Abstrak
Kerapuhan tulang merupakan sebuah kondisi tak bergejala (silent) yang meningkatkan risiko fraktur tulang, diperkuat oleh rendahnya massa tulang dan menurunnya arsitektur mikro dari jaringan tulang yang mengawali ke pada osteoporosis. Fraktur karena kerapuhan merupakan manifestasi klinis major osteoporosis.
Sekumpulan data epidemiologis yang besar mengindikasikan bahwa bakuan bagi pemrediksian risiko fraktur karena kerapuhan saat ini adalah area BMD (aBMD) diukur dengan DXA. Walau pengukuran kepadatan mineral menentukan kuantitas tulang, kualitas jaringannya merupakan sebuah prediktor penting dari kerapuhan. Jadi, kekuatan tulang dijelaskan tidak hanya oleh BMD namun juga oleh karakteristik-karakteristik struktur makro dan mikro jaringan tulang. Diagnostik pencitraan, lewat penggunaan sinar-X, DXA, ultrasonografi, CT, dan MR, menyediakan bermacam metoda untuk mendiagnosis dan mengarakterisasi fraktur, dan metode-metode semi- dan kuantitatif bagi penentuan konsistensi dan kekuatan tulang, yang menjadi bernilai bagi pengelolaan klinis kerapuhan tulang bilamana mereka diintegrasikan dengan berbagai faktor risiko klinik. Pemakaian terkini dari berbagai teknik pencitraan non-invasif yang canggih dalam penelitian klinis seperti misalnya high resolution CT (hrCT), microCT (μCT), high resolution MR (hrMR), dan micro MR (μMR), dikombinasikan dengan bermacam metode analisis elemen halus (finite), membuka arah menuju berbagai tantangan baru dalam sebuah penentuan kekuatan tulang yang lebih baik guna menguatkan pengertian parameter biomekanik dan pemrediksian fraktur karena kerapuhan.
Kata Kunci: kerapuhan tulang, arsitektur tulang, penilaian tulang, densitometri kuantitatif, pencitraan resolusi tinggi.
Pendahuluan
Osteoporosis merupakan sebuah penyakit penting namun kurang mendapat cukup perhatian yang menjangkiti lebih dari dua ratus juta orang di seluruh dunia: hingga satu dari tiga wanita dan satu dari lima laki-laki usia lebih dari lima puluh tahun akan mengalami sebuah fraktur osteoporotik(1).
Osteoporosis didefinisikan sebagai “sebuah penyakit yang ditandai oleh rendahnya massa tulang dan merosotnya arsitektur mikro jaringan tulang mengawali ke pada menguatnya kerapuhan tulang dan konsekuensi meningkatnya risiko patah tulang”(2).
Massa tulang rendah telah memerlihatkan menjadi faktor risiko terbesar bagi patah tulang akibat kerapuhan; sehingga, WHO mendfinisikan osteoporosis melalui pengukuran bone mineral density (BMD), didasarkan atas nilai2 yang didapat dari dual-energy X-ray absorptiometry (DXA)(3).
Di samping BMD, yang hanya sebagiannya saja menjelaskan kualitas tulang, bermacam abnormalitas lain dalam skelet menyumbang bagi kerapuhan, yang mungkin lebih baik diestimasikan menggunakan sebuah penilaian kuantitatif dai karakteristik struktur makro dan mikro.
Teknik pencitraan memainkan sebuah peran sentral dalam mengevaluasi status tulang lewat a) diagnosis dan pengarakterisasian fraktur, dan b) penilaian kualitas tulang.
Modalitas pencitraan yang sering dipakai untuk menilai massa dan arsitektur makro tulang adalah sinar-X, DXA dan QCT; sebuah pengevaluasian tak langsung massa dan struktur makro tulang adalah menggunakan ultrasonografi.
Karena tidak tersedianya peralatan klinis memuaskan bagi penilaian kesehatan tulang, maka untuk tujuan praktisnya modalitas pencitraan memberi keuntungan dengan mengintegrasikan berbagai faktor risiko klinis(4).
Pada saat ini, adalah perlu untuk mengembangkan teknik pencitraan non-invasif yang berkemampuan untuk mengidentifikasikan dengan lebih baik arsitektur mikro tulang in vivo dan memerkirakan kekuatan tulang tidak hanya melalui penilaian analisis 2-dimensi (2D), namun memergunakan modalitas pencitraan 3-dimensi, yang meliputi CT, MRI dan analisis elemen halus menggunakan MRI dan CT resolusi tinggi.
Berbagai metode non-invasif seperti misalnya microCT dan microMR, diaplikasikan in vitro pada biopsi tulang untuk berbagai tujuan penelitian, semuanya meningkatkan pengetahuan pengidentifikasian biologi tulang, pelaporan dan pengevaluasian kerapuhan tulang.
Kerapuhan Tulang dan Kualitas Tulang
Dalam 15 tahun terakhir, sebuah ketertarikan mendalam dalam konsep ”kerapuhan tulang” telah menginduksi klinisi, ahli biologi, ahli fisik dan teknik untuk menguatkan penelitian bagi pengidentifikasian dan pemahaman cirri-ciri biologis, matrial, dan struktural yang menyumbang bagi ”kualitas tulang”
Saat ini “kualitas tulang” dijelaskan sebagai “ totalitas dari ciri dan karakteristik yang memengaruhi kemampuan tulang untuk menahan patah tulang”(5)
Sebuah tulang akan patah ketika beban yang diberikan membangkitkan sebuah stress internal yang melewati kekuatan jaringan.
Tingkah laku mekanik tulang bergantung pada 1) morfologi tulang, 2) sifat-sifat intinsik material tulang itu sendiri. Sifat-sifat biomekanik tulang adalah stiffness atau modulus elastik (kemampuan untuk menahan perubahan bentuk), toughness (kemampuan untuk menyerap energi), fatigue strength (kemampuan untuk mengakomodasikan pembebanan berulang), fracture toughness (kemampuan untuk menghambat progresi dari sebuah retakan)(5).
Secara khusus, resistensi terhadap patah tulang dipengaruhi oleh a) overall composition (proporsi dari mineral, kolagen, air dan protein matriks), b) karakteristik mekanik dan fisik dari semua komponen ini (sifat kolagen, tipe dan derajat cross-linking kolagen, ukuran dan struktur kristal hidroksiapatit dan derajat mineralisasi), c) morfologi dan arsitektur mikro (ukuran tulang, geometri penampang kortikal, porositas, ukuran dan kepadatan osteon dan arsitektur mikro trabekuler), d) jumlah dan sifat dari kerusakan mikro yang sudah ada (panjang, densitas dan lokasi retakan).
Kualitas tulang, satu pengukuran terhadap arsitektur, geometri dan sifat-sifat material yang dimiliki tulang, dievalusi lewat pengujian mekanik, struktural dan kimia. Berbagai studi terkini memokuskan pada pemeriksaan tulang pada skala nano, menyarankan pentingnya pemahaman terhadap berbagai interaksi kristal mineral dengan serat-serat kolagen, dan bagaimana mereka dapat mengubah kualitas tulang(6).
Dengan demikian, penting untuk memahami berbagai perubahan yang terjadi di dalam tulang pada level-level makro-, mikro- dan nanoskopik untuk menentukan parameter yang mana yang menyumbang bagi menurunnya kualitas tulang(7) dan untuk menilai efikasi bermacam pengobatan yang bermunculan(6).
Macam-macam Teknik Pencitraan
Peran mendasar dari diagnostik pencitraan di dalam pengelolaan kerapuhan tulang adalah: a) diagnosis dan pengarakterisasian fraktur, b) pendeteksian dan penilaian hilangnya massa tulang. Untuk tujuan ini semua, instrumen diagnostik yang digunakan: sinar-X konvensional (sinar-X), bone densitometry (DXA), computed tomography (CT), ultrasonography (US) dan magnetic resonance imaging (MR)(Gambar 1).
Gambar 1
Fraktur leher femur terlihat dengan sinar-X (A), lebih nyata pada teknik 3D: CT (B) dan MR (C).
Diagnosis dan Pengarakterisasian Fraktur
Fraktur akibat kerapuhan merupakan satu dari penyebab tersering disabilitas dan merupakan satu penyumbang major biaya perawatan medis pada banyak daerah di dunia(8). Diagnosis dini pasien-pasien berrisiko, atau dengan (yang tak bergejala), patah tulang dengan demikian adalah penting(9) (Gambar 2).
Gambar 2
Fraktur akibat kerapuhan.
Lokasi fraktur osteoporotik yang sering adalah: tulang belakang, panggul, lengan bawah dan hemerus proksimal. Risiko fraktur sepanjang usia sisanya dalam persentase pada populasi Kaukasia pada usia 50 dilaporkan dalam Tabel 1 di bawah.
Tabel 1
Risiko fraktur sepanjang usia yang tersisa (%) dalam populasi Kaukasia pada usia 50 tahun.
Type of Fracture Men Women
Forearm 4.6 20.8
Hip 10.7 22.9
Spine 8.3 15.1
Proximal Humerus 4.1 12.9
Any 22.4 46.4
Kanis et al., Osteoporos Int. 2000;11:669-674.
Sinar-X konvensional
Metoda pertama dan yang paling penting untuk mengidentifikasi fraktur adalah sinar-X konvensional: sementara fraktur-fraktur radius distal adalah hampir selalu diidentifikasi dengan radiografi baku, hip dan khususnya fraktur tulang belakang mungkin sedikit dijumpai kesulitan dalam pendeteksiannya yang mana hal ini memiliki kebermaknaan penting di dalam pengelolaan, prognosis dan terapinya, apakah melalui sebuah pendekatan konservatif atau invasif minimal (mis., seperti vertebrolasti) ataukah sebuah pengobatan invasif (stabilisasi, osteosintesis atau arthroprothesis).
Satu pengevaluasian yang lebih akurat dari radiografi toraks lateral yang secara rutin dilakukan dapat mengawali ke pada pendeteksian dari sebuah sejumlah besar fraktur-fraktur vertebra dan diagnosis yang lebih dini dari osteoporosis(10).
CT dan MR
Modalitas pencitraan 3-dimensi, yang meliputi CT dan MR, dengan berbagai karakteristik panoramic dan multiplanar intrinsic mereka dapat meneragkan kasus-kasus suspek klinis dari fraktur-fraktur tulang terakhir dengan tanda-tanda radiografik yang meragukan atau tidak ada; khususnya CT menampilkan resolusi spasial lebih tinggi, MR menampilkan resolusi kontras yang lebih tinggi.
Tidak semua fraktur bergantung pada kerapuhan tulang; diagnosis diferensiil di antara kerapuhan, traumatik berat dan fraktur-fraktur patologis dapat sering diperoleh dengan sinar-X konvensional, namun menerima kontribusi penentuan dari modalitas lebih canggih seperti misalnya CT dan MR. Terlebih lagi teknik pencitraan 3D menjadi berharga untuk pengarakterisasian lesi-lesi tulang penyebab fraktur (Gambar 3).
Gambar 3
Penipisan tulang pada gambaran sinar-X, CT dan MR dan remuknya korpus vertebra (CT) pada myeloma multipel.
Vertebral Fracture Assessment (VFA)
Kuantifikasi objektif dari sebuah fraktur vertebra dapat dilakukan dengan evaluasi morfometrik (Gambar 4).
Gambar 4
Morfometri vertebral (Genant et al. JBMR. 1993;8(9):1137-48).
Gradasi fraktur korpus vertebra dapat disediakan dalam persentase menggunakan sebuah penggaris dan pengukuran ketinggian bagian anterior, medial dan posterior korpus vertebra, pada sebuah filem sinar-X polos atau secara digital pada layar(11) (Gambar 5).
Gambar 5
Gennant HK, JBMR 1993
Menurut ISCD Official Positions: metoda the Genant visual semiquantitative merupakan teknik klinik saat ini yang terpilih bagi pendiagnosisan fraktur vertebra dengan VFA”(12).
Fraktur-fraktur vertebra osteoporotik terjadi hanya pada tulang punggung dan pinggang dan pendeteksian mereka adalah penting karena lebih dari 50% fraktur-fraktur tulang belakang adalah tak bergejala dan tetap tidak ketahuan.
Dalam rangka menghindarkan berbagai pengaruh dari bertumpangtindihnya berbagai struktur (rusuk, paru, diafragma), maka sangat direkomendasikan untuk menggunakan breathing technique dalam posisi berbaring(11).
Pendeteksian dan Penilaian Kehilangan Massa Tulang
Karena kerapuhan tulang merupakan sebuah kondisi yang tenang (mis., menyebabkan tanpa tanda-tanda atau keluhan kecuali atau hingga terjadi fraktur) dan karena tidak terdapat peralatan klinik untuk menilai kualitas tulang, saat ini pengukuran densitas mineral tulang (BMD) dibutuhkan untuk mengidentifikasi pasien-pasien sebelum terjadinya fraktur(13).
“Kemampuan BMD untuk memerkirakan fraktur adalah sebanding dengan penggunaan tekanan darah untuk memrediksi stroke, dan dan secara bermakna lebih baik dari pada kolesterol serum untuk memrediksi kematian otot jantung”(14).
Namun, banyak fraktur dapat terjadi pada individu-individu dengan nilai BMD normal atau dengan nilai BMD di atas ambang osteoporosis.
Sementara pada level populasi, sebuah penurunan dalam BMD dikaitkan dengan sebuah penurunan bermakna risiko fraktur, pada level individu penilaian BMD adalah sangat sensitif namun tidak spesifik bagi pemrediksian fraktur. BMD, kuantitas tulang, merefleksikan hanya satu aspek dari kekuatan tulang, yang adalah juga dipengaruhi oleh bermacam karakteristik seperti geometri, dan ciri-ciri struktur mikro seperti volum trabekuler relatif, ruang dan konektifitas trabekuler(15).
Setingan Klinis Status Tulang
Sebuah pendekatan yang benar ke pada setingan klinik dari konsistensi dan kualitas tulang mengontemplasikan pemakaian bermacam teknik diagnostik yang memelajari: densitas tulang dan struktur tulang.
Penilaian densitas dan struktur tulang pada sebuah level makroskopik dapat diperoleh dengan: a) analisis semikuantitatif menggunakan sinar-X konvensional, b) analisis kuantitatif menggunakan DXA dan QCT.
Sifat mekanik tulang, ditentukan oleh densitas, ciri-ciri material (mis., mineralisasi dan elastisitas) dan karakteristik struktural (mis., arsitektur) memengaruhi parameter-parameter QUS (Gambar 6-7).
Gambar 6
Index-Singh: menghilang progresifnya 5 bundel trabekuler pada femur proksimal berarti satu kehilangan massa tulang progresif.
Gambar 7
Radiograf tangan: (A) temuan normal, (B) berkurangnya ketebalan kortikal.
Sinar-X Konvensional
Saat ini, setelah tibanya bermacam modaltas kuantitatif, sinar-X tidak lagi dipakai bagi diagnosis osteoporosis; penipisan tulang tidak terdeteksi pada radiograf konvensional hingga 20 hingga 40% massa tulang telah lenyap(16). Bagaimanapun juga, di dalam sebuah laporan radiologi adalah memungkinkan mengindikasikan tanda-tanda dari kemungkinan osteoporosis didasarkan pada criteria semikuantitatif: meningkatnya transparansi tulang oleh menurunnya bundle-bundel trabekuler dan ketebalan korteks.
Dua buah teknik berbasis-radiograf yang mengijinkan untuk memerkirakan kepadatan tulang adalah indeks dari Singh untuk femur proksimal, dan indeks korteks-meduler dari radiograf tangan baku(17,18).
Densitometri Kuantitatif dan Bermacam Faktor Risiko Klinik
WHO telah menentukan osteoporosis sebagai BMD yang lebih dari 2.5 deviasi baku (skor T < -2.5) di bawah nilai rerata untuk orang dewasa muda.
Terdapat banyak permasalahan dengan hanya memakai uji BMD dalam menilai risiko fraktur dan prinsipnya adalah bahwa BMD sendiri-sendiri saja adalah memiliki sensitifitas yang rendah: mayoritas fraktur osteoporotik terjadi pada individu dengan nilai BMD di atas ambang osteoporosis, khususnya dalam rentangan osteopenik ( skor-T kurang dari -1 dan lebih dari -2,5 SD)(19). Dengan demikian, bahkan bila massa tulang merupakan sebuah komponen penting risiko fraktur, bermacam faktor non-skeletal berkontribusi untuk terjadinya kerapuhan(20) (Tabel 2). Lima belas tahun terakhir ini telah banyak penelitian dilaksanakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor klinik lainnya seperti misalnya usia, kelamin, fraktur sebelumnya, riwayat keluarga dengan fraktur dan faktor-faktor risiko gaya hidup seperti misalnya inaktifitas fisik dan merokok(19).
Table 2
Faktor risiko bagi osteoporosis dan fraktur akibat kerapuhan tulang.
Osteoporosis Fractures Fragility Fractures
Female gender History of falls
Increased age Poor physical condition
Hypogonadism Dementia
White race Impared vision
Low body mass index Environmental hazards
Family history of osteoporosis Current use of benzodiazepines or anticonvulsants
Tobacco use
History of fracture
Chronic glucocorticoid or anticoagulant use
Endocrinopathies
High bone turnover and microarchitectural changes
Faktor risiko untuk osteoporosis dan untuk fraktur akibat kerapuhan keduanya harus dipertimbangkan ketika memeriksa seorang pasien(21).
Algoritma FRAX® dikembangkan oleh WHO atas kajian kohort berbasis-populasi dari Eropa, Amerika Utara, Asia dan Australia, mengintegrasikan berbagai faktor risiko klinik, dengan atau tanpa BMD pada leher femur, memberikan sebuah probabilitas 10 tahunan fraktur panggul dan osteoporotik major(19).
Algoritma FRAX®, yang spesifik-negara, adalah cukup fleksibel untuk dipakai dalam konteks banyak setingan pertolongan pertama, termasuk bagi mereka-mereka yang dengan uji BMD belum dapat dilakukan(19). Mereka memerhitungkan kontribusi berbagai faktor risiko dalam probabilitas fraktur 10-tahunan (Gambar 8).
Gambar 8
Algoritma bagi penilaian dari kemungkinan fraktur.
Modalitas pencitraan yang sering digunakan untuk densitometri adalah:DXA, QUS, dan QCT.
Kriteria WHO untuk menilai densitometri tulang ditetapkan dengan memertimbangkan the Official Positions of the International Society for Clinical densitometry (ISCD) yang dikembangkan di sebuah Position Development Conference (PDC) setiap 2 tahun sejak 2001.
Satu teknik ideal bagi pengukuran massa tulang haruslah memberikan sebuah level ketepatan tinggi dalam rangka untuk menyediakan pengevaluasian optimal risiko fraktur dalam populasi tertentu.
Ketepatan peralatan diwakili oleh koefisien variasi, yang mana harus dipertimbangkan dalam rangka untuk a) memertahankan berbagai perubahan BMD sebagai akibat dari terapi atau patologi yang dipelajari dan bukannya dari sebuah kesalahan intrinsik dari densitometer, b) menentukan interval minimal di antara uji BMD. Biasanya 1 tahun setelah onset terapi yang tepat, dengan interval yang lebih panjang, sekali efek terapi telah ditetapkan. Pada kondisi dikaitkan dengan kehilangan tulang cepat, seperti misalnya terapi glukokortikoid, lebih tepat kalau dilakukan pengujian yang lebih sering.
Untuk praktik klinik dan penelitian, pemilihan di antara berbagai modalitas pencitraan tulang yang berbeda haruslah merefleksikan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian, meliputi presisi dan reproduktifitas teknologi pencitraan, akurasi dan kehandalan, kompleksitas dan biaya, ketersediaan dan kemudahan menemukannya.
Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA)
Data epidemiologi yang besar mengindikasikan bahwa bakuan bagi pemrediksian risiko fraktur akibat kerapuhan saat ini adalah sebuah area pengukuran BMD oleh DXA.
Menurut ”The Official Positions of the ISCD 2007” untuk DXA(22), secara skematis disimpulkan:
- Data dasar acuan untuk skor-T menggunakan satu data dasar normatif perempuan atau lelaki seragam Kaukasia (tidak ada penyesuaian ras) untuk wanita atau pria dari semua kelompok etnik dan menggunakan data dasar NHANES III untuk skor-T berasal dari regio panggul.
- Baku acuan internasional WHO untuk diagnosis osteoporosis adalah sebuah skor-T -2.5 atau kurang pada leher femur, dan baku acuan dari mana skor-T dihitung adalah wanita, kulit putih, usia 20-29 tahun (data dasar NHANES III).
- Lokasi skelet untuk mengukur BMD adalah tulang belakang PA (L1-L4) dan panggul (leher femur atau femur proksimal seluruhnya) pada semua pasien. BMD lengan bawah (33% radius dari lengan bawah yang bukan dominant) (Gambar 9), kurang akurat dalam memerkirakan fraktur tulang belakang dibandingkan BMD panggul atau tulang belakang, harus diukur bila: a) panggul atau tulang belakang tidak dapat diukur atau diinterpretasikan, b) hiperparatiroidisme, c) pasien sangat gemuk (melebihi batas berat badan untuk tabel DXA).
Gambar 9
Walaupun dengan pindaian tulang belakang PA, pindaian Lateral tidak dipengruhi oleh artifak yang bertumpangtindih.
Secara konvensional, panggul dan tulang belakang lumbal dianggap sebagai lokasi pengukuran paling penting karena fraktur-fraktur pada lokasi ini memiliki dampak kualitas hidup, morbiditas dan mortalitas paling besar bagi pasien(23). Namun, pemindaian DXA relatif mahal dan tersedia secara umum terbatas pada rumah sakit besar; dikenalkannya peralatan DXA yang lebih kecil, lebih murah, didisain untuk memindai hanya lengan bawah, disebut sebagai peripheral DXA (pDXA) telah meluaskan keuntungan diagnostik dari densitometri tulang(23).
Pemindaian Lumbal
BMD tulang belakang cenderung untuk berubah dalam responnya terhadap kortikosteroid dan pengobatan lebih dari pada lokasi lain, karena korpus vertebra sebagian terbesarnya dibentuk oleh tulang trabekuler, yang adalah lebih sensitif terhadap efek hormon dan obat-obatan dibandingkan tulang kortikal(24).
Nilai BMD meningkat palsu dapat diperoleh karena prevalensi meningkat dari berbagai perubahan tulang belakang degeneratif atau karena kalsifikasi aorta atau oleh bermacam artifak ketika pemindaian tulang belakang PA (postero-anterior) dibuat. Karena adanya tumpang tindih perubahan degeneratif-sklerotik dan elemen kortikal posterior dalam pandangan PA, maka DXA lateral tulang belakang dapat lebih diandalkan dan lebih sensitif, sebagaimana diperlihatkan di bawah(25) (Gambar 10).
Gambar 10
Regio persegi empat menyontohkan BMD leher femur. Persegi kecil menyontohkan ”segi tiga dari Wards”, yang mewakili BMD terrendah dalam panggul.
Pemindaian Femur
BMD panggul merupakan sebuah pemrediksi kuat fraktur panggul, namun juga bagi seluruh fraktur. Lokasi ini tidak terpengaruh oleh arthritis degeneratif.
Skor-T terrendah dari dua lokasi (panggul dan leher femur keseluruhan) harus dipertimbangkan untuk diagnosis osteoporosis(24).
Area dari Ward biasanya memerlihatkan kehilangan ataupun perbaikan massa tulang dini dalam panggul. Itu harus tidak digunakan untuk tujuan diagnostik: karena presisi dan akurasinya yang buruk, ia akan menaksir terlalu tinggi prevalensi osteoporosis(24).
DXA femur, di samping penilaian BMD, dapat berguna untuk menentukan berbagai parameter geometri femur proksimal, seperti misalnya hip axis length (HAL), femoral neck-shaft angle (NSA) dan femoral neck diameter (FND), yang memerlihatkan sebuah hubungan yang kuat dengan fraktur tulang belakang atau femur(26) (Gambar 11).
Gambar 11
Parameter fisik yang dipertimbangkan untuk graphic trace analysis.
Jadi, DXA adalah teknik untuk pemeriksaan BMD yang paling luas digunakan. Dengan level presisinya yang tinggi, teknik ini memungkinkan tidak hanya untuk diagnosis osteoporosis, namun juga untuk pengawasan respon pasien terhadap terapi.
Densitometri Perifer
Peralatan densitometri perifer – DXA tumit dan lengan bawah – dengan keuntungan berbiaya rendah dan portabilitasnya, memiliki nilai prediktif keseluruhan yang mirip bagi pemrakiraan risiko fraktur tanpa memerhatikan lokasi skelet yang diukur, walaupun pengukuran pada setiap lokasi khusus adalah paling baik untuk memrediksi fraktur pada lokasi yang bersangkutan(25). Namun, keberbedaan BMD dalam berbagai lokasi skelet dapat menuntun kea rah penglasifikasian yang salah(27). Karena itu, pantaslah dilakukan pemeriksaan pada lebih dari satu lokasi pada wanita-wanita usia kurang 65 tahun, sementara wanita usia yang lebih tua keberbedaan itu kelihatannya menjadi kurang jadi masalah.
Kasus untuk penyaringan universal osteoporosis belumlah terbukti, dan baik densitometri tulang perifer maupun sentral kemungkinan akan dibatasi untuk mereka yang memiliki faktor risiko untuk kerapuhan tulang(28).
Keuntungan DXA
• Pengukuran diperoleh dari setiap lokasi pada tubuh (tulang belakang, panggul, lengan bawah, tibia, tumit). Waktu pemeriksaan pendek
Penilaian komposisi tubuh
Presisi dan kemampuan reproduksi istimewa
Dosis radiasi rendah (1-3 μSv untuk L-spine, hingga 4 μSv untuk total tubuh)
Mudah didapat, murah
Data epidemiologic yang besar
Berkemungkinan meliputkan morfometri tulang belakang
Kerugian DXA
• Tidak ada perbedaan di antara tulang kortikal dengan trabekuler
Hanya penilaian densitas-area, dipengaruhi oleh: dimensi tulang, distribusi lemak jaringan, artifak pergerakan
Analisis densitas-kalsium, tidak mendeteksi arsitektur tulang
Bermacam kesalahan sampling
Pengevaluasian salah pada pasien gemuk
Quantitative Ultrasonography (QUS)
Sebuah teknik perifer berbeda adalah quantitative ultrasound (QUS), pemakaiannya meningkat karena berbiaya murah, portabilitasnya dan kurangnya paparan terhadap radiasi pengion. Transmisi suara ultra dengan frekuensi berrentang di antara 200kHz dan 1.5 MHz melewati jaringan tulang merefleksikan densitas dan strukturnya. Tambahannya terhadap BMD, ultrasonografi tulang diperkirakan menilai berbagai perubahan dalam arsitektur trabekuler dan kortikal dan bermacam kelelahan tulang yang terakumulasi.
Banyak studi in vitro telah dengan jelas menggarisbawahi bahwa speed of sound (SoS), yang bergantung baik pada amplitudo maupun kecepatan sinyal yang diterima, adalah terkait erat dengan mineralisasi tulang, menuntun kita ke pada tingginya korelasi di antara SoS dan BMD pada lokasi pengukuran yang sama(29). Broadband Ultrasound Attenuation (BUA), sebaliknya, kelihatannya lebih dipengaruhi oleh karakteristik struktural tulang trabekuler (porositas, dll.)(30).
Parameter pengukuran acuan lebih lanjut meliputi the Ultrasound Bone Profile Index (UBPI), satu kombinasi matematik dari parameter sinyal lainnya yang menjelaskan probabilitas bahwa subjek yang diuji adalah termasuk dalam kelompok yang non-fraktur(31), dan the Bone Transmission Time (BTT), interval di antara sinyal yang diterima pertama dengan sinyal diterima yang dipropagasi melewati hanya jaringan lunak(32).
Lokasi pengukuran yang dianalisis oleh QUS adalah: falang, kalkaneus, radius, humerus dan tibia.
Satu-satunya lokasi skeletal tervalidasi untuk pemakaian klinis QUS dalam pengelolaan osteoporosis adalah tumit(22).
Kalkaneus berkomposisikan hampir seluruhnya tulang trabekuler, dengan permukaan eksternalnya yang rata, homogen, paralel dan dengan demikian cocok untuk geometri propagasi penyorotan suara ultra. Pengukuran QUS pada lokasi ini memerlihatkan kemampuan untuk mendeteksi berbagai perubahan terkait dengan usia dan menopaus(33,34), untuk membedakan subjek sehat dari mereka yang dengan fraktur(34,35), dan juga mengidentifikasi mereka yang berada pada satu risiko meningkat untuk fraktur(36,37). Mesin-mesin QUS tumit yang tervalidasi akan memrediksi fraktur akibat kerapuhan pada wanita pascamenopaus (risiko frakur panggul, tulang belakang, dan risiko fraktur secara umum) dan pria di atas usia 65 (fraktur panggul, dan semua fraktur non-vertebra) tidak bergantung dari BMD DXA tulang sentral(37,38)
Pengukuran QUS kalkaneal adalah ekuivalen dengan DXA dalam hal kemampuannya memrediksi fraktur, khususnya fraktur panggul. Namun, ia dapat menjadi tidak dapat dihandalkan pada pasien-pasien dengan edema pergelangan kaki. Variasi dalam suhu (baik lingkungan maupun dengan suhu tungkai pasien) adalah dipercaya memiliki sebuah efek tidak menguntungkan pada pengukuran(39). Satu alternatifnya, lokasi tanpa beban berat badan, falang, berkomposisikan sebagian terbesar tulang kortikal, mudah dicapai(23) dan benar-benar dapat diperiksa dengan mesin ini serta melaporkan hasil dengan presisi yang baik (40). Terdapat juga bukti yang menyarankan bahwa pengukuran QUS falang mungkin lebih sensitif dibandingkan dengan kalkaneal dalam mengidentifikasi kecenderungan yang dikarenakan bertambahnya usia dan menopaus(41).
Acuan baku untuk diagnosis osteoporosis dengan ultrasonografi adalah skor-T -3.2 SD atau kurang.
Keuntungan
• Bebas radiasi
Mudah dilaksankan
Dapat dibawa-bawa dan murah
Kerugian
• Saran-sarannya terlalu berbeda
Keterbatasan terkait dengan lokasi pengukuran
Presisi dan akurasi
Gluer et al., JBMR 2004.
Kendatipun apa yang disampaikan di atas tentang berbagai korelasi di antara parameter QUS dan DXA, ultrasonografi, tidak seperti DXA dan QCT, saat ini tidak dapat digunakan untuk pengawasan perubahan tulang skelet dari waktu ke waktu atau pengevaluasian respon terhadap terapi (Gambar 12).
Gambar 12
Jejak QUS falang, analisis AD-SoS dan UBPI dari seorang pasien osteoporotik.
Quantitative Computed Tomography (QCT dan pQCT)
Pencitraan CT merupakan sebuah proses dua langkah dari akuisisi pemindaian pertama lalu kemudian rekonstruksi pencitraan tomografik dengan proses matematik dari penghitungan data mentah yang diperoleh. Semua pemindai CT klinik dikalibrasikan dengan peredaman sinar-X ke air, menghasilkan CT numbers, diukur dalam Hounsfield Units (HU). Untuk mentransformasi HU ke dalam ekivalen mineral tulang (mg/cm3), sebuah gambar khayal mineral tulang yang cocok disertakan di dalam wilayah pemindaian(42).
QCT merupakan modalitas unik yang mengukur densitas tulang sesungguhnya dalam volum yang pasti (mg/cm3) tanpa adanya tumpang tindih dengan jaringan lainnya, dan berbeda dengan DXA, ia memungkinkan sebuah penilaian selektif untuk tulang trabekuler maupun kortikal.
BMD yang didapat dari QCT memerlihatkan sebuah pengurangan bergantung usia yang lebih cepat dibandingkan dengan yang diukur oleh DXA, menyediakan sebuah pengukuran integral komposit tulang trabekuler dan kortikal(43). Untuk alasan ini, skor-T yang berasal dari QCT tidak ekivalen dengan skor-T yang berasal DXA(44). Dengan demikian, untuk menentukan abnormalitas dalam hal QCT tulang belakang, sebuah pengukuran di bawah skor Z -2.0 dapat digunakan, atau sebuah BMD tulang belakang di bawah 80 mg/cm3 adalah indikatif osteoporosis; menggunakan rata-rata irisan BMD dari L1-L3 menyarankan bahwa subjek dengan BMD di bawah 80 mg hidroksiapatit/cm3 dapat diklasifikasikan sebagai osteoporotik dan mereka yang dengan BMD di antara 80 dan 120 mg/cm3 sebagai osteopenik(45).
Single Energy QCT (SEQCT) yang secara normalnya digunakan untuk setingan klinik, bagaimanapun juga prakiraan BMD dapat diubah oleh kuantitas jaringan lemak yang menggantikan sumsum merah pada orang-orang tua. Efek ini menghasilkan sebuah peningkatan kesalahan evaluasi dengan meningkatnya jumah pasien-pasien usia tua. Bahkan bila Dual Energy QCT (DEQCT) memerbaiki akurasi teknik ini, namun ia memakai dosis radiasi yang lebih tinggi dan dengan waktu pemindaian yang lebih panjang tanpa meningkatkan sensibilitas QCT dalam membedakan di antara subjek sehat dan osteoporotik(46). Di masa depan, akan menjadi menarik untuk dilihat apakah perkembangan dual headed X-ray source CT scanners akan memiliki sebuah aplikasi untuk memerbaiki QCT dalam menyelidiki tulang skelet(42).
Selama dekade terakhir, perkembangan teknik dalam CT, termasuk multiple rings of detectors dan spiral rotation of x-ray tube (spiral multidetector CT, MDCT) telah menghasilkan pencitraan volum jaringan yang diperoleh (acquired) dengan lebih cepat. QCT volumetrik 3D seperti itu memungkinkan analisis panggul, lokasi penting fraktur, yang tidak mungkin didapat dengan irisan tunggal 2D(42).
Sampai sekarang hanya satu paket perangkat lunak komersil dan sedikit peralatan penelitian berbasis-perguruan tinggi canggih yang tersedia untuk penganalisisan terinci volum yang diminati dari tulang kortikal dan trabekuler pada femur proksimal(42,47).
Untuk penerapan klinis, QCT tulang belakang dilaksanakan menggunakan pemindaian CT seluruh tubuh baku, sementara QCT pada lengan bawah (radius dan ulna) dan tungkai bawah (tibia dan fibula) dilaksanakan menggunakan sebuah alat CT khusus yang lebih kecil; teknik yang disebut belakangan disebut peripheral QCT (pQCT).
Spine QCT scanning
Secara umum pemindai CT QCT diterapkan pada tulang belakang lumbal, biasanya L1-L3, menggunakan irisan 8-10 mm 2D tunggal lewat pertengahan dari setiap korpus vertebra, sejajar dengan end plates. Ilusi ekivalen tulang diletakkan pada meja pemindai di bawah tulang belakang lumbal, dan sebuah radiograf projeksi lateral mengindikasikan bidang pemindaian; tulang belakang yang fraktur tidak boleh dianalisis.
Dalam perolehan (acquisition) tulang belakang dengan QCT 3D (pada MDCT spiral), L1-L2 dipindai untuk membatasi dosis radiasi; analisis dapat dibuat pada irisan 2D menggunakan paket-paket yang sedikit saja tersedia secara komersil, dan untuk analisis volum 3D yang lebih kompleks, maka hanya peralatan penelitian berbasis-perguruan tinggi canggih yang tersedia(42) (Gambar 13).
Gambar 13
A) radiograf proyeksi lateral dengan pengidentifikasian irisan yang dilakukan pada L1-L3; B) region PacMan yang diminati dipilih untuk menjaring area tulang trabekuler tanpa memasukkan cortical shell atau area vena basi-vertebral(48)(49); C) Hasil BMD trabekuler dan kortikal L1-L3.
BMD trabekuler tulang belakang yang diukur dengan QCT memiliki sedikitnya kemampuan yang sama untuk memerkirakan fraktur tulang belakang (bukan fraktur panggul) seperti halnya BMD spinal PA diukur dengan DXA tulang sentral pada wanita pascamenopaus(44).
Keuntungan QCT tulang belakang
• Densitas volum dapat diperoleh
BMD trabekuler dan BMD kortikal diperoleh terpisah
Sensibilitas tinggi dalam menilai BMD trabekuler
Akurasi dan presisi yang baik
Kerugian QCT tulang belakang
• Dosis radiasi tinggi (tulang belakang: 50μSv SEQCT e 100μSv DEQCT)
Sulit dicapai/dicari, mahal
Peripheral QCT scanning
Pemindai CT tulang perifer yang khusus untuk mengukur BMD dan morfologi tulang pada tulang radius dan tibia adalah lebih kecil, lebih mobil dan kurang mahal dibanding dengan pemindai CT seluruh tubuh. Pemindai pQCT resolusi tinggi khusus yang lebih belakangan telah dikembangkan untuk pencitraan struktur trabekuler(50). BMD volum dapat diperoleh dengan mode irisan-tunggal dan irisan-berganda. Lengan bawah atau tungkai bawah non-dominan dari pasien diletakkan pada gantry pQCT dan difiksir; sebuah pindaian koroner panduan dilakukan dan sebuah garis rujukan diletakkan untuk memotong tepi medial dari radius distal atau tepi lateral dari tibia distal pada orang dewasa (pada anak-anak dengan plat-pertumbuhan belum fusi, metafisis distal harus dipilih sebagai garis rujukan). Pemindaian lokasi-lokasi spesifik adalah secara umum 4% dan 66% pada radius distal, dan 4%, 38%, 50%, 66% pada tibia. Teknik ini memberikan sebuah analisis pindaian otomatik dari kompartemen trabekuler dan kortikal; Ia menghitung BMDnya, bone mineral content (BMC), dan parameter-parameter geometrik tulang.
Dari parameter geometrik, seperti misalnya cross sectional Area (CSA) sumsum dan korteks, cortical thickness (CTh), lingkar perisoteal dan endosteal, parameter biomekanikal dapat diperoleh, seperti cross-sectional moment of inertia (CSMI), yang merupakan satu pengukuran kekuatan bending, polar moment of inertia, yang mengindikasikan kekuatan tulang dalam torsi dan strength strain index (SSI). Juga CSA otot dan lemak dapat diekstrak: otot, yang diperkirakan menstimulasi pertumbuhan tulang dalam mengadaptasi geometri dan kandungan mineral mereka, merupakan penentu dalam mengawetkan atau meningkatkan kekuatan tulang; jadi, pQCT menyediakan sebuah pengevaluasian ‘muscle bone unit’ fungsional, yang didefinisikan sebagai perbandingan BMC/CSA otot(51-54).
Teknik pendekatan fungsional untuk densitometri tulang ini dapat mapan bila kekuatan tulang diadaptasikan secara normal kepada gaya otot, dan bila gaya otot adalah adekuat untuk ukuran tubuh, akan menyediakan pemahaman yang lebih terinci dalam merancang berbagai strategi target bagi pencegahan dan pengobatan penyakit tulang pediatrik; hubungan yang terukur antara gaya otot dengan stabilitas tulang merupakan sebuah teknik pendekatan masuk akal dalam membedakan penyakit tulang primer dengan sekunder(55).
Keuntungan pQCT
• Mengukur geometri tulang
BMD trabekuler and BMD kortikal diperoleh terpisah
Evaluasi fungsional penyakit tulang anak-anak
Akurasi dan presisi yang baik
Dosisi radiasi rendah (≈3μSv), khususnya penting pada anak-anak
Mudah dicapai/didapat, murah
Kerugian pQCT
• Evaluasi untuk hanya tulang apendikuler dengan turnover rendah
Resolusi ruang rendah: efek volum parsiil dalam CA dan CTh
pQCT dan risko fraktur: hanya sedikit data transversal tersedia
Pemosisian kembali yang tepat dari ekstremitas diperlukan dalam follow-up
pQCT pemakaiannya semakin meningkat dalam mengukur BMD baik dalam bidang penelitian maupun praktik klinik untuk mengawasi perubahan-perubahan BMD dalam mengevaluasi suseptibilitas fraktur pada orang tua atau efek yang terjadi setelah intervensi teraputik(56). pQCT lengan bawah pada lokasi radius sangat-distal dapat memerkirakan fraktur akibat kerapuhan pada tulang paggul, namun bukan tulang belakang, pada wanita-wanita pascamenopaus.
Pengukuran berulang dalam pengawasan jangka panjang merupakan sebuah metode yang tepat untuk memelajari pola kehilangan tulang, dan nilai diagnostiknya sangat bergantung pada ketelitian (reproduktifitas), bahkan pemosisian merupakan sebuah sumber ketidaktelitian dari metode ini(57) (Gambar 14-15).
Gambar 14
A) Bila plat pertumbuhan radius distal kelihatan, garis rujukan (A) diposisikan untuk memotong tepi medial ujung sital metafisis padat. B) Bila plat pertumbuhan telah fusi, garis rujukan (A) diletakksan untuk memotong tepi medial permukaan artikuler radius.
Gambar 15
Parameter geometri tulang dan hasil-hasil BMD dari seorang pasien osteoporotik diperoleh dengan satu pindaian pQCT lengan bawah.
Berbagai Aplikasi Penelitian pada Status Tulang: Modalitas Pencitraan Canggih
Dalam beberapa tahun terkahir, ketertarikan pada penelitian aktif telah mengawali ke pada sebuah perbaikan dari banyak teknologi canggih untuk mengevaluasi penilaian struktur tulang pada satu level mikroskopik, memergunakan modalitas pencitraan 3D, seperti misalnya CT dan MR. Metode penilaian secara kuantitatif struktur mikro dari tulang trabekuler secara non-invasif dan non-destruktir adalah hrCT dan hrMR yang dapat diterapkan in vivo, microCT dan microMR dapat diterapkan in vitro.
High-resolution CT (hrCT)
Tulang berkomposisikan satu substrat organic yang pada dasarnya terdiri dari kolagen tipe I diselang-selingi dengan kristal mineral berkomposisikan kalsium-hidroksiapatit non-stoikhiometrik; volum sisanya diisi oleh air yang berikatan baik dengan kolagen ataupun berada di dalam ruang-ruang sistim lakuno-kanalikuler. Kombinasi ini memersembahkan tulang sifat-sfat mekanik yang unik dipandang dari segi kekuatan regang dan kompresif dan bertanggung jawab bagi sifat-sifat viskoelastik material(58). Arsitektur mikro tulang kortikal dan trabekuler, yang terdiri dari satu array kompleks dari plat-plat dan batang-batang berketebalan sampai 100-150 μm yang saling berhubungan pula memiliki sifat-sifat elastik berbeda.
Pemindai CT digunakan dalam praktik klinik memiliki resolusi tata ruang 400 μm dan ketebalan irisan 1 mm, tidaklah adekuat untuk pengukuran kortikal yang akurat dan untuk analisis parameter trabekuler dan morfologik, yang secara prinsip dikarenakan oleh berbagai efek volum parsiil, dibandingkan dengan dimensi trabekula (100-400 μm) dan ruang-ruang trabekuler (200-2000 μm). Pencitraan resolusi tinggi dengan pemindai MDCT akhir-akhir ini telah mencapai resolusi bidang sekitar 200 μm dan ketebalan irisan 500 μm, dan teknik pendekatan ini telah banyak membantu in vivo bagi pengevaluasian yang lebih baik arsitektur tulang belakang lumbal(59). Pemanfaatan hrCT menuntun kita dalam penentuan satu ciri yang disebut sebagai “trabecular fragmentation index” (panjang jejaring trabekuler dibagi dengan jumlah dari diskontinyuitas) di dalam sebuah upaya untuk memisah subjek osteoporotik dari subjek normal(60). Penilaian struktur trabekuler belakangan ini dari pencitraan CT adalah diperoleh dari hrCT tulang belakang dengan post processing steps: strukturnya disegmentasikan dengan menentukan perbatasan di antara tulang kortikal dan trabekuler, jejaring trabekuler dikurangi hingga a binary image, ditipiskan hingga menghasilkan sebuah perwakilan dari bentuk trabekuler(59). Studi belakangan memerlihatkan bahwa dengan teknik ini analisis struktural trabekuler dari pencitraan CT kasar detektor-berganda dapat mendiskriminasikan dengan lebih baik wanita pascamenopaus dari fraktur vertebra dibandingkan dengan DXA(61)
Microcomputed Tomography (μCT)
Peralatan konvensional terdahulu untuk penilaian arsitektur jejaring tulang trabekuler adalah histomorfometri dari biopsi tulang(62), yang menghasilkan sebuah representasi 2D dari struktur jaringan, sementara itu struktur tulang kortikal dan trabekuler sendiri adalah 3D. Jadi, beberapa tahun belakangan secara progresif telah diberlakukan analisis 3D langsung dari spesimen biopsi yang dicitrakan dengan micro-CT. Aplikasi yang paling sering dari teknologi ini telah digunakan dalam kuantifikasi in vitro perubahan osteoporotik pada arsitektur tulang trabekuler.
Resolusi isotopic voxel diperoleh dari pemindai micro-CT bervariasi dari 15 hingga 5 μm, sebanding dengan resolusi tulang trabekuler(63). Resolusi tertinggi telah disediakan oleh penyinaran monokhromatik synchrotron radiation (SR) dengan intensitas tinggi yang memerlihatkan satu level detil yang luar biasa: lakuna osteosit dapat terlihat pada pencitraan tomografi dengan resolusi ruang 1.4 μm(64).
Data 3D mikro arsitektural yang dirincikan oleh perangkat lunak spesifik sepakat untuk mengevaluasi banyak parameter struktural jejaring tulang seperti misalnya tissue volume (TV), bone volume (BV), bone surface (BS), bone volume fraction (BV/TV), bone surface to tissue volume (BS/TV), trabecular thickness (Tb.Th) trabecular separation (Tb.Sp), trabecular bone volume fraction (BV/TV), degree of anisotropy (DA), connectivity density (Conn.D).
Lebih belakangan, tujuan khusus tambahan sistim micro-CT resolusi-ultra-tinggi telah dikembangkan untuk pencitraan struktur mikro tulang pada resolusi mencapai 10 μm atau lebih baik; sistim baru ini telah mencapai pengaplikasian dalam berbagai studi khewan praklinik dan banyak setingan penelitian klinik.
Dalam sebuah studi manusia, deteriorisasi cepat dalam arsitektur mikro trabekuler pada wanita dalam usia menopaus didokumentasikan dengan memasangkan biopsi krista iliaka sebelum dan setelah 5 tahun menopaus; penipisan menonjol trabekule dan konversi struktur trabekuler dari plate-like ke rod-like teramati(65). Analisis 3D telah juga digunakan untuk studi dampak longitudinal pengobatan teriparatide (PTH 1-34) vs placebo pada tulang skelet wanita pascamenopaus(66).
Tomografi terkomputerasi mikro telah diaplikasikan tidak hanya untuk studi tulang trabekuler, namun juga tulang kortikal. Parameter kortikal struktural adalah tissue volume (TV), cortical thickness (Ct.Th), canal surface (Ca.S), cortical porosity (Ca.V/TV), canal surface to tissue volume (Ca.S/TV), canal diameter (Ca.Dm), canal separation (Ca.Sp). Didapatkan pula bahwa perubahan yang terkait usia dari porositas kortikal adalah lebih dapat terlihat dibandingkan dengan parameter trabekuler. Menurunnya cortical thickness (Ct. Th), cortical porosity (Ca. V/TV) hampir lipat dua, dan canal diameter (Ca.Dm) meningkat antara kelompok usia pertengahan dan tua untuk kedua jenis kelamin(67).
Pengaplikasian flat-panel volumetric CT (fpVCT), yang menyepakati cakupan volumetrik yang lebih besar, dapat menanggulangi keterbatasan intrinsik tomografi terkomputerisasi mikro yang mampu menganalisis tulang-tulang kecil atau sampel tulang dengan resolusi ruang yang tinggi; flat-panel volumetric CT (fpVCT) dapat menyelidiki sampel tulang atau khewan yang lebih besar dalam studi-studi metabolisme tulang(68).
Kekurangan major untuk mengembangkan lebih lanjut dengan teknik μCT in vivo adalah kebutuhan akan perlengkapan yang khusus dan penggunaan radiasi pengion, yang mungkin membatasi penggunaannya pada beberapa kategori pasien.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sinyal MRI tulang trabekuler itu sendiri tidak divisualisasikan dan trabekule muncul sebagai sebuah signal void, dikelilingi oleh intensitas tinggi sumsum tulang lemak(5).
Dua buah teknik pendekatan teknis, tak langsung dan langsung, digunakan untuk memerolh pencitraan resolusi tinggi guna menilai struktur tulang. Deteksi tak langsung, yang lebih dahulu, didasarkan atas sifat tulang, lebih diamagnetik dibandingkan dengan sumsum: dua buah fase bersamaan menginduksi local inhomogenous magnetic fields dalam lingkup wilayah berdekatan dengan trabekule (hrMRI). Parameter MRI yang paling penting adalah T2*(69), (the effective transverse relaxation time) yang menunjukkan sebagai sebuah fungsi dari densitas dan orientasi trabekule(70), dan R2* (the rate constant of the free induction signal). T2* dan R2* telah diaplikasikan ke kalkaneus, radius distal(71), tulang belakang dan femur proksimal. Pada sumsum tulang wanita osteoporotik, T2* dijumpai memanjang secara bermakna(72), sementara hasil nilai R2* lebih rendah(73). BMD dan T2* yang terukur pada femur proksimal memerlihatkan berkaitan dengan status fraktur(69). Sebuah studi belakangan ini melaporkan bahwa R2* pada kalkaneus membedakan pasien-pasien yang dengan fraktur vertebra dari subjek kontrolnya lebih baik dibandingkan dengan BMD(74).
Metoda langsung mencoba memvisualisasikan tulang trabekuler dan permintaan the minimum resolution voxel untuk representasi akurat dari topologi, skala dan orientasi trabekule (micro-MRI). Perolehan data harus mendapatkan pra- dan pasca-proses dengan algoritma khusus untuk menghasilkan pencitraan dalam resolusi ruang tinggi dan akhirnya memerangkatlunakkannya untuk pembinarisasian dan skeletonisasi guna mengonversi batangan trabekuler menjadi kurva dan mendatarkannya ke permukaan (plates to surfaces), dan setiap voxel dapat dikarakterisasikan sesuai dengan permukaan (surface), kurva atau persimpangannya (junction)(75).
Dengan demikian, telah diajukan ke MR juga konsep ”virtual bone biopsy” (VBB), sebuah metoda mengombinasikan pencitraan mikro resonansi magnetik dan teknik pemrosesan citraan digital. Jadi, micro-MRI dapat menyediakan parameter struktural, seperti misalnya trabecular bone thickness (TbTh) dan mean bone volume fraction (TV/BV), dikaitkan dengan sifat-sifat biomekanik tulang dan ketahanan terhadap fraktur. Algoritma khusus in vivo dengan reslusi 160 mikron mampu mendeteksi implikasi struktural sebesar 5% kehilangan bone volume fraction (TV/BV) dengan kebermaknaan statistik tinggi.
Pemeriksaan micro-MRI pada metafisis tibida dan radius distal dilaksanakan pada wanita pascamenopaus dini, dibagi menjadi kelompok dengan dan tanpa estrogen, dengan sebuah sistim pencitraan 1.5-T komersil (menampilkan resolusi-tinggi dengan rangkaian 3D FLASE) dengan waktu pindaian total 16 menit untuk tibia dan 12 untuk radius. Ini mewakili pengamatan pertama in vivo dari berbagai perubahan temporal jangka-pendek dalam arsitektur trabekuler(76). HrMRI sebenarnya menyajikan beberapa keterbatasan: kehadiran sumsum tulang hematopoietik yang, akibat dari sifat-sifat paramagnetiknya, menganggu visualisasi dari trabekule tunggal: sumsum tipe kuning lazimnya di ekstremitas distal sepeti misalnya kalkaneus, radius atau tibia distal. Keterbatasan lainnya:
- waktu akuisisi yang panjang (sedikitnya 10 – 15 menit) yang mengawali ke pada artifak gerakan involunter,
- pembatasan pengevaluasian pada lokasi-lokasi apendikuler, tingkat perbanyakan (reproducibility) volum tulang yang diperiksa dalam studi-studi longitudinal,
- kebutuhan akan coils khusus,
- ukuran voxel yang dapat dicapai untuk pencitraan tulang trabekuler in vivo kuat sekali dikondisikan oleh signal-to-Noise Ratio (SNR),
- berbiaya tinggi dan mengurangi ketersediaan.
SNR dapat di perbaiki memlalui penurunan ukuran dari receiver radio frequences coil(71).
Analisis Elemen Finit
Sifat-sifat mekanik data struktural mikro dari satu segmen tulang dapat dievaluasi menggunakan sistim matematik dari analisis seperti finite element analisis (FEA), sebuah teknik analisis numerikal terkomputerisasi bagi pemodelan satu struktur kompleks di bawah kondisi khusus dari stress dan strain. Objek atau segmen, yang umumnya diajukan ke pindaian hrCT atau hrMRI diwakilkan oleh satu model yang secara geometris sama terdiri dari representasi regio diskret ganda, terhubung atau elemen finit berbentuk triangular, tetrahedral, pentahedral, atau heksahedral bergantung lokasi pembebanan kekuatan. Ketika model matematik dikenakan ke beban yang diketahui, pergeseran struktur dapat ditentukan
Parameter mekanik utama yang dievaluasi adalah modulus dari Young (E), satu pengukuran dari kekakuan dari sebuah materi elastik, juga dikenal sebagai modulus of elasticity atau elastic modulus, dan perbandingan dari Poison (v) yang adalah perbandingan dari kontraksi atau strain transversal (tegak lurus dengan beban yang diaplikasikan) dengan ekstensi atau strain aksial (searah dengan beban yang diaplikasikan).
Pencitraan hrCT, dikombinasikan dengan elemen finit dan diaplikasikan pada model fraktur radius distal, panggul, femur dan vertebra mampu memrediksi kekuatan fraktur, lokasi inisiasi fraktur, arah fraktur, korelasinya dengan parameter arsitektural mikro dan efek struktural obat (77).
Evaluasi QCT-FE dari berbagai efek biomekanik teriparatide dan alendronate pada vertebra lumbal terbukti bahwa kedua macam pengobatan beraksi secara positif pada kekuatan vertebra lewat efek mereka pada BMD rata-rata, namun teriparatide meningkatkan kekuatan vertebra dengan cara mengubah distribusi densitas di dalam vertebra dan memiliki 5-kali lebih besar persentase peningkatan dalam perbandingan kekuatan : densitas(78).
Akhirnya, model elemen finit-mikro berdasar pada HRQCT, HR-pQCT dan HR-MRI dapat diaplikasikan dalam penelitian biomekanik guna menyediakan pemrediksian yang baik dari risiko fraktur pada populasi yang terjangkiti penyakit tulang.
Simpulan
Kerapuhan tulang, perpaduan gambaran dari sifat-sifat mekanikal tulang, adalah secara langsung terkait dengan suseptibilitas yang dimiliki tulang terhadap fraktur dan berbanding terbalik dengan ketahanan fraktur yang dimiliki tulang.
Sebagaimana fraktur membahayakan kualitas hidup dan memndekkan harapan hidup, modalitas diagnostik pencitraan peran mendasar pertama dalam pengidentifikasian jelas dan akurat dan melaporkan kehadiran dan gambaran fraktur karena kerapuhan (membedakan semua ini dari fraktur-fraktur alami lainnya) dengan menggunakan sinar X konvensional, lalu kemudian memakai teknik yang lebih baik seperti misalnya CT dan/atau MRI.
Di dalam penilaian kerapuhan tulang, BMD merupakan parameter utama untuk menghitung sifat-sifat tulang secara non-invasif dikarenakan hubungannya dengan kekuatan tulang dan prediksi risiko fraktur. Dalam dua dekade berlalu, densitometri tulang telah dilakukan dengan metode langsung seperti misalnya DXA, terutamanya sekali, QCT (real volumetric BMD), dan dengan berbagai modalitas taklangsung seperti QUS, yang mengevaluasi juga karakteristik struktural tulang. QCT tak hanya dipusatkan pada pengkarakterisasian dua dimensi tulang trabekuler vertebra, namun saat ini ia telah dikembangkan dalam rekonstruksi 3D, dan wilayah perhatian diperluas hingga ke femur proksimal.
Di samping BMD, satu perbaikan sensitif dari pemrediksian risiko fraktur diperoleh dengan mempertimbangkan sebuah penilaian klinik risiko fraktur (WHO FRAX ®); jadi, untuk aplikasi klinis, laporan radiologi, pengukuran BMD dan faktor risiko klinik merupakan penentu dalam pengidentifikasian pasien-pasien dengan kerapuhan tulang.
Karena suseptibilitas yang dimiliki tulang terhadap fraktur bergantung, melewati massa tulang, pada gambaran arsitektur makroskopik dan mikroskopik, dalam dekade lalu klinisi dan peneliti yang mendalami perhatiannya dalam kualitas tulang telah mengawali mengembangkan teknik-teknik canggih untuk penilaian status tulang. Dengan kemajuan teknik belakangan ini dalam CT dan MRI termasuk pengenalan teknik resolusi tinggi dan micro-CT dan micro-MRI, pencitraan dari arsitektur tulang trabekuler dan kortikal sebenarnya menjadi lebih layak.
Micro-CT merupakan sebuah modalitas objektif, dapat dihandalkan, sensitif dan kurang mahal dibandingkan dengan histomorfometri yang hingga sekarang secara eksklusif masih digunakan untuk penelitian klinis karena menggunakan biopsi tulang; flat-panel CT dapat menyediakan resolusi yang lebih tinggi dengan dosis radiasi analog dibandingkan MDCT, mencakup area yang lebih luas. MRI, dengan perkembangan barunya seperti ketersediaan clinical high field scanners, rangkaian baru, dapat mempercanggih pencitraan tulang osteoporotik dan penghitungan risiko fraktur.
Studi terkini mengunjukkan kelayakan dan kegunaan potensiil dari pengombinasian resolusi pencitraan CT dan MRI dengan metoda analisis elemen finit untuk menilai berbagai efek struktur tulang terhadap sifat-sifat mekanik.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk perbaikan dalam kemampuan reproduksi, standarisasi dan pengaplikasian klinik dari semua metoda ini mengngat bahwa ”...teknik pencitraan, bila dipakai untuk prosedur diagnostik, harus menawarkan akurasi dan kehandalan, bila digunakan untuk aplikasi pengawasan, harus memiliki presisi dan kemampuan reproduksi yang tinggi”(Genant)(59).