Senin, 21 Juni 2010

Mengukur Densitas Tulang & Pengelolaan Osteoporosis

PENDAHULUAN

Semua akan setuju bahwa osteoporosis adalah sebagai satu masalah penting dalam kesehatan masyarakat. Setiap upaya perbaikan dari akibat yang ditimbulkan osteoporosis, bergantung pada satu usaha mengurangi timbulnya fraktur. Sehingga banyak usaha-usaha intervensi bergantung pada mengukur massa tulang, dan aplikasi klinis yang benar dari banyaknya teknologi pengukuran massa tulang tersebut haruslah didasarkan atas kriteria berikut: 1) massa tulang dapat terukur secara akurat dan aman; 2) fraktur yang terjadi sedikitnya merupakan bagian dari massa tulang yang rendah; 3) hasil pengukuran massa tulang dapat digunakan untuk memerkirakan risiko fraktur di kemudian hari; 4) Informasi yang diberikan tidak dapat diambilkan dari evaluasi klinis lain; 5) keputusan klinis dapat didasarkan dari informasi yang diambil dari mengukur massa tulang; dan 6) keputusan dimaksud ditujukan kepada baik untuk satu intervensi yang dapat menghasilkan berkurangnya kejadian fraktur di masa datang ataupun untuk mencegah kebutuhan tindakan diagnostik dan intervensi teraputik di masa datang yang dapat mengurangi biaya rawat.

MENGUKUR MASSA TULANG

Massa tulang dapat diukur dengan tingkat akurasi yang baik dan dengan tingkat ketepatan yang cukup dengan menggunakan teknik-teknik yang tersedia.
Semua teknik tersebut adalah jauh lebih unggul dari rontgenogram baku dan metode lainnya yang ada yang memiliki angka kesalahan 30 – 50%. Terlebih lagi, tingkat akurasi mengukur massa tulang adalah sebanding dengan apa yang dihasilkan dari uji-uji lainnya yng telah diterima termasuk uji saringan seperti kolesterol serum.
Metode untuk mengukur massa tulang juga adalah sangat aman dengan paparan radiasi yang rendah. Single photon absorptiometry (SPA) menghasilkan satu dosis yang kurang dari 15mRem, dual photon absorptiometry (DPA) dan dual energy x-ray absorptiometry (DEXA) adalah kurang dari 5mRem, dan modern quantitative computed tomography (QCT) adalah antara 100 – 1000mRem. Bila semua tersebut dibandingkan dengan dosis yang diterima dari penyinaran sinar-x dada sebesar 20 – 50mRem, gigi sebesar 300mRem, atau CT abdomen sebesar 1 – 6Rem.

Hubungan antara Massa Tulang dengan Patah Tulang

Terdapat bukti-bukti yang cukup bahwa patah tulang (fraktur) timbul akibat dari massa tulang yang rendah. Densitas mineral tulang (BMD) adalah berhubungan kuat dengan kekuatan tulang hingga sebesar 75 – 80% dari kekuatan tertinggi jaringan tulang. BMD berkurang dengan meningkatnya usia pada kolum femur, yaitu menurun sekitar 58% pada wanita dan 39% pada laki-laki antara usia 20 ke 90 tahun. Sementara bila dibandingkan seperti di atas pada BMD regio intertrokhanter dari femur proksimal adalah berkurang yaitu 53% dan 35%.
Sejak ditentukannya kekuatan tulang sebagai penentu dalam kerentanan terhadap fraktur, bersama dengan hal-hal serupa seperti mengalami cedera yang cukup kuat, kekuatan tulang mengikuti bahwa BMD adalah juga berkaitan dengan risiko fraktur. Jadi, terdapat satu gradien dari meningkatnya risiko fraktur sekitar panggul dengan berkurangnya massa tulang. Sebagai contoh, fraktur-fraktur kolum dan intertrokhanter femur adalah jarang timbul di antara wanita-wanita di Rochester dan Minnesota yang dengan densitas tulang femoralnya >1,0g/cm2, namun angka insiden meningkat dengan menurunnya massa tulang femoral, mencapai level 8,3 dan 16,6 per 1000 orang-tahun, di antara wanita-wanita dengan level BMD kolum atau intertrokhanter <0,6g/cm2.
Meskipun penentuan femur proksimal melalui dual photon absorptiometry ketersediaan datanya belum cukup lama untuk studi-studi prospektif jangka panjang yang harus dilakukan, model teoritis juga menunjukkan bahwa risiko fraktur panggul sepanjang hidup bervariasi dengan densitas tulang femoral, demikian juga halnya dengan usia. Sebagaimana dalam satu buah model, bagi wanita usia 40 tahun pada saat penentuannya, maka risiko timbulnya satu fraktur femur sepanjang usianya adalah dapat diabaikan di antara mereka-mereka yang dengan densitas tulang 1.3gr/cm2. Adalah sekitar 9,2% untuk satu fraktur kolum femur dan 5,1% untuk satu fraktur intertrokhanter di antara mereka-mereka yang dengan BMD 1,0gr/cm2 dan berlanjut meningkat dengan semakin menurunnya massa tulang di bawah level itu. Untuk densitas tulang sebesar 0,6gr/cm2, maka risiko sepanjang hidup adalah diperkirakan sebesar lebih dari 25% untuk dikedua lokasi tersebut. Bagi wanita usia lebih dari 60 tahun, risiko fraktur sepanjang usianya diperkirakan pada hanya 5,0% untuk fraktur kolum femur dan 2,2% untuk intertrokhanter di antara mereka-mereka yang dengan densitas tulang femoralnya 1,0gr/cm2, sekitar setengah dari untuk usia 40 tahun dengan BMD yang sama.
Tentu saja terdapat faktor-faktor lain bagi timbulnya jenis fraktur-fraktur tersebut, khususnya yang berkaitan dengan jatuh (falling). Untuk jenis fraktur vertebra, berkurangnya massa tulang (bersama-sama dengan kualitas tulang yang buruk) merupakan penyebab fraktur yang predominan; sedangkan trauma memiliki peran yang kecil saja. Di lain pihak, jatuh merupakan hal penting dalam etiologi fraktur sekitar panggul dan jenis Colle’s. Bagaimanapun, risiko jatuh meningkat hanya 19% per tahun di antara wanita usia 60 – 64 tahun menjadi 33% per tahun pada usia 80 – 84 tahun. Jatuh saja, kemudian, tidak dapat menjelaskan peningkatan eksponensial kejadian fraktur sekitar panggul dengan bertambahnya usia, meski satu perubahan dalam tipe jatuh mungkin memiliki satu peran. Situasi ini analog dengan etiologi penyakit jantung koroner. Seperti halnya penyakit jantung, penyebab fraktur sekitar panggul adalah multifaktorial. Pengukuran terhadap satu faktor risiko (massa tulang, kolesterol) tidak dapat secara penuh menjelaskan kejadian suatu penyakit. Setidaknya, pengukuran terhadap faktor dapat mengidentifikasi mereka yang memiliki risiko terbesar untuk berkembangnya penyakit dan, sehingga, akan sangat beruntung dalam terapi.

Pengukuran Massa Tulang Dapat Memerkirakan Kejadian Fraktur Di Kemudian Hari

Berbagai bukti yang dapat dipertimbangkan saat ini menyarankan bahwa, massa tulang dapat mremerkirakan probabilitas timbulnya fraktur di kemudian hari. Sementara massa tulang dari wanita-wanita dengan fraktur sekitar panggul tumpang tindih dengan massa tulang dari wanita-wanita yang seusia yang tidak pernah mengalami fraktur yang sama, pengukuran massa tulang tidaklah diarahkan menjadi satu uji diagnostik untuk fraktur. Tindakan tersebut hanyalah merupakan pengukuran satu faktor risiko (berkurangnya massa tulang) untuk timbulnya fraktur di kemudian hari dan sebaiknya digunakan untuk stratifikasi risiko. Hal ini lagi-lagi analog dengan pengukuran faktor-faktor risiko lainnya, seperti kolesterol untuk penyakit jantung koroner dan tekanan darah untuk stroke.
Terdapat bukti yang cukup bahwa, pengukuran massa tulang dapat menstratifikasi pasien berdasarkan risiko fraktur. Studi yang dipublikasikan akhir-akhir ini telah dapat menunjukkan bahwa, pengukuran massa tulang radius atau os kalsis akan memrediksi risiko frakur di masa datang. Dalam satu studi-studi prospektif, wanita-wanita dengan massa tulang quintile terrendah memiliki sekurang-kurangnya empat kali risiko timbulnya fraktur dari wanita dengan quintile tertinggi; insiden fraktur vertebra, sebagai contoh, berkorelasi terbalik dengan massa tulang terukur pada radius, os kalsis, atau vertebra lumbal. Studi prospektif yang lain mendapatkan bahwa pengukuran massa tulang pada antebrakhii dapat memprediksikan fraktur di kemudian hari, bahkan setelah disesuaikan dengan umur. Hal ini membuktikan bahwa, temuan-temuan dalam investigasi awal menggunakan densitometri antebrakhii namun tidak di sesuaikan dengan umur. Studi lanjutan pada populasi ini telah membuktikan bahwa, satu pengukuran tunggal pada radius dapat memrediksi risiko fraktur pada semua lokasi dan pada panggul. Untuk setiap penurunan dalam SD (standard deviation) massa tulang, terdapat sedikit lebih banyak dari pada selipat dua dalam risiko fraktur yang dikontrol dengan umur.
Sementara kaitan antara massa tulang dan fraktur telah dapat ditunjukkan melalui pengukuran massa tulang antebrakhii dan tumit, beberapa studi kasus-kontrol telah mendapatkan bahwa risiko fraktur panggul bahkan lebih kuat terkait dengan massa tulang panggul dibanding dengan massa tulang antebrakhii, dan fraktur vertebra lebih kuat terkait dengan massa tulang belakang dibanding dengan massa tulang antebrakhii. Sebagai konsekuensinya, pengukuran langsung massa tulang pada panggul dan tulang belakang, yang saat ini adalah memungkinkan dilaksanakan, memiliki tingkat akurasi prediksi yang lebih besar untuk fraktur panggul dan vertebra.
Jadi, saat ini telah mapan baik bahwa, pengukuran massa tulang akan menentukan risiko fraktur. Nampaknya hal ini benar adanya untuk semua tipe fraktur, termasuk fraktur vertebra dan panggul. Hubungan antara massa tulang dengan risiko fraktur-fraktur ini adalah sekuat atau lebih kuat dari pada hubungan antara kolesterol serum dengan risiko penyakit jantung koroner.

INDIKASI MENGUKUR MASSA TULANG

Adapun indikasi klinis mengukur massa tulang, adalah sebagai berikut.

1. Wanita Dengan Defisiensi Estrogen

Kondisi ini merupakan indikasi nomor satu. Pengukuran massa tulang di sini dapat digunakan untuk mendiagnosis massa tulang secara bermakna dalam rangka pengambilan putusan penggunaan terapi pengganti hormon (ERT).

Dasar pemikiran
Defisiensi estrogen yang mengikuti menopaus, ooforektomi, ataupun amenore berkepanjangan dari penyebab apapun adalah dikaitkan dengan kehilangan tulang. Kehilangan tulang, sebaliknya, dikaitkan dengan satu risiko fraktur yang lebih besar. Keduanya itu dapat dicegah atau diperlambat dengan ERT. Namun, tidak semua wanita memiliki keuntungan yang sama dari pemakaian estrogen. Melalui pengukuran massa tulang dapat menentukan wanita-wanita mana yang memiliki terrendah dan akan paling beruntung dari pengobatan tersebut. Jadi, pengukuran massa tulang akan memungkinkan para wanita mengambil putusan yang rasional untuk mengikuti ERT jangka panjang dalam mencegah osteoporosis.

Latar belakang
Keputusan menggunakan ERT untuk mencegah kehilangan tulang dapat dituntun melalui pemeriksaan massa tulang. Dari laporan didapatkan bahwa sejumlah proporsi yang substansial wanita-wanita postmenopause penerima ERT untuk gejala-gejala menopause mereka dan berbagai alasan lainnya yang semuanya hanya berefek sedikit kepada osteoporosis diberikan terapi namun umumnya untuk satu waktu yang terbatas. Telah diperkirakan bahwa, hanya 5% dari wanita-wanita pascamenopaus akan melaksanakan ERT jangka lama (sepuluh tahun atau lebih) untuk beberapa alasan yang tidak mengarah ke osteoporosis dan, sebagai konsekuensinya, tidaklah terpengaruh oleh pentingnya pengukuran massa tulang. Jadi, sebagian terbesar wanita-wanita pascamenopaus akan harus menghitung-hitung untung ruginya terapi ini. Oleh karena ERT memiliki efek samping dan secara potensial berrisiko serius serta penerimaan pasien mungkin menjadi satu masalah dengan penggunaan kombinasi estrogen-progesteron yang sering menimbulkan perdarahan siklik, maka adalah penting untuk menyeleksi mereka-mereka yang memiliki risiko terbesar timbulnya fraktur di kemudian hari untuk menjalani ERT. Penentuan ini dapat dibuat secara dapat diandalkan hanya melalui pengukuran langsung massa tulang.
Terdapat sekumpulan bukti menunjukkan, melalui pelaksanaan ERT akan mengurangi fraktur di kemudian hari. Bukti terakhir adalah studi kohort retrospektif yang dipublikasikan dari Framingham menunjukkan adanya reduksi risiko fraktur panggul sebesar 35% di antara wanita-wanita yang pernah menerima estrogen pascamenopaus. Dari data yang terkumpul menunjukkan secara konsisten bahwa, pemberian estrogen awal setelah menopaus untuk sedikitnya 5 – 10 tahun akan mengurangi risiko fraktur panggul sebesar sekitar 50%.
Pengukuran massa tulang akan mengawali satu peningkatan dalam hasil luaran yang tepat (fraktur yang lebih sedikit). Telah diperkirakan bahwa, dengan tidak dilakukannya pengukuran massa tulang, sebanyak 15% wanita usia di atas 50 tahun akan memerlukan ERT jangka panjang dan 10% dari keseluruhan kelompok wanita perimenopaus akan mengalami fraktur panggul selama sisa hidup mereka. Dalam satu program yang mendorong dilakukannya pengukuran massa tulang pada panggul untuk mengidentifikasi wanita-wanita dengan risiko tinggi, diestimasikan bahwa, 22% wanita akan melaksanakan ERT dan hanya 8% dari keseluruhan wanita perimenopaus mengalami fraktur panggul dalam sisa usia mereka. Pengukuran massa tulang akan menghasilkan 7% lebih banyak wanita (dari 15% menjadi 22%) untuk menjalani ERT dan mungkin mengurangi risiko fraktur panggul dalam sisa usia mereka sebesar 2% (dari 10% menjadi 8%, satu reduksi relatif sebesar 20%).

Protokol
Wanita yang dipertimbangkan mendapat ERT harus diperiksa untuk membuat diagnosis massa tulang rendah. Hal ini termasuk bagi para wanita semua usia yang amenore jangka waktu lebih dari enam bulan. Tambahannya, wanita yang lebih muda dengan amenore berlanjut akan memenuhi syarat bila pencegahan terhadap kehilangan tulang menjadi perhatian klinik dan ERT (termasuk kontrasepsi oral) menjadi pertimbangan.
Wanita yang diputuskan menerima ERT jangka lama untuk alasan lain dari pada pencegahan untuk kehilangan tulang atau pengobatan untuk osteoporosis, tidak perlu dilakukan pengukuran. Demikian juga halnya dengan adanya kontraindikasi ERT atau yang menolak terhadap pertimbangan pemberian estrogen atau beberapa jenis terapi lain untuk memperlambat kehilangan tulang tidak perlu pengukuran massa tulang.
Massa tulang dapat diukur pada tulang belakang dengan QCT atau DPA atau DEXA, pada panggul dengan DPA atau DEXA, pada radius atau os kalsis dengan SPA. Pengukurannya pada panggul atau tulang belakang mungkin memberikan bukti lebih baik sebagai prediktor fraktur pada kedua lokasi dibandingkan dengan pengukuran tulang perifer dengan SPA. Bagaimanapun, hal ini belumlah terdokumentasikan dalam studi-studi prospektif bahwa pengukuran pada tulang perifer telah menjadi prediktor fraktur.
Wanita yang dalam keadaan amenore dan dengan massa tulang sekitar sama dengan atau lebih besar dari pada satu SD di bawah rerata massa tulang usia muda (usia 30 – 35 tahun) normal, harus secara kuat dipertimbangkan untuk menjalani ERT. Satu SD di bawah rerata adalah dekat dengan ambang fraktur empirik dari sebesar 1.0g/cm2 pada femur proksimal (skor-z =-0,79 untuk BMD leher femur, dan -0,46 untuk BMD intertrokhanter) dan pada tulang belakang (skor-z= -1,29 untuk BMD lumbal) secara penentuan dengan DPA. Satu level bandingannya pada distal radius (skor-z = -1,0) adalah .82g/cm2 dengan SPA. Metoda yang spesifik untuk pemberian estrogen atau estrogen/progesteron tidak dibicarakan di sini. Lama waktu terapi yang harus dijalankan tidak ditentukan, namun sedikitnya disarankan 5 hingga 10 tahun oleh studi-studi kasus kontrol.
Pasien dengan massa tulang lebih besar dari satu SD di atas rerata usia muda normal adalah secara relatif terlindungi dari osteoporosis dan dengan risiko fraktur yang lebih rendah. Mereka kemungkinan tidak memerlukan pengukuran lebih lanjut. Bila perhatian meningkat, pengukuran dapat diulang dalam 5 tahun atau lebih dan ERT dipertimbangkan saat itu. ERT tidak selalu diindikasikan bagi pasien dalam satu SD dari rerata, namun mereka mungkin beruntung dengan pengukuran setelah 3 – 5 tahun apakah kemudian akan berkembang memiliki massa tulang rendah.

2. Abnormalitas Roentgenografi

Situasi ini merupakan indikasi nomor dua. Pasien dengan abnormalitas vertebra atau osteopenia secara roentgenografi, pemeriksaan massa tulang harus digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis spinal dalam rangka membuat putusan sekitar evaluasi diagnostik dan terapi lanjutan.

Dasar pemikiran
Pasien seringkali datang dengan temuan-temuan roentgenografi yang konsisten dengan osteoporosis spinal. Hal-hal tersebut dapat merupakan satu diagnosis ahli radiologi berupa osteopenia spinalis ataupun, seringkali, berupa abnormalitas dari vertebra thorakal atau lumbal termasuk anterior wedging atau fraktur end plate. Satu diagnosis osteoporosis harus mendorong dilakukannya satu evaluasi untuk menyingkirkan penyebab-penyebab yang dapat disembuhkan dari percepatan kehilangan tulang dan harus menstimulasi terapi agresif untuk mencegah kehilangan tulang lebih lanjut atau untuk meningkatkan massa tulang spinal. Evaluasi klinis yang komplit adalah secara potensial berbiaya mahal dan terapi dikaitkan dengan biaya dan risiko kesehatan. Sementara, indiscriminate treatment untuk pasien-pasien seperti itu akan dapat mereduksi maksimal risiko fraktur, terdapat bukti bahwa banyak individu-individu dengan abnormalitas vertebra tidak benar-benar memiliki osteoporosis. Sebagai konsekuensinya, biaya dan risiko yang dikaitkan dengan pemeriksaan klinis dan terapi jangka panjang tidak dapat dibenarkan untuk mereka, dan hal itu menjadi esensiil untuk mengidentifikasi di antara mereka yang dengan abnormalitas vertebra di mana sekelompok lebih kecil lagi di antaranya dengan massa tulang yang telah benar-benar berkurang.

Latar belakang
Tidak semua pasien dengan temuan roentgenografi sebagai osteopenia secara nyata memiliki osteoporosis. Tampilan roentgenografi osteopenia adalah secara notorius tidak akurat. Sebagai tambahan bagi insensitifitasnya dalam mendeteksi kehilangan tulang, osteopenia secara roentgenografi adalah tidak berhubungan dengan fraktur vertebra. Sebagai contoh, 29% dari 218 wanita-wanita ambulatori berusia 45 tahun atau lebih adalah pasien-pasien rawat jalan pada rumah sakit Henry Ford memiliki osteopenia secara roentgenografi, namun hanya sepertujuh saja di antaranya memiliki vertebral wedging atau compression. Oleh karena penampakan osteopenia dapat sebagai hasil dari kesalahan teknis roentgenogram individu normal dapat terklasifikasi salah. Bahkan fraktur vertebra tidak secara nyata merupakan bukti osteoporosis. Beberapa fraktur yang sejati adalah akibat dari beberapa episode trauma berat di awal kehidupan, sementara yang lainnya adalah bukan benar-benar fraktur, namun sebagai old juvenile epiphysitis atau positioning problem pada roentgenogram atau sebagai variasi normal dari bentuk korpus vertebra.
Sementara, banyak perubahan bentuk vertebra mengidikasikan satu fraktur, secara khas, perubahan tidaklah dapat dikatakan demikan bila tidak tersedia roentgenogram awal (baseline). Jadi, beberapa fraktur sering harus didiagnosis secara empiris, berdasarkan adanya deviasi dari dimensi-dimensi vertebra yang diperkirakan. Pemeriksaan klinis mampu menyediakan tuntunan yang sedikit saja karena gejala-gejala fraktur vertebra dapat tidak khas. Dengan demikian, osteoporosis akan menjadi overdiagnosed melalui pemeriksaan klinis. Di antara satu sampel acak berdasar kelompok umur dari Rochester, wanita-wanita Minnesota, seperempatnya memiliki abnormalitas vertebra dalam satu kelompok atau lainnya namun 21% dari wanita-wanita tersebut dengan penampakan fraktur vertebra memiliki nilai BMD lumbal di atas ambang fraktur secara teoritis yaitu 0,97g/cm2. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, fraktur vertebra dikaitkan dengan massa tulang dan pengukuran massa tulang memerkirakan kemungkinan fraktur di kemudian hari.
Pengukuran massa tulang akan mengawali satu peningkatan dalam hasil luaran yang tepat (mengurangi evaluasi dan terapi yang kurang tepat bagi pasien-pasien tidak dengan osteoporosis). Penghematan praktis diperoleh dari pelaksanaan pengukuran massa tulang pada situasi ini tergantung dari frekuensi pada mana abnormalitas vertebra dijumpai. Telah diperkirakan bahwa, lebih dari 2 juta wanita antara usia 50 dan 70 tahun memiliki fraktur vertebra dan sebanyak seperlima daripadanya mungkin memiliki massa tulang di atas ”ambang fraktur”. Jadi, adalah potensial untuk mengevaluasi atau mengobati sebanyak 400 ribu wanita usia pertengahan saat dalam kenyataannya mereka memiliki massa tulang yang normal.

Protokol
Setiap pasien dengan satu tanda spesifik mengarahkan ke osteoporosis spinalis, termasuk osteopenia roentgeografik atau bukti-bukti yang menunjukkan adanya kolaps, wedging atau balooning dari satu atau lebih korpus vertebra thoraks atau lumbal, harus melaksanakan pemeriksaan massa tulang, bila pasien tersebut merupakan kandidat untuk intervensi teraputik atau menjalani evaluasi diagnostik ekstensif. Pengukuran massa tulang tidak diindikasikan bagi pasien-pasien yang dengan evaluasi diagnostik atau terapi akan tidak menjadi berubah melalui pemeriksaan massa tulang, misalnya, pasien-pasien yang dievaluasi sebelumnya di mana terapi khusus tidak diindikasikan. Dalam situasi ini, massa tulang harus diukur pada tulang belakang dengan DPA, DEXA atau QCT.
Pasien-pasien dengan abnormalitas vertebra dan BMD tulang belakang di atas ”ambang fraktur” haruslah tidak dipertimbangkan untuk memiliki fraktur berdasar osteoporosis, dan sebagai konsekuensinya, tidak membutuhkan satu evaluasi penyakit tulang metabolik tidak juga menjalani pengobatan untuk osteoporosis yang ada, karena semua terapi dimaksud adalah ditujukan bagi memertahankan massa tulang atau meningkatkannya. Wanita-wanita dengan abnormalitas vertebra dan BMD tulang belakang di bawah ”ambang fraktur” haruslah dipertimbangkan untuk memiliki fraktur osteoporotik dan diperlukan evaluasi lebih lanjut.

3. Terapi Glukokortikoid

Terapi steroid dibutuhkan pada sejumlah penyakit, seperti arthritis rheumatoid, hepatitis kronik aktif, penyakit inflamasi saluran cerna, asthma, dan lain-lain. Terapi ini memiliki sejumlah efek samping serius termasuk kehilangan tulang yang cepat yang mengawali fraktur vertebra dan tulang lainnya. Beberapa di antara pasien-pasien dengan terapi steroid mengalami kehilangan banyak tulang seperti itu dan tidak semuanya mengalami fraktur. Keperluan akan penilaian menjadi meningkat karena pasien-pasien sering menjalani terapi jangka lama. Terlebih, tidak seperti osteoporosis involusional, pasien-pasien di sini mungkin adalah anak-anak yang mungkin membutuhkan penentuan apakah perkembangan skeletal mereka sedang melambat (lagging) di bawah perkembangan normal. Melalui informasi sekitaran massa tulang memungkinkan adanya perbaikan pengelolaan pasien melalui pengaturan dosis dan lama terapi yang lebih tepat guna memaksimalkan efek terapi sementara meminimalisir berbagai komplikasi skeletalnya.

Protokol
Pasien yang akan menjalani terapi glukokortikoid jangka lama ( dosis >7,5 mg prednisolon/hari atau ekuivalennya untuk >1 bulan) dapat menjalani pengukuran massa tulang bila memungkinkan untuk pengaturan dosis. Pengukuran pada tulang belakang adalah menggunakan DPA atau DEXA atau QCT dianjurkan karena yang terutama terganggu adalah tulang trabekula.

4. Hiperparatiroidisme Primer

Pada pasien-pasien dengan hiperparatiroidisme primer tak bergejala, pengukuran massa tulang dapat digunakan untuk menentukan massa tulang rendah dalam rangka mengidentifikasi mereka yang berada dalam risiko penyakit tulang parah yang mungkin dapat menjadi calon untuk dilakukan intervensi bedah.
Spektrum klinis saat pasien hiperparatiroidisme primer dijumpai telah berubah dengan semakin berkembangnya uji saring biokimia rutin. Sebelum ini, pasien-pasien yang datang dengan penyakit tulang bergejala, batu ginjal, atau keluhan lainnya, di mana berbagai keadaan ini membuat dokter menjadi waspada dan mendorong dilakukannya intervensi bedah. Saat ini, banyak di antara pasien adalah tak bergejala dan tidak memiliki keluhan berarti. Pengelolaan pasien-pasien seperti ini masih terjadi silang pendapat. Hiperparatiroidisme primer adalah dikaitkan dengan satu penurunan massa tulang pada beberapa pasien yang mana dapat dideteksi melalui pengukurannya namun tidak dengan evaluasi radiografi biasa. Satu penurunan massa tulang seperti itu mungkin diikuti oleh meningkatnya frekuensi fraktur vertebra, radius distal dan panggul. Jadi, hal tersebut dapat diperdebatkan bahwa, temuan massa tulang rendah pada pasien yang jika tidak dengan hiperparatiroidisme primer tak bergejala harus dipertimbangkan satu kemungkinan berindikasi pembedahan. Setelah menjalani pembedahan yang sukses, massa tulang umumnya ditemukan meningkat, meski tidak menuju nilai normal, bila diukur pada os radius dan pada tubuh secara total. Karena massa tulang rendah dikaitkan dengan risiko fraktur, satu peningkatan dalam massa tulang haruslah mengurangi risiko kemungkinan fraktur sebagai kelanjutannya.

Protokol
Diagnosis hiperparatiroidisme primer harus dibuat menggunakan kriteria klinis yang dapat diterima. Mereka yang tak bergejala dan mengarah ke hiperparatiroidisme primer dan berindikasi untuk dilakukan pembedahan haruslah melakukan pengukuran-pengukuran. Massa tulang dapat diukur pada radius menggunakan SPA atau pada tulang belakang menggunakan DPA atau DEXA atau QCT.

5. Indikasi Potensial Lain

Dengan perkembangan teknologi yang mengawali ketepatan dan akurasi pengukuran yang lebih baik, maka beberapa indikasi lainnya untuk kepentingan klinis dari pengukuran massa tulang kemudian dapat dikembangkan. Beberapa di antaranya adalah tersebut di bawah ini.

a. Penyaringan universal untuk profilaksis osteoporosis

Pengukuran massa tulang untuk profilaksis osteoporosis mungkin sesuai dengan beberapa kriteria untuk satu uji saring, misalnya, penyakitnya adalah umum; uji saringnya tersedia; dan pengobatannya harus mengurangi insiden fraktur. Bagaimanapun, beberapa pasien mungkin berada dalam pengobatan yang efektif untuk satu alasan yang tidak berhubungan dengan osteoporosis. Sementara lainnya, mungkin mengundurkan diri dari pengobatan bukan karena pengukuran massa tulang. Tambahan pula, rejimen penyaringan optimal belumlah ditentukan. Namun, bagaimanapun, penyaringan selektif sebagaimana dijelaskan di atas adalah layak dilaksanakan.

b. Pengawasan massa tulang untuk penentuan efikasi terapi

Beberapa menyimpulkan bahwa, adalah sulit untuk menentukan kebenaran adanya perubahan dalam massa tulang melalui pengukuran yang diambil dalam waktu cukup berdekatan di antara kedua pengukuran untuk dapat menyediakan data yang relevan guna mengelola pengobatan. Sebagai contoh, dua pengukuran dari seseorang pasien yang diambil dengan selang waktu satu tahun, memberikan satu 2% SD dari perbedaan antara dua pengukuran, dan tidak terdapat kehilangan tulang di antara keduanya, akan berada pada satu interval probabilitas 95% untuk perbedaan antara kedua pengukuran berrentang dari -5,6 ke +5,6 persen. Hal ini merupakan hasil dari fakta statistik dasar bahwa varian perbedaan antara kedua pengukuran sama dengan jumlah dari varian kedua individu. Kritik seringkali menunjuk bahwa, kehilangan tulang sepanjang usia adalah hanya sekitar 1% pertahun pada wanita dan setengahnya saja pada pria dan menyimpulkan bahwa prospeknya adalah dim untuk pengawasan perubahan-perubahan dalam massa tulang yang dapat dipercaya. Bagaimanapun, isunya adalah lebih kompleks dibanding dengan hal tersebut untuk tiga alasan berikut: 1) perubahan teknologi terkini akan serta merta mermerbaiki ketepatan pengukuran longitudinal, namun kemampuan perbaikan belumlah jelas diketahui, 2) angka kehilangan tulang selama masa waktu menopaus mungkin lebih besar dibanding 1%, khususnya pada tulang trabekuler, dan 3) populasi bagi mereka yang dengan pengawasan mungkin mendapat keuntungan adalah bervariasi besar. Mempertimbangkan ERT, contoh di atas menggambarkan bahwa, bahkan dengan terapi efektif secara penuh (tidak ada kehilangan tulang pada setiap subjek), sekecil 2,5% kelompok individu akan memiliki penampilan kehilangan tulang melebihi 5,6% bila faktanya tidak ada tulang yang telah hilang. Bagaimanapun, data seperti itu dapat juga diperhatikan melalui suatu pandangan berbeda. Misalnya, ambillah 100 orang wanita menopause awal menerima ERT di mana 15% tidak berrespon terhadap terapi dan kehilangan tulang vertebra pada satu angka 3% setahun, sementara lainnya sebesar 85% tidak kehilangan tulang. (Faktanya, kelompok belakangan akan mungkin mengalami satu small gain pada tulang dalam tahun-tahun pertama terapi). Bila keseratus wanita tersebut dilakukan penentuan ulang pada akhir satu tahun, sedikitnya dua dari 85 responder akan memiliki penampilan kehilangan tulang lebih dari 5% (satu arbitrary cuttoff untuk nonrespon), sementara 4 dari 15 responder akan dideteksi sebagai memiliki lebih dari 5% kehilangan pertahun. Sehingga, sekitar duapertiga dari mereka yang dalam kelompok nonresponder akan berasal dari nonresponder sebenarnya dan 73% nonresponder mungkin terabaikan. Sementara hal ini tidaklah menyediakan bukti meyakinkan bagi kebergunaan metode-metode ini dalam memerkirakan perubahan-perubahan dalam massa tulang, namun perubahan sedikit dalam hal asumsi atau dalam hal ketepatan teknik akan lebih memertegas gambaran ini. Sebagai contoh, bila ketepatan metode baru (DEXA) adalah 1% dan sampel yang sama digunakan (15% nonrespoder) dan interval di antara pengukuran dinaikkan menjadi dua tahun, maka sedikitnya 84% responder akan menunjukkan kehilangan tulang melebihi 3% sementara sedikit saja atau tidak samasekali akan ada respoder yang tidak diklasifikasi.

c. Mengidentifikasi pasien dengan tingkat kehilangan tulang cepat (fast loser) untuk mendapat terapi agresif

Beberapa telah menemukan bukti untuk satu subgrup wanita pascamenopaus mengalami kehilangan tulang pada satu angka yang dipercepat. Dengan asumsi bahwa angka kehilangan seperti itu berlanjut untuk periode waktu yang panjang, implikasinya adalah bahwa, wanita-wanita akan pasti mengalami secara klinis bahaya osteoporosis. Bila demikian, cara paling efisien untuk mencegah fraktur terkait osteoporosis akan menjadi saringan bagi wanita-wanita pascamenopaus dan mengidentifikasi siapa-siapa yang fast loser. Bagaimanapun, hingga saat ini hal ini belum menunjukkan bahwa kehilangan tulang dengan angka cepat ini menetap untuk beberapa tahun atau bahwa populasi ini merupakan yang akan mengalami fraktur terkait osteoporotik. Hingga data ini nantinya tersedia, identifikasi rapid loser masih dalam penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar