Pendahuluan
Derivasi sel-sel stem embryonik manusia 10 tahun yang lalu telah memicu luapan animo masyarakat akan sel stem, di mana semua tahap pencapaian saat itu adalah bergantung dari hasil-hasil riset yang telah dilaksanakan beberapa dekade sebelumnya pada sel-sel karsinoma embryonik tikus dan sel-sel stem embryonik tikus. Sebaliknya, derivasi sel-sel stem pluripoten terinduksi (induced pluripotent stem cells) pada tikus dan manusia akhir-akhir ini adalah bergantung dari hasil-hasil studi pada sel-sel stem embryonik tikus dan manusia. Baik sel-sel stem embryonik manusia maupun sel-sel stem pluripoten terinduksi pada manusia dapat dengan jelas berkemampuan memperbaharui diri in vitro sementara mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi derivatif-derivatif ketiga lapis benih (germ) lanjut, kesemuanya itu memberi gambaran yang sangat bermanfaat dalam memahami diferensiasi dan fungsi jaringan manusia, bagi pengujian penyaringan obat dan toksisitas obat, dan bagi terapi-terapi transplantasi seluler. Tulisan ini meninjau keluarga dari pluripotent cell lines yang didapat dari embryo-embryo usia awal dan dari sel-sel benih, dan membandingkan mereka dengan apa yang saat ini disebutkan sebagai sel-sel stem pluripoten terinduksi (induced pluripotent stem cells).
Sel-sel Stem Pluripoten dari Asal Berbeda
Sel-sel Karsinoma Embryonal (EC)
Lingkup pengetahuan sel-sel stem dimulai dengan studi mengenai teratokarsinoma pada tahun 1950-an. Teratokarsinoma merupakan tumor sel benih maligna yang mengandung suatu komponen EC takterdiferensiasi dan suatu komponen terdiferensiasi yang dapat termasuk semua dari ketiga jenis sel lapis benih. Meskipun teratokarsinoma telah dijelaskan berabad lalu, jarangnya tumor ini terjadi membuatnya sulit untuk dipelajari. Temuan bahwa tikus jantan strain 129 memiliki satu insiden teratoma testikuler yang tinggi (atau lebih tepatnya, teratokarsinoma; hingga 1%)(Stevens and Little 1954) membuatnya dapat dianalisis eksperimental untuk pertama kali. Tetap bertahannya komponen sel EC memungkinkan teratoma secara serial ditransplantasikan di antara tikus, sebagaimana fungsi sel-sel takterdiferensiasi ini sebagai sel stem bagi komponen-komponen tumor lainnya. Pada tahun 1964 (Kleinsmith and Pierce 1964) mempertunjukkan bahwa satu sel EC tunggal adalah mampu baik dalam pembaharuan diri yang tak terbatas maupun dalam diferensiasi multilineage, memapankan eksistensi dari satu sel stem pluripoten dan juga penambahan pada kerangka intelektual bagi sel-sel embryonik (ES) tikus maupun manusia. Hal ini juga merupakan pengunjukkan eksperimental pertama dari satu sel stem kanker, mendahului keinginan intens masa kini dalam hal sel-sel stem kanker lewat beberapa dekade. EC cell line tikus yang dapat secara stabil dibiakkan in vitro telah mapan dalam awal tahun 1970-an (Kahan and Ephrussi 1970) dan telah dipelajari secara luas sebagai “in vitro caricatures of development", sebagaimana mereka dapat dikultur dalam jumlah yang mencukupi untuk membentuk eksperimen-eksperimen yang adalah tidak memungkinkan dilakukan dengan menggunakan embryo-embryo mamalia intak.
Adanya kesamaan secara alami sifat-sifat perkembangan sel-sel EC dengan sel-sel benih usia awal mengawali untuk dilakukannya penelusuran bagi satu pembandingan in vivo dari sel-sel ini. Perkembangan mamalia dimulai dari satu sel tunggal yang dapat memberikan pemunculan dari semua jenis sel yang dibutuhkan bagi adanya kehidupan baru, namun melalui kelanjutan kejadian-kejadian diferensiasi, potensi perkembangan menjadi semakin terbatas. Sebagaimana satu sel benih berbelah, ia membentuk sebuah morula, yang merupakan satu kelompok sel-sel takterdiferensiasi mirip buah “murbai”. Kejadian diferensiasi terjadi ketika lapis luar sel-sel morula berdiferensiasi menjadi trophecderm, untuk membentuk benih stadium blastocyst. Sel-sel di dalam blastocyst (inner cell mass, atau ICM) memberikan pemunculan bagi semua sel-sel tubuh dewasa dan beberapa jenis jaringan ekstra embryonik, sementara trophecderm memberi pemunculan bagi lapis luar plasenta. Sel-sel EC tikus mengekspresikan antigen dan protein yang adalah sama dengan sel-sel dalam ICM (Gachellin et al. 1977; Solter and Knowles 1978), yang mengawali konsep bahwa sel-sel EC merupakan satu pembandingan in vitro dari sel-sel pluripoten yang ada dalam ICM (Martin 1980). Sesungguhnya, beberapa EC cell line adalah dapat menyumbang bagi pemunculan berjenis tipe sel somatik setelah injeksi ke dalam blastocyst tikus (Brinster 1974). Bagaimanapun, kebanyakan EC cell line memiliki keterbatasan potensi perkembangan dan menyumbang secara buruk bagi tikus-tikus chimeric, yang sepertinya hal ini adalah akibat dari akumulasi perubahan-perubahan genetik selama pembentukan dan pertumbuhan teratokarsinoma (Atkin et al. 1974).
Sel-sel EC manusia selanjutnya terderivasi (Hogan et al. 1977), dan sel-sel ini terbukti menjadi secara bermakna berbeda dari sel-sel EC tikus. Sebagai contoh, SSEA-1, satu penanda permukaan sel yang secara spesifik terekspresi pada sel-sel EC tikus, adalah tidak terdapat pada sel-sel EC manusia, sementara SSEA-3, SSEA-4, TRA-1-60, dan TRA-1-81 adalah tidak terdapat pada sel-sel EC tikus namun terdapat pada sel-sel EC manusia (Andrews et al. 1982, 1984; Kannagi et al 1983). Juga, berlawanan dengan sel-sel EC tikus, sel-sel EC manusia adalah sangat euploid, yang sepertinya hal ini menjadikannya memiliki ketidakmampuan untuk berdiferensiasi menjadi satu rentangan luas tipe sel somatik, dan membatasi kegunaannya sebagai satu model in vitro perkembangan manusia. Apakah berbagai perbedaan dalam hal permukaan sel dan morfologi antara sel-sel EC manusia dan tikus merefleksikan perbedaan khas spesies dalam embryologi tahap awal ataukah merefleksikan beberapa pecularity dari transformasi neoplatik dari sel-sel benih manusia, saat itu masih merupakan satu pertanyaan terbuka hingga kemudian dikenalnya derivasi sel-sel ES manusia.
Sel-sel Stem Embryonik (ES) Tikus
Sel-sel pluripoten hanya sebentar (transient) berada dalam embryo in vivo, sebagaimana mereka berdiferensiasi dengan cepat menjadi bermacam sel-sel somatik lewat adanya proses perkembangan. Bagaimanapun, bila embryo tikus usia awal di transfer ke lokasi-lokasi ekstrauterin, seperti misalnya pada kapsul-kapsul ginjal atau testis, mereka dapat berkembang menjadi teratokarsinoma (Solter et al. 1970; Steven 1970). Tingginya frekuensi pembentukan teratokarsinoma, bahkan pada strain-strain yang tidak berkecenderungan secara spontan memiliki satu insiden meningkat dari tumor-tumor sel benih, menyarankan bahwa proses ini bukanlah sebagai hasil dari kejadian-kejadian transformasi neoplastik jarang. Eksperimen-eksperimen transplantasi embryo ini menunjukkan bahwa embryo yang intak memiliki satu populasi sel yang dapat memberikan pemunculan pluripotent stem cell lines, dan temuan kunci ini mengawali penelusuran bagi kondisi-kondisi kultur yang akan memungkinkan derivasi in vitro langsung sel-sel stem pluripoten dari embryo, tanpa perlu kebutuhan sela bagi pembentukan karsinoma in vivo.
ES cell lines tikus pertamakali diderivasi dari blastocyst ICM tikus menggunakan kondisi-kondisi kultur (fibroblast feeder layers and serum) yang sebelumnya digunakan bagi sel-sel EC tikus (Evans and Kaufman 1981; Martin 1981). Kultur-kultur sel ES yang secara klonal diderivasi dari satu sel tunggal dapat berdiferensiasi menjadi satu varietas luas tipe-tipe sel in vitro dan membentuk teratokarsinoma bila diinjeksikan ke dalam mice (Martin 1981). Lebih penting lagi, tidak sebagaimana halnya sel-sel EC, sel-sel yang secara karyotipik adalah normal ini dapat menyumbang pada satu frekuensi tinggi untuk satu varietas jaringan-jaringan pada chimera, termasuk sel-sel benih, jadi, menyediakan satu jalan praktis untuk mengenalkan modifikasi-modifikasi ke mouse germ line (Bradley et al. 1984). Efisiensi dari derivasi sel ES tikus adalah sangat dipengaruhi oleh latar belakang genetik. Sebagai contoh, sel-sel ES dapat dengan mudah diderivasi dari129/strain ter-Sv bawaan (inbred) namun kurang efisien dari strain C57BL/6 (Ledermann and Burki 1991). Bagaimanapun, sel-sel ES tikus dapat diderivasi dari beberapa strain-strain nonpermisif menggunakan protokol-protokol dimodifikasi (McWhit et al. 1996). Sel-sel ES tikus telah juga diderivasi dari embryo-embryo stadium berbelah dan bahkan dari blastomer-blastomer individual dari stadium embryo dua hingga delapan sel (Chung et al. 2006; Wakayama et al. 2007)
Cell feeder layers yang secara mitosis takteraktifasikan merupakan media kultur yang pertamakali digunakan untuk menyokong sel-sel epitel yang bersifat sulit dikultur (difficult-to-culture) (Puck et al. 1956) kemudian secara sukses diadaptasikan untuk keperluan kultur sel-sel EC tikus (Martin and Evans 1975) dan sel-sel ES tikus (Evans and Kaufman 1981). Medium yang “dikondisikan” melalui kokultur dengan berbagai jenis sel didapatkan mampu untuk mempertahankan sel-sel ES dalam ketiadaan feeders, dan fraksinasi dari medium yang terkondisikan mengawali untuk identifikasi terhadap leukemia inhibitory factor (LIF), yang merupakan satu sitokin yang mempertahankan sel-sel ES (Smith et al. 1988; Williams et al. 1988). LIF dan sitokin-sitokin terkait dengannya bekerja melalui reseptor gp130 (Yoshida et al. 1994). Pengikatan LIF akan menginduksi dimerisasi LIFR/ reseptor-reseptor gp130, yang sebaliknya akan mengaktifasi Janus-associated tyrosine kinase (JAK)/the latent signal transducer and activator of transcription factor (STAT3) (Yoshida et al 1994), dan Shp2/kaskade ERK mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Takashaki-Tezuka et al.1998). Aktifasi STAT3 sendiri saja adalah cukup untuk pembaharuan diri sel-sel ES tikus bermediasikan LIF dengan adanya serum (Matsuda et al. 1999). Aktifasi ERK, bagaimanapun, nampaknya mengganggu proliferasi sel ES. Sebaliknya, penekanan jalur ERK oleh penambahan inhibitor MEK PD098059 mendorong pembaharuan diri sel ES (Burdon et al 1999). Jadi efek proliferasi dari LIF pada sel-sel ES tikus memerlukan satu keseimbangan yang dibuat dengan tepat di antara efektor-efektor positif dan negatif.
Dalam medium bebas-serum, LIF sendiri saja adalah tidak cukup untuk mencegah diferensiasi sel-sel ES tikus, namun dalam kombinasinya dengan BMP (bone morphogenetic proteine, anggota dari superfamili TGFβ), sel-sel ES tikus dapat dipertahankan (Ying et al. 2003). BMPs menginduksi ekspresi protein-protein Id (inhibitor of differentiation) melalui jalur Smad. Ekspresi Id berlebihan dengan sendirinya dapat mendorong proliferasi sel ES tikus dalam keberadaan LIF sendiri saja tanpa memerlukan baik BMPs ataupun serum. Bagaimanapun, BMPs mungkin juga beraksi melalui penghambatan jalur-jalur MAPK yang tak bergantung Smad. Yang belakangan disebut adalah disokong oleh fakta-fakta bahwa sel-sel ES dapat di derivasi dari blastocyst yang kurang mengandung Smad4 (pasangan tersering untuk semua Smad) (Sirard et al. 1988) dan bahwa penghambatan p38 MAPK oleh SB203580 memungkinkan derivasi sel-sel ES dari blastocyst yang kurang mengandung BMP type I receptor Alk-3, yang mana sebelumnya menahan derivasi sel-sel ES (Qi et al. 2004). Dalam perkembangan normal, bagaimanapun, kelihatannya tidak diperlukannya LIF, gp 130 ataupun STAT3 sebelum gastrulasi (Escary et al. 1993; Yoshida et al. 1996; Takeda et al. 1997), dan embryo-embryo tikus mutant homozygous Alk-3 dapat berkembang secara normal ke stadium pasca-implantasi awal (Mishina et al. 1995). Jadi, ICM pluripotent/epiblast dapat menjalankan jalur-jalur pensinyalan alternatif bagi proliferasi takterdiferensiasi (undifferentiated proliferation).
Yang lebih terkini, pluripotent stem cell lines (epiblast stem cells atau EpiSCs) yang telah mapan dari epiblast yang diisolasikan dari embryo-embryo tikus pascaimplantasi E5.5 ke E6.5 yang berbeda secara bermakna dari sel-sel ES tikus namun berbagi ciri-ciri kunci dengan sel-sel ES manusia (lihat bawah) (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007). Sebagai contoh, derivasi EpiSCs gagal dalam keberadaan LIF dan/atau BMP4, dua faktor yang dibutuhkan untuk derivasi dan pembaharuan diri sel-sel ES tikus. Sebaliknya, sama halnya dengan sel-sel ES dan iPS manusia, FGF dan pensinyalan Activin/Nodal adalah penting bagi derivasi EpiSC. Ekspresi gen oleh EpiSCs secara dekat merefleksikan asal epiblas pasca implantasi (post-implantation epiblast origin) mereka dan adalah berbeda dari sel-sel ES tikus. Setidaknya, EpiSCs memang berbagi dua buah gambaran kunci yang khas sel-sel ES, yaitu: proliferasi in vitro dan diferensiasi mutilineage yang memanjang. Kemampuan menciptakan sel-sel stem pluripoten dari embryo-embryo pascaimplantasi usia awal adalah konsisten dengan ekspreimen-eksperimen transplantasi embryo ekstrauterin usia awal di mana embryo-embryo tikus yang ditransplantasikan pada stadium-stadium yang berrentang dari satu sel hingga egg cylinder (E8) adalah mampu membentuk teratokarsinoma (Stevens 1968, 1970; Solter et al. 1970), namun kemampuan ini adalah dengan cepat menghilang dengan berlanjutnya perkembangan.
Pluripotent Cell Lines yang Diderivasi dari Sel-sel Benih
Kendatipun bukti bahwa teratokarsinoma telah diketahui dapat diderivasi dari primordial germ cells (PGCs) (Stevens 1962), tidaklah demikian adanya hingga tahun 1992 bahwa sel-sel stem pluripoten (embryonic germ cells atau EG cells) berhasil diderivasi dari PGCs secara langsung in vitro ( Matsui et al 1992; Resnick et al. 1992). Tidak sebagaimana halnya dengan sel-sel ES, derivasi inisial dari sel-sel EG tikus memerlukan satu kombinasi cell stem factor (SCF), LIF, FGF dalam keberadaan dari satu feeder layer. Dalam kultur, sel-sel EG secara morfologis tak dapat dibedakan dari sel-sel ES tikus dan juga dari ekspresi khas penanda sel ES yang khas seperti misalnya SSEA-1 dan Okt4. Dan, hal yang sama dengan sel-sel ES, setelah injeksi blastocyst, mereka dapat dengan ekstensif menyumbang ke tikus chimeric termasuk sel-sel benih (Labosky et al. 1994; Stewart et al. 1994). Tidak seperti halnya sel-sel ES, bagaimanapun, sel-sel EG mempertahankan beberapa ciri dari PGCs aslinya, termasuk genome wide dimethylation, penghapusan dari genomic imprints, dan reaktifasi khromosom-X (Labosky et al. 1994; Tada et al. 1997), yang kesemuanya ini sepertinya merefleksikan stadium-stadium perkembangan dari PGCs dari mana mereka diderivasi (Shovlin et al. 2008). Sel-sel stem pluripoten (multipotent germline stem cells atau mGSCs) yang lebih terkini telah diderivasi baik dari testis tikus neonatus maupun dewasa (Kanatsu-Shinohara et al 2004; Guan et al 2006). mGSCs berbagi satu morfologi yang sama dengan sel-sel ES tikus, yaitu: mengekspres penanda-penanda spesifik sel ES tikus yang khas, berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, membentuk teratoma, dan menyumbang secara ekstensif ke chimera termasuk sel-sel germline setelah injeksinya ke dalam blastocyst. Bagaimanapun, mGSCs memiliki status yang berbeda baik dari sel-sel ES maupun sel-sel stem germline (Kanatsu-Shinohara et al. 2004). Testis tikus mengandung subpopulasi-subpopulasi sel-sel stem germline berbeda (Izadvar et al. 2008). Asal dari mGSCs adalah dalam beberapa hal belumlah jelas, meski hal ini dapat menjadi mungkin bahwa kultur in vitro sel-sel stem germline memrogram ulang sejumlah kecil sel-sel ini untuk menjadikannya suatu keadaan mirip sel ES. Sebagai contoh, kultur dari GPR125+ (c-Kit−) spermatogonial progenitor cells (GSPCs) mampu mengubah sel-sel ini menjadi sel-sel stem pluripoten (multipotent adult spermatogonia-derived stem cells, atau MASCs), yang dapat berdiferensiasi menjadi derivatif-derivatif semua dari ketiga lapis benih utama baik in vitro maupun in vivo (Seandal et al. 2007). MASCs, bagaimanapun memiliki satu pola ekspresi gen yang berbeda baik dari GSPCs maupun sel-sel ES.
Derivasi sel-sel EG manusia telah dilaporkan pada tahun 1998 (Shamblott et al. 1998), namun meski ada dukungan oleh banyak pihak, potensi proliferatif jangka panjang mereka nampaknya terbatas (Turnpenny et al. 2003). Bagian awal sel-sel EG manusia telah dilaporkan berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, namun hal ini belum ditunjukkan adalah dari satu cell line yang berasal klonal dan stabil, tidak juga hingga sekarang memiliki semacam human EG cell lines yang dilaporkan untuk membentuk teratoma. Di samping memiliki perbedaan dalam hal berbagai kebutuhan faktor pertumbuhan dari sel-sel ES manusia, sel-sel EG manusia memiliki satu morfologi yang sangat berbeda dan mengekspres SSEA-1, satu penanda permukaan sel yang tidak ada pada pada sel-sel ES manusia namun ada pada sel-sel benih manusia usia awal. Sel-sel EC manusia adalah juga berasal sel benih (germ cell-derived) dan berbagi dalam berbagai penanda dan morfologi dasar sel-sel ES manusia, jadi berbagai perbedaan ini menyarankan bahwa satu langkah final dalam mengkonversi berbagai human germ cell line ini menjadi ke satu sel proliferatif yang sebanding dengan sel-sel ES/EC manusia adalah masih tetap belum terhubungkan (missing). Sifat-sifat dari human EG cell lines yang dilaporkan hingga saat ini menyarankan keberbedaan berdasar spesies yang mendasar (fundamental species-specific differences) di antara biologi sel benih tikus dan manusia usia awal dan menyarankan bahwa pembandingannya yang terdapat pada manusia adalah sebanding benar dengan sel-sel EG tikus adalah belum dapat diambil.
