ABSTRAK
Dari keseluruhan kasus fraktur terkait osteoporosis yang terjadi setiap tahunnya, fraktur kompresi vertebra (vertebral compression fractures / VCF) merupakan yang tersering. Diperkirakan sedikitnya 20 – 25% pasien dengan VCF memiliki gejala cukup mengganggu sehingga memerlukan perhatian medis. Bagaimanapun, penanganan VCF tanpa operasi secara poliklinis seringkali berhasil pada hanya 75% - 80% kasus. Dalam tulisan ini akan dibahas VCF selengkapnya beserta alternatif tindakan bedah, termasuk indikasi intervensi bedah, sekilas teknik bedah, hasil-hasil klinis, komplikasi, dan wilayah penelitiannya di masa datang.
PENDAHULUAN
Dalam kondisi homeostatik normal, produksi dan degradasi tulang terjadi secara seimbang. Bergesernya keseimbangan menuju ke satu kondisi di antara keduanya dapat merupakan pembentukan tulang baru ataupun peluruhan tulang yang sudah terbentuk sebelumnya. Berbagai kelainan yang mendorong keseimbangan tersebut ke satu arah di antaranya dapat dikategorikan sebagai gangguan kuantitatif (perubahan tulang normal dalam hal ukuran dan jumlah) atau kualitatif (perubahan tulang normal dalam hal properti). Osteoporosis sendiri merupakan gangguan dari jenis kuantitatif.
OSTEOPOROSIS
Definisi & Epidemiologi
WHO mendefinisikan osteoporosis melalui pembandingan keadaan kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD) seseorang dengan referensinya dari rerata BMD populasi muda. Orang kemudian dikategorikan memiliki masa tulang rendah (low bone mass), osteoporosis, atau osteoporosis parah. Selanjutnya, diagnosis osteoporosis diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder bergantung etiologi (Tabel 1).
Berdasarkan studi populasi, diperkirakan sedikitnya 10 juta orang di Amerika Serikat menderita osteoporosis, sementara 34 juta lainnya didiagnosis memiliki masa tulang rendah. Osteoporosis cenderung menyerang wanita 4 kali lebih banyak dari pria dan ditemukan lebih banyak pada ras Kaukasia dan keturunan Asia. Insiden fraktur tulang sekunder akibat osteoporosis pada usia lebih tua dari 50 tahun adalah 1 dari 2 untuk wanita dan 1 dari 4 untuk pria.
Kelompok fraktur yang terjadi sekunder akibat osteoporosis berada dalam satu kelompok yang membutuhkan sediaan dana rawatan berklasifikasi major pada industri kesehatan. Sebagai contoh, diperkirakan sedikitnya terjadi 1.5 juta fraktur yang berkaitan osteoporosis di negara Amerika Serikat dalam tahun 2001 dengan kebutuhan biaya rawatan sekitar 17 miliar dolar Amerika, atau mendekati 47 juta dolar sehari. Dengan semakin bertambahnya populasi usia di atas 50 tahun, kebutuhan biaya rawatan akan mencapai empat kali lipatnya di tahun 2030.
Modalitas Radiologi Diagnostik
Modalitas radiologi berganda dapat digunakan untuk mengevaluasi BMD dan mendiagnosis osteoporosis. Radiografi, ultrasound, dan computed tomography (CT) dapat digunakan untuk mengukur BMD tulang axial maupun apendikular. Baku emas berbagai modalitas ini adalah dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA). DEXA adalah alat yang paling sering digunakan dan merupakan teknologi pengukur BMD dengan hasil ukurannya paling mudah dapat direproduksi, pula memiliki angka sensitifitas dan spesifisitas tertinggi.
Faktor Risiko
Banyak faktor dapat menyebabkan seseorang memiliki risiko berkembang menjadi osteoporosis (lihat Tabel 2).
Osteoporosis primer dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 2. Osteoporosis tipe 1, atau disebut juga osteoporosis akibat menopause atau defisiensi estrogen, kebanyakan ditemukan pada wanita Kaukasia dan wanita turunan Asia. Bertambahnya usia menempatkan seseorang ke dalam risiko berkembangnya osteoporosis tipe 2, yang juga dikenal sebagai senile osteoporosis. Sebagaimana halnya pada berbagai keadaan penyakit, faktor keturunan dapat meningkatkan kerentanan seseorang mengalami fraktur. Riwayat keluarga dengan masa tulang yang rendah atau memiliki saudara langsung dengan fraktur akibat kekeroposan dapat meningkatkan risiko berkembang menjadi osteoporosis. Menopause awal, baik akibat alamiah maupun pembedahan ataupun amenore disebabkan oleh berbagai kondisi seperti gangguan makan atau latihan fisik berlebih, juga meningkatkan risiko osteoporosis. Berbagai penyakit kronis atau obat-obatan untuk menanganinya dapat memiliki efek samping yang dapat merusak tulang atau mengganggu pembentukannya yang berakibat osteoporosis. Akhirnya, pilihan gaya hidup tertentu, termasuk diet yang buruk, merokok, penggunaan alkohol berlebih, atau kurangnya latihan berbeban fisik, juga meningkatkan risiko. Melalui pengurangan berbagai faktor risiko tersebut, orang-orang yang berada pada keadaan berrisiko tinggi untuk berkembang menjadi osteoporosis kemungkinan dapat mencapai puncak masa tulang yang lebih tinggi sehingga berharapan dapat menunda atau mencegah dimulainya osteoporosis.
Terapi Medik
Disamping usaha-usaha mengurangi faktor risiko, terapi medik untuk osteoporosis kadangkala diperlukan. Estrogen, bifosfonat, dan kalsitonin tetap merupakan obat-obatan yang paling banyak diresepkan dalam terapi osteoprosis. Obat-obatan lainnya yang mungkin digunakan adalah termasuk raloksifen (merupakan modulator reseptor estrogen yang digunakan pada orang-orang dengan risiko tinggi berkembangnya kanker mama atau endometrium) dan teriparatid (satu derivat hormone paratiroid manusia). Terapi medik untuk osteoporosis telah terbukti menurunkan insiden fraktur vertebra sebesar 40 – 60% setelah hanya 1 tahun pengobatan. Bagaimanapun, disamping efikasi terapi medik dalam mengobati osteoporosis seperti tersebut, hanya 50% dari wanita-wanita dengan VCF didiagnosis secara kebetulan saat melakukan pemeriksaan sinar-x thoraks mulai menggunakan jenis terapi farmakologis untuk penyakit yang mendasarinya.
FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA
Epidemiologi
Dari perkiraan 1.5 juta kasus fraktur terkait osteoporosis yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, VCF merupakan yang paling sering, yaitu sejumlah mendekati 700,000 cedera. Keseluruhan insiden VCF pada wanita di atas usia 50 tahun diperkirakan mendekati 17.8/1000. Setelah diteliti berdasar kelompok umur, angka kejadiannya terlihat meningkat dengan meningkatnya usia: insiden 5.8/1000 terjadi pada kelompok usia 50 – 54 tahun, meningkat menjadi 26.1/1000 pada kelompok usia 75 – 79 tahun. Dalam satu studi pada sedikitnya 2700 wanita (rerata usia, 74 tahun) didapatkan insiden relatif VCF 6.6% setelah 1 tahun, meningkat menjadi 19% setahun setelah mengalami VCF. Peneliti lain mendapatkan angka risiko untuk timbulnya patah berikutnya meningkat 5 kali lipat setelah VCF awal dan 12 kali lipat setelah 2 atau lebih VCF. Penelitian lainnya yang memusatkan pada BMD mendapatkan risiko relatif berkembang menjadi fraktur meningkat sebanyak 4 – 6 kali dengan satu penurunan 2-SD pada BMDnya. Namun, bagaimanapun, baik hasil BMD yang rendah maupun sebelumnya pernah VCF tidaklah dapat menunjukkan prediksi orang yang bagaimana yang akan mendapatkan VCF baru.
Tampilan Klinis
Sedikitnya 20 - 25% orang yang menderita VCF mengeluhkan gejala yang cukup parah untuk datang memeriksakan diri mereka. Pasien dapat mengeluhkan berbagai variasi keluhan (lihat Tabel III), di mana yang tersering adalah nyeri.
Dalam anamnesis seringkali didapat bahwa nyeri biasanya dimulai setelah hanya mengalami cedera ringan saja. Nyeri dapat direproduksi melalui pemeriksaan dengan menekan kuat prosesus spinosus pada level vertebra yang terganggu. Nyeri cenderung bersifat postural, memberat dalam posisi tegak, dan dapat menyebabkan seseorang bergantung dengan kursi roda atau tinggal di tempat tidur. Deformitas akibat VCF dapat menimbulkan perubahan tampilan secara visual (kifosis, menonjolnya abdomen) dan perubahan psikososial (depresi). Meningkatnya kifosis akiba VCF telah diketahui berkaitan dengan menurunnya kekuatan togog dan fungsi pulmoner. Pasien dengan VCF berkemungkinan 2 – 3 kali meninggal sekunder akibat penyebab pulmoner seperti penyakit obstruksi pulmoner kronik atau pneumonia, dan secara keseluruhan, mereka memiliki risiko relatif sedikit meningkat untuk masuk rumah sakit dan kematian. Retensio urin dan gejala gastrointestinal adalah juga merupakan manifestasi yang sering. Defisit neurologis dapat juga terjadi, namun gejala ini biasanya membaik, dan kurang dari 5% pasien akan terus mengeluh sehingga membutuhkan dekompresi melalui pembedahan.
Klasifikasi & Evaluasi
Umumnya VCF diklasifikasi secara sederhana berdasarkan tampilan morfologinya menjadi: wedge, crush, atau bikonkaf (lihat Gambar 1).
Fraktur tipe wedge dan crush terjadi lebih banyak pada regio thorakal tengah dan thorakolumbal, sementara tipe bikonkaf terjadi lebih sering pada regio lumbal. Tipe crush dikaitkan dengan kehilangan tinggi vertebra (vertebral height) terberat (vertebra plana merupakan keadaan yang ekstrem). Telah diketahui bahwa jumlah kasus tipe wedge jauh melebihi jumlah tipe lainnya, yaitu lebih dari 50% keseluruhan VCF. Tipe bikonkaf 17%, crush 13%, dan berbagai kombinasi dari ketiga tipe merupakan sisanya.
Memperkirakan derajat nyeri dan disfungsi dengan berdasar gambaran radiologi adalah masih terjadi silang pendapat. Beberapa peneliti tidak mampu menunjukkan hubungan antara tipe fraktur dan derajat kolaps dengan usia pasien, jenis kelamin, atau level nyerinya. Bagaimanapun, peneliti lainnya dapat mengidentifikasi 2 tipe pasien dan mengkategorikannya menjadi kelompok dengan berdasar pada pola frakturnya. Satu kelompok menunjukkan jenis fraktur yang berat yang tidak berubah dengan berjalannya waktu dan disertai dengan keadaan akut, parah, dan rasa nyeri tajam yang secara bertahap kemudian membaik dalam waktu 4 hingga 8 minggu; penanggulangan nyeri dan mobilisasi awal ditujukan bagi kelompok pasien ini. Kelompok lainnya menunjukkan perubahan radiologis ringan, berlanjut kemudian terjadi kolaps dan debilitasi, dan merasakan nyeri yang tumpul dan kurang parah, kemudian menyembuh dalam waktu 6 hingga 18 bulan; penanggulangan jangka panjang (hormon pengganti, suplemen makanan) dan alat penyangga (bracing) digunakan untuk mencegah kolaps berlanjut.
Secara histologis, osteoporosis menyebabkan atrofi trabekel tulang dan meningkatnya ruang antar trabekel, khususnya pada bagian anterosuperior korpus vertebra. Dengan adanya defek anterosuperior ini menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih lemah dan lebih mudah cedera dibandingkan di bagian daerah lain dari korpus. Banyak di antara pasien usia lanjut juga menderita penyakit degenerasi diskus, yang menyebabkan tekanan intradiskal normal bergeser dan beban kemudian terpusatkan pada bagian-bagian perifer korpus vertebra. Kedua gangguan ini biasanya terjadi secara bersamaan pada pasien-pasien usia tua sehingga untuk beberapa hal keadaan tersebut dapat menjelaskan tingginya prevalensi fraktur tipe wedge dibandingkan tipe lainnya.
Pemilihan Pemeriksaan Imejing
Banyak macam pemeriksaan imejing yang dapat digunakan untuk evaluasi VCF. Foto sinar-x tetap merupakan yang utama dalam diagnosis. Banyak di antara kasus VCF ternyata dideteksi secara kebetulan pada pemeriksaan radiografi thoraks. Sekali diagnosis VCF ditegakkan, imejing tambahan lebih lanjut dapat digunakan untuk evaluasi cedera yang ada, yang bila diindikasikan, maka CT-scan sangat baik untuk menentukan kondisi anatomi tulang. Bone scan sangat sensitif, namun akan tetap dapat positif hingga 2 tahun setelah cedera, sehingga merupakan jenis uji yang buruk untuk menentukan kronisitas. Magnetic resonace imaging (MRI) dapat merupakan penyedia informasi yang bermanfaat. Meski tidak sebaik CT-scan dalam mengevaluasi anatomi tulang, MRI sangat membantu dalam mengevaluasi jaringan lunak sekitar dan dalam penentuan kronisitas cedera, juga banyak membantu dalam penentuan penyakit yang mendasari (osteoporosis ataukah lesi patologis).
Modalitas Terapi Non-operatif
Sebagian terbesar penderita VCF tidak mencari bantuan medis setelah mereka mengalami cedera. Adapun alasan utama penderita datang memeriksakan diri adalah karena adanya rasa nyeri. Umumnya, pasien yang tidak memerlukan tirah baring dapat mengontrol rasa nyeri mereka dengan melakukan modifikasi aktifitas, bracing, atau alat bantu bersamaan dengan pemakaian analgetik narkotik. Setelah pasien merasa nyaman bergerak, satu rejimen terapi fisik dapat dimulai untuk rehabilitasi lebih lanjut. Untuk lesi-lesi patologis, khususnya tumor radiosensitif (mama, prostate, myeloma), maka pemberian radioterapi dapat berefek menurunkan rasa nyeri pada lebih dari 50% pasien. Obat-obat seperti teriparitid, calcitonin telah diketahui tidak hanya bermanfaat dalam mengobati nyeri namun juga memberi keuntungan tambahan dalam hal mengobati osteoporosis yang ada. Penanganan secara poliklinis tidak memberikan hasil yang memuaskan pada 15 – 20% kasus yang mencari bantuan medis setelah VCF. Pasien-pasien seperti ini biasanya membutuhkan rawat inap di rumah sakit untuk tirah baring dan analgetik intravena. Tirah baring pada pasien usia tua, bagaimanapun, adalah dikaitkan dengan keadaan dekondisi prograsif. Pasienpasien usia tua berrisiko tinggi berkembangnya komplikasi paru (pneumonia), dekubitus, trombosis vena dalam, dan infeksi saluran kencing. Tambahannya, diketahui bahwa BMD menurun 0.25 - 1% perminggu tirah baring. Untuk pasien-pasien usia tua, yang juga osteoporotik, tirah baring jangka lama dapat dengan cepat meningkatkan risiko mereka menderita tidak hanya VCF namun juga fraktur jenis lainnya akibat kekeroposan tulang.
Modalitas Terapi Operatif
Beberapa modalitas terapi operatif dapat digunakan setelah intervensi nonopeatif dinyatakan gagal. Adapun indikasi melakukan intervensi operatif adalah nyeri tak tertahankan, defisit neurologi progresif, dan instabilitas. Teknik operatif yang saat ini dipergunakan dalam menangani VCF adalah: dekompresi dan fusi (anterior dan/atau posterior), vertebroplasty (VP), dan kyphoplasty (KP).
Teknik Dekompresi & Fusi (Anterior dan/atau Posterior)
Kurang dari 5% orang yang mencari terapi medis setelah mengalami VCF memerlukan operasi dekompresi dan fusi. Intervensi bedah dalam menangani pasien dengan osteoporosis menghadapi banyak tantangan. Hal ini oleh karena kualitas tulang yang buruk, proses tanam implan yang buruk, dan meningkatnya kejadian wire cutout. Kasus seringkali telah parah sehingga memperpanjang waktu operasi, juga waktu anesthesi, dan lebih membutuhkan transfusi darah. Akhirnya, pasien-pasien usia tua yang terikat rawatan rumah atau institusi adalah seringkali bermasalah dari aspek nutrisinya dalam keadaan menurun, angka mortalitas meningkat, dan berpotensi penyembuhan pascaoperatif yang menurun.
Beberapa teknik telah dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi pasien-pasien yang juga dengan osteoporosis. Titik-titik fiksasi pada segmen multipel dapat dimungkinkan dengan menggunakan konstruksi implan yang lebih panjang. Oleh karena lamina korpus vertebra adalah berkomposisi tulang kortikal yang lebih padat, pemakaian wire sublaminer untuk menambah fiksasi memungkinkan didapatkannya konstruksi yang lebih kuat. Ukuran skrup pedikel dibuat lebih besar, dan bila diperlukan, diperkuat lagi dengan polymethylmethacrylate (PMAA) atau sulih tulang. Digabungkannya beberapa strategi tersebut pada pasien-pasien dengan osteoporosis dapat lebih menguatkan konstruksi operatif dengan hasil pembedahan yang lebih baik.
Vertebroplasti (VP) & Kifoplasti (KP)
Teknik & Indikasi
VP pertamakalinya digunakan oleh Galibert pada tahun 1987 untuk mengobati nyeri pada hemangioma vertebralis (lihat gambar 2). KP dikenalkan pada 1998 untuk mengobati nyeri osteoporotik VCF. Kedua prosedur merupakan teknik invasif minimal dan termasuk menginjeksikan semen tulang secara perkutan ke dalam korpus vertebra yang kolaps. Perbedaan antara VP dan KP dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Indikasi saat ini untuk dilakukan VP dan KP adalah pada pasien-pasien dengan nyeri yang sangat yang menderita VCF sekunder akibat osteoporosis, myeloma multipel, atau pada lesi-lesi metastatik osteolitik. Beberapa kontraindikasi adalah usia muda, wanita hamil, pasien dengan cedera energi-tinggi, infeksi lokal vertebra, atau gangguan pembekuan darah.
Reduksi Fraktur
Satu perbedaan antara VP dan KP adalah dalam hal bagaimana korpus vertebra dipersiapkan sebelum dilakukan insersi semen tulang. Reduksi fraktur didapatkan selama VP oleh satu kombinasi tekanan ke arah luar yang dihasilkan oleh semen selama injeksinya dan dengan teknik memosisikan pasien. Pada jenis fraktur yang statik (fraktur-fraktur yang tanpa satu celah radiolusen intravertebral nyata nampak dan mudah bergerak), rata-rata peningkatan tinggi bagian anterior korpus setelah VP adalah 2.5 mm. Pada jenis fraktur yang mudah bergerak dan dengan teknik memosisikan pasien, kadangkala dapat dicapai tinggi bagian anterior korpus hingga 40 – 70 % dari normal.
Teknik KP memerlukan satu jenis balon yang dapat kembungkan untuk membuat satu kavitas dalam korpus vertebra sebagai tempat semen tulang diletakkan. Balon ini juga membantu dalam mereduksi fraktur, memperbaiki kifosis dan tinggi korpus vertebra. Secara keseluruhan, tinggi vertebra seringkali dapat diperbaiki hingga 50 – 70% pascaoperatif, dan kifosis segmental 6º hingga 10º. Bagaimanapun, bila kronisitas cedera ikut diperhitungkan (disebut akut, bila <10>4 bulan) maka, perbaikan tinggi korpus yang dicapai, reduksi kifosis dan pengurangan nyeri terjadi setelah pengobatan fraktur akut dilaksanakan dibandingkan sebaliknya bila dilaksanakan pada fraktur yang kronis.
Komplikasi
Tidak ada satu prosedur yang tidak menimbulkan komplikasi, meski jarang terjadi. Tabel VI berikut menunjukkan daftar komplikasi kedua prosedur.
Ekstravasasi Semen
Extravasasi semen dapat terjadi akibat overflow semen, outflow semen melalui celah-celah korteks, dan penempatan semen yang tak tepat. Insiden extravasasi pada teknik VP bervariasi antara 30 – 70%, sementara pada teknik KP kurang dari 10%. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan jauh lebih rendahnya insiden extravasasi pada teknik KP. Pertama, penggunaan balon selama KP akan membuka satu ruang dalam korpus, membentuk satu kavitas dengan tulang kanselus terimpaksi di sekelilingnya. Rongga tulang kompak ini berfungsi sebagai barier dalam membantu mencegah extravasasi semen. Kedua, volume kavitas dan juga jumlah semen yang digunakan akan sangat mudah ditentukan melalui pengukuran jumlah cairan yang digunakan untuk mengembangkan balon sehingga mencegah penggunaan semen secara berlebih dan juga overflow semen. Ketiga, Sementara VP merupakan sistim bertekanan tinggi, kavitas yang terbentuk selama KP menyediakan satu lingkungan bertekanan rendah yang memungkinkan semen berviskositas tinggi digunakan dengan tekanan injeksi yang lebih rendah, di mana keduanya ini menurunkan risiko exravasasi melalui celah-celah korteks.
Sistim sirkulasi balik (vena) vertebra juga merupakan penyedia lokasi lain bagi timbulnya extravasasi dan embolisasi semen. Telah banyak dilaporkan kasus emboli semen ke paru dan bahkan ke otak. Evaluasi secara histologis contoh vertebra dengan VP dan KP yang diambil dari mayat menunjukkan partikel-partikel semen dalam ruang-ruang vaskuler. Dalam satu analisis kritis pada sistim sirkulasi balik vertebra dapat mengidentifikasi beberapa lokasi yang memungkinkan terjadinya extravasasi dan embolisasi. Analisis tersebut menunjukkan bahwa peningkatan tekanan sirkulasi balik vertebra intraoperatif dapat menurunkan perbedaan tekanan antara semen yang diinjeksikan dengan sistim sirkulasi balik, dan bahkan mungkin disebalikkannya, sehingga menurunkan risiko embolisasi. Peningkatan tekanan sirkulasi balik vertebra dapat ditimbulkan melalui teknik anesthesi pada pasien-pasien dibawah pengaruh anesthesi umum (lihat juga Tabel VI).
Fraktur pada Level Korpus Vertebra Bersebelahan
Insiden fraktur korpus vertebra bersebelahan setelah VP dan KP berturut-turut bervariasi antara 12 – 50% dan 20 – 30%. Kebanyakan dari fraktur-fraktur ini terjadi dalam waktu 2 – 3 bulan pertama pascaoperasi. Mengapa terjadi pascaoperasi masih belum dapat dijawab, namun lebih banyak kemungkinannya adalah multifaktorial. Tidak seperti usaha-usaha sebelum ini untuk mempertahankan tinggi korpus vertebra secara maksimal dan juga kekuatan serta kekakuannya, studi biomekanik menunjukkan bahwa vertebra yang terlalu kaku dan usaha untuk mendapatkan tinggi korpus kembali secara maksimal merupakan hal-hal yang berperan sebagai faktor risiko untuk timbulnya fraktur korpus vertebra bersebelahan. Teknik pengisian (filling) korpus yang penuh (komplit) tidak lagi diperlukan, dan semua usaha yang diperlukan pada saat ini adalah ditujukan untuk mempertahankan kekakuan vertebra yang sesuai tingkatannya pada saat praoperasi. Tambahannya, volume bahan pengisi yang dibutuhkan dalam mempertahankan kekakuan vertebra telah diketahui berbeda dari satu merek semen dengan merek yang lain. Lokasi dari VCF semula dapat juga berperan dalam kejadian fraktur korpus vertebra bersebelahan, di mana lebih sering terjadi pada regio thorakolumbal dan kurang pada level thorakal dan lumbal. Merembesnya semen ke dalam ruang diskus dapat juga meningkatkan risiko timbulnya fraktur vertebra bersebelahan. Akhirnya, di samping insiden alami yang sebesar 20% untuk timbulnya VCF kedua yang terjadi dalam setahun setelah kejadian VCF pertama, faktor utama lainnya adalah kemungkinan akibat dari progresi osteoporosisnya sendiri pada korpus vertebra sekitar tersebut.
Perkembangan Di Masa Datang
Sebagai alternatif PMMA adalah termasuk calcium phosphate cement (CMC), hidroksiapatit, dan granul koral. Satu keuntungan penggunaan material-material alternatif ini adalah bahwa selama proses polimerisasi, panas yang dihasilkan lebih sedikit sehingga menurunkan kejadian nekrosis atau kerusakan struktur sekitar. Tambahannya, bahan-bahan alternatif ini dapat ditumbuhi tulang baru dan selanjutnya terjadi proses penggantian (hal ini merupakan efek teori yang telah ditunjukkan secara in vivo pada pasien-pasien usia tua dengan tulang osteoporotik). Adapun kerugian pemakaian material pengisi yang baru ini termasuk: biaya tinggi dan kesulitan pemakaian oleh karena viskositasnya yang tinggi.
Hingga kini, pengalaman dalam pemakaian material-material alternatif ini semakin banyak, dan dengan hasil awal yang menjanjikan. Secara biomekanik, tidak dijumpai perbedaan bermakna secara statistik antara PMAA dan CPC baik dalam mempertahankan kekuatan maupun kekakuan vertebra. Sebagai tambahan, berkurangnya nyeri saat pascaoperasi dan profil perbaikan fungsi adalah juga sama bila dibandingkan antara PMAA dan CPC. Namun, bagaimanapun hal ini masih merupakan studi berjangka waktu pendek dan masih dibutuhkan studi berikutnya berjangka waktu lama.
Penguat dalam Profilaksis Fraktur
Penggunaan penguat profilaktik pada korpus vertebra yang osteoporotik sebelum cedera merupakan satu konsep yang baru-baru ini saja diperkenalkan dalam literatur. Dalam hal ini, beberapa peneliti mengenalkan satu model biomekanikal berbasis komputer untuk memeriksa efek maya dari semen yang ditanam pada kekuatan kompresi dalam vertebra dengan kondisi BMD bervariasi sebelum cedera. Dalam contoh yang mereka desain sebagai “risiko fraktur tinggi” (risiko fraktur 100% pada korpus, mampu menahan beban sebesar <1.6>2.7 MPa).
PEMBAHASAN
Osteoporosis hingga kini tetap merupakan keadaan yang membutuhkan tanggung jawab medis yang besar. Bila proyeksi mengenai kebutuhan biaya rawatan di masa datang adalah benar adanya, maka penanganan pasien dengan fraktur akibat kekeroposan sekunder karena osteoporosis dapat dengan sendirinya membuat bangkrut industri kesehatan. Penanganan terbaik hingga kini tetap berupa intervensi awal dan manajemen medik. Dokter yang menanamkan pengertian akan pilihan hidup sehat pada pasien seawalnya (diet kaya kalsium dan vitamin D, tidak merokok, membatasi konsumsi alkohol, melakukan latihan beban) dan dokter yang secara agresif mengobati secara medis pasien yang telah osteoporosis akan dapat menyelamatkan banyak orang agar mereka memiliki daya tahan terhadap nyeri dan menghindarkan ketunaan sekunder akibat cedera kekeroposan pada saatnya nanti dalam hidup mereka.
Pasien yang telah menjalani VP atau KP (dibandingkan dengan penanganan nonoperatif) mengalami perbaikan dalam berkurangnya nyeri, menurunkan lama waktu penyembuhan fungsional, menurunkan penggunaan obat-obat analgetik, dan secara umum memperpendek lama rawat inap. Orang-orang yang dihadapkan pada VP dan KP menyatakan bahwa hasil-hasil jangka panjang untuk intervensi operatif dan nonoperatif seringkali paralel satu sama lainnya. Meskipun hal itu mungkin benar adanya, dalam menurunkan nyeri dan memobilisasi penderita, pasien-pasien usia lanjut segera pascaoperatif sangatlah memerlukan tindakan pencegahan komplikasi dan deteriorasi yang hampir pasti akan terjadi, yang menyebabkan pasien tersebut berada di tempat tidur terus. Hasil-hasil jangka panjang untuk KP dan CPC masih tertunda, namun dari hasil-hasil tahap awal nampaknya menjanjikan.
VP dan KP juga memiliki keuntungan dalam mengurangi kifosis segmental, jadi memperbaiki atau dapat mencegah beberapa dari masalah-masalah fisik dan emosi yang telah ada pada pasien-pasien penderita VCF. Kedua prosedur secara relatif adalah aman dan insiden komplikasi simtomatik pascaoperatif tetap rendah. Meskipun tindakan penguatan profilaksis bagi korpus vertebra yang osteoprotik masih merupakan satu konsep yang menarik, ketidakmampuan dalam memperkirakan secara adekuat pasien-pasien mana yang dalam risiko tinggi akan berkembang menjadi VCF membuat alternatif ini tidak praktis dan secara finansial tidak memungkinkan. Dengan perbaikan yang terus berlanjut melalui studi biomekanik, penyempurnaan lanjutan materi alternatif, dan pengalaman klinis yang semakin berkembang, maka VP dan KP bila digunakan dengan tepat berdasarkan indikasi bedah yang benar, merupakan satu metoda yang sangat baik dalam memperbaiki morbiditas pasien dan hasil luaran jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar