PENDAHULUAN
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai oleh rendahnya kekuatan tulang yang mengawali peningkatan suseptibilitas kepada fraktur tulang. Kapasitas tulang untuk menahan gaya-gaya mekanik dan fraktur bergantung tidak hanya pada kuantitas tulang namun juga pada kualitasnya.
Banyaknya jaringan tulang sebagiannya dapat dievaluasi melalui pengukuran kepadatan mineral tulang (BMD) menggunakan dual X-ray absorptiometry (DEXA). Saat ini BMD merupakan penentu terpenting kekuatan tulang dan risiko fraktur (1), namun ia tidaklah melulu memrediksi risiko fraktur, dan perubahan dalam BMD hanyalah berarti seporsi pengurangan risiko fraktur yang terobservasi melalui berbagai terapi osteoporosis. Orang-orang yang lebih tua dapat memiliki hingga sepuluh kali lipat peningkatan risiko fraktur 10-tahunan dalam perbandingannya dengan individu-individu yang lebih muda yang dengan BMD yang sama (2). Jadi, dalam individu-individu dengan BMD sebanding, risiko fraktur tidaklah sama. Tambahannya, lebih dari 50% keseluruhan fraktur terjadi pada wanita dengan osteopenia, sebagaimana didefinisikan oleh satu -2.5 < BMD skor T pada kelompok ini akan menjadi tidak terdeteksi melalui penggunaan pendefinisian BMD WHO tentang osteoporosis (3). Perubahan dalam BMD terkait dengan pengobatan antiresorptif adalah bernilai kurang dari 40% dari efeknya dalam mengurangi risiko fraktur tulang belakang (4, 5), yang menunjukkan bahwa berbagai perubahan dalam BMD dengan pengobatan osteoporosis hanya sebagian saja menjelaskan pengurangan risiko fraktur dan bahwa terdapat faktor-faktor independen tambahan yang mungkin berkontribusi kepada efikasi klinis dari berbagai terapi ini. Terminologi ” kualitas tulang” kemudian diajukan untuk merujuk bagi kombinasi berbagai faktor yang memengaruhi risiko fraktur namun yang tidak berhubungan dengan massa tulang (6, 7)
KUALITAS TULANG
Kualitas tulang adalah ditentukan oleh sifat-sifat struktur dan material yang dipengaruhi oleh laju bone turnover. Bone turnover atau remodeling tulang merupakan suatu proses kontinyu dari pembaharuan tulang pada mana tulang tua atau rusak diserap dan tulang baru dibentuk untuk menggantikannya membentuk suatu tulang yang sebagaimana adanya secara mekanik dan memertahankan homeostasis. Sifat-sifat struktur tulang terdiri dari geometri (ukuran dan bentuk) dan arsitektur mikro (arsitektur trabekuler/kanselus dan ketebalan kortikal/porositas), sementara sifat-sifat material tulang terdiri dari komposisi mineral dan kolagen demikian juga kerusakan mikro dan perbaikannya (gambar 1).
Sementara pengukuran yang persis untuk kekuatan tulang tidak ada, BMD telah digunakan secara luas sebagai suatu pengganti noninvasif dari parameter ini demikian juga sebagai suatu prediktor akurat dari risiko fraktur. Di samping penggunaan DXA, BMD dapat diukur dengan quantitative computer tomography (QCT) yang merefleksikan BMD volumetrik alih-alih suatu proyeksi areal dan dengan demikian memungkinkan penentuan dari densitas volumetrik aktual tulang yang tidak bergantung ukurannya. Bagaimanapun, pada penggunaan biopsi tulang atau spesimen otopsi, sejumlah teknik pendekatan telah dikembangkan yang menyediakan pemahaman lebih baik tentang bagaimana kualitas tulang berkontribusi kepada kekuatan tulang pada berbagai keadaan penyakit yang tak diobati maupun yang diobati. Yang paling popular dari teknik pendekatan ini adalah histomorfometri, namun berbagai teknik imejing yang lebih baru seperti microcomputed tomography (µCT) dan magnetic resonance microimaging (µMRI) memungkinkan pengukuran tiga dimensi (3D) arsitektur mikro trabekuler dalam contoh-contoh tulang dalam suatu cara nondestruktif. Meskipun analisis MRI dan µCT adalah dapat dipercaya, mereka harus sebaiknya digunakan secara kombinasi untuk mendapatkan simpulan yang sahih. Namun, penggunaan dari teknik-teknik ini adalah masih terbatas akibat dari ketersediaannya yang terbatas, berbiaya mahal, dan memaparkan radiasi relatif tinggi.
Bone Turnover atau Remodelling
Bone turnover mengoordinasikan berbagai faktor yang berkontribusi kepada kualitas tulang (gambar 1). Keseimbangan di antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang merupakan komponen kunci dalam melanggengkan kualitas tulang, memerbaiki kerusakan arsitektur mikro, memertahankan BMD dan mengurangi risiko fraktur.
Percepatan dalam bone turnover mengawali kepada hilangnya beberapa trabekula tulang yang tidak akan diperoleh kembali, menghasilkan lemahnya tulang dan meningkatnya risiko fraktur. Karena adalah tidak memungkinkannya secara rutin untuk menilai konektifitas trabekula tulang pada pasien-pasien dengan osteoporosis, bone turnover adalah yang paling sering dinilai dalam praktik klinik melalui pengukuran berbagai penanda biokimia bone turnover.
Dapat dideteksinya dalam darah atau urin, berbagai penanda bone turnover merupakan produk dari pemecahan osteoblas/osteosit dan osteoklas, kolagen tipe I yang merefleksikan pembentukan tulang dan resorpsi tulang, secara berurutan. Sebagai contoh, CTx (bone type I collagen C-telopeptide) merupakan suatu produk degradasi kolagen dan sehingga mencerminkan penyerapan tulang; tingginya level CTx secara umum berarti peningkatan bone turnover.
Penanda tulang juga membantu dalam menilai respon terhadap terapi antiresorptif; mereka umumnya berkurang setelah sebulan (berbagai penanda penyerapan) hingga empat bulan (berbagai penanda pembentukan) pengobatan; bagaimanapun, terdapat variabilitas intra- dan inter-individu yang cukup, dan level-levelnya dipengaruhi oleh diet dan ritme sirkadia. Namun, pengukuran penanda bone turnover sebagai tambahan terhadap BMD, telah diajukan sebagai suatu pengganti/perwakilan yang lebih efektif dalam memrediksi risiko fraktur dibandingkan hanya BMD saja (8).
Bone turnover dapat juga dinilai dengan histomorfometri tulang menggunakan pelabelan tetrasiklin sebelum biopsi. Luasnya permukaan terlabel tetrasiklin mengindikasikan bone turnover, menjelaskan bahwa remodeling tulang adalah dalam suatu keadaan yang tetap (steady state) dan bahwa penyerapan tulang dan pembentukan tulang adalah berdampingan.
Histomorfometri terdiri dari analisis kuantitatif dari parameter-parameter penyerapan tulang dan pembentukan tulang, dan struktur pada potongan-potongan histologis, dan sangat dipertimbangkan sebagai baku emas untuk menilai bone turnover karena ia merupakan satu-satunya metode yang tersedia untuk menganalisis in situ langsung sel-sel tulang dan aktifitasnya. Tambahannya, teknik ini dapat menilai arsitektur mikro tulang 2D yang memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran-pengukuran terhadap misalnya ketebalan dan konektifitas trabekula. Terlebih lagi, analisis komputer dari contoh-contoh biopsi dapat menilai berbagai karakteristik kavitas penyerapan dalam cara-cara kuantitatif seperti misalnya rerata (mean) dan kedalaman erosi maksimum, dan area yang tererosi. Namun, bone turnover dalam biopsi-biopsi krista iliaka dapat tidak merefleksikan perubahan-perubahan pada lokasi skelet lainnya dan sifat invasif prosedur ini dapat menjadi suatu kekurangan bagi tujuan-tujuan penggunaannya yang lebih luas (6).
Penanda biokimia dan histomorfometri adalah berbeda dalam hal penentuan mereka terhadap bone turnover khususnya dalam hal derajat penekanan bone turnover oleh agen-agen anti-resorptif, yang umumnya hasilnya akan lebih besar ketika dinilai dengan teknik yang belakangan.
Geometri Tulang
Diameter eksternal dan ketebalan kortikal tulang memainkan peran penting dalam penentuan kekuatan tulang. Geometri tulang memerhitungkan distribusi dari massa tulang dan kemampuan tulang untuk menahan torsi dan bending (mis. semakin luas diameter eksternal suatu silinder, semakin besar ketahanannya terhadap bending). Dengan demikian, untuk area BMD yang sama, suatu tulang yang lebih luas akan memiliki kekuatan bending dan kekuatan aksial yang lebih besar oleh karena massa-nya didistribusikan menjauh dari pusat (gambar 2A).
Adanya bukti yang cukup telah mengindikasikan bahwa berkurangnya properti material jaringan tulang terkait umur akan diikuti oleh suatu pendistribusian ulang tulang kortikal dan trabekuler. Secara khusus pada tulang apendikuler berbagai perubahan ini akan meliputi penyerapan endosteal di dalam tulang berkombinasi dengan aposisi periosteal pada permukaan eksternal. Hal ini mengawali ke pada suatu peningkatan diameter tulang panjang terkait umur namun disertai suatu penurunan dalam ketebalan korteks. Peningkatan dalam diameter luar ini membantu untuk memertahankan ketahanan terhadap pembebanan bending dan torsi. Bertahun-tahun telah disarankan bahwa laki-laki menjalani pola adapatasi geometrik alami ini lebih besar dibandingkan dengan wanita, yang menjadikan ini sebagai alasan untuk menjelaskan bagi lebih rendahnya angka kejadian fraktur pada laki-laki tua dibandingkan dengan wanita tua. Bagaimanapun, data terkini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun wanita menjalani berbagai perubahan geometrik yang sesuai dengan bertambahnya umur (gambar 2B).
Arsitektur-mikro Tulang
Berbagai perubahan dalam arsitektur mikro tulang membentuk suatu kontribusi penting bagi kekuatan tulang yang mungkin tidak selalu terliput melalui pengukuran-pengukuran densitas mineral tulang. Dalam hal ini, arsitektur kortikal dan kanselus adalah penting. Pada tulang kanselus, jumlah dan ketebalan trabekula dan konektifitas dan orientasi mereka (anisotropi) menyumbang bagi kekuatan tulang, hal mana pada tulang kortikal, luas dan porositas merupakan determinan utama.
Perubahan arsitektur mikro tulang pada keadaan-keadaan penyakit yang diobati maupun tidak diobati merupakan hasil dari bebagai perubahan dalam remodeling tulang yang mendasari. Keadaan high turnover dan meningkatnya aktifitas osteoklas berkecenderungan kepada penetrasi trabekula, hilangnya konektifitas, penipisan korteks dan meningkatnya porositas kortikal, di mana keadaan low turnover dan berkurangnya pembentukan tulang dikaitkan dengan penipisan trabekula dan pelanggengan relatif dari arsitektur mikro tulang.
Meskipun beberapa dari berbagai gambaran arsitektural ini dapat dinilai melalui histomorfometri tulang, berbagai metoda yang lebih canggih saat ini telah dikembangkan yang memungkinkan visualisasi 3D dan kuntifikasi.
Pengembangan µCT scanning telah memungkinkan evaluasi 3D dari contoh-contoh tulang trabekuler pada resolusi 14 – 50 µm. Melalui penggunaan µCT, volum tulang (BV), jumlah dan ketebalan trabekula, dan konektifitas dapat dinilai. Ketegangan (strain) pada jaringan tulang dapat diukur dengan membandingkan elemen-elemen struktural dengan dan tanpa pembebanan mekanik. Teknik ini juga berpotensi berguna bagi studi aspek molekuler fisiologi tulang sebagaimana ia dapat di jalankan pada temperatur rendah, memertahankan RNA dan dengan demikian memungkinkan penyelidikan dari berbagai interaksi di antara profil-profil genetik dan berbagai properti biomekanik (6)
Analisis elemen berukuran mikro melalui pengombinasian geometri tulang dengan berbagai karakteristik material untuk memrediksi kekuatan tulang merupakan suatu teknik yang menjanjikan bagi penilaian fraktur yang didasarkan pada penghitungan berbagai properti mekanik lokasi-lokasi trabekula dari imej-imej resolusi tinggi. Penggunaan kombinasi dari kedua metoda ini menyediakan suatu penilaian in vivo BV yang ada (apparent) terhadap volum total (BV/TV) dan menguantifikasi berbagai perubahan dalam elemen-elemen horizontal tulang trabekula dari radius distal pada wanita-wanita pascamenopaus dalam hal struktur dan kekuatan tulang (6)
Akhirnya, MRI resolusi tinggi yang noninvasif dan nonionisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi tulang trabekula. Alat ini dibuat untuk membandingkan struktur trabekuler tulang kalkaneus pada wanita-wanita dengan dan tanpa fraktur panggul terkait dengan osteoporosis, memungkinkan pembedaan yang jelas di antara kedua kelompok (9). Lebih terkini, berbagai efek kalsitonin pada parameter arsitektur mikro trabekula dianalisis membandingkan baik MRI noninvasif pada berbagai lokasi skelet multipel (radius, hip, dan kalkaneus) maupun µCT/histomorfometri yang didapat melalui biopsi tulang krista iliaka, dalam percobaan QUEST (qualitative effects of salmon-Calcitonin trial). Meskipun hasil-hasilnya mendukung penggunaan MRI bagi penilaian arsitektur mikro trabekula dalam percobaan-percobaan penelitian klinik, peneliti di sini menggarisbawahi berbagai perbedaan yang spesifik-lokasi (site-specific) dalam respon terhadap terapi antiresortif dan perlunya pengambilan contoh (sampling) yang cukup besar dalam rangka penilaian arsitektur tulang yang dapat dipercaya (10).
Komposisi Matriks Tulang
Matriks tulang memiliki dua konstituen esensiil, mineral dan kolagen. Mayoritas bukti menyarankan bahwa dalam tulang normal mineral menyediakan kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength) di mana kolagen mendukung tulang dalam hal daktilitas (ductility) dan kemampuannya menyerap energi (toughness) sebelum terjadi patah.
Kolagen tulang secara kontinyu diperbaharui dan serat-seratnya distabilisasi secara pascatranslasi melalui enzymatic cross-linking (piridinolin dan deoksipiridinolin), non-enzymatic glycation yang membangkitkan AGEs (aged glycation product ends) seperti pentosidin, dan isomerisasi-β dari epitop CTx.
Rasio piridinolin/deoksipiridinolin (PYD/DPD) telah ditunjukkan menjadi positif dikaitkan dengan kekuatan dan kekakuan dalam tulang, namun menampakkan memiliki korelasi kecil dengan toughness. Non-enzymatic collagen cross-link (AGEs) membuat jaringan tulang lebih brittle dan gampang fraktur. Berbagai studi in vitro tulang kortikal bayi sapi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa berbagai perubahan dalam cross-link (PYD, DPD dan AGEs) dan dalam derajat bersamaan dengan isomerisasi-β karboksi telopeptid dari kolagen tipe-I mengubah berbagai properti mekanik tulang sebagai resultante dari proses penuaan (11).
Berlebihannya AGEs akan mengawali ke pada suatu penurunan dalam toughness dan kekuatan akibat dari meningkatnya kekakuan. Terlebih lagi, reseptor-reseptor AGE yang nampak pada sel-sel tertentu (osteoblas, misalnya) mungkin mengatur ke hilir (downregulate) sel-sel ini. Menariknya, AGEs adalah meningkat pada diabetes dan mungkin berpartisipasi dalam percepatan proses penuaan yang dialami oleh subjek-subjek diabetik (12)
CTx yang berasal dari kolagen tipe I yang baru disintesis sebagai CTx αα dan kemudian mengalami isomerisasi yang membangkitkan CTx ββ, yang dilepaskan dari kolagen tipe I yang telah tua. Dengan demikian, penilaian dari fragmen-fragmen CTx αα dan ββ dengan enzyme-linked immunosorbent assay merefleksikan usia dari kolagen tulang endogen. Rasio CTx αα/ββ yang terhitung dalam contoh-contoh urin merefleksikan nilai rerata usia kolagen tulang dan dapat digunakan sebagai suatu indeks kualitas matriks tulang (13) (gambar 3). Dalam kesepakatan dengan konsep ini, telah ditunjukkan bahwa nilai rerata usia tulang yang ternilai dengan ratio CTx αα/ββ adalah lebih tinggi pada bone turnover cepat (accelerated) (tulang trabekula) dan sebaliknya lebih rendah pada bone turnover lambat (reduced) (tulang kortikal).