Sel-sel Stem Embryonik (ES) Manusia
Ada semacam keterlambatan yang berarti atara derivasi sel-sel ES tikus dalam tahun 1981 dengan derivasi sel-sel ES manusia pada tahun 1998 (Thomson et al. 1998), meskipun banyak usaha sebelumnya telah dilakukan dalam derivasi sel ES manusia. Keterlambatan ini utamanya disebabkan oleh berbagai keberbedaan sel ES berdasar spesies (species-specific ES cell differences) dan media kultur embryo manusia yang suboptimal. Sebagai contoh, isolasi ICMs dari blastocyst manusia telah dilaporkan sebelumnya (Bongso et al. 1994), namun kultur lanjutannya dalam media yang ditambah dengan LIF dan serum, kondisi-kondisi yang memungkinkan derivasi sel-sel ES tikus, menghasilkan hanya dalam diferensiasi, tidak dalam derivasi dari pluripotent cell lines stabil. Pada pertengahan tahun 1990, ES cell lines diderivasi dari dua primata bukan manusia: monyet rhesus dan common marmoset (Thomson et al. 1995, 1996). Pengalaman dengan ES cel lines primata tersebut dan perbaikan dalam kondisi-kondisi kultur yang menyertainya bagi embryo-embryo IVF manusia (Gardner et al. 1998) memungkinkan berlanjutnya derivasi ES cell lines manusia (Thomson et al. 1998). Sel-sel ES manusia adalah normal secara karyotpik dan, bahkan setelah proliferasi takterdiferensiasikan yang berkepanjangan, mempertahankan potensi perkembangannya untuk menyumbang bagi kemajuan menderivasi ketiga lapis benih, bahkan setelah derivasi klonal (Amit et al. 2000). Hal yang sama dengan sel-sel ES tikus, sel-sel ES manusia adalah diambilkan dari morula, embryo stadium balstocyst akhir (Stojkovic et al. 2004; Strelchenko et al.2004), blastomer tunggal (Klimanskaya et al. 2006), dan embryo-embryo parthenogenetik (Lin et al.2007; Mai et al. 2007; Reyazova et al.2007). Adalah belum diketahui apakah pluripotent cell lines yang diambil dari sumber-sumber berbeda ini memiliki perbedaan-perbedaan perkembangan yang konsisten atau apakah mereka memiliki satu potensi yang ekuivalen. Media kultur fibroblast feeder layer yang diinaktivasi secara mitotik dan media kultur yang berkandungan serum digunakan dalam derivasi tahap awal sel-sel ES manusia, yang secara esensiil merupakan kondisi yang sama yang digunakan untuk derivasi sel-sel ES tikus sebelum masa pengidentifikasian LIF (Thomson et al. 1998). Bagaimanapun, hal tersebut sekarang nampaknya merupakan kejadian ikutan yang menguntungkan bahwa fibroblast feeder layers menyokong baik sel-sel ES tikus maupun manusia, sebagaimana faktor-faktor spesifik yang biasa dipakai untuk mempertahankan sel-sel ES tikus tidaklah menyokong sel-sel ES manusia. LIF dan sitokin-sitokin yang terkait gagal dalam menyokong sel-sel ES primata manusia dan bukan manusia pada media kultur berkandungan serum yang menyokong sel-sel ES tikus (Thomson et al.1998; Daheron et al. 2004; Humphrey et al. 2004). Konsisten dengan pengamatan ini, sel-sel ES manusia tidak mengekspres atau mengekspres pada level yang sangat rendah dari komponen-komponen penting jalur LIF—LIFR, gp 130, dan JAK 1 dan 2 (Brandenberger et al. 2004), dan dalam kondisi-kondisi yang memang menyokong sel-sel ES manusia, STAT3 adalah sedikit sekali teraktifasi (Daheron et al. 2004). Komponen-komponen dari jalur BMP adalah semuanya muncul pada sel-sel ES manusia (Rho et al. 2006), namun tidak seperti sel-sel ES tikus, penambahan BMP pada sel-sel ES manusia dalam kondisi-kondisi yang sebaliknya akan menyokong pembaharuan diri, menyebabkan percepatan diferensiasi (Xu et al. 2002).
Hal yang sebaliknya untuk sel-sel ES tikus, FGF dan pensinyalan TGFβ/Activin/Nodal adalah merupakan hal penting sentral bagi pembaharuan diri sel-sel ES manusia, membuat sel-sel ES manusia sama dengan apa yang telah dijelaskan akhir-akhir ini mengenai sel-sel stem tikus berasal epiblast (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007). Basic FGF (bFGF) membolehkan pertumbuhan klonal sel-sel ES manusia pada sel-sel fibroblast dalam keberadaan satu pengganti serum yang tersedia secara komersiil (Amit et al. 2000). Pada konsentrasinya yang tinggi, bFGF membolehkan feeder independent growth sel-sel ES manusia yang dikultur dalam pengganti serum yang sama (Wang et al. 2005; Xu et al. 2005; R.H. Xu et al. 2005; Levenstein et al. 2006). Mekanisme melalui mana konsentrasi bFGF yang tinggi ini mengusahakan fungsinya adalah belum selengkapnya diketahui, meskipun satu dari efeknya adalah menekan pensinyalan BMP (R.H. Xu et al.2005). Serum dan satu pengganti serum yang telah digunakan luas memiliki aktifitas mirip BMP yang bermakna, yang adalah mencukupi untuk menginduksi diferensiasi sel-sel ES manusia, dan pengkondisian medium ini pada sel-sel fibroblast akan mengurangi aktifitas ini. Pada konsentrasi bFGF yang sedang (40 ng/mL), penambahan noggin atau penghambat lain pensinyalan BMP secara bermakna menurunkan latar belakang diferensiasi sel-sel ES manusia. Pada konsentrasinya yang lebih tinggi (100 ng/mL), bFGF sendiri menekan pensinyalan BMP dalam sel-sel ES manusia hingga ke level yang sebanding dengan apa yang telah diamati dalam medium terkondisikan fibroblast (fibroblast-conditioned medium), dan penambahan noggin tidak lagi memiliki satu efek bermakna. Penekanan aktifitas BMP dengan sendirinya adalah tidak mencukupi guna mempertahankan sel-sel ES manusia (R.H. Xu et al. 2005), jadi, muncul banyak peran tambahan bagi pensinyalan bFGF. Fakta telah menyarankan bahwa bFGF mengatur ke hulu (up-regulates) ekspresi TGFβ ligands baik dalam sel-sel feeder maupun sel-sel ES manusia, yang sebaliknya, dapat mendorong pembaharuan diri sel-sel ES manusia (Greber et al. 2007). Sel-sel ES manusia sendiri memroduksi FGF, yang nampaknya tidak mencukupi bagi kultur sel dengan kepadatan rendah namun dapat mempertahankan kultur-kultur densitas tinggi untuk berbagai periode yang bervariasi. Penghambatan FGFRs oleh SU5402 menyebabkan diferensiasi sel-sel ES manusia (Drovak et al. 2005), menyarankan adanya ketersangkutan FGFRs. Kejadian-kejadian hilir (downstream) yang dibutuhkan, bagaimanapun, adalah masih tetap belum diketahui benar, namun beberapa fakta mengimplikasikan bahwa terdapat aktifasi dari jalur-jalur ERK dan PI3K (Kang et al. 2005; Li et al. 2007).
Baik Activin maupun TGFβ memiliki efek positif kuat pada proliferasi takterdiferensiasi dari sel-sel ES manusia dalam keberadaan konsentrasi FGFs yang rendah atau sedang, dan berdasarkan studi-studi inhibitor, telah disarankan bahwa pensinyalan TGFβ/Activin adalah esensiil untuk pembaharuan diri sel-sel ES manusia (Beattie et al. 2005; James et al. 2005; Vallier et al. 2005). Bagaimanapun, ketika pensinyalan TGFβ/Activin dihambat dengan SB431542, terjadi satu peningkatan seiring dengan aktifitas pensinyalan BMP (Beattie et al. 2005; James et al. 2005; Vallier et al. 2005), jadi tidaklah jelas apakah pensinyalan melalui TGFβ/Activin adalah semata-mata bekerja untuk menghambat the sister BMP Pathway, atau apakah pensinyalan TGFβ/Activin memiliki hal lainnya, yaitu berupa peran-peran independen. Berbagai studi akhir-akhir ini telah memperlihatkan interaksi-interaksi berganda di antara jalur-jalur FGF, TGFβ, dan BMP dalam sel-sel ES manusia. Activin menginduksi ekspresi bFGF (Xiao et al. 2006), dan bFGF menginduksi ekspresi Tgfβ1/TGFβ1 dan Grem1/GREM1 (satu antagonis BMP) dan menghambat ekspresi Bmp4/BMP4 baik dalam fibroblast feeder maupun dalam sel-sel ES manusia (Greber et al. 2007). Penginduksian timbal balik di antara jalur-jalur FGF dan TGFβ/Activin ini sepertinya menjelaskan kenapa pada dosis bFGF yang tinggi, TGFβ/Activin berasal eksogen hanya memiliki efek yang sangat sedang pada proliferasi sel ES manusia takterdiferensiasi (Ludwig et al. 2006) dan, hal yang sama, pada dosis Activin yang mencukupi, dosis FGF berasal eksogen yang menguntungkan adalah sangat berkurang (Vallier et al 2005; Xiao et al. 2006).
Meskipun faktor-faktor pertumbuhan lainnya telah dilaporkan memiliki satu efek positif pada pertumbuhan sel ES manusia termasuk Wnt (Sato et al. 2004), IGF1 (Bendall et al. 2007), heregulin (Wang et al. 2007), pleiotrophin (Soh et al. 2007), sphingosine-1-phosphate (S1P), dan PDGF (Pebay, et al. 2005), terdapat jelas tambahan jalur penting yang belum teridentifikasi. Sebagai contoh, meskipun bahan-bahan yang telah diketahui dapat meningkatkan efisiensi kultur sel ES manusia klonal seperti misalnya Rock inhibitor Y-27632 (Watanabe et al. 2007), efisiensi yang seperti itu untuk low passage cells, meskipun demikian, tetaplah buruk. Efisiensi yang rendah ini bukanlah semata-mata akibat dari kerusakan sel terkait dengan disosiasi sel, sebagaimana sel-sel ES manusia sendiri-sendiri memang dapat bertahan pada satu frekuensi tinggi bila ditaburkan (seeded) pada satu tingkat kepadatan yang cukup, menyarankan bahwa interaksi-interaksi penting antara sel ES – sel ES belum dapat dijelaskan.
Induced pluripotent stem cells
Pengkloningan Dolly menunjukkan bahwa material trans-acting pada oosit mamalia adalah mencukupi untuk mengubah status epigenetik dari satu nukleus terdiferensiasi menjadi ke satu status totipoten (Wilmut et al. 1997). Temuan ini sepenuhnya mengubah kerangka fakir para ahli biologi perkembangan yang sebelumnya beranggapan hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada mamalia (McGrath dan Solter 1984). Segera setelah derivasi sel-sel ES manusia, disarankan bahwa somatic cell nuclear transfer (SCNT) mungkin dapat digunakan untuk menciptakan sel-sel stem bagi pasien tertentu (patient-specific stem cells). Pada kenyataannya, aplikasi SCNT ke material manusia terbukti sulit, dan hanya baru-baru ini saja tercapai pada primata bukan manusia (Byrne et al. 2007). Dalam studi-studi ini, dua ES cell lines primata diderivasi dari 304 oosit menggunakan SCNT dari sel-sel fibroblas. Jadi, meskipun SCNT adalah secara biologis memungkinkan dilakukan dalam material primata, berbagai jenis pertimbangan efisiensi saat-saat ini akan membuatnya tidak praktis bagi penggunaan klinis manusia secara luas, dan kemajuan cepat saat ini dengan pemrograman ulang menggunakan faktor-faktor tertentukan menyarankan bahwa melalui penggunaan teknik pendekatan lainnya diharapkan akan menjadi lebih praktis.
Keberhasilan yang dicapai SCNT menunjukkan bahwa pemrograman ulang dapat dimediasi oleh faktor-faktor trans-acting. Melalui fusi sel ke sel, sel-sel EC, sel-sel ES dan sel-sel EG adalah juga memiliki kemampuan mengembalikan status terdiferensiasi dari sel-sel somatik ke status yang dimiliki sel-sel stem pluripoten (Miller dan Ruddle 1976, 1977a, b; Tada et al. 1997, 2001; Cowan et al. 2005; Yu et al. 2006), yang menyarankan bahwa adanya kehadiran dari aktifitas pemrograman ulang yang sama pada sel-sel stem pluripoten ini. Namun bukan SCNT juga bukan eksperimen fusi sel ke sel yang menawarkan petunjuk pada seberapa banyak atau faktor-faktor mana saja yang diperlukan. Terdapat dua kelompok yang berhasil menjalankan penyaringan terhadap faktor-faktor yang berkemampuan dalam memrogram ulang sel-sel somatik. Kelompok Yamanaka (Takahashi dan Yamanaka 2006) menjalankan penyaringan mereka dengan menggunakan sel-sel somatik tikus dan mengidentifikasi Oct4, Sox2, c-Myc, dan Klf4 sebagai yang mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel fibroblast tikus menjadi sel-sel yang sangat mirip sel-sel ES tikus. Hasil-hasil ini kemudian dengan cepat dikonfirmasikan dan diperluas pada material tikus (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; ernig et al. 2007) dan selanjutnya berhasil diaplikasikan ke material manusia (Takahashi et al. 2007; Lowry et al. 2008; Park et al. 2008). Kelompok berikutnya secara independen mencari satu penyaringan yang sama menggunakan hanya material manusia, dimulai dengan observasi bahwa sel-sel ES manusia memrogram ulang sel-sel hematopoietik dalam fusi sel ke sel (Yu et al. 2006) dan mengekspresi berlebih kombinasi-kombinasi dari faktor-faktor yang sangat diperkaya dalam sel-sel ES manusia pada sel-sel somatik manusia. Penyaringan dari kelompok kedua ini menghasilkan OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28 sebagai yang mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia, dengan OCT4 dan SOX2 sebagai yang berkemampuan tingkat esensiil dan dua faktor lainnya adalah berkemampuan tingkat kuat (strong) untuk NANOG dan berkemampuan tingkat sedang untuk LIN28 dalam memengaruhi efisiensi bagi pemrograman ulang (Yu et al. 2007). OCT4, SOX2, dan NANOG jelas sekali mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia fetal, neonatal (Yu et al. 2007), dan sel-sel manusia dewasa (J. Yu dan J. Thomson, unpubl.) dalam ketiadaan LIN28. c-Myc dan KLF4 tidak dimasukkan ke dalam daftar calon gen yang diperiksa di sini, sebagaimana kedua gen ini tidaklah diperkaya dalam sel-sel ES manusia. Jadi kedua teknik penyaringan tersebut menunjukkan dua perbedaan pengambilan contoh (sampling) faktor-faktor pemrograman ulang potensiil.
Karena beberapa set gen awal dipilih oleh kedua kelompok periset untuk melengkapi gen-gen yang sebelumnya menunjukkan memiliki satu peran dalam pluripotensi, set-set gen berhasil yang pertama yang diujikan oleh kelompok Yamanaka (Takahashi dan Yamanaka 2006) (24 gen-gen) dan kelompok kedua (14 gen-gen) adalah bertumpang tindih sangat ekstensif. Jadi, dua cara penyaringan tersebut dengan jelas tidak mewakili satu pengambilan sampel yang benar-benar independen dan acak dari faktor-faktor pemrograman ulang potensiil. Adalah masih harus dilihat apakah faktor-faktor lain dapat disubstitusikan untuk OCT4 dan SOX2, meskipun kelihatannya hal ini adalah bahwa beberapa kombinasi lain akan mampu menyubstitusi untuk efek positif dari KLF4/c-Myc dan NANOG/LIN28.
Sel-sel iPS tikus adalah benar-benar sama dengan esl-sel ES tikus. Meskipun sel-sel iPS tikus pada awalnya tidak menyumbang ke germline chimera (Takahashi dan Yamanaka 2006), modifikasi berikutnya dari prosedur dalam menyeleksi sel-sel iPS didasarkan pada reaktifasi promoter OCT4 atau NANOG menghasilkan sel-sel iPS yang lebih mendekati untuk menyerupai sel-sel ES tikus (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; Wernig et al. 2007), termasuk kemampuan dalam menyumbang ke germlines. Seleksi genetik yang diaplikasikan selama pemrograman ulang, bagaimanapun, setelahnya menunjukkan menjadi tidak penting dalam mendapatkan sel-sel iPS yang sangat menyerupai sel-sel ES, seperti misalnya, sebagaimana sel-sel yang demikian dapat diseleksi berdasarkan hanya pada morfologi koloni saja (Blelloch et al. 2007; Meissner et al. 2007). Meskipun tingkat kesamaan yang terdapat di antara sel-sel iPS dengan sel-sel ES tikus adalah tinggi, pembentukan tumor dalam sel iPS tikus chimeric adalah tinggi, yang kemungkinan diakibatkan dari adanya ekspresi c-Myc pada sel-sel somatik diderivasi dari sel iPS (iPS cell-derived somatic cells) (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; Wernig et al. 2007). Yang lebih terkini, telah ditunjukkan bahwa OCT4, SOX2, c-Myc, dan KLF4 adalah cukup untuk memungkinkan pemrograman ulang baik bagi sel-sel somatik tikus maupun manusia, walaupun pada satu efisiensi yang jauh lebih rendah dibandingkan bila c-Myc ikut disertakan (Nakagawa et al. 2008).
Sel-sel iPS manusia, yang diproduksi baik oleh ekspresi OCT4, SOX2, c-Myc, dan KLF4 ataupun oleh OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28 adalah juga benar-benar sama dengan sel-sel ES manusia. Sel-sel ini secara morfologis adalah sama dengan sel-sel ES manusia, mengekspresikan antigen-antigen dan gen-gen permukaan sel-spesifik ES yang tipikal, berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, dan membentuk teratoma berkandungan derivatif-derivatif terdiferensiasi dari ketiga lapis benih utama bila diinjeksikan ke dalam tikus-tikus dengan gangguan imun. Memang, pluripotent cell lines yang baru ini adalah cocok dengan semua kriteria asli yang diajukan bagi sel-sel ES manusia (Thomson et al. 1998), kecuali mereka adalah tidak diderivasi dari embryo. Pemrograman ulang oleh Oct4, Sox2, Nanog, dan Lin28 belum dilaporkan bagi sel-sel tikus, meskipun Nanog dilaporkan tidak untuk memengaruhi frekuensi dari pemrograman ulang sel-sel tikus dalam kondisi-kondisi kultur sel ES tikus (Takahashi dan Yamanaka 2006). Anehnya, ekspresi Nanog memang besar sekali meningkatkan kemampuan sel-sel ES tikus untuk program ulang sel-sel stem syaraf lewat fusi sel ke sel (hingga 200 kali lipat) (Silva et al. 2006). Mempertimbangkan temuan terakhir bahwa EpiSCs tikus berbagi fitur kunci dengan sel-sel ES manusia, termasuk ketidakbergantungannya pada bFGF dan TGFβ/Activin dan kurangnya kebergantungan pada LIF (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007), hal ini akan menjadi penting dalam mengusahakan pemrograman ulang sel-sel tikus dalam kondisi-kondisi kultur EpiSCs/sel ES manusia.
Telah terdapat literatur ekstensif tentang Oct4, Sox2,, dan Nanog sebagai regulator-regulator kunci pluripotensi, namun mekanisme melalui mana sejumlah faktor-faktor transkripsi terbatas tersebut secara bersama-sama bekerja (orchesterate) untuk menghapus status terdiferensiasi hanyalah baru tahap sedang mulai dipelajari. Oct4, satu anggota dari famili POU faktor-faktor transkripsi, adalah esensiil baik untuk derivasi maupun untuk mempertahankan sel-sel ES (Pesce et al. 1998). Ekspresi Oct4 pada tikus terbatas pada embryo-embryo usia awal dan sel-sel benih (Scholer et al. 1998), dan penghilangan homozygous (homozygous deletion) dari gen ini menyebabkan satu kegagalan dalam pembentukan ICM (Nichols et al. 1998). Bagi sel-sel ES tikus agar tetap takterdiferensiasi, ekspresi Oct4 harus dipertahankan di dalam satu rentangan kritis. Ekspresi berlebih dari protein ini menyebabkan diferensiasi menjadi endoderm dan mesoderm, sementara penurunan ekspresi mengawali diferensiasi menjadi trofoblas (Niwa et al. 2000). Ekspresi Oct4 adalah juga merupakan satu penanda dari sel-sel ES manusia, dan pengaturannya ke hilir mengawali diferensiasi dan ekspresi penanda-penanda trofoblas (Matin et al. 2004). Sox2, satu anggota dari famili Sox dari faktor-faktor transkripsi box HMG, juga memainkan satu peranan kunci dalam pembaharuan diri dan kepluripotensian sel-sel ES. Seperti halnya dengan Oct4, ekspresi Sox2 dalam sel-sel ES perlu di pertahankan dalam satu rentangan kritis. Ekspresinya di luar rentangan tersebut mengawali untuk diferensiasi sel-sel ES (Fong et al. 2008; Kopp et al. 2008). Nanog merupakan satu homeodomain-bearing transcription factor. Ekspresinya, sama seperti Oct4, menurunkan dengan cepat diferensiasi sel-sel ES (Chambers et al. 2003; Mitsui et al. 2003). Bagaimanapun, tidak seperti Oct4, ekspresi berlebih Nanog dalam sel-sel ES tikus memungkinkan pembaharuan diri mereka menjadi tidak bergantung LIF/STAT3, meski Nanog nampaknya tidak menjadi satu target hilir langsung dari jalur LIF/STAT3 (Chambers et al. 2003). Ekspresi berlebih Nanog juga memungkinkan pertumbuhan takbergantung feeder (independent-feeder growth) dari sel-sel ES manusia dan memperbaiki efisiensi kloningnya (Darr et al. 2006), baik dalam hal penyumbangan sifat-sifat (property likely contributing) hingga iPS clone recovery yang berhasil. Baik di dalam sel-sel ES tikus maupun manusia, menurunnya ekspresi Nanog mempredisposisi untuk diferensiasi bagi extraembryonic lineages (Chamber et al. 2003; Mitsui et al. 2003; Hyslop et al. 2005), namun ekspresi Nanog adalah tidak secara absolut dibutuhkan bagi pluripotensi sel-sel ES, sebagaimana sel-sel ES dapat mempertahankan kemampuan akan pembaharuan diri dalam ketiadaannya (Chambers et al. 2007). Melalui satu analisis genome-wide location, DNA-binding sites dari Oct4, Sox2, dan Nanog telah dipelajari secara ekstensif (Boyer et al. 2005). Sebagai tambahan untuk pengaturan transkripsi mereka (Catena et al. 2004; Kuroda et al. 2005; Okumura-Nakanishi et al. 2005), ketiga jenis faktor transkripsi ini dapat juga mengaktifasi atau menekan ekspresi dari berbagai jenis gen lainnya, termasuk faktor-faktor transkripsi yang penting bagi perkembangan.
Peranan dari c-Myc, Klf4, dan Lin28 dalam kepluripotensiannya adalah kurang dipelajari, dan peranan mereka di dalam pemrograman ulang adalah bahkan kurang jelas. Ekspresi berlebih c-Myc di dalam sel-sel ES tikus membolehkan pembaharuan diri yang takbergantung LIF (LIF-independent self renewal) (Cartwright et al. 2005), namun ekspresi berlebih c-Myc di dalam sel-sel ES manusia mengawali kematian sel dan diferensiasi (Sumi et al. 2007). Jadi, ini merupakan hal yang agak mengejutkan bahwa ekspresi c-Myc memperbaiki efisiensi derivasi sel iPS manusia, dan sulitnya pencapaian level kritis c-Myc baik dalam starting fibroblast maupun the resulting iPS cells adalah merupakan satu penjelasan yang masuk akal bagi bagaimana telah terbukti sulitnya mengaplikasikan faktor-faktor pemrograman ulang tikus ke pada sel-sel manusia. Studi-studi terkini tentang sel-sel tikus menyarankan bahwa pemrograman ulang adalah lebih merupakan satu proses lambat yang ditandai oleh satu pengaturan ke hulu yang bertahap gen-gen penanda ES-cell specific dan memerlukan ekspresi dari gen-gen pemrograman ulang untuk sedikitnya 12 d (Brambrink et al. 2008), menyarankan bahwa sel-sel perlu untuk maju melalui divisi sel berganda (multiple cell divisions). Satu kemungkinannya adalah bahwa c-Myc membantu dalam pemrograman ulang sel-sel somatik manusia melalui satu kemampuannya mengarahkan divisi sel (cell division), yang telah ditunjukkan menjadi penting dalam pemrograman ulang sel somatik baik pada SCNT maupun pada eksprerimen-eksperimen fusi sel-ke-sel (Fulka et al. 1996; Sullivan et al. 2006). Klf4 akhir-akhir ini telah menunjukkan untuk berbagai banyak target-target DNA dengan Nanog di dalam sel-sel ES tikus, dan pengaturannya ke hilir dengan anggota-anggota Klf lainnya mengawali untuk diferensiasi (Jiang et al. 2008). Lin28 akhir-akhir ini telah menunjukkan mengeblok pemrosesan differentiation-inducing microRNAs (Viswanathan et al. 2008). Lokus Lin28 diidentifikasi sebagai satu lokasi pengikatan (binding site) bagi Oct4, Sox2, dan Nanog dalam satu genome-wide location analysis (Boyer et al. 2005), menyarankan bahwa ketiga faktor-faktor pemrograman ulang ini mungkin menginduksi ekspresinya dan, melalui level-level penginduksian yang tepat, memungkinkan pemrograman ulang terlaksana di dalam ketiadaannya. Level-level ekspresi Lin28 adalah juga penting di dalam eksperimen-eksperimen pemrograman ulang, sebagaimana pada level-level ekspresi yang tiggi, ia adalah toksik (J. Yu dan J. Thomson, unpubl.).
Efisiensi dari pemrograman ulang sel-sel fibroblas dewasa adalah masih rendah (<0.1%), namun apakah frekuensi ini mencerminkan kebutuhan akan ketepatan waktu, keseimbangan, dan level-level absolut dari ekspresi gen-gen pemrograman ulang, atau seleksi bagi perubahan-perubahan genetik/epigenetik yang jarang baik yang nampak pada saat-saat awal dalam populasi sel-sel somatik ataukah didapatkan selama kultur pemrograman ulang yang memanjang, masih tetap belum terpecahkan. Nampaknya bahwa integrasi retroviral menjadi lokasi-lokasi spesifik di dalam genom sel somatik adalah tidak dibutuhkan (Aoi et al. 2008). Tambahannya, sel-sel iPS sepertinya tidaklah berasal dari sel-sel stem pluripoten jarang yang telah ada di dalam kultur sel somatik, sebagaimana sel-sel iPS berasal liver menunjukkan memiliki satu asal (origin) sel-sel yang mengekspres albumin (Aoi et al. 2008), dan sel-sel iPS yang akhir-akhir ini telah diambilkan dari sel-sel β pankreas (Stadtfeld et al. 2008) dan sel-sel B dewasa (Hanna et al. 2008). Penyertaan faktor-faktor tambahan, seperti misalnya TERT, gen-gen T, dan pengaturan ke hilir dari faktor-faktor transkripsi yang spesifik sel somatik (misalnya, pengeturan ke hilir Pax5 di dalam sel-sel B dewasa), dapat memperbaiki efisiensi proses pemrograman ulang (Hanna et al. 2008; Mali et al. 2008). Bagaimanapun, sejak klon-klon yang terprogram ulang dapat menjadi secara konsisten kembali pulih dan berbanyak diri dengan keberadaan kombinasi-kombinasi gen, untuk berbagai aplikasi praktis, efisiensi pemrograman ulang yang rendah saat ini bukanlah sebenarnya merupakan satu isu, kecuali kalau pemrograman ulang menyeleksi bagi kejadian-kejadian genetik atau epigenetik tidak normal yang secara stabil dipropagasi di dalam resulting iPS cell lines. Guna membantu memecahkan isu-isu ini, dan bagi aplikasi-aplikasi klinis yang potensiil, metode-metode untuk menginduksi sel-sel iPS yang tetap mempertahankan genom tidak berubah adalah esensiil dan merupakan hal yang sedang secara aktif dicari oleh banyak pihak.
Simpulan
Sejak saat pertama pendemonstrasian bahwa komponen sel EC dari teratokarsinoma adalah satu sel stem pluripoten, famili dari pluripotent stem cell lines yang dapat membentuk tertoma telah bertumbuh yang di dalamnya adalah termasuk sel-se ES, EpiSCs, EG, mGSCs, dan pula saat ini telah dikenal sel-sel iPS. Namun, meskipun melalui lebih dari 40 tahun riset tentang sel-sel stem pluripoten, hingga kini masih tetap belum memungkinkan untuk menuangkannya dalam satu paragraf tulisan sederhana yang mampu menjelaskan mengapa sel-sel khusus ini dapat berdiferensiasi menjadi kesemua tipe sel, tetapi yang lainnya tidak bisa demikian. Kekurangan pemahaman kita dalam hal status pluripoten adalah dipertunjukkan oleh fakta bahwa meskipun kelompok periset terkini saat-saat ini telah menunjukkan bahwa OCT4, SOX2, dan NANOG adalah mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia, namun hal itu tidaklah memrediksi kemampuan ini terlebih dahulu, namun setidaknya tidak lagi diperlukannya pengerjaan penyaringan yang cukup membuang waktu di mana selanjutnya dapat mempersempit daftar hingga menjadi hanya ke tiga faktor ini. Bagaimanapun, meski tiga faktor spesifik ini dipertimbangkan menjadi faktor-faktor kunci dalam kepluripotensialan, bahkan dengan peninjauan ke belakang dan dengan adanya ledakan data terkini tentang genome-wide protein-DNA dan interaksi-interaksi protein-dengan-protein mereka, adalah masih tetap tidak memungkinkan untuk menjelaskan bagaimana gen-gen ini (atau berbagai kombinasi yang dengan sukses digunakan oleh beberapa kelompok periset lain) adalah mencukupi unuk menginduksi proses pemrograman ulang, atau memrediksi apakah kombinasi-kombinasi faktor-faktor tambahan kemungkinan juga menjdi sukses dalam memrogram ulang sel-sel somatik.
Transplatasi seluler berbasis sel-sel iPS memiliki potensi klinis sangat besar, namun satu kedokteran regeneratif yang sejati haruslah mengarahkan sel-sel endogen untuk berpartisipasi dalam proses perbaikan jaringan rusak yang tidak dapat secara normal melakukan sendiri regenerasinya, dan regenerasi yang seperti itu haruslah memerlukan perubahan-perubahan nonfisiologis dalam status diferensiasi. Saat ini, satu perubahan dramatik yang seperti itu yaitu konversi satu sel somatik menjadi ke satu sel stem pluripoten telah tercapai, yang dengan jelas penyaringan yang sama seperti itu dapat digunakan untuk menguji apakah transisi-transisi nonfisiologis yang lainnya dapat diinduksikan di antara tipe-tipe sel lainnya melalui sejumlah faktor yang terbatas. Bagaimanapun, dengan ruang pengombinasian faktor-faktor yang luas yang dapat diujikan bagi setiap pasangan tipe-tipe sel yang diberikan, kemajuan dalam memrediksi faktor-faktor yang mana, bila ada, yang dapat memediasi transisi seperti itu dan kemudian mereka menjadi esensiil. Seperti halnya pengkloningan Dolly telah menginspirasi para peneliti untuk mencari faktor-faktor tertentu yang dapat memediasi proses pemrograman ulang menjadi ke satu status takterdiferensiasi, derivasi sel-sel iPS oleh satu set kecil faktor-faktor akan mengilhami para peneliti untuk mengusahakan penginduksian yang sama di antara tipe-tipe sel lainnya, sebagaimana kelihatannya saat ini jauh lebih banyak yang masuk akal bahwa eksperimen-eksperimen seperti itu akan berhasil. Bila eksperimen-eksperimen tersebut ternyata terbukti berhasil, warisan dari sel-sel iPS dapat merupakan kelahiran kedokteran regeneratif yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar