis ganda dari tepian yang terlibat; begitu saja, meningkatkan tubrukan (impingement). Kartilago asetabuler sekitar labrum yang terlibat mengalami degenerasi, namun menimbulkan strip lebih tipis. Dengn berjalannya waktu, area terdampak pada leher femur memerlihatkan sebuah pembentukan kalus berbentuk mirip pelana dengan ulserasi sentral dari periosteum. Kartilago kaput femur tetap tk ikut terlibat hingga periode yang lama; hanya pada proses lanjut akan terjadi abrasi pada bagian posteroinferior sendi, pada kaput, dan/atau pada asetabulum yang disebut “countercoup lesion”(4).


 Gambar 5A-B
Fotograf intraoperatif memerlihatkan kerusakan kartilago asetabuler selama pengobatan pasien dewasa muda menderita FAI. (A) Pada FAI tipe penjepit, benturan linier menyebabkan kerusakan labral yang cukup besar, sementara pada fase dini kartilago sekitarnya masih tetap utuh. (B) Sebaliknya, FAI tipe bubungan seringkali menunjukkan lesi-lesi kartilago berbentuk belahan mirip kelopak (flaplike) yang menjorok dalam dari tulang subkhondral sejak awal penyakitnya.

Sebaliknya dengn FAI tipe bubungan terisolasi, labrum masih tetap tak terlibat hingga jangka waktu agak panjang. Apa yang terlihat pada MRI sebagai ruptur dari labrum adalah nyatanya adalah sebuah avulsi kartilago asetabuler dari labrum dan kemudian dari tulang subkhondral. Sebuah pecahan kartilago seperti itu dapat menjadi sedalam 2 cm dan akan hancur dengan berjalannya waktu. Manakala area yang terlibat cukup luas, kaput femur dapat bermigrasi ke dalam defek, yang mana itu dapat terlihat pertamakali pada MRI dan tidak begitu terlihat kemudiannya pada radiografi konvensional sebagai penyempitan ruang sendi. Demikianlah bahwa kartilago dari porsi sferik kaput (area penopangan berat badan) menjadi terlibat, sementara kartilago pada area nonsferik kaput (area bukan penopangan berat badan) memerlihatkan kerusakan permukaan sejak tahap dini proses penyakit (17, 66). Sangat sering terjadi dengan FAI tipe bubungan, kista tiimbul dalam kaput atau dekat-dekat persambungan kaput-leher femur namun selalu di distal dari fisis; dipercaya bahwa mereka mencerminkan berbagai efek dari proses kemacetan (34).
FAI tipe penjepit menghasilkan proses degenerasi yang sedikit lebih lambat dan terjadi lebih sering pada wanita di antara 30 dan 40 tahun yang senang melakukan aktifitas dengan gerakan keras seperti yoga dan erobik. FAI tipe bubungan secara tipikal nampak pada lelaki atlit rata-rata sepuluh tahun lebih muda. Kedua tipe FAI menimbulkan kerusakan pertamakali pada sisi asetabuler, tapi pada FAI tipe bubungan adalah jelas  lebih destruktif dibandingkan dengan tipe penjepit, walaupun gejalanya seringkali lebih kurang jelas. Kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kerusakan labrum, yang diketahui mengandung serat-serat nosiseptif (29), merupakan penjelasan yang paling mungkin untuk meningkatnya nyeri yang dilaporkan oleh wanita-wanita penderita FAI tipe penjepit dibandingkan dengan lelaki dengan FAI tipe bubungan.
Bermacam kerusakan panggul akibat dari tubrukan (impingement) yang dijelaskan di atas adalah lebih dari pada hanya prekursor. Mereka adalah merupakan stadium dini dari sebuah proses arthritik ekstensif dan menyeluruh dari sendi panggul. Konsep FAI ini berlaku untuk baik bagi deformitas tak kentara maupun yang lebih besar dari sisi asetabuler dan sisi femoral yang mengganggu bebas bergeraknya sendi panggul; ia bahkan termasuk sekelompok kecil pasien-pasien dengan morfologi panggul agak normal namun merupakan syarat fisiologik yang amat penting bagi pergerakan sendi panggul. Panggul dengn FAI tipe bubungan gagal mengarah ke satu OA anterosuperior sementara panggul dengan FAI tipe penjepit gagal menjadi OA posteroinferior atau sentral.

Pembahasan
Lebih dari 40 tahun lalu, Murray (46), Solomon dkk. (54-58), dan Harris dkk. (20-22, 61, 62) membuat pengamatan luar biasa bahwa OA primer panggul dapat seringkali disebabkan oleh abnormalitas morfologik minor seperti misalnya deformitas gagang pistol. Hingga akhir-akhir inipun, patofisiologi dari konsep etiologik inimasih tetap dalam perdebatan.
Saat ini, bagaimanapun, terjadi peningkatan bukti mekanisme FAI merupakan landasan dari konsep etiologi mekanik OA panggul ini, yang telah berkembang sekitar 40 tahun lalu (21, 46, 54), meninggalkan sedikit kasus dengan yag disebut sebagai OA primer. Dengan pengajuan konsep FAI “baru” ini, disadari pula bahwa metode klinis dan radiografi yang digunakan secara rutin bagi OA panggul adalah terbatas, kalo bukan tidak mencukupi, untuk penilaian FAI dan pencatatan hasil akhir pengobatan.
Walaupun demikian, langkah-langkah selanjutnya dibutuhkan untuk mengevaluasi hipotesis OA panggul ini. Semuanya masih dalam proses. Dalam sebuah model biri-biri yang tidak dipublikasikan, satu osteotomi varus sebesar 15° dari femur proksimal menghasilkan sebuah tubrukan (impingement) panggul dan dengan konsekuensi memerlihatkan lesi tepi asetabuler dan dari kartilago didekatnya yang secara tipikal terlihat pada sebuah tubrukan campuran. Sejumlah meningkat pasien telah dilaporkan dengan visual rinci (4, 34) atau pencatatan arthroskopik (10, 11, 19, 28, 49-51, 68) dari FAI yang sebagiannya diikuti dengan koreksi pembedahan tercatat dari abnormalitas morfologi yang menyebabkan FAI. Hasil akhir jangka pendek tampak menguntungkan (6, 10, 14, 19, 25, 28, 45, 48-52, 63), khususnya manakala membandingkan refiksasi labrum sebagai bagian dari langkah-langkah pengobatan vs debridement labrum (14). Hasil dari rekonstruksi sendi bersama-sama dengan refiksasi labral mendukung harapan hasil jangka panjang yang baik. Penghambatan kuat dari berkembangnya OA akan dapat menguntungkan pasien maupun menyokong konsep bahwa OA seperti itu disebabkan oleh cara-cara yang telah dijelaskan di atas. Walaupun demikian, sebelum pengobatan FAI dapat diajukan secara luas, diperlukan pengamatan ketat yang lebih besar untuk menentukan pasien yang tepat, waktu yang tepat, dan ahli bedah yang tepat. Ini tidak akan menjadi jenis prosedur (terbuka atau arthroskopik), melainkan mungkin berupa rekonstruksi intraartikuler yang akan menentukan pengobatan tersebut sukses atau gagal. Rekonstruksi intraartikuler yang dapat dicapai akan bergantung pada kompleksitas morfologi FAI dan derajat dari degenerasi sekunder.
Sejak 2005, sebuah kajian berbasis populasi prospektif telah berlangsung. Berdasarkan sebuah kohort dari lebih dari 1100 laki-laki muda, kajian ini dimulai untuk membahas prevalensi FAI dalam populasi ini dan untuk menentukan apakah berbagai perubahan morfologis ini dihubungkan dengan satu meningkatnya kecepatan  OA dini (kajian perjalanan alami). Hasil awal menunjukkan penurunan rotasi internal pinggul sementara pada 90 ° fleksi sebesar 10 ° meningkatkan prevalensi patologi tepi asetabular dengan faktor dua.
Terdapat semakin banyak bukti bahwa kebanyakan panggul yang gagal menjadi OA tanpa deformitas sendi parah yang terjadi dengan mekanisme FAI berdasarkan pada abnormalitas morfologik tak kentara atau bertingkat sedang dari komponen-komponen sendi panggul. Peningkatan jumlah panggul yang seperti itu gagal saat usia agak muda. Sebagai konsekuensinya, strategi pengobatannya haruslah merekonstruksi satu morfologi panggul yang mengijinkan gerakan yang tidak tertahan oleh FAI sebelum kerusakan major tepian dan kartilago asetabulum menjadi mapan. Oleh karena pengobatan FAI kebanyakannya berhasil pada ketidakhadiran dari perubahan degeneratif sekunder, ini memunculkan pertanyaan apakah pengobatan FAI harus dilaksanakan pada pasien-pasien “tak bergejala”. Kebanyakan peneliti dan ahli bedah memandang simtomatikanya sebagai memiliki rasa nyeri. Bila pasien memiliki satu luas gerak sendi panggul terbatas (fleksi/rotasi internal) dan perubahan degeneratif pada MRI atau radiografi, pengobatan FAI mungkin dibenarkan bahkan pada ketidakhadiran nyeri. Penyajian dari pasien bebas-nyeri dalam klinik dokter adalah sebuah situasi yang agak jarang dan proses pengambilan putusan haruslah melibatkan pasien.
Untuk memiliki sebuah instrumen baku dalam mengevaluasi indikasi pembedahan yang seperti itu namun juga untuk menindaklanjuti data lebih akurat, skor-skor baru bagi pengevaluasian klinik, dan pengklasifikasian penciteraan untuk FAI panggul sesaat menjelang OA nya termapankan-baik saat ini sedang dalam pengembangan. Sejumlah aspek dari konsep FAI masih belum terkonfirmasi secara adekuat; lainnya sedang dalam proses evaluasi. Di samping meningkatnya bukti yang mendukung konsep, dipercaya bahwa pengobatan FAI saat ini haruslah dibatasi pada pusat-pusat perawatan yang berpengalaman dalam patologi ini dan dengan staf ahli bedah yang terlatih adekuat dalam teknik menangani FAI. Penilaian klinik dan radiografi dan tindak lanjutnya haruslah sedikitnya cocok dengan apa-apa yang dipersyaratkan untuk arthroplasti panggul. Bila perkembangan yang diterangkan di atas dan pengumpulan data berlangsung, pengobatan FAI mungkin dapat menjadi sebuah handalan dalam pengobatan pelestarian sendi panggul yang sama seperti halnya pada displasia panggul.