Abstrak
Sistim imun berkembang untuk melindungi inang dari mikroba patogenik dunia yang juga secara konstan berkembang. Sistim imun juga membantu inang menyingkirkan berbagai substansi toksik atau alergenik yang masuk melalui permukaan mukosa. Inti dari kemampuan yang dimiliki sistim imun dalam memobilisasi respon terhadap sebuah patogen, toksin atau alergen yang menginvasi adalah kemampuannya untuk membedakan self from non-self. Inang menggunakan kedua mekanisme bawaan maupun adaptif untuk mendeteksi dan menyingkirkan mikroba patogen. Kedua mekanisme ini meliputi diskriminasi self-non self. Tinjauan ini mengindentifikasi mekanisme kunci yang digunakan sistim imun dalam menanggapi mikroba penginvasi dan berbagai gangguan eksogen lainnya dan mengidentifikasi setingan pada mana fungsi imun yang terganggu mengeksaserbasi cedera jaringan.
Kata kunci: imunitas adaptif, atopi, sel B, komplemen, ko-stimulasi, inflamasi, imunitas bawaan, superantigen, sel T, toleransi
Pendahuluan
Manusia dan mamalia lainnya hidup pada sebuah dunia yang penuh berisikan mikroba patogen maupun non-patogen, dan yang mengandung berbagai substansi toksik dan alergenik dengan rentangan luas yang dapat merusak homeostasis normal. Komunitas mikroba meliputi yang mutlak pathogen, dan yang menguntungkan, organisme komensal, yang inang harus menerimanya dan tetap menjaga keberadaannya dalam rangka mendukung fungsi normal jaringan dan organ. Mikroba pathogen memiliki koleksi mekanisme yang luas melalui mana mereka berreplikasi, menyebar dan merusak fungsi normal inang. Pada saat bersamaan sistim imun yang selama menyingkirkan mikroba patologis dan protein toksin atau alergeniik, ia harus menghindarkan berbagai respon yang memproduksi kerusakan berlebih jaringan inang sendiri atau yang mungkin menyingkirkan mikroba menguntungkan, mikroba komensal. Lingkungan kita mengandung mikroba pathogen dan berbagai substansi toksik berrentang sangat luas yang menantang inang dengan seleksi mekanisme patogenik yang sangat lebar. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, bahwa sistim imun menggunakan berjenis mekanisme protektif yang kompleks guna mengontrol dan biasanya menyingkirkan semua organisme dan toksin ini. Gambaran umum sistim imun adalah bahwa semua mekanisme ini mengandalkan pada pendeteksian gambaran struktural patogen atau toksin yang menandainya sebagai sesuatu yang berbeda dari sel-sel inang. Diskriminasi inang–patogen atau inang–toksin seperti itu adalah penting guna mengijinkan inang untuk menyingkirkan bahan perusak tanpa merusak jaringan milik sendiri.
Mekanisme yang mengijinkan pengenalan struktur mikroba, toksik, atau alergenik dapat dipecah menjadi dua kategori umum: i) berbagai respon terprogram yang disandi oleh gen dalam garis turunan inang dan yang mengenal pola-pola molekuler yang dibagikan baik oleh mikroba maupun toksin yang tidak terdapat dalam inang; dan ii) berbagai respon yang disandi oleh elemen-elemen gen yang secara somatik diatur ulang untuk merangkai molekul pengikatan-antigen dengan spesifisitas istimewa bagi struktur asing unik individual. Set pertama dari respon inang tersebut merupakan respon imun bawaan. Oleh karena pengenalan molekul yang dgunakan oleh sistim bawaan diekspres secara luas pada sejumlah besar sel, sistim ini diyakini untuk bekerja dengan cepat segera setelah menghadapi penginvasian patogen atau toksin dan, dus, merupakan respon inang awal. Set kedua respon inang merupakan respon imun adaptif. Oleh karena sistim adaptif berkomposisikan sejumlah kecil sel dengan spesifisitas untuk beberapa patogen, toksin atau alergen individual, sel-sel yang berrespon harus berproliferasi terlebih dahulu segera setelah menghadapi antigen dalam rangka untuk mendapatkan jumlah yang cukup guna memunculkan sebuah respon efektif melawan mikroba atau toksin. Dus, respon adaptif secara umum mengekspres dirinya secara sementara setelah berlangsungnya respon bawaan dalam pertahanan inang. Gambaran kunci respon adaptif adalah bahwa ia memproduksi sel-sel berusia panjang yang tetap berada dalam penampakan/keadaan “tidur” (dormant), namun dapat mengekspres ulang fungsi efektor dengan cepat setelah menghadapi antigen spesifik mereka yang lain. Ini memberikan respon adaptif berkemampuan memanifestasikan memori imun, sehingga memungkinkan ia untuk menyumbang besar bagi respon inang yang lebih efektif melawan patogen atau toksin spesifik saat ketika mereka dihadapkan pada kedua kalinya, bahkan berpuluh tahun setelah menghadapi sensitisasi awal.
Diskriminasi Diri-Sendiri dari Bukan Diri-Sendiri
Sistim imun memperkerjakan banyak mekanisme efektor poten yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan berjenis-jenis sel mikroba dan untuk membersihkan berjenis-jenis bahan toksik dan alergenik. Adalah sangat penting, karenanya, bahwa respon imun berkemampuan untuk menghindarkan pembiaran mekanisme merusak ini melawan jaringan inang sendiri. Kemampuan respon imun untuk menghindarkan merusak jaringan-sendiri disebut sebagai toleransi-diri (self-tolerance). Oleh karena kegagalan toleransi diri banyak yang mendasari berjenis-jenis kelas penyakit otoimun, proses ini telah secara ekstensif dipelajari. Saat ini telah jelas bahwa mekanisme untuk menghindarkan reaksi melawan antigen-sendiri diekspres dalam banyak bagian baik dari respon imun bawaan maupun adaptif. Mekanisme yang mendasari perlindungan jaringan-sendiri yang normal dari perusakan imun akan didiskusikan dari masing-masing sisi efektor utama respon imun inang.
Oleh karena aspek penting dari bagian sisi sel T sistim imun adalah untuk pengenalan sel-sel inang yang terinfeksi oleh virus, bakteri intraseleluler atau parasit intraseluler lainnya, sel-sel T telah mengembangkan sebuah mekanisme elegan yang mengenal antigen asing bersamaan dengan antigen-sendiri sebagai sebuah kompleks molekuler (lihat bagian “Pengenalan Antigen oleh Limfosit T” di bawah). Persyaratan tentang sel-sel T mengenal struktur-sendiri dan antigen asing ini, membuat kebutuhan sel-sel ini untuk mempertahankan toleransi-diri sangatlah penting.
Gambaran Umum Imunitas Bawaan dan Adaptif
Didefinisikan secara umum, sistim imun bawaan meliputi semua aspek mekanisme pertahanan yang dimiliki inang yang disandi dalam bentuk fungsional dewasa oleh gen-gen garis turunan inang. Semua ini meliputi barier fisik, seperti lapisan sel epitel dan yang mengekspres kontak sel – sel yang ketat (tight junction, interaksi sel bermediasikan-kadherin, dan lainnya), lapisan mukus tersekresikan yang melapisi epitel dalam saluran respirasi, gastrointestinal dan urogenital, dan silia epitel yang menyapu lapisan mukus ini memungkinkannya menjadi secara konstan tersegarkan setelah ia terkontaminasi dengan partikel terhisap atau tertelan. Respon bawaan juga meliputi berbagai protein yang dapat larut dan molekul kecil bioaktif yang apakah secara konstitutif hadir dalam cairan biologis ( seperti misalnya, protein komplemen, defensin, dan fikolin [1-3]) ataukah yang dibebaskan dari sel-sel dalam bentuk teraktifasi (meliputi sitokin yang meregulasi fungsi sel-sel lain, khemokin yang menarik lekosit inflamasi, mediator lipid inflamasi, berbagai spesies radikal bebas reaktif, berbagai amin dan enzim bioaktif yang juga menyumbang bagi inflamasi jaringan). Yang terakhir, sistim imun bawaan meliputi berbagai reseptor berikatan membran dan protein sitoplasmik yang berikatan dengan pola-pola molekuler yang diekspres pada permukaan mikroba penginvasi. Beberapa aspek dari pertahanan inang bawaan adalah aktif secara konstitutif (seperti misalnya selimut mukosilier yang menutupi banyak epitel), dan lainnya diaktifasi mengikuti interaksi sel-sel inang atau protein inang dengan struktur kimia yang khas dari mikroba penginvasi namun yang tidak hadir dari sel-sel inang.
Tidak seperti halnya mekanisme pertahanan inang bawaan, sistim imun adaptif memanifesasikan spesifisitas istimewa bagi berbagai antigen yang menjadi targetnya. Respon adaptif didasarkan terutama pada reseptor yang spesifik-antigen yang terekspres pada permukaan limfosit-T dan –B. Tidak seperti halnya molekul pengenalan tersandi-garis turunan dari respon imun bawaan, reseptor yang spesifik-antigen dari respon adaptif disandi oleh gen yang dirakit/dirangkai melalui penataan ulang somatik dari elemen-elemen gen garis turunan untuk membentuk gen-gen utuh T cell receptor (TCR) dan imunoglobulin (reseptor antigen sel B; Ig). Perakitan reseptor antigen dari sebuah pengumpulan beberapa ratus elemen gen tersandi-garis turunan memungkinkannya membentuk berjuta-juta reseptor antigen berbeda, yang masing-masingnya secara potensiil memiliki spesifisitas unik bagi sebuah antigen berbeda.
Mekanisme yang mengatur perakitan reseptor antigen sel B dan T ini dan yang menjamin pemilihan repertoar yang berfungsi dengan benar dari sel-sel pengemban reseptor asal dari repertoar potensiil yang terbangkitkan secara sangat acak akan diperkenalkan di bawah ini.
Sistem kekebalan tubuh bawaan dan adaptif sering digambarkan sebagai yang berlawanan satu sama lain, bagian terpisah dari respon inang; namun biasanya mereka bertindak bersama-sama, dengan respon bawaan akan mewakili garis pertama pertahanan tuan rumah, dan respon adaptif mengemuka setelah beberapa hari, ketika sel T dan B yang spesifik-antigen telah menjalani pengekspansian klonal. Komponen dari sistem bawaan menyumbang bagi pengaktifasian sel-sel yang spesifik-antigen. Selain itu, sel-sel yang spesifik-antigen memperkuat respon mereka dengan merekrut mekanisme efektor bawaan untuk memenuhi fungsi pengontrolan penuh terhadap invasi mikroba. Dengan demikian, sementara respon imun bawaan dan adaptif pada dasarnya berbeda dalam mekanisme aksi mereka, sinergi di antara mereka sangatlah penting bagi sebuah respon imun yang utuh, yang sepenuhnya efektif.
Elemen Seluler dari Respon Imun
Respon imun yang utuh meliputi kontribusi dari banyak himpunan bagian lekosit. Subset lekosit berbeda dapat dibedakan secara morfologi oleh kombinasi dari pewarnaan histologis konvensional, dan dengan menganalisis spektrum antigen diferensiasi glikoprotein yang ditampilkan pada membran sel mereka. Semua antigen diferensiasi ini terdeteksi melalui pengikatan mereka dengan antibodi monoklonal spesifik. Antigen-antigen penentuan-fenotipe sel ini menentukan jumlah cluster diferensiasi (CD). Saat ini ada lebih dari 350 antigen CD terdefinisikan. Pembaharuannya dikeluarkan oleh Human Cell Diferentiation Molecule (HCDM), sebuah organisasi yang mengatur periodik lokakarya Human Leucocyte Differentiation Antigen (HLDA) di mana molekul permukaan sel yang baru teridentifikasi ditentukan dan didaftar.
Lekosit dewasa dan bersirkulasi adalah berasal dari diferensiasi sel tunas hematopoietik (Gambar 1). Sel tunas ini dapat dikenali melalui spektrum mereka sendiri mendefinisikan antigen sel permukaan dan dapat dimurnikan dari sumsum tulang, darah perifer, dan plasenta (4). Pengenalan bahwa sel-sel tunas hematopoietik pluripoten dapat dimurnikan dalam jumlah besar telah mempercepat kemajuan dalam transplantasi sel hematopoietik dan memberikan janji yang patut dipertimbangkan bagi terapi gen berbasis sel somatik.
Gambar 1
Garis Turunan Sel yang Berasal-Sel Tunas Hematopoietik
Sel tunas hematopoietik pluripoten berdiferensiasi dalam sumsum tulang menjadi sel-sel limfoid atau progenitor myeloid lazim. Sel-sel tunas limfoid memunculkan garis turunan sel B, sel T, dan sel NK. Sel tunas myeloid memunculkan sebuah garis turunan spesifik level kedua, sel-sel colony forming unit (CPU) yang berlanjut menghasilkan netrofil, monosit, eosinofil, basofil, mast cells, magakaryosit, dan eritrosit. Monosit berdiferensiasi lebih lanjut menjadi makrofag dalam kompartmen jaringan perifer. Sel dendritik (DC) nampaknya berkembang utamanya dari sebuah prekursor DC yang berbeda karena pengekspresian reseptor Flt3. Prekursor ini dapat berasal dari baik sel tunas limfoid ataupun myeloid dan memunculkan kedua DC klasik dan plasmasitoid. DC klasik dapat juga berasal dari diferensiasi sel prekursor monositoid. (Modifikasi dari ref. 114).
Pembentukan komplemen penuh sel sistim imun dimulai ketika sebuah sel tunas hematopoietik pluripoten berdiferensiasi menjadi sel progenitor myeloid lazim atau progenitor limfoid lazim. Progenitor limfoid lazim berdiferensiasi terus menjadi empat populasi utama limfosit dewasa: sel B, sel T, sel pembunuh alami (NK), dan sel NK-T. Subsets limfosit ini dapat dibeda-bedakan melalui fenotip permukaannya. Sel B secara fenotip ditentukan oleh pengekspresian reseptor sel B mereka untuk antigen, membrane anchored Ig. Subsets sel B telah ditetapkan bahwa berbeda dalam hal kepada tipe antigen yang mana mereka berrespon dan dalam hal tipe antibodi mana yang mereka hasilkan. Sel T ditetapkan melalui pengekspresian TCR permukaan sel mereka, sebuah protein heterodimer transmembran yang mengikat antigen terproses yang ditampilkan oleh antigen presenting cells (APC). Sebagaimana akan didiskusikan di bawah, sel T hadir dalam beberapa subtipe yang secara fungsional bermakna dan hadir dalam subsets dari banyak tipe tersebut. Sel NK ditetapkan secara morfologis sebagai limfosit granuler besar. Mereka berbeda dalam hal kurangnya TCR atau Ig permukaan. Mereka mengenal target sel terinfeksi-virus atau sel tumor dengan menggunakan sebuah koleksi kompleks pengaktifan dan reseptor permukaan sel inhibitor (5). Dan, sel NK-T berbagi karakteristik dari kedua sel NK dan sel T (6).
Sel tunas myeloid (juga disebut progenitor myeloid lazim) memunculkan banyak bentuk berbeda dari granulosit, megakaryosit dan platelet, dan eritrosit. Sel-sel dari garis turunan granulosit yang memainkan fungsi imun menonjol meliputi netrofil, monosit, makrofag, eosinofil, basofil, dan mast cells. Pada beberapa mamalia, platelet juga melepaskan mediator yang secara imunologis bermakna yang melebarkan repertoarnya melewati peran mereka dalam hemostasis. Fungsi imun granulosit klasik telah disimpulkan dari molekul aktif secara imunologis yang mereka hasilkan dan dari akumulasi mereka dalam berbagai kondisi patologis spesifik. Sebagai contoh, netrofil menghasilkan sejumlah besar spesies oksigen reaktif yang bersifat sitotoksik bagi patogen bakterial. Mereka juga menghasilkan enzim yang nampaknya berpartisipasi dalam remodeling dan perbaikan jaringan setelah cedera. Netrofil berakumulasi dalam jumlah besar pada lokasi-lokasi infeksi bakterial dan cedera jaringan dan memiliki kemampuan fagositik menonjol yang mengijinkan mereka untuk membungkus (sequester) mikroba dan partikel antigen masuk ke dalam di mana mereka dapat dihancurkan dan didegradasikan. Dus, adalah jelas bahwa mereka memainkan sebuah peran besar dalam pembersihan patogen mikroba dan memperbaiki cedera jaringan (7). Lebih terkini, bagaimanapun, netrofil dikenal menghasilkan sejumlah substansiil sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interlekin (IL)-12 juga berbagi khemokin tertentu. Hal ini mendukung adanya sebuah peran imonoregulator tambahan dari netrofil.
Seperti netrofil, monosit dan makrofag juga sangat bersifat fagositik bagi mikroba dan partikel, yang berarti pembersihan dengan cara pengikatan Ig dan/atau komplemen. Mereka terlihat dimobilisasi segera setelah perekrutan netrofil dan tetap bertahan untuk waktu yang lama pada lokasi inflamasi dan infeksi kronik. Tambahannya terhadap partisipasinya dalam respon inflamasi akut, mereka menonjol dalam berbagai proses granulomatous disekujur tubuh. Mereka menggunakan produksi oksida nitrit sebagai sebuah mekanisme utamanya untuk membunuh patogen mikroba, dan juga menghasilkan sejumlah besar sitokin seperti IL-12 dan interferon (IFN)-γ yang membuatnya berperan pengatur dalam respon imun adaptif. Bergantung pada sifat sinyal pengaktifasian yang ada ketika makrofag berdiferensiasi dari sel prekursor imatur dan ketika mereka menerima sinyal pengaktifasian pertama, makrofag dapat mengambil satu dari beberapa fenotip (8). Makrofag yang teraktifasi secara klasik menghasilkan banyak sekali IFN-γ, IL-6, IL-12, dan TNF dan mengekspres aktifitas pro-inflamasi dan anti-bakterial poten. Aktifasi makrofag cara lainnya diinduksi oleh IL-4, IL-10, atai IL-13, khususnya dalam kehadiran hormon glukokortikoid dan mengekspres fungsi inflamasi melalui pemroduksian mereka sendiri IL-10, antagonis reseptor IL-1, dan transforming growth factor β (TGF-β) (9). Memperhatikan hal ini, sepertinya studi lanjutan yang akan mengidentifikasi fungsional tambahan subsets makrofag, memapankan cara-cara tambahan pada mana sel-sel sistim imun bawaan ini melayani fungsi imunoregulator mendasar.
Eosinofil dapat segera dikenali dari granul sitoplasmanya yang menonjol yang mengandung molekul toksik dan enzim yang sangat aktif terhadap cacing dan parasit lainnya. Produksi eosinofil dari sumsum tulang dan kelangsungan hidup mereka di jaringan perifer diperkuat oleh sitokin IL-5, membuat mereka menjadi sel menonjol di sebagian besar respon alergi (10). Basofil dan mast cells secara morfologis merupakan sel serupa dari garis turunan yang berbeda. Berdasarkan ekspresi permukaan sel dari reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcεRI), mereka adalah inisiator kunci respon hipersensitif dan respon inang terhadap parasit cacing, melepaskan histamin dan mediator prabentukan (preformed) lainnya dari granul mereka dan memproduksi sejumlah penting mediator lipid yang merangsang inflamasi jaringan, edema, dan kontraksi otot polos. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa selain peran mereka dalam respon hipersensitif, mast cells memainkan peran penting dalam respon inang terhadap infeksi bakteri juga. Yang penting, mast cells dan, yang lebih menonjol, basofil dapat melepaskan sejumlah besar IL-4, menunjukkan bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam induksi respon imun alergi (11). Sel fagositosis dari garis turunan monosit/makrofag juga memainkan peran kunci dalam respon imun adaptif dengan mengambil antigen mikroba, mengolah mereka dengan proteolisis menjadi fragmen peptida, dan menyajikan mereka dalam bentuk yang dapat mengaktifkan respon T. Sel tambahan dalam garis turunan ini termasuk sel Langerhans dalam epidermis, sel Kupfer dalam hati, dan sel mikroglial dalam sistem saraf pusat. Tipe paling poten dari APC adalah kelas lebar sel dendritik yang hadir dalam sebagian besar jaringan tubuh dan terkonsentrasi dalam jaringan limfoid sekunder (12). Semua sel ini mengekspresikan baik kelas I maupun kelas II molekul major histocompatibility complex (MHC) yang digunakan untuk memungkinkan mengijinkannya antigen diproses oleh TCR pada sel T (lihat di bawah). Semua sel pengemban MHC tampaknya memiliki potensi untuk mengekspresikan fungsi APC jika dirangsang dengan tepat. Selain sel dendritik konvensional yang diuraikan di atas, yang telah dianggap berasal dari sel prekursor myeloid (Gambar 1), dikenal jenis kedua sel dendritik. Sel-sel ini didisain sebagai sel dendritik plasmasitoid karena morfologi histologi mereka. Mereka dapat menghasilkan tingkat yang sangat tinggi interferon tipe I dan dianggap memainkan peran khusus dalam pertahanan inang antivirus dan otoimunitas (13). Penelitian terbaru diferensiasi sel dendritik menunjukkan bahwa kedua sel tunas myeloid dan progenitor limfoid lazim dapat memunculkan kedua sel dendritik konvensional dan sel dendritik plasmasitoid, kemungkinan besar melalui prekursor sel dendritik yang ditetapkan melalui pengekspresian fms-like tyrosine kinase receptor-3 (Flt3)-nya (14, 15).
Pengenalan Antigen oleh Limfosit T/Molekul Histokompatibilitas Major
Tantangan utama yang dihadapi oleh sistem imun adalah untuk mengidentifikasi sel inang yang telah terinfeksi oleh mikroba yang menggunakannya untuk berkembang biak di dalam inang. Hanya dengan mengenali dan menetralkan mikroba dalam bentuk ekstraseluler mereka tidaklah secara efektif memahami tipe infeksi ini. Sel yang terinfeksi yang berfungsi sebagai pabrik untuk produksi mikroba progeni harus diidentifikasi dan dihancurkan. Bahkan, jika sistem kekebalan tubuh sama-sama mampu mengenali mikroba ekstraseluler dan sel terinfeksi secara mikrobial, sebuah mikroba yang berhasil menghasilkan sejumlah besar organisme ekstraselular atau antigen mungkin membanjiri kapasitas pengenalan sistem imun, yang memungkinkan sel yang terinfeksi untuk menghindari pengenalan imun . Peran utama sisi sel T respon imun adalah untuk mengidentifikasi dan menghancurkan sel yang terinfeksi. Sel T juga dapat mengenali fragmen peptida dari antigen yang telah diambil oleh APC melalui proses fagositosis atau pinositosis. Cara sistem kekebalan tubuh yang telah berkembang untuk mengijinkan sel T mengenali sel inang terinfeksi adalah dengan mewajibkan sel T mengenali baik komponen-diri maupun struktur mikroba. Solusi elegan untuk masalah pengenalan baik struktur-diri maupun penentu mikroba adalah keluarga molekul MHC. Molekul MHC (juga disebut human leucocyte-associated [HLA] antigens) merupakan glikoprotein permukaan sel yang mengikat fragmen peptida protein yang telah disintesis dalam sel (kelas I MHC molekul) ataupun yang telah ditelan oleh sel dan diproses secara proteolisis (molekul MHC kelas II).
Molekul MHC kelas I
Ada tiga molekul HLA kelas I yang utama, disebut HLA-A,-B, dan -C, masing-masing disandi oleh gen yang berbeda. Molekul HLA kelas I adalah heterodimer permukaan sel yang terdiri dari sebuah polymeric transmembrane 44-kd α-chain (juga disebut rantai berat kelas I) yang berhubungan dengan 12-kd non-polymeric-β2 microglobulin (β2m) protein (16). Rantai-α menentukan apakah molekul kelas I adalah molekul HLA-A,-B, atau C. Gen rantai-α HLA-A,-B, dan C disandikan dalam MHC pada kromosom 6 (Gambar 2), dan gen β2-mikroglobulin disandikan pada kromosom 15. Gen rantai-α menyandi tiga domain ekstraseluler (disebut α1, α2, dan α3), sebuah domain transmembran dan domain intraseluler pendek yang menjangkar protein ini dalam membran sel. Domain α3 terdiri dari 5 helai-β antiparalel yang membentuk lipatan tipe-imunoglobulin (Gambar 3). Domain masing-masing α1 dan α2 menyandikan sebuah helix-α dan beberapa helai-β. Domain α1 dan α2 berhubungan satu sama lain dengan helai-β mereka membentuk sebuah platform pada mana dua heliks-α tinggal. Hal ini membentuk alur di mana peptida antigenik dapat mengikat kompleks molekul MHC kelas I. Ini dan peptida antigenik menghasilkan suatu struktur komposit yang merupakan target molekul TCR tersebut. TCR mengontak peptida antigenik maupun yang mengapit heliks-α. TCR tidak memiliki afinitas terukur untuk peptida antigenik sendiri, dan berafinitas sangat rendah untuk molekul MHC yang mengandung peptida lainnya. Pengamatan ini merupakan dasar molekuler bagi fenomena 'restriksi MHC' yang dijelaskan oleh studi Zinkernagel dan Doherty, di mana mereka mengetahui bahwa sel T hanya bisa mengenali antigen tertentu mereka ketika hal itu disajikan dalam hubungan dengan molekul MHC-diri yang spesifik (17).
Gambar 2
Peta Molekuler dari Kompleks Histokompatibilitas Major Manusia
MHC manusia, didisain HLA, disandikan pada lengan pendek khromosom 6. Lokasi-lokasi dari HLA utama dan gen-gen terkait yang diperlihatkan di atas sebuah skala menunjukkan jarak genetik terdekat (approximate genetic distances) dalam kilobase pairs (kbp) DNA. Gen-gen yang menyandikan rantai berat HLA kelas I (ditunjukkan dengan warna biru) di-cluster pada bagian akhir telomer dari kompleks. Gen-gen yang menyandi rantai α dan β HLA kelas II (ditunjukkan dengan warna hijau) ditambah gen-gen yang menyandi molekul-molekul LMP1/2, TAP1/2, dan Tapascin (TAPBP) (ditunjukkan dengan warna oranye) di-cluster pada bagian akhir sentromer dari kompleks. Di antara gen-gen kelas I dan kelas II terdapat gen tambahan didisain kelas III (ditunjukkan dengan warna merah). Semuanya meliputi gen-gen yang menyandi sitokhrom P450 21-hidroksilase (CYP21B), suatu cytochrom P450 pseudogene (CYP21Ps), komponen-komponen komplemen C4, C2 dan faktor B (Bf), tumor necrosis factor (TNF), dan dua rantai limfotoksin (LTA, LTB). Terdapat dua buah isoform dan komplemen C4 didisain C4a dan C4B. C4A berinteraksi secara lebih efisien dengan makromolekul berkandungan kelompok amino bebas (berbagai protein antigen), di mana C4B berinteraksi secara lebih efisien dengan makromolekul berkandungan kelompok hidroksil bebas (berbagai glikoprotein dan karbohidrat). Terdapat gen yang menyandi dua jenis molekul mirip-kelas I HLA tambahan didisain MICA dan MICB (ditunjukkan dengan warna ungu) berlokasikan di antara gen-gen kelas III dengan gen-gen kelas I klasik. Pseudogen non-fungsional ditunjukkan dengan warna abu-abu dan selanjutnya didisain dengan huruf miring.
Gambar 3
Struktur Molekul HLA
Model-model molekuler diambilkan dari struktur kristal molekul HLA kelas I (A-C) dan kelas II (D-F). A, domains α1, α2, dan α3 kelas I diperlihatkan (warna biru terang) dalam asosiasi non-kovalen dengan molekul β2m. Bentukan per/koil mewakili α-helices, dan tanda panah tebal mewakili β-strands. Anti-parallel β-strands berinteraksi untuk membentuk β-sheets. The α–helices dalam domain α1, dan α2 membentuk sisi-sisi samping dan dasar dari alur (groove) yang mengikat peptida antigenik terproses (warna kuning). Bagian transmembran dan intrasitoplasmik dari rantai berat tidak diperlihatkan. B, tampak atas dari domains α1 dan α2 mempertunjukkan peptida antigenik dalam suatu kompleks molekuler bagi pengenalan oleh TCR dari sel T CD8+ (lokasi pengenalan digambarkan dengan persegi empat berwarna merah muda). C, tampak samping domains α1 dan α2 menonjolkan titik-titik kontak TCR pada kedua α–helices dan peptida antigenik. D, tampak samping dari molekul HLA kelas II memperlihatkan rantai α (warna biru terang) dan rantai β (warna biru gelap). Dalam protein kelas II, alur pengikatan-peptida dibuat oleh α-helices dalam kedua domains α1 dan β1 dan sebuah β–sheet terbentuk lagi oleh kedua domains α1 dan β1. E, tampak atas dari kedua domains α1 dan β1 dan fragmen peptida antigenik terproses sebagaimana mereka akan dilihat oleh TCR dari sel-T CD4+. F, tampak samping menonjolkan domains α1 dan β1 dan peptida antigenik. Dimodifikasi dari 16.
Suatu konsekuensi biologi kunci dari kebutuhan sel T mengenali antigen peptida yang hanya ketika mereka terikat dalam alur sebuah molekul HLA adalah bahwa ini memungkinkan sel T untuk mengabaikan antigen ekstraseluler bebas, dan untuk lebih berfokus pada sel-sel yang mengandung antigen. Dalam kasus sel yang terinfeksi oleh mikroba patogen, ini memungkinkan sel T untuk berfokus pada respon mereka pada sel yang terinfeksi. Domain α3 rantai berat kelas I berinteraksi dengan molekul CD8 pada sel T sitolitik. Ini membatasi pengenalan peptida antigenik yang disajikan pada molekul HLA kelas I ke sel T sitolitik CD8+ . Pengikatan CD8 diekspres oleh sel T ke domain α3 molekul kelas I yang diekspres oleh APC memperkuat interaksi sel T dengan APC dan membantu meyakinkan bahwa aktifasi penuh sel T telah terjadi (18). Karakteristik menonjol dari molekul HLA adalah polimorfisme struktural mereka. Pada Oktober 2009, ImMunoGeneTics HLA Database (http://www.ebi.ac.uk/imgt/hal/atats.html) dikenal lebih 650 allele pada lokus HLA-A, lebih dari 1.000 allele pada lokus HLA-B , dan lebih dari 350 allele pada lokus HLA-C. Polimorfisme ini sebagian besar dalam asam amino yang terletak di dasar dan sisi samping alur pengikatan peptida, sehingga spesifisitas pengikatan peptida adalah berbeda dari allele kelas I yang berbeda. Fakta bahwa ada tiga gen kelas I HLA yang berbeda dan bahwa masing-masingnya sangat polimorfik mengartikan bahwa semua individu dalam populasi yang heterozigot pada lokus ini memiliki 6 alur pengikatan peptida berbeda. Karena setiap protein kelas I dapat mengikat banyak peptida yang berbeda, maka memiliki 6 molekul pengikatan peptida akan menghasilkan kemampuan untuk mengikat koleksi peptida antigenik yang sangat beragam. Selanjutnya, pada tingkat populasi, keragaman motif pengikatan peptida sangatlah besar. Mutasi pada antigen mikroba dapat mengijinkan mikroba untuk menghindari pengikatan (dan, akibatnya, pengenalan) dengan beberapa allele kelas I HLA, tetapi, tidak adanya mutasi akan memungkinkan mikroba untuk menghindari pengenalan secara luas melalui populasi.
Secara umum, peptida antigenik yang ditemukan terikat dalam alur pengikatan peptida molekul kelas I HLA adalah berasal dari protein yang disintesis dalam sel yang mengemban molekul kelas I. Mereka adalah, akibatnya, digambarkan sebagai antigen 'endogen'. Mesin molekuler yang menghasilkan fragmen peptida dari protein intraseluler dan mengarahkan mereka ke dalam alur dari molekul kelas I semakin dipahami dengan baik (Gambar 4). Fragmen peptida dihasilkan dari berbagai protein seluler oleh aksi dari proteasom, sebuah pabrik proteolitik yang terdiri dari lebih dari 25 subunit (19). Proteasom diekspres secara konstitutif dalam semua tipe sel di mana mereka berfungsi dalam homeostasis seluler. Stimulasi sel dengan IFN-γ mengaktifkan mereka untuk menghasilkan fragmen peptida antigenik yang dapat disajikan dalam molekul kelas I HLA. Aktivasi ini menginduksi produksi sebuah varian proteasom yang disebut 'immunoproteasome.' Dua dari subunit proteasom yang diekspres secara konstitutif akan diganti dalam imunoproteasom oleh protein LMP2 yang terinduksi-IFN-γ dan LMP7, yang keduanya disandikan dalam kompleks HLA dalam interval antara lokus gen HLA-DP dan HLA-DQ (Gambar 2). Protein LMP2 dan LMP7 mengubah spesifisitas proteolitik dari proteasom, meningkatkan produksi fragmen peptida dengan panjang yang tepat dan mendorong untuk pengikatan dalam alur protein kelas I HLA. Penambahan protein lain yang terinduksi-IFN-γ, disebut aktivator proteasom PA28, juga meningkatkan pembentukan peptida antigenik yang menguntungkan bagi penyajian dalam molekul kelas I HLA I (20). Setelah keluar dari imunoproteasom, fragmen peptida diangkut ke dalam retikulum endoplasma (ER) oleh aksi dari transporter transmembran multi-subunit tertentu. Transporter ini berisi dua subunit kaset pengikatan-ATP disebut TAP-1 dan TAP-2 (transporter associated with antigen presentation) disandikan oleh gen yang terletak dalam kompleks gen MHC di wilayah yang sama yang menyandi LMP2 dan LMP7 (Gambar 2). Setelah di ER, peptida dimuat ke dalam alur pengikatan protein kelas I di bawah arahan protein ER tapasin dengan bantuan protein pendamping pengikatan-kalsium, kalretikulin, dan oksidoreduktase Erp57 (21, 22). Sebelum interaksinya dengan β2-mikroglobulin, protein kelas I dipertahankan dalam sebuah konformasi yang menguntungkan interaksi dengan fragmen peptida oleh asosiasi dengan protein pendamping calnexin. Interaksi dengan β2-mikroglobulin menstabilkan kompleks, menyebabkan disosiasi calnexin, dan mengijinkan transportasi molekul kelas I yang terbebani-peptida melalui kompleks Golgi ke dalam vesikula exositik yang melepaskan kompleks utuh ke permukaan sel. Jalur ini beradaptasi dengan baik untuk mengirimkan peptida virus yang diproduksi dalam sel terinfeksi virus ke permukaan sel yang terikat ke molekul HLA kelas I dalam bentuk yang dapat dikenali oleh sel T CD8+ sitotoksik. Hal ini juga dapat digunakan untuk mempresentasikan fragmen tumor protein spesifik yang mungkin berguna untuk target imunoterapi anti-tumor.
Gambar 4
Jalur Seluler bagi Pemrosesan dan Pemresentasian Antigen Endogen
Protein endogen dicerna oleh imunoproteasom menjadi fragmen-fragmen peptida kecil. Produksi imunoproteasom diinduksi oleh IFN-γ, yang mengawali ke pengekspresian LMP2 dan LMP7 (yang mengganti komponen-komponen tertentu dari proteasom seluler konvensional) dan aktivator proteasom PA28 yang memodifikasi proteasom sehingga ia memproduksi fragmen peptida antigenik yang optimal bagi pembebanan (loading) ke molekul kelas I. Peptida ditransfer dari imunoproteasom ke retikulum endoplasma (ER) melalui transpoter TAP. Terjadi pembebanan (loaded) peptida-peptida, dengan bantuan tapascin, kalretikulin dan chaperon ERP57 ke dalam sebuah rantai berat kelas I yang berasosiasi dengan sebuah subunit β2m sebelum ditransportasikan menuju permukaan sel di mana ia dapat dikenal oleh sel T CD8+. Asosiasi mikroglobulin β2 dengan rantai berat kelas I difasilitasi oleh sebuah protein chaperon tambahan, kalneksin. Dimodifikasi dari Huston (114).
Berbagai studi beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa di bawah keadaan tertentu antigen-antigen eksogen (disintesis di luar APC) dapat juga diinternalisasi oleh endositosis dan dipresentasikan dalam molekul-molekul kelas I HLA. Tangkapan antigen-antigen eksogen ini dan pertunjukkannya ke sel-sel T dalam protein-protein kelas I HLA dikenal sebagai ”presentasi silang (cross presentation)” (23). Presentasi silang secara khusus penting dalam imunitas antiviral di mana ia membantu inang untuk mengalahkan kemampuan beberapa virus dalam menekan pemrosesan antigen lewat jalur endogen (24).
Molekul MHC major kelas II
Seperti halnya molekul kelas I, molekul HLA kelas II terdiri dari dua rantai polipeptid, namun dalam kasus ini keduanya merupakan protein transmembran bersandi-MHC dan didisain α dan β. Terdapat tiga protein kelas II utama terdisain, HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP (16). Molekul yang tersandi dalam regio ini awalnya ditetapkan secara serologis dan menggunakan pengukuran imun seluler, dan konsekuensinya nomenklatur mereka tidak selalu mencerminkan gen-gen yang mendasari penyandian molekul. Hal ini khususnya benar bagi HLA-DR, di mana gen pada sub-regio HLA-DR menyandi minimalnya 1 rantai α polimorfik (sebanyak 1 alele lazimnya dan 2 sangat jarang) dan 2 rantai β polimorfik (didisain DRB1 dan DRB3) (Gambar 2). Memasangkan rantai α lazim dengan rantai DRB1 menghasilkan protein HLA-DRB1. Lebih dari 500 alele HLA-DRB1 yang telah ditetapkan. Memasangkan rantai α lazim dengan rantai DRB3 menghasilkan molekul terdisain HLA-DRB2 hingga HLA-DRB9. Terdapat total 60 alele HLA-DRB2 hingga HLA-DRB9. Sub-regio HLA-DQ mengkode 1 rantai α polimorfik (25 alele) dan 1 rantai β polimorfik (72 alele). Sub-regio HLA-DP menyandi 1 rantai α polimorfik (16 alele) dan 1 rantai β polimorfik (118 alele). Oleh karena kedua rantai α dan β dari protein HLA-DQ dan HLA-DP adalah polimorfik, setiap orang dapat mengekspres 4 protein HLA-DQ berbeda dan 4 protein HLA-DP berbeda berdasarkan atas pemasangan (pairing) di antara produk gen kedua khromosom ibu dan bapak. Lebih lanjut, karena minimalnya rantai α HLA-DR polimorfik dapat berpasangan dengan sebuah rantai HLA-DRB1 dan sebuah rantai HLA-DRB3 dari kedua khromosom ibu dan bapak, maka setiap orang dapat mengekspres 4 protein HLA-DR berbeda juga. Setiap dari semua ini memiliki potensi untuk mengikat suatu repertoar besar peptida antigenik, membuatnya sulit bagi sebuah mikroba patogenik memutasikan strukturnya ke suatu bentuk yang tak dapat dikenali melalui pengikatan dalam sebuah protein kelas II HLA. Setiap rantai dari protein kelas II mengandung sebuah jangkar sitoplasmik pendek, sebuah domain transmembran, dan dua domain extrasel yang terdisain untuk rantai α, α1 dan α2, dan untuk rantai β, β1 dan β2 (16). Ketika rantai α dan β berpasangan, domain α1 dan β1 berkombinasi untuk membentuk sebuah alur (groove) pengikatan-peptid yang amat sama dengan yang dibentuk oleh asosiasi domain α1 dan α2 dari protein kelas I. Domain α2 dan β2 dari protein ini menyediakan sebuah dukungan bagi domain pengikatan-peptid ini dan domain β2 juga berinteraksi dengan molekul CD4. Ini menyediakan sebuah mekanisme melalui mana CD4 terekspres pada sel T penolong (helper T cells) dapat menguatkan interaksi di antara sel-sel T ini dengan APC yang mengekspres-kelas II dalam sebuah peragaan yang sama dengan cara pengikatan molekul kelas I HLA oleh CD8 menguatkan aktifasi sel T sitotoksik (25). Protein kelas II diekspres secara konstitutif pada sel B, sel dendritik, monosit dan makrofag, semua sel yang menampilkan antigen antigen ke sel T CD4+. Ekspresi protein kelas II MHC juga dapat diinduksi pada banyak tipe sel tambahan, termasuk sel-sel epitel dan endotel mengikuti stimulasi dengan IFNγ, memungkinkan sel-sel ini untuk menyajikan antigen kepada sel T CD4+ di tempat inflamasi.
Antigen yang disajikan oleh protein kelas II dimuat ke dalam alur pengikatan-peptida kelas II melalui jalur 'eksogen' yang dimulai oleh endositosis atau fagositosis protein ekstraseluler (Gambar 5). Antigen eksogen mencakup protein antigenik dari patogen ekstraseluler seperti kebanyakan bakteri, parasit, dan partikel virus yang telah dilepaskan dari sel yang terinfeksi dan diambil oleh fagositosis, serta protein dan glikoprotein lingkungan seperti serbuk sari dan racun, dan aloantigen. Antigen yang tertelan diproses menjadi fragmen peptida linier oleh proteolisis setelah fusi lisosom dengan vakuola fagositik atau endosom untuk membentuk sebuah kompartmen asam (26). Fragmen peptida kemudian berakumulasi dalam kompartemen pemuatan MHC II di mana mereka hadapi protein kelas II baru lahir. Rantai α dan β dari molekul kelas II disintesis dalam ER. Dalam rangka melindungi alur pengikatan-peptida molekul kelas II agar nantinya dapat mengakomodasi sebuah peptida antigenik, rantai α dan β berasosiasi dengan rantai invarian non-polimorfik (Ii), dibantu oleh protein capheron kalneksin. Satu bagian dari rantai Ii , didisain CLIP (class II-associated invariant-chain peptide), terbaring dalam alur pengikatan-peptida dari heterodimer kelas II, mencegah pengikatan peptida antigenik. Sekali kompleks kelas II-Ii terbentuk, ia berdisosiasi dari kalneksin dan ditransportasikan ke kompartemen pembebanan kelas II (27). Di dalam kompartemen pembebanan kelas II, sejumlah besar rantai invarian didegradasi oleh protease asam seperti kathepsin dan pertukaran peptida CLIP dengan sebuah peptida antigenik dikatalisasi oleh aksi molekul HLA-DM, menghasilkan pembentukan sebuah protein kelas II dewasa (28). Protein kelas II yang dimuati dengan peptida antigenik kemudian dikirim ke permukaan sel melalui fusi endosom kelas II+ ke membran plasma.
Gambar 5
Jalur Seluler bagi Pemrosesan dan Pemresentasian Antigen Eksogen
Dalam retikulum endoplasma (ER), protein kelas II yang baru disintesis berasosiasi, dengan bantuan kalneksin, dengan sebuah protein rantai invarian yang melindungi alur pengikatan-antigen molekul kelas II hingga ia ditransportasikan ke kompartemen pembebanan protein endosom kelas II+. Antigen eksogenus ditangkap oleh fagositosis atau endositosis, dicerna oleh aksi enzim lizosom, dan ditransportasikan ke kompartemen pembebanan peptida kelas II+ untuk pembebanan ke dalam sebuah protein kelas II. Di sana, rantai invarian didegradasikan secara proteolitik dan digantikan oleh peptida antigenik dengan bantuan protein HLA-DM. Kompleks peptida-protein kelas II yang terrakit kemudian dikirim menuju membran plasma bagi pengenalan oleh sel-sel T CD4+ . Dimodifikasi dari Huston (114).
Asosiasi Tipe HLA dengan Suseptibilitas Penyakit
Studi epidemiologi mengunjukkan bahwa lebih 40 jenis penyakit ditemukan lebih sering pada individu-individu yang membawa allele kelas I atau II HLA tertentu dibandingkan pada populasi umumnya (29). Besaran efek dapat menjadi sangat besar, namun mungkin tidak pernah mutlak. Sebagai contoh, mereka berrentang dari temuan di antara 90 dan 95% pasien Kaukasia dengan spondilitis ankilosa adalah HLA-B27 (30) hingga pengamatan di antara 30% dan 50% pasien Kaukasia dengan diabetes melitus tipe I adalah heterozigous untuk HLA-DQ2/DQ8 (31). Menariknya, HLA-DQ6 kelihatannya menyediakan proteksi dominan bagi perkembangan diabetes tipe I. Kebanyakan penyakit yang menunjukkan keterkaitan suseptibilitas dengan gen HLA khusus memiliki sebuah karakter otoimun menonjol. Meskipun mekanisme oleh mana genotip HLA mengontrol suseptibilitas terhadap berbagai penyakit ini masih tetap terdefinisikan tidak dengan tepat, hal ini mungkin dikarenakan bahwa partisipasi molekul HLA dalam pemapanan toleransi imun atau pengijinan pengenalan imun dari berbagai antigen lingkungan merupakan hal yang mendasari fenomena ini (32, 33). Allele gen HLA protektif mungkin memerantarai eliminasi sel T patogenik yang potensiil dalam timus, di mana suseptibilitas allele gen HLA mungkin gagal berkontribusi secara tepat untuk mengeliminasi sel T patogenik. Genotip HLA dapat juga mendasari ketanggapan dan ketidaktanggapan terhadap vaksin tertentu. Sebagai contoh, subjek yang dengan HLA-DR3 memiliki peningkatan substansiil insiden ketidaktanggapan terhadap vaksinasi dengan antigen permukaan hepatitis B (34) dan subjek yang dengan HLA-DRB*03 atau HLA-DQA1*0201 memiliki peningkatan insiden seronegatifitas setelah vaksinasi campak (35).
Penyajian Antigen yang Tak Bergantung-HLA
Penyajian antigen oleh molekul HLA kelas I dan II ke pada limfosit T CD8+ dan CD4+ adalah terbatas untuk antigen protein. Awalnya, diperkirakan bahwa berbagai respon terhadap antigen polisakarida dan antigen lipid dibatasi untuk respon-respon yang takbergantung-sel T yang menghasilkan aktifasi langsung sel B oleh sebuah antigen dengan sebuah struktur berulang; namun, belakangan telah menjadi jelas bahwa terdapat sebuah kelas sel T yang mengenal antigen yang disajikan oleh molekul yang bukan antigen kelas I atau kelas II HLA klasik. Satu di antara semua kelas sel T menggunakan reseptor antigen yang berkomposisikan rantai α dan β dan mengenal antigen lipid yang disajikan berikatan dengan molekul CD1 (6). Molekul CD1 secara struktural berhubungan dengan molekul kelas I HLA, oleh karena protein transmembrannya dengan 3 domain ekstrasel dan berasosiasi dengan mikroglobulin-β2. Terdapat 5 isoform CD1 manusia yang didisasin sebagai CD1a-CD1e, disandi oleh gen berkaitan yang tidak berasosiasi dengan MHC. Kristalografi sinar-X memperlihatkan bahwa domain α1 dan α2 dari molekul CD1 berasosiasi seperti halnya molekul MHC kelas I untuk membentuk alur pengikatan yang dapat mengakomodasi komponen glikolipid patogen mkroba (36). Kompleks glikolipid–CD1 dapat juga bekerja sebagai target bagi pengenalan oleh sel T yang menggunakan TCR γδ (lihat bawah). Penyajian glikolipid mikroba ini oleh molekul CD1 nampaknya yang mendasari pengenalan yang takbergantung-MHC dari mikrobakteri baik oleh sel-sel T αβ dan γδ. Glikosfingolipid, sebuah kelas dari lipid berkandungan-karbohidrat yang dijumpai pada sel eukaryotik maupun prokaryotik dapat juga dipresentasikan oleh molekul CD1d ke sel-sel T-NK, mengawali ke pada pelepasan darinya sejumlah besar sitokin imunoregulator (37). Sel T γδ manusia dapat juga mengenal sel-sel target by virtue dari pengekspresian mereka akan stress-induceable MHC class I-related chains A and B (MICA dan MICB). MICA dan MICB yang dikode oleh gen berlokasi di antara cluster gen TNF dalam regio kelas III MHC dan lokus HLA-B dalam regio kelas I (Gambar 2). Mereka berbagi karakteristik struktural dengan rantai berat protein kelas I namun menampakkan tidak berasosiasi dengan mikroglobulin-β2 dan tidak mengikat peptida antigenik. Mereka lebih bekerja sebagai molekul terinduksi-stres yang adalah merupakan target bagi sel-sel T γδ intestinal, memperluas lebih lanjut repertoar molekul-molekul yang dapat berkontribusi untuk pengaktifasian limfosit T yang berrespon. Sebagai tambahan bagi dua buah gen fungsional MICA dan MICB, terdapat sedikitnya tiga buah pseudogen MIC inaktif yang tersandi di dalam regio kelas I MHC (Gambar 2) (38).
Limfosit T
Kelas utama sel T ditentukan oleh ekspresi permukaannya akan TCR αβ. Reseptor ini muncul terutama diperuntukkan bagi pengenalan antigen peptida yang disajikan dalam sebuah kompleks dengan protein MHC kelas I dan II. Sel T-αβ berdiferensiasi menjadi banyak subsets berbeda, beberapa di antaranya (sel T CD8+) bekerja terutama untuk membunuh sel yang terinfeksi dengan mikroba intrasel, dan lainnya (sel T CD4+) bekerja terutama untuk mengatur berbagai respon imun seluler dan humoral. Sebuah subset kecil sel T-αβ yang mengekspres NK1.1 (CD161), antigen sel NK (sel T-NK) adalah biasanya CD4 dan CD8 negatif ganda, mengenal antigen glikolipid yang dipresentasikan oleh molekul CD1d, dan tampil menjadi basis imunoregulator karena kemampuannya melepas dengan cepat sejumlah besar sitokin IFN- γ, IL-4, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), TNF, dan lainnya (39). Rincian mekanisme oleh apa yang dikembangkan sel T, yaitu memperoleh spesifisitas antigen mereka, dan kemudian diregulasi sebagaimana mereka menghadapi antigen dalam jaringan perifer.
Perkembangan Sel T
Setiap dari sel T mengemban reseptor antigen dengan spesifisitas tunggal. Sebuah repertoar sel T yang dapat melindungi dalam melawan patogen mikroba dengan susunan sangat luas haruslah, sehingga, melibatkan sejumlah sangat besar sel yang mengkode TCR khusus dengan susunan sangat luas. Semua reseptor ini secara somatik dirakit dari elemen gen yang bervariasi, bermacam-macam, dan bekerja bersama untuk membangkitkan rantai VαJα dan VβDβJβ dewasa. Perakitan dari semua elemen gen ini diinisiasi oleh protein RAG1 dan RAG2 yang spesifik-limfoid yang memecah DNA dekat-dekat dengan segmen V, D, dan J dan segmen-segmen gen ini dikerjasamakan ulang oleh sebuah koleksi dari enzim perbaikan DNA yang spesifik-non-limfoid termasuk DNA-dependent protein kinase (DNA-PK), Ku, XRCC4, XLF, DNA ligase IV, dan the Artemis nuclease (40). XRCC4, XLF, dan DNA-PK membantu perekrutan enzim, yaitu terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT), yang menambah deoksinukleotida ke dalam beberapa VDJ junctions yang menyediakan extra junctional diversity bagi rangkaian gen yang terrekombinasi tersebut (41). Aksi enzim rekombinase ini menghasilkan elemen-elemen gen V, D, dan J yang perakitannya dalam sebuah proses yang nampaknya acak, menghasilkan diversitas luas dari rangkaian reseptor, namun juga secara frekuen menghasilkan gen fungsional. Penyeleksian sel-sel yang membawa gen TCR fungsional terjadi dalam thimus (gambar 6), sebuah kompleks organ limfoid berlokasi di anterior mediastinum pada dasar leher (42). Thimus mengandung 3 kompartemen. Pertama, zona subkapsuler, adalah di mana pro-thimosit yang berasal-sumsum tulang mulai berdiferensiasi, berproliferasi, dan mengatur kembali rantai β TCR mereka. Sel-sel kemudian berprindah menuju korteks di mana elemen gen rantai α diatur ulang, yang secara potensiil membentuk sebuah TCR αβ fungsional dan dewasa. Di dalam korteks, sel-sel tersebut diuji apakah reseptor mereka memiliki afinitas yang mencukupi bagi self-MHC molecules untuk mengijinkan mereka pada akhirnya bagi pengenalan kompleks antigen-MHC. Ini meliputi berbagai interaksi di antara limfosit yang sedang berkembang dengan epitel kortikal yang khusus (43). Bilamana limfosit gagal dalam seleksi positif ini, kemudian ia menjalani apoptosis dan dibersihkan oleh makrofag korteks timus. Akhirnya, dalam medula thimus, sel-sel tersebut disaring untuk otoreaktifitas potensiil. Penyaringan ini meliputi pengujian bagi reaktifitas untuk sebuah susunan ekstensif protein-protein yang khas-jaringan yang diekspres oleh sebuah populasi sel epitel medula thimus di bawah kontrol sebuah gen yang disebut AIRE (pengatur otoimun). Defek pengekspresian AIRE memunculkan sindrom otoimun parah yang disebut autoimmune polyendocrinopathy-candidiasis-ectodermal dystrophy (APECED) (44). Sel-sel yang mengenal self-peptides yang diekspres oleh sel-sel epitel ini dibuang dengan apoptosis, dan sel-sel yang dapat bertahan dari seleksi negatif ini diekspor keluar sirkulasi. Sedikitnya 5% dari sel T yang berkembang ini bertahan dari seleksi positif dan negatif.
Gambar 6
Diferensiasi dan Maturasi sel T di dalam Thimus
Sel-sel tunas hematopoietik yang tidak mengekspres CD3, CD4, atau CD8 namun yang berkomitmen terhadap diferensiasi sel T bergerak dari sumsum tulang menuju ke zona subkapsuler thimus. Di sana mereka mulai mengatur ulang gen-gen TCR. Sekali sebuah rantai β TCR produktif telah diproduksi, mereka bergerak menuju korteks thimus di mana pengaturan ulang rantai TCR α terjadi dan pengekspresian protein CD3, CD4, dan CD8 dinduksi. Sel-sel CD4+CD8+ (‘positif ganda’) diseleksi secara positif pada sel-sel epitel korteks bagi kemampuan mereka untuk mengenal protein-protein HLA kelas I atau kelas II diri sendiri. Bilamana sel T yang sedang berkembang memiliki afinitas adekuat untuk pengenalan protein kelas I diri sendiri, kemudian ia mempertahankan pengekspresian CD8 dan memadamkan pengekspresian CD4. Bila sel mampu mengenal protein kelas II diri sendiri, ia kemudian mempertahankan pengekspresian CD4 dan memadamkan pengekspresian CD8. Sel-sel positif tunggal (SP) CD4/CD8 yang terseleksi kemudian bergerak menuju medula thimus di mana mereka secara negatif terseleksi pada sel-sel epitel medula untuk membuang sel-sel dengan afinitas berlebih-lebihan bagi antigen-diri sendiri dalam molekul HLA. Sel-sel yang muncul dari penyeleksian positif SP bagi pengekspresian CD4 atau CD8 lalu kemudian di kirim ke luar menuju perifer. Sel-sel yang gagal dalam penyeleksian positif atau negatif dibuang lewat apoptosis. Sefraksi kecil sel berdiferensiasi untuk pengaturan ulangan rantai γ dan δ TCR mereka, dari pada rantai α dan β TCR mereka. Dimodifikasi dari Huston (114).
Sedikitnya 90-95% sel T yang bersirkulasi menggunakan TCR αβ sebagaimana dijelaskan di atas. Sebanyak 5 – 10% lainnya menggunakan TCR heterodimer yang lain yang berkomposisikan rantai γ dan δ. Rantai γ dan δ juga perakitannya melalui pengaturan ulang bermediasikan-RAG1/RAG2 elemen-elemen V, D (untuk rantai δ saja), dan elemen J. Sebagian dari sel-sel T γδ dibangkitkan dalam thimus, namun seporsi utama kelihatannya terbangkitkan dalam sebuah kompartemen ekstrathimik, menghasilkan sel-sel yang banyak memenuhi traktus gastrointestinal (45).
Kompleks Reseptor Antigen – Sel T
Rantai α dan β TCR yang spesifik-antigen berasosiasi dengan rantai tambahan invarian yang melayani transduksi sinyal saat TCR berikatan dengan kompleks antigen-MHC (46). Rantai tambahan ini membentuk kompleks CD3, terdiri dari rantai CD3γ, CD3δ, dan CD3ε transmembran ditambah sebuah homodimer intrasitoplasmik besar dari dua buah rantai CD3ζ. Meskipun stoikhiometri kompleks CD3 tidak termapankan secara pasti, nampaknya bahwa setiap pasang αβ TCR berasosiasi dengan heterodimer CD3γε, heterodimer CD3δε, dan heterodimer CD3ζ (Gambar 7).
Gambar 7
Kompleks Reseptor-Sel T dan Pengaktifasian Sel T
A, Kompleks TCR yang lengkap meliputi rantai α dan β TCR yang teratur ulang dan juga rantai-rantai CD3γ, CD3δ, CD3ε, dan CD3ζ. Rantai CD3 mengandung ITAMs dalam domains sitoplasmik mereka yang dapat difosforilasikan untuk mengaktifasi kaskade pensinyalan intraseluler untuk pengaktifasian sel T. Protein pensinyalan tirosin kinase Lck dan Fyn berasosiasi dengan bagian-bagian intraseluler dari rantai CD4 dan CD3 berturutan. Pengisian (engagement) TCR oleh MHC plus peptida tanpa keberadaan protein ko-stimulator gagal untuk mengaktifasi fosforilasi dari ITAMs CD3 dan menghasilkan anergi. B, Pengisian TCR oleh MHC plus peptida dengan interaksi ko-stimulator di antara CD28 pada sel T dan CD80 atau CD86 (B7.1 atau B7.2) pada APC menghasilkan fosforilasi rantai-rantai CD3 yang bergantung-Lck dan yang bergantung-Fyn, dan perekrutan protein adapter ZAP-70 ke kompleks CD3. Ini mengawali fosforilasi ZAP-70, yang mana kemudian menginduksi program downstream pengaktifasian sel T. C, Pengaktifasian poliklonal sel T dapat diperoleh melalui superantigen yang berinteraksi di luar alur pengikatan peptida dengan rantai β1 dari molekul kelas II dan dengan semua rantai Vβ dari sebuah subklas khusus. Ini mengaktifasi fosforilasi rantai-rantai CD3 yang tak bergantung-CD4, namun bergantung-Fyn, perekrutan ZAP-70, dan pengaktifasian sel.
Interaksi kompleks TCR/CD3 dengan peptida antigenik yang tersajikan dalam sebuah molekul HLA menyediakan hanya sebagian kecil sinyal bagi aktifasi sel. Aktifasi selengkapnya membutuhkan partisipasi tambahan dari sebuah molekul ko-stimulator, seperti misalnya CD28 pada sel T dan CD80 (juga didisasin B7.1) atau CD86 (B7.2) pada sel yang mempresentasikan-antigen (Gambar 7) (47). Kenyatannya memang, interaksi peptida-MHC dengan TCR tanpa ko-stimulator dapat mengawali ke suatu keadaan anergik dari ketidaktanggapan sel T yang berkepanjangan (prolonged T cell non-responsiveness).
Bagian sitoplasmik dari setiap rantai CD3 mengandung rangkaian motif yang terdisain immunoreceptor tyrosine-based activation motifs (ITAM). Ketika tirosin-tirosin kunci dalam ITAM difosforilasi oleh kinase terkait-reseptor Lck dan Fyn, hal ini menginisiasi sebuah kaskade aktifasi yang melibatkan protein ZAP-70, dan farther downstream LAT, dan SLP-76. Aktifasi protein-protein ini mengawali kepada stimulasi fosfolipase C, aktifasi protein G Ras dan Rac, dan pula protein kinase C maupun mitogen-associated protein (MAP) kinases. Bersama-sama, kompleks kejadian aktifasi ini mengawali kepada aktifasi gen-gen yang mengontrol proliferasi dan diferensiasi limfosit.
Jalur yang mengatur ke hilir jalur aktifasi ini semakin terdefinisikan dengan baik. Molekul membran CD45 adalah sebuah tirosin fosfatase kunci yang mengisi posisi sentral dalam proses pendeaktifasian ini. Tambahannya, sebuah pasangan reseptor-ligand yang spesifik, PD-1 (programmed death-1) dengan PD-L1 (programmed death ligand 1), mentransduksi sinyal ke limfosit teraktifasi untuk menghambat proliferasi dan fungsi efektornya, dus, memadamkan respon sel T (48). Berbagai mutasi yang mempengaruhi fungsi dari banyak molekul yang terlibat dalam proses transduksi sinyal sel limfoid intraseluler merupakan hal yang mendasari berbagai sindrom imunodefisiensi primer kongenital.
Subpopulasi Sel T
Sepanjang progres mereka melewati thimus, sel-sel T αβ berdiferensiasi menjadi banyak subpopulasi dengan ciri tersendiri, masing-masingnya dengan repertoar tertentu dari fungsi-fungsi efektor. Subset utama ditentukan oleh pengekspresian permukaan selektif mereka akan CD4 atau CD8. Di dalam thimus, kebanyakan sel-sel T yang berkembang mengikuti sebuah program perkembangan pada mana dalam korteks mereka pertama kali tidak mengekspres CD4 tidak juga CD8 (negatif ganda) dan kemudan mengekspres kedua CD4 dan CD8 (positif ganda [DP]) (49). Sel-sel DP diuji oleh seleksi positif di dalam korteks thimus dan mereka yang diseleksi pada molekul MHC kelas I menjadi CD4−CD8+, dan mereka yang diseleksi pada molekul kelas II menjadi CD4+CD8−. Faktanya adalah bahwa molekul CD4 menyumbang terhadap sebuah interaksi yang stabil dari perkembangan sel T dengan molekul MHC kelas II pada penyeleksian APC dan bahwa CD8 menyumbang terhadap interaksi dengan molekul kelas I adalah sentral terhadap asosiasi CD4 dengan pengenalan antigen terrestriksi MHC kelas II dan asosiasi CD8 dengan pengenalan antigen terrestriksi kelas I. Sel-sel yang bertahan terhadap seleksi positif kemudian bergerak menuju medula thimus untuk seleksi negatif dan kemudian dilepaskan ke perifer. Di dalam darah dan organ-organ limfoid sekunder, 60 – 70% sel T adalah CD4+CD8− (CD4+) dan 30 – 40% adalah CD4−CD8+ (CD8+). Sel-sel T CD4+ secara umum didisain sebagai ’sel penolong’ dan mengaktifasi kedua respon imun humoral (bantuan sel B) dan respon seluler (respon hipersensitifitas tipe lambat, lainnya). Sel CD8+ memperlihatkan sebuah aktifitas sitotoksik utama melawan sel-sel yang terinfeksi dengan mikroba intraseluler dan melawan sel-sel tumor, namun juga mengandung sel-sel pengaturan yang meregulasi ke hilir respon imun (sel-sel penekan). Sebagian dari sel-sel T CD4+ yang bersirkulasi memainkan sebuah peran pengaturan penting yang bekerja memodulasi ke hilir respon imun. Sel-sel regulatory T (Treg) ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengembangkan fungsi pengaturannya di dalam thimus dan dikenal sebagai sel-sel Treg alami. Sel-sel ini ditandai oleh pengekspresian permukaan antigen CD4 dan CD25 dan juga oleh pengekspresian nuklear the forkhead box P3 transcription factor (Foxp3) yang adalah penting bagi perkembangan mereka. Sebagian besar aktifitas pengaturan yang dimiliki populasi ini adalah dikarenakan sekresi sitokin imunomodulatornya yaitu TGFβ dan IL10 (50). Di bawah beberapa kondisi, penekanan proliferasi sel T efektor oleh sel-sel Treg memerlukan kontak sel - sel. Dalam situasi ini, telah dilaporkan bahwa TGFβ bekerja dalam sebuah bentukan berasosiasi-membran (51). Kelompok kedua sel-sel Treg diperkirakan berdiferensiasi di perifer dari sel-sel T CD4+ naif. Karena mereka muncul untuk berkembang dalam respon terhadap stimulasi dengan antigen spesifik, mereka disebut sel-sel Treg adaptif atau terinduksi. Diferensiasi mereka nampaknya bergantung pada keberadaan IL-10 selama aktifasi awal mereka. Pengekspresian Foxp3 adalah bervariasi dalam subset ini, dan IL-10 merupakan produk sekresi menonjol dengan TGFβ juga berpartisipasi (52). Fenotip sel-sel ini dapat tak stabil, dengan pengekspresian Foxp3 menghilang segera setelah penarikan (withdrawal) IL-10 atau TGFβ induktif. Studi terkini telah mengindikasikan bahwa modifikasi epigenetik lokus Foxp3, dalam bentuk asetilasi histon dan metilasi DNA yang berubah dalam daerah sekitar promoter Foxp3, adalah penting bagi pemapanan dari pengekspresian yang stabil dari Foxp3 dan pemeliharaan fenotip Treg (53).
Sedikitnya 5-10% sel T dalam darah perifer, limfonodi, dan lien adalah CD4−CD8−. Beberapa dari sel ini menggunakan TCRαβ dan lainnya menggunakan TCRγδ. Sel-sel negatif ganda tidaklah mengenal antigen dalam konteks kelas I atau kelas II MHC. Beberapa dari sel ini mengenal antigen dalam protein terkait-kelas I CD1 yang diadaptasi untuk pemresentasian komponen glikolipid mikobakteria dan mikroba lainnya (36). Satu subset sel-sel T γδ negatif ganda yang mengenal protein-protein terkait-rantai kelas I MHC didisain MIC (38).
Kedua sel T CD4+ dan CD8+ berdiferensiasi menjadi subset berbeda secara fungsional setelah pemaparan dengan antigen. Hal ini merupakan penjelasan terbaik bagi transisi sel-sel T CD4+ dari keadaan naifnya ke populasi efektor. Sel-sel T CD4+ naif yang diam (didisain sel T penolong, Th) melepas sitokin dengan level sangat rendah. Awal-awalnya setelah stimulasi oleh antigen dan APC, sel Th mulai menghasilkan IL-2 dan didisain Th0. Sebagaimana sel-sel Th berlanjut berrespon terhadap sinyal pengaktifasian, mereka progres menuju ke kutub diferensiasi ekstrem yang didisain Th1, Th2, dan Th17 bergantung pada keadaan sitokin yang ada pada lokasi pengatifasian (54). IL-12 yang diproduksi oleh makrofag atau sel-sel NK menginduksi diferensiasi menuju Th1, IL-4 diproduksi oleh sel-sel T NK1.1+, basofil, atau sel mast menginduksi diferensiasi menuju Th2 dan TGFβ dan IL-6 diproduksi oleh sel yang belum diketahui menginduksi diferensiasi menuju Th17. Sel-se Th1 ditandai oleh ekspresi mereka akan faktor transkripsi t-bet dan oleh produksi IL-2, IFN-γ dan limfotoksin. Sel-sel Th2 ditandai oleh ekspresi mereka akan faktor transkripsi GATA-3 dan produksi IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF, dan sel-sel Th17 mengekspres faktor transkripsi RORC2 dan memproduksi sitokin IL-6 dan IL-17 (55). Sel-sel Th17 diinduksi saat awal dalam respon adaptif terhadap bakteri ekstraseluler dan membantu merekrut respon netrofil yang mengeliminasi patogen ini. Mereka juga mengarahkan respon inflamasi destruktif yang merupakan bagian dari banyak penyakit otimun. Sel-sel Th1 dan Th2 sering berpartisipasi bersama dalam berbagai respon imun; namun, setelah imunisasi berkepanjangan, respon dapat menjadi dominan mirip-Th1 atau dominan mirip-Th2. Secara umum, sel Th1 menyokong respon imun bermediasi sel, dan sel-sel Th2 menyokong respon humoral dan alergik. Sel-sel T CD8+ juga dapat memanifes respon sitokin tipe 1 dan tipe 2, yang dalam kasus ini sel-se ini didisain T cytotoxic cell type 1 (Tc1) dan T cytotoxoc cell type 2 (Tc2) (56). Memahami berbagai faktor yang mengendalikan apakah sebuah respon Th mengadopsi sebuah respon bertipe-Th1, bertipe-Th2, atau bertipe-Th17 adalah penting bagi ahli alergi/imunologi klinis. Kemajuan terkini menggunakan imunisasi dengan tipe-tipe ajuvan berbeda (sebagai contoh, CpG DNA) mengunjukkan fisibilitas pemrograman ulang, pada pasien-pasien atopi, respon alergi bertipe-Th2 menjadi respon non-alergi bertipe-Th1 (57).
Superantigen
Antigen konvensional berikatan dengan sebuah subset molekul MHC dan dengan sefraksi sangat kecil dari rentangan TCR yang luas. Dus, sebuah antigen peptida konvensional mengaktifasi hanya sefraksi sangat kecil dari keseluruhan pupulan (pool) sel T. Superantigen, sebaliknya, merupakan produk mikroba yang berikatan dengan subset besar protein TCR dan molekul MHC, sehingga sebuah superantigen tunggal dapat mengaktifasi hingga 20% atau lebih dari total sel T dalam tubuh. Superantigen mengerjakan ini melalui pengikatan tanpa pemrosesan proteolitik dengan molekul MHC di luar alur pengikatan-antigen dan dengan protein TCR di luar lokasi pengikatan MHC-antigen mereka (Gambar 7). Sebagai contoh, the Toxic Shock Syndrome Toxin-1 (TSST-1) diproduksi oleh Staphylococcus aureus dapat mengaktifasi semua sel T dan TCR dengan menggunakan rantai Vβ2 dan Vβ5.1. Pengaktifasian sejumlah besar sel T yang diinduksi oleh superantigen menghasilkan pelepasan masif sitokin yang memproduksi kondisi klinis seperti misalnya sindrom syok toksik (58).
Limfosit B
Perkembangan Sel B dan Reseptor Antigen Sel B
Sel B mengisi sedikitnya 15% lekosit darah perifer. Mereka ditetapkan melalui produksinya akan Ig. Kecuali yang disampaikan di bawah, molekul Ig berkomposisikan dua buah rantai berat identik 50 kDa dan dua buah rantai ringan identik 25 kDa atau rantai ringan λ. Bagian terminal amino dari rantai berat dan ringan bervariasi dari segi rangkaian asam amino dari satu molekul antibodi ke yang lainnya. Bagian-bagian variabel ini didisain VH dan Vκ atau Vλ, secara berurutan. Juxtaposisi dari satu segmen VH dengan satu Vκ atau Vλ menciptakan bagian pengikatan-antigen dari molekul Ig intak. Regio variabel dari kedua rantai berat dan ringan mengandung tiga buah sub-regio yang sangat variabel di antara molekul antibodi berbeda. Semua rangkaian hipervariabel ini dibawa bersama dalam protein Ig untuk membentuk domain pengikatan-antigen dari molekul. Dus, setiap Ig memiliki dua buah lokasi pengikatan antigen yang identik. Bagian terminal karboksil rantai berat dan ringan adalah konstan dalam setiap subklas antibodi. Regio konstan rantai berat berpasangan untuk membentuk domain Fc dari molekul yang bertanggung jawab bagi kebanyakan fungsi efektor molekul Ig, termasuk pengikatan ke reseptor Fc dan pengaktifasian sistim komplemen.
Gen-gen yang menyandi rantai ringan κ disandikan pada khromosom 2, dan gen-gen yang menyandi rantai ringan λ disandikan pada khromosom 22. Lokus rantai berat yang kompleks disandikan pada khromosom 14. Lokus-lokus rantai ringan dan berat masing-masing berkomposisikan satu seri elemen gen V (variabel), diikuti oleh banyak segmen D (diversitas) (hanya bagi gen rantai berat), beberapa segmen J (joining), ekson C (regio konstan). Regio konstan dari kedua gen rantai ringan κ dan λ disandikan sebagai ekson tunggal. Gen rantai berat, sebaliknya, mengandung ekson-ekson yang menyandi 9 buah regio konstan berbeda yang digunakan untuk memproduksi klas-klas dan subklas-subklas berbeda dari Ig (Tabel 1).
Tabel I
Struktur, Fungsi, dan Distribusi berbagai Isotop Antibodi
Sel-sel B berdiferensiasi dari sel-sel tunas hematopoietik dalam sumsum tulang. Di sinilah reseptor antigen mereka (Ig permukaan) dirakit dari blok-blok pembangun genetik dalam sebuah proses bermediasikan-RAG1/RAG2 yang sama dengan yang digunakan untuk produksi TCR fungsional (59). Bagian terminal amino dari setiap rantai berat diciptakan oleh gen-gen penggabungan somatik (somatic joining) yang mengkode sebuah regio variabel (VH), regio diversitas (DH), dan regio joining (JH). Penggabungan gen-gen yang menyandi elemen gen rantai ringan variabel dan konstan membangkitkan bagian terminal amino dari rantai ringan. The junction VDJ yang dibentuk oleh rekombinasi ini membuat regio hipervariabel ketiga yang menyumbang pada lokasi pengikatan antigen. Diversitas rangkaian asam amino dari regio hipervariabel ketiga merupakan hasil dari combinatorial V-D-J joining, dan juga dari rangkaian tersandi-non-gen yang ditambahkan ke dalam lokasi junction oleh aksi enzim TdT yang diekspres pada sel-sel B yang sedang berkembang selama masa pengaturan ulang gen ini berlangsung.
Pemapanan Repertoar sel B
Diferensiasi sel tunas menuju garis turunan B adalah bergantung pada sel-sel stromal sumsum tulang yang memproduksi IL-7. Sel B yang sedang berkembang mengikuti sebuah program dari pengekspresian antigen permukaan diferensiil dan pengaturan-ulang gen rantai berat dan ringan sekuensiil (Gambar 8). Pertama, kompleks enzim rekombinase mengkatalisis fusi dari satu dari gen regio DH ke sebuah gen regio JH dengan dilesi dari rangkaian DNA intervening. Rekombinasi DHJH ini terjadi pada kedua khromosom. Selanjutnya, rekombinase menggabungkan satu dari gen regio VH ke gen DHJJ. TdT diekspres selama periode ini, menghasilkan penambahan nukleotida acak ke dalam lokasi penggabungan DH-J dan VH-DHJH, menambahkan diversitas potensiil rangkaian asam amino yang tersandi oleh gen VHDHJH yang ter-atur ulang. Elemen VHDHJH yang ter-atur ulang membentuk the most 5’ exon dari gen rantai berat yang ter-atur ulang ini, dan diikuti downstream oleh ekson-ekson menyandi regio konstan dari rantai m yang berpasangan dengan sebuah rantai ringan untuk menghasilkan IgM dan farther downstream oleh ekson-ekson menyandi regio konstan dari rantai d yang digunakan untuk membuat IgD. Rantai μ dan rantai δ diproduksi sebagai sebuah hasil dari splicing RNA alternatif dari ekson VHDHJH ke apakah ekson-ekson μ ataukah δ. Bila pengaturan-ulang elemen-elemen VH, DH, dan JH menghasilkan sebuah transkrip rantai berat yang adalah berproses di dalam kerangka kerja (in-frame) dan menyandi sebuah protein rantai berat fungsional, kemudian rantai berat ini disintesis dan berpasangan dalam sel dengan dua protein, λ5 dan VpreB, yang bekerja sebagai sebuah pengganti rantai ringan (Gambar 8). Pengekspresian reseptor sel pre-B ini pada permukaan sel mencegah pengaturan-ulang VH ke DHJH pada khromosom yang lainnya, untuk meyakinkan bahwa sel B yang sedang berkembang menghasilkan hanya satu spesifisitas antigenik. Proses ini disebut allelic exclusion. Bila pengaturan-ulang VHDHJH yang pertama adalah berproses di luar kerangka kerjanya dan tidak menghasilkan sebuah protein rantai ringan fungsional, kemudian sebuah gen VH melanjutkan untuk pengaturan-ulang pada khromosom lainnya dalam suatu usaha kedua untuk membangkitkan sebuah pengaturan-ulang rantai ringan yang berhasil. Bila pengaturan-ulang kedua ini tidak berhasil, sel menjalani apoptosis dan dibuang.
Gambar 8
Diferensiasi dan Perkembangan Sel B
Sel B berdiferensiasi dalam sumsum tulang dari sel tunas untuk menjadi sel-sel pengekspres IgM dan IgD permukaan yang dewasa. Ini terjadi dalam ketidakhadiran antigen. Di dalam jaringan limfoid perifer, sel B dapat kemudian mendewasa lebih lanjut di bawah pengaruh antigen dan sel T bantuan untuk menjalani switching isotipe dan maturasi afinitas melalui mutasi somatik. Faktor-faktor yang mengontrol diferensiasi akhir dari sel B penyekresi-antibodi menuju sel plasma dikarakterisasi tidak lengkap, namun membutuhkan partisipasi faktor-faktor pentranskripsian Blimp1, Xbp1 dan IRF4. Gambar memperlihatkan berbagai korelasi di antara stadium diferensiasi sel dengan pengekspresian molekul dalam sel (TdT, RAG1/RAG2, cytoplasmic μ) dan permukaan sel (kelas II, CD19, CD21, CD25, CD45, dan Ig permukaan). Dimodifikasi dari Huston (114).
Sekali sebuah rantai berat fungsional dihasilkan, sel mengatur ke hilir gen TdT-nya dan menginisiasi pengaturan-ulang rantai ringan. Pertama, sebuah elemen Vκ mengatur-ulang ke elemen Jκ. Bila yang ini membentuk sebuah rantai ringan fungsional, kemudian rantai ringan κ berpasangan dengan rantai berat untuk membentuk sebuah protein Ig fungsional dan kelanjutan pengaturan-ulang rantai ringan akan berhenti. Bila pengaturan-ulang κ gagal, kemudian proses pengaturan-ulang berlanjut pada khromosom lainnya. Bila hal itu pula gagal, kemudian pengaturan-ulang rantai λ berlanjut. Gen-gen RAG1 dan RAG2 hanya diekspres sepanjang masa pengaturan rantai berat dan ringan, terkecuali beberapa sel B yang mengekspres reseptor otoreaktif kelihatannya mampu untuk mengekspres-ulang gen-gen RAG mereka dan menjalani pengeditan reseptor melalui pengaturan-ulang sekunder dari gen-gen Ig mereka yang telah ter-atur-ulang (60). Semua proses ini menghasilkan perakitan komponen pengikatan-antigen reseptor sel B. Seperti TCR, reseptor sel B yang dewasa penuh juga meliputkan protein transmembran tambahan didisain Igα dan Igβ yang mengaktifasi sinyal intraseluler setelah reseptor mengikat antigen (61, 62). Sel B juga memiliki sebuah kompleks ko-reseptor terdiri dari CD19, CD81, dan CD21 (komplemen reseptor 2) yang diaktifasi oleh pengikatan dengan protein komplemen teraktifasi C3d (63). Kedua Igα dan Igβ memiliki domain ITAM dalam regio sitoplasmik mereka, dan mempergunakan jalur-jalur pentransduksian sinyal yang sama sebanding dengan apa yang digunakan oleh sel T. Jalur sel B meliputi the src-family of kinases Blk, Fyn, dan Lyn yang memfosforilasi ITAMs pada rantai Igα dan Igβ. Sinyal pengaktifasian kemudian lewat melalui tirosin kinase Syk dan protein penghubung (linker protein) BLNK ke komponen pensinyalan downstream fosfolipase C dan faktor-faktor pertukaran nukleotida guanin. Akhirnya, seperti halnya pada sel T, pengaktifasian protein kinase C, mobilisasi kalsium, dan pengaktifasian MAP kinase yang bergantung-Ras/Rac mengawali kepada pengaktifasian transkripsi gen baru yang menyebabkan proliferasi dan maturasi sel.
Switching Isotipe and Maturasi Somatik
Sel-sel B naïf mengekspres IgM dan IgD permukaan sel mereka. Dua buah isotipe Ig ini diekspres melalui splicing alternatif dari ekson VHDHJH yang sama dengan ekson-ekson rantai berat m dan d. Bagi semua gen rantai berat, splicing alternatif juga mengijinkan pengekspresian dari kedua antibodi berikatan-membran (splicing dalam sebuah ekson transmembran) dan antibodi yang tersekresikan (transmembrane exon spliced out). Sebagaimana sel B mendewasa di bawah pengaruh sel T penolong, berbagai sitokin berasal-sel T menginduksi switching isotipe. Switching isotipe merupakan sebuah proses bermediasikan pengaturan-ulang DNA sebagiannya oleh enzim pengeditan-RNA activation-induced cytidine deaminase (AID), uracil-DNA glycosylase (UNG), the endonuclease APE1, dan enzim perbaikan DNA DNA-PK. Proses switching memindahkan ekson VHDHJH yang ter-atur ulang menuju ke satu posisi immediately upstream dari ekson-ekson rantai berat alternatif. Hal ini mengijinkan satu ekson VHDHJH yang ter-atur-ulang fungsional digunakan untuk menghasilkan antibodi dari isotipe-isotipe berbeda namun dengan spesifisitas antigenik sama (64). IL-10 yang berasal sel T menyebabkan switching ke IgG1 dan IgG3. IL-4 dan IL3 menyebabkan switching ke IgE, dan TGFβ menyebabkan switching ke IgA. IFN-γ atau beberapa produk taktentu lainnya dari sel-sel Th1 muncul untuk menginduksi switching ke IgG2.
Pada saat yang sama sebagaimana sel-sel B menjalani proses switching isotipe, sebuah proses aktif yang menghasilkan berbagai mutasi, yang kelihatannya berjalan acak, terjadi dalam bagian-bagian pengikatan-antigen rantai berat dan ringan. Proses ini, yang didisain mutasi somatik, juga nampaknya memerlukan enzim-enzim AID, UNG, APE1, dan ezim perbaikan DNA (65). Bila semua mutasi ini menyebabkan hilangnya afinitas terhadap antigen, sel kehilangan sinyal pertumbuhan penting yang bermediasikan-reseptor dan mati. Bila, bagaimanapun, mutasi menyebabkan meningkatnya afinitas terhadap antigen, kemudian sel yang memproduksi antibodi tersebut memiliki sebuah keuntungan proliferatif dalam berrespon terhadap antigen dan bertumbuh untuk mendominasi pupulan sel yang berketanggapan (the pool of responding cells). Mutasi somatik dan pengekspansian klonal dari sel-sel yang termutasi terjadi dalam pusat-pusat germinal dari berbagai jaringan limfoid sekunder (66).
Respon Sel B yang bergantung-Sel T
Antigen yang mengaktifasi sel T sebagaimana juga sel B memampankan berbagai respon imun pada mana sel T menyediakan “bantuan (help)” bagi sel B untuk dewasa. Maturasi ini termasuk penginduksian switching isotipe, pada mana sitokin sel T mengontrol isotipe dari Ig yang diproduksi, dan pengaktifasian mutasi somatik. Interaksi seluler yang mendasari sel T diarahkan oleh antigen spesifik dan juga dari keuntungan kemampuan sel B yang bersifat melayani sebagai APC. Sel B yang menangkap antigen cognate mereka melalui Ig membrannya dapat menginternalisasi antigen dan memrosesnya secara intraseluler bagi pemresentasian protein HLA kelas II pada permukaan selnya. Penangkapan atigen menginduksi peningkatan pengekspresian kelas II dan pengekspresian CD80 dan CD86. Sel T yang teraktifasi oleh kombinasi ko-stimulator dengan kompleks antigen-kelas II pada sel B ini bersinyal secara resiprok ke sel B melalui interaksi CD40 ligand sel T (CD40L) dengan CD40 sel B. Pensinyalan melalui CD40 adalah penting bagi penginduksian switching isotipe, dan pasien-pasien manusia yang dengan defek pada khromosom X yang menyandi gen CD40L memunculkan sindrom X-linked hyper-IgM dan pasien dengan CD40 mutan memperlihatkan otosomal resesif sindrom hyper-IgM (67).
Switching isotop dan mutasi somatik secara kuat berasosiasi dengan perkembangan sel B memori. Respon sel memori, yang ditentukan dari penginduksian cepat level tinggi antibodi afinitas tinggi setelah serangan antigen kedua kali, ditandai oleh produksi antibodi IgG, IgA, dan IgE, dan melalui mutasi somatik pada domain pengikatan-antigen rantai berat dan ringan antibodi-antibodi ini (68). Perkembangan sel B memori adalah penting bagi keberhasilan vaksinasi melawan pathogen dan juga mengabadikan banyak sindrom otoimun dan alergik. Memahami bagaimana cara untuk menguatkan atau menurunkan berbagai respon memori akan menyediakan banyak kesempatan teraputik baru bagi ahli imunologi klinis.
Respon Sel B yang Tak Bergantung Sel T
Sel B dapat juga diaktifasi dengan berhasil tanpa bantuan sel T. Pengaktifasian sel B yang tidak bergantung sel T terjadi tanpa bantuan dari protein ko-stimulator sel T. Dalam ketidakhadiran ko-stimulator, antigen monomer tidak mampu mengaktifasi sel B. Antigen polimer dengan sebuah struktur berulang, sebaliknya, mampu untuk mengaktifasi sel B, kemungkinan karena mereka dapat me-cross-link dan me-cluster molekul Ig pada permukaan sel B. Antigen yang tidak bergantung sel T meliputi lipopolisakharida bakterial (LPS), polisakharida polimerik lainnya yang tertentu, dan berbagai protein polimerik tertentu. Mutasi somatik tidak terjadi dalam kebanyakan respon antibodi yang tidak bergantung sel T. Konsekuensinya, memori imun terhadap antigen yang tidak bergantung sel T umumnya adalah lemah. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sulitnya menciptakan vaksin-vaksin yang bersifat melindungi sepenuhnya yang diarahkan untuk melawan komponen polisakharida mikroba. Ikatan kovalen dari komponen polisakharida ke sebuah protein pembawa, dalam rangka merekrut sel T bantuan untuk berrespon, dapat menginduksi suatu respon memori menguntungkan. Bernilainya tindakan pemasangan sebuah antigen polisakharida ke sebuah protein pembawa diamati dalam vaksin Haemophillus influenzae tipe B. Vaksin polisakharida aslinya menyediakan titer antibodi rendah, dan tidak melindungi anak usia kurang dari 18 tahun. Vaksin conjugate saat ini umumnya menyediakan perlindungan mulai pada usia 2 – 4 bulan.
Jaringan Limfoid
Interaksi seluler adalah penting bagi suatu respon imun yang teratur normal dan yang bersifat melindungi. Khususnya, sel T bantuan diperlukan untuk membangkitkan antibodi afinitas tinggi dengan memori melawan kebanyakan protein antigen. Sebuah tantangan terbesar bagi sistim imun dari satu subjek naïf adalah membawa sel B yang antigen-spesifik langka bersama-sama dengan sel T yang spesifik-antigen langka dan APC yang terisi-antigen (antigen-charged). Peran utama dari jaringan limfoid sekunder adalah untuk memfasilitasi berbagai interaksi ini. Umumnya, organ limfoid sekunder mengandung zona-zona diperkaya dengan (enriched for) sel B dan zona-zona lainnya diperkaya dengan sel T (69). Zona sel B mengandung clusters dari follicular dendritic cells (FDC) yang mengikat kompleks antigen-antibodi dan menyediakan lokasi-lokasi yang diadaptasikan bagi pendewasaan sel B yang efisien, mutasi somatik dan penyeleksian sel-sel B yang dengan afinitas tinggi. Zona sel T mengadung sel-sel dendritik dalam jumlah besar yang merupakan APC poten bagi pengaktifasian sel T. Jaringan ini juga mengandung struktur vaskuler khusus bagi perekrutan sel-sel untuk masuk ke dalamnya. Venula-venula endotel tinggi dalam limfonodi, Peyer’s patches, dan jaringan limfoid terkait mukosa adalah lokasi-lokasi vaskuler yang secara efisien mengekstrak sel-sel T dan B naïf dari sirkulasi masuk ke dalam organ limfoid. Sinus marginal kemungkinan bersifat melayani suatu fungsi yang sama seperti dalam spleen. Pembuluh limfatik aferen menyediakan jalan masuk efisien dari antigen-charged antigen-transporting cells (seperti misalnya sel-sel Langerhan epidermal) dari jaringan perifer ke dalam limfonodi. Pembuluh limfatik eferen memungkin pelepasan efisien dari sel-sel antigen-experienced kembali ke dalam sirkulasi. Pelepasan terprogram dari berbagai khemokin khusus di dalam jaringan limfoid mengorkestrasikan datangnya secara bersama-sama sel B dan T yang bersifat antigen-responsif dan lalu migrasi dari sel B teraktifasi dan sel T terseleksi ke clusters FDC di mana mereka dapat membentuk sebuah germinal center (70). Sebagai tambahan terhadap sinyal khemokin yang mengontrol lekosit memasuki ke dan bermigrasi di dalam jaringan limfoid sekunder, hal ini sekarang difahami bahwa sinyal-sinyal spesifik, khususnya yang disediakan oleh the lysophospholipid sphingosine 1-phosphate, meregulasi jalan sel-sel untuk ke luar jaringan limfoid dan masuk ke dalam sirkulasi (71).
Meskipun berbagai ajuvan poten dapat menginduksi beberapa derajat maturasi afinitas dalam setingan ketidakhadiran kongenital limfonodi dan Peyer’s patches, semua organ limfoid sekunder ini secara umum adalah penting bagi penginduksian suatu respon imun yang efisien dan bersifat melindungi. Struktur mirip-limfonodi ektopik yang didisain jaringan limfoid tersier dapat membentuk lokasi inflamasi kronik seperti misalnya membran sinovial sebuah sendi yang terkena arthritis rheumatoid. Berbagai reaksi imun yang berlangsung di dalam berbagai jaringan limfoid tersier ini dapat menyumbang penting bagi pathogenesis penyakit inflamasi.
Pensinyalan oleh Sitokin
Sitokin bekerja pada sel melalui reseptor permukaan sel transmembran. Berikatannya sitokin ke reseptor memunculkan respon selulernya melalui aktifasi sebuah jalur transduksi sinyal intraseluler yang pada akhirnya mengawali ke pada penginduksian transkripsi gen baru dan sintesis protein seluler baru. Kebanyakan sinyal reseptor sitokin menggunakan sejenis molekul dari keluarga janus kinase (Jak) yang kemudian bekerja pada keluarga signal tranducers and activators of transcription (STAT) dari protein Jak. Protein Jak spesifik berasosiasi dengan domain sitoplasmik reseptor sitokin. Ketika reseptor diaktifasi oleh pengikatan dengan sitokin, Jak memfosforilasikan masing-masing protein STATnya, menyebabkan STAT berdimerisasi, dan bertranslokasi ke dalam nukleus di mana ia kemudian menginisiasi transkripsi gen baru. Peranan penting protein Jak dan STAT dalam pengaturan imun dilihat pada individu-individu dengan defisiensi bawaan dari molekul-molekul ini. Jak3 berinteraksi dengan protein γc, sebuah subunit dari banyak reseptor sitokin termasuk reseptor bagi IL-2, IL-4, IL-7, IL-9, IL-15 dan IL-21. Defisiensi dari protein Jak3 yang tersandi secara otosom menyebabkan autosomal recessive severe combined immune deficiency (SCID) (72). Defisiensi dari protein γc yang tersandi X khromosom menyebabkan X-linked SCID (73). Mutasi STAT1 menyebabkan suseptibilitas terhadap infeksi dengan mikobakteria dan sebuah peningkatan bervariasi dalam suseptibilitas terhadap infeksi virus karena adanya gangguan kemampuan dalam berrespon terhadap sinyal baik dari interferon tipe I ataupun tipe II (74). Defisiensi homozigus STAT3 pada tikus kecil menimbulkan kematian embryo, namun defisiensi heterozigus STAT3 pada manusia menyebabkan sindrom hiper-IgE otosomal dominan berasosiasi dengan defisiensi diferensiasi sel Th17 (75). Defisiensi STAT4 mengeblok transduksi sinyal IL-12 menghasilkan gangguan perkembangan sel Th1. Dan tikus-tikus kecil defisien STAT6 memerlihatkan gangguan pensinyalan melalui reseptor IL-4 dan ketidakmampuan untuk membangkitkan berbagai respon yang bergantung-sel Th2 (76)
Efektor Imunitas Bawaan
Sementara respon imun adaptif sel T dan B menyediakan perlindungan penting bagi inang dan mengijinkan berkembangnya memori imun, adanya berbagai mutasi dalam elemen-elemen respon imun bawaan mengunjukkan bahwa efektor imun bawaan adalah penting bagi pertahanan inang efektif. Awalnya, respon imun bawaan dan adaptif diperkirakan bekerja secara sendiri-sendiri, dengan respon bawaan bekerja sebagai garis depan melawan mikroba penginvasi, dan respon adaptif menjadi teraktifasi setelahnya untuk menyeterilkan infeksi. Saat ini kelihatannya bahwa respon adaptif telah tercakup banyak dalam berbagai mekanisme efektor bawaan untuk menguatkan keefektifannya. Tambahannya, sistim imun adaptif membutuhkan sinyal bawaan bagi pengaktifasiannya. Melalui penggunaan sinyal bawaan untuk membantu menginisiasi berbagai responnya, sistim imun adaptif mengambil keuntungan dari kemampuan yang dimilki sistim bawaan dalam membedakan di antara kontak dengan patogen berbahaya dan yang tidak berbahaya atau bahkan dengan berbagai mikroba menguntungkan dan faktor-faktor lingkungan. Kemampuan dari sistim imun bawaan ini dalam merasakan bahaya adalah penting bagi respon imun yang terregulasi-baik. Dus, sisi bawaan dan adaptif dari respon imun harus dipandang sebagai komplementer dan saling bekerja sama.
Reseptor Toll-Like
Toll pertamakali diidentifikasi pada Drosophila di mana Toll diketahui mengontrol polaritas embryo lalat yang sedang berkembang dan setelahnya diketahui berpartisipasi dalam imunitas anti-jamur yang dimiliki lalat. Pengeklonan Toll dari Drosophila memperlihatkan bahwa ia menyandi sebuah reseptor transmembran yang domain ekstraselulernya mengandung unit berulang kaya-leusin, sementara domain sitoplasmiknya memiliki homologi dengan domain sitoplasmik dari reseptor IL-1 mamalia (didisain the Toll/IL-1 receptor domain, TIR). Ini menyarankan bahwa mungkin terdapat homolog Toll pada mamalia. Memang, 10 macam Toll-like receptor manusia saat ini telah terdefinisikan. TLR muncul utamanya untuk mengenal pathogen-associated molecular patterns (PAMP) (77). Ini meliputi LPS dari bakteri gram negatif, peptidoglikan, asam lipoteikoat, lipoarabinomannan, protein flageler bakteri, viral double stranded RNA, DNA taktermetilasi dengan karakteristik motif CpG dari DNA mikroba. TLR khususnya dijumpai pada makrofag dan sel dendritik, namun juga diekspres pada netrofil, eosinofil, sel epitel, dan keratinosit. Meskipun pengaktifasian beberapa TLR dapat mengaktifasi atau mempotensiasi respon alergik, yaitu respon tipe Th2, pengaktifasian kebanyakan TLR akan mengeluarkan berbagai mediator yang memrogram sel T CD4 mengarah ke satu respon Th1 non-atopik. TLR9, yang teraktifasi oleh interaksi dengan CpG DNA, menyediakan basis molekuler bagi usaha-usaha untuk mengalihkan berbagai respon atopik yang terarahkan-Th2 (Th2-driven) ke respon yang didominasi Th1 non-atopik (78). Transduksi sinyal ke hilir melalui kebanyakan TLR adalah bergantung pada MyD88, suatu protein sitoplasmik yang dikode oleh the myeloid differentiation primary response gene 88. MyD88 juga memerantarai pensinyalan melalui reseptor IL-1. Defisiensi-MyD88 mengawali ke situasi yang membahayakan kehidupan, yaitu berbagai infeksi pyogenik berulang (79).
Domain Pengikatan-Nukleotida, Protein Leucine-Rich Repeat (NLR) dan the Inflammasome
Semua protein TLR adalah molekul transmembran, beberapa diekspres pada membran plasma sel di mana mereka dapat berinteraksi dengan molekul-molekul pemicuan ekstraseluler, dan beberapa diekspres pada membran intraseluler di mana mereka dapat berinteraksi dengan berbagai struktur mikroba dan virus intraseluler. Set molekul pengenalan pola lainnya, didisain sebagai NLR, telah juga diidentifikasi. Molekul-molekul ini adalah bersifat sitosolik dan muncul untuk berinteraksi dengan ligands intraseluler yang dapat larut. Seperti halnya TLR, NLR ditandai oleh keberadaan struktur berulang kaya-leusin yang diperkirakan menyumbang bagi kemampuan mereka untuk berikatan dengan berbagai struktur mikroba terlestarikan alam (conserved). NLR dapat juga mengenal berbagai sinyal endogen dari kerusakan seluler, seperti misalnya kristal asam urat. Lebih dari 20 gen penyandian-NLR (NLR-encoding genes) telah diidentifikasi pada genom manusia. Kebanyakan ditandai oleh keberadaan dari sebuah domain C-terminal kaya-leusin berulang yang diperkirakan untuk berinteraksi dengan struktur mikroba, yaitu sebuah domain oligomerisasi pengikatan-nukleotida sentral yang digunakan untuk membentuk berbagai kompleks multimerik NLR, dan sebuah domain efektor N-terminal yang memungkinkan NLR untuk merekrut satu klas proteinase sistein intraseluler (caspaces) yang mengaktifasi jalur apoptosis seluler atau yang mengaktifasi faktor transkripsi NF-kB untuk menginduksi satu respon pro-inflamasi yang luas (80). Satu dari protein NLR, NALP3, memiliki fungsi khusus dalam respon imun bawaan. Pengaktifasian NALP3 mengawali ke pada asosiasinya dengan protein adapter intraseluler yang didisain sebagai apoptosis-associated speck-like protein yang mengandung sebuah domain perekrutan caspase (ASC), yang berkombinasi dengan dan mengaktifasi caspace-1, mengawali kepada satu kompleks enzim aktif yang disebut dengan inflamsom (inflammasome). Fungsi inflamasom adalah untuk mengaktifasi molekul-molekul proinflamasi poten IL-1, IL-18, dan IL-33 (81). Berbagai studi terkini memerlihatkan bahwa alum, yaitu ajuvan terbanyak dalam vaksin yang digunakan pada manusia, ditangkap oleh sel fagositik di mana ia mengaktifasi NALP3, yang lalu ini mengaktifasi inflamasom. Hal ini adalah penting bagi aktifitas ajuvannya. Bila setiap dari NALP3, ASC, atau caspace-1 tidak ada atau defektif, maka alum tidak lagi melayani untuk augmentasi respon antibodi (82).
Dektin-1, Kolektin, Pentraksin dan Fikolin
Protein-protein pengenalan pola tambahan yang menyumbang ke respon imun bawaan terhadap mikroba meliputi dektin-1, berbagai kolektin, pentraksin-pentraksin tertentu, dan berbagai fikolin. Dektin-1 merupakan sebuah reseptor transmembran yang diaktifasi ketika ia mengikat b-glukan yang merupakan komponen terbesar dinding sel jamur (83). Tiga buah kolektin utama pada manusia, lektin pengikatan-mannan, dan protein-protein surfaktan A dan D semuanya diekspres pada level-level substansiil dalam saluran nafas manusia dan mengenal berbagai karbohidrat mikroba melalui carbohydrate recognition domain (CRD) mereka. Pengaktifan kolektin mengopsonisasi mikroba untuk fagositosis, dan mengaktifasi pengekspresian sitokin proinflamasi dan produksi banyak radikal bebas oksigen reaktif anti-mikroba (84). Pentraksin merupakan sebuah kelompok protein homopentamerik yang juga mengenal pola-pola molekuler mikroba. Yang paling dikenal adalah pentraksin pendek (the short pentraxins), C-reactive protein (CRP) dan serum amyloid P-component (SAP). CRP berikatan dengan berbagai lipoprotein densitas-rendah bakteri, sevarietas polisakharida bakterial, material sel-sel dan nuklear inang apoptotic dan menginduksi pengaktifasian sistim komplemen (lihat bawah) dan fagositosis. SAP mengenal karbohidrat mikroba, substansi nuklear, dan fibril amiloid dan dus menyumbang bagi respon inang dalam membersihkan infeksi, otoimunitas dan amiloidosis (85). Fikolin mengandung domain CRD yang berbagi struktur dengan fibrinogen (2). Setelah berikatannya dengan karbohidrat pada suatu mikroba, mereka mengaktifasi komplemen melalui jalur lektin (lihat bawah) dan dus sebagai penyumbang penting bagi pembersihan mikroba.
Chitinase
Chitin merupakan sebuah biopolimer dari N-acetyl-β-D-glucosamine yang merupakan konstituen major dari dinding sel jamur dan eksoskeleton cacing, insekta, dan krustasea. Ia diperkirakan merupakan glikopolimer terbanyak di dunia. Chitinase didisain sebagai sebuah kelompok enzim yang mencerna chitin, yang keduanya ditujukan bagi remodeling seluler dan jaringan selama homeostasis dalam semua organisme ini dan untuk mencerna organisme ini oleh respon imun bawaan mamalia. Oleh karena penginfestasian dengan cacing dan beberapa dari insekta yang mengekspres-chitin mengawali kepada penginduksian level-level tinggi antibodi IgE dan inflamasi yang predominan-eosinofil, para ahli telah menyelidiki chitinase pada penyakit alergi manusia. Semua studi ini memerlihatkan bahwa chitin adalah sebuah penginduksi poten bagi pemroduksian sitokin Th2 dan mengawali kepada pengakumulasian eosinofil dan basofil ke dalam jaringan yang terserang-chitin. Meskipun mamalia tidaklah menyintesis chitin, mereka mengekspres kedua enzimatically active chitinases dan enzimatically inactive chitinase like proteins (CLP) (86). The acidic mammalian chitinase (AMC) dengan cepat mendegradasi chitin, sebagai penyumbang penting bagi pertahanan inang melawan berbagai organisme pengekspres-chitin, dengan dramatis mengurangi respon inflamasi alergik yang diinduksi semua organisme ini (87). AMC, yang diekspres dalam sel-sel epitel juga lekosit jaringan, dan ezim pencernaan chitin terkait chitotriosidase merupakan anti-inflamasi dalam keadaan adanya serangan chitin, dan, dus, membentuk bagian dari mekanisme pertahanan inang bawaan. Fungsi biologis dari CLP yang inaktif secara enzimatik tidak diketahui; namun, fakta bahwa banyak di antara mereka, termasuk protein YKL-40 manusia, yang berkecenderungan mengikat dan menyelubungi chitin dan produk degradasinya, menyarankan bahwa mereka mungkin memiliki fungsi imunoregulator (87). AMC dan CLP keduanya secara dramatis meningkat dalam paru subjek asmatik, menyarankan bahwa kedua molekul ini mungkin berkontribusi bagi imunopatologi penyakit ini dan kemungkinan dapat menjadi target bagi terapi obat baru penyakit klinis penting ini (88, 89).
Sel Fagositik
Sel-sel fagositik major adalah netrofil, makrofag, dan monosit. Sel-sel ini menelan mikroba patogenik dan melokalisasinya dalam vakuola intraseluler di mana mereka dipaparkan dengan molekul-molekul efektor toksik seperti misalnya oksida nitrat, superoksid, dan berbagai enzim degradatif dalam usaha untuk menghancurkan organisme. Sel-sel fagositik menggunakan sejumlah reseptor Fc dan reseptor komplemen guna menguatkan tangkapan partikel yang telah ditandai oleh sistim imun adaptif dan bawaan bagi penghancurannya.
Sel Pembunuh Alami (Natural Killer/NK)
Sel-sel NK diperkirakan mewakili garis turunan ketiga dari sel-sel limfoid. Ketika diaktifasi, mereka memiliki morfologi dari sebuah limfosit granuler besar. Mereka berkembang dalam sumsum tulang di bawah pengaruh IL-2, IL-15, dan sel-sel stromal sumsum tulang. Mereka mewakili hanya sefraksi kecil sel-sel darah perifer dan sefraksi kecil sel-sel limfoid dalam spleen dan jaringan limfoid sekunder lainnya. Sel-sel NK tidak memiliki reseptor yang spesifik-antigen. Aktifitas sitotoksik mereka dihambat dengan dihadapkannya ia dengan molekul MHC-diri sendiri (self-MHC molecules) melalui reseptor inhibitor pada permukaan sel mereka yang mengenal molekul-molekul HLA kelas I. Mereka, dus, membunuh self cells yang mengekspres molekul kelas I yang telah terregulasi-ke hilir. Hal ini penting bagi pertahanan inang karena banyak virus telah mengembangkan mekanisme yang meregulasi ke hilir pengekspresian kelas I dalam sel-sel yang terinfeksi sebagai sebuah strategi untuk menghindarkan pembunuhan oleh sel-sel CD8+. Sel-sel NK, bagaimanapun, juga memiliki reseptor pengaktifasian. Asal muasal ligand bagi reseptor ini dan mekanisme melalui mana mereka menyumbang bagi pengidentifikasian target yang tepat bagi sitotoksisitas sel NK saat ini sedang dalam penyelidikan. Sel-sel NK dapat menghancurkan sel target melalui sitotoksisitas berperantaraan-sel yang bergantung antibodi. Mereka memiliki berbagai efek anti-tumor menonjol dan merupakan pembunuh poten bagi sel-sel yang terinfeksi virus (90).
Komplemen
Sistim komplemen merupakan sebuah komponen efektor sangat penting dari kedua imunitas adaptif dan bawaan. Sistim komplemen berkomposisikan lebih dari 25 protein plasma dan protein permukaan sel yang meliputi tiga buah jalur pengaktifasian dan jalur-jalur pengaturan pemodulasian-ke hilir yang berikatan membran (91, 92). Banyak di antara protein-protein dari jalur pengaktifasian adalah proteinase, dan pengaktifasian terjadi dalam sebuah kaskade oleh pengaktifasian proteolitik dari satu zimogen yang kemudian mengaktifasi zimogen berikutnya dalam jalur. Tujuan utama dari jalur pengaktifasian adalah untuk menandai target secara permanen bagi penghancuran, untuk merekrut protein dan sel-sel lainnya yang memfasilitasi penghancuran target, dan dalam kasus beberapa bakteri dan virus, untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses penghancuran melalui lisis osmotik. Kompleks-kompleks antigen-antiodi menyediakan sinyal pengaktifasian bagi the Classical Pathway of Complement Activation. Aktifasi sekuensiil dari komponen komplemen C1, C4, dan C2 menghasilkan enzim kunci dalam jalur, yaitu C3 konvertase, yang bekerja memecah dan mengaktifasi C3. Pemecahan menghasilkan pelepasan fragmen C3a kecil, suatu anafilatoksin poten yang menginduksi degranulasi sel mast, menciptakan edema dan merekrut sel-sel fagositik, dan fragmen C3b yang lebih besar yang secara kovalen berlekatan ke antigen pengaktifasi, menandainya untuk penghancuran. C3b melayani baik sebagai sebuah lokasi penyerangan dari complement membrane attack complex (MAC), sebuah kompleks pembentukan lobang yang dirakit-sendiri (self-assembling pore forming) dari protein-protein serum yang membunuh target dengan cara lisis osmotik, maupun sebagai sebuah opsonin, menguatkan fagositosis dengan cara pengikatannya dengan reseptor komplemen pada permukaan netrofil dan makrofag (93).
Jalur pengaktifasian kedua, the Alternative Pathway of Complement Activation, diaktifasi tanpa antibodi oleh struktur mikroba yang menetralisir inhibitor-inhibitor dari pengaktifasian spontan komplemen. Jalur pengaktifasian ini dapat mendeposit >105 molekul C3b pada sebuah bakterium tunggal dalam kurang dari 5 menit. Deposisi C3b dalam cara ini kemudian memicu MAC dan juga menguatkan fagositosis dan pembunuhan (94).
Jalur pengaktifasian ketiga dipicu oleh komponen dinding sel mikroba yang mengandung mannan dan disebut the Lectin Pathway of Complement Activation (95). Interaksi mikroba berkandungan-mannan dengan plasma mannan binding lectin (MBL) mengaktifasi berbagai protease plasma zimogenik MBL-associated serine proteases 1 and 2 (MASP-1, MASP-2). Keduanya membentuk sebuah protease yang analog dengan C1 teraktifasi dari jalur klasik yang lalu berlanjut kemudian untuk mengaktifasi C4, C2 dan semua sisanya dalam jalur. Jalur lektin dapat juga diaktifasi oleh kompleks-kompleks mikroba dengan pentraksin dan fikolin inang. Bersama-sama, ketiga jalur pengaktifasian ini mengijinkan komplemen untuk berpartisipasi dalam penghancuran dan pembersihan varietas patogen dan makromolekul yang luas.
Mekanisme efektor komplemen adalah poten dan merekrut inflamasi lokal dengan intens. Terdapat banyak protein plasma (H faktor, protein pengikatan C4) dan protein-protein membran (reseptor komplemen 1 – 4, faktor percepatan perusakan, protein ko-faktor membran) yang menghambat jalur pengaktifasian komplemen untuk mencegah kerusakan yang tidak diperlukan bagi jaringan inang (95).
Kepentingan dari jalur pengaktifasian dan pengaturan komplemen diperjelas oleh fenotip dramatik berbagai defisiensi yang diturunkan dari komponen-komponen individual (91). Defisiensi komponen MAC mengawali bagi meningkatnya suseptibilitas terhadap infeksi dengan Neisseria. Defisiensi C3 menghasilkan suseptibilitas yang mengancam kehidupan terhadap infeksi-infeksi pyogenik, seringkali mematikan saat masa anak-anak. Defisiensi C4 atau C2 menyebabkan suatu penyakit kompleks imun yang mirip-lupus, mengindikasikan bahwa satu dari banyak peranan dari jalur klasik adalah berpartisipasi dalam respon inang untuk dan membersihkan banyak kompleks imun. Defisiensi inhibitor serum C1 (sebuah inhibitor pengaktifasian secara spontan dari C1 dan juga dari banyak komponen jalur fibrinolitik) mengawali kepada episodic mast cell-independent episodes dari angoiedema. Defisiensi garis turunan hematopoietik klonal dari the regulatory protein decay-accelerating factor (diekspres pada eritrosit, lekosit, dan sel-sel endotel) menyebabkan Paroxysmal Nocturnal Haemoglobiuria (96).
Gambar 9
Jalur Pengaktifasian Komplemen
Tiga jalur yang mengawali pengaktifasian komplemen. Jalur Klasik diinisiasi oleh kompleks IgM, IgG1, atau IgG3 dengan antigen. Ini mengaktifasi aktifitas proteolisis C1 yang memecah C4 dan C2 untuk membentuk jalur klasik C3 konvertase. Jalur Mannose Lectin diaktifasi oleh interaksi mikroba yang berisikan-mannan dengan MBL, yang mana mengaktifasi MASP-1 dan MASP-2 untuk memecah C4 dan C2, lagi-lagi membentuk sebuah C3 konvertase. Jalur Alternatif diinisiasi oleh interaksi di antara antigen mikroba dengan protein inhibitor pengaturan komplemen (inhibitory complement regulatory proteins). Ini memungkinkan swa-aktifasi jalur ini pada mana C3 berinteraksi dengan B faktor dan D faktor untuk membangkitkan jalur alternatif C3 konvertase. Semua konvertase ini memecah C3 untuk membangkitkan fragmen C3a anafilatoksik dan pendepositan C3b pada partikel mikroba atau kompleks imun yang sedang teraktifasi. Ini mengopsonisasi partikel untuk fagositosis dan menginisiasi pengaktifasian kompleks penyerangan membran. Fragmen C5a yang secara proteolitik dilepaskan dari C5 juga adalah suatu molekul anafilatoksik sangat kuat yang menginduksi inflamasi lokal intens.
Adhesi Lekosit and Inflamasi Jaringan
Perekrutan lekosit baik menuju ke jaringan limfoid sekunder maupun ke lokasi-lokasi jaringan perifer dari penginvasian mikroba adalah penting bagi pertahanan inang intak. Molekul-molekul peng-adhesian seluler dan protein-protein khemotaktik keduanya berkontribusi penting dalam proses ini (97). Terdapat tiga keluarga utama protein peng-adhesian: selektin, integrin, dan molekul peng-adhesian sel dari domain Ig. Sebagai tambahan terhadap pemerantaraan perekrutan ke jaringan, semua molekul ini menyumbang ke pada interaksi sel – sel di antara subsets lekosit dan dapat menyumbang kepada pensinyalan interseluler dan intraseluler (98).
Terdapat tiga buah glikoprotein selektin, didisain L-selektin, E-selektin, dan P-selektin. Selektin dihadirkan pada permukaan dari seluruh lekosit dan pada sel endotel. Lekosit juga mengekspres ligands bagi selektin. Interaksi di antara ligands selektin pada lekosit dengan selektin pada endotel vaskuler adalah berafinitas rendah dan mengawali untuk menggelindingkan sel-sel sepanjang dinding pembuluh darah (97). Penggelindingan sel kemudian dapat diinduksi untuk dihentikan dan menempel kuat ke endotelium melalui interaksi di antara integrin pada permukaan lekosit dengan molekul peng-adhesian sel dari domain Ig pada sel-sel endotel. Integrin adalah heterodimer dari satu rantai α dan satu rantai β. Integrin kunci bagi peng-adhesian lekosit adalah LFA1 (CD11a/CD18, αLβ2), VLA4 (CD49d/CD29, α4β1), dan Mac-1 (CD11b/CD18, αMβ2) yang berikatan ke molekul peng-adhesian sel dari domain Ig ICAM-1, VCAM-1, dan ICAM-1/C3b secara berturutan. Berikatannya lekosit dengan sel-sel endotel diperkuat oleh pengekspresian bermacam khemokin oleh sel-sel endotel atau oleh sel-sel dan jaringan rusak yang mendasari.
Homeostasis Seluler
Setelah suatu respon imun diselesaikan, majoritas sel yang berrespon terhadap antigen harus dibuang dalam rangka persiapan bagi serangan imun berikutnya yang akan dihadapi organisme. Pembuangan sel-sel efektor yang tanpa menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan adalah paling baik dicapai dengan menginduksi sel-sel yang tidak diinginkan untuk menjalani apoptosis. Molekul-molekul dari keluarga TNF menyediakan sinyal kuat bagi jalur kematian sel terprogram apoptotic. TNF, bersinyal melalui reseptor TNF tipe I, menginduksi kematian dalam sel-sel tumor dan pada lokasi dari inflamasi yang sedang berlangsung. Suatu reseptor penginduksian-apoptosis lainnya, Fas, secara spesifik lebih terlibat dalam pengaturan kejadian apoptotic. Fas, sebagai contoh, menghantarkan sinyal apoptotic penting selama penyeleksian sel T thimus (50, 99). Ia juga menyumbang bagi pengaturan sel-sel otoreaktif di perifer (100). Defek dalam Fas atau dalam ligands-nya, FasL, menghasilkan penyakit otoimun dengan limfoproliferasi menonjol (101). Dus, Fas atau ligand-nya yang terderegulasi dapat menyumbang penting bagi banyak penyakit otoimun.
Toleransi, Imunopatologi dan Atopi
Tujuan dari suatu respon imun yang terregulasi dengan tepat adalah untuk melindungi inang dari serangan patogen dan lingkungan lainnya tanpa menyebabkan kerusakan jaringan-diri sendiri. Dalam kasus infeksi dengan virus atau bakteri dan parasit intraseluler, hal ini seringkali tidak memungkinkan untuk mengeradikasi patogen tanpa menghancurkan sel yang terinfeksi. Dalam kasus-kasus seperti ini, penggunaan apoptosis seluler sebagai sebuah mekanisme untuk membuang sel-sel terinfeksi menyediakan sebuah cara elegan guna mengurangi kerusakan sel-sel tetangga yang tidak terinfeksi. Sel-sel terinfeksi yang menjalani apoptosis secara umum terfragmentasi menjadi vesikel-vesikel berselubung-membran yang dapat ditangkap oleh sel-sel fagositik sehat dan dicerna sedemikian sehingga mengeliminasi baik konten yang berpotensiil inflamasi dari sel-sel yang terinfeksi maupun juga mikroba yang menggandakan diri di dalam sel.
Beberapa tingkatan inflamasi lokal adalah, bagaimanapun, seringkali merupakan satu bagian penting dari sebuah respon imun inang efektif. Berbagai elemen kunci inflamasi merupakan bagian hakiki dari pengerahan respon pertahanan dan perbaikan yang dimiliki inang. Ketika inflamasi berada dalam tingkat sedang dan terkontrol, arsitektur dan fungsi jaringan normal dapat dipertahankan setelah patogen atau toksin tereliminasi. Bilamana respon inflamasi adalah sangat parah, bagaimanapun, terjadi situasi membahayakan untuk timbulkan kerusakan jaringan berkepanjangan, dan berkembangnya fibrosis selama resolusi dari keadaan inflamasi (102). Fibrosis ringan adalah fisiologis dan umumnya tidak mengganggu fungsi jaringan normal; namun ketika inflamasi adalah sangat parah atau menjadi kronik, fibrosis yang dihasilkan dapat mengawali timbulnya disfungsi organ parah. Telah terjadi kemajuan penting pada beberapa tahun terakhir dalam pemahaman mekanisme yang mengontrol transisi dari inflamasi yang tepat secara fisiologis dan perbaikan jaringan hingga fibrosis yang merusakkan. Sebuah tema lazim yang mendasari proses fibrotik adalah produksi lokal fibroblas teraktifasi melalui aksi dari berbagai sitokin dan mediator lainnya yang terseleksi pada sel-sel epitel jaringan. Melalui proses dari epitelial hingga transisi mesenkhimal, sel-sel epitel diperkirakan dikonversikan ke fibroblas dan myofibroblas teraktifasi yang kemudian bertanggung jawab bagi berbagai perubahan jaringan yang mengawali ke fibrosis (103). Perkembangan teraputika yang menarget berbagai mediator fibrosis jaringan dapat mencegah banyak dari berbagai komplikasi jangka panjang inflamasi kronik.
Mungkin yang lebih memusingkan adalah berbagai kondisi pada mana inflamasi jaringan muncul untuk berkembang tanpa adanya rangsangan infeksi atau noksius yang mendasari. Yang menonjol dari hal ini adalah berbagai penyakit otoimun dan penyakit atopik. Semua gangguan ini nampaknya mewakili sebuah respon imun salah arah secara mendasar yang menghasilkan kerusakan jaringan ketika tidak terdapat bahaya yang sebenarnya. Spektrum penyakit otoimun yang bertumbuh ini kelihatannya mewakili suatu toleransi-diri (self-tolerance) yang rusak. Ini mengawali kepada penginduksian baik respon imun seluler maupun humoral dalam melawan komponen-komponen jaringan-diri sendiri. Oleh karena biasanya kedua aspek imun seluler dan humoral dari semua respon patologis ini memiliki gambaran respon sel T CD4 tipe Th-1 atau Th-17, hal ini menyarankan bahwa pengaturan yang defektif baik dari diferensiasi ataupun aktifasi sel T-lah yang mendasari respon tersebut (104). Penyakit atopik jarang memanifestasikan karakter otoimun (meskipun beberapa bentuk dari urtikaria kronik diperkirakan memiliki suatu etiologi otoimun). Agaknya, mereka muncul untuk mewakili sebuah respon tipe Th2 agresif yang mendasarinya yang mengawali kepada hipersensitifitas terhadap suatu spektrum luas antigen lingkungan yang sebenarnya adalah normal untuk kita hadapi. Berbagai studi epidemiologi telah mengunjukkan bahwa terdapat suatu komponen yang diturunkan bagi kedua penyakit otoimun dan atopik (105). Kelihatannya juga adanya sebuah saling pengaruh yang kuat dengan berbagai faktor lingkungan, mungkin termasuk mikroba infeksius atau agen toksik yang tak dikenal yang terdapat dalam lingkungan. Peran sentral dari sel-sel Treg dalam mengontrol semua aspek dari respon sel T CD4, dan pengamatan bahwa ketidakhadiran sel Treg kongenital (sebagaimana pada immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked [IPEX] syndrome) mengawali kepada perkembangan dari suatu keadaan otoimun agresif (106), menyarankan bahwa fungsi Treg yang terganggulah yang mungkin mendasari seluruh penyakit otoimun dan atopik. Sementara keresponsifan Th1, Th17, dan Th2 terganggu adalah sebuah manifestasi major dari penyakit ini, gangguannya tidaklah cuma mewakili suatu predisposisi ke polarisasi-berlebih dari respon sel T CD4+. Berbagai studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa kehadiran atopi berarti hanya terdapat perlindungan yang sedikit saja dalam melawan perkembangan penyakit yang predominan-Th1/Th17, yaitu arthritis rheumatoid (107). Faktanya, berbagai studi lainnya yang menyarankan bahwa pasien-pasien dengan suatu penyakit otoimun mungkin lebih memiliki suatu gangguan atopik, menyarankan bahwa mereka memiliki sebuah etiologi mendasari yang lazim (108). Perkembangan dari suatu pemahaman yang mendalam dari berbagai mekanisme yang mendasari kedua tipe inflamasi bermediasikan-sel T ini akan mengawali kepada berbagai pilihan teraputik baru yang penting bagi berhasilnya pengobatan berbagai penyakit lazim ini (109).
Sebuah situasi khusus pada mana toleransi dimodulasikan dalam sebuah cara yang fisiologis menyangkut penekanan respon imun maternal untuk mengijinkannya mempertahankan fetus dan plasenta semi-alogenik dalam situasi kehamilan normal.. Berbagai studi terakhir mengunjukkan bahwa fetus-fetus manusia pada pertengahan gestasi, 20-25% sel-sel T CD4 dalam limfonodi dan spleen mereka memiliki suatu fenotipe Treg dan dengan level-level TGFβ sangat jelas tinggi dalam kedua organ limfoid ini (110). Tambahannya, limfosit-limfosit dalam kedua jaringan limfoid sekunder ini sangat kurang teraktifasi ketika dipaparkan dengan suatu stimulus alogenik (111). Tingginya jumlah sel-sel Treg ini kembali normal segera setelah melahirkan. Menariknya, aborsi spontan telah diasosiasikan dengan hilangnya penekanan imun berasosiasikan-kehamilan normal (110). Perubahan dalam fungsi Treg tidaklah merupakan mekanisme keseluruhan yang mendasari toleransi dari kehamilan. Berbagai studi lainnya memperlihatkan level-level yang sangat tinggi dari pengekspresian galektin-1, suatu protein pengikatan-glikan imunoregulator, dalam banyak jaringan fetus, dan hilangnya galektin-1 pada gagalnya kehamilan (112). Tambahannya, level-level thymic stromal lymphopoietin (TSLP) meningkat pada kehamilan, dan ini menginduksi DC plasenta untuk mengarahkan diferensiasi sel-sel Th yang menghasilkan level-level tinggi IL-10, suatu sitokin yang teradaptasi baik untuk membantu mempertahankan alograf fetus (113). Memahami berbagai mekanisme yang mengontrol toleransi terhadap alograf fetus dapat menyediakan pengertian mendalam baru ke dalam sistim pengaturan yang gagal dalam otoimunitas dan atopi.
Simpulan
Sistim imun menggunakan banyak mekanisme untuk menempur infeksi oleh mikroba. Semua mekanisme ini bekerja bersama, dan respon imun yang terintegrasi penuh melepaskan berbagai elemen dari banyak sistim efektor dalam rangka menyesuaikan sebuah respon terhadap patogen penginvasian yang spesifik. Pengaturan yang tak normal dari berbagai jenis mekanisme efektor dapat mengawali kepada kerusakan jaringan kronik atau akut. Pemahaman tentang berbagai hubungan di antara jalur-jalur efektor imun yang berbeda-beda akan memungkinkan dilakukannya perbaikan teraputik imonomodulator, pengembangan vaksin-vaksin yang lebih maju, dan penghindaran dari cedera jaringan yang tidak diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar