Rabu, 04 Agustus 2010

Horizon Baru dalam Fisiologi dan Patofisiologi Tulang Kerangka

PENDAHULUAN

Berbagai kisah yang mewakili penjelasan akan keadaan yang disebut ”the Dowager’s hump” telah ada sejak akhir abad ke-15 dan, bahkan mungkin sebelumnya, ke masa mumi di Mesir. Bagaimanapun, istilah “osteoporosis” diciptakan oleh seorang ahli patologi Perancis , Jean Lobstein, ia yang, tahun 1820, menemukan bahwa pasiennya memiliki “tulang yang berlobang-lobang (riddled) dengan memiliki lobang yang lebih besar dari normal (1).” Bahkan sebelum temuan penting tersebut, seorang ahli bedah Inggris John Hunter mengobservasi bahwa tulang adalah secara konstan mengalami “remodel” – yaitu, paket-paket tulang tua digantikan oleh paket-paket tulang baru (1). Guna memertahankan integritas dan kekuatan skelet, retakan mikro yang sebagai hasil dari pengaruh hidup dipermukaan bumi harus di perbaiki secara konstan (2). Baik pembuangan tulang sekitar suatu retakan mikro oleh osteoklas maupun peletakan kembali kolagen dan mineral oleh osteoblas dengan demikian akan secara tepat mengatur baik dalam ruang maupun waktu. Di mana ketika terjadi ketidakseimbangan sementara di antara resorpsi tulang dengan pembentukannya, dengan resorpsi terjadi lebih banyak dari pada pembentukannya, maka tulang akan hilang, yang pada akhirnya menghasilkan osteoporosis dan fragilitas skelet. Pada dekade yang lalu telah digunakan tikus-tikus percobaan yang termodifikasi secara genetik untuk membedah pengaturan molekuler remodeling tulang, dan untuk menentukan molekul-molekul manakah yang penting dan harus ada bagi resorpsi dan pembentukan tulang. Molekul-molekul ini sebaliknya telah menjadi target-target teraputik hidup. Terdapat tiga kemajuan yang tercapai. Pertama adalah temuan bahwa sitokin RANK-L adalah diperlukan sekaligus mencukupi bagi membentuk dan memungsikan sel-sel osteoklas (3). Tikus-tikus yang kekurangan RANK-L akan tidak memiliki osteoklas; ini artinya bahwa RANK-L dapat ditekan untuk keuntungan teraputik pada osteoporosis, sebagaimana saat ini sedang dijalankannya menggunakan suatu antibodi monoklon (4). Kedua, telah diketahui bahwa pelepasan TGFa dari matriks tulang selama resorpsi menunjukkan suatu mekanisme mendasar, dan mungkin satu-satunya, melalui mana resorpsi tulang akan digabungkan dengan pembentukan tulang (5). Jadi, ketersediaan TGFa aktif saat awal pada suatu model tikus dari penyakit dari Carmauti-Engelman menimbulkan remodeling tulang yang terganggu, yang mengingatkan kita pada penyakit tulang dari Paget pada manusia (5). Akhirnya (ketiga), telah didapatkan bahwa central leptinergic nerve mengatur pembentukan tulang melalui perintah (relay) simpatis (6). Tikus yang secara genetik tidak memiliki komponen-komponen dari sistim nervus simpatis, khususnya reseptor â2 adrenergik, dengan demikian memiliki perbanyakan pembentukan tulang dan massa tulang yang tinggi. Hal yang sama, telah ditemukan bahwa banyak hormon-hormon hipofisis dan hipothalamus, sebut saja TSH, FSH, ACTH, dan okasitosin, secara langsung mengatur massa tulang melampaui target-target tradisonal pada mana mereka hanya diperkirakan bekerja (7-10). Tulisan ini akan memokuskan pada berbagai mekanisme baru tersebut ini.

TEKA-TEKI KLINIS

Data di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 44 juta masyarakatnya memiliki osteoporosis, dengan insiden fraktur pada wanita-wanita pascamenopaus sangat melebihi kombinasi insiden kanker payudara, penyakit jantung dan stroke (11). Memang, penarikan (withdrawal) hormon steroid seks secara akut melalui ablasi gonad ataupun secara bertahap sebagaimana terjadi pada menopaus alami adalah selalu dikaitkan dengan hilangnya tulang. Bagaimanapun, apa yang telah terkumpul sedikit demi sedikit akhir-akhir ini adalah bahwa hilangnya tulang sangat dipercepat seawalnya pada akhir masa perimenopaus, meskipun level-level estrogennya secara relatif adalah normal (12, 13). Hingga sebesar 50% dari hilangnya tulang sepanjang hidup dapat terjadi dalam lima tahun pertama menopaus (11). Terbanyak yang tercatat, dalam hal ini parameter-parameter remodeling tulang, seperti misalnya frekuensi aktifasi, adalah meningkat bahkan lebih awal dalam tahun pertama menopaus (14). Pentingnya, hilangnya tulang ini adalah dikaitkan dengan deteriorasi struktur mikro jaringan tulang, yang mana akan menyebabkan suatu pengurangan kekuatan tulang secara dramatik dan suatu predisposisi ke suatu fraktur (15). Sebagaimana level estrogen adalah relatif normal selama masa akhir perimenopaus, laju hilangnya tulang yang cepat ini tidak dapat memberikan pemahaman bila dijelaskan melalui hipoestrogenemia. Fakta bahwa level-level FSH yang bersirkulasi adalah tinggi selama periode ini (12) mendorong kita untuk menyelidiki apakah FSH secara langsung memengaruhi skelet. Tambahannya, lebih dari 10% wanita-wanita pascamenopaus menerima terapi pengganti hormon tiroid. Dari kepentingannya yang sama, dibandingkan pada hipertiroidisme laki-laki , maka hal ini 10 kali lipat lebih sering pada wanita, dengan suatu angka insiden satu dalam 1,000 per tahun (16). Hipertiroidisme yang jelas ataupun penekanan TSH teraputik adalah dikaitkan dengan osteoporosis parah, yang adalah lebih sering terjadi pada wanita-wanita pascamenopaus (17, 18). Jadi, osteoporoses pascamenopaus dan keadaan tirotoksis bertumpang tindih secara bermakna pada wanita-wanita usia tua. Pentingnya, pasien pasien dengan hipertiroidisme subklinis pada mana level-level hormon tiroid adalah ”normal” dan TSH ditekan akan menderita kehilangan tulang yang parah (7); hal ini mendorong kita untuk memeriksa apakah TSH yang rendah mengijinkan bagi osteoporosis yang hingga kini dihubungkan hanya ke pada meningkatnya hormon-hormon tiroid.

Dalam dekade lalu, perhatian telah difokuskan pada pemahaman patofisiologi dari dua kondisi medis penting, osteoporosis pascamenopaus dan osteoporosis hipertiroid, yang dalam rangka itu telah menemukan mekanisme-mekanisme baru proses kehilangan tulang pathologis. Sebut saja, osteoporoses menopaus dan hipertiroidisme yang selama ini telah difikirkan hanya adalah diakibatkan oleh menurunnya estrogen serum dan meningkatnya hormon-hormon tiroid serum, secara berurutan, saat ini dapat dihubungkan, sedikitnya sebagian, kepada berbagai perubahan yang menyertai dalam hormon hipofisis anterior FSH dan TSH (19). Tulisan ini akan berfokus pada studi-studi pada biologi sel, genetika tikus, dan studi pada manusia yang telah memapankan suatu aksi langsung hormon-hormon yang bertanggung jawab pada tulang skelet, dan mendiskusikan bukti klinis yang sedang bermunculan saat ini tentang suatu aksis hipofisis-tulang yang baru pada manusia yang melampaui/melompati organ-organ endokrin utama, sebut saja ovarium dan kelenjar tiroid.


FSH YANG MENINGKAT DAN OSTEOPOROSIS PASCAMENOPAUS

Sejak adanya temuan Fuller Albright tentang hilang tulang hipogonad, defisiensi estrogen telah dipertimbangkan sebagai satu-satunya penyebab (20). Bukti yang didapat dari lebih dua dekade telah membanjiri kita bahwa menurunnya estrogen menyebabkan hilangnya tulang, dan bahwa penggantian estrogen akan mencegah kehilangan itu (21). Konsep-konsep ini adalah berlaku bagi semua spesies, dan tidak diragukan lagi bahwa estrogen memiliki peran utama dalam homeostasis skelet. Bagaimanapun, hal yang sebaliknya terjadi dengan data in vivo dan klinik, studi-studi in vitro menjelaskan bagaimana estrogen dalam mencegah hilangnya tulang adalah tidak begitu meyakinkan. Sebut saja, terdapat bukti efek estrogen yang lemah namun bersifat penghambatan langsung terhadap prekursor-prekursor osteoklas melalui penghambatan suatu enzim janus N-terminal kinase (22, 23). Estrogen juga menggunakan jalur-jalur ganda untuk memodifikasi sekresi RANK-L dan reseptor pengumpan (decoy)-nya yaitu osteoprotegerin (OPG) dari osteoblas, sehingga secara sekunder memengaruhi pembentukan osteoklas (24). Berbagai efek pada pembentukan osteoklas adalah juga dikerahkan melalui sel-sel T, di mana estrogen telah diketahui mengatur produksi sitokin TNF-, dan juga untuk memodulasi produksi penghambat osteoklas yaitu oksida nitrat (25-27). Juga suatu efek anabolik estrogen adalah telah termapankan dengan baik pada model-model binatang (28). Tulisan ini tidaklah menentang aksi anabolik estrogen, juga tidak meragukan efek antiresorptifnya. Tulisan ini hanyalah meninjau suatu korpus paralel studi yang mengusulkan FSH sebagai suatu perangsang resorpsi tulang fisiologis sekaligus patologis tambahan, menyarankan bahwa suatu keadaan meningkatnya FSH dapat menyumbang ke pada penyerapan berlebih dan hilangnya tulang yang hal ini hanya melulu dikaitkan kepada keadaan estrogen yang rendah.

Berbagai implikasi teraputik potensiil adalah meliputi perkembangan dari banyak pertentangan baik bagi FSH yang bersirkulasi dan reseptor osteoklastiknya. Pada tahun 2006, dilaporkan bahwa FSH rekombinan merangsang pembentukan osteoklas dari prekursor-prekursor sumsum tulang manusia atau tikus in vitro (8), suatu temuan yang telah dikonfirmasi oleh banyak temuan lainnya (29). Tambahannya, ditunjukkan bahwa FSH mengaktifasi sel-sel osteoklas dewasa manusia dan menguatkan daya tahan hidup osteoklas melalui penghentian apoptosis-nya (8, 30). Aksi-aksi osteoklastogenik, pro-resorptif dan pro-survival FSH adalah dikerahkan melalui suatu Gi2-coupled FSH receptor isoform, yang telah diidentifikasi baik pada osteoklas (dan prekursornya) manusia maupun tikus (8, 30-32). Dengan mengaktifasi reseptor, FSH menguatkan fosforilasi dari downstream RANK-L-sensitive kinases, sebut saja Erk dan Ak, juga IB, suatu penghambat NF-B; semua dari jalur ini dikenal mentransduksi efek-efek pro-resorptif RANK-L (8, 30). Sebagai tambahan terhadap efek aksi-aksi langsungnya pada prekursor-prekursor osteoklas, ditemukan bahwa FSH merangsang produksi TNF dari sel-sel makrofag prekursor pada sumsum tulang (33). Temuan lainnya menunjukkan kuatnya berbagai efek FSH pada pengekspresian sitokin pro-resorptif yang lain , IL-1â, pada manusia (32). Pacifici dan rekan kerjanya, sebagai tambahannya, telah mengunjukkan bahwa FSH meningkatkan pengekspresian CD40-ligand pada sel-sel limfosit T, yang mungkin sebagai suatu pemicu melalui mana defisiensi estrogen meningkatkan produksi TNF dari sel-sel T dan menyumbang bagi hilangnya tulang pada hipogonadisme (34).

Kekuatan dari observasi-observasi in vitro yang berasal dari Harry Blair (Pittsburgh), Alberta Zallone (Bari, Italia) dan dari laboratorium yang lainnya, dan saat ini telah pula dikonfirmasikan juga oleh banyak lainnya (29, 32), menyarankan bahwa peningkatan level-level FSH mungkin menyumbang bagi penguatan osteoklastogenesis dan penyerapan yang adalah khas pada keadaan-keadaan hipogonad.

Bagaimanapun, guna menyediakan bukti genetik bagi suatu efek FSH pada skelet yang dimunculkan secara tidak bergantung estrogen, maka digunakanlah tikus percobaan yang kekurangan the subunit of FSH atau the FSHR (8). Adapun bukti genetik dari tikus-tikus mutan FSHadalah adanya: haploinsufficiency (pengurangan sebesar 50%) FSH bersirkulasi dalam heterozigot FSHâ yang menghasilkan suatu keadaan massa tulang yang tinggi, walaupun tikus-tikus ini adalah dalam keadaan gonad normal (eugonadal) (8). Pentingnya, ditemukannya di sini bahwa, tingginya massa tulang adalah sebagai akibat dari pengurangan resorpsi tulang yang terbukti berdasarkan pemeriksaan histomorfometri dan kultur-kultur sel-sel sumsum tulang ex vivo (8). Meningkatnya massa tulang dan defek osteoklas pada tikus-tikus eugonad dan haploinsufisien, telah memisahkan berbagai aksi skelet FSH dengan estrogen (35). Tikus-tikus hypogonadal FSH-/- gagal kehilangan tulang meskipun terdapat hipogonadisme parah (8). Keadaan perlindungan skelet ini, adalah sebagiannya mirip dari apa yang terjadi pada keadaan yang sama pada hiperandrogenemia akibat dari bertahannya fungsi luteal (36), dan tulisan ini tidak menyangkalnya. Jadi, tikus-tikus FSHR-/- memang menunjukkan suatu keadaan kehilangan massa tulang bergantung umur, yang kemudian lanjut berkurang akibat penarikan (withdrawal) androgenik (36). Bagaimanapun, reduksi dalam massa tulang ini adalah sebagian besar akibat dari berbagai efek penghambatan estrogen dan penghilangan androgen pada pembentukan tulang, dengan suatu peningkatan rendah (hingga 4 – 5%) dalam resorpsi tulang (36). Sebaliknya, hal yang sama pada tikus-tikus hypogonadal aromatase-/- yang padanya level-level FSH adalah tinggi, mempertunjukkan suatu pelipatgandaan permukaan resorpsi walaupun dengan hiperandrogenemi level rendah yang ekivalen (35). Tikus-tikus ER-/--/- atau GnRHmut hpg, pada mana defsiensi estrogen adalah parah, namun tidak disertai serum FSH tinggi, tidak menunjukkan peningkatan resorpsi tulang yang diperkirakan (37, 38). Beberapa di antara tikus-tikus ini memang kehilangan tulang, namun hilangnya tersebut adalah akibat dari menurunnya pembentukan tulang lebih dari pada suatu peningkatan resorpsi tulang (38). Perkecualian terhadap hal ini adalah penghilangan (deletion) reseptor estrogen (ER) dalam osteoklas, di mana kehilangan tulang dan resorpsi meningkat benar-benar terjadi dalam keadaan menghadapi level-level FSH normal (39).

Sementara memapankan suatu efek estrogen pada skelet (39), hal itu yang memang tidak disangsikan, semuanya tidaklah menjelaskan adanya aksi tambahan FSH. Juga, tanpa (by no means) mengabaikan (excluding) efek antiresorptif estrogen, penarikannya (withdrawl) pada manusia yang diterapi dengan agonis-agonis GnRH, menyebabkan kehilangan tulang jenis high turnover meskipun level-level FSH menurun (40). Malahan, bukti berbagai efek berbeda dari estrogen dan FSH pada tulang, pada mana FSH adalah pro-resorptif, dan estrogen adalah anabolik dan anti-resorptif, menyiptakan suatu pergeseran paradigma dalam pemahaman kita tentang hipogonad, dan yang lebih penting, kehilangan tulang perimenopaus lanjut dan pascamenopaus. Kita perlu menghubungkan kehilangan tulang cepat mendadak dalam tahun-tahun awal menopaus tidak hanya dengan menurunnya estrogen, namun juga dengan meningkatnya level-level FSH. Dengan semua ini, tulisan ini mengajukan relevansi khsusus di mana pada saat level-level estrogen adalah normal, meskipun dalam hal ini kehilangan tulang adalah paling banyak.

Banyak observasi klinis menyokong terhadap peranan FSH dalam kehilangan tulang di sepanjang masa transisi menopaus. The Study of Women’s Health Across the Nations (SWAN), suatu studi cross-sectional dan longitudinal dari lebih dari 2375 wanita-wanita perimenopaus berusia di antara 42 dan 52 tahun, menunjukkan bahwa, tidak hanya terdapat suatu korelasi kuat di antara FSH basal dengan berbagai penanda remodeling tulang (41), namun bahwa suatu perubahan dalam level-level FSH lebih dari 4 tahun akan memrediksi suatu perubahan dalam massa tulang (13). Juga, Xu dkk., memerlihatkan suatu peningkatan bermakna dalam insiden osteoporosis pada suatu kelompok sebanyak 689 wanita-wanita Cina asli yang dengan FSH serum pada kuartil ketiga dan keempat (42). Baru-baru ini, Sower dkk. memerlihatkan bahwa kehilangan tulang vertebra dan kolum femur dipercepat pada wanita-wanita berusia di antara 47.6 dan 51 tahun, misalnya selama stadium 3 FSH (34 hingga 54 mIU/ml), yang berkorespon dengan saat 2 tahun sebelum periode menstruasi terakhir dengan kehilangan terbesar terjadi dalam 2 tahun setelah menopaus (43). Bahwa efek FSH yang mungkin, sebagiannya, terarahkan-sitokin (cytokine-driven) telah juga diunjukkan akhir-akhir ini (32). Khususnya, FSH rekombinan menginduksi isolated human monocytes untuk menyekresi IL-1â, TNFâ, dan IL-6 dalam proporsinya ke pada ekspresi reseptor-reseptor FSH (32). Lebih lanjut, konsentrasi-konsentrasi FSH serum pada wanita-wanita pascamenopaus adalah berkorelasi dengan level-level serum berbagai sitokin ini. Semua korelasi kuat ini membantu kita secara klinis untuk mengidentifikasi wanita-wanita mana yang mengalami kehilangan tulang cepat awal saat menopaus. Telah disediakan satu set rekomendasi yang mendorong intervensi aktif selama masa awal pascamenopaus untuk mencegah kehilangan tulang cepat (44)

Sementara studi-studi korelatif menyediakan informasi klinik berguna, adalah sulit untuk memapankan kausalitas sebagaimana FSH serum merupakan suatu penanda lebih sensitif bagi hipogonadisme dibandingkan dengan penurunan estrogen. Bagaimanapun, terdapat tiga studi yang membawa kita ke suatu langkah menuju pemapanan hubungan sebab-akibat antara FSH dan hilangnya tulang. Pertama, yang berupa studi kecil, menunjukkan bahwa, dengan level-level estrogen yang sama, wanita-wanita amenoreik yang memiliki suatu rerata FSH serum sebesar 35 mIU/ml mengalami kehilangan tulang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan wanita-wanita yang dengan rerata level FSH serum sebesar 8mIU/ml (45). Yang kedua adalah studi pada tikus di mana pemberian FSH secara eksogenus dapat menguatkan kehilangan tulang alveolar yang terinduksi ovariektomi (46, 47). Lebih penting, hilangnya tulang pascaovariektomi, juga bahwa apa yang terinduksi oleh FSH eksogenus, secara bermakna diturunkan oleh suatu antagonis FSH, menyediakan bukti langsung bagi suatu efek FSH pada skelet in vivo (46, 47). Akhirnya, suatu efek langsung FSH pada skelet manusia telah termapankan oleh suatu analisis genetik akhir-akhir ini dari polimorfisme FSHR pada wanita-wanita pascamenopaus, pada mana ditunjukkan bahwa SNP rs6166 dari gen reseptor FSH secara bermakna memengaruhi densitas mineral tulang dan risiko fraktur (48). Khususnya, wanita-wanita dengan AA rs6166 adalah berada pada risiko yang lebih banyak untuk osteoporosis dan fraktur dibandingkan dengan wanita-wanita yang dengan GG rs6166, yang dalam hal ini tidak bergantung dengan level-level FSH dan estrogen dalam sirkulasi. Yang paling penting, kelompok ini memerlihatkan berbagai penanda resorpsi tulang yang tinggi, menyarankan bahwa terdapat suatu efek langsung resorpsi tulang osteoklastik (48). Jadi, sementara suatu bukti dari peran FSH dalam pengaturan massa tulang terus berkembang, analisis genetik ini menawarkan suatu argumen menarik bagi suatu efek langsung FSH pada skelet manusia.


TSH RENDAH DAN KEHILANGAN TULANG PADA HIPERTIROID

Von Recklinghausen (1890) merupakan yang pertama melaporkan adanya suatu asosiasi antara fraktur-fraktur berganda dengan hipertiroidisme (49). Pengalaman klinis yng merupakan kenyataan dan penelitian yang berorientasi pasien kemudiannya telah memapankan banyak asosiasi yang jelas antara tirotoksikosis dan osteoporosis.
Greespan dan Greenspan menyimpulkan bahwa hipertiroidisme berlebih, termasuk penyakit dari Grave, adalah dikaitkan dengan suatu kehilangan integritas skelet dan suatu risiko fraktur panggul yang tinggi (16). Pentingnya, penekanan teraputik TSH bagi kanker tiroid, gondok atau nodul-nodul tiroid adalah dikaitkan dengan osteoporosis, yang mana lebih kentara pada menopaus (17, 18). Sebaliknya, terapi pengganti hormon tiroid untuk menormalkan level FSH serum pada pasien-pasien hipotiroid memiliki suatu efek, yang bila ada, adalah minimal pada tulang. Teka-teki klinis ini memunculkan pertanyaan apakah efek merusak akibat berlebihnya hormon tiroid adalah dimediasi oleh hormon tiroid itu sendiri, tertekannya level TSH, ataukah bahkan faktor-faktor lainnya, seperti misalnya antibodi-antibodi TSHR. Data in vitro menunjukkan efek perangsangan dari hormon tiroid pada resorpsi tulang mendukung banjirnya asosiasi klinik antara hipertiroidisme, osteoporosis dan risiko fraktur yang tinggi (50, 51). T4 dan T3 merangsang resorpsi tulang osteoklastik in vitro dan dalam kultur-kultur organ awalnya melalui pengaktifan osteoblas, yang kemudian melepaskan RANK-L yang menggabungkan aktifasi osteoblastik dengan penguatan resorpsi (52, 53). Bukti genetik adalah sama kuatnya. TR null mice dengan level-level hormon tiroid dan TSH normal memerlihatkan suatu massa tulang yang tinggi, sementara TR deficient mice, pada mana TSH maupun hormon tiroidnya adalah meningkat, memerlihatkan kehilangan tulang (54). Konfirmasi genetik aksi hormon tiroid ini pada tulang tidaklah, bagaimanapun, mengabaikan suatu efek langsung dari level-level TSH rendah. Faktanya, pasien dengan hipertiroidisme subklinis, pada mereka dengan hormon tiroid serum yang normal namun TSHnya ditekan, memerlihatkan osteoporosis high turnover (55-58) dan densitas tulang dan risiko fraktur berkorelasi kuat dengan level-level TSH serum, tidak dengan hormon tiroid serum (59, 60). Telah dilaporkan bahwa TSH merupakan suatu penghambat langsung osteoklas maupun osteoblas (7). Jadi, haploinsufisiensi reseptor TSH (TSHR) pada tikus-tikus TSHR+/- heterozigot akan memicu osteoporosis high turnover dalam keadaan fungsi tiroid normal (7). Lebih lanjut, tikus-tikus TSHR-/- adalah osteoporotik, suatu fenotip yang, dalam suatu keadaan hipotiroid, tidak memungkinkan (could not possibly) muncul dari aksi-aksi proresorptif hormon tiroid. Penggantian hormon tiroid dari tikus-tikus TSHR-/- gagal dalam memertahankan massa tulang, namun mengoreksi pengerdilan (7). Semua data ini menyarankan bahwa efek dari suatu kecacatan pensinyalan TSH pada tulang adalah tidak bergantung dari hormon tiroid dalam sirkulasi. Lebih lanjut, berbagai studi ini menghubungkan, sedikitnya melalui implikasinya, osteoporosis hipertiroidisme dengan level-level TSH rendah, lebih dari pada semata-mata dengan hormon tiroid tinggi (61, 62). Data dari Abe dkk., Hase dkk., dan Sun dkk. mendukung bukti bahwa TSH menghambat resorpsi tulang secara langsung (7, 63, 64). Tikus-tikus TSHR-/- memerlihatkan bukti dari penguatan pembentukan osteoklas, sebagaimana halnya pada tikus-tikus hyt/hyt yang memiliki kecacatan pensinyalan TSH (7, 64). Konsisten dengan studi-studi tentang kehilangan fungsi ini menunjukkan menguatnya osteoklastogenesis, pengaplikasian TSH rekombinan akan menghentikan genesis, fungsi, dan daya tahan hidup osteoklas in vitro (7). Juga, pengekspresian berlebih TSHR yang teraktifasi secara konstitutif pada sel-sel prekursor osteoklas RAW.C3 atau pengekspresian transgeniknya pada prekursor-prekursor tikus adalah mengambat osteoklastogenesis (63, 64). Penghambatan ini dapat dijelaskan melalui adanya suatu penurunan pensinyalan NF-B dan JNK, juga melalui statu penghambatan produksi sitokin osteoklastogenik, TNF (7, 63). Produksi TNF diregulasihulukan pada tikus-tikus TSHR-/- (7), yang kita percayai, meningkatkan pembentukan osteoklas, menyumbang, sedikitnya sebagian, kepada fenotip osteopenik.
Dilesi genetik TNF pada tikus-tikus TSHR-/- menyelamatkan proses peningkatan pembentukan osteoklas dan osteoporosis pada homozigot-homozigot ganda (63). Hal ini konsisten dengan tingginya level-level TNF dan IL-6 yang ditemukan pada manusia hipertiroidisme (65). Jadi, bukti dari studi-studi genetik, farmakologi dan studi-studi pada manusia adalah memaksakan bahwa pensinyalan TSH adalah menghambat pembentukan, fungsi, dan nasib osteoklas. Bukti bagi penekanan langsung resorpsi tulang oleh TSH adalah juga menggunung (64, 66, 67), walau nampaknya bahwa pemberian TSH secara intermiten mungkin juga menjadi bersifat anabolik, meskipun diketahui suatu kemungkinan aksi anti-anabolik hormon tersebut ketika ia bersirkulasi secara konstan pada level-level tinggi. Pada sejumlah 13 tikus, pemberian TSH 3 kali seminggu menghambat hilangnya tulang yang terinduksi ovariektomi dan merestorasi kehilangan tulang 28 minggu setelah ovariektomi (67). Berbagai observasi yang disebut belakangan, dalam perestorasian kehilangan tulang telah menghubungkan berbagai efek anabolik TSH intermiten akibat dari peningkatan laju pembentukan tulang pada studi-studi yang berlabel kalsein (67). Dalam suatu studi lanjutan, TSH mencegah kehilangan tulang yang terinduksi ovariektomi pada tikus, hal yang sama seperti pada pengobatan dengan estrogen atau PTH intermiten (64). Didapatkan juga bahwa kehilangan tulang yang terobservasi setelah ovariektomi pada tikus-tikus besar dapat direstorasi dengan penginjeksian TSH sekali seminggu atau sekali setiap dua minggu – suatu temuan luar biasa mengingat pendeknya waktu paruh TSH tikus (64).

Studi-studi klinis mengenai efek TSH rekombinan pada manusia adalah juga bermunculan dengan cepat. Sebut saja, pada wanita-wanita pascamenopaus, suatu penginjeksian subkutan tunggal dari TSH manusia rekombinan dengan jelas menurunkan serum crosslaps dalam dua hari hingga ke level-level pramenopaus, diikuti oleh penyembuhan setelah 7 hari (66). Bagaimanapun, berbagai efek pada level-level RANK-L dan osteoprotegerin (OPG) serum telah menjadi kontroversi. Sementara Giusti dan kawan sekerjanya (68) memerlihatkan tidak adanya perubahan dalam sitokin-sitokin ini sebagai respon terhadap TSH rekombinan pada pasien-pasien penerima tiroksin untuk differentiated carcinoma thyroid, Martini dan kawan sekerjanya (69) mendapatkan suatu peningkatan RANK-L mengikuti suatu elevasi inisial (initial elevation) PINP, yang merupakan suatu penanda pembentukan tulang. Studi berikutnya menyarankan bahwa TSH rekombinan yang diberikan bolus pada awalnya memengaruhi pembentukan tulang, suatu simpulan yang kelihatannya suatu bukti dari studi-studi pada tikus besar (67). Dari catatan adalah bahwa, tidak ada studi-studi pada binatang pengerat (64, 67) atau pada manusia (66) yang dengan peningkatan level-level hormon tiroid, yang membuktikan melewati keraguan yang beralasan (which proves beyond reasonable doubt) bahwa aksi-aksi skeletal TSH adalah: (1) bebas dari aksi-aksi hormon tiroid (independent from those of thyroid hormones), (2) dikerahkan pada konsentrasi-konsentrasi yang relatif rendah, dan, (3) pada pokoknya (in instances), dapat terjadi pada pemberian intermiten.

Beberapa laporan telah mengiindikasikan bahwa level-level TSH serum rendah dan kehilangan tulang adalah berkorelasi dengan kuat. Satu studi terkini memerlihatkan adanya korelasi negatif kuat pada wanita-wanita pascamenopaus antara C-telopeptid serum, suatu penanda resorpsi tulang, dengan level-level TSH serum, pada mana tidak terjadi korelasi demikian dengan level-level hormon tiroid serum (70). Tiroksin-L yang diberikan kepada pasien-pasien dengan penyakit tiroid noduler mengurangi densitas mineral tulang hingga ke lebih besar bermakna pada pasien-pasien yang dengan level-level TSH mereka ditekan melebihi dari mereka yang dengan TSH tetap dalam batas normal (71). Juga, pada pasien-pasien dengan differentiated carsinoma thyroid, terdapat suatu korelasi terbalik kuat di antara TSH serum dengan berbagai penanda turnover tulang (72). Diperlihatkan bahwa, berbagai korelasi ini adalah bebas/tidak bergantung dari level-level T4 bebas serum dan T3 serum, juga dari parameter-parameter lainnya dari metabolisme tulang (72). Level-level kathepsin K bersirkulasi yang tinggi, yang belum tervalidasi sebagai penanda bagi resorpsi tulang, telah juga dilaporkan pada pasien-pasien penerima dosis-dosis supresif tiroksin bagi kanker tiroid (73). Studi Tromso (74), melaporkan bahwa subjek-subjek dengan level TSH serum mereka di bawah 2.5 dan di atas 97.5 persentil memiliki densitas mineral tulang lebih rendah dan lebih tinggi secara bermakna, berurutan, pada mana tidak terdapat asosiasi yang seperti itu tercatat di antara TSH serum dengan BMD pada level- level TSH normal. Hal ini dikonfirmasikan pada HUNT-2, yang mengunjukkan suatu korelasi kuat antara TSH rendah dengan densitas tulang pada wanita-wanita hipertiroid (75). Hal yang sebaliknya dengan Tromso dan HUNT-2, di mana tidak terdapat korelasi nampak pada level-level TSH normal, yang diperlihatkan akhir-akhir ini bahwa, tanpa memandang level-level T4 bebas, wanita-wanita pascamenopaus dengan level-level TSH normal memiliki suatu massa tulang yang menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang dengan level-level TSH yang rendah (76). Tambahannya, dalam suatu studi epidemiologi yang diperluas menggunakan data dari NHANES, rasio-rasio odds untuk korelasi-korelasi antara TSH serum dan massa tulang berada pada rentangan 2 dan 3.4 (60). Secara khusus terdapat suatu korelasi positif kuat antara TSH serum, yang dalam berbagai rujukan, dengan massa tulang baik pada wanita-wanita Amerika kulit hitam maupun kulit putih. Akhirnya, dalam observasi-observasi terbatas pada pasien-pasien yang diterapi dengan tiroksin, TSH serum berkorelasi dengan sejumlah indikator arsitektur mikro tulang menggunakan ultrasound tumit (77). Lebih lanjut, dan lebih menarik, data datang dari Bauer dkk. (59), yang memerlihatkan bahwa terdapat suatu peningkatan dramatik sebesar 4.5 dan 3.2 kali lipat dalam laju fraktur tulang belakang dan bukan tulang belakang, secara berurutan, bilamana TSH serum diturunkan di bawah 0.1 IU/L. Yang lebih terkini, Mazziotti dan kawan sekerjanya menemukan bahwa nilai-nilai TSH di bawah normal adalah dikaitkan dengan suatu prevalensi fraktur tulang belakang yang tinggi pada wanita-wanita pascamenopaus yang terdiagnosis dengan osteoporosis atau osteopenia, tak bergantung dengan hormon tiroid, usia dan BMD (78). Studi-studi epidemiologi ini mendorong kita untuk mengerahkan kewaspadaan klinis dalam menggunakan suplementasi hormon tiroid untuk menurunkan TSH serum, khususnya pada pasien-pasien hipotiroid non-kanker yang mana penekanan teraputik tidak diperlukan. Hal ini juga mendorong kita untuk menggunakan suatu agen antiresorptif dalam mencegah hilangnya tulang pada pasien-pasien di mana penekanan teraputik TSH adalah dibutuhkan. Akhirnya, asosiasi-asosiasi allelic antara TSHRs, TSH serum dan massa tulang, pada titik ini, mungkin menyumbang bukti yang paling kuat bagi kausalitas antara TSH dan massa tulang pada manusia. Pasien-pasien yang membawa TSHR-D727E polymorphism dalam tubuhnya memiliki suatu massa tulang yang tinggi, suatu asosiasi yang menghilang setelah pengoreksian berat badan (72). Asosiasi allelic yang sama telah dilaporkan pada wanita-wanita pascamenopaus dari studi-studi Inggris dan Rotterdam (79, 80). Hingga kini, polimorfisme lainnya pada populasi Korea, yang diberi nama T+140974TC, dikaitkan dengan suatu densitas tulang tinggi pada tulang belakang lumbal dan kolum femur, khususnya pada kelompok-kelompok pasien dengan suatu peningkatan level TSH, yang mungkin konsisten dengan suatu aksi anti-resorptif TSH (79).


SIMPULAN

Tulisan ini mengusulkan suatu pergeseran paradigma dalam fisiologi endokrin. Yaitu, hormon-hormon hipofise – FSH dan TSH – bekerja sesuai disain pada suatu jaringan non-endokrin, tulang. Tertanam di dalam buku-buku teks puluhan tahun telah menguatkan fakta bahwa pelepasan hormon-hormon ini merangsang sekresi hormon utama (master hormones) dari organ-organ endokrin target. Ekstrapolasi ambisius dari konsep dalam tulisan ini adalah bahwa suatu pluralitas dari hormon-hormon hipofise bekerja secara bersama-sama sebagai bagian dari aksis hipofise-tulang untuk mengatur integritas skelet dalam keadaan sehat dan sakit. Ketika hormon-hormon utama terdisregulasi sebagai hasil dari level-level hormon hipofise berubah melalui umpan balik hipothalamik, yang belakangan juga menyumbang bagi kehilangan tulang. Osteoporosis pada hipertiroidisme yang hanya difikirkan disebabkan oleh meningkatnya level-level hormon tiroid jadinya dapat dihubungkan, sedikitnya sebagian, dengan menurunnya level-level TSH, khususnya pada pasien-pasien yang dengan level-level hormon tiroidnya adalah normal. Juga, osteoporosis pada menopaus yang hanya difikirkan muncul oleh karena menurunnya estrogen, saat ini dapat dijelaskan dengan suatu peningkatan FSH, khususnya selama masa perimenopus lanjut ketika level-level estrogen adalah normal dan kehilangan tulang adalah cepat. Dari titik pijakan evolusi, adalah juga terlihat dari studi-studi genetik tikus dan farmakologis bahwa aksis hipofise-tulang adalah lebih terpertahankan (conserved) dibandingkan dengan aksis-aksis hipofise-ovarium atau hipofise-tiroid. Koservasi evolusi yang lebih kuat adalah didukung oleh data yang mengunjukkan bahwa haploinsufisiensi FSH atau TSHRs memengaruhi skelet tanpa memengaruhi kelenjar ovarium dan tiroid, secara berurutan (7). Lebih lanjut, TSH eksogenus menghambat resorpsi tulang pada tikus, tikus besar dan manusia tanpa memengaruhi level-level hormon tiroid serum (64, 66, 67). Suatu studi longitudinal baru-baru ini telah menekankan berbagai kompleksitas dalam banyak fluktuasi hormonal selama masa transisi menopause (81), dan adalah sangat mirip bahwa sel-sel tulang target menerima (sum) perubahan-perubahan ini bagi memengaruhi suatu hasil luaran tertentu. Pertanyaan baru juga bermunculan. Apakah uji-uji diagnostik yang baru adalah dirancang untuk mendeteksi berbagai perubahan dalam aksis hipofise-tulang, yang merefleksikan kekacauan sistim yang lebih besar? Juga, dapatkah berbagai terapi biologis yang baru adalah dikembangkan untuk mengeksploitasi aksis hipofise-tulang guna mencegah kehilangan tulang pada hipogonadisme, hipertiroidisme, dan berbagai kondisi medik lainnya? Penggunaan ACTH untuk mencegah osteonekrosis terinduksi glukortikoid pada panggul menyumbangkan satu contoh seperti itu (9).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar