Biofilm jaringan hidup hingga kini masih belum jelas diketahui, utamanya akibat dari hasil-hasil penggunaan teknik-teknik pengambilan sampel mikroba tradisional atau pemrosesan histologik yang merusak ruang-ruang spasial dalam organisasi mikroorganisme-mikroorganisme jaringan. Jadi, sifat dasar biofilm dari infeksi-infeksi jaringan tertentu menjadi seringkali tanpa disengaja terlewatkan atau tidak diperhitungkan. Secara umumnya dapat dikatakan bahwa studi tentang biofilm-biofilm jaringan manusia adalah masih tetap dalam tahapan awal. Bagaimanapun, dengan apa yang telah dicapaikan oleh metodologi-metodologi yang lebih baru, seperti fluorescent in situ hybridization dan endoscopic confocal laser scanning microcopy, yang mengombinasikan identifikasi mikroba-mikroba dalam hubungan-hubungannya satu sama lainnya dan dengan substratum mereka secara in situ dan melalui penglihatan langsung, membuat biofilm jaringan lebih mudah untuk diteliti , dan, jadinya, peran mereka dalam infeksi-infeksi pada manusia menjadi lebih nyata. Tinjauan ini menyimpulkan berbagai tantangan dalam studi tentang biofilm jaringan berfokus proses inflamasi, mengusulkan dua hal dengan dua sisi yang walaupun saling berlawanan, yaitu: model-model pathogenetik dari infeksi-infeksi biofilm jaringan, dan saran-saran dari berbagai arah bagi penelitian-penelitian dan pendekatan-pendekatan pengobatan yang penting.
Biofilm Jaringan berimplikasi luas bagi Infeksi-infeksi Jaringan Tubuh Manusia
Istilah biofilm telah digunakan untuk menjelaskan satu komunitas mikroba terorganisasi sempurna yang terbenam dalam satu matriks ekstraseluler (ECM) polimerik dan kaya karbohidrat serta melekat ke satu permukaan mati atau permukaan hidup. Kebanyakan bakteri dan jamur menunjukkan secara dominan dalam komunitas terorganisir seperti itu di alam dan memicu lebih dari 80% infeksi-infeksi jaringan lunak dan keras manusia. Perkembangan biofilm berjalan dalam dua tahap utama, yaitu: pertama, perlekatan mikroba ke satu permukaan dan, kedua, perlekatan sel-ke-sel dengan formasi struktur multiseluler. Proses-proses ini adalah, sedikitnya sebagian daripadanya, dikontrol oleh molekul-molekul quorum-sensing yang disebut alarmones, yang merupakan molekul-molekul komunikasi interseluler diproduksi oleh bakteria dan jamur dan analog dengan sitokin yang diproduksi oleh sel-sel mamalia. Kriteria klinis yang diajukan bagi infeksi-infeksi biofilm jaringan adalah termasuk: gejala dan tanda infeksi pada pasien-pasien dengan hasil kultur negatif, kronisitas atau kekambuhan dengan exaserbasi dan remisi yang periodik, dan, berrespon minimal atau tidak samasekali terhadap antimikroba.
Biofilm Jaringan adalah susah untuk diselidiki
Terdapat satu kesepakatan umum di antara para ahli mikrobiologi bahwa studi organisme-organisme biofilm adalah jauh lebih sulit dibandingkan dengan studi tentang sel-sel planktonic (hidup sendiri-sendiri). Sebagaimana halnya dengan aturan yang berlaku, maka biofilm adalah lebih sulit untuk tumbuh in vitro, lebih sulit untuk dihitung menggunakan hitungan unit pembentuk koloni (coloni forming unit/CFU) atau metabolic assays, dan lebih sulit (kalau tidak takmungkin) untuk memeriksanya dengan transmisi tradisional mikroskop cahaya. Sebagai contoh, tanpa menggunakan teknik-teknik pemisah sel yang khusus, penghitungan berdasar CFU terhadap jumlah organisme-organisme biofilm akan sangat kurang dipercaya karena hasil yang ditunjukkannya adalah: dalam satu koloni per agregat, yang tentunya akan berlawanan dengan hasil bagi penghitungan berdasar CFU yaitu satu koloni per sel mikroba. Lebih lanjut, penggunaan metabolic assays, seperti misalnya assay 2,3-bis(2-methoxy-4-nitro-5-sulfophenyl)2H-tetrazolium-5-carboanilide (XTT) yang sering digunakan untuk mengekstrapolasi kepadatan sel dalam biofilm jamur, adalah penuh dengan kesulitan karena aktifitas metabolik sel dan jumlah sel adalah hanya berhubungan secara linier dalam masa-masa awal pertumbuhan biofilm. Berbagai kesulitan dalam studi biofilm yang tertera di atas menyangkut ke semua jenis biofilm tubuh manusia, baik biofilm jaringan maupun biofilm permukaan abiotik. Bagaimanapun, studi biofilm jaringan selanjutnya dipersulit oleh dua faktor. Pertama, berkaitan dengan sampel jaringan manusia, sulitnya pecarian infeksi pada model-model binatang atau model-model jaringan yang dibuat secara in vitro yang menyediakan substrat bagi pertumbuhan biofilm, adalah tidak selalu tersedia. Aksesibilitas ke sampel-sampel jaringan manusia yang buruk mungkin menjelaskan kenyataan bahwa, dibandingkan dengan biofilm jaringan manusia, biofilm jaringan pada binatang telah dapat dikarakterisasikan lebih baik. Kedua, sejak ketika jaringan dapat diambil sampelnya untuk studi, teknik-teknik preservasi jaringan haruslah mampu menghindarkan timbulnya distorsi biofilm. Karena ECM dengan kandungan mukopolisakarid umumnya mengalami kolaps setelah fiksasi dengan bahan dasar aldehid dan mengalami dehidrasi, spesimen-spesimen mungkin harus di simpan beku atau dipindahkan dalam satu cairan salin fisiologis segera untuk imejing. Beberapa peneliti menyarankan bahwa fiksasi jaringan dalam cairan Carnoy nonaqueous mampu mempertahankan lapisan mukopolisakarid. Namun begitu, bagaimanapun, berdasarkan fakta bahwa hidrofobisitas dan solubilitas ECM dapat bervariasi dalam biofilm bergantung pada substratum, yaitu dalam hal level pematangan atau tipe mikroorganismenya, fiksasi aldehid standar dapat berhasil digunakan dengan beberapa jenis biofilm sebelum pelaksanaan imejing.
Fluorescent in situ hybridization (FISH) adalah merupakan satu assay diagnostik molekuler yang terbukti baik, sering digunakan dalam laboratorium-laboratorium pathologi untuk mendeteksi dan membedakan antara mikroorganisme-mikroorganisme dalam potongan-potongan histologis. FISH dapat membedakan organisme dalam level spesies atau lebih tinggi (misalnya, genus, filum atau domain) dan memungkinkan secara bersamaan mengidentifikasi hingga tujuh spesies mikroba berbeda dalam satu sampel. Satu keterbatasan FISH adalah bahwa ia menggunakan probes bertarget ribosomal (r)RNA dan, jadinya, kesensitifitasannya terbatas oleh status metabolik mikroorganisme dalam biofilm jaringan, karena organisme-organisme yang inaktif secara metabolik adalah umumnya dipertimbangkan memiliki isi ribosomal seluler yang lebih rendah. Keterbatasan ini mungkin menjelaskan inaksesibiltas relatif dari probe FISH dalam daerah-daerah biofilm yang hening secara metabolik, yang padahal dapat diwarnai dengan baik dengan pewarna nuklir, seperti misalnya 4’-6-diamidino-2-phenyl-indole (DAPI). Bagaimanapun, aktifitas metabolik tidak berhubungan erat dengan isi ribosomal pada semua spesies mikroba, karena beberapa bakteri yang tumbuh lambat tetap mempertahankan isi ribosomal seluler yang tinggi, bahkan dalam kondisi aktifitas metabolik yang rendah. Untuk mendeteksi sel-sel yang aktif secara metabolik lebih akurat, probe-probe FISH oligo-nucleotide dapat disintesis yang berikatan ke regio-regio intergenic spacer dalam gen-gen rRNA, yang dengan cepat mengalami degradasi selama maturasi ribosom dalam bakteri. Jadi, probe-probe ini akan mendeteksi sel-sel yang hanya memroduksi rRNA baru (misalnya, sel-sel yang aktif secara metabolik) pada saat pengambilan sampel dilakukan. Karena pemrosesan histologis tradisional spesimen-spesimen jaringan untuk FISH memerlukan fiksasi dan sejumlah langkah pencucian yang tak diragukan lagi dapat menghilangkan atau merusak sejumlah bermakna biofilm, maka kombinasi FISH dengan confocal laser-scanning microscopy dari spesimen-spesimen segar atau beku mungkin menjadi lebih cocok dipakai dalam studi biofilm jaringan. Pada kenyataannya, kombinasi FISH dengan confocal imaging, diikuti oleh image analysis menggunakan perangkat lunak stereologik atau spatial statistic, terbukti menentukan teknologi-teknologi yang sebenarnya dalam pendeskripsian pola-pola dari lokalisasi spasial mikroorganisme yang bertumbuh dalam lingkungan biofilm, dan mungkin menemukan aplikasi-aplikasi yang sama dalam biofilm-biofilm jaringan.
Dalam situasi di mana dijumpai kesulitan dalam mengakses jaringan, maka teknologi yang lebih baru seperti misalnya laser-scanning confocal endoscopy, yang memungkinkan evaluasi mikroskopis dari jaringan hidup tanpa perlu untuk biopsi atau pemrosesan histologik, mungkin dapat digunakan bagi permasalahan ini. Meskipun one-photon excitation laser-scanning microscopy konvensional adalah umumnya cukup untuk analisis imej biofilm; two-photon excitation laser-scanning microscopy memungkinkan satu penetrasi yang lebih dalam ke biofilm jaringan dan penguatan resolusi. Akhirnya, atomic force microscopy yang merupakan satu teknik imejing sampel yang secara esensiil nondestruktif dengan kemampuan resolusi berskala nano (nanoscale), telah digunakan untuk studi sifat-sifat (properties) ultrastruktur dan nano-mekanik dari biofilm abiotik dan mungkin, akhirnya, menemukan beberapa aplikasi dalam studi biofilm-biofilm jaringan.
“Perburuan” terhadap ECM
Keberadaan satu ECM, atau glycocalyx, adalah dipertimbangkan menjadi penanda umum dari satu biofilm. Dalam kebanyakan biofilm yang dipelajari hingga kini, komposisi dan regulasi biosintetik dari ECM masih tetap menjadi tujuan penelitian yang sulit difahami dan mewakili “sisi gelap” dari biologi biofilm. Meski hanya bagian visualisasi dari ECM telah menjadikan problematika, namun sementara itu beberapa studi telah mempertimbangkan observasi mikroskopik dari “blebs” di bawah phase-contrast microscopy dan mewarnainya dengan pewarna-pewarna spesifik untuk karbohidrat, seperti Alcian blue, adalah sebagai bukti tak langsung bagi keberadaan ECM.
Bagian dari masalah dalam mengidentifikasi ECM biofilm jaringan in situ adalah kemampuan sensitifitasnya terhadap pemrosesan histologik standar, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan, sebagiannya lagi, adalah karena kenyataan bahwa kuantitas dan komposisinya dapat bervariasi pada banyak lokasi jaringan bergantung pada isyarat-isyarat lingkungan, berrentang dari ketersediaan nutrien hingga stimulus mekanik. Sebagai contoh, adalah telah diketahui jelas bahwa di bawah kondisi-kondisi statik, sintesis matriks oleh pathogen-patogen jaringan tertentu adalah minimal. Dengan demikian, secara keseluruhan, adalah tidak mengejutkan bahwa pembentukan biofilm adalah lebih suka terjadi pada lokasi jaringan dengan adanya aliran cairan atau motilitas jaringan. Sebagai tambahannya, komposisi dari ECM biofilm jaringan adalah sedemikian bawaannya yaitu lebih kompleks dibandingkan dengan biofilm-biofilm permukaan abiotik, berdasarkan terhadap fakta bahwa glikoprotein-glikoprotein, asam-asam nukleat dan sel-sel mungkin berpartisipasi dalam perkembangannya.
Untuk beberapa mikroorganisme bakteri dan jamur seperti, S. aureus, P. aeruginosa, atau Cryptococus neoformans, komposisi ECM mereka telah dapat dikarakterisasi dengan baik. Sebagai contoh, pada staphylococci, kandungan utama ECMnya adalah satu β-1,6-linked N-acetylglucosamine polymer, yang sintesisnya diregulasi oleh ica operon. Beberapa bakteri gram-negatif adalah dikenal menyekresi biosurfaktan lipid sebagai bagian dari matriks, yang mana memungkinkan biofilm mencair dan menggunakan substrat khusus itu agar menjadi tak dapat dicapai. Untuk pathogen lainnya, bukti taklangsung menampakkan bahwa cocoknya satu campuran khusus dari polisakarid dalam ECM. Sebagai contoh, sejumlah glukosa mendekati 20% dari berat kering polisakharid ekstraseluler dalam biofilm-biofilm Candida albicans, di mana mannose ditemukan dalam jumlahnya yang lebih sedikit. Tambahannya, biofilm-biofilm Candida adalah mudah dihancurkan oleh pengobatan dengan satu β-1,3-glucanase, yang menyarankan bahwa glukosa-lah yang membentuk satu polimer glukan extraselulernya. Dalam mendukung akan hal ini, satu protein glucan cross-linked telah menunjukkan bahwa ia penting dalam perkembangan biofilm dan data terakhir menyarankan bahwa ia mungkin “shed” dari dinding sel selama sintesis ECM. Telah dapat dikonfirmasikan keberadaan dari β-glucan dalam ECM dan telah pula mampu mengarakterisasi distribusinya di dalam satu jaringan secara in situ menggunakan satu double immunolabelling technique diikuti dengan confocal microscopy.
Biofilm Permukaan Abiotik dapat memberikan penjejakan (clues) bagi Biofilm Jaringan
Pembentukan biofilm pada permukaan abiotik dan permukaan jaringan nampaknya diatur melalui proses-proses yang sama dalam pathogen-pathogen jaringan tertentu. Sebagai contoh, kemampuan untuk otoagregat in vitro adalah secara positif dikaitkan dengan kemampuan pathogen-pathogen jaringan, seperti misalnya Streptococcus, Proteus dan Lactobacillus, untuk melekat ke epithel inang. Pembentukan biofilm pada satu jaringan oleh spesies Proteus ditandai oleh ekspresi fibriae yang mengawali terjadinya agregasi bakterial, yang mana terjadi sama sebagaimana pebentukan biofilm pada penutup gelas atau permukaan plastik. Hal yang sama, protein-protein permukaan yang spesifik dari Escherichia coli memungkinkan mikroorganisme ini untuk membentuk biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan epithel. Akhir-akhir ini, Candida alcohol dehydrogenase telah menunjukkan perannya dalam pembentukan biofilm, yang bekerja sebagai satu pengatur negatif baik dalam model-model jaringan maupun abiotik. Adalah juga jelas diketahui bahwa, pola-pola Streptococcus pneumonia gene-expression adalah hampir identik dalam biofilm jaringan dan biofilm abiotik, yang hal ini mempertimbangkan bahwa terdapat keberbedaan sangat besar dalam kondisi-kondisi pertumbuhan mikroba dari dua lokasi ini. Berdasarkan dari informasi ini, adalah beralasan untuk memerkirakan bahwa, setidaknya untuk beberapa pathogen, kemungkinan terdapat jalur-jalur pengaturan yang mengontrol pertumbuhan biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan jaringan. Dengan demikian, pengetahuan pada jalur-jalur pengaturan biofilm-biofilm biomaterial dapat menyediakan jejak-jejak penting sekitar biofilm jaringan.
Respon Inang dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan Lunak
Satu gambaran yang menonjol dari infeksi-infeksi jaringan permukaan yang ditandai oleh biofilm-biofilm jaringan adalah merupakan satu respon inflamasi dengan banyak sel, molekul dan gambaran histologik dari satu respon akut terhadap infeksi. Penanda umum histologik dari lesi-lesi superfisial ini termasuk destruksi bermediasi enzim hidrolitik dari cell junctions, lepasnya perlekatan keratinosit prematur dari satu dengan lainnya dan shedding (achantolysis), edema interseluler (spongiosis) dan, akhirnya, sejumlah besar netrofil menembus lapisan epithel dan masuk ke dalam kantong-kantong biofilm. Gambaran histopatologik lainnya termasuk nekrosis superfisial dan kantong-kantong ulserasi terpaket dengan komunitas mikroba yang mana, umumnya, tidaklah berpenetrasi dalam-dalam ke jaringan. Netrofil ada dalam jumlah banyak di dalam biofilm-biofilm jaringan manusia secara in vivo. Apakah mereka menjadi secara aktif direkrut oleh inang atau oleh protein-protein mikroba, hingga saat ini belum diketahui jawabannya. Tambahannya, aktifasi fungsional mereka dan status fagositiknya di dalam biofilm nampaknya bervariasi, dengan fagositosis aktif terdeteksi berada di dalam biofilm-biofilm dari spesies-spesies bakteri tertentu namun tidak pada yang lainnya.
Pathogenesis dari Infeksi-Infeksi Biofilm Jaringan
Meskipun biofilm-biofilm telah dapat terdeteksi pada banyak lokasi-lokasi jaringan, kemampuan mereka memicu penyakit pada manusia masih tetap menjadi satu masalah untuk penelitian-penelitian aktif. Dari banyak hal yang telah diketahui, yaitu bahwa jaringan di bawah biofilm masih tetap utuh dan tidak diinvasi oleh mikroorganisme, menunjukkan bahwa kemungkinan pembentukan biofilm merupakan hal sekunder terhadap satu respon imun menyimpang terhadap self-antigent, adalah masih ada. Memang, adalah masuk akal bahwa pelepasan nutrien dari lisisnya sel-sel epitel yang terdorong secara imunologis mungkin mendorong pertumbuhan biofilm mikroorganisme. Lebih lanjut, pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi secara lokal dapat bekerja sebagai faktor-faktor pertumbuhan spesifik bagi biofilm. Jadi, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan terbentuk sebagai satu konsekuensi dari inflamasi, terpicu awalnya oleh stimuli yang takterkait biofilm.
Bagaimanapun, studi-studi mikroskopik lainnya telah menunjukkan bahwa biofilm-biofilm kolonik adalah biasanya dihubungkan dengan arsitektur jaringan abnormal secara histologis dan, jadinya, mungkin menginisiasi kerusakan jaringan lokal. Dengan demikian, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan menyediakan satu lingkungan perlindungan bagi mikroorganisme dari mekanisme pertahanan bawaan, yang mana mungkin mendorong persistensi dan, akhirnya, invasi mereka ke dalam jaringan inang, kemudian memicu kerusakan jaringan langsung. Faktanya, kemampuan dari pathogen-pathogen tertentu untuk membentuk biofilm jaringan lunak mungkin menunjukkan kemampuan mereka untuk menginvasi dan mendestruksi jaringan lunak. Satu hubungan dekat antara pembentukan biofilm dan invasi jaringan adalah juga menyarankan dengan kuat untuk pathogen seperti ini melalui data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan invasif dan perkembangan biofilm diatur oleh jalur-jalur pe-sinyalan umum.
Usulan Pathogenesis Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan berfokus Reaksi Inflamasi
Dua model pathogenesis berfokus inflamasi dari infeksi-infeksi biofilm jaringan diajukan dalam bagian tulisan berikut di bawah ini, yang mungkin dapat membantu menjelaskan potensialitas dari luasnya peranan biofilm-biofilm jaringan dalam penyakit-penyakit pada manusia. Besarnya kemungkinan dari salah satu dari dua skema pathogenetik dimaksud mungkin bergantung pada karakteristik-karakteristik lokasi jaringan, seperti tipe jaringan dan fungsi khusus yang dimilikinya, dan pada karakteristik virulensi mikroorganisme atau, lebih miripnya, pada keduanya sekaligus.
Biofilm Jaringan dapat memicu Respon Proinflamasi berlebih yang mengawali Kerusakan Jaringan Inang Taklangsung
Akhir-akhir ini telah dihipotesiskan bahwa kerusakan jaringan permukaan akibat dari biofilm utamanya adalah dari satu imun menyimpang dan respon infamasi terhadap agregat mikroba, daripada kerusakan langsung dari enzim-enzim hidrolitik mikroba. Faktanya, telah diketahui bahwa, netrofil menyumbang bagi patologi paru terinduksi Pseudomonas melalui penggunaan berlebihan sekret arsenal toksik mereka seperti agen-agen oksidatif yang, meskipun menargetkannya bagi perlawanan terhadap biofilm bakteri, adalah malah merusak jaringan inang karena adanya aksi penamengan bakteri (bacteria-shielding) dari ECM. Adalah juga telah diusulkan bahwa, mesin pembangkit yang mendorong eksudat inflamasi khronik (otorrhea) pada otitis media khronik adalah biofilm bakteri. Bagaimanapun, bukanlah berbagai mekanisme oleh biofilm-biofilm jaringan mana yang memengaruhi perkembangan kejadian-kejadian inflamasi, demikian juga bukanlah perubahan-perubahan khusus penyakit (disease-spesific) dalam komunitas-komunitas biofilm yang telah menentukan infeksi-infeksi biofilm jaringan ini.
Biofilm Jaringan mungkin me-block Respon Inflamasi Awal Inang yang mengawali Sel Imun bawaan mengalami Paralysis & mendorong Pertumbuhan Biofilm & Invasi Jaringan
Peran penting sitokin-sitokin proinflamasi dalam pertahanan inang melawan banyak pathogen-pathogen jaringan telah secara tegas ditunjukkan dalam sejumlah studi-studi in vitro dan binatang. Sitokin-sitokin proinflamasi adalah diperlukan untuk memulaikan pengaturan (upregulation) sejumlah reseptor-reseptor pengenalan pola mikroba (microbial pattern-recognition receptors) dalam sel-sel imun bawaan, seperti juga untuk aktifasi kebanyakan fungsi-fungsi mikrobisidal. Berdasar model pathogenesis ini, komponen-komponen biofilm mungkin melemahkan respon inflamasi jaringan terhadap infeksi dan mengganggu fungsi fagositik sel, menyediakan satu keuntungan pertumbuhan awal dari biofilm organisme.
Dilaporkan bahwa biofilm H. influenza ditandai oleh level-level tinggi permukaan sel terkait dengan lipooligosaccharides berkandungan phosphorylcholine, dengan penurunan potensi sebagai agonis inflamasi selama masa awal infeksi, sehingga memungkinkan perkembangan yang stabil dari komunitas biofilm. Hal yang sama, biofilm-biofilm C. albicans menunjukkan adanya penurunan regulasi dari sekresi kebanyakan sitokin-sitokin proinflamasi oleh sel-sel mononuklear darah perifer, dan penambahan sel-sel ini ke biofilm memiliki satu efek stimulasi, daripada efek penghambatan, pada pertumbuhan biofilm secara in vitro. Akhirnya, adalah diusulkan bahwa, meski sitokin-sitokin proinflamasi tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen biofilm, sitokin-sitokin anti-inflamasi, seperti misalnya IL-10 dan TGF-B, mungkin secara substansiil akan terstimulasi. Sebagai contoh, untuk sitokin-sitokin seperti itu dapat diinduksi oleh polisakarid-polisakarid kapsuler C. neoformans. Secara potensiil, polisakarid-polisakarid ini adalah sangat penting bagi pathogenesis biofilm dalam infeksi-infeksi, karena sekresi mereka mendorong perkembangan biofilm.
Tantangan Pengobatan dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan
Uji suseptibilitas antimikroba dari model-model biofilm in vitro telah menunjukkan tingkat kemampuan hidup bakteri setelah pengobatan dengan konsentrasi 100 – 1000 kali MIC bagi bakteri dalam satu kultur suspensi. Bermacam jenis mekanisme pertahanan antimikroba telah ditunjukkan memainkan satu peran dalam fenotip biofilm ini pada banyak mikroorganisme. Mekanisme-mekanisme ini adalah termasuk inaktifasi dari antimikroba oleh ECM lewat reaktifitas atau adsorpsi, meningkatkan produksi enzim-enzim penghancur antimikroba, meningkatkan respon-respon stres terinduksikan densitas tinggi (high-density-induced stress responses), menurunkan angka pertumbuhan, memfasilitasi transfer gen plasmid dan menginduksi gen-gen pemompaan keluar jenis obat berganda (multidrug efflux-pump). Semua dari mekanisme-mekanisme ini adalah dipertimbangkan sebagai bagian dari satu fenotip biofilm-specific, yang mana adalah diinduksi dalam satu subpopulasi dari komunitas multiseluler oleh faktor-faktor terkait biofilm, seperti misalnya stres-stres lingkungan yang bergantung pembatasan nutrien dan bergantung densitas (nutrient limitation and density-dependent environmental stresses). Sejumlah studi telah juga menyarankan bahwa jumlah organisme-organisme resisten di dalam satu biofilm mungkin adalah kecil saja selama pemaparan awal dengan antibiotika, namun dengan pengulangan pemaparan tersebut terhadap klas antimikroba yang sama secara cepat mengarahkan sel-sel yang resisten untuk kembali melipatgandakan (repopulate) biofilm. Hasil akhirnya adalah, terjadinya perkembangan dari generasi kedua atau ketiga biofilm-biofilm, yang adalah jauh lebih resisten dibandingkan dengan biofilm awal. Secara klinis, hal ini berimplikasi bahwa pengobatan-pengobatan antimikroba tradisional yang menargetkan sel-sel mikroba tunggal di dalam biofilm-biofilm akan tidak pernah menjadi dapat mengeliminasikannya. Hal ini mungkin juga benar adanya bagi banyak pendekatan teraputik nontradisional, seperti misalnya radiasi sitosidal berwahanakan antibodi (antibody-delivered cytocidal radiation), karena bahkan dengan pendekatan-pendekatan ini adalah tidak sepenuhnya mampu mengeradikasi biofilm dan mungkin mengantagonis berbagai efek obat-obat anti jamur tradisional.
Dengan demikian, telah disarankan bahwa, terapi-terapi antibiofilm yang menargetkan keseluruhan biofilm sebagai satu organisme multiseluler kompleks atau pencegahan yang unik bagi proses-proses biofilm-specific, adalah dibutuhkan untuk melawan infeksi-infeksi biofilm. Berbagai arah dalam terapi di masa depan dapat termasuk sintesis kimia dan penggunaan molekul-molekul quorum-sensing untuk mencegah perlekatan sel mikroba dengan inang dan sel mikroba dengan sel mikroba lainnya., atau mendorong pelepasan perlekatan sel dari jaringan atau bifilm-biofilm. Sejak diketahuinya beberapa molekul quorum-sensing (alarmones) memainkan satu peran dalam memancing sel-sel (priming cells) untuk berresistensi terhadap antimikroba, pengunaan inhibitor-inhibitor untuk sintesis atau aktifitas molekul-molekul ini dapat digunakan dalam mengubah biofilm menjadi lebih resisten terhadap antimikroba konvensional. Berbagai pendekatan potensiil lainnya adalah termasuk penemuan inhibitor-inhibitor dari biosintesis ECM atau mengembangkan strategi-strategi untuk mendorong probiotik biofilm yang menghalangi perkembangan biofilm-biofilm pathogenik. Sebagai tambahannya, kombinasi pengiriman secara lokal teraputik-teraputik proinflamasi berbasis sitokin dengan berwahanakan obat-obat antimikroba tradisional mungkin dapat menjadi satu pendekatan yang beralasan bagi pengobatan di masa depan. Sebagai contoh, agen-agen yang mendorong invasi sel-sel fagositik ke dalam biofilm, dalam kombinasinya dengan obat-obat pengurang glycocalyx, mungkin dapat meningkatkan keefektifitasan pengobatan infeksi-infeksi jaringan terkait biofilm. Sejalan dengan hal ini pula, efek-efek menguntungkan dari satu cairan pembersih berbasis granulocyte-macrophage colony-stimulating factor juga dapat digunakan.
Dengan demikian, telah disarankan bahwa, terapi-terapi antibiofilm yang menargetkan keseluruhan biofilm sebagai satu organisme multiseluler kompleks atau pencegahan yang unik bagi proses-proses biofilm-specific, adalah dibutuhkan untuk melawan infeksi-infeksi biofilm. Berbagai arah dalam terapi di masa depan dapat termasuk sintesis kimia dan penggunaan molekul-molekul quorum-sensing untuk mencegah perlekatan sel mikroba dengan inang dan sel mikroba dengan sel mikroba lainnya., atau mendorong pelepasan perlekatan sel dari jaringan atau bifilm-biofilm. Sejak diketahuinya beberapa molekul quorum-sensing (alarmones) memainkan satu peran dalam memancing sel-sel (priming cells) untuk berresistensi terhadap antimikroba, pengunaan inhibitor-inhibitor untuk sintesis atau aktifitas molekul-molekul ini dapat digunakan dalam mengubah biofilm menjadi lebih resisten terhadap antimikroba konvensional. Berbagai pendekatan potensiil lainnya adalah termasuk penemuan inhibitor-inhibitor dari biosintesis ECM atau mengembangkan strategi-strategi untuk mendorong probiotik biofilm yang menghalangi perkembangan biofilm-biofilm pathogenik. Sebagai tambahannya, kombinasi pengiriman secara lokal teraputik-teraputik proinflamasi berbasis sitokin dengan berwahanakan obat-obat antimikroba tradisional mungkin dapat menjadi satu pendekatan yang beralasan bagi pengobatan di masa depan. Sebagai contoh, agen-agen yang mendorong invasi sel-sel fagositik ke dalam biofilm, dalam kombinasinya dengan obat-obat pengurang glycocalyx, mungkin dapat meningkatkan keefektifitasan pengobatan infeksi-infeksi jaringan terkait biofilm. Sejalan dengan hal ini pula, efek-efek menguntungkan dari satu cairan pembersih berbasis granulocyte-macrophage colony-stimulating factor juga dapat digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar