Abstrak
Menguatnya pemahaman tentang patofisiologi arthritis rheumatoid (RA) dan dalam peranan sitokin telah memungkinkannya pengembangan berbagai agen biologis inovatif dalam sepuluh tahun belakangan yang menarget bagian-bagian spesifik dari respon imun. Kegagalan mencapai respon adekuat menggunakan disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs) tradisional dan meningkatnya bukti menetapnya deteorisasi radiografik sendi-sendi yang terkena meski kelihatannya terdapat respon klinis merupakan perangsang penting bagi pengembangan obat biologik. Berbagai agen biologis saat ini dan yang segera muncul adalah utamanya ditujukan bagi penetralan berbagai sitokin proinflamasi yang bersirkulasi maupun yang berikatan sel, mengganggu interaksi antara sel-sel pemresentasian-antigen dengan limfosit T, mengeliminasi limfosit B yang bersirkulasi atau melalui penggangguan mekanisme pensinyalan intraseluler sel-sel kompeten-imun yang mengawali inflamasi. Semua agen ini telah memerbaiki cara pengobatan yang tersedia saat ini akibat dari efikasinya yang lebih besar, aksi cepatnya dan tolerabilitas yang lebih besar. Namun, menggunakan agen-agen ini juga berasosiasi dengan berbagai kejadian tak diinginkan yang bermakna, meski jarang, dan berbiaya cukup mahal. Sehingga, agen-agen ini harus digunakan dengan berhati-hati dan oleh klinisi yang berpengalaman. Tulisan ini bertujuan menyediakan sebuah tinjauan global dan terbaru dari DMARDs biologis saat ini maupun yang sedang dalam pengembangan bagi pengobatan RA.
Kata kunci: agen biologis, arthritis rheumatoid, imunomodulator, pengobatan, sitokin
Pendahuluan
Diajukannya agen biologis telah secara dramatis mengubah terapi pasien dengan arthritis rheumatoid (RA). Kemajuan dalam pengetahuan saat ini tentang lingkungan sitokin dalam patogenesis RA telah menyumbang bagi pengembangan agen-agen biologis dan translasi temuan penelitian ke dalam praktik klinik.
Agen biologis yang tersedia saat ini yang telah mapan dengan baik meliputi tiga tumor necrosis factor alpha (TNF-α) inhibitor (infliximab, etanercept, adalimumab), satu interleukin-1 (IL-1) receptor antagonist (anakinra), satu B-cell-depleting agent (rituximab), dan satu inhibitor of T-cell costimulation (abatacept). Penghambat TNF merupakan agen biologis pertama yang ditambahkan ke arsenal teraputik; lebih terkini US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan berbagai agen biologis dengan moda aksi berbeda. Inhibitor TNF terbukti menjadi sangat efektif pada pasien-pasien yang tidak berrespon terhadap disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs) tradisional. Namun, sekitar 20% hingga 40% pasien yang diterapi dengan sebuah penghambat TNF gagal mencapai sebuah 20% perbaikan menurut kriteria American College of Rheumatology (ACR20), dan lebih banyak lagi respon rendah dengan berjalannya waktu akibat dari kegagalan sekunder atau resistensi teraputik yang didapat (acquired) dan timbulnya beberapa kejadian buruk mengikuti terapi dengan sebuah penghambat TNF(1). Dua buah agen belakangan ini yang disetujui, certolizumab pegol dan golimumab, telah menambah jumlah pilihan di dalam ketersedian kelas penghambat TNF yang telah ada.
Akhir-akhir ini, beberapa agen baru telah dilaporkan berada dalam stadium pengembangan bermacam-macam dan, bila disetujui oleh yang berwenang, dapat menyebabkan sebuah pergeseran besar dalam paradigma teraputik RA. Tulisan ini menyediakan sebuah tinjauan komprehensif DMARDS biologis saat ini dan yang sedang dikembangkan.
Generasi Pertama Penghambat TNF-α
Infliximab (Remicade®)
Infliximab merupakan antibodi chimerik yang mengikat kedua TNF-α transmembran maupun yang bersirkulasi. Waktu paruhnya yang berlangsung 8 hingga 10 jam menyebabkan pemberiannya dilakukan setiap 4 hingga 8 minggu pada dosis 30 hingga 10 mg/kg lewat infus intravena. Didasarkan atas percobaan ATTRACT yang melibatkan 428 pasien resisten terhadap MTX dengan durasi penyakit rata-rata 11 tahun, infliximab terbukti menguntungkan ketika digunakan dalam kombinasinya dengan MTX sebagaimana ia menghentikan progresi kerusakan sendi baik pada responden maupun non-responden. Ternyata, mekanisme yang bekerja di balik hasil-hasil ini adalah dihalanginya aksi TNF dalam penyerapan tulang dan menumpulkan efek TNF dalam sintesis proteoglikan kartilago (2). Lebih jauh, akhir-akhir ini ditunjukkan bahwa impedansi kerusakan sendi pada RA dapat juga dihubungkan dengan efek infliximab dalam menurunkan infiltrat sinovial awal-awal setelah inisiasi pengobatan dengan cara penghambatan migrasi sel dan bukan melalui penginduksian apoptosis (3). Analisis subgroup percobaan ATTRACT memerlihatkan bahwa stabilisasi radiografik penyakit menjadi bukti bahkan pada pasien-pasien dengan RA dini (mis., kurang dari 3 tahun) (4,5). Lebih lanjut, kerusakan sendi yang lebih besar saat diketahui awal (baseline) dikaitkan dengan fungsi fisik yang lebih buruk saat diketahui awal dan kurangnya perbaikan dalam fungsi fisik setelah pengobatan menyarankan bahwa intervensi dini mungkin diperlukan. Pertanyaan inilah yang dialamatkan oleh percobaan ASPIRE yang melibatkan 1004 pasien dengan durasi penyakit kurang dari 3 tahun. Memang, infus dengan infliximab bersamaan dengan MTX dalam suatu pengobatan populasi naïf memerbaiki gejala dan tanda klinis, hasil luaran fungsional dan mencegah kerusakan struktural sendi secara bermakna lebih dibandingkan monoterapi MTX (4).
Sebuah Dutch study penting (BeSt), memeriksa efikasi terapi kombinasi inisiil dibandingkan dengan monoterapi, melibatkan 508 pasien dengan RA yang didiagnosis baru dan membandingkan berbagai strategi terapi berbeda. Monoterapi sekuensiil (Kelompok 1) dan terapi set-up combination (Kelompok 2), keduanya memulai dengan MTX, dibandingkan dengan terapi kombinasi inisiil terdiri dari pemberian prednison dosis tinggi yang di-taper, MTX, dan sulfasalazin (SSA) (Kelompok 3) dan dengan terapi kombinasi inisiil terdiri dari MTX dan infliximab (Kelompok 4). Setelah 2 tahun pengobatan, tujuan dari DAS44 2.4 tercapai sebesar 82% dalam kelompok infliximab dibandingkan dengan 75% pasien dalam Kelompok 1, 81% dalam Kelompok 2, dan 78% dalam Kelompok 3. Lebih banyak pasien dalam kelompok kombinasi 3 dan 4 mampu untuk taper dan menghentikan obat-obat terapi kombinasi inisiil karena aktfitas penyakitnya yang kontinyu rendah, yaitu sebanyak 54% pasien yang menerima terapi kombinasi infliximab + MTX me-taper terapi dengan monoterapi mereka, dibandingkan dengan 36% pada kelompok prednison/MTX/SSA. Setelah 2 tahun pengobatan, 80% dari seluruh pasien mencapai tujuan DAS 2.4, dan 42% mencapai remisi klinis (DAS <1.6) (6).
Percobaan terkontrol acak (RCT) lainnya pada 20 pasien dengan RA berprognosis buruk yang diidentifikasi dengan Persistent Inflammatory Symmetrical Arthritis (PISA) score system dan mereka yang memiliki gejala kurang dari 1 tahun menunjukkan sebuah efek menguntungkan dari infliximab dan MTX, memerkenalkan konsep penginduksian remisi dan terapi pemeliharaan yang lalu dipinjam oleh pengobatan onkologi (7). Lebih lanjut, studi ini dengan berhasil mengunjukkan sebuah penghentian kehilangan tulang inflamasi pada populasi pasien ini (8).
Etanercept (Enbrel®)
Etanercept merupakan protein fusi manusia yang dapat larut, diciptakan melalui penggabungan dua regio pengikatan ligand dari reseptor p75 TNF-α dan bagian Fc dari IgG1 manusia, dan memiliki waktu paruh terpendek (3 hingga 4 hari) dari keseluruhan inhibitor TNF-α. Etanercept memiliki sifat unik yang membedakannya dengan infliximab dan adalimumab. Sebaliknya dengan agen anti-TNF lain, ia juga mengikat limfotoksin-alfa (dengan sebutan lain dikenal sebagai TNF-β) yang telah dikaitkan dengan kontrol pertumbuhan tumor yang bebas dari aktifitas TNF (9). Sebagai tambahan, ia tidaklah melisiskan sel yang mengekspres TNF transmembran dalam kehadiran atau ketiadaan komplemen. Etanercept disetujui FDA bagi pemakaiannya dalam pengobatan RA dewasa pada 1998. Meski sering diberikan bersama dengan MTX dalam praktik klinik, etanercept telah disetujui sebagai monoterapi dan tidak harus diberikan bersama-sama dengan MTX (10).
Moreland dkk pertama kali mengevaluasi efikasi monoterapi etanercept dalam sebuah RCT fase II, merekrut 180 pasien dengan RA refrakter selama 3 bulan. Sebuah reduksi bergantung dosis dalam aktifitas penyakit terlihat, yaitu 75% kelompok dosis tinggi mencapai respon ACR20 dibandingkan dengan 14% pada kelompok plasebo (11). Selanjutnya, hasil-hasil dikonfirmasi dengan sebuah percobaan fase III membandingkan dua dosis etanercept (10 dan 25 mg subkutan, dua kali seminggu). Kedua dosis terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo dan dosis 25 mg lebih efektif dibandingkan dengan dosis 10 mg (12).
Kombinasi MTX dengan etanercept dalam percobaan RA awal yang status aktif (COMET) membandingkan remisi dan non-progresi radiografik pada pasien diterapi dengan monoterapi MTX atau dengan MTX ditambah etanercept. Dari analisis yang teramati menyarankan 50% pasien yang diberikan kombinasi terapi etanercept dan MTX dengan berhasil mencapai remisi klinis primary endpoint (skor DAS28) dibandingkan sebesar 28% dengan hanya menggunakan MTX. Lebih lanjut, penghentian progresi radiografik nampak pada 80% pasien dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan 59% pasien menerima monoterapi MTX (13).
Dalam satu dari percobaan biologi major (TEMPO), sebuah studi double blind, kelompok-paralel, global, sebanyak 686 subjek diacak untuk etanercept (25 mg dua kali seminggu), MTX (hingga 20 mg/minggu), atau kombinasi etanercept dan MTX. End point radiografi primer berubah dalam the van der Heijde-modified total Sharp Score (TSS) pada 52 minggu. End point radiografi sekunder adalah: perubahan dalam erosi total, perubahan dalam penyempitan ruang sendi total, jumlah sendi yang erosi, non-progresi (perubahan TSS <0.5 dan <3.0) dan progresi lebih besar dibandingkan perbedaan terkecil yang dapat terdeteksi. Dua pengamat, blinded dalam rangkaian filem sinar-X, moda pengobatan dan patient identiy scored masing-masing snar-X.
Hasil percobaan TEMPO mengunjukkan bahwa 74.2% pasien RA yang diobati dengan etanercept plus MTX tidak mengalami progresi kerusakan sendi. Perbandingannya, hanya 65% dan 59.2% pasien-pasien dengan monoterapi etanercept dan monoterapi MTX berturut-turut, tidak menunjukkan progresi radiografi kerusakan sendi pada 2 tahun (14).
Adalimumab (Humira®)
Adalimumab merupakan sebuah antibodi monoklonal IgG1 manusia rekombinan yang spesifik untuk TNF-α manusia. Ia tidak hanya menghambat pengikatan TNF-α dengan reseptornya, namun juga melisis sel-sel yang mengekspres membrane bound TNF-α dalam kehadiran komplemen. Adalimumab memiliki sebuah perkiraan waktu paruh 6 hingga 14 hari dan dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasinya dengan MTX untuk RA (10).
Semua hasil tersebut juga didukung oleh sebuah studi intervensi prospective single-arm, pada mana 59 pasien dengan RA mapan diterapi dengan penginjeksian fortnightly adalimumab 40 mg subkutan selama 6 bulan, dengan laporan adanya perbaikan bermakna dalam hal berikut: perceived work ability (Work Ability Index [WAI]), quality of life (Rheumatoid Arthritis Quality of Life instrument [RAQoL]), dan kelelahan (Checklist Individual Strength [CIS]) (15).
Satu RCT double-blind 2 tahun (PREMIER) mengevaluasi efikasi terapi kombinasi adalimumab plus MTX dibandingkan dengan MTX atau adalimumab monoterapi pada 799 pasien dengan RA aktif dini. Hasilnya setelah satu tahun terapi mengunjukkan pencapaian ACR50 berrespon dalam 60% pasien yang diterapi dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan 46% dan 41% pasien menerima monoterapi MTX atau adalimumab berturut-turut (P<0.001). Lebih lanjut, setelah dua tahun pengobatan, 49% pasien yang menerima terapi kombinasi mencapai remisi penyakit (DAS28 <2.6). Adalimumab dalam kombinasinya dengan MTX juga didapatkan menjadi lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi dalam perlambatan progresi penyakit secara radiografi (16). Efikasi yang superior dari adalimumab plus MTX di atas monoterapi MTX telah juga diunjukkan dalam sebuah RCT double-blind belakangan ini pada pasien-pasien Taiwan dengan RA aktif (17).
Percobaan ARMADA, sebuah studi plasebo terkontrol 6 bulan, fase II/III dengan peserta 271, mengunjukkan reduksi bermakna dalam gejala dan tanda RA, perbaikan dalam fungsi fisik, dan tingkat keamanan adalimumab plus MTX vs plasebo plus MTX. Pada 24 minggu, lengan terapi kombinasi (adalimumab plus MTX) memiliki respon ACR lebih tinggi (ACR20: 67%, ACR50: 55%, dan ACR70: 27%) dibandingkan dengan 15%, 8%, dan 5% berturut-turut pada pasien-pasien yang menerima plasebo + MTX (P<0.001) (18).
Kesimpulannya, adalimumab mengunjukkan reduksi yang bermakna dan tetap bertahan dalam gejala dan tanda, penghambatan progresi radiografik, tetapi juga memerbaiki status fungsional, kualitas hidup dan produkstifitas kerja pada pasien dengan RA.
Penghambat TNF-α yang Baru Diijinkan Beredar
Certolizumab pegol (Cimzia®)
Certolizumab merupakan agen anti-TNF yang pertama dan satu-satunya pegylated Fc-free yang memiliki sebuah struktur unik yang tidak menyertakan porsi fragmen yang dapat terkristalisasi (Fc) –crystallizable fragment – yang sebagaimana terdapat dalam agen-agen anti-TNF lainnya, dan memiliki satu cara unik pensinyalan melalui membran TNF. Tidak seperti halnya inhibitor TNF-a lainnya (infliximab, adalimumab, etanercept), yang mengandung sebuah regio Fc, certolizumab tidak berkemampuan memediasi antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) dan complement-dependent cytoxicity (CDC) (19).
Efikasinya dalam RA telah dipertunjukkan, ketika digunakan sebagai sebuah terapi add-on untuk MTX, menyediakan perbaikan berjangka-lama dalam fungsi fisik, HRQoL, dan mengurangi nyeri. Ia telah dievaluasi oleh dua buah RCT fase 3 double-blind (20, 21). Smolen dkk mengikuti 619 pasien untuk sebuah periode 24 minggu dan melihat bahwa dalam kelompok pasien dengan certolizumab pegol 200- dan 400-mg mencapai angka respon ACR20 sebesar 57.3% dan 57.6% berturut-turut vs 8.7% dalam kelompok plasebo (20). RCT double-blind lainnya oleh Keystone dkk merekrut 982 pasien untuk 52 minggu, dan memperlihatkan bahwa angka respon ACR20 dalam kelompok yang menerima 200 mg dan 400 mg certolizumab pegol adalah 58.8% dan 60.8% berturut-turut, dibandingkan dengan 13.6% untuk kelompok plasebo pada pasien-pasien yang sebelumnya gagal berrespon terhadap MTX. Percobaan ini juga memerlihatkan bahwa obat ini memerlambat rata-rata progresi radiografik dari baseline dalam minggu 52, dan memerbaiki fungsi fisik pada seawalnya minggu pertama (21)
Akhir-akhir ini, studi FAST4WARD mengunjukkan efikasi dan keamanan dari monoterapi certolizumab 400 mg yang diberikan setiap 4 minggu, dalam 220 pasien yang sebelumnya failing ≥1 DMARD therapy. Angka respon ACR20 dicapai setelah 24 minggu adalah 45.5% dalam kelompok certolizumab dibandingkan dengan 9.3% dalam kelompok plasebo (P<0.001). Hasil luaran bermakna lainnya dicapai selama studi meliputi skor-skor ACR50, DAS28(ESR)3 (22).
Walaupun profil efikasi certolizumab kelihatannya berada di nominal dengan penghambat TNF lainnya, kejadian merugikan serius yang tidak biasa, infeksi merupakan yang paling sering. Di antara kejadian merugikan berupa infeksi serius yang paling sering adalah infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran kencing, dan reaktifasi tuberkulosis (21).
Golimumab (Simponi®)
Golimumab adalah sama dalam struktur dengan infliximab kecuali bahwa ia direkayasa menjadi sepenuhnya manusia dan diberikan dalam dosis 50 mg injeksi subkutan sekali sebulan. Efikasi golimumab telah melewati evaluasi percobaan klinis fase III dalam pengobatan pasien dengan RA aktif di samping (despite) terapi MTX. Peneliti mengamati: pasien menerima 100 mg golimumab + MTX atau 50 mg golimumab + MTX mencapai angka respon ACR20 56.2% dan 55.1% berturut-turut dibandingkan dengan 44.4% pada pasien-pasien yang menerima 100 mg golimumab plus plasebo (23). Penambahan golimumab terhadap MTX secara bermakna menurunkan tanda dan gejala RA dan memerbaiki fungsi fisik.
Efikasi golimumab plus MTX dikonfrmasi dalam sebuah dose ranging RCT multisenter, double-blind, placebo-controlled, meliputi 172 pasien yang secara acak ditentukan menerima plasebo plus MTX atau 50 mg atau 100 mg golimumab setiap 2 atau 4 minggu plus MTX hingga minggu 48. Seminggu (at week) 16.61% pasien dalam kelompok kombinasi golimumab plus MTX mencapai respon ACR20 dibandingkan dengan 37% pasien dalam kelompok plasebo plus MTX (P,0.001) dan 79% pasien dalam kelompok penerima 100 mg golimumab setiap 2 minggu mencapai respon ACR20 (P<0.001) (24).
Temuan dari 2 buah percobaan klinis fase III yang disajikan pada EULAR Annual Conference of Rheumatology menyediakan data tentang efikasi golimumab pada RA. Percobaan GO-AFTER mengevaluasi efikasi golimumab pada 461 pasien dengan RA aktif yang sebelumnya diterapi dengan penghambat TNF, namun penghambat TNF ini tidak dilanjutkan penggunaanya akibat rendahnya efikasi, intoleransi atau dengan alasan lainnya. Pada minggu 14, 35% dan 38% pasien penerima 50 mg dan 100 mg golimumab, berturut-turut, mencapai perbaikan the primary endpoint of ACR20 deribandingkan dengan 18% pasien penerima plasebo (P<0.001). Pada minggu 24, 52% pasien-pasien yang diterapi golimumab mengalami perbaikan relevan secara klinis (meningkat dalam skor HAQ sedikitnya 0.25 dari baseline) dibandingkan dengan 34% pada pasien dengan terapi plasebo (P<0.001). Juga pada minggu 24, pasien-pasien yang menerima golimumab mengalami sebuah perbaikan rata-rata dalam HAQ sebesar 0.27 ± 0.51 dibandingkan dengan perbaikan sebesar 0.05 ± 0.51 di antara pasien-pasien penerima plasebo (P<0.01). Yang penting, di antara pasien-pasien yang sebelumnya dengan terapi anti-TNF nya tidak dilanjutkan akibat rendahnya efikasi, pasien-pasien yang diterapi golimumab mengalami satu perbaikan rata-rata sebesar 0.23 ± 0.50 dalam HAQ, dibandingkan dengan satu perbaikan rata-rata sebesar 0.06 ± 0.51 untuk pasien-pasien yang menerima plasebo (P<0.05) (25).
Dalam percobaan GO-FORWARD, meliputi 444 pasien, dosis 50 mg dan 100 mg golimumab setiap bulan dievaluasi pada pasien-pasien yang memiliki RA aktif dan yang sebelumnya diterapi MTX. Pasien-pasien dalam kelompok pengobatan aktif mencapai respon ACR20 yang lebih besar pada minggu 14 dan perbaikan fungsi fisik lebih besar secara bermakna pada minggu 24 (HAQ 0.46 ± 0.53 vs 0.13 ± 0.58 [P <0.001]) (25). Kombinasi golimumab dengan MTX kelihatannya secara umum diterima dengan baik dengan kebanyakan tingkat keparahan kejadian buruk tak diinginkan berrentang ringan hingga sedang. Efek tak diinginkan yang paling sering dari terapi golimumab termasuk mual-mual, sakit kepala dan reaksi pada lokasi penginjeksian. Pneumonia merupakan kejadian tak diinginkan serius yang paling sering teramati pada pasien-pasien penerima golimumab. Risiko keganasan kulit meningkat pada pasien-pasien diterapi golimumab, sebagaimana halanya dengan penghambat TNF lainnya (24)
Data terkini memerlihatkan bahwa terapi dengan golimumab mungkin mengindikasikan sebuah pendalaman penting dari respon, mengembangkan aspek-aspek multipel RA, dan mengawali ke pada penurunan bermakna dalam aktifitas penyakit. Namun, efikasi golimumab belum pernah teruji melawan penghambat TNF lainnya dalam berbagai studi yang ada. Dus, daya tarik golimumab di dalam sebuah arena yang telah ramai akan kemungkinan menjadi seperti sebuah molekul yang self-injectable, humanized dengan pemberian setiap bulan. Terlebih, dosis yang disetujui akhir-akhir ini di amerika adalah 50 mg dan, dengan demikian, data tingkat efikasi dan keamanan yang diekstrapolasikan dari berbagai percobaan klinis haruslah sesuai dengan dosis khusus ini
Keamanan dan Tolerabilitas Penghambat TNF
Penghambat TNF telah diindikasikan bagi pengobatan RA untuk lebih dari 10 tahun dan, sebagai hasilnya, mereka memiliki sebuah profil keamanan yang telah mapan baik.
Terdapat bukti yang berkembang bahwa penghambatan TNF dikaitkan dengan berbagai infeksi serius, dan satu gangguan jelas mekanisme pertahanan inang melawan bakteri gram-positif, gram-negatif, dan berbagai patogen yang jarang penyebab berbagai infeksi oportunistik. Perhatian khusus adalah laporan berganda reaktifasi infeksi laten Mycobacterium tuberculosis. Infeksi bakterial serius telah dilaporkan, termasuk dua kasus fatal sepsis pneumococcal dan necrotizing fasciitis, dan kasus berganda listeriosis (kebanyakan dengan terapi infliximab) (10).
Sejumlah studi berusaha untuk menentukan insiden tuberkulosis pada RA. Sebagaimana diselidiki dalam populasi Korea, risiko tuberkulosis adalah 8.9 kali lebih tinggi bagi pasien RA dan 30.1 kali lebih tinggi dari pasien RA yang diterapi dengan infliximab; pemakaian etanercept tidak dikaitkan dengan setiap peningkatan risiko tuberkulosis di atas yang nampak dalam populasi RA umum (26). Sebagai pengganti dari semua perhatian tingkat keamanan ini, banyak ahli merekomendasikan pengawasan ketat berkembangnya tuberkulosis selama terapi anti-TNF dan berbagai langkah-langkah pencegahan. Bukti untuk sebuah risiko meningkat bagi infeksi serius dan sebuah peningkatan bergantung dosis dalam keganasan diidentifikasi dalam tinjauan sistemik dan analisis-meta dari sembilan buah percobaan terkontrol acak dari infliximab dan adalimumab pada pasien-pasien dengan RA (27). Berbagai laporan juga memerlihatkan sebuah peningkatan angka mortalitas pada pasien RA dengan gagal jantung kongestif NYHA III/IV yang diterapi dengan penghambat TNF (khususnya infliximab) (10, 28).
Bukti berbagai infeksi jamur invasif (IFI) juga muncul dalam kaitannya dengan penggunaan inhibitor TNF. Sebagaimana dilaporkan oleh Tsiodras dkk, 80% kasus IFI dikaitkan dengan infliximab, 16% dengan etanercept, dan 4% dengan adalimumab; dan IFI paling prevalen yang teridentifikasi adalah histoplasmosis (305%), kandidiasis (23%), dan aspergilosis (23%) (29). Meningkatnya kerentanan terhadap IFI dipertalikan dengan penghambatan produksi IFN-γ, menurunnya pengekspresian berbagai reseptor pengenalan-pola (pattern-recognition receptors), dan apoptosis (30). Dengan demikian, satu indeks tinggi dari kecurigaan dan meningkatkan pengamatan dari IFI yang mengganggu blokade TNF adalah direkomendasikan karena perjalanan dari infeksi yang seperti itu dapat menjadi serius atau fulminan, dan akses cepat ke pusat-pusat kesehatan harus disediakan.
Belakangan ini Carter dkk mengevaluasi profil tingkat keamanan penghambat TNF pada kehamilan (31). Laporan mereka menyarankan bahwa 59% anak-anak yang lahir dari ibu-ibu mereka yang memakai penghambat TNF memiliki satu atau lebih anomali kongenital yang merupakan bagian dari vertebral abnormalities, anal atresia, cardiac defect, tracheoesophageal, renal, and limp abnormalities (VACTERL) association dan anomali kongenital yang paling sering dilaporkan adalah beberapa bentuk defek jantung. Namun, dalam sebuah abstrak yang disajikan pada pertemuan ilmiah ACR 2008, tidak satupun fetus yang dipaparkan dengan infliximab in utero tersaji dengan malformasi VATER (VACTERL) (32). Hal yang sama, dalam dua buah penyajian ACR 2008 pada hasil luaran kehamilan pada wanita yang terpapar dengan adalimumab (119 wanita) dan etanercept (154 wanita) berturut-turut, tidak terdapat perhatian muncul mengenai meningkatnya risiko untuk hasil luaran khusus yang terkait kehamilan (33, 34)
Berlanjutnya pendaftaran, misalnya sebuah yang pegang oleh the Organization of Teratology Information Specialists (OTIS), akan mampu mengatasi masalah keamanan dalam kehamilan lebih definitif dalam waktu dekat. Certolizumab, satu dari biologik yang lebih baru, memiliki keuntungan teoritik dari rendahnya bagian Fc, yang adalah perlu bagi transport melewati plasenta, dan itu masih harus dibuktikan apakah itu mungkin lebih aman bagi wanita yang berkeinginan untuk hamil.
Penghambat TNF telah juga dikaitkan dengan perkembangan berbagai penyakit otoimun seperti systemic lupus erythematosis, lupus-like syndrome, cutaneous vasculitis, penyakit paru interstitial, dan penyakit dari Behcet (35, 36). Bermacam mekanisme yang mungkin menginduksi produksi antibodi oleh penghambat TNF-α adalah termasuk disregulasi apoptosis dengan melepas bermacam nukleosom plasma otoimunogenik dari sel-sel apoptotic yang memicu pembentukan otoantibodi melawan bahan-bahan sitoplasmik dan nuklear atau penghambatan dari satu respon limfosit T sitotoksik yang secara normalnya menekan sel-sel B otoreaktif (37). Namun, konsentrasi dan frekuensi yang lebih besar dari antibodi-antibodi antinuklear, antikardiolipin dan anti-dsDNA dijelaskan dengan infliximab dibandingkan dengan adalimumab menyarankan bahwa bermacam faktor selain blokade TNF mungkin bertanggung jawab bagi penginduksian dari semua penyakit otoimun ini (38, 39).
Karena kemungkinan terdapat efek kelas, pasien yang gagal diobati dengan sebuah penghambat TNF akibat dari satu masalah tolerabilitas atau tingkat keamanan, mungkin menjadi berada pada risiko bagi satu masalah tingkat keamanan yang sama terhadap sebuah penghambat TNF alternatif. Sebuah studi berbasis-UK melaporkan, alasan untuk tidak melanjutkan ke pengalihan dengan menggunakan agen anti-TNF-α kedua dihubungkan dengan alasan yang menghentikan agen anti-TNF-α yang pertama. Lebih lanjut, risiko untuk mengembangkan kejadian buruk tak diharap dengan sebuah penghambat TNF kedua meningkat dua kali lipat pada pasien-pasien yang teralihkan akibat dari sebuah kejadian buruk tak diharap (40).
Interleukin-1 receptor blocker
Anakinra (Kineret®)
Anakinra adalah bentuk rekombinan, non-glycocylated dari reseptor IL-1 dengan waktu paruh 4 hingga 6 jam dan diberikan sebagai 100 mg injeksi setiap hari secara subkutan. Sekarang, anakinra merupakan satu-satunya antagonis IL-1 yang dipasarkan dan disetujui untuk pengobatan RA, sendiri-sendiri atau dalam kombinasinya dengan MTX. Di Eropa, agen ini telah mendapat persetujuan untuk pengobatan RA hanya dalam kombinasinya dengan MTX.
Efikasi anakinra dievaluasi sebagai sebuah terapi add-on pada pasien RA yang dengan respon tak adekuat dengan monoterapi menggunakan DMARDS non-biologis. Anakinra (100 mg, sc setiap hari) diberikan bersama-sama dengan krim kortikosteroid topikal, di samping dengan pengobatan MTX (n = 48), leflunomide (n = 42), atau cyclosporine-A (n = 32). Pada 48 minggu, persentase pasien mencapai respon ACR20, ACR50, dan ACR70 adalah berturut-turut 73%, 41% dan 23% (41). Analisis gabungan lainnya dari lima buah percobaan klinis menyangkut 2846 pasien melaporkan perbaikan bermakna dari respon ACR20 pada peserta yang diterapi dengan anakinra 50 hingga 150 mg setiap hari vs plasebo setelah 24 minggu (38% vs 23%). Perbaikan bermakna juga teramati dengan anakinra vs plasebo menurut parameter: ACR50 (18% vs 7%), ACR70 (7% vs 2%), skor HAQ, skor analog visual untuk nyeri, skor radiografik Larsen, dan ESR (42).
Anakinra adalah cukup baik ditoleransi, dengan reaksi pada lokasi penginjeksian menjadi efek samping yang paling sering, terjadi hingga pada 70% pasien dalam dose-dependent manner (42-44). Semua reaksi ini tidaklah memerlukan pengobatan dan dapat berkurang dengan penggunaan dilanjutkan. Satu insiden meningkat infeksi serius juga teramati pada pasien-pasien yang diterapi anakinra, dan agen ini harus dihentikan dalam menghadapi satu infeksi aktif (45).
Obat ini telah digunakan dengan berhasil bagi banyak sindrom oto-inflamatori (46). Namun, pemakaian anakinra untuk pengobatan RA telah dibatasi di seluruh dunia akibat dari efikasinya yang sedang, khususnya ketika dibandingkan dengan penghambat TNF dan obat biologik lebih baru. Walaupun percobaan pembandingan head-to-head belum dilaksanakan, perbaikan absolut kurang tersiarkan ketika dibandingkan dengan studi-studi menggunakan terapi biologik lainnya. Namun, perkembangan terkini dari long-acting IL-1 inhibitors (rilonacept, canakinumab) untuk bermacam sindrom oto-inflamatori, mungkin menyediakan kita dengan cara baru, bila percobaan yang layak dilaksanakan, untuk menjawab pertanyaan apakah kurangnya efikasi anakinra adalah berdasarkan atas mekanisme aksinya (penghambatan IL-1) vs pertalian khusus molekulnya, khususnya sifat-sifat farmakokinetiknya.
Interleukin-6 receptor blocker
Tocilizumab (Actemra®)
Tocilizumab, satu new humanized, antihuman IL-6 receptor antibody dengan sejumlah percobaan terkontrol acak yang mengevaluasi efikasinya dalam RA, sekarang disetujui pemakaiannya untuk pengobatan RA di Jepang (47). Meningkatnya level IL-6 dalam serum dan cairan sinovial dari pasien RA menyumbang ke pada proses inflamatori kronik yang mengarakterisasi RA dan berkorelasi secara positif dengan aktifitas penyakit. Tocilizumab berikatan secara selektif dan secara kompetitif dengan reseptor-reseptor IL-6 yang terekspres membran dan yang dapat larut, mengeblok transduksi sinyal IL-6 (48). Sejumlah percobaan pada pasien-pasien dengan RA dini dan yang telah berlangsung lama, mengunjukkan efikasi dari Tocilizimab intravena 8mg/kg setiap 4 minggu dalam memerbaiki aktifitas penyakit, kerusakan sendi struktural dan/atau HRQoL (49).
Tocilizumab sebagai monoterapi telah memperlihatkan efikasinya pada pasien-pasien yang dengan satu respon tak adekuat terhadap terapi MTX (50, 51). Studi AMBITION mengacak 673 pasien dengan RA aktif untuk menerima baik tocilizumab ataupun MTX untuk satu periode 24 minggu. Hasilnya memngunjukkan perbaikan bermakna secara statistik dari primary endpoint (ACR20) pada pasien yang diterapi dengan tocilizumab dibandingkan dengan pengobatan MTX (69.9% vs 52.5%, P<0.0001) (50). Studi dari the SATORI (Study of Active controlled TOcilizumab monotherapy for RA patients with an Inadequate response to MTX) juga mengunjukkan efikasi yang superior di antara 80.3% pasien yang diobati dengan monoterapi 8 mg/kg tocilizumab setiap 4 minggu, mencapai the primary endpoint (ACR20) pada 24 minggu dibandingkan dengan 25% pasien yang diterapi dengan terapi MTX 8 mg/minggu (51). Terapi kombinasi tocilizumab plus MTX dijumpai lebih cenderung memberikan efek dibanding monoterapi tocilizumab oleh penyelidik berbeda. Dalam sebuah studi yang dilakukan Eropa, penelti mengamati respon ACR20 pada 74% pasien penerima kombinasi dari 8 mg/kg tocilizumab plus MTX dibandingkan dengan 63% pada pasien yang menerima monoterapi 8 mg/kg tocilizumab. Tambahannya, respon-respon ACR50 dan ACR70 bermakna secara statistik (P<0.05) dijumpai pada pasien-pasien penerima terapi kombinasi (52).
Sebuah studi yang diarahkan oleh Emery dkk mengunjukkan efikasi secara meyakinkan pemakaian tocilizumab plus MTX pada pasien-pasien RA yang dengan respon tak adekuat terhadap inhibitor TNF, sebuah subpopulasi pasien RA yang sedang bertumbuh (53). Adapun profil keselamatannya, tocilizumab adalah ditoleransi baik oleh pasien-pasien dewasa yang dengan RA dini dan yang telah menderita lama. Efek tak diinginkan darurat yang memerlukan terapi segera terbanyak dilaporkan adalah dengan intensitas ringan hingga sedang, termasuk berbagai infeksi saluran nafas atas, nasofaringitis, sakit kepala, hipertensi, dan peningkatan kolesterol total dan ALT (49). Namun, akhir-akhir ini sebuah studi juga mengidentifikasi penekanan yang jelas dalam jumlah keadaan tertekannya imun yang mendasari (54). Berbagai studi lebih lanjut sedang diarahkan guna lebih memerbaiki penentuan profil keselamatan agen ini.
Kesimpulannya, tocilizumab intravena adalah efektif dan secara umum ditoleransi baik ketika diberikan sebagai monoterapi atau dalam kombinasinya dengan DMARDs konvensional pada pasien-pasien dewasa yang dengan RA aktif tingkat sedang hingga parah, tanpa memerhatikan lamanya penyakit atau terapi sebelumnya.
Terapi Deplesi Sel-B
Rituximab (Rituxan®)
Pendeplesian sel-B menggunakan berbagai antibodi anti-CD20 adalah sedang menjadi sebuah pilihan teraputik yang dikenal secara luas bagi pasien dengan RA parah, dan saat ini rituximab disetujui FDA di Amerika bagi pengobatan pasien RA yang memerlihatkan satu respon tak adekuat terhadap atau yang tidak toleran terhadap satu atau lebih penghambat TNF dalam kombinasinya dengan MTX, yang didasarkan atas beberapa studi terkontrol-plasebo acak (55-57).
Rituximab adalah chimeric human/mouse anti-CD20 antibody, dengan waktu paruh plasma sebesar 40 hingga 400 jam, dan diberikan dalam dua dosis 1000 mg infus intravena terpisah 2 minggu. Rituximab menginduksi satu deplesi cepat dari sel-B pengekspres-CD20 dalam darah perifer, dan level tersebut tetap rendah atau tak terdeteksi untuk 2 hingga 6 bulan sebelum kembali lagi ke level praterapi, unumnya 12 bulan. Level imunoglobulin serum tetap sebagian besarnya stabil (largely stable), walaupun satu penurunan dalam IgM telah dijelaskan.
Studi fase 3 dari the Randomised Evaluation oF Long-term Efficacy of rituXimab in RA (REFLEX) pada 517 pasien RA memerlihatkan terapi rituximab plus MTXsecara bermakna menurunkan progresi kerusakan sendi dibandingkan dengan placebo plus MTX. Penurunan bermakna teramati dari baseline hingga 56 minggu bagi rituximab plus MTX dibandingkan dengan placebo plus MTX dalam pengukuran berikut: Genant modified Sharp score (1.00 vs 2.31 in placebo; P=0.005), erosion score (0.59 vs 1.32; P=0.011) dan joint space narrowing score (0.41 vs 0.99; P<0.001) (58). Keberbedaan ini patut diperhatikan, mengingat bahwa majoritas pasien dalam kelompok plasebo (81%) menerima sedikitnya satu saja rituximab, karena dari minggu 16 hingga 24 pasien-pasien yang gagal berrespon terhadap pengobatan (<20% perbaikan dalam jumlah sendi yang bengkak) dapat menerima terapi penyelamatan. Tambahannya, rituximab memerlihatkan menghambat progresi radiografik yang independen dari respon klinik dalam populasi pasien seperti itu (1).
Hasil-hasil dari satu studi observasional pada satu populasi pasien dengan respon tak adekuat terhadap satu atau lebih penghambat TNF mengidikasikan bahwa rituximab mungkin lebih efektif pada pengontrolan aktifitas penyakit dibandingkan beralih ke satu penghambat TNF alternatif. Menurun bermaknanya dalam DAS 28 dilaporkan pada pasien-pasien menerima pengobatan rituximab (-1.61, 95% CI = -1.97 hingga -1.25) dibandingkan pada mereka-mereka yang menerima satu penghambat TNF alternatif (-0.98, 95% CI = -1.33 hingga -0.62) setelah 6 bulan terapi (59). Namun, ketika motif untuk memutus terapi TNF-α adalah sesuatu yang lain dari pada ketidakefektifan, baik rituximab maupun agen-agen TNF-α muncul untuk menawarkan level keefektifan yang sama, sebagaimana diperlihatkan dalam baynyak studi sebelumnya (40).
Sejauh ini rituximab merupakan satu-satunya agen yang secara formal menunjukkan bermakna memerlambat kerusakan sendi struktural pada pasien-pasien RA dengan respon tak adekuat ke pada atau mereka yang tak toleran terhadap penghambat TNF. Walaupun efikasinya telah dengan baik dikenal, rituximab dapat menimbulkan reaksi serius termasuk reaksi infus yang fatal, dan progressive multifocal leucoencephalopathy (PML) yang jarang. PML telah menjadi laporan komplikasi infeksi yang jelas terjadi pada pasien-pasien dengan systemic lupus erythematosus (SLE). Sebagaimana dilaporkan oleh Molloy dkk, sedikitnya dua per tiga kasus PML pada pasien-pasien dengan penyakit rematik yang dilaporkan dalam literatur medik terjadi pada pasien-pasien SLE (60). Dua puluh tiga pasien onkologi yang diterapi rituximab dilaporkan oleh FDA menjadi PML pada 6 Desember 2007. Kebanyakan dari pasien-pasien ini menerima rituximab dalam kombinasinya dengan khemoterapi atau transplantasi sel punca (61). Namun, kejadian PML pada pasien-pasien RA belum pernah dilaporkan hingga kini. Walaupun risiko yang disebabkan oleh rituximab adalah sulit untuk dinilai karena adanya pengganggu berganda, kewaspadaan yang berkelanjutan haruslah dapat terjamin. Dengan demikian, ahli rheumatologi harus waspada dan mencari-cari diagnosis PML di keseluruhan pasien yang dengan gejala dan tanda neurologis yang tidak terjelaskan dengan temuan-temuan klinis dan MRI sebanding dengan diagnosis PML. Sekali diagnosis PML ditegakkan, terapi rituximab harus dihentikan; pengurangan dosis dan penghentian harus dipertimbangkan untuk setiap pemberian imunosupresan secara bersama-sama. Soal lainnya yang masih tetap belum terselesaikan adalah jumlah infus rituximab yang dapat diberikan secara aman.
Ocrelizumab
Ocrelizumab (OCR) merupakan sebuah anti-CD20 humanized monoclonal antibody yang baru, yang saat ini dalam percobaan klinis untuk pengobatan RA. Dalam perbandingannya dengan rituximab, ocrelizumab berikatan dengan satu epitop dari domain ekstraseluler reseptor CD20 berbeda, namun saling bertumpang tindih. Pengarakterisasian in vitro ocrelizumab mengunjukkan penguatan ADCC dan pengurangan CDC dibandingkan dengan rituximab (62).
The ACTION trial (a randomized, placebo-controlled, blinded, phase I/II study of escalating doses of ocrelizumab in patients with moderate to severe RA on stable doses of concomitant MTX) menyelidiki ocrelizumab terhadap satu rentangan luas dosis pada pasien-pasien dengan RA tingkat sedang dan parah yang menerima terapi MTX bersama-sama (62). Satu pemberian tunggal ocrelizumab (2 kali infus pada hari ke 1 dan 15) pada dosis berrentang dari 100 hingga 1000 mg diberikan. Respon klinis dievaluasi pada 24 minggu dan profil keamanan pada 72 minggu follow-up. Satu proporsi pasien yang lebih tinggi dalam seluruh kelompok ocrelizumab mencapai respon ACR20, ACR50, atau ACR70 pada minggu 24 dibandingkan dengan pasien-pasien dalam kelompok plasebo. Angka respon ACR20 pada minggu 24 adalah 42%, 35%, 45% dan 50% pada mereka-mereka yang menerima berturut-turut OCR 10 mg, 50 mg, 200 mg, dan 500/1000 mg. Angka respon ACR20dalam kelompok plasebo adalah 22%. Profil keamanan ocrelizumab dalam studi ini adalah konsisten di seluruh kelompok dosis dan menyarankan hanya berbeda sedikit dibandingkan dengan plasebo. Insiden kejadian efek buruk serius dalam pasien-pasien yang diterapi ocrelizumab adalah 17.9% dibandingkan dengan 14.6% dalam kelompok plasebo. Insiden infeksi serius adalah 2.0% pada seluruh pasien yang diterapi ocrelizumab dan 4.9% dalam pasien yang diterapi plasebo. Seluruh infeksi serius yang teramati sembuh tanpa meninggalkan bekas.
Walaupun ocrelizumab adalah diterima dengan baik dan kelihatan aman, pengalaman tambahan dengan percobaan berganda akan diperlukan untuk memalidasi hasi-hasil luaran dan memahami lebih jauh lagi kebermaknan klinis human anti-human antibodies dan keuntungan potensiil teknik pendekatan teraputik ini atas pengobatan dengan antibodi chimeric.
Terapi yang Menarget sel-T
Abatacept (Orencia®)
Abatacept merupakan satu protein fusi terdiri dari the human cytotoxic T-lymphocyte-associated antigen-4 molecule (CTLA-4) dan imumnoglobulin G1, yang keduanya terjadi secara alami dalam tubuh. Melalui penyerupaan aksi CTLA-4, abatacept menghambat satu dari jalur kostimulasi kunci (CD28:CD80/CD86) yang dibutuhkan untuk pengaktifasian penuh sel-T (63). Obat ini telah disetujui untuk pengobatan pasien-pasien RA yang telah memerlihatkan respon tak adekuat terhadap atau yang intoleran pada satu atau lebih DMARDs atau penghambat TNF di Amerika, atau satu atau lebih penghambat TNF hanya di Eropa (1). Abatacept mungkin digunakan sebagai satu monoterapi ataukah bersama-sama dengan hanya DMARDs. Sebagaimana dilaporkan dalam percobaan the ASSURE (Abatacept Study of Safety in Use with other Rheumatoid arthritis therapies), abatacept dikombinasikan dengan terapi berlatar belakang biologi adalah dikaitkan dengan satu peningkatan angka kejadian buruk serius (64). Dengan demikian, abatacept adalah dikontra-indikasikan untuk penggunaan bersama-sama dengan penghambat TNF-α, anakinra, dan/atau terapi biologi lainnya.
Beberapa percobaan fase III memerlihatkan abatacept menjadi sebuah pilihan efektif pada pasien-pasien yang refrakter terhadap penghambatan TNF-α dengan perbaikan kualitas hidup yang impresif. Dua buah percobaan klinis mengevaluasi efikasi abatacept untuk pasien-pasien yang sulit diobati: the AIM untuk kasus-kasus yang resisten-MTX dan the ATTAIN untuk pasien-pasien yang resisten terhadap penghambat TNF-α (65, 66).
Sebuah percobaan acak, double-blind placebo- and active (infliximab)-controlled, 12-bulan yang lebih terkini dikenal sebagai ATTEST (for Abatacept or infliximab vs placebo, a Trial for Tolerability, Efficacy and Safety in Treating rheumatoid arthritis) menyarankan bahwa abatacept berbasis-berat (weight-based abatacept) baku mungkin memiliki efikasi sebanding dengan sebuah profil keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan infliximab 3 mg/kg (67). Percobaan didisain untuk memeroleh data pada besarnya efek pengobatan abatacept dalam RA atau infliximab (sebuah penghambat mapan dari TNF untuk RA) vs plasebo, dan untuk mendapatkan data efikasi dan keamanan relatif atas dua pengobatan biologi ini dalam satu studi tunggal. Studi menggunakan satu disain double-blind, randomized, placebo-controlled untuk 6 bulan pertama untuk memalidasi respon-respon efikasi, dan lamanya studi mengijinkannya kesempatan untuk secara langsung membandingkan profil keamanan kelompok-kelompok pengobatan biologi aktif lebih dari setahun (67). Dalam studi ini, abatacept dan infliximab (3 mg/kg setiap 8 minggu) mengunjukkan efikasi yang sama. Namun secara keseluruhan, abatacept memiliki satu profil keamanan dan tolerabilitas yang relatif lebih dapat diterima, dengan kejadian buruk serius, infeksi serius, kejadian infusional akut dan penghentian yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang tak diinginkan yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok infliximab. Keterbatasan studi adalah jangka waktunya yang pendek dan kenyataan bahwa dosis pembandingnya (infliximab) adalah 3 mg/kg, dosis yang hanya disetujui pada saat itu di Uni Eropa.
Efikasi dari terapi kombinasi, abatacept tambah MTX telah dikonfirmasi oleh sebuah studi follow-up 2-tahun, di mana 80.3% pasien yang mendapatkan abatacept memerlihatkan perbaikan ACR 20%, 30.9% mencapai remisi (CRP-DAS28<2.6) dan 66.8% terjadi penguatan fungsi fisik (sebagaimana diukur dengan indeks ketunaan HAQ). Rerata perubahan skor-skor simpulan dalam komponen-komponen fisik dan mental dari Short-Form-36 juga mengonfirmasi satu perbaikan yang baik dari HRQoL(68).
Efikasi dan keamanan abatacept telah juga dievaluasi pada pasien-pasien dengan RA yang menerima etanercept. Namun, persentase perbaikan dalam respon ACR20 setelah 6 bulan terapi abatacept adalah mengecewakan. Lebih lanjut, setelah setahun asosiasi dari kedua macam terapi ini, tidak nampak perubahan penting dalam respon-respon ACR teramati(69). Terlebih lagi, kombinasi ini kelihatannya terkait dengan satu peningkatan dalam angka kejadian buruk serius dibandingkan dengan pasien-pasien yang menerima plasebo dan etanercept (16.5 vs 2.8%).
Tidak seperti percobaan klinis sebelumnya yang mengikutkan pasien-pasien dengan RA kronis, Westhovens belakangan ini mengevaluasi efikasi abatacept pada pasien-pasien MTX-naïve dengan RA dini(70). Studi abatacept untuk Gauge Remission and joint damage progression in MTX-naïve patients with Early Erosive RA (AGREE) merupakan satu percobaan 2-tahun, double-blind yang menyertakan pasien-pasien yang dengan penyakit kurang dari 2 tahun tanpa paparan MTX (<10 mg/mgg untuk <3). Populasi studi sebesar 509 pasien diacak untuk menerima plasebo plus MTX (meningkat hingga mencapai 20 mg/mgg) atau abatacept 10 mg/kg plus MTX untuk 12-bulan sebelum satu ekstensi 12 bulan open-label (an open-label 12 month extension). The co-primer endpoints studi ini adalah remisi (DAS28<2.6) dan Gennant-modified Sharp total score. Pada tahun pertama, 42.4% pasien yang diterapi abatacept mencapai remisi dibandingkan dengan 23.3% pasien dalam kelompok plasebo. Proporsi pasien dengan tanpa progresi radiografik adalah berturut-turut sebesar 61.2% dan 52.9% dalam kelompok abatacept dan yang diterapi plasebo (keberbedaan sebesar 8.3, 95% CI – 1.0, 17.5). Perubahan gambaran awal dari Gennant-modified Sharp score dan skor erosi secara bermakna lebih rendah untuk abatacept, sementara progresi penurunan ruang sendi minimal tercatat dalam kedua kelompok. Lebih lanjut, 71.9% pasien yang diterapi abatacept mengalami perbaikan klinis penting dalam HAQ-DI dibandingkan dengan 62.1% dalam kelompok plasebo (P=0.024).
Profil keamanan abatacept adalah sebanding dengan obat biologis lainnya. Infeksi yang parah lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang diterapi abatacept dibandingkan dengan pasien-pasien yang diterapi plasebo(71). Infeksi oportunistik jarang pada pasien-pasien dengan abatacept dan frekuensi bermacam keganasan, berdasarkan atas pengamatan pasca-jual dan kohort pasien manca negara, tidak lebih tinggi dibandingkan pada pasien-pasien RA yang diterapi dengan DMARDS(72).
Terapi dan Target Biologi Berikutnya
Karena cross-talk substansiil di antara berbagai sitokin pro-inflamasi IL-1β, TNF-α, IL-6, dan IL-17 adalah penting untuk menginduksi destruksi sendi pada RA(1), IL-1β dan TNF-α mendorong IL-6 dan tumor growth factor-beta (TGF-β) guna mengarahkan proses komitmen sel Th17 dan produksi IL-17(73). Polarisasi sel Th17 lebih lanjut menginduksi produksi IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, dan IL-17 (Gambar 1)(74-77). Sejumlah studi telah juga mengunjukkan peran penting sel-B dalam patogenesis RA. Satu rentangan tipe sel lekosit teraktifasi memroduksi the TNF family B-cell pro-survival factors BLyS (B-Lymphocyte stimulator) atau BAFF (B-cell activation factor belonging to the TNF family) dan APRIL (a proliferation inducing ligand)(78, 79). Level BAFF dan APRIL meningkat pada pasien-pasien RA dengan level-level lebih tinggi secara bermakna dalam cairan sinovial dibandingkan dalam serum(80, 81). Sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1, BLyS/BAFF mengikat 3 reseptor: BLyS receptor 3 (BR3, juga disebut BAFFR), transmembrane activator and calcium-signaling modulating and cyclophilin ligand (CAML) interactor (TACI), dan B cell maturation antigen (BCMA) yang berbeda dengan APRIL, yang mana secara selektif mendorong TACI dan BCMA receptor-mediated NF-kβ signaling mechanisms(82).
Gambar 1
Bermacam target molekular obat-obat dalam percobaan klinis untuk arthritis rheumatoid.
Singkatan: APRIL, a proliferation-inducing ligand; BCR, B-cell receptor; BLyS, B-lymphocyte stimulator; BAFF, B-cell activating factor; BR3, BLyS receptor 3; BCMA, B cell maturation antigen; HVEM, herpes virus-entry mediator; IL, interleukin; LTβ, lymphotoxin beta; RANKL, receptor activator of nuclear factor kappa B ligand; TACI, transmembrane activator and CAML-interactor; TNF-α, tumor necrosis factor alpha.
Agen-agen biologis berikut ini sedang dalam evaluasi dalam berbagai percobaan yang sedang berlangsung (Gambar 2 dan Tabel 6).
Gambar 2
Kaskade inflamasi dan berbagai target molekuler obat-obat biologis saat ini dalam arthritis rheumatoid.
Singkatan: APC, antigen presenting cell; IL, interleukin; MHC, major histocompatibility complex; MMP, matrix metalloproteinase; NF-κβ, nuclear factor Kappa beta; RF, rheumatoid factor; TCR, T-cell receptor; TNF-α, tumor necrosis factor alpha.
Tabel 6. Agen-agen biologis dalam perkembangan pada arthritis rheumatoid.
aData dikoleksi dari the registries on ClinicaTrials.gov hingga 26 Mei 2009.
bTocilizumab telah mendapat ijin untuk pengobatan RA di Jepang.
Singkatan: IL, interleukin.
a. Agen-agen sel-B yang menarget CD20 (ocrelizumab, ofatumumab, dan TRU-015), agen-agen yang menarget sitokin yang penting dalam maturasi sel-B stadium lanjut: BLyS atau BAFF (belimumab, briobacept) dan APRIL (atacicept), juga senyawa-senyawa lainnya yang menarget bermacam kinase intraseluler Jak3 (CP690, 550) dan Syk.
b. Agen-agen sel-T yang menarget lymphotoxin beta (LTβ) dan LIGHT (baminercept).
c. Agen-agen yang menarget sitokin: IL-1 (AMG 108), IL-6 (tocilizumab), dan IL-17A (AIN 457)
d. Agen-agen yang menarget osteoklas via penghambatan RANKL (denosumab).
Menguatnya pemahaman tentang patofisiologi arthritis rheumatoid (RA) dan dalam peranan sitokin telah memungkinkannya pengembangan berbagai agen biologis inovatif dalam sepuluh tahun belakangan yang menarget bagian-bagian spesifik dari respon imun. Kegagalan mencapai respon adekuat menggunakan disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs) tradisional dan meningkatnya bukti menetapnya deteorisasi radiografik sendi-sendi yang terkena meski kelihatannya terdapat respon klinis merupakan perangsang penting bagi pengembangan obat biologik. Berbagai agen biologis saat ini dan yang segera muncul adalah utamanya ditujukan bagi penetralan berbagai sitokin proinflamasi yang bersirkulasi maupun yang berikatan sel, mengganggu interaksi antara sel-sel pemresentasian-antigen dengan limfosit T, mengeliminasi limfosit B yang bersirkulasi atau melalui penggangguan mekanisme pensinyalan intraseluler sel-sel kompeten-imun yang mengawali inflamasi. Semua agen ini telah memerbaiki cara pengobatan yang tersedia saat ini akibat dari efikasinya yang lebih besar, aksi cepatnya dan tolerabilitas yang lebih besar. Namun, menggunakan agen-agen ini juga berasosiasi dengan berbagai kejadian tak diinginkan yang bermakna, meski jarang, dan berbiaya cukup mahal. Sehingga, agen-agen ini harus digunakan dengan berhati-hati dan oleh klinisi yang berpengalaman. Tulisan ini bertujuan menyediakan sebuah tinjauan global dan terbaru dari DMARDs biologis saat ini maupun yang sedang dalam pengembangan bagi pengobatan RA.
Kata kunci: agen biologis, arthritis rheumatoid, imunomodulator, pengobatan, sitokin
Pendahuluan
Diajukannya agen biologis telah secara dramatis mengubah terapi pasien dengan arthritis rheumatoid (RA). Kemajuan dalam pengetahuan saat ini tentang lingkungan sitokin dalam patogenesis RA telah menyumbang bagi pengembangan agen-agen biologis dan translasi temuan penelitian ke dalam praktik klinik.
Agen biologis yang tersedia saat ini yang telah mapan dengan baik meliputi tiga tumor necrosis factor alpha (TNF-α) inhibitor (infliximab, etanercept, adalimumab), satu interleukin-1 (IL-1) receptor antagonist (anakinra), satu B-cell-depleting agent (rituximab), dan satu inhibitor of T-cell costimulation (abatacept). Penghambat TNF merupakan agen biologis pertama yang ditambahkan ke arsenal teraputik; lebih terkini US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan berbagai agen biologis dengan moda aksi berbeda. Inhibitor TNF terbukti menjadi sangat efektif pada pasien-pasien yang tidak berrespon terhadap disease-modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs) tradisional. Namun, sekitar 20% hingga 40% pasien yang diterapi dengan sebuah penghambat TNF gagal mencapai sebuah 20% perbaikan menurut kriteria American College of Rheumatology (ACR20), dan lebih banyak lagi respon rendah dengan berjalannya waktu akibat dari kegagalan sekunder atau resistensi teraputik yang didapat (acquired) dan timbulnya beberapa kejadian buruk mengikuti terapi dengan sebuah penghambat TNF(1). Dua buah agen belakangan ini yang disetujui, certolizumab pegol dan golimumab, telah menambah jumlah pilihan di dalam ketersedian kelas penghambat TNF yang telah ada.
Akhir-akhir ini, beberapa agen baru telah dilaporkan berada dalam stadium pengembangan bermacam-macam dan, bila disetujui oleh yang berwenang, dapat menyebabkan sebuah pergeseran besar dalam paradigma teraputik RA. Tulisan ini menyediakan sebuah tinjauan komprehensif DMARDS biologis saat ini dan yang sedang dikembangkan.
Generasi Pertama Penghambat TNF-α
Infliximab (Remicade®)
Infliximab merupakan antibodi chimerik yang mengikat kedua TNF-α transmembran maupun yang bersirkulasi. Waktu paruhnya yang berlangsung 8 hingga 10 jam menyebabkan pemberiannya dilakukan setiap 4 hingga 8 minggu pada dosis 30 hingga 10 mg/kg lewat infus intravena. Didasarkan atas percobaan ATTRACT yang melibatkan 428 pasien resisten terhadap MTX dengan durasi penyakit rata-rata 11 tahun, infliximab terbukti menguntungkan ketika digunakan dalam kombinasinya dengan MTX sebagaimana ia menghentikan progresi kerusakan sendi baik pada responden maupun non-responden. Ternyata, mekanisme yang bekerja di balik hasil-hasil ini adalah dihalanginya aksi TNF dalam penyerapan tulang dan menumpulkan efek TNF dalam sintesis proteoglikan kartilago (2). Lebih jauh, akhir-akhir ini ditunjukkan bahwa impedansi kerusakan sendi pada RA dapat juga dihubungkan dengan efek infliximab dalam menurunkan infiltrat sinovial awal-awal setelah inisiasi pengobatan dengan cara penghambatan migrasi sel dan bukan melalui penginduksian apoptosis (3). Analisis subgroup percobaan ATTRACT memerlihatkan bahwa stabilisasi radiografik penyakit menjadi bukti bahkan pada pasien-pasien dengan RA dini (mis., kurang dari 3 tahun) (4,5). Lebih lanjut, kerusakan sendi yang lebih besar saat diketahui awal (baseline) dikaitkan dengan fungsi fisik yang lebih buruk saat diketahui awal dan kurangnya perbaikan dalam fungsi fisik setelah pengobatan menyarankan bahwa intervensi dini mungkin diperlukan. Pertanyaan inilah yang dialamatkan oleh percobaan ASPIRE yang melibatkan 1004 pasien dengan durasi penyakit kurang dari 3 tahun. Memang, infus dengan infliximab bersamaan dengan MTX dalam suatu pengobatan populasi naïf memerbaiki gejala dan tanda klinis, hasil luaran fungsional dan mencegah kerusakan struktural sendi secara bermakna lebih dibandingkan monoterapi MTX (4).
Sebuah Dutch study penting (BeSt), memeriksa efikasi terapi kombinasi inisiil dibandingkan dengan monoterapi, melibatkan 508 pasien dengan RA yang didiagnosis baru dan membandingkan berbagai strategi terapi berbeda. Monoterapi sekuensiil (Kelompok 1) dan terapi set-up combination (Kelompok 2), keduanya memulai dengan MTX, dibandingkan dengan terapi kombinasi inisiil terdiri dari pemberian prednison dosis tinggi yang di-taper, MTX, dan sulfasalazin (SSA) (Kelompok 3) dan dengan terapi kombinasi inisiil terdiri dari MTX dan infliximab (Kelompok 4). Setelah 2 tahun pengobatan, tujuan dari DAS44 2.4 tercapai sebesar 82% dalam kelompok infliximab dibandingkan dengan 75% pasien dalam Kelompok 1, 81% dalam Kelompok 2, dan 78% dalam Kelompok 3. Lebih banyak pasien dalam kelompok kombinasi 3 dan 4 mampu untuk taper dan menghentikan obat-obat terapi kombinasi inisiil karena aktfitas penyakitnya yang kontinyu rendah, yaitu sebanyak 54% pasien yang menerima terapi kombinasi infliximab + MTX me-taper terapi dengan monoterapi mereka, dibandingkan dengan 36% pada kelompok prednison/MTX/SSA. Setelah 2 tahun pengobatan, 80% dari seluruh pasien mencapai tujuan DAS 2.4, dan 42% mencapai remisi klinis (DAS <1.6) (6).
Percobaan terkontrol acak (RCT) lainnya pada 20 pasien dengan RA berprognosis buruk yang diidentifikasi dengan Persistent Inflammatory Symmetrical Arthritis (PISA) score system dan mereka yang memiliki gejala kurang dari 1 tahun menunjukkan sebuah efek menguntungkan dari infliximab dan MTX, memerkenalkan konsep penginduksian remisi dan terapi pemeliharaan yang lalu dipinjam oleh pengobatan onkologi (7). Lebih lanjut, studi ini dengan berhasil mengunjukkan sebuah penghentian kehilangan tulang inflamasi pada populasi pasien ini (8).
Etanercept (Enbrel®)
Etanercept merupakan protein fusi manusia yang dapat larut, diciptakan melalui penggabungan dua regio pengikatan ligand dari reseptor p75 TNF-α dan bagian Fc dari IgG1 manusia, dan memiliki waktu paruh terpendek (3 hingga 4 hari) dari keseluruhan inhibitor TNF-α. Etanercept memiliki sifat unik yang membedakannya dengan infliximab dan adalimumab. Sebaliknya dengan agen anti-TNF lain, ia juga mengikat limfotoksin-alfa (dengan sebutan lain dikenal sebagai TNF-β) yang telah dikaitkan dengan kontrol pertumbuhan tumor yang bebas dari aktifitas TNF (9). Sebagai tambahan, ia tidaklah melisiskan sel yang mengekspres TNF transmembran dalam kehadiran atau ketiadaan komplemen. Etanercept disetujui FDA bagi pemakaiannya dalam pengobatan RA dewasa pada 1998. Meski sering diberikan bersama dengan MTX dalam praktik klinik, etanercept telah disetujui sebagai monoterapi dan tidak harus diberikan bersama-sama dengan MTX (10).
Moreland dkk pertama kali mengevaluasi efikasi monoterapi etanercept dalam sebuah RCT fase II, merekrut 180 pasien dengan RA refrakter selama 3 bulan. Sebuah reduksi bergantung dosis dalam aktifitas penyakit terlihat, yaitu 75% kelompok dosis tinggi mencapai respon ACR20 dibandingkan dengan 14% pada kelompok plasebo (11). Selanjutnya, hasil-hasil dikonfirmasi dengan sebuah percobaan fase III membandingkan dua dosis etanercept (10 dan 25 mg subkutan, dua kali seminggu). Kedua dosis terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo dan dosis 25 mg lebih efektif dibandingkan dengan dosis 10 mg (12).
Kombinasi MTX dengan etanercept dalam percobaan RA awal yang status aktif (COMET) membandingkan remisi dan non-progresi radiografik pada pasien diterapi dengan monoterapi MTX atau dengan MTX ditambah etanercept. Dari analisis yang teramati menyarankan 50% pasien yang diberikan kombinasi terapi etanercept dan MTX dengan berhasil mencapai remisi klinis primary endpoint (skor DAS28) dibandingkan sebesar 28% dengan hanya menggunakan MTX. Lebih lanjut, penghentian progresi radiografik nampak pada 80% pasien dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan 59% pasien menerima monoterapi MTX (13).
Dalam satu dari percobaan biologi major (TEMPO), sebuah studi double blind, kelompok-paralel, global, sebanyak 686 subjek diacak untuk etanercept (25 mg dua kali seminggu), MTX (hingga 20 mg/minggu), atau kombinasi etanercept dan MTX. End point radiografi primer berubah dalam the van der Heijde-modified total Sharp Score (TSS) pada 52 minggu. End point radiografi sekunder adalah: perubahan dalam erosi total, perubahan dalam penyempitan ruang sendi total, jumlah sendi yang erosi, non-progresi (perubahan TSS <0.5 dan <3.0) dan progresi lebih besar dibandingkan perbedaan terkecil yang dapat terdeteksi. Dua pengamat, blinded dalam rangkaian filem sinar-X, moda pengobatan dan patient identiy scored masing-masing snar-X.
Hasil percobaan TEMPO mengunjukkan bahwa 74.2% pasien RA yang diobati dengan etanercept plus MTX tidak mengalami progresi kerusakan sendi. Perbandingannya, hanya 65% dan 59.2% pasien-pasien dengan monoterapi etanercept dan monoterapi MTX berturut-turut, tidak menunjukkan progresi radiografi kerusakan sendi pada 2 tahun (14).
Adalimumab (Humira®)
Adalimumab merupakan sebuah antibodi monoklonal IgG1 manusia rekombinan yang spesifik untuk TNF-α manusia. Ia tidak hanya menghambat pengikatan TNF-α dengan reseptornya, namun juga melisis sel-sel yang mengekspres membrane bound TNF-α dalam kehadiran komplemen. Adalimumab memiliki sebuah perkiraan waktu paruh 6 hingga 14 hari dan dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasinya dengan MTX untuk RA (10).
Semua hasil tersebut juga didukung oleh sebuah studi intervensi prospective single-arm, pada mana 59 pasien dengan RA mapan diterapi dengan penginjeksian fortnightly adalimumab 40 mg subkutan selama 6 bulan, dengan laporan adanya perbaikan bermakna dalam hal berikut: perceived work ability (Work Ability Index [WAI]), quality of life (Rheumatoid Arthritis Quality of Life instrument [RAQoL]), dan kelelahan (Checklist Individual Strength [CIS]) (15).
Satu RCT double-blind 2 tahun (PREMIER) mengevaluasi efikasi terapi kombinasi adalimumab plus MTX dibandingkan dengan MTX atau adalimumab monoterapi pada 799 pasien dengan RA aktif dini. Hasilnya setelah satu tahun terapi mengunjukkan pencapaian ACR50 berrespon dalam 60% pasien yang diterapi dengan terapi kombinasi dibandingkan dengan 46% dan 41% pasien menerima monoterapi MTX atau adalimumab berturut-turut (P<0.001). Lebih lanjut, setelah dua tahun pengobatan, 49% pasien yang menerima terapi kombinasi mencapai remisi penyakit (DAS28 <2.6). Adalimumab dalam kombinasinya dengan MTX juga didapatkan menjadi lebih efektif dibandingkan dengan monoterapi dalam perlambatan progresi penyakit secara radiografi (16). Efikasi yang superior dari adalimumab plus MTX di atas monoterapi MTX telah juga diunjukkan dalam sebuah RCT double-blind belakangan ini pada pasien-pasien Taiwan dengan RA aktif (17).
Percobaan ARMADA, sebuah studi plasebo terkontrol 6 bulan, fase II/III dengan peserta 271, mengunjukkan reduksi bermakna dalam gejala dan tanda RA, perbaikan dalam fungsi fisik, dan tingkat keamanan adalimumab plus MTX vs plasebo plus MTX. Pada 24 minggu, lengan terapi kombinasi (adalimumab plus MTX) memiliki respon ACR lebih tinggi (ACR20: 67%, ACR50: 55%, dan ACR70: 27%) dibandingkan dengan 15%, 8%, dan 5% berturut-turut pada pasien-pasien yang menerima plasebo + MTX (P<0.001) (18).
Kesimpulannya, adalimumab mengunjukkan reduksi yang bermakna dan tetap bertahan dalam gejala dan tanda, penghambatan progresi radiografik, tetapi juga memerbaiki status fungsional, kualitas hidup dan produkstifitas kerja pada pasien dengan RA.
Penghambat TNF-α yang Baru Diijinkan Beredar
Certolizumab pegol (Cimzia®)
Certolizumab merupakan agen anti-TNF yang pertama dan satu-satunya pegylated Fc-free yang memiliki sebuah struktur unik yang tidak menyertakan porsi fragmen yang dapat terkristalisasi (Fc) –crystallizable fragment – yang sebagaimana terdapat dalam agen-agen anti-TNF lainnya, dan memiliki satu cara unik pensinyalan melalui membran TNF. Tidak seperti halnya inhibitor TNF-a lainnya (infliximab, adalimumab, etanercept), yang mengandung sebuah regio Fc, certolizumab tidak berkemampuan memediasi antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC) dan complement-dependent cytoxicity (CDC) (19).
Efikasinya dalam RA telah dipertunjukkan, ketika digunakan sebagai sebuah terapi add-on untuk MTX, menyediakan perbaikan berjangka-lama dalam fungsi fisik, HRQoL, dan mengurangi nyeri. Ia telah dievaluasi oleh dua buah RCT fase 3 double-blind (20, 21). Smolen dkk mengikuti 619 pasien untuk sebuah periode 24 minggu dan melihat bahwa dalam kelompok pasien dengan certolizumab pegol 200- dan 400-mg mencapai angka respon ACR20 sebesar 57.3% dan 57.6% berturut-turut vs 8.7% dalam kelompok plasebo (20). RCT double-blind lainnya oleh Keystone dkk merekrut 982 pasien untuk 52 minggu, dan memperlihatkan bahwa angka respon ACR20 dalam kelompok yang menerima 200 mg dan 400 mg certolizumab pegol adalah 58.8% dan 60.8% berturut-turut, dibandingkan dengan 13.6% untuk kelompok plasebo pada pasien-pasien yang sebelumnya gagal berrespon terhadap MTX. Percobaan ini juga memerlihatkan bahwa obat ini memerlambat rata-rata progresi radiografik dari baseline dalam minggu 52, dan memerbaiki fungsi fisik pada seawalnya minggu pertama (21)
Akhir-akhir ini, studi FAST4WARD mengunjukkan efikasi dan keamanan dari monoterapi certolizumab 400 mg yang diberikan setiap 4 minggu, dalam 220 pasien yang sebelumnya failing ≥1 DMARD therapy. Angka respon ACR20 dicapai setelah 24 minggu adalah 45.5% dalam kelompok certolizumab dibandingkan dengan 9.3% dalam kelompok plasebo (P<0.001). Hasil luaran bermakna lainnya dicapai selama studi meliputi skor-skor ACR50, DAS28(ESR)3 (22).
Walaupun profil efikasi certolizumab kelihatannya berada di nominal dengan penghambat TNF lainnya, kejadian merugikan serius yang tidak biasa, infeksi merupakan yang paling sering. Di antara kejadian merugikan berupa infeksi serius yang paling sering adalah infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran kencing, dan reaktifasi tuberkulosis (21).
Golimumab (Simponi®)
Golimumab adalah sama dalam struktur dengan infliximab kecuali bahwa ia direkayasa menjadi sepenuhnya manusia dan diberikan dalam dosis 50 mg injeksi subkutan sekali sebulan. Efikasi golimumab telah melewati evaluasi percobaan klinis fase III dalam pengobatan pasien dengan RA aktif di samping (despite) terapi MTX. Peneliti mengamati: pasien menerima 100 mg golimumab + MTX atau 50 mg golimumab + MTX mencapai angka respon ACR20 56.2% dan 55.1% berturut-turut dibandingkan dengan 44.4% pada pasien-pasien yang menerima 100 mg golimumab plus plasebo (23). Penambahan golimumab terhadap MTX secara bermakna menurunkan tanda dan gejala RA dan memerbaiki fungsi fisik.
Efikasi golimumab plus MTX dikonfrmasi dalam sebuah dose ranging RCT multisenter, double-blind, placebo-controlled, meliputi 172 pasien yang secara acak ditentukan menerima plasebo plus MTX atau 50 mg atau 100 mg golimumab setiap 2 atau 4 minggu plus MTX hingga minggu 48. Seminggu (at week) 16.61% pasien dalam kelompok kombinasi golimumab plus MTX mencapai respon ACR20 dibandingkan dengan 37% pasien dalam kelompok plasebo plus MTX (P,0.001) dan 79% pasien dalam kelompok penerima 100 mg golimumab setiap 2 minggu mencapai respon ACR20 (P<0.001) (24).
Temuan dari 2 buah percobaan klinis fase III yang disajikan pada EULAR Annual Conference of Rheumatology menyediakan data tentang efikasi golimumab pada RA. Percobaan GO-AFTER mengevaluasi efikasi golimumab pada 461 pasien dengan RA aktif yang sebelumnya diterapi dengan penghambat TNF, namun penghambat TNF ini tidak dilanjutkan penggunaanya akibat rendahnya efikasi, intoleransi atau dengan alasan lainnya. Pada minggu 14, 35% dan 38% pasien penerima 50 mg dan 100 mg golimumab, berturut-turut, mencapai perbaikan the primary endpoint of ACR20 deribandingkan dengan 18% pasien penerima plasebo (P<0.001). Pada minggu 24, 52% pasien-pasien yang diterapi golimumab mengalami perbaikan relevan secara klinis (meningkat dalam skor HAQ sedikitnya 0.25 dari baseline) dibandingkan dengan 34% pada pasien dengan terapi plasebo (P<0.001). Juga pada minggu 24, pasien-pasien yang menerima golimumab mengalami sebuah perbaikan rata-rata dalam HAQ sebesar 0.27 ± 0.51 dibandingkan dengan perbaikan sebesar 0.05 ± 0.51 di antara pasien-pasien penerima plasebo (P<0.01). Yang penting, di antara pasien-pasien yang sebelumnya dengan terapi anti-TNF nya tidak dilanjutkan akibat rendahnya efikasi, pasien-pasien yang diterapi golimumab mengalami satu perbaikan rata-rata sebesar 0.23 ± 0.50 dalam HAQ, dibandingkan dengan satu perbaikan rata-rata sebesar 0.06 ± 0.51 untuk pasien-pasien yang menerima plasebo (P<0.05) (25).
Dalam percobaan GO-FORWARD, meliputi 444 pasien, dosis 50 mg dan 100 mg golimumab setiap bulan dievaluasi pada pasien-pasien yang memiliki RA aktif dan yang sebelumnya diterapi MTX. Pasien-pasien dalam kelompok pengobatan aktif mencapai respon ACR20 yang lebih besar pada minggu 14 dan perbaikan fungsi fisik lebih besar secara bermakna pada minggu 24 (HAQ 0.46 ± 0.53 vs 0.13 ± 0.58 [P <0.001]) (25). Kombinasi golimumab dengan MTX kelihatannya secara umum diterima dengan baik dengan kebanyakan tingkat keparahan kejadian buruk tak diinginkan berrentang ringan hingga sedang. Efek tak diinginkan yang paling sering dari terapi golimumab termasuk mual-mual, sakit kepala dan reaksi pada lokasi penginjeksian. Pneumonia merupakan kejadian tak diinginkan serius yang paling sering teramati pada pasien-pasien penerima golimumab. Risiko keganasan kulit meningkat pada pasien-pasien diterapi golimumab, sebagaimana halanya dengan penghambat TNF lainnya (24)
Data terkini memerlihatkan bahwa terapi dengan golimumab mungkin mengindikasikan sebuah pendalaman penting dari respon, mengembangkan aspek-aspek multipel RA, dan mengawali ke pada penurunan bermakna dalam aktifitas penyakit. Namun, efikasi golimumab belum pernah teruji melawan penghambat TNF lainnya dalam berbagai studi yang ada. Dus, daya tarik golimumab di dalam sebuah arena yang telah ramai akan kemungkinan menjadi seperti sebuah molekul yang self-injectable, humanized dengan pemberian setiap bulan. Terlebih, dosis yang disetujui akhir-akhir ini di amerika adalah 50 mg dan, dengan demikian, data tingkat efikasi dan keamanan yang diekstrapolasikan dari berbagai percobaan klinis haruslah sesuai dengan dosis khusus ini
Keamanan dan Tolerabilitas Penghambat TNF
Penghambat TNF telah diindikasikan bagi pengobatan RA untuk lebih dari 10 tahun dan, sebagai hasilnya, mereka memiliki sebuah profil keamanan yang telah mapan baik.
Terdapat bukti yang berkembang bahwa penghambatan TNF dikaitkan dengan berbagai infeksi serius, dan satu gangguan jelas mekanisme pertahanan inang melawan bakteri gram-positif, gram-negatif, dan berbagai patogen yang jarang penyebab berbagai infeksi oportunistik. Perhatian khusus adalah laporan berganda reaktifasi infeksi laten Mycobacterium tuberculosis. Infeksi bakterial serius telah dilaporkan, termasuk dua kasus fatal sepsis pneumococcal dan necrotizing fasciitis, dan kasus berganda listeriosis (kebanyakan dengan terapi infliximab) (10).
Sejumlah studi berusaha untuk menentukan insiden tuberkulosis pada RA. Sebagaimana diselidiki dalam populasi Korea, risiko tuberkulosis adalah 8.9 kali lebih tinggi bagi pasien RA dan 30.1 kali lebih tinggi dari pasien RA yang diterapi dengan infliximab; pemakaian etanercept tidak dikaitkan dengan setiap peningkatan risiko tuberkulosis di atas yang nampak dalam populasi RA umum (26). Sebagai pengganti dari semua perhatian tingkat keamanan ini, banyak ahli merekomendasikan pengawasan ketat berkembangnya tuberkulosis selama terapi anti-TNF dan berbagai langkah-langkah pencegahan. Bukti untuk sebuah risiko meningkat bagi infeksi serius dan sebuah peningkatan bergantung dosis dalam keganasan diidentifikasi dalam tinjauan sistemik dan analisis-meta dari sembilan buah percobaan terkontrol acak dari infliximab dan adalimumab pada pasien-pasien dengan RA (27). Berbagai laporan juga memerlihatkan sebuah peningkatan angka mortalitas pada pasien RA dengan gagal jantung kongestif NYHA III/IV yang diterapi dengan penghambat TNF (khususnya infliximab) (10, 28).
Bukti berbagai infeksi jamur invasif (IFI) juga muncul dalam kaitannya dengan penggunaan inhibitor TNF. Sebagaimana dilaporkan oleh Tsiodras dkk, 80% kasus IFI dikaitkan dengan infliximab, 16% dengan etanercept, dan 4% dengan adalimumab; dan IFI paling prevalen yang teridentifikasi adalah histoplasmosis (305%), kandidiasis (23%), dan aspergilosis (23%) (29). Meningkatnya kerentanan terhadap IFI dipertalikan dengan penghambatan produksi IFN-γ, menurunnya pengekspresian berbagai reseptor pengenalan-pola (pattern-recognition receptors), dan apoptosis (30). Dengan demikian, satu indeks tinggi dari kecurigaan dan meningkatkan pengamatan dari IFI yang mengganggu blokade TNF adalah direkomendasikan karena perjalanan dari infeksi yang seperti itu dapat menjadi serius atau fulminan, dan akses cepat ke pusat-pusat kesehatan harus disediakan.
Belakangan ini Carter dkk mengevaluasi profil tingkat keamanan penghambat TNF pada kehamilan (31). Laporan mereka menyarankan bahwa 59% anak-anak yang lahir dari ibu-ibu mereka yang memakai penghambat TNF memiliki satu atau lebih anomali kongenital yang merupakan bagian dari vertebral abnormalities, anal atresia, cardiac defect, tracheoesophageal, renal, and limp abnormalities (VACTERL) association dan anomali kongenital yang paling sering dilaporkan adalah beberapa bentuk defek jantung. Namun, dalam sebuah abstrak yang disajikan pada pertemuan ilmiah ACR 2008, tidak satupun fetus yang dipaparkan dengan infliximab in utero tersaji dengan malformasi VATER (VACTERL) (32). Hal yang sama, dalam dua buah penyajian ACR 2008 pada hasil luaran kehamilan pada wanita yang terpapar dengan adalimumab (119 wanita) dan etanercept (154 wanita) berturut-turut, tidak terdapat perhatian muncul mengenai meningkatnya risiko untuk hasil luaran khusus yang terkait kehamilan (33, 34)
Berlanjutnya pendaftaran, misalnya sebuah yang pegang oleh the Organization of Teratology Information Specialists (OTIS), akan mampu mengatasi masalah keamanan dalam kehamilan lebih definitif dalam waktu dekat. Certolizumab, satu dari biologik yang lebih baru, memiliki keuntungan teoritik dari rendahnya bagian Fc, yang adalah perlu bagi transport melewati plasenta, dan itu masih harus dibuktikan apakah itu mungkin lebih aman bagi wanita yang berkeinginan untuk hamil.
Penghambat TNF telah juga dikaitkan dengan perkembangan berbagai penyakit otoimun seperti systemic lupus erythematosis, lupus-like syndrome, cutaneous vasculitis, penyakit paru interstitial, dan penyakit dari Behcet (35, 36). Bermacam mekanisme yang mungkin menginduksi produksi antibodi oleh penghambat TNF-α adalah termasuk disregulasi apoptosis dengan melepas bermacam nukleosom plasma otoimunogenik dari sel-sel apoptotic yang memicu pembentukan otoantibodi melawan bahan-bahan sitoplasmik dan nuklear atau penghambatan dari satu respon limfosit T sitotoksik yang secara normalnya menekan sel-sel B otoreaktif (37). Namun, konsentrasi dan frekuensi yang lebih besar dari antibodi-antibodi antinuklear, antikardiolipin dan anti-dsDNA dijelaskan dengan infliximab dibandingkan dengan adalimumab menyarankan bahwa bermacam faktor selain blokade TNF mungkin bertanggung jawab bagi penginduksian dari semua penyakit otoimun ini (38, 39).
Karena kemungkinan terdapat efek kelas, pasien yang gagal diobati dengan sebuah penghambat TNF akibat dari satu masalah tolerabilitas atau tingkat keamanan, mungkin menjadi berada pada risiko bagi satu masalah tingkat keamanan yang sama terhadap sebuah penghambat TNF alternatif. Sebuah studi berbasis-UK melaporkan, alasan untuk tidak melanjutkan ke pengalihan dengan menggunakan agen anti-TNF-α kedua dihubungkan dengan alasan yang menghentikan agen anti-TNF-α yang pertama. Lebih lanjut, risiko untuk mengembangkan kejadian buruk tak diharap dengan sebuah penghambat TNF kedua meningkat dua kali lipat pada pasien-pasien yang teralihkan akibat dari sebuah kejadian buruk tak diharap (40).
Interleukin-1 receptor blocker
Anakinra (Kineret®)
Anakinra adalah bentuk rekombinan, non-glycocylated dari reseptor IL-1 dengan waktu paruh 4 hingga 6 jam dan diberikan sebagai 100 mg injeksi setiap hari secara subkutan. Sekarang, anakinra merupakan satu-satunya antagonis IL-1 yang dipasarkan dan disetujui untuk pengobatan RA, sendiri-sendiri atau dalam kombinasinya dengan MTX. Di Eropa, agen ini telah mendapat persetujuan untuk pengobatan RA hanya dalam kombinasinya dengan MTX.
Efikasi anakinra dievaluasi sebagai sebuah terapi add-on pada pasien RA yang dengan respon tak adekuat dengan monoterapi menggunakan DMARDS non-biologis. Anakinra (100 mg, sc setiap hari) diberikan bersama-sama dengan krim kortikosteroid topikal, di samping dengan pengobatan MTX (n = 48), leflunomide (n = 42), atau cyclosporine-A (n = 32). Pada 48 minggu, persentase pasien mencapai respon ACR20, ACR50, dan ACR70 adalah berturut-turut 73%, 41% dan 23% (41). Analisis gabungan lainnya dari lima buah percobaan klinis menyangkut 2846 pasien melaporkan perbaikan bermakna dari respon ACR20 pada peserta yang diterapi dengan anakinra 50 hingga 150 mg setiap hari vs plasebo setelah 24 minggu (38% vs 23%). Perbaikan bermakna juga teramati dengan anakinra vs plasebo menurut parameter: ACR50 (18% vs 7%), ACR70 (7% vs 2%), skor HAQ, skor analog visual untuk nyeri, skor radiografik Larsen, dan ESR (42).
Anakinra adalah cukup baik ditoleransi, dengan reaksi pada lokasi penginjeksian menjadi efek samping yang paling sering, terjadi hingga pada 70% pasien dalam dose-dependent manner (42-44). Semua reaksi ini tidaklah memerlukan pengobatan dan dapat berkurang dengan penggunaan dilanjutkan. Satu insiden meningkat infeksi serius juga teramati pada pasien-pasien yang diterapi anakinra, dan agen ini harus dihentikan dalam menghadapi satu infeksi aktif (45).
Obat ini telah digunakan dengan berhasil bagi banyak sindrom oto-inflamatori (46). Namun, pemakaian anakinra untuk pengobatan RA telah dibatasi di seluruh dunia akibat dari efikasinya yang sedang, khususnya ketika dibandingkan dengan penghambat TNF dan obat biologik lebih baru. Walaupun percobaan pembandingan head-to-head belum dilaksanakan, perbaikan absolut kurang tersiarkan ketika dibandingkan dengan studi-studi menggunakan terapi biologik lainnya. Namun, perkembangan terkini dari long-acting IL-1 inhibitors (rilonacept, canakinumab) untuk bermacam sindrom oto-inflamatori, mungkin menyediakan kita dengan cara baru, bila percobaan yang layak dilaksanakan, untuk menjawab pertanyaan apakah kurangnya efikasi anakinra adalah berdasarkan atas mekanisme aksinya (penghambatan IL-1) vs pertalian khusus molekulnya, khususnya sifat-sifat farmakokinetiknya.
Interleukin-6 receptor blocker
Tocilizumab (Actemra®)
Tocilizumab, satu new humanized, antihuman IL-6 receptor antibody dengan sejumlah percobaan terkontrol acak yang mengevaluasi efikasinya dalam RA, sekarang disetujui pemakaiannya untuk pengobatan RA di Jepang (47). Meningkatnya level IL-6 dalam serum dan cairan sinovial dari pasien RA menyumbang ke pada proses inflamatori kronik yang mengarakterisasi RA dan berkorelasi secara positif dengan aktifitas penyakit. Tocilizumab berikatan secara selektif dan secara kompetitif dengan reseptor-reseptor IL-6 yang terekspres membran dan yang dapat larut, mengeblok transduksi sinyal IL-6 (48). Sejumlah percobaan pada pasien-pasien dengan RA dini dan yang telah berlangsung lama, mengunjukkan efikasi dari Tocilizimab intravena 8mg/kg setiap 4 minggu dalam memerbaiki aktifitas penyakit, kerusakan sendi struktural dan/atau HRQoL (49).
Tocilizumab sebagai monoterapi telah memperlihatkan efikasinya pada pasien-pasien yang dengan satu respon tak adekuat terhadap terapi MTX (50, 51). Studi AMBITION mengacak 673 pasien dengan RA aktif untuk menerima baik tocilizumab ataupun MTX untuk satu periode 24 minggu. Hasilnya memngunjukkan perbaikan bermakna secara statistik dari primary endpoint (ACR20) pada pasien yang diterapi dengan tocilizumab dibandingkan dengan pengobatan MTX (69.9% vs 52.5%, P<0.0001) (50). Studi dari the SATORI (Study of Active controlled TOcilizumab monotherapy for RA patients with an Inadequate response to MTX) juga mengunjukkan efikasi yang superior di antara 80.3% pasien yang diobati dengan monoterapi 8 mg/kg tocilizumab setiap 4 minggu, mencapai the primary endpoint (ACR20) pada 24 minggu dibandingkan dengan 25% pasien yang diterapi dengan terapi MTX 8 mg/minggu (51). Terapi kombinasi tocilizumab plus MTX dijumpai lebih cenderung memberikan efek dibanding monoterapi tocilizumab oleh penyelidik berbeda. Dalam sebuah studi yang dilakukan Eropa, penelti mengamati respon ACR20 pada 74% pasien penerima kombinasi dari 8 mg/kg tocilizumab plus MTX dibandingkan dengan 63% pada pasien yang menerima monoterapi 8 mg/kg tocilizumab. Tambahannya, respon-respon ACR50 dan ACR70 bermakna secara statistik (P<0.05) dijumpai pada pasien-pasien penerima terapi kombinasi (52).
Sebuah studi yang diarahkan oleh Emery dkk mengunjukkan efikasi secara meyakinkan pemakaian tocilizumab plus MTX pada pasien-pasien RA yang dengan respon tak adekuat terhadap inhibitor TNF, sebuah subpopulasi pasien RA yang sedang bertumbuh (53). Adapun profil keselamatannya, tocilizumab adalah ditoleransi baik oleh pasien-pasien dewasa yang dengan RA dini dan yang telah menderita lama. Efek tak diinginkan darurat yang memerlukan terapi segera terbanyak dilaporkan adalah dengan intensitas ringan hingga sedang, termasuk berbagai infeksi saluran nafas atas, nasofaringitis, sakit kepala, hipertensi, dan peningkatan kolesterol total dan ALT (49). Namun, akhir-akhir ini sebuah studi juga mengidentifikasi penekanan yang jelas dalam jumlah keadaan tertekannya imun yang mendasari (54). Berbagai studi lebih lanjut sedang diarahkan guna lebih memerbaiki penentuan profil keselamatan agen ini.
Kesimpulannya, tocilizumab intravena adalah efektif dan secara umum ditoleransi baik ketika diberikan sebagai monoterapi atau dalam kombinasinya dengan DMARDs konvensional pada pasien-pasien dewasa yang dengan RA aktif tingkat sedang hingga parah, tanpa memerhatikan lamanya penyakit atau terapi sebelumnya.
Terapi Deplesi Sel-B
Rituximab (Rituxan®)
Pendeplesian sel-B menggunakan berbagai antibodi anti-CD20 adalah sedang menjadi sebuah pilihan teraputik yang dikenal secara luas bagi pasien dengan RA parah, dan saat ini rituximab disetujui FDA di Amerika bagi pengobatan pasien RA yang memerlihatkan satu respon tak adekuat terhadap atau yang tidak toleran terhadap satu atau lebih penghambat TNF dalam kombinasinya dengan MTX, yang didasarkan atas beberapa studi terkontrol-plasebo acak (55-57).
Rituximab adalah chimeric human/mouse anti-CD20 antibody, dengan waktu paruh plasma sebesar 40 hingga 400 jam, dan diberikan dalam dua dosis 1000 mg infus intravena terpisah 2 minggu. Rituximab menginduksi satu deplesi cepat dari sel-B pengekspres-CD20 dalam darah perifer, dan level tersebut tetap rendah atau tak terdeteksi untuk 2 hingga 6 bulan sebelum kembali lagi ke level praterapi, unumnya 12 bulan. Level imunoglobulin serum tetap sebagian besarnya stabil (largely stable), walaupun satu penurunan dalam IgM telah dijelaskan.
Studi fase 3 dari the Randomised Evaluation oF Long-term Efficacy of rituXimab in RA (REFLEX) pada 517 pasien RA memerlihatkan terapi rituximab plus MTXsecara bermakna menurunkan progresi kerusakan sendi dibandingkan dengan placebo plus MTX. Penurunan bermakna teramati dari baseline hingga 56 minggu bagi rituximab plus MTX dibandingkan dengan placebo plus MTX dalam pengukuran berikut: Genant modified Sharp score (1.00 vs 2.31 in placebo; P=0.005), erosion score (0.59 vs 1.32; P=0.011) dan joint space narrowing score (0.41 vs 0.99; P<0.001) (58). Keberbedaan ini patut diperhatikan, mengingat bahwa majoritas pasien dalam kelompok plasebo (81%) menerima sedikitnya satu saja rituximab, karena dari minggu 16 hingga 24 pasien-pasien yang gagal berrespon terhadap pengobatan (<20% perbaikan dalam jumlah sendi yang bengkak) dapat menerima terapi penyelamatan. Tambahannya, rituximab memerlihatkan menghambat progresi radiografik yang independen dari respon klinik dalam populasi pasien seperti itu (1).
Hasil-hasil dari satu studi observasional pada satu populasi pasien dengan respon tak adekuat terhadap satu atau lebih penghambat TNF mengidikasikan bahwa rituximab mungkin lebih efektif pada pengontrolan aktifitas penyakit dibandingkan beralih ke satu penghambat TNF alternatif. Menurun bermaknanya dalam DAS 28 dilaporkan pada pasien-pasien menerima pengobatan rituximab (-1.61, 95% CI = -1.97 hingga -1.25) dibandingkan pada mereka-mereka yang menerima satu penghambat TNF alternatif (-0.98, 95% CI = -1.33 hingga -0.62) setelah 6 bulan terapi (59). Namun, ketika motif untuk memutus terapi TNF-α adalah sesuatu yang lain dari pada ketidakefektifan, baik rituximab maupun agen-agen TNF-α muncul untuk menawarkan level keefektifan yang sama, sebagaimana diperlihatkan dalam baynyak studi sebelumnya (40).
Sejauh ini rituximab merupakan satu-satunya agen yang secara formal menunjukkan bermakna memerlambat kerusakan sendi struktural pada pasien-pasien RA dengan respon tak adekuat ke pada atau mereka yang tak toleran terhadap penghambat TNF. Walaupun efikasinya telah dengan baik dikenal, rituximab dapat menimbulkan reaksi serius termasuk reaksi infus yang fatal, dan progressive multifocal leucoencephalopathy (PML) yang jarang. PML telah menjadi laporan komplikasi infeksi yang jelas terjadi pada pasien-pasien dengan systemic lupus erythematosus (SLE). Sebagaimana dilaporkan oleh Molloy dkk, sedikitnya dua per tiga kasus PML pada pasien-pasien dengan penyakit rematik yang dilaporkan dalam literatur medik terjadi pada pasien-pasien SLE (60). Dua puluh tiga pasien onkologi yang diterapi rituximab dilaporkan oleh FDA menjadi PML pada 6 Desember 2007. Kebanyakan dari pasien-pasien ini menerima rituximab dalam kombinasinya dengan khemoterapi atau transplantasi sel punca (61). Namun, kejadian PML pada pasien-pasien RA belum pernah dilaporkan hingga kini. Walaupun risiko yang disebabkan oleh rituximab adalah sulit untuk dinilai karena adanya pengganggu berganda, kewaspadaan yang berkelanjutan haruslah dapat terjamin. Dengan demikian, ahli rheumatologi harus waspada dan mencari-cari diagnosis PML di keseluruhan pasien yang dengan gejala dan tanda neurologis yang tidak terjelaskan dengan temuan-temuan klinis dan MRI sebanding dengan diagnosis PML. Sekali diagnosis PML ditegakkan, terapi rituximab harus dihentikan; pengurangan dosis dan penghentian harus dipertimbangkan untuk setiap pemberian imunosupresan secara bersama-sama. Soal lainnya yang masih tetap belum terselesaikan adalah jumlah infus rituximab yang dapat diberikan secara aman.
Ocrelizumab
Ocrelizumab (OCR) merupakan sebuah anti-CD20 humanized monoclonal antibody yang baru, yang saat ini dalam percobaan klinis untuk pengobatan RA. Dalam perbandingannya dengan rituximab, ocrelizumab berikatan dengan satu epitop dari domain ekstraseluler reseptor CD20 berbeda, namun saling bertumpang tindih. Pengarakterisasian in vitro ocrelizumab mengunjukkan penguatan ADCC dan pengurangan CDC dibandingkan dengan rituximab (62).
The ACTION trial (a randomized, placebo-controlled, blinded, phase I/II study of escalating doses of ocrelizumab in patients with moderate to severe RA on stable doses of concomitant MTX) menyelidiki ocrelizumab terhadap satu rentangan luas dosis pada pasien-pasien dengan RA tingkat sedang dan parah yang menerima terapi MTX bersama-sama (62). Satu pemberian tunggal ocrelizumab (2 kali infus pada hari ke 1 dan 15) pada dosis berrentang dari 100 hingga 1000 mg diberikan. Respon klinis dievaluasi pada 24 minggu dan profil keamanan pada 72 minggu follow-up. Satu proporsi pasien yang lebih tinggi dalam seluruh kelompok ocrelizumab mencapai respon ACR20, ACR50, atau ACR70 pada minggu 24 dibandingkan dengan pasien-pasien dalam kelompok plasebo. Angka respon ACR20 pada minggu 24 adalah 42%, 35%, 45% dan 50% pada mereka-mereka yang menerima berturut-turut OCR 10 mg, 50 mg, 200 mg, dan 500/1000 mg. Angka respon ACR20dalam kelompok plasebo adalah 22%. Profil keamanan ocrelizumab dalam studi ini adalah konsisten di seluruh kelompok dosis dan menyarankan hanya berbeda sedikit dibandingkan dengan plasebo. Insiden kejadian efek buruk serius dalam pasien-pasien yang diterapi ocrelizumab adalah 17.9% dibandingkan dengan 14.6% dalam kelompok plasebo. Insiden infeksi serius adalah 2.0% pada seluruh pasien yang diterapi ocrelizumab dan 4.9% dalam pasien yang diterapi plasebo. Seluruh infeksi serius yang teramati sembuh tanpa meninggalkan bekas.
Walaupun ocrelizumab adalah diterima dengan baik dan kelihatan aman, pengalaman tambahan dengan percobaan berganda akan diperlukan untuk memalidasi hasi-hasil luaran dan memahami lebih jauh lagi kebermaknan klinis human anti-human antibodies dan keuntungan potensiil teknik pendekatan teraputik ini atas pengobatan dengan antibodi chimeric.
Terapi yang Menarget sel-T
Abatacept (Orencia®)
Abatacept merupakan satu protein fusi terdiri dari the human cytotoxic T-lymphocyte-associated antigen-4 molecule (CTLA-4) dan imumnoglobulin G1, yang keduanya terjadi secara alami dalam tubuh. Melalui penyerupaan aksi CTLA-4, abatacept menghambat satu dari jalur kostimulasi kunci (CD28:CD80/CD86) yang dibutuhkan untuk pengaktifasian penuh sel-T (63). Obat ini telah disetujui untuk pengobatan pasien-pasien RA yang telah memerlihatkan respon tak adekuat terhadap atau yang intoleran pada satu atau lebih DMARDs atau penghambat TNF di Amerika, atau satu atau lebih penghambat TNF hanya di Eropa (1). Abatacept mungkin digunakan sebagai satu monoterapi ataukah bersama-sama dengan hanya DMARDs. Sebagaimana dilaporkan dalam percobaan the ASSURE (Abatacept Study of Safety in Use with other Rheumatoid arthritis therapies), abatacept dikombinasikan dengan terapi berlatar belakang biologi adalah dikaitkan dengan satu peningkatan angka kejadian buruk serius (64). Dengan demikian, abatacept adalah dikontra-indikasikan untuk penggunaan bersama-sama dengan penghambat TNF-α, anakinra, dan/atau terapi biologi lainnya.
Beberapa percobaan fase III memerlihatkan abatacept menjadi sebuah pilihan efektif pada pasien-pasien yang refrakter terhadap penghambatan TNF-α dengan perbaikan kualitas hidup yang impresif. Dua buah percobaan klinis mengevaluasi efikasi abatacept untuk pasien-pasien yang sulit diobati: the AIM untuk kasus-kasus yang resisten-MTX dan the ATTAIN untuk pasien-pasien yang resisten terhadap penghambat TNF-α (65, 66).
Sebuah percobaan acak, double-blind placebo- and active (infliximab)-controlled, 12-bulan yang lebih terkini dikenal sebagai ATTEST (for Abatacept or infliximab vs placebo, a Trial for Tolerability, Efficacy and Safety in Treating rheumatoid arthritis) menyarankan bahwa abatacept berbasis-berat (weight-based abatacept) baku mungkin memiliki efikasi sebanding dengan sebuah profil keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan infliximab 3 mg/kg (67). Percobaan didisain untuk memeroleh data pada besarnya efek pengobatan abatacept dalam RA atau infliximab (sebuah penghambat mapan dari TNF untuk RA) vs plasebo, dan untuk mendapatkan data efikasi dan keamanan relatif atas dua pengobatan biologi ini dalam satu studi tunggal. Studi menggunakan satu disain double-blind, randomized, placebo-controlled untuk 6 bulan pertama untuk memalidasi respon-respon efikasi, dan lamanya studi mengijinkannya kesempatan untuk secara langsung membandingkan profil keamanan kelompok-kelompok pengobatan biologi aktif lebih dari setahun (67). Dalam studi ini, abatacept dan infliximab (3 mg/kg setiap 8 minggu) mengunjukkan efikasi yang sama. Namun secara keseluruhan, abatacept memiliki satu profil keamanan dan tolerabilitas yang relatif lebih dapat diterima, dengan kejadian buruk serius, infeksi serius, kejadian infusional akut dan penghentian yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang tak diinginkan yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok infliximab. Keterbatasan studi adalah jangka waktunya yang pendek dan kenyataan bahwa dosis pembandingnya (infliximab) adalah 3 mg/kg, dosis yang hanya disetujui pada saat itu di Uni Eropa.
Efikasi dari terapi kombinasi, abatacept tambah MTX telah dikonfirmasi oleh sebuah studi follow-up 2-tahun, di mana 80.3% pasien yang mendapatkan abatacept memerlihatkan perbaikan ACR 20%, 30.9% mencapai remisi (CRP-DAS28<2.6) dan 66.8% terjadi penguatan fungsi fisik (sebagaimana diukur dengan indeks ketunaan HAQ). Rerata perubahan skor-skor simpulan dalam komponen-komponen fisik dan mental dari Short-Form-36 juga mengonfirmasi satu perbaikan yang baik dari HRQoL(68).
Efikasi dan keamanan abatacept telah juga dievaluasi pada pasien-pasien dengan RA yang menerima etanercept. Namun, persentase perbaikan dalam respon ACR20 setelah 6 bulan terapi abatacept adalah mengecewakan. Lebih lanjut, setelah setahun asosiasi dari kedua macam terapi ini, tidak nampak perubahan penting dalam respon-respon ACR teramati(69). Terlebih lagi, kombinasi ini kelihatannya terkait dengan satu peningkatan dalam angka kejadian buruk serius dibandingkan dengan pasien-pasien yang menerima plasebo dan etanercept (16.5 vs 2.8%).
Tidak seperti percobaan klinis sebelumnya yang mengikutkan pasien-pasien dengan RA kronis, Westhovens belakangan ini mengevaluasi efikasi abatacept pada pasien-pasien MTX-naïve dengan RA dini(70). Studi abatacept untuk Gauge Remission and joint damage progression in MTX-naïve patients with Early Erosive RA (AGREE) merupakan satu percobaan 2-tahun, double-blind yang menyertakan pasien-pasien yang dengan penyakit kurang dari 2 tahun tanpa paparan MTX (<10 mg/mgg untuk <3). Populasi studi sebesar 509 pasien diacak untuk menerima plasebo plus MTX (meningkat hingga mencapai 20 mg/mgg) atau abatacept 10 mg/kg plus MTX untuk 12-bulan sebelum satu ekstensi 12 bulan open-label (an open-label 12 month extension). The co-primer endpoints studi ini adalah remisi (DAS28<2.6) dan Gennant-modified Sharp total score. Pada tahun pertama, 42.4% pasien yang diterapi abatacept mencapai remisi dibandingkan dengan 23.3% pasien dalam kelompok plasebo. Proporsi pasien dengan tanpa progresi radiografik adalah berturut-turut sebesar 61.2% dan 52.9% dalam kelompok abatacept dan yang diterapi plasebo (keberbedaan sebesar 8.3, 95% CI – 1.0, 17.5). Perubahan gambaran awal dari Gennant-modified Sharp score dan skor erosi secara bermakna lebih rendah untuk abatacept, sementara progresi penurunan ruang sendi minimal tercatat dalam kedua kelompok. Lebih lanjut, 71.9% pasien yang diterapi abatacept mengalami perbaikan klinis penting dalam HAQ-DI dibandingkan dengan 62.1% dalam kelompok plasebo (P=0.024).
Profil keamanan abatacept adalah sebanding dengan obat biologis lainnya. Infeksi yang parah lebih sering terjadi pada pasien-pasien yang diterapi abatacept dibandingkan dengan pasien-pasien yang diterapi plasebo(71). Infeksi oportunistik jarang pada pasien-pasien dengan abatacept dan frekuensi bermacam keganasan, berdasarkan atas pengamatan pasca-jual dan kohort pasien manca negara, tidak lebih tinggi dibandingkan pada pasien-pasien RA yang diterapi dengan DMARDS(72).
Terapi dan Target Biologi Berikutnya
Karena cross-talk substansiil di antara berbagai sitokin pro-inflamasi IL-1β, TNF-α, IL-6, dan IL-17 adalah penting untuk menginduksi destruksi sendi pada RA(1), IL-1β dan TNF-α mendorong IL-6 dan tumor growth factor-beta (TGF-β) guna mengarahkan proses komitmen sel Th17 dan produksi IL-17(73). Polarisasi sel Th17 lebih lanjut menginduksi produksi IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, dan IL-17 (Gambar 1)(74-77). Sejumlah studi telah juga mengunjukkan peran penting sel-B dalam patogenesis RA. Satu rentangan tipe sel lekosit teraktifasi memroduksi the TNF family B-cell pro-survival factors BLyS (B-Lymphocyte stimulator) atau BAFF (B-cell activation factor belonging to the TNF family) dan APRIL (a proliferation inducing ligand)(78, 79). Level BAFF dan APRIL meningkat pada pasien-pasien RA dengan level-level lebih tinggi secara bermakna dalam cairan sinovial dibandingkan dalam serum(80, 81). Sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1, BLyS/BAFF mengikat 3 reseptor: BLyS receptor 3 (BR3, juga disebut BAFFR), transmembrane activator and calcium-signaling modulating and cyclophilin ligand (CAML) interactor (TACI), dan B cell maturation antigen (BCMA) yang berbeda dengan APRIL, yang mana secara selektif mendorong TACI dan BCMA receptor-mediated NF-kβ signaling mechanisms(82).
Gambar 1
Bermacam target molekular obat-obat dalam percobaan klinis untuk arthritis rheumatoid.
Singkatan: APRIL, a proliferation-inducing ligand; BCR, B-cell receptor; BLyS, B-lymphocyte stimulator; BAFF, B-cell activating factor; BR3, BLyS receptor 3; BCMA, B cell maturation antigen; HVEM, herpes virus-entry mediator; IL, interleukin; LTβ, lymphotoxin beta; RANKL, receptor activator of nuclear factor kappa B ligand; TACI, transmembrane activator and CAML-interactor; TNF-α, tumor necrosis factor alpha.
Agen-agen biologis berikut ini sedang dalam evaluasi dalam berbagai percobaan yang sedang berlangsung (Gambar 2 dan Tabel 6).
Gambar 2
Kaskade inflamasi dan berbagai target molekuler obat-obat biologis saat ini dalam arthritis rheumatoid.
Singkatan: APC, antigen presenting cell; IL, interleukin; MHC, major histocompatibility complex; MMP, matrix metalloproteinase; NF-κβ, nuclear factor Kappa beta; RF, rheumatoid factor; TCR, T-cell receptor; TNF-α, tumor necrosis factor alpha.
Tabel 6. Agen-agen biologis dalam perkembangan pada arthritis rheumatoid.
aData dikoleksi dari the registries on ClinicaTrials.gov hingga 26 Mei 2009.
bTocilizumab telah mendapat ijin untuk pengobatan RA di Jepang.
Singkatan: IL, interleukin.
a. Agen-agen sel-B yang menarget CD20 (ocrelizumab, ofatumumab, dan TRU-015), agen-agen yang menarget sitokin yang penting dalam maturasi sel-B stadium lanjut: BLyS atau BAFF (belimumab, briobacept) dan APRIL (atacicept), juga senyawa-senyawa lainnya yang menarget bermacam kinase intraseluler Jak3 (CP690, 550) dan Syk.
b. Agen-agen sel-T yang menarget lymphotoxin beta (LTβ) dan LIGHT (baminercept).
c. Agen-agen yang menarget sitokin: IL-1 (AMG 108), IL-6 (tocilizumab), dan IL-17A (AIN 457)
d. Agen-agen yang menarget osteoklas via penghambatan RANKL (denosumab).
Diskusi
• Berikut, sejumlah pertanyaan tak terjawab tentang terapi biologis dalam RA:
1. Kapan memulai obat biologis: RA dini atau yang sudah mapan?
2. Dapatkah penanda-bio menuntun memulai terapi biologis?
3. Interclass-comparison obat-obat biologis yang sudah ada dan yang akan muncul: Yang mana dan kapan untuk memulai?
4. Kebutuhan akan sebuah bakuan protokol terapi step-up/step-down untuk obat biologis: Memapankan sebuah algoritma teraputik untuk RA?
5. Isu-isu keamanan: Unik untuk satu agen biologis idividual ataukah mewakili sebuah efek kelas ?
6. Kewaspadaan yang sedang berlangsung: Adakah satu jalan yang lebih baik untuk pengawasan dan pencatatan efek samping potensiil dari obat biologis yang teridentifikasi setelah diijinkan beredar?
7. Mungkinkah untuk menghentikan terapi biologis pada pasien-pasien yang mencapai remisi dan, bila ya, kapankah waktunya yang optimal?
8. Risiko infeksi perioperatif saat seorang pasien dalam terapi biologis: Kapankah waktu yang tepat menghentikan pengobatan/prosedur/reinisiasi terapi? Perlu untuk readdress bagi setiap obat biologis baru.
• Obat biologis, biasanya dalam kombinasi dengan DMARDs seperti misalnya MTX, telah merevolusionisasi pengobatan RA, menghasilkan perbaikan bermakna dalam hasil luaran klinis, radiografi dan fungsional yang tak pernah terjadi sebelumnya. Namun, bahkan dengan ketersediaan dari semua medikasi ini, seproporsi bermakna pasien-pasien sama sekali tak berrespon atau berrespon pada awalnya dan kemudian selanjutnya efikasinya memudar. Dengan demikian, agen-agen baru, dengan mekanisme aksi berbeda, yaitu menarget molekul-molekul yang terlibat dalam interaksi seluler dan/atau pensinyalan dalam sel-sel kompeten imun sedang diselidiki melalui beracam percobaan klinis.• Hasil-hasil dari RCTs yang ada sulit untuk dibandingkan, karena mereka melibatkan perbedaan dalam populasi pasien, disain studi, dan demikian juga strategi pengobatannya. Selain itu, mungkin terdapat faktor spesifik terlibat dalam mekanisme dan onset of action berbeda yang kemudian lebih menyulitkan lagi pembandingan agen-agen biologis berbeda.
• Pertanyaan kunci tentang bagaimana untuk memilih sebuah agen biologis khusus atau yang pertama yang akan diberikan ke seorang pasien, telah dengan elegan dijawab oleh Scott dkk(83). Menurutnya, faktor penentu yang mungkin adalah pilihan pasien, efikasi relatif, toksisitas, dan efektifitas biaya dari obat biologis berbeda. Mekanisme aksi berbeda mungkin memberikan satu rasional teori bagi pemilihan satu agen atas yang lainnya.
• Namun, bagaimanapun, pertimbangan yang baik harus diberikan ditujukan ke sitokin yang ditarget namun juga ke pada stadium proses penyakit yang menjadi target. Lebih jauh lagi, data tersedia adalah sangat kurang, baik dalam efikasi maupun keamanan, sekitaran penerapan penghambatan sitokin multipel.
• Kendatipun adanya perbaikan klinis yang menjanjikan, penggunaan berbagai antibodi monoklonal meningkatkan kekhawatiran sekitar potensi efek tak diharapkan dari penggunaan jangka lamanya, Data yang terpublikasi saat ini tidak menyingkirkan risiko meningkat yang penting secara klinis, tidak juga menyangkal efek menguntungkannya. Sebagaimana per definisi, kebanyakan dari data keamanan yang tersedia saat ini dari percobaan atau praktik klinik tidaklah mencakup dampak setiap efek dari pemaparan obat biologis yang terus menerus. Studi tambahan diperlukan untuk memahami apakah seluruh isu keamanan ini adalah unik untuk satu agen biologi individual ataukah mewakili sebuah efek kelas. Dengan demikian, dokter yang memberikan pengobatan haruslah berhati-hati dalam menimbang keuntungan dari semua obat biologis baru atas berbagai risikonya, khususnya pada asien-pasien yang gampang berrisiko infeksi.
• Walaupun obat biologis memiliki keuntungan yang tak terbantahkan dalam pengobatan RA, isu biaya tetap tak terselesaikan. Pembiayaan secara dramatis lebih tinggi dibandingkan dengan untuk medikasi konvensional, membuat perhatian farmakoekonomik telah disorot dengan terusnya berkembang penggunaannya. Di seluruh forum, perkiraan pembiayaan tahunan pemakaian sebuah agen biologis adalah sekitar 20.000 dolar amerika. Pembiayaan yang bermakna tersebut haruslah diseimbangkan dengan dampak ekonomi merugikan dari RA pada setiap pasien secara individual dan masyarakat sebagai keseluruhan. Bila obat biologis dapat mencegah kesakitan, ketunaan, dan deteorisasi kualitas hidup yang sering disebabkan oleh RA, maka pemakaian agen biologis dapat menjadi keputusan efektif-biaya bagi masyarakat. Pengembangan obat-obat biologis yang sama, yaitu, medikasi generik yang mengulang tepat struktur aminoasid molekul DMARD biologi yang ada yang kehilangan perlindungan paten mereka, mungkin segera mengubah pandangan terhadap obat biologis dan biaya yang terkait dengannya. Namun, bagaimanapun, obat biologis membutuhkan sebuah proses pembuatan yang canggih, yang berbeda dari medikasi konvensional yang ada dan peraturan yang ketat akan dibutuhkan guna menghindarkan kemungkinan risiko keamanan tambahan dan sehingga membuat semua agen ini benar-benar efektif-biaya.
• Beberapa terapi baru, yang saat ini dalam jalur, mungkin segera ditambahkan ke pilihan terapi kita yang jumlahnya telah banyak. Tipe-tipe berbeda dari pasien-pasien RA akan membutuhkan terapi yang berbeda, khususnya mereka-mereka yang telah mengalami kegagalan dengan agen multipel. Semua pilihan baru ini kelihatannya menjanjikan dalam mengisi jurang pengobatan pasien-pasien RA. Studi-studi komparatif dalam jumlah pasien yang mencukupi akan membantu lebih memerjelas peran tepat mereka dalam paengobatan RA.
• Pertanyaan kunci tentang bagaimana untuk memilih sebuah agen biologis khusus atau yang pertama yang akan diberikan ke seorang pasien, telah dengan elegan dijawab oleh Scott dkk(83). Menurutnya, faktor penentu yang mungkin adalah pilihan pasien, efikasi relatif, toksisitas, dan efektifitas biaya dari obat biologis berbeda. Mekanisme aksi berbeda mungkin memberikan satu rasional teori bagi pemilihan satu agen atas yang lainnya.
• Namun, bagaimanapun, pertimbangan yang baik harus diberikan ditujukan ke sitokin yang ditarget namun juga ke pada stadium proses penyakit yang menjadi target. Lebih jauh lagi, data tersedia adalah sangat kurang, baik dalam efikasi maupun keamanan, sekitaran penerapan penghambatan sitokin multipel.
• Kendatipun adanya perbaikan klinis yang menjanjikan, penggunaan berbagai antibodi monoklonal meningkatkan kekhawatiran sekitar potensi efek tak diharapkan dari penggunaan jangka lamanya, Data yang terpublikasi saat ini tidak menyingkirkan risiko meningkat yang penting secara klinis, tidak juga menyangkal efek menguntungkannya. Sebagaimana per definisi, kebanyakan dari data keamanan yang tersedia saat ini dari percobaan atau praktik klinik tidaklah mencakup dampak setiap efek dari pemaparan obat biologis yang terus menerus. Studi tambahan diperlukan untuk memahami apakah seluruh isu keamanan ini adalah unik untuk satu agen biologi individual ataukah mewakili sebuah efek kelas. Dengan demikian, dokter yang memberikan pengobatan haruslah berhati-hati dalam menimbang keuntungan dari semua obat biologis baru atas berbagai risikonya, khususnya pada asien-pasien yang gampang berrisiko infeksi.
• Walaupun obat biologis memiliki keuntungan yang tak terbantahkan dalam pengobatan RA, isu biaya tetap tak terselesaikan. Pembiayaan secara dramatis lebih tinggi dibandingkan dengan untuk medikasi konvensional, membuat perhatian farmakoekonomik telah disorot dengan terusnya berkembang penggunaannya. Di seluruh forum, perkiraan pembiayaan tahunan pemakaian sebuah agen biologis adalah sekitar 20.000 dolar amerika. Pembiayaan yang bermakna tersebut haruslah diseimbangkan dengan dampak ekonomi merugikan dari RA pada setiap pasien secara individual dan masyarakat sebagai keseluruhan. Bila obat biologis dapat mencegah kesakitan, ketunaan, dan deteorisasi kualitas hidup yang sering disebabkan oleh RA, maka pemakaian agen biologis dapat menjadi keputusan efektif-biaya bagi masyarakat. Pengembangan obat-obat biologis yang sama, yaitu, medikasi generik yang mengulang tepat struktur aminoasid molekul DMARD biologi yang ada yang kehilangan perlindungan paten mereka, mungkin segera mengubah pandangan terhadap obat biologis dan biaya yang terkait dengannya. Namun, bagaimanapun, obat biologis membutuhkan sebuah proses pembuatan yang canggih, yang berbeda dari medikasi konvensional yang ada dan peraturan yang ketat akan dibutuhkan guna menghindarkan kemungkinan risiko keamanan tambahan dan sehingga membuat semua agen ini benar-benar efektif-biaya.
• Beberapa terapi baru, yang saat ini dalam jalur, mungkin segera ditambahkan ke pilihan terapi kita yang jumlahnya telah banyak. Tipe-tipe berbeda dari pasien-pasien RA akan membutuhkan terapi yang berbeda, khususnya mereka-mereka yang telah mengalami kegagalan dengan agen multipel. Semua pilihan baru ini kelihatannya menjanjikan dalam mengisi jurang pengobatan pasien-pasien RA. Studi-studi komparatif dalam jumlah pasien yang mencukupi akan membantu lebih memerjelas peran tepat mereka dalam paengobatan RA.