Mineralisasi
Mineralisasi matriks tulang terdiri dari dua langkah yang berhasil. Mineralisasi primer terjadi ketika matriks kolagen yang baru mulai memineral dengan cepat dan ini mewakili 50% – 60% dari mineralisasi maksimum. Selanjutnya, tingkat mineralisasi berkurang perlahan dan mineralisasi sekunder mengambil alih untuk beberapa tahun Secara khas, mineralisasi menjadi stabil setelah mencapai sekitar 90% – 95 % dari maksimum. Derajat mineralisasi sekunder adalah bergantung pada bone turnover; bila bone turnover rendah, tersedia lebih banyak waktu bagi mineralisasi untuk berlanjut, di mana pada keadaan-keadaan high turnover, tulang yang baru terbentuk dibuang sebelum tersedia waktu bagi mineralisasi sekunder yang memadai.
Sebagaimana mineralisasi meningkat, jaringan tulang menjadi lebih mudah patah (brittle) dan kurang memerlukan energi untuk terjadi fraktur. Sehingga, adalah memungkinkan bagi suatu tulang bahwa bila ia termineralisasi berlebih akan menjadi lebih mudah lagi patah dibandingkan dengan suatu tulang yang dengan derajat mineralisasi yang lebih rendah. Efek ini mungkin menjelaskan sebagian temuan dari Riggs dkk (14), yang mengunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan dramatik dalam BMD dengan terapi fluorid namun terjadi suatu peningkatan bermakna dalam jumlah pasien dengan fraktur-fraktur nonvertebra pada kelompok fluorid dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya, ketika penyerapan tulang mulai sebelum mineralisasi terpenuhi, suatu defisit mineralisasi kumulatif akan timbul yang mengawali kepada penurunan kekakuan dan kekuatan tulang.
Derajat mineralisasi dan distribusinya di seluruh tulang dapat diukur ex vivo dengan banyak metoda termasuk radiografi mikro, teknik-teknik quantitative back-scattered electro imaging (qBEI) and spectroscopic. Derajat mineralisasi akan terliput oleh pengukuran-pengukuran BMD namun kontribusinya, dalam kaitannya dengan berbagai faktor yang memengaruhi BMD, tidaklah dapat dideduksi secara langsung.
Kerusakan-mikro
Tulang mengalami pembebanan siklik berulang dan kerusakan fatigue dalam matriks tulang sebagai hasilnya akan diekspresikan melalui adanya retakan mikro (microcracks) atau kerusakan mikro. Kerusakan mikro umumnya didefinisikan sebagai keretakan linier yang dapat terdeteksi dengan mikroskop cahaya, dan meskipun metoda optimal untuk menghitung kerusakan mikro dalam tulang masih dalam perdebatan, sejumlah studi saat ini telah menunjukkan bahwa akumulasi dari kerusakan akan melemahkan tulang. Lebih lanjut, nampaknya bahwa kerusakan mikro memicu remodeling, yang kemungkinan bertujuan untuk memerbaiki kerusakan jaringan tulang (15). Di lain pihak, akumulasi kerusakan mikro adalah mungkin sebagai hasil dari meningkatnya mineralisasi sekunder untuk menekan remodeling, yang membuat tulang menjadi lebih brittle.
Perdebatan masih sedang berlangsung mengenai level optimal bone turnover untuk mencegah deteriosasi arsitektural sementara menjaga kemampuan tulang untuk memertahankan homeostasis kalsium, berrespon terhadap perubahan pembebanan mekanik, dan untuk memerbaiki kerusakan mikro. Peran dari kerusakan mikro dalam fragility fracture terkait usia telah dimapankan. Akumulasi kerusakan mikro telah diajukan sebagai suatu faktor yang mungkin berkontribusi meningkatkan fragilitas skelet dengan bertambahnya usia (16).
Berbagai teknik untuk mendeteksi retakan mikro memerlukan teknologi pelatihan yang mahal. Kebanyakan data adalah diambilkan dari model-model khewan, dan tingkat aplikasi dari beberapa hasil percobaannya ke manusia masih tetap tidak jelas. Memelajari kerusakan mikro pada manusia, khususnya untuk menentukan dampak dari obat-obat tulang adalah masih berdasarkan pada biopsi krista iliaka, yang mungkin ini adalah tidak tepat oleh karena rendahnya numerik densitas retakan pada lokasi ini dibandingkan dengan lokasi lainnya. Berbagai teknik noninvasif masih memerlukan pengembangan dalam rangka memerbaiki penilaian kerusakan mikro in vivo (17).
EFEK PENGOBATAN OSTEOPOROSIS PADA KUALITAS TULANG
Jenis-jenis obat bagi pengobatan osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: antiresorptif atau stimulasi pembentukan tulang. Bagaimanapun, adalah semakin menjadi jelas bahwa mereka bekerja tidak hanya melalui perbaikan BMD namun juga melalui peningkatan kekuatan tulang, memodifikasi kualitas tulang, dan dengan demikian mengurangi risiko fraktur.
Bifosfonat (BPs)
Bifosfonat (BPs) memiliki afinitas besar bagi mineral tulang dan bagi efek-efek penghambatan pada osteoklas. Terikatnya BPs pada kristalin hidroksiapatit adalah ditentukan oleh strukturnya, utamanya konfigurasi P-C-P. Bifosfonat berkandungan nitrogen telah menjadi baku rawatan bagi osteoporosis. BPs oral saat ini adalah: alendronat (dosis harian atau mingguan), risedronat (dosis harian atau mingguan), dan ibandronat (dosis bulanan) di mana rejimen intravena adalah tersedia dengan pamidronat dan asam zoledronat (empat kali setahun atau setahun sekali).
Di samping secara bermakna meningkatkan BMD pada pasien-pasien dengan osteoporosis, BPs juga bekerja melalui pemodifikasian kualitas tulang guna memerbaiki kekuatan tulang. Meskipun adalah sulit untuk menilai aksi-aksi BPs pada kualitas tulang dalam praktik umum, bukti pada arah itu telah terkumpul dalam tahun-tahun terakhir ini.
* Efek pada Mineralisasi Tulang
BPs menurunkan bone turnover dan meningkatkan durasi mineralisasi sekunder, jadi memerbaiki tingkat mineralisasi. Boivin dkk. (19), mengobati wanita-wanita pascamenopaus yang dengan osteoporosis dengan terapi alendronat tiga-tahunan, mendapatkan suatu peningkatan dalam rerata mineralisasi pada tulang iliak sedikitnya 11% baik pada tulang kanselus maupun kortek. Lebih jauh, Borah dkk. (20), menggunakan µCT untuk menilai biopsi-biopsi dari pasien dengan terapi risedronat pada saat dimulai dan setelah 3 dan 5 tahun, menunjukkan suatu peningkatan homogeneitas mineralisasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam rata-rata (average) atau homogeneitas nilai-nilai mineralisasi di antara 3 tahun dan 5 tahun terapi risedronat, tidak juga hipermineralisasi matriks tulang terobservasi (21). Lebih jauh, Recker dkk. (22), menunjukkan bahwa pemberian asam zoledronat intravena setiap tahun selama tiga tahun adalah efektif dalam mengurangi remodeling tulang dan menjaga struktur tulang pada wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis. Bagaimanapun, berbagai perbedaan di antara asam zoledronat dan BPs oral pada mineralisasi telah diverifikasi sebagaimana digarisbawahi oleh Ebeling dan Burr (23) sebagai berikut: asam zoledronat merangsang aktifitas osteoblas menghasilkan percepatan aposisi mineral dan meningkatkan volum tulang namun tidak dalam mineralisasi sekunder.
* Peran dalam Kerusakan-mikro
Remodeling tulang bertujuan untuk memerbaiki kerusakan mikro fatigue, namun suatu pengurangan berlebih bone turnover dapat menghasilkan ketidakadekuatan dalam perbaikan kerusakan mikro yang mengawali kepada suatu fraktur. Tulang-tulang khewan yang diobati berlebih dengan BPs menunjukkan penekanan bone turnover trabekuler yang dikaitkan dengan meningkatnya kekuatan vertebra, bahkan dengan akumulasi kerusakan mikro yang bermakna, dan mengurangi energi intrinsik kapasitas absorpsi (toughness) (24, 25).
Mekanisme pengakumulasian kerusakan mikro yang terinduksi bifosfonat belumlah sepenuhnya termapankan. BPs menekan turnover, mengurangi targeted remodeling maupun stochastic remodeling, dan membiarkan kerusakan mikro untuk bertahan lebih lama dalam perbandingannya dengan tulang yang tidak diterapi. Terlebih lagi, peningkatan mineralisasi dan peningkatan homogeneitas jaringan tulang, yang keduanya merupakan resultante dari pengobatan BPs, adalah mengijinkan bagi pembentukan dan pengakumulasian kerusakan mikro (26).
* Aksinya pada Kolagen Tipe I
Ketersediaan data yang menyangkut berbagai efek BP pada komponen organik tulang adalah terbatas.
Saito dkk. (27) dan Allen dkk. (28) telah mendokumentasikan berbagai perubahan dalam enzimatik (PYD/DPD), non-enzymatic cross-linking (AGEs) dan isomerisasi kolagen dari matriks organik pada khewan-khewan yang diterapi bifosfonat. Menyertai pengobatan dengan suatu dosis BP dengan rentangan luas, rasio PYD/DPD pada tulang trabekuler vertebra lumbal secara bermakna meningkat dibandingkan dengan vehicle-treated animals juga level-level dari pentosidin (AGEs) dalam suatu cara (fashion) yang bergantung dosis; sebaliknya, rasio αα/ββ CTx menurun ketika dibandingkan dengan khewan-khewan yang tidak diobati.
Pada tulang manusia, pentosidin dengan jelas meningkat dengan usia, dan kandungannya dalam tulang dari pasien-pasien dengan fraktur panggul adalah secara bermakna lebih tinggi dibanding pada kontrolnya yang dengan usia bersesuaian dan tanpa fraktur (29).
Sebagaimana matriks organik dikenal berkontribusi pada berbagai properti biomekanik, data ini menyarankan bahwa berbagai perubahan dalam komponen non-mineral dengan pengobatan BP mungkin memengaruhi berbagai properti mekanik dan dengan demikian berrisiko fraktur. Bagaimanapun, perubahan dalam matriks organik dapat memiliki beberapa efek pada kekuatan dan kekakuan jaringan tulang, bahkan bila berbagai properti ini adalah secara predominan ditentukan oleh mineralisasi.
* Efeknya pada Geometri Tulang dan Arsitektur-mikro
Setiap perubahan yang didapat dengan pengobatan BPs memiliki suatu efek bermakna pada level material berbagai properti biomekanik, tidak bergantung dari berbagai perubahan dalam massa tulang, namun kontribusi individual spesifik mereka adalah sulit dinilai secara eksperimental. Kemungkinannya, berbagai efeknya pada mineralisasi tulang dan collagen cross-linking cenderung meningkatkan kekakuan dan kekuatan tulang, pada mana meningkatnya kerusakan mikro cenderung menurunkan keduanya. Relevansi berbagai perubahan ini masih tetap enigmatic, bagaimanapun, menimbang bahwa BPs juga memodifikasi geometri dan arsitektur mikro tulang.
Dalam jalur ini, Davison dkk. (30) meninjau berbagai laporan dari berkurangnya porositas kortikal setelah pengobatan dengan BP dan berbagai perubahan dalam parameter dari arsitektur 3D trabekuler setelah terapi risedronat satu tahun yang dinilai dengan µCT. Dalam kelompok placebo, volum tulang, jumlah trabekula dan konektifitas trabekula didapatkan menurun di mana tidak terdapat deteriosasi yang seperti itu terobservasi dalam kelompok risedronat, dengan hasil yang sama bahkan setelah 3 tahun terapi risedronat.
Dalam studi DIVA (dosing intravenous administration), yang dijalankan pada wanita-wanita pascamenopaus, sekitar 12 minggu dalam setahun pemberian ibandronat intravena mampu secara bermakna mendapatkan BMD yang lebih besar dibanding dengan pemberian 2.5 mg ibandronat oral sehari, dengan efikasi yang ekivalen dan dengan tingkat keamanan yang sama. Setelah 2 tahun pengobatan ibandronat, tulang trabekuler memertahankan struktur lamelar normalnya dengan tanpa bukti adanya woven bone, fibrosis sumsum, toksisitas seluler, atau berbagai abnormalitas kualitatif. Analisis histomorfometrik dari sejumlah 89 biopsi tulang transiliak menunjukkan struktur mikro normal dari tulang yang baru terbentuk dengan mineralisasi normal dan berkurangnya remodeling setelah pemberian ibandronat oral atau intravena (31). Oleh karena rejimen ibandronat intravena dalam DIVA memiliki suatu paparan kumulatif setiap tahunnya yang sama dengan 150 mg ibandronat oral setiap bulan, adalah memungkinkan bahwa profil-profil histomorfometrik dan keamanan tulang yang terobservasi dapat juga merefleksikan berbagai efek dari penggunaan oral-nya saat ini.
Saat ini, nampaknya berbagai perubahan level mikro ini telah mengarahkan efikasi antifraktur dari BPs, dan dapat dengan adekuat mengompensasi menurunnya properti material. Namun, penelitian pada terapi BP jangka lama menjamin dengan pasti karena berbagai keuntungan level struktural BPs dapat secara potensiil bertumpangtindih (could potentially be overridden) dengan waktu (26)
Reconbinant Human Parathyroid hormone peptide 1-34: Teriparatide (TPT)
Berbagai efek PTH pada tulang skelet adalah kompleks dan berbeda di antara keadaan-keadaan tingginya PTH endogen dan pemberian PTH secara eksogen.
Fragmen amino-terminal dari human parathyroid hormone (PTH 1-34), yang juga dikenal sebagai teriparatid (berasal dari DNA rekombinan), memiliki suatu efek anabolik pada tulang bila diberikan secara intermiten, bekerja sebagai suatu agen pembentuk tulang (bone-forming agent) bagi pengobatan osteoporosis.
Suatu penginjeksian teriparatid (TPT) subkutan memroduksi suatu peningkatan cepat dalam berbagai penanda pembentukan tulang, diikuti oleh peningkatan yang lebih lambat dalam berbagai penanda resorpsi tulang. Ia juga meningkatkan secara bermakna BMD terukur oleh DXA yang menurunkan risiko fraktur-fraktur baru vertebra dan nonvertebra sebesar masing-masing 65% dan 53%, pada wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis. Peningkatan BMD tersebut terhitung untuk tidak lebih dari sebesar 40% dari efikasi antifrakturnya, yang menyarankan bahwa TPT juga dapat memodifikasi kualitas tulang (32).
Adanya perbaikan arsitektur mikro dalam tulang trabekuler maupun kortikal telah tersarankan pada pasien-pasien yang menggunakan TPT. Untuk menjelaskan berbagai isu ini, berbagai penyelidikan telah dijalankan dalam rangka mengevaluasi apakah berbagai perubahan dalam BMD adalah berkorelasi dengan berbagai perbaikan struktural tulang terobservasi pada pasien-pasien yang diobati dengan TPT.
* Bone Turnover
Penilaian menggunakan histomorfometri tulang (33) menunjukkan bahwa TPT mengubah remodeling tulang melalui peningkatan laju pembentukan tulang dan turnover-nya, menjaga sejumlah besar bone multicelluler units (BMUs) aktif untuk membentuk tulang baru. Perangsangan remodeling tulang oleh TPT baik pada permukaan kanselus maupun endosteal tercapai maksimum setelah 6 bulan pengobatan. Selanjutnya, bone turnover kembali kepada level yang terukur pada wanita-wanita pascamenopaus yang tidak diterapi, dengan pembentukan tetap melebihi dari resorpsinya. Tambahannya, terdapat bukti langsung bahwa terapi TPT 12 hingga 24 bulan dapat menginduksi pembentukan modeling tulang pada permukaan-permukaan tulang yang tenang (quiescent) (34). Berbagai mekanisme ini mungkin berkontribusi kepada perbaikan arsitektur trabekuler dan kortikal yang terlihat setelah pengobatan dengan TPT.
* Arsitektur-mikro dan Geometri
Pengobatan TPT merangsang pembentukan tulang trabekuler maupun kortikal, menghasilkan peningkatan volum tulang kanselus dan ketebalan kortikal (35). Terdapat juga beberapa bukti adanya peningkatan aposisi tulang periosteal, mengawali kepada suatu perolehan dalam ukuran tulang (36). Jadi, untuk menilai berbagai modifikasi pada tulang kortikal dari wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis yang menerima terapi TPT, suatu studi cross-sectional mengestimasikan berbagai parameter kualitas tulang kortikal menggunakan QCT perifer dalam radius distal nondominan mereka. Dibandingkan dengan placebo, pasien-pasien di bawah terapi TPT memiliki isi mineral tulang total, area total dan area tulang kortikal, lingkar (sirkumferen) periosteal dan endokortikal yang lebih tinggi secara bermakna (37).
Bagaimanapun, porositas kortikal yang timbul pada pasien-pasien dengan hiperparatiroidisme telah meningkatkan perhatian bahwa pemberian PTH intermiten untuk mengobati pasien-pasien osteoporotik dapat melemahkan tulang kortikal dengan cara meningkatkan porositasnya. Untuk mengevaluasi efek potensiil dari terapi TPT ini, Burr dkk. (38) mengobati monyet-monyet yang terovariektomi untuk waktu hingga 18 bulan dengan TPT dan mengobservasi adanya peningkatan porositas intrakortikal bergantung dosis dalam humerus mereka tanpa suatu efek bermakna pada kekuatan tulang. Kebanyakan porositas terkonsentrasi dekat permukaan endokortikal di mana efek mekaniknya di sini adalah kecil. Lebih lanjut, Sato dkk. (39) menjalankan suatu analisis kuantitatif yang terinci terhadap berbagai efek TPT pada femur proksimal dari monyet-monyet yang terovariektomi dan menyimpulkan bahwa TPT memiliki banyak efek menguntungkan pada femur proksimal meskipun terjadi peningkatan porositas kortikal. Pororitas kortikal tidaklah berpengaruh buruk pada integritas mekanik femur proksimal karena meningkatnya area kortikal (mungkin akibat dari aposisi tulang periosteal yang meningkat) dan volum tulang trabekuler adalah lebih dari pada kompensasi bagi porositas itu sendiri. Dari catatan diketahui bahwa, banyak efek-efek menguntungkan dari TPT dipertahankan hingga 6 bulan setelah terapi.
* Mineralisasi
Misof dkk. (40) telah mengevaluasi distribusi BMD biopsi-biopsi tulang krista iliaka sebelum dan sesudah terapi TPT untuk 18 – 36 bulan pada laki-laki dan wanita dengan osteoporosis menggunakan qBEI. Pada tulang kortikal, perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari biopsi-biopsi sebelum dan sesudah pengobatan memerlihatkan suatu penurunan dalam konsentrasi kalsium tipikal pada laki-laki namun tidak berubah pada wanita, dengan suatu peningkatan dalam heterogeneitas mineralisasi pada keduanya. Pada tulang kanselus, tidak dijumpai perubahan dalam konsentrasi kalsium tipikal, namun terdapat suatu heterogeneitas mineralisasi yang lebih besar baik pada laki-laki maupun wanita akibat dari matriks tulang yang baru terbentuk. small angle X-ray scattering dibuat pada suatu subgroup pada subjek-subjek yang menunjukkan struktur kolagen/mineral yang normal. Berbagai temuan ini mengonfirmasi observasi-observasi bahwa PTH merangsang remodeling skelet, menghasilkan pada suatu meningkatnya persentase matriks tulang yang baru terbentuk dari densitas mineralnya yang lebih rendah.
* Kolagen dan Kerusakan-mikro
Garnero dkk. (41) telah meneliti berbagai efek PTH (1-84) dan alendronat (ALN) dalam rasio CTx αα/ββ pada wanita-wanita pascamenopaus yang dengan osteoporosis. Selama tahun pertama, tidak terdapat perubahan bermakna dalam rasio CTx αα/ββ dengan pengobatan PTH atau ALN, menyarankan bahwa produk-produk degradasi kolagen tipe I yang tersekresikan dalam urin selama tahun pertama pemberian PTH, yang mungkin meningkat secara predominan, adalah berasal dari resting bone yang terbentuk sebelum memulai terapi. Saran alternatifnya, isomerisasi kolagen yang terbentuk selama pengobatan PTH mencapai keseimbangan sebelum terdegradasikan. Pada saat 24 bulan, bagaimanapun, terjadi suatu peningkatan yang jelas dalam rasio CTx αα/ββ pada wanita-wanita yang telah menerima PTH selama tahun pertama yang diikuti dengan suatu pemberian placebo atau ALN pada tahun kedua di mana rasio itu hanya sedikit meningkat setelah 2 tahun berlanjutnya ALN, menyarankan bahwa terapi PTH mungkin menghasilkan penurunan maturasi kolagen tulang. Peneliti kemudian menyimpulkan bahwa terapi dengan PTH (1-84) untuk satu tahun dan diikuti oleh pemberian placebo atau ALN, dapat dikaitkan dengan penurunan isomerisasi kolagen tipe I. Pengaruh dari berbagai perubahan kolagen tipe I ini pada ketahanan tulang terhadap fraktur masih tetap perlu diteliti.
Hasil-hasil yang analog adalah didapatkan sebelumnya oleh Paschalis dkk. (42) yang menganalisis biopsi-biopsi tulang dari pasien-pasien setelah menerima placebo atau TPT. Pada kelompok TPT, suatu kecenderungan yang mengarah kepada suatu peningkatan dalam divalent crosslinks terobservasi setelah pengobatan, berhubungan dengan meningkatnya pembentukan kolagen tersintesis yang baru.
Penekanan bone turnover oleh BPs adalah dikaitkan dengan peningkatan akumulasi kerusakan mikro tulang pada model-model binatang namun berbagai efek TPT pada akumulasi kerusakan mikro belum pernah dilaporkan. Karenanya, Dobnig dkk. (43) melakukan studi efek peningkatan bone turnover dan perbaikan struktur tulang terhadap akumulasi kerusakan mikro pada 66 wanita pascamenopaus dengan osteoporosis yang memulai dengan TPT (20 µg/d) sebagai pengobatan pertama (38 wanita) dan pada mereka yang berpindah dari ALN jangka panjang (10 mg/d atau 70 mg/minggu) ke pengobatan TPT (28 wanita). Biopsi-biopsi tulang krista iliaka dikumpulkan dan dianalisis untuk struktur mikro dan akumulasi kerusakan mikro pada saat mulai pengobatan dan setelah 24 bulan pemberian TPT.
Pengobatan TPT mengurangi akumulasi kerusakan mikro pada pasien-pasien osteoprotik yang sebelumnya telah menjalani pengobatan dengan ALN dan mengurangi panjangnya keretakan tanpa melihat pengobatan yang didapat sebelumnya. Lebih jauh, peneliti di atas menekankan bahwa suatu arsitektur mikro yang intak adalah esensiil bagi mempertahankan akumulasi kerusakan mikro pada level normal secara fisiologis pada pasien-pasien osteoporotik.
Strontium Ranelate (SR)
Strontium ranelat (SR) merupakan suatu obat antiosteoporotik oral yang mendorong pembentukan tulang in vitro dengan cara menguatkan replikasi sel pre-osteoblastik, meningkatkan diferensiasi osteoblastik dan menaikkan rasio osteoprotegerin/RANK-L. Di samping berbagai efek pada osteoblas ini, SR juga menurunkan resorpsi tulang dengan cara menghambat aktifitas dan diferensiasi osteoklas (44). Studi-studi terkini menunjukkan bahwa aktifasi replikasi osteoblas adalah sebagiannya dimediasi oleh calcium sensing receptor (CaR) yang adalah juga tersangkut dalam proses apoptosis osteoklas terinduksi SR (SR-induced osteoclast apoptosis) (45).
Oleh karena strontium merupakan suatu elemen yang lebih berat dari pada kalsium, inkorporasinya ke dalam tulang akan memengaruhi pengukuran BMD. Tambahannya, telah ditunjukkan bahwa SR didistribusikan dalam matriks terkalsifikasi dan dengan mudah dapat berpindah (exchangeable) dari mineral tulang menjadi sedikit terkait (linked) ke kristal-kristal dewasa melalui substitusi ionik. Berbagai efek kombinasi dari distribusi strontium dalam tulang dan meningkatnya absorpsi sinar-X strontium dibandingkan dengan kalsium mengarah ke pada amplifikasi pengukuran BMD dengan DXA. Berbagai efek ini dapat digunakan untuk menjelaskan temuan mengenai sedikitnya 50% dari perubahan dalam BMD yang terukur. Bagaimanapun, suatu algoritma bagi pengaturan BMD akan menyangkut sejumlah asumsi dan tidak dapat digunakan bagi pasien-pasien secara individu (45). Secara keseluruhan, berbagai perubahan BMD yang terjadi pada pasien-pasien yang diterapi dengan SR yang bertanggung jawab atas 75% reduksi dalam risiko fraktur, menyarankan bahwa terapi ini juga mengganggu (interfere) kualitas tulang (45).
* Arsitektur-mikro dan Geometri
Studi-studi in vivo mengindikasi bahwa SR menurunkan resorpsi tulang dan mendorong pembentukan tulang, sehingga mencegah hilangnya tulang. Proses positif yang berjalan secara terpisah (uncoupling) di antara pembentukan dan resorpsi tulang ini menghasilkan perolehan tulang dan perbaikan dalam geometri dan arsitektur mikro tulang pada khewan-khewan yang bertumbuh. Ketika diberikan kepada tikus-tikus betina selama 2 tahun, SR menginduksi suatu peningkatan dalam sifat-sifat mekanik tulang yang bergantung dosis pada level korpus vertebra dan pertengahan femur (47). Tambahannya, Pengobatan dengan SR mencegah efek deleterious dari ovariektomi pada kekuatan tulang. Setelah setahun pemaparan dengan SR, sifat-sifat mekanik tulang vertebra dari tikus-tikus yang diovariektomi secara bermakna dipertahankan dalam kaitannya dengan suatu pemertahanan sebagian dari arsitektur mikro trabekula: efek bergantung dosis pada rasio volum tulang/volum trabekula dan jumlah dan ketebalan trabekula (48).
Biopsi-biopsi tulang krista iliaka dari wanita-wanita osteoporotik pascamenopaus dianalisis dengan 3D µCT menunjukkan beberapa perbaikan arsitektur mikro baik pada tulang trabekuler maupun kortikal setelah 3 tahun pengobatan dengan SR. Dalam perbandingannya dengan placebo, pasien-pasien yang diterapi dengan SR selama 3 tahun menunjukkan peningkatan bermakna dalam jumlah trabekula (+14%), penurunan separasi trabekula (-16%) dan peningkatan dalam ketebalan kortikal (+18%). Lebih lanjut, terdapat suatu peningkatan bermakna (-22%) dari model index structure yang mana hal ini menyarankan suatu pergeseran dalam struktur trabekula dari konfigurasi berbentuk seperti batang (rod-like) ke seperti piringan (plate-like) yang menghasilkan tulang yang lebih kuat. Berbagai perubahan dalam struktur trabekuler dan kortikal ini yang mungkin menjelaskan efikasi anti fraktur SR (49).
* Mineralisasi
Boivin dkk. melaporkan evaluasi histomorfometrik wanita-wanita osteoporotik yang diterapi dengan SR dan tidak mendapatkan efek pada karakteristik kristal ataupun pada mean degree of mineralization of bone (MDMB) atas suatu rentangan dosis yang besar (0.5, 1, dan 2 g/d) (30).
Estrogen: Terapi Pengganti Hormon (HRT)
WHI (Women’s Health Initiative) mengunjukkan adanya efek dari terapi hormon pada BMD dan pada pengurangan fraktur osteoporotik pada beberapa tempat, termasuk panggul. Walaupun keuntungan terapi pengganti hormone (HRT) pascamenopaus pada fraktur adalah jelas, berbagai efek buruk seperti peningkatan risiko stroke dan thrombosis vena dalam perlu diperhatikan, juga diganggu oleh berbagai temuan belakangan berupa meningkatnya risiko kanker payudara dan kurangnya keuntungan dalam perlindungan jantung (cardio-protective) (50). Bagi semua alasan ini, sekalipun telah diketahui keefektifannya dalam pencegahan osteoporosis pascamenopaus, HRT haruslah hanya dipertimbangkan bagi wanita-wanita yang berada pada risiko osteoporosis bermakna yang tidak dapat menerima pengobatan non-estrogenik.
* Bone Turnover dan Arsitektur-mikro
HRT merupakan suatu pengobatan profilaktik efektif bagi hilangnya tulang pascamenopaus karena ia mengurangi remodeling tulang, yang mana proses ini mungkin dipercepat oleh hiperaktifitas osteoklastik progresif. Tambahan pula, estrogen juga mampu mengerahkan suatu efek anabolik pada wanita-wanita dengan osteoporotik, bahkan ketika sudah terjadi saat memasuki menopaus sebagaimana ditunjukkan oleh Khastgir dkk. (51). Berbagai studi histomorfometrik biopsi-biopsi tulang iliak dilaksanakan pada perempuan-perempuan pascamenopaus yang lebih tua dengan BMD rendah, sebelum dan 6 tahun setelah HRT, menghasilkan perbaikan BMD baik pada lokasi-lokasi vertebra lumbal maupun femur proksimal. Lebih jauh, mereka mengobservasi suatu peningkatan dalam volum tulang kanselus dan suatu tambahan ketebalan dinding setelah 6 tahun HRT, mengindikasikan adanya perolehan keuntungan tulang.
Penelitian akan aksi-aksi estrogenik pada tulang skelet adalah terutama memusatkan pada tulang kanselus. Guna meneliti berbagai efek baik HRT konvensional maupun estradiol dosis tinggi pada tulang kortikal pada wanita-wanita pascamenopaus, Vedi dkk. (52) menjalankan studi-studi histomorfometrik ditambah analisis imejing tulang iliak pada saat mulai dan saat 2 tahun setelah HRT. Wanita-wanita yang diterapi estrogen dosis tinggi menunjukkan lebar kortikal tertinggi sementara proporsi kanal-kanal dengan suatu permukaan tererosi secara bermakna lebih rendah dibandingkan pada wanita-wanita sebelum atau setelah pemberian HRT konvensioal. Laju pembentukan tulang mereka secara bermakna lebih rendah dari pada wanita-wanita yang tidak diterapi dan nilai-nilai intermediet ditemukan pada wanita-wanita yang diterapi dengan HRT konvensional. Hasil-hasil ini menyediakan bukti bahwa estrogen menginduksi penekanan bone turnover dalam tulang kortikal krista iliaka dari wanita-wanita pascamenopaus melalui suatu cara-cara yang bergantung dosis.
* Mineralisasi dan Kolagen
Untuk menilai apakah HRT mengubah derajat mineralisasi tulang dan collagen cross-linking, Paschalis dkk. (53) menganalisis contoh-contoh tulang dari wanita-wanita pascamenopaus dini pada saat awal dan 2 tahun setelah pemberian HRT dengan menggunakan suatu kombinasi pemeriksaan histomorfometrik dan teknik imejing infra merah. Mereka mengobservasi adanya suatu pergeseran dalam derajat mineralisasi tulang dan rasio collagen cross-links (rasio PYD/DPD) menuju ke arah nilai-nilai yang lebih tinggi setelah pemberian HRT, menyarankan bahwa tulang menjadi lebih dewasa, yang mungkin hal ini diperkirakan akibat dari tertekannya aktifitas osteoklastik.
Selective Estrogen Receptor Modulator (SERMs)
Sepanjang dekade lalu, perhatian yang cukup besar telah dipusatkan pada SERMs sebagai suatu alternatif untuk terapi estrogen pascamenopaus. Agen-agen ini bekerja sebagai agonis estrogen dalam beberapa jaringan dan sebagai antagonis pada yang lainnya akibat dari aksi-aksi spesifik mereka pada reseptor-reseptor estrogen. Berbagai keuntungan dengan terapi raloksifen (suatu SERM nonsteroid) yang muncul dari percobaan MORE (multiple outcomes of raloxifene evaluation), pada mana sebanyak 7705 wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis dipelajari. Ditemukan adanya peningkatan BMD dalam vertebra dan kolum femur dan risiko fraktur-fraktur vertebra berkurang secara bermakna, tanpa adanya efek bermakna pada fraktur-fraktur non-vertebra. Risiko timbulnya hiperplasia endometrium tidak berubah dan risiko timbulnya kanker payudara invasif berkurang secara bermakna sementara terdapat suatu peningkatan risiko thromboembolisme vena (54). Walaupun risiko kejadian-kejadian koroner tidak berubah dengan terapi ini, level-level kolesterol LDL ditemukan menurun dan level HDL meningkat.
Terjadi hanya sebesar 4% – 5% pengurangan fraktur terobservasi dengan pemakaian raloksifen (RLX) yang hal itu merupakan hasil dari peningkatan BMD vertebra lumbal dan kolum femur, menyarankan bahwa RLX mungkin juga memerbaiki properti matriks tulang (55).
* Bone Turnover
Untuk membandingkan terapi raloksifen terhadap HRT, Weinstein dkk. (56) menganilisis dampak obat-obatan ini pada bone turnover setelah satu tahun pengobatan. Frekuensi dari berbagai kejadian remodeling pada tulang kanselus dan laju pembentukan tulang baik pada tulang kanselus maupun pada tulang endokorteks adalah meningkat pada kelompok placebo, sementara semua pengukuran ini menurun dikedua kelompok pengobatan. BMD meningkat dari awal memulai pengobatan pada vertebra lumbal (dalam kelompok HRT) dan pada keseluruhan tubuh (pada kedua kelompok RLX dan HRT). Dibandingkan dengan kelompok RLX, meningkatnya BMD adalah lebih besar pada kelompok HRT pada vertebra lumbal namun tidak pada keseluruhan tubuh. Berbagai penanda tulang menurun secara bermakna di kedua kelompok pengobatan aktif, yang berubah berbeda secara bermakna dari apa yang diperlihatkan dengan pemberian placebo. Secara keseluruhan, para peneliti di sini menyarankan bahwa RLX melanggengkan massa tulang melalui pengurangan peningkatan bone turnover yang dijumpai pada wanita-wanita pascamenopaus melalui berbagai mekanisme yang sama dengan yang bekerja pada wanita-wanita pascamenopaus yang menerima HRT.
* Arsitektur-mikro dan Geometri
Meskipun terdapat banyak kesamaan di antara raloksifen dengan BPs dalam pencegahan penurunan pembebanan maksimal, massa tulang, dan arsitektur mikro pada tikus-tikus terovariektomi, meningkatnya BMD adalah lebih menonjol setelah pemberian BP dibandingkan RLX (57). Temuan ini adalah paralel dengan apa yang diobservasi dari banyak studi pada anjing yang menunjukkan suatu perbaikan bermakna berbagai properti mekanik pada level material setelah satu tahun pengobatan dengan raloksifen bahkan bila aBMD, vBMD, BV/TV, dan percent ash masih tetap tidak berubah dalam perbandingannya dengan kontrol. Berbagai perbaikan level-material ini telah dideteksi baik pada lokasi-lokasi tulang kortikal maupun trabekuler.
Dalam setingan klinik, suatu efek ringan relatif dari RLX pada BMD telah juga terobservasi meskipun terdapat suatu yangat perlu diperhatikan, efikasi antifraktur vertebra. Terobservasinya berbagai perbaikan dalam arsitektur mikro mungkin, setidaknya sebagian, mendasari kemampuan RLX untuk meningkatkan kekuatan tulang dan mengurangi risiko fraktur, yang sekalipun demikian nampaknya bahwa aksi menguntungkan mendasar pada kualitas material tulang intrinsik, baik pada level kortikal maupun trabekuler, memainkan suatu peranan penting dalam mekanisme ini melalui cara mana agen ini adalah efektif dalam pengobatan osteoporosis. Tambahannya, adalah juga harus dicatat bahwa SERMs dikenal memiliki suatu efek perlindungan pada osteosit in vitro; bagaimanapun, tidak terdapat bukti meyakinkan dari berbagai efek ini pada manusia (57).
* Mineralisasi
Berbagai efek pengobatan RLX (60 x 120 mg/d) terhadap mean degree of mineralization of bone (MDMB) telah juga diselidiki dalam satu studi longitudinal prospektif dari satu subset dari sejumlah 64 pasien yang ikut serta dalam percobaan MORE. Analisis radiografi-mikro kuantitatif dari biopsi-biopsi krista iliaka yang diambil pada saat awal mulai dan setelah 2 tahun pengobatan menunjukkan suatu peningkatan bergantung dosis (dose-dependent) yang bermakna pada MDMB dibandingkan dengan pada saat awal mulai pengobatan. Peningkatan dalam konten mineral yang terobservasi disertai langgengnya heterogeneitas distribusi mineral merupakan suatu hasil dari kemampuan RLX untuk menurunkan bone turnover, dengan demikian memerpanjang durasi mineralisasi sekunder dari basic structural units (BSUs) tulang dan memungkinkan bagi tulang baru untuk mencapai suatu derajat mineralisasi yang lebih tinggi. Mekanisme ini telah ditunjukkan bagi memerbaiki berbagai properti biomekanik tulang dan akan menyumbang bagi pengurangan risiko fraktur terobservasi setelah pengobatan dengan RLX. Di lain pihak, meningkatnya mineral skelet dapat memerbaiki rigiditas struktural dan mineral yang berlebihan mungkin dapat mengawali ke pada suatu peningkatan dalam brittleness (58).
* Kolagen dan Kerusakan-mikro
Telah dihipotesiskan bahwa RLX dapat mengubah matriks organik (26) dan, khususnya, kolagen, yang telah dikenal menyumbang bagi properti biomekanik dan intrinsik tulang. Untuk menjawab pertanyaan ini, Byrjalsen dkk. (11) mengevaluasi efek dari berbagai pengobatan antiresorptif (BPs, HRT dan RLX) pada maturasi kolagen tulang yang diukur menggunakan rasio CTx αα/ββ. Ditemukan bahwa berbagai terapi antiresorptif ini menginduksi banyak perbedaan profil maturasi dari kolagen tulang, misalnya rasio CTx αα/ββ adalah lebih besar setelah pengobatan dengan HRT dibanding RLX di mana rasio CTx αα/ββ setelah terapi RLX adalah lebih besar dibanding BPs.
Terdapat suatu perdebatan yang cukup seru mengenai penentuan laju remodeling normal dan berbagai efek deleterious potensiil dari suatu penekanan berlebih oleh agen-agen antiresorptif, yang memberikan gangguan potensiil pada perbaikan kerusakan mikro dan pada penggantian tulang tua oleh unit-unit baru yang segar. Walaupun tidak terdapat data fraktur yang mendukung teori yang sangat kontroversiil ini, SERMs tidaklah menekan bone turnover hingga sebesar yang akan menyebabkan penumpahan perhatian yang seperti itu. Faktanya, data menunjukkan bahwa RLX memertahankan bone turnover hingga ke level-level premenopaus (59) dan data eksperimental mengunjukkan bahwa obat-obat ini senyatanya mengurangi densitas keretakan mikro dalam jaringan tulang.
Kalsitonin (CTN)
Kalsitonin (CTN) merupakan suatu hormon polipeptid endogen yang disekresikan oleh sel-sel C tiroid yang bekerja menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Namun, terdapat juga kewaspadaan bahwa paparan CTN berkepanjangan dapat mengatur-kehilir reseptor-reseptor kalsitonin pada osteoklas, yang memberi kemungkinan sel-sel osteoklas untuk kembali bangkit dari aksi penekanan oleh CTN. Pemberiannya yang intermiten telah direkomendasikan sebagai suatu strategi untuk mencegah resistensi klinis (60).
Sejumlah percobaan acak telah menyarankan bahwa CTN salmon yang dapat diinjeksikan atau bentuk intranasalnya adalah efektif dalam mencegah hilangnya tulang trabekuler pada menopaus lanjut. Satu percobaan klasik telah mengevaluasi pemberian kalsitonin 200 IU intranasal dan mengunjukkan suatu pengurangan fraktur vertebra sebesar 33 – 35% tanpa menimbulkan efek substansiil pada BMD (61). Suatu penurunan sebesar 30% dalam kejadian fraktur panggul terobservasi oleh Kanis pada pasien-pasien yang diobati dengan CTN yang dapat diinjeksikan namun data dengan CTN nasal yang umum pada lokasi-lokasi nonvertebra adalah kontroversiil. Tambahannya, CTN kemungkinan memiliki suatu efek analgesik pada wanita-wanita dengan fraktur-fraktur vertebra akut, yang mana nampaknya ini tidak bergantung dari efeknya pada proses resorpsi osteoklastik (60).
Studi-studi klinik yang tertuju pada berbagai efek CTN pada kualitas tulang adalah langka namun sedikitnya terdapat satu di antaranya yang harus dilihat. Peneliti di sini memostulasikan bahwa terapi CTN mungkin diasosiasikan dengan berbagai perbaikan dalam struktur mikro tulang yang tidak terdeteksi dengan BMD. Untuk menekankan hipotesis ini, sebuah studi terkontrol placebo acak dari dosis harian kalsitonin salmon 200 IU bentuk semprot hidung (CT-NS) dilakukan terhadap sedikitnya sejumlah 45 wanita-wanita osteoporotik pascamenopaus per kelompok, menggunakan teknologi MRI noninvasif pada lokasi-lokasi skelet berganda dan µCT/histomorfometri dari biopsi-biopsi tulang krista iliaka untuk menentukan arsitektur mikro trabekuler (10).
Penilaian MRI dari radius distal dan trokhanter minor dari panggul memerlihatkan pelanggengan parameter-parameter arsitektur mikro trabekuler pada kelompok CT-NS, di mana deteorisasi bermakna terobservasi pada kelompok placebo. Kombinasi analisis µCT/histomorfometri biopsi-biopsi tulang krista iliaka juga pengukuran BMD dengan DXA tidak menunjukkan perbedaan konsisten dalam hal arsitektur di antara kelompok CT-NS dan placebo.
Sebagai simpulan, hasil-hasil studi QUEST menyarankan bahwa terdapat berbagai keuntungan teraputik dari CT-NS dalam memertahankan arsitektur mikro trabekuler pada lokasi-lokasi sekelet berganda dan menyokong penggunaan teknologi MRI dalam banyak percobaan penelitian klinis untuk penentuan arsitektur mikro tulang. Namun, hasil-hasilnya juga menekankan terdapatnya banyak perbedaan yang spesifik lokasi (site-specific) dalam respon terhadap berbagai terapi antiresorptif dan pentingnya volum-volum sampling yang cukup besar untuk mendapatkan penilaian arsitektur tulang yang dapat dipercaya (10).
RINGKASAN DAN SIMPULAN
Meskipun memang sudah maju, terapi bagi osteoporosis masih memperlihatkan suatu tantangan penelitian yang cukup besar. BMD merupakan suatu peralatan klinis yang berguna bagi pendiagnosisan dan pemonitoran osteoporosis, namun memiliki banyak keterbatasan yang harus dikenali dan ditujukan. Karena berbagai obat dan penyakit tulang memiliki suatu spektrum efek yang berrentang dari level mikroskopis hingga level makroskopis (Tabel 1) yang mungkin berubah bergantung dari fisiologi yang mendasari dari seorang pasien tertentu, penggunaan BMD dapat tidak mendeteksi semua efek yang sepatutnya diantisipasi tersebut.
Tabel 1.
Berbagai penanda bone turnover mungkin merupakan suatu komplemen berguna dalam memecahkan kerumitan ini sebagaimana mereka memerlihatkan berbagai efeknya pada remodeling tulang dalam ketiadaan perubahan pada berbagai uji densitas tulang. Sayangnya, tidak ada teknik pengawasan yang benar-benar akurat. Banyak prospek ke depan bagi analisis kekuatan tulang in vivo menggunakan CT atau MRI telah dikembangkan hingga ke batas penggunaan klinis, namun hal ini mungkin masih merupakan jalan bagi masa depan. Berbagai analisis elemen berukuran sangat halus dapat mereproduksi konstruksi 3D tulang melalui pengukuran-pengukuran noninvasif, mengumpulkan semua elemen-elemen kekuatan tulang ke dalam suatu peralatan klinis berguna untuk penentuan respon teraputik (62)
Hingga kini, efek utama dari obat-obat osteoporosis terhadap kualitas tulang dapat disimpukan sebagai berikut. Terapi antiresorptif, khsususnya bifosfonat, umumnya meningkatkan MDMB dan homogeneitas mineralisasi. Disarankan bahwa, kebanyakan dari perubahan dalam aBMD yang terinduksi oleh berbagai terapi antiresorptif merupakan hasil dari peningkatan dalam MDMB.
Efek terapi antiresorptif pada tulang kortikal adalah terbatas, namun ia berguna ketika dilihat dari dampaknya yang meskipun sedikit pada ukuran (size) namun porositas adalah menurun. Adanya perubahan relatif sedang dalam aBMD, meskipun terjadi penurunan dramatis dalam efikasi antifraktur yang terobservasi dalam percobaan-percobaan antiresorptif, mungkin sedikitnya merupakan suatu konsekuensi dari menurunnya remodeling tulang yang mengarah ke pada suatu peningkatan dalam massa tulang dan ke pada suatu penurunan dalam jumlah pembangkit-stres trabekuler
Di lain pihak, TPT telah memerlihatkan meningkatkan ketebalan trabekuler dan bone turnover; bagaimanapun, oleh karena sifat-sifat anaboliknya, ia menghasilkan adanya keuntungan perolehan bersih tulang, yang kemungkinan hal ini menjelaskan dampak positifnya pada risiko fraktur. Meskipun terjadi suatu peningkatan dramatis dalam massa tulang, mineralisasi adalah senyatanya menurun dan hasil bersihnya adalah suatu aBMD yang lebih besar setelah terapi. Strontium ranelat, bagaimanapun, menginduksi suatu peningkatan palsu aBMD sebagai suatu hasil dari inkoorporasinya ke dalam apatit.
Dalam kaitannya dengan kerusakan mikro, akumulasi keretakan mikro adalah terobservasi pada tulang yang diobati dengan BPs. Namun keberadaannya, yang terinduksi oleh obat-obat lain yang digunakan dalam terapi osteoporosis, tidak terkonfirmasikan. Bagaimanapun juga, dosis teraputik BPs tidaklah berdampak negatif pada akumulasi keretakan mikro hingga ke satu level yang dapat meningkatkan suseptibilitas fraktur pada manusia.
Tujuan masa depan bagi penentuan risiko fraktur adalah pengembangan suatu teknik biopsi maya (virtual biopsy) untuk menentukan sifat-sifat material dan struktural tulang pada lokasi-lokasi yang penting secara klinis, secara simultan dan noninvasif (30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar