Minggu, 22 Agustus 2010

Farmakogenomik Osteoporosis: Peluang sekaligus Tantangan

Abstrak

Genetika osteoporosis dapat dipertimbangkan dalam dua lingkupan luas: suseptibilitas penyakit dan aktifitas obat. Sementara yang disebutkan terlebih dulu telah dipelajari, yang belakangan tetap banyak yang masih belum tersentuh.
Farmakogenomik merupakan utilisasi informasi genetik untuk memrediksi hasil luaran drug treatment, dengan berdasarkan berbagai efek menguntungkan maupun kerugiannya. Farmakoterapi osteoporosis ditandai oleh variabilitas dalam respon teraputik dengan pemrediksian terbatas respon pada suatu basis patient-by-patient. Hal ini khususnya menjadi masalah dalam suatu situasi klinik di mana terapi secara tipikal adalah dibutuhkan untuk beberapa tahun sebelum hasil-hasil luaran dapat dievaluasi bagi seorang individu.
Jadi, bidang pengetahuan farmakogenomik yang sedang muncul ini berpotensi besar bagi menghaluskan dan mengoptimalkan pengobatan farmakologis osteoporosis. Komponen-komponen kunci bagi pengembangan farmakogenomik osteoporosis di masa depan harus meliputi pendalaman pemahaman mekanisme-mekanisme aksi obat, pengidentifikasian gen-gen kandidat dan varian-variannya, dan pengekspansian percobaan-percobaan klinis hingga meliputi pemrofilan genetik. Pendekatan ini dapat berperan sebagai peralatan sangat berguna bagi para klinisi dan ilmuwan untuk membedah jalur-jalur molekuler baru yang tersangkut dalam osteoporosis dan juga untuk mengidentifikasi target-target obat baru. Kombinasi berulang dari genomik inovatif dengan pendekatan-pendekatan endokrinologi klasik dalam penelitian osteoporosis dapat digunakan sebagai suatu model penelitian biologis dan pendekatan-pendekatan teraputik yang diperbaharui dalam suatu interaksi berkelanjutan antara pengetahuan klinis dan penelitian dasar.
Kata kunci: Osteoporosis, Fraktur, Densitas Mineral Tulang, Gen Reseptor Vitamin D, Gen Kolagen I alpha-1, Farmakogenetik.

Latar Belakang

Osteoporosis, yang merupakan “penyakit” tulang kerangka tersering dan paling serius, adalah memiliki prevalensi yang tinggi di antara orang-orang tua di kedua jenis kelamin, dengan suatu risiko selama hidup yang terkombinasi (combined lifetime risk) untuk fraktur panggul, fraktur antebrakhii dan fraktur-fraktur vertebra menyita atensi klinis hingga sebesar sekitar 40%, yang ekivalen dengan risiko untuk penyakit kardiovaskuler (1). Di Amerika Serikat sendiri, osteoporosis menghinggapi 25 juta orang, dan memikul kebutuhan dana yang diperkirakan adalah sebesar $60 juta. Risiko sepanjang usia dari fraktur panggul, yang merupakan fraktur paling serius, pada wanita-wanita Kaukasia adalah satu berbanding enam; agak lebih tinggi dari risiko diagnosis kanker payudara (satu di antara sembilan) (2). Mortalitas merupakan suatu kejadian yang frekuen dalam bulan-bulan segera setelah suatu fraktur panggul (3). Limapuluh persen individu-individu yang bertahan hidup akan membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya, dan 15 hingga 25 persen akan memerlukan untuk masuk ke dalam suatu institusi rawatan jangka panjang segera setelah fraktur (3). Terlebih lagi, semua fraktur-fraktur osteoporotik major adalah dikaitkan dengan suatu peningkatan mortalitas dua hingga tiga kali lipat pada wanita mapun laki-laki (3).

Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit skeletal sistemik yang ditandai oleh rendahnya massa tulang dan deteriorasi arsitektur-mikro jaringan tulang yang menghasilkan peningkatan fragilitas tulang dan suseptibilitas untuk fraktur. Massa tulang secara tradisional dihitung menggunakan densitas mineral tulang (BMD). Pada setiap bagian kerangka yang spesifik, BMD dapat secara akurat dan dipercaya diukur menggunakan dual X-ray absorptiometry (DXA); sebagai banyaknya mineral per area tulang yang diimej.

Meskipun fraktur secara klinis merupakan titik akhir relevan (relevant endpoint ) dari osteoporosis, BMD merupakan suatu prediktor utama risiko fraktur (4-6). Setiap penurunan deviasi baku (SD) dalam BMD adalah dikaitkan dengan suatu peningkatan dua-kali lipat dalam risiko fraktur (7). Hubungan BMD – fraktur secara umum diaplikasikan sepanjang tulang kerangka, dengan beberapa spesifisitas lokasi (site-specific); misalnya, risiko fraktur panggul adalah lebih dikaitkan dengan pengukuran-pengukuran BMD pada panggul dibandingkan vertebra lumbal atau lengan bawah. Hubungan antara risiko fraktur dan pengukuran-pengukuran BMD adalah sebanding dengan hubungan-hubungan di antara stroke dan pembacaan-pembacaan tekanan darah. Dengan cara yang sama bahwa ”hipertensi” berhubungan dengan nilai cut-off untuk pengukuran-pengukuran tekanan darah, osteoporosis didasarkan pada suatu nilai untuk BMD di bawah suatu ambang cut-off. Terlebih lagi, seperti halnya tekanan darah, tidak terdapat ambang BMD yang mendiskriminasi secara absolut di antara mereka-mereka yang akan atau yang tidak akan memiliki suatu kejadian klinis. Karenanya, suatu pengukuran BMD yang ”normal” tidak merupakan garansi bahwa fraktur akan tidak terjadi; hanya risikonya adalah rendah secara relatif. Sebaliknya, bila BMD adalah dalam rentangan osteoporotik, maka fraktur adalah lebih memungkinkan terjadi, namun tetap mungkin tidak terjadi. Pada usia 50 tahunan, proporsi wanita-wanita dengan osteoporosis yang akan memderita fraktur panggul, tulang belakang, lengan bawah atau humerus proksimal dalam 10 tahun berikutnya – yang disebut nilai prediktif – adalah sebesar 45%. Laju pendeteksian bagi fraktur-fraktur ini (sensitifitas) adalah rendah, dengan kata lain, suatu proporsi bermakna fraktur-fraktur terjadi pada wanita-wanita di atas ambang BMD ini.

BMD bukanlah satu-satunya prediktor fraktur; agaknya, ia adalah interaksi dari meningkatnya force, misalkan, pada jatuh, dan menurunnya ”kekuatan” tulang. Meskipun pencegahan jatuh dapat memengaruhi pencegahan fraktur osteoporotik, determinan-determinan ”kekuatan” tulang telah menjadi fokus major saat ini dengan banyak jenis pengobatan telah dikembangkan dan diaplikasikan secara klinis dengan efektif. BMD merupakan suatu prediktor bermanfaat bagi risiko fraktur masa datang, dan sebagiannya untuk menjelaskan ukuran tulang, namun bukan struktur tulang, termasuk distribusi dan kualitas massa tulang, yang dianggap menyumbang bagi kekuatan tulang. Pengukuran-pengukuran quantitative ultrasound, broadband ultrasound attenuation (BUA) dan speed of sound (SOS) telah diajukan sebagai pengukuran-pengukuran tambahan kualitas tulang, terkait dengan konektifitas trabekuler dan matriks tulang. Lebih lanjut, banyak studi-studi klinis yang mendukung suatu peran bagi penormalan meningkatnya bone turnover sebagai bagian dari efikasi anti-fraktur dari luasnya pemakaian berbagai terapi anti-resortif.

Osteoporosis, dengan demikian, merupakan suatu penyakit kompleks. Kompleksitasnya tidak hanya ditandai oleh multiplisitas aspek-aspek klinis, namun juga oleh diterminan multipel. Seperti halnya banyak penyakit multifaktor lainnya, osteoporosis dtentukan oleh faktor-faktor lingkungan, oleh suseptibilitas genetik, dan mungkin oleh interaksi di antara faktor-faktor ini semua. Variasi genetik tidaklah seharusnya menyebabkan osteoporosis atau fraktur, namun mereka dapat memengaruhi suatu suseptibilitas yang dimiliki subjek terhadap faktor-faktor lingkungan spesifik dan sehingga memodifikasi risiko penyakit. Hal ini menyatakan bahwa setiap subjek memiliki suatu pofil risiko unik yang dapat berubah dengan waktu. Karenanya, data populasi dapat menjadi hanya merupakan peramalan yang berhati-hati kepada subjek-subjek secara individu. Namun hingga kini keputusan sekitar diagnosis dan pengobatan osteoporosis masih tetap didasarkan pada data statistik populasi umum di mana subjek berasal/berada. Jelasnya, teknik pendekatan perata-rataan umum ini adalah suboptimal dibandingkan dengan suatu teknik pendekatan individu, yang berdasarkan pada genetik individu dan profil risiko lingkungan. Osteoporosis merupakan kasus ideal bagi teknik pendekatan yang seperti itu, oleh karena presipitasi genetiknya yang kuat dan variabilitasnya yang tinggi dalam suseptibilitas risiko fraktur di antara individu-individu. Dalam kerangka kerja seperti ini, prinsip-prinsip farmakogenomik, yang mencari korelasi fenotip-fenotip dan berbagai penanda hayati dengan mengambil keuntungan dari teknologi genomik, dapat diaplkasikan untuk mengidentifikasi dasar genetik yang sebenarnya dari variasi inter-individu dalam efikasi obat.

Genetika osteoporosis

Pewarisan Fraktur

Data tentang pewarisan fraktur pada hakekatnya adalah langka. Dalam satu studi Finnish, sedikitnya 35% dari varian dalam kemungkinan besar untuk fraktur (pada laki-laki maupun wanita) dapat dipertalikan dengan faktor-faktor genetik (8). Dalam suatu studi keluarga akhir-akhir ini, sedikitnya 25% dari kemungkinan besarnya untuk satu tipe fraktur, misalnya fraktur dari Colles, dapat dipertalikan dengan faktor-faktor genetik (9). Analisis familial dalam Study of Osteopoprotic Fracture (10) menyarankan bahwa wanita-wanita, yang ibu mereka pernah mengalami fraktur panggul, memiliki peningkatan dua kali lipat dalam risiko fraktur panggul dibandingkan kontrol. Risiko fraktur panggul atau lainnya adalah tiga kali lipat lebih tinggi pada wanita yang dengan suatu riwayat orang tua dengan fraktur pergelangan tangan. Pada dua studi osteoporotik kecil wanita-wanita dengan fraktur-fraktur vertebra atau panggul, anak-anak perempuan mereka memiliki defisit densitas tulang tingkat intermediet antara yang dimiliki ibu mereka dengan “perkiraan” densitas tulang pada lokasi fraktur yang terjadi pada ibu mereka, misalnya, vertebra lumbal atau femur proksimal (11, 12). Beberapa pengamatan yang sama telah juga dibuat pada laki-laki maupun wanita-wanita tua (13)

Pewarisan Densitas Mineral Tulang

Kebanyakan studi-studi genetik pada osteoporosis adalah memokuskan pada prediktif fenotip-fenotip tulang, seperti misalnya BMD. Meskipun BMD adalah ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan maupun genetik, telah diestimasikan dari studi-studi kembar berpasangan bahwa 70% hingga 80% varian BMD terukur pada vertebra lumbal dan leher femur adalah dipertalikan ke faktor-faktor genetik dalam contoh-contoh kembar (14-18). Dapat diwariskannya BMD lengan bawah kelihatannya lebih rendah dibandingkan dengan leher femur ataupun vertebra lumbal (17, 18). Pada studi-studi ini, terdapat bukti adanya efek-efek pleiotropik, misalnya, BMD dari berbagai lokasi skelet adalah ditentukan oleh set-set gen yang umum dan memiliki lokasi khas (16, 21).

Genetik Memengaruhi Bone Turnover

Perubahan dalam BMD selama kehidupan dewasa merupakan hasil dari penerimaan ketidakseimbangan di antara pembentukan tulang dan penyerapan tulang. Semua ini secara tipikal ditetapkan melalui pengukuran-pengukuran (dalam darah atau ekskresi urin) berbagai produk aktifitas se-sel osteoblas (pembentukan tulang) dan osteoklas (penyerapan tulang). Petunjuk akan pembentukan tulang meliputi osteokalsin, bone-specific alkaline phosphates, procollagen I carboxy-terminal dan amino-terminal propeptides. Petunjuk akan penyerapan tulang meliputi ekskresi urin hidroksiprolin atau yang lebih spesifik pyridinoline cross-links, dan yang lebih terkini, produk-produk pecahan urinary type I collagen cross-linked N-telopeptides dan urinary or serum type I collagen C-telopeptide. Faktor-faktor genetik telah menunjukkan penyumbangan secara bermakna bagi varian inter-individual dari penanda-penanda pembentukan tulang (baik osteokalsin maupun collagen C-terminal propeptide of type 1 collagen) pada orang-orang kembar pramenopaus (19-21).

Pewarisan quantitative ultrasound (QUS)

Pengaruh genetik terhadap tipe-tipe berbeda dari pengukuran-pengukuran QUS, sebut saja BUS dan SOS, telah menunjukkan sebesar 0.53 hingga 0.82 (22). Pengukuran-pengukuran BUA telah dilaporkan lebih kuat keterkaitannya di antara ibu-ibu dengan masa pascamenopaus mereka dibandingkan dengan anak-anak perempuan mereka dalam masa pramenopaus; misalnya, kebalikannya dari apa yang dilaporkan bagi pengukuran-pengukuran DXA (23, 24). Pengamatan-pengamatan ini menyarankan bahwa berbagai pengaruh genetik berbeda bekerja pada komponen-komponen dari fenotip tulang sebagaimana diukur menggunakan QUS dan DXA. Tidak terdapat data tentang heritabilitas dari pengukuran-pengukuran speed of-sound di sepanjang tulang kortikal. Berbagai hubungan genetik yang teramati di antara transmisi QUS dan pengukuran-pengukuran BMD adalah berada pada tingkat sedang/moderat, yaitu, 0.32 hingga 0.59 (22). Jadi, gen yang memengaruhi variasi dalam BMD mungkin, namun tidaklah mesti, memengaruhi variasi dalam QUS, dan vice versa. Hal ini konsisten dengan QUS yang mengukur karakteristik-karakteristik bukan densitas (non-density characteristics) tambahan dari tulang. Pada beberapa kasus, satu bagian yang bermakna dari variabilitas pengukuran BMD QUS dan DXA memerlihatkan tak berhubungan, konsisten dengan pengukuran mereka dari beberapa karakteristik fenotip tulang yang berbeda.

Diketahuinya bahwa berbagai ciri terkait tulang adalah sebagian besarnya ditentukan oleh faktor-faktor genetik, mengawali ke pada suatu penyelidikan intensif terhadap gen-gen baik yang berkaitan atau yang berasosiasi dengan ciri-ciri ini. Berbagai studi penyelidikan gen telah memokuskan pada densitas mineral tulang menggunakan dua teknik pendekatan utama yaitu genome wide screening dan candidate genes. Teknik pendekatan gen kandidat adalah didasarkan pada pengetahuan a priori dari fungsi potensiil gen-gen yang tersangkut, dan mengambil keuntungan dari jalur biokhemis relevan dan telah dikenal dari fisiologi tulang. Didasarkan atas teknik pendekatan yang sering digunakan ini, saat ini telah diajukan sebanyak 16 gen berpotensi sebagai kandidat bagi densitas mineral tulang, meliputi reseptor vitamin D, kolagen tipe I-1, osteokalsin, antagonis reseptor IL-1, calcium sensing receptor, glikoprotein 2HS, protein pengikat vitamin D, osteopontin, osteonektin, reseptor estrogen, interleukin-6, reseptor kalsitonin, kolagen tipe I-2, hormojn paratiroid, dan transforming growth factor-1. Sebagaimana dengan polimorfisme di atas, berbagai polimorfisme lainnya dalam gen adalah meliputi reseptor steroid lainnya, sitokin, dan gen-gen protein matriks tulang, dan gen-gen kandidat osteoporosis yang lebih ”jauh” seperti apoliprotein E adalah juga tersarankan (25, 44-50). Suatu gambaran dari studi-studi gen kandidat ini adalah berada dalam rentangan luas dalam hasil-hasil luaran positif dan negatif dan, bahkan dalam studi-studi yang konsisten, memiliki rentangan luas dalam besaran efeknya.

Gen-gen kandidat yang telah teridentifikasi, sejauh ini tidaklah kuat juga tidak cukup konsisten guna memiliki nilai prediktif klinik utama. Lebih penting lagi, karena hubungan-hubungan mereka dengan biologi tulang merupakan basis dari studi awal mereka sebagai ”kandidat”, tak satupun di antaranya dapat menyediakan target-target yang benar-benar baru bagi perkembangan terapi-terapi baru. Kelihatannya yang mungkin sebenarnya terjadi adalah bahwa, terdapat berbagai variasi minor dalam pengaturan atau fungsi dalam beberapa gen, yang masing-masingnya memberi kontribusi yang relatif kecil, berinteraksi untuk membentuk komponen genetik dari osteoporosis. Di bawah skenario ini, berbagai studi individual untuk memapankan suatu asosiasi di antara sebuah gen kandidat dengan berbagai penanda penyakit mungkin memberi hasil-hasil palsu. Berbagai strategi terbaik untuk menjelaskan kontribusi-kontribusi genetik dan lingkungan bagi suatu penyakit poligenik sedemikian seperti osteoporosis adalah belum jelas.

Teknik pendekatan alternatif yang kurang sering dilakukan menggunakan genome wide-scan telah memaparkan temuan-temuan menariknya. Melalui penggunaan linkage analysis data dari sebuah keluarga dengan osteoporosis-pseudoglioma syndrome (OPS), semacam penyakit yang ditandai oleh sangat rendahnya massa tulang dan ketidaknormalan mata, para penyeldik mampu melokalisasi lokus OPS ke regio khromosom 11q12-13 (51). Pada saat yang sama, suatu analisis genome-wide linkage dari sebuah keluarga dengan anggota diperluas menjadi 22 anggota yang 12 di antara mereka memiliki massa tulang sangat tinggi (high bone mass/HBM) menyarankan bahwa lokus HBM juga berlokasikan di dalam regio 30cM dari lokus yang sama (52).
Dalam studi-studi follow-up menggunakan teknik pendekatan kandidat posisional, kedua kelompok peneliti mendapatkan bahwa sebuah gen mengkode the low-density lipoprotein receptor-related protein 5 (LRP5) terkait ke OPS maupun HBM (53, 54). Temuan bahwa gen LRP5 adalah terkait ke HBM selanjutnya dikonfirmasi dalam satu studi keluarga yang menyertakan individu-individu dengan BMD yang sangat tinggi namun sebaliknya secara fenotip adalah normal (55). Studi ini menunjukkan bahwa suatu missense mutation G171V ditemukan dalam individu-individu ber-BMD tinggi (55). Satu studi keluarga akhir-akhir ini lebih lanjut mengidentifikasi 6 mutasi yang benar-benar baru dalam LRP5 di antara 13 polimorfisme terkonfirmasi yang diasosiasikan dengan banyak kondisi berbeda dengan peningkatan BMD (56). Berbagai kondisi ini meliputi hiperostosis endosteal, penyakit Van Buchem, autosomal dominant osteosclerosis, dan osteopetrosis tipe I. Asosiasi di antara LRP5 dan BMD telah juga akhir-akhir ini ditunjukkan dalam suatu populasi takterseleksi (57).

Sebuah contoh dari suksesnya strategi combine linkage and association diunjukkan dalam satu studi terkini pada 207 nuclear family dengan sebanyak 1323 individu dari keturunan Islandia. Dalam studi ini, melalui pelaksanaan pertama satu genome-wide scan dalam keluarga yang diteliti, gen-gen BMP2 ditemukan terhubungkan ke variasi dalam BMD; dan melalui analisis asosiasi, dengan adanya peningkatan risiko fraktur dan BMD (58).

Farmakologi Osteoporosis

Pada dekade yang lalu terjadi perkembangan yang luar biasa dalam pemahaman biologi tulang dasar (basic) yang mengawali ke pada teknik-teknik pendekatan yang menarget pencegahan maupun pengobatan efektif osteoporosis. Di antara terapi-terapi farmakologis yang telah disetujui untuk osteoporosis, terapi pengganti estrogen, elective estrogen receptor moulators (SERMs), kalsitonin, derivatif-derivatif vitamin D, bifosfonat-bifosfonat poten, dan hormon paratiroid telah diajukan untuk penggunaan klinis (59). Kebanyakan dari obat-obat ini, dengan perkecualian hormon paratiroid, bekerja sebagai agen-agen antiresorptif, dan sehingga menurunkan kehilangan tulang.

Sebaliknya, walaupun agen-agen ini memiliki berbagai efek sedang dalam meningkatkan densitas tulang, mereka mengerahkan suatu efek yang jauh lebih besar pada menurunkan risiko fraktur. Sebagai contoh, alendronat (sebuah bifosfonat yang poten) dapat memerbaiki BMD hingga 4 sampai 8%, yang mana didasarkan atas hubungan BMD-fraktur, dapat diekspektasikan menurunkan risiko fraktur hingga 12 sampai 28%; namun dalam kenyataannya, risiko fraktur di antara pasien-pasien yang diterapi alendronat diturunkan hingga sekitar 50%. Berbagai mekanisme potensiil untuk menjelaskan angka penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperkirakan dengan BMD ini masih sedang dievaluasi.

Suatu gambaran yang kerap ada dari semua percobaan klinis yang meliputi intervensi farmakologis dalam osteoporosis adalah bahwa, efikasi dan keamanan adalah bervariasi besar di antara pasien-pasien, seperti halnya rentangan respon adalah sangat luas, berrentang dari “sukses” hingga ke respon kecil atau tdak ada respon. Sebagai contoh, deviasi baku (SD) perubahan dalam BMD yang terinduksi oleh bifosfonat poten adalah lebih dari dua kali laju dari perubahan itu(59). Sebagai hasilnya, sementara majoritas pasien mengalami suatu peningkatan dalam BMD, seproporsi kecil (mungkin 5 hingga 10%) pasien kelihatannya masih kehilangan tulang. Jadi, meskipun sejumlah sangat sedikit pasien mengalami tanpa efek teraputik samasekali setelah pengobatan anti-resorptif tipikal, tidak ada satupun pengobatan yang saat ini mampu mencegah keseluruhan fraktur. Lebih lanjut, beberapa subjek mengalami beberapa efek tak menguntungkan bermakna. Efek-efek ini, positif maupun negatif, adalah dialami bertahun-tahun. Jadi, sementara jenis-jenis pengobatan ini adalah secara keseluruhan menguntungkan, tidak ada satu carapun yang benar-benar dapat diandalkan untuk memrediksi siapa yang akan mengalami beberapa tipe efek yang tidak mengenakkan atau yang merugikan.

Farmakogenomik

Pada level klinik, respon obat adalah dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk usia, kelamin, etnisitas, dan penyakit atau terapi obat penyerta. Bagaimanapun, adalah juga memungkinkan bahwa faktor-faktor genetik memengaruhi variabilitas dalam respon-respon obat (60). Memang, bukti akan pengaruh genetik pada respon obat inter-subjek telah dilaporkan seawalnya tahun 1940an, dalam kasus neuropati perifer pada sejumlah cukup pasien yang diterapi dengan obat anituberkulosa, isoniazid (61). Teramati juga bahwa tentara-tentara dari campuran Afrika-Amerika yang menerima obat antimalaria kelihatannya lebih mengembangkan anemia hemolitik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari ras Kaukasia, akibat dari berbagai perbedaan enzim metabolik bawaan (62). Bukti berikutnya dari genetika respon obat dijumpai pada studi-studi orang kembar, pada mana kembar identik lebih banyak kesamaannya dibandingkan bukan kembar identik dalam hal waktu paruh plasma sejumlah jenis obat, menyediakan indikasi eksperimental terbaik dari komponen-komponen genetik yang kuat dalam eliminasi obat (63). Jadi, faktor-faktor genetik mungkin menentukan suatu respon yang dimiliki individu terhadap terapi farmakologis osteoporosis dan suseptibilitas mereka terhadap berbagai reaksi obat tak menguntungkan, bagi setiap obat yang spesifik. Meskipun eliminasi dan metabolisme obat dapat dipelajari dengan mudah secara relatif, komponen-komponen lain yang memengaruhi berbagai efek obat adalah masih belum dikenal maupun lebih sulit untuk dipelajari

Pada level molekuler, agen-agen farmakologis bekerja melalui cara berinteraksi dengan berbagai protein seperti reseptor, enzim, dan protein-protein pensinyalan intraseluler. Maka dari itu, ketika obat diminum, absorpsi, distribusi, ekskresi dan respon-respon farmakologisnya adalah mungkin ditentukan oleh banyak interaksi di antara faktor-faktor tersebut, termasuk protein-protein pembawa, transporter, enzim-enzim yang memetabolisme, reseptor-reseptor, dan banyak ko-faktor. Anggota-anggota sitokrom P450 (CYP), termasuk CYP2D6, 3A4/3A5, 1A2, 2E1, 2C9, dan 2C19 dikenal memengaruhi efikasi dan toksisitas obat (64, 65). Sebagai contoh, pasien-pasien yang adalah homozigous untuk CYP2D6 null alleles memerlihatkan satu fenotip pemetabolisme buruk, dengan gangguan pendegradasian dan pengekskresian banyak macam obat, termasuk debrisokuin, metoprolol, nortriptilin, dan propafon (64). Para pemetabolisme buruk ini lebih menunjukkan berbagai reaksi buruk obat. Frekuensi dari kelainan bawaan resesif ini berrentang dari 1% hingga 2% pada orang-orang Asia, 5% pada orang Afrika-Amerika dan hingga 6% - 10% pada populasi Kaukasia (66-69). Hal yang sama, pasien-pasien yang homozigous untuk “nullallele dari isoform P450 CYP2C19 adalah sangat sensitif dengan omeprazol, diazepam, propranolol, mefenitoin, amitriptilin, heksobarbital dan obat-obat lainnya (64). Fenotip pemetabolisme buruk CYP2C19 meliputi 2% hingga 5% orang-orang Kaukasia dan 3% hingga 23% orang-orang Asia, sebagian besar dari hasil satu mutasi pasangan basa tunggal (A→G) dalam exon 5 dari regio pengkodean 7 (70). Anggota famili sitokhrom P450 yang terekspres secara polimorfik lainnya, CYP2C9, memetabolisasi ibuprofen, naproksen, piroksikam, tetrahidrokanabinol, fenitoin, tolbutamid, dan S-warfarin (71); beberapa di antaranya memiliki indikasi teraputik sempit. Berbagai substitusi asam amino pada kodon-kodon 144 dan 359 pada regio pengkodean dari CYP2C9 menghasilkan sebesar 5 kali penurunan dalam aktifitas metabolik. Meskipun frekuensi dari 2 varian allelic ini tidak jelas, sedikitnya 25% dari orang-orang Kaukasia memerlihatkan menjadi heterozigous bagi satu atau beberapa varian, mengawali bagi suatu perkiraan frekuensi sebesar 5% dari the compound homozygous genotype (72).

Farmakogenomik Osteoporosis

Beberapa obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, bifosfonat misalnya, tidak menjadi subjek metabolisme, namun banyak yang lainnya dimetabolisasi menjadi komponen-komponen aktif atau sebagai bagian dari jalur eliminasi mereka. Meskipun terdapat bukti berbagai efek genetik dalam hal variasi dalam efikasi dan keamanan agen-agen farmakologi pada penyakit-penyakit lainnya, semuanya ini sebagian besar masih belum teruji dalam pengobatan osteoporosis, namun potensi mereka dipertegas oleh adopsi cepat mereka dalam berbagai disiplin seperti misalnya obesitas dan hipertensi.

Namun, bukti akhir-akhir ini menyarankan bahwa berbagai faktor mungkin memediasi respon terhadap pengobatan (73), dan memodifikasi asosiasi dinamik di antara penanda bone turnover dan densitas tulang. Satu seri studi terkini oleh Palomba dkk. (74-76) menyarankan bahwa di antara wanita-wanita pascamenopaus yang menerima pengobatan alendronat dan pengganti hormon, b allele dari polimorfisme DR’s Bsm-I adalah dikaitkan dengan satu peningkatan yang lebih besar dalam BMD dibandingkan dengan mereka sebagai pembawa (carrier) B allele. Bagaimanapun, menariknya, di antara pasien-pasien dengan pengobatan RLX, para pembawa B allele adalah dikaitkan dengan satu peningkatan yang lebih besar dalam BMD dibandingkan dengan para pembawa b allele. Sebagai hasil dari efek berlawanan itu, di antara mereka-mereka yang menerima kombinasi ALN dan RLX, tidak terdapat asosiasi bermakna di antara polimorfisme VDR dan perubahan BMD. Hasil-hasil ini dengan jelas mengilustrasikan interaksi di antara polimorfisme VDR dan berbagai terapi anti-resorptif dalam perubahan BMD.

Dalam satu studi dari 21 wanita-wanita Kaukasia premenopaus yang homozigous untuk genotip-genotip VDR (BB atau bb), ditemukan bahwa data awal (baseline) osteokalsin, 1,25-(OH)2D, type I collagen carboxyterminal telopeptide, dan level-level fosfat anorganik adalah secara bermakna lebih tinggi dan densitas mineral tulang spinal secara bermakna lebih rendah dalam kelompok BB allelic. Bagaimanapun, setelah pemberian kalsitriol, level-level serum 1,25-(OH)2D tercapai sama dalam kedua kelompok genotip. Peningkatan dalam level-level osteokalsin serum dalam kelompok BB secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan yang dijumpai dalam kelompok bb. Perbedaan dalam level-level osteokalsin awal yang terkait genotip (genotype-related) tidak kelihatan pada level-level 1,25-(OH)2D serum yang sama. Sebaliknya, berbagai perbedaan dalam fosfat dan type I collagen carboxyterminal telopeptide adalah menetap sepanjang studi. Lebih jauh, hormon paratiroid kurang ditekan dalam kelompok densitas tulang rendah meskipun level-level kalsium terionisasinya adalah sama (77)

Polimorfisme gen VDR mungkin juga memengaruhi asosiasi dinamik di antara asupan kalsium dalam makanan dan densitas tulang. Sebagai contoh, pada asupan-asupan kalsium dalam makanan yang lebih rendah, absorpsi kalsium saluran cerna pada wanita yang dengan VDR-nya bergenotip BB tidaklah meningkat, namun mereka yang dengan genotip bb adalah sebaliknya (78, 79). Perbedaan dalam absorpsi kalsium saluran cerna di antara dua alternate homozygotes bagi the vitamin D receptor start codon polymorphism adalah 42% (80). Seperti halnya dengan studi-studi lainnya tentang tulang dan genetik, sejumlah studi mendapatkan hubungan positif di antara allele gen reseptor vitamin D dengan homeostasis kalsium (80-82), sementara banyak studi lainnya mendapatkan hubungan yang negatif (83-86).

Hal yang sama, banyak studi longitudinal telah juga menunjukkan perbedaan respon densitas tulang terhadap asupan kalsium menuruti genotip reseptor vitamin D. Dalam sebuah studi, heterozigot-heterozigot reseptor vitamin D berrespon terhadap asupan kalsium, sementara alternate homoygote juga meresponnya atau juga kehilangan tulang tidak bergantung dari asupan kalsium (88).

Bagaimanapun, meskipun terdapat berbagai penampakan berbeda dalam absorpsi kalsium saluran cerna, sejumlah studi tidak menemukan perbedaan dalam level reseptor vitamin D intestinal (86, 89, 90). Sebaliknya, perbedaan-perbedaan dalam pengaturan kelenjar paratiroid diketahui berhubungan dengan polimorfisme-polimorfisme reseptor vitamin D (91, 92).

Interaksi gen-lingkungan berpotensi lainnya untuk gen reseptor vitamin D dapat menjadi berhubungan dengan vitamin D sederhana (simple vitamin D) itu sendiri ataupun dengan bentuk-bentuk hormon aktif vitamin D. Berbagai perbedaan dalam respon densitas tulang terhadap metabolit-metabolit vitamin D dan berbagai analog-nya telah dilaporkan menuruti genotip-genotip reseptor vitamin D, khususnya dalam studi-studi orang-orang Jepang (93, 95). Genotip bb yang lebih sering dijumpai dalam banyak kohort orang Jepang (sekitar 75% dari subjek-subjek) adalah lebih responsif dibandingkan dengan para heterozigot yang tidak berrespon dengan baik atau memburuk secara nyata. Adanya heterozigot yang merupakan genotip tersering pada kebanyakan kelompok-kelompok orang Kaukasia, berbagai perbedaan ini membangkitkan minat untuk menyejajarkannya dengan berbagai perbedaan yang telah terobservasi dalam respon terhadap bahan-bahan vitamin D aktif dalam berbagai studi klinik osteoporosis di antara kelompok-kelompok orang-orang Jepang dengan Kaukasia. Dalam studi yang lainnya, respon terhadap vitamin D sederhana (simple vitamin D) bervariasi menuruti genotip-genotip reseptor vitamin D (96).

Mekanisme melalui mana setiap perubahan dalam alleles reseptor vitamin D menjelaskan berbagai perubahan dalam homeostasis tulang dan kalsium adalah tidak jelas. Secara sederhananya, adalah memungkinkan bahwa terdapat berbagai perbedaan hampir tak kentara dalam peregulasian gen atau dalam stabilitas produk mRNA. Beberapa studi-studi in vitro pendahuluan menyarankan bahwa terdapat perubahan dalam stabilitas produk mRNA (37, 97); bagaimanapun berbagai studi yang lainnya tidak mengonfirmasi efek ini (98-100). Mekanisme lainnya, hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam banyak transkrip alternatif dari banyak promoter ganda yang dilaporkan akhir-akhir ini tentang gen reseptor vitamin D tunggal manusia (101).

Berbagai perbedaan dalam efek allelic vitamin D mungkin berkaitan dengan latar belakang genetik dan/atau faktor-faktor lingkungan seperti misalnya asupan-asupan kalsium dan vitamin D. Berbagai latar belakang genetik mungkin berkaitan dengan efek-efek gen allelic yang lain, seperti genotip reseptor estrogen (102, 103). Melalui mekanisme ini, efek-efek allelic dapat berbeda di antara berbagai keadaan lingkungan. Beberapa efek dapat menjadi sangat tidak dapat diperkirakan sebagaimana, contohnya, penampakan proteksi dalam melawan banyak infeksi kronik yang dilaporkan dalam satu studi orang-orang Afrika akhir-akhir ini (104) dan hubungan dengan risiko osteoarthritis dari tulang belakang dan panggul (105-107).

Menjelaskan Mekanisme Farmakogenomik

Saat ini, kebanyakan studi-studi farmakogenomik adalah bergantung pada memperbandingkan pengekspresian profil-profil pada level mRNA (genomik) atau protein (proteomik) untuk sebuah jaringan atau tipe sel setelah pemberian sebuah stimulus relevan. Membandingkan pengekspresian profil-profil pada level mRNA adalah menarik, khususnya dengan tibanya ketersediaan microarrays akhir-akhir ini yang memungkinkan dapat dilakukannya banyak analisis berbarengan dari puluhan ribu gen-gen. Teknologi baru ini dapat dengan cepat menetukan genotip individu-individu guna menyediakan informasi tentang gen-gen metabolisme obat polimorfik, dan juga mengidentifikasi gen-gen yang terekspres berbeda dalam responnya terhadap suatu obat. Pada kenyataannya, sebuah chip gen, CYP2C6/CYP2C19, telah tersedia bagi pengidentifikasian para pemetabolis obat yang dengan potensi buruk. Di lain pihak, teknologi berbasis genomik ini mungkin juga membantu dalam memahami berbagai respon obat dan dalam menginterpretasi berbagai percobaan teraputik (108).

Pembandingan pengekspresian profil-profil mRNA dapat digunakan untuk menggali gen-gen yang mana yang diregulasi ke hulu dan mana yang diregulasi ke hilir dalam pengobatan osteoporosis melalui pembandingan pengekspresian profil-profil dalam jaringan yang diambil dari individu-individu yang terjangkiti maupun tidak. Kesulitan potensiil dengan teknik pendekatan ini adalah bahwa banyak variasi kecil dalam konstituen seluler dari jaringan dapat memroduksi fluktuasi-fluktuasi besar dalam mRNA dan/atau protein, yang memberikan kemunculan hasil-hasil positif (atau negatif) palsu. Problem potensiil lainnya adalah bahwa kesulitan-kesulitan logistik dalam berurusan dengan data dari ribuan produk-produk gen (yang mungkin perdefinisi fungsinya tidak diketahui) adalah sangat besar. Berbagai permasalahan ini dapat dihindarkan hingga beberapa tingkat melalui penyederhanaan disain eksperimen. Sebagai contoh, satu teknik pendekatan menggunakan sel-sel tulang manusia terkultur dari sebuah sel tunggal dan kemudian membandingkan pengekspresian profil-profil mereka setelah pengobatan dengan, katakanlah, bifosfonat.

Di samping berbagai kesulitan logistik dalam pengambilan contoh tulang dan mendapatkan jaringan tulang yang dapat diperbandingkan, disain studi akan juga menjadi sebuah isu major. Sebagaimana halnya studi-studi genetic linkage, sebuah tantangan major bagi farmakogenomik osteoporosis terletak dalam disain studi yang nantinya bermanfaat untuk dipakai dari teknologi-teknologi ini. Dalam setiap studi level mRNA, melipatgandakan sejumlah pasangan yang layak harus dilakukan dan demikian juga poin-poin waktu relevan (relevant time points) diperiksa. Dalam praktiknya, adalah memungkinkan untuk mengurangi hal ini hingga ke satu baseline dan hingga ke penentuan dua buah poin waktu berbeda untuk jenis eksperimen ini. Bagaimanapun, bahkan kemudian, dengan sejumlah penggandaan yang tepat, besarnya sampel untuk diproses dan logistik-logistik dari sampel-sampel multipel, setidaknya pada manusia, masih tetap menakutkan bila tidak ingin dikatakan tidak memungkinkan secara etis. Di lain pihak, banyak studi epidemiologi besar diperlukan untuk mengidentifikasi aosiasi-asosiasi di antara polimorfisme-polimorfisme gen spesifik dengan predisposisi kearah osteoporosis sebelum semua ini dapat berguna dalam setingan klinis. Saat ini, studi-studi asosiasi berbasis SNP berskala besar dalam osteoporosis secara memungkinkan dapat dihindarkan melalui pembatasan dalam suber-sumber pe-genotip-an (genotyping resources) dan model-model statistik hayati. Studi-studi asosiasi berskala besar menyangkut SNPs akan menjadi lebih praktis ketika high-throughput dan metode pe-skor-an SNP yang dapat dijangkau adalah tersedia (109). Kemajuannya, setidaknya, telah menarik perhatian: saat ini the Human Genome Project telah menyediakan lebih dari dua juta SNPs sebagai penanda genetik 110). Dalam beberapa tahun ke depan, SNPs yang terlokasikan setiap 3-50kb akan mungkin dikarakterisasi, ini akan memungkinkan untuk melakukan studi-studi asosiasi genom yang luas guna memeroleh informasi sekitaran gen-gen major yang menyumbang ke pada penyakit atau ke berbagai perbedaan farmakologis, sebagaimana juga sebagai gen-gen sekunder, pemodifikasi, yang juga memengaruhi penyakit. Perkembangan mutakhir metode pencucian mulut tunggal bagi memeroleh studi-studi klinik DNA genomik (111) mungkin menjadi cocok bagi studi-studi berbasis komunitas besar pada mana sampel-sampel dapat dikoleksi oleh mereka-mereka yang ikut berpartisipasi.

Kemajuan dalam penelitian genomik memunculkan beberapa isu etik yang memerlukan penyelesaian. Sementara informasi seperti ras dan etnisitas telah lama digunakan dalam pemrediksian respon teraputik, sejumlah kritik bermunculan yang memandang penggunaan informasi ini sebagai berpotensi prejudicial (112). Pengoleksian dan penyimpanan informasi genetik dari individu-individu menimbulkan pertanyaan sekitar privasi juga keamanan dan berbagai dilema etik, karena informasi tersebut juga menyediakan informasi sekitar saudara-saudara mereka yang berpotensi tidak tersensor. Jadi, berbagai tuntunan perlu dikembangkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan yang berpartisipasi dalam penelitian dan anggota keluarga mereka. Sebuah komponen penting dari setiap studi seperti itu akan menjadi meyakinkan bahwa prinsip-prinsip etis dari keberuntungan (beneficience) telah dipenuhi. Analisis sampel-sampel DNA, meliputi mereka-mereka dari studi-studi populasi besar, dalam penelitian adalah sangat penting bagi pemahaman berbagai pengaruh genetik dari suseptibilitas penyakit, namun keuntungan haruslah melebihi risiko bagi manusia, termasuk potensi bagi pendiskriminasian dan penginvasian privasi. Meskipun isu-isu ini adalah sulit, disarankan bahwa yang berpartisipasi dalam pengobatan (treating participants) sebagai limited partners dalam penelitian genetik dapat menyediakan semacam kerangka kerja bagi pengalamatan (addressing) banyak dari berbagai perhatian (concern) ini (113).

Kesimpulannya, data terkumpul selama tiga dekade terakhir dengan jelas mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik merupakan penentu major densitas mineral tulang, quantitative ultrasound of bone, dan bone turnover, Banyak faktor-faktor genetik kelihatannya tersangkut dalam penentuan BMD sebagaimana juga arsitektur tulang dalam banyak lokasi skelet. Ditinjau dari segi klinis demikian juga ekonomi, berbagai strategi agresif menyelidiki gen-gen osteoporosis diperlukan. Dengan kemajuan yang dicapai the Human Genome Project, era baru korelasi-korelasi genotip-fenotip pasca-genomik dalam osteoporosis dijanjikan. Pengidentifikasian dari gen-gen relevan harus menguatkan pemahaman kita tidak hanya mengenai mekanisme-mekanisme penyakit, namun juga menjelaskan bagaimana perjalanan klinis osteoporosis adalah demikian bervariasi di antara individu-individu. Penelitian yang lebih bersifat operasional adalah dibutuhkan untuk pendisainan studi-studi yang berkemampuan mengartikan berbagai interaksi kompleks di antara berbagai perbedaan genetik yang dimiliki individu, predisposisi ke pada suatu penyakit, dan berbagai interaksi obat-gen; dan integrasi dan interogasi dari set-set data luas yang studi-studi seperti itu hasilkan. Sementara usaha-usaha penelitian seperti itu tidak diragukan kekompleksannya, pengembangan berbagai teknik molekuler yang sedang berlangsung dalam farmakogenomik memungkinkan tidak hanya pemrediksian individual akan efikasi dan toksisitas obat namun juga pengembangan obat-obat yang inovatif, lebih aktif dan lebih aman. Pe-genotip-an individu-individu dapat membantu menentukan pengaruh berbagai polimorfisme pada farmakokinetik obat terhadap sejumlah enzim dan transporter yang memengaruhi berbagai proses absorpsi dan metabolisme obat. Pe-genotip-an dapat juga digunakan untuk me-stratifikasi pasien-pasien bagi banyak percobaan fase III, guna mengurangi keperluan ukuran sampel. Juga, pe-genotip-an dapat menjadi bagian penyelidikan rutin dalam membantu klinisi menyesuaikan terapi obat cecara efektif. Banyak studi akhir-akhir ini mengunjukkan kemungkinan dapat terlaksananya dan kepentingan dari konsep-konsep ini (108, 114).

The Human Genome Project, bersama-sama dengan berbagai teknologi molekuler baru dan metode-metode statistik baru, akan secara kolektif menguatkan penyelidikan bagi gen-gen osteoporosis dan membantu mentranslasi pemrediksian kompleks osteoporosis secara genetik ke pada dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar