Selasa, 01 Desember 2009

Perkembangan Mutakhir Teknologi & Teknik Bedah Tulang Belakang (I) : Servikal

Degenerasi Diskus Vertebra Servikal

Degenerasi diskus servikal, yang kejadiannya lebih jarang dibanding degenerasi diskus lumbal, sering mengakibatkan nyeri leher kronik. Terapi konservatif menggunakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), steroid, tirah baring, dan traksi leher haruslah mula-mula dilakukan, karena hasil luaran tindakan bedah untuk nyeri leher kurang dapat dipastikan keberhasilannya dan bila memungkinkan harus dihindarkan. Setelah dijalankannya penanganan konservatif dan dengan hasil yang tidak memuaskan, maka kemungkinan dijalankannya penanganan jenis lainnya harus dicarikan. Di samping fusi spinal, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya dalam penanganan penyakit degenerasi diskus servikal.

Penggantian diskus intervertebra servikal, yang dalam beberapa hal telah menunjukkan keberhasilan, kepopulerannya telah semakin meningkat. Prosedur ini memiliki riwayat yang lebih lama di Eropa, namun beberapa percobaan sedang dilaksanakan di banyak pusat-pusat penelitian di Amerika Serikat. Diskus artifisial servikal pertama [Medtronic’s Prestige disc] untuk pengobatan degenerasi diskus servikal telah diijinkan penggunaannya oleh FDA pada bulan Juli tahun 2007. Sebagaimana halnya dengan penggantian diskus intervertebra lumbal, tujuan dari prosedur adalah untuk mempertahankan keberlangsungan gerakan vertebra servikal dari pada melaksanakan diskektomi dan fusi anterior servikal (ACDF) yang dapat memperbesar kemungkinan mengurangi gerakan dan mempercepat degenerasi servikal sebelah menyebelahnya. McAfee dkk melaporkan bahwa, 67% pasien mengalami degenerasi pada level vertebra servikal sebelah menyebelahnya setelah prosedur ACDF; dan 10% di antara pasien tersebut memerlukan satu prosedur bedah kedua terhadap vertebra level sebelahnya. Penggantian diskus intervertebra servikal memiliki satu keuntungan atas ACDF karena prosedur tersebut dapat mempertahankan gerakan dan kinetamatik normal antar 2 vertebra. Uji biomekanik yang dikerjakan oleh Goffin dkk menunjukkan dapat dipertahankannya luas gerak sendi (LGS) pada level implan melalui pelaksanaan teknik tersebut. Dalam studi follow-up 2 tahun, Bryan menunjukkan hasil dengan tingkat baik hingga memuaskan pada sebagian terbesar pasien baik secara radiografi maupun klinis, dan Goffin dkk mendapatkan 64% dengan hasil baik hingga memuaskan. Juga peneliti ini melaporkan bahwa, pada sejumlah kecil pasien, adanya fusi spontan terjadi pada level penggantian dengan hasil yang sama-sama baik. Sayangnya, juga dilaporkan terjadinya kegagalan, meskipun jarang, berupa dislokasi implan. Dislokasinya ke anterior dapat menyebabkan gangguan proses menelan dan obstruksi jalan nafas. Dislokasinya ke posterior ke dalam kanal spinal dapat juga terjadi yang menimbulkan paralisis dan bahkan kematian. Tambahannya, kemungkinan timbulnya wear debris jangka panjang dan osteolisis diikuti kegagalan implan yang sama sebagaimana pada penggantian sendi (panggul, dan lutut) tetap memerlukan satu perhatian besar. Meskipun penggantian diskus vertebra servikal dapat memberikan hasil baik hingga memuaskan dalam jangka waktu lama, prosedur yang digantikannya, yaitu ACDF level tunggal, memiliki angka keberhasilan sebesar 97%. Dengan demikian, sebelum teknologi penggantian diskus servikal diperkenalkan, satu percobaan klinis dengan desain yang baik haruslah dapat menunjukkan bahwa hasil-hasil dari penggunaan prosedur yang lebih baru adalah lebih unggul dari, atau setidaknya sama baiknya dengan prosedur yang telah mengalami sukses besar berjangka lama dengan memiliki catatan yang memuaskan.

Dari vertebra servikal, telah terdapat banyak niatan dalam usaha-usaha penciptaan peralatan perangkat keras fusi yang dapat diserap oleh korpus vertebra. ACDF merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada vertebra servikal. Saat pelaksanaan prosedur ini, banyak ahli bedah juga mengaplikasikan plat metal dan screw untuk mendapatkan stabilitas sesegera mungkin pada konstruksinya dengan harapan meningkatkan angka fusi dan menurunkan angka penggunaan alat bantu eksternal pascaoperatif seperti hallo vest atau collar. Ketika fusi tulang telah terjadi, implan tidak lagi berfungsi. Seperti telah diketahui, implan yang ditanam dalam tubuh menimbulkan peningkatan level ion metal tersebut pada serum dan urin. Efek jangka panjang ion yang bersirkulasi telah dapat ditentukan dan diketahui dengan pasti. Implan-implan baru sedang didesain dengan menggunakan bahan-bahan dari material terserapkan secara biologis. Berbagai screw servikal anterior terbuat dari hidroksiapatit dan kalsium-fosfat, dan plat terbuat dari poly (L-lactic acid) mesh telah banyak dipilih dari pada implan-implan klasik dari bahan titanium dan baja. Implan-implan terserapkan tersebut mampu menyediakan cukup stabilitas untuk meningkatkan angka fusi. Kehancuran dan resorpsi produk terjadi setelah 6 minggu, saat mana fusi tulang dengan autograft telah terjadi. Kuribayashi dan Matsuda dan Vaccaro dkk melakukan analisis retrospektif terhadap implan-implan terserapkan tersebut. Angka fusi terjadi bervariasi antara 71% - 77% pada satu tahun. Studi-studi tersebut menyarankan bahwa jenis implan seperti itu adalah menjanjikan.

Myelopati pada spondilosis servikalis

Laminoplasti sebagai satu jenis pilihan penanganan bedah untuk spondilosis servikal disertai dengan myelopati adalah merupakan alternatif dari tindakan laminektomi saja atau yang disertai dengan fusi. Laminoplasti servikal, yang merupakan satu jenis operasi ekspansif-kanal-spinal tanpa fusi, dilakukan dengan harapan dapat lebih mempertahankan gerakan servikal, telah dikembangkan di Jepang untuk mengurangi tingginya insiden deformitas kifotik pascalaminektomi melalui pengerjaan laminektomi saja. Ratliff dan Cooper, melalui analisis meta terhadap literatur-literatur berbahasa Inggris seputar laminoplasti, meneliti ulang sebanyak 71 laporan yang menyangkut lebih dari 2000 pasien. Mereka menetapkan hasil luaran neurologis, perubahan LGS, perkembangan deformitas spinal, dan komplikasi. Semua studi adalah retrospektif, tanpa kontrol, seri kasus yang tak acak. Empat puluh satu dari 71 seri menyediakan data angka kesembuhan pascaoperatif dengan memakai skala dari Japanese Orthopaedic Association Scale dalam menentukan myelopati. Rerata angka kesembuhan adalah 55% (bervariasi, 20% - 80%). Pemilik dari 23 tulisan menyediakan data persentase perbaikan pasien (rerata, -80%). Tidak terdapat perbedaan hasil luaran neurologis berdasarkan atas perbedaan teknik laminoplasti atau bila laminoplasti dibandingkan dengan laminektomi. Terdapat perburukan pascalaminoplasti dalam hal alignment servikal pada sedikitnya 35% pasien dan dengan berkembangnya kifosis pascaoperatif pada sedikitnya 10% pasien yang dilakukan follow-up review jangka panjang. Terjadi penurunan LGS servikal secara substansial setelah laminoplasti (rerata penurunan, 50%; rentangan: 17% - 80%). Para peneliti yang melakukan follow-up jangka panjang menemukan adanya kehilangan LGS servikal progresif, dan LGS akhir adalah sama seperti halnya terlihat pada pasien yang telah menjalani laminektomi dan fusi. Pada review mereka terhadap literatur laminektomi, para penelitinya tidak dapat mengonfirmasi bahwa keberadaan membran pascalaminektomi menyebabkan deteriorasi fungsi neurologis bermakna secara klinis. Komplikasi pascaoperatif berbeda di antara seri kasus. Hanya dalam 7 artikel para penulisnya dengan jelas melakukan quantifikasi angka dari nyeri leher aksial pascaoperatif (rentangan, 6% - 60%). Dua belas artikel di antaranya melaporkan disfungsi akar syaraf C5, di mana komplikasi ini timbul pada sedikitnya 8% pasien. Tulisan menyimpulkan bahwa literatur telah mendukung berbagai keuntungan laminoplasti. Hasil luaran neurologis dan perubahan dalam alignment spinal adalah sama setelah laminektomi dan laminoplasti. Pasien-pasien yang menjalani laminoplasti mengalami limitasi LGS servikal progresif, sama seperti yang terlihat setelah laminektomi dan fusi.

Penanganan jenis lain untuk myelopati servikal adalah ACDF dan laminoforaminotomi. ACDF sebagai satu pilihan terapi memiliki hasil luaran terbaik bilamana patologi yang ada terbatas hanya pada satu level (angka fusi diperkirakan 96%). Angka fusi ACDF menurun dengan semakin banyaknya level yang hendak difusikan (hanya 75% untuk 2 level ACDF, 56% untuk 3 level ACDF). Augmentasi menggunakan fiksasi plat dapat memperbaiki persentase tersebut hingga 11.8%. Laminoforaminotomi meliputi penggunaan pendekatan posterior untuk mengeluarkan herniasi diskus atau spur yang menyebabkan gejala neurologis. Prosedur adalah invasif minimal dan efektif dalam mengurangi radikulopati tanpa membutuhkan fusi spinal. Berbagai komplikasi seperti edema trakhea, disfungsi esophageal, dan stroke juga dapat dihindarkan. Adapun kerugian prosedur laminoforaminotomi, sebagai hasil dari pendekatan posterior adalah dilakukannya diseksi otot-otot paraspinal, nyeri leher aksial pascaoperatif, berpotensi timbulnya instabilitas yang memerlukan fusi, dan deformitas lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar