Pendahuluan
Perekayasaan jaringan dimaksudkan untuk memerbaiki atau mengganti jaringan tubuh yang rusak atau terkena penyakit dengan cara mengimplantasikan kombinasi sel, scaffold biomaterial, molekul aktif secara biologis, dan gen. Premis yang mendasari dari teknik pendekatan ini adalah bahwa, sel-sel yang dimasukkan dari luar akan memerbaiki kecepatan dan luasnya perbaikan jaringan. Pada akhirnya, terdapat kebutuhan yang bermakna akan sumber potensiil sel bagi perekayasaan jaringan dan berbagai teknik pendekatan teraputik yang berbasis sel lainnya, seperti misalnya terapi gen.
Pada tahun-tahun terakhir ini, telah dan sedang bertumbuh perhatian pada penggunaan sel progenitor undifferentiated bagi perekayasaan jaringan dikarenakan kemampuan mereka yang dapat untuk diekspansikan dalam benihan dan untuk berdiferensiasi menjadi bermacam tipe sel. Walaupun secara historis telah terjadi silang pendapat mengenai kehadiran sel punca dewasa yang sebenarnya yang ada di luar sistim hematopietik, saat ini diketahui bahwa banyak jaringan dewasa melabuhkan sel-sel yang memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi bermacam tipe sel manakala dibenihkan di bawah kondisi pertumbuhan spesifik(18). Bergantung pada potensi diferensiasi mereka dan lokasi asalnya, semua sel ini telah dijelaskan menggunakan bermacam istilah, seperti misalnya MSCs, multipotent adult progenitor cells, marrow stromal cells, atau mesenchymal progenitors(13,15,17,44,68,69,72-74,80,85). Sel punca dewasa dapat didefinisikan sebagai sebuat “sel undifferentiated (unspecialized) yang dijumpai dalam sebuah jaringan differentiated (specialized); ia dapat memerbaharui dirinya dan menjadi specialized untuk menghasilkan semua dari tipe sel specialized jaringan dari mana ia berasal”(19). Oleh sebab karakteristiknya ini, sel punca dewasa telah dipakai secara ekstensif dalam berbagai aplikasi perekayasaan jaringan muskuloskeletal.
Telah dapat diidentifikasikan keberadaan dari sumber melimpah sel-sel progenitor undifferentiated yang bersarang dalam berbagai jenis lokasi jaringan adipos pada tubuh manusia. Semua sel ini, diistilahkan sebagai ASCs, atau adipose-derived adult stromal (ADAS) cells, memerlihatkan profil penanda permukaan sel dan karakteristik diferensiasi yang sama dengan sel-sel punca dewasa lainnya, seperti MSCs berasal sumsum tulang. Di bawah kondisi pembenihan terawasi, sel-sel ini mempertunjukkan karakteristik fenotipik dari banyak sekali tipe sel, termasuk khondrosit, osteoblas, adiposit, sel syaraf, atau sel otot. Semua karakteristik ini hadir pada level klonal, menyarankan bahwa sel-sel individual memiliki kemampuan multipoten. Keuntungan major sel-sel seperti itu adalah, kemudahan ketersediaanya lewat prosedur liposuction baku dan jumlah ketersediaannya yang demikian besar dalam lemak manusia normal.
Di sini akan ditinjau banyak kajian terkini yang memerlihatkan sifat-sifat seperti punca dan multipotensi dari ASCs, dan harapan mereka bagi pemakaiannya dalam terapi berbasis-sel dan penggantian jaringan fungsional bagi sistim muskuloskeletal. Secara khusus, tulisan ini memokuskan perhatian pada pengaplikasian ASCs bagi regenrasi atau perbaikan jaringan kartilagenus, menekankan pertanyaan berikut: (1) Apakah jaringan adipos dewasa mengandung sel-sel punca multipoten?; (2) Apakah sel-sel ini mampu berdiferensiasi khondrogenik?; (3) Pengaruh apakah yang ditimbulkan oleh faktor pertumbuhan, scaffolds biomaterial, dan isyarat lingkungan seperti tekanan oksigen pada khondrogenesis ASC?; Efek apakah yang diberikan oleh bermacam faktor ini pada sifat-sifat biomekanik fungsional dari konstruksi berbasis-ASC?
Latar Belakang: Cedera Kartilago Artikuler dan Perbaikannya
Kartilago artikuler berfungsi sebagai sebuah permukaan penopangan beban yang mendekati tanpa gesekan pada sendi-sendi diarthrodial, menahan beban beberapa kali berat badan selama puluhan tahun(67). Matriks ekstraseluler kartilago dipertahankan oleh satu populasi sel yang jarang-jarang (khondrosit) namun memertunjukkan kapasitas kecil untuk perbaikan diri dikarenakan oleh rendahnya suplai darah jaringan atau sumber sel-sel undifferentiated yang dapat mendorong perbaikan. Lesi kartilago isolated mungkin bertanggung jawab bagi adanya nyeri bermakna atau hilangnya fungsi, dan mungkin mengawali ke pada arthritis degeneratif pada sendi dengan berjalannya waktu(42 43). Untuk mendorong perbaikan kartilago, beberapa teknik pembedahan telah dikembangkan untuk menginduksi pendarahan dan pembentukan gumpalan darah, yang meliputi pengeboran atau fraktur mikro tulang subkhondral(1,8,29,31,43). Banyak sekali teknik pendekatan perekayasaan jaringan telah diajukan guna menguatkan regenerasi kartilago in vitro dan in vivo(2,12,14,30,34,41,55,56,70,77,79,81).
Namun, munculnya tantangan bermakna terus berlanjut dalam hal perbaikan atau penggantian kartilago jangka panjang, dan terdapat terapi berbasis-sel saat ini tersedia secara klinis bagi perbaikan kartilago yang menyangkutkan pengimplantasian khondrosit isolated otolog (Carticel™; Genzyme Biosurgery, Cambridge, MA, USA)(10). Walaupun kajian klinis transplantasi khondrosit otolog umumnya telah melaporkan perbaikan bermakna dalam nyeri, pembengkakan, dan fungsi setelah pembedahan(9,60), sebuah percobaan prospektif terawasi memerlihatkan tidak adanya keuntungan dari pengimplantasian khondrosit otolog dibandingkan dengan pengobatan baku fraktur mikro dari tulang subkhondral, berdasar pada indeks fungsi sendi, nyeri, atau karakteristik dari defek kartilago(47). Lebih lanjut, sebuah kajian khewan menyarankan prosedur pemanenan dapat menginduksi morbiditas lokasi donor dan kerusakan iatrogenik yang dapat menginisiasi degenerasi osteoarthritik dalam sendi(50). Jadi, prosedur-prosedur semacam itu jelas akan mendapat manfaat dari ketersediaan dari satu sumber melimpah dan aman dari sel-sel progenitor khondrosit bagi perbaikan kartilago.
Jaringan Adipos sebagai sebuah sumber Sel Punca Dewasa Multipoten
Prosedur isolasi ASCs dari jaringan lemak telah dijelaskan(23). Singkatnya, jaringan liposuction dicuci sepenuhnya dalam phosphate buffered saline untuk membuang kontaminasi erithrosit, dan kemudian digested menggunakan type I colagenase. Fraksi stromal-vasculer dari sel-sel dipisahkan dari adiposit lipid-laden dewasa dengan cara sentrifugasi. Fraksi ini, yang mewakili satu populasi heterogen sel-sel, mengandung ASCs(37, 86). Sejumlah besar ASCs dapat dipanen melalui cara ini, yang menghasilkan sedikitnya 250,000 sel per gram jaringan(3). Populasi sel-sel ini lebih lanjut dapat diekspansikan dan dimurnikan pada pembenihan jaringan plastik, menghasilkan sedikitnya 109 sel setelah 2 minggu pengekspansian. Selama pengekspansian, studi memerlihatkan bahwa ASCs tidaklah mempertunjukkan penanda sel punca hematopoietik (mis., CD45 dan CD14) namun memamerkan penanda profil permukaan yang sama dengan MSCs bersal sumsum(32,83), walaupun, secara umum dikenali tidak terdapat penanda spesifik yang siap tersedia untuk mengidentifikasi sel-sel punca nonhematopoietik. Meski demikian, ASCs mengekspres berbagai penanda stromal CD9, CD10, CD29, CD44, CD73, CD90, dan CD166, dan dengan meningkatkan passage, pengekspresian semua penanda ini meningkat sementara kehadiran penanda hematopoietik menurun(57,61).
Untuk memeriksa multipotensi sel-sel individual, ASCs dibenihkan dan ring cloning dilaksanakan untuk menyeleksi sel yang berasal dari satu sel progenitor(36). Sebanyak empat puluh-lima klon diekspansikan lewat empat passages dan kemudian diinduksikan untuk adipogenesis, osteogenesis, khondrogenesis, osteogenesis, dan neurogenesis menggunakan media diferensiasi yang spesifik-garis turunan. Kriteria diferensiasi kuantitatif untuk setiap garis turunan ditentukan menggunakan analisis histologis dan biokimia. Temuan di sini memerlihatkan bahwa 81% klon ASC berdiferensiasi menjadi sedikitnya satu dari berjenis garis turunan(Gambar 1). Tambahannya, 52% klon ASC berdiferensiasi menjadi dua atau lebih dari garis turunan. Lebih banyak klon mengekspresikan fenotip-fenotip osteoblas (48%), khondrosit (43%), dan sel mirip-neuron (52%) dibandingkan dengan adiposit (12%), yang kemungkinan ini dikarenakan oleh kehilangan kemampuan adipogenik setelah subkultur pengulangan. Semua temuan ini menyokong hipotesis bahwa ASCs merupakan tipe sel punca multipoten dan bukan hanya berupa satu campuran populasi sel progenitor unipoten.
Gambar 1. (A) Di bawah kondisi pembenihan spesifik dan terawasi, ASC dapat diinduksikan untuk mengekspres karakteristik fenotipik khondrosit, osteoblas, adiposit, atau neuron. (B)Sebanyak lima puluh lima individual klon diekspansikan melalui empat passage dalam pembenihan dan kemudian berdiferensiasi menuju garis turunan adipogenik, osteogenik, khondrogenik, dan neurogenik. Lima puluh dua persen dari klon sel memerlihatkan karakteristik sel punca melalui menampilkan potensi diferensiasi bipoten dan tripoten(33).
Potensi Khondrogenik ASC Manusia
Tulisan ini memokuskan utamanya pada kemampuan ASCs untuk menghasilkan molekul jaringan kartilago untuk pengaplikasian potensiil dalam perbaikan jaringan seperti misalnya kartilago artikuler, meniskus, atau diskus intervertebral (mis., [4,20,22,26,27,82,83]). Melalui bermacam kajian, diperlihatkan bahwa di bawah kondisi spesifik, ASCs dapat mengekspres gen dan protein untuk beberapa molekul yang spesifik-kartilago, termasuk kolagen tipe II dan aggrecan, tanpa mengekspresikan penanda khondrosit hipertrofik seperti misalnya kolagen tipe X(26). Walaupun demikian, di abawah kondisi tertentukan yang berbeda, ASCS dapat diinduksikan untuk menyintesis kolagen tipe I dan tpe II, yang menyarankan bahwa satu fenotip fibrokartilagenus juga adalah memungkinkan(5).
Medium yang digunakan untuk menginduksi khondrogenesis didasarkan pada apa yang telah dikembangkan oleh Johnstone dkk untuk penginduksian diferensiasi yang sama dari MSCs berasal sumsum tulang(45). Ketika dipertahankan dalam pellet culture atau terbungkus dalam alginate beads dan dibenihkan dengan 10ng/mL TGF-β1, ascorbate, dan dexamethasone, ASCs memerlihatkan mengekspres satu fenotip mirip-khondrosit dan menyintesis kolagen tipe II, aggrecan, link protein, dan chondroitin sulphate dalam sebuah cara bergantung-waktu berdasarkan pada analisis mRNA, imunohistokimia, dan penggabungan radiolabel(4,22,83) dengan penguatan bermakna proteoglycan dan sintesis protein di bawah kondisi khondrogenik. Winter dkk melaporkan bahwa profil ekspresi ASCs di bawah kondisi khondrogenik adalah sama dengan apa yang terjadi pada MSCs(39). Mengikuti satu proses diferensiasi in vitro, Erickson dkk memerlihatkan bahwa ASCs manusia memertahankan fenotip khondrosit dan membentuk jaringan kartilagenus ketika diimplantsikan secara subkutan in vivo pada tikus kecil imunodefisien hingga 12 minggu(22).
Pengaruh Kondisi Kultur pada Khondrogenesis ASC
Kombinasi faktor-faktor pertumbuhan dengan bermacam suplemen media yang dipakai untuk menginduksi diferensiasi khondrogenik dari sel-sel progenitor seperti misalnya MSCs sumsum tulang telah tertentukan secara empiris, dan mungkin bergantung pada berjenis faktor seperti konsentrasi, lamanya pemaparan, atau tipe sel. Dalam sebuah seri kajian, diperlihatkan bahwa potensi khondrogenik ASCs bergantung pada berjenis kondisi benihan seperti misalnya media pengekspansian/pertumbuhan yang digunakan, jumlah passages, dan komposisi matriks ekstraseluler(4,20,24,26,27).
Dalam sebuah kajian, lebih dari 27 kombinasi faktor pertumbuhan, fetal bovine serum (FBS), dan bermacam suplemen media lainnya dikaji untuk memeriksa pengaruh semua mediator ysng dpat larut ini pada khondrogenesis ASC(4). Berbagai temuannya memerlihatkan bahwa semua faktor-faktor ini mungkin bekerja dalam sebuah cara aditif atau sinergistik, bergantung pada konsentrasi dan lama waktu pemaparan. Sebagai contoh, pengganti serum ITS + (insulin, tranferring, dan selenious acid) dan TGF-β1 berfungsi untuk meningkatkan proliferasi ASC. Hal yang sama, TGF-β1 dan deksametason mendorong kecepatan sintesis protein dalam cara-cara aditif dalam kehadiran dari ITS + atau FBS. Catatan khususnya adalah temuan bahwa deksametason, yang seringkalidigunakan sebagai sebuah media suplemen bagi khondrogenesis, menekan kemampuan TGF-β1 untuk merangsang sintesis proteoglikan dan berakumulasi hingga 1.5 – hingga dua kali lipat.
Menggunakan penyaringan lebih lanjut dari bermacam faktor pertumbuhan berbeda, dijumpai bahwa BMP-6 yang diaplikasikan pada larutan(26) atau lewat transfeksi genetik dari ASC(20) dengan besar sekali menguatkan potensi khondrogenik sel-sel ASC yang terbungkus dalam alginate beads. Secara khusus, BMP-6 yang dapat larut meregulasi ke hulu pengekspresian agrekan dan kolagen II sekitar 205 kali dan 38 kali, berturut-turut, lebih dari hari ke O kontrol, sementara peregulasian ke hilir pengekspresian kolagen X (sebagai satu penanda dari diferensiasi hipertrofik) sebesar dua kali lipat. Semua perubahan dalam level pengekspresian mRNA adalah paralel pada level protein (Gambar 2). Sebaliknya dengan MSCs sumsum tulang, yang memertontonkan peningkatan pengekspresian kolagen tipe X dalam responnya terhadap BMP-6, semua temuan ini menyarankan bahwa BMP-6 melayani sebagai sebuah regulator poten khondrogenesis ASC. Temuan ini telah dikonfirmasikan, dan data mengindikasikan bahwa BMP-6 mungkin secara khususnya penting bagi khondrogenesis ASC dikarenakan oleh berbagai perbedaan dalam pengekspresian reseptor TGF-β dibandingkan dengan MSCs(39).
Gambar 2. Imunohistokimia ASCs manusia dalam alginate beads setelah 7 hari dalam pembenihan memerlihatkan kehadiran penanda khondrogenik dalam kehadiran TGF-β1 atau BMP-6. (A) Kombinasi faktor pertumbuhan baku dari TGF-β1 + deksametason (DEX) digunakan untuk khondrogenesis MSCs menginduksi produksi kolagen tipe II oleh ASCs. (B) Pelabelan kolagen II meningkat dalam kehadiran BMP-6 dibandingkan dengan TGF-β1 + DEX. (C) TGF-β1 + DEX meningkatkan pelabelan kolagen tipe X pada ASCs, menyarankan sebuah fenotip hipertrofik. (D) Ekspresi kolagen tipe X menurun dengan pengobatan BMP-6(26).
Pengaruh Scaffolds Biomaterial pada Khondrogenesis ASC
Dalam banyak kajian lainnya, dilakukan penyelidikan tentang pengaruh dari scaffolds biomaterial pada khondrogenesis ASC. Sebagai tambahan dari berbagai interaksi biokimia yang mungkin dimiliki sacffolds dengan reseptor permukaan sel, terdapat bukti yang bertumbuh dari peran penting bahwa interaksi fisik di antara sel punca dengan matriks ekstraseluler mereka memiliki peran pengaturan nasib sel punca(25,35). Satu dari banyak kajian memerlihatkan bahwa material atau struktur berkonstruksi berbeda dapt secara bermakna memengaruhi diferensiasi ASCs dan sifat fungsional dari konstruksi jaringan rekayasa(5). Sebagai contoh, scaffolds yang memertahankan sel-sel dengan satu bentuk bundar dan mencegah kontak sel-dengan-sel (mis., alginate atau agarose) mendorong satu fenotip khondrogenik dan mencegah pengekspresian kolagen tipe I. Sebaliknya, porous gelatin scaffolds (Surgifoam®, Johnson and Johnson, New Brunswick, NJ, USA) atau fibrin-based scaffolds (Tisseel®, Baxter Bioscience, Westlake Village, CA, USA) juga menyokong diferensiasi khondrogenik ASCs namun menginduksi pengekspresian kolagen tipe I dan tipe II, menyarankan diferensiasi ASCs menjadi satu fenotip fibrokartilagenus adalah dikaitkan dengan satu bentukan sel yang lebih fibroblastik(48) (Gambar 3).
Gambar 3. Viabilitas sel dan gambaran morfologi dapat dilihat dalam material scaffold berbeda teramati menggunakan confocal laser scanning microscopy dan Live-Dead fluorescent probes. Sel-sel dalam (A) scaffolds agarose dan (B) alginate memiliki gambaran morfologi sferik yang menetap demikian sepanjang periode pembenihan, tanpa memerhatikan kondisi pembenihan. Sebaliknya, sel-sel dalam (C) scaffolds gelatin memerlihatkan gambaran morfologi fibroblastik berbeda pada hari 7. (D) Pada hari 28, sel-sel dalam scaffolds gelatin berproliferasi dan menjadi bertemu satu sama lainnya dengan kontak sel – sel yang bermakna sebagaimana mereka mengerahkan kontraksi scaffold besar-besaran. Batang skala = 50 µm (A, B, C) atau 200 µm (D)(5).
Juga telah diperlihatkan bahwa hasil rekayasaan baru scaffolds biomaterial yang direkayasa secara genetik dapat secara langsung memengaruhi potensi khondrogenik ASCs. Material ini terdiri dari satu versi yang dimodifikasi secara genetik dari elastin alami, diistilahkan sebagai elastin-like polypeptide (ELP), yang sensitif secara thermal dan menjalani satu transisi temperatur berbalik/inverse (yi, cair pada suhu kamar dan jeli padat pada suhu tubuh)(59). Sifat ini segera memungkinkan enkapsulasi seluler, menyediakan satu keuntungan penting bagi pengiriman seluler dalam konteks perekayasaan jaringan(7). ASCs manusia dibenihkan dalam hidrogel baik pada media khondrogenik ataupun media baku untuk selama 2 minggu, saat mana konstruksi di kedua media memerlihatkan meningkat bermakna dalam sulfated glysaminoglycans (hingga 100%) dan kadar kolagen (hingga 420%), khususnya kolagen tipe II dengn sedikit pembentukan kolagen I. Pada level mRNA, ASCs yang dibenihkan dalam ELP menunjukkan peregulasian ke hulu SOX9 dan pengekspresian gen kolagen tipe II, di mana kolagen tipe I diregulasikan ke hilir. Semua temuan ini menyediakan bukti tambahan akan kemampuan khondrogenik ASCs dan kemampuan scaffolds biomaterial untuk secara langsung mengontrol diferensiasi sel punca(35), bahkan dalam ketidakhadiran faktor pertumbuhan eksogen(6).
Pada kajian lainnya, diperlihatkan bahwa scaffolds biomaterial yang diciptakan hanya dari jaringan matriks ekstraseluler alami juga dapat mengontrol diferensiasi ASCs(16,21). Menggunakan satu porous scaffold yang secara eksklusif berasal dari kartilago artikuler, dilakukan pemeriksaan khondrogenesis ASCs dalam ketidakhadiran faktor pertumbuhan eksogen. ASCs memerlihatkan peningkatan pengekspresian gen dan biosintesis komponen matriks ekstraseluler yang spesifik-kartilago, khususnya kolagen tipe II (Gambar 4), dan uji mekanik memerlihatkan meningkat bermakna dalam sifat mekanik konstruksi berbenihkan-ASC dengan waktu, dengan tiga kali lipat peningkatan dalam modulus agregat selama 6 minggu dalam pembenihan.
Gambar 4. Sebuah scaffold berpori diciptakan murni dari kartilago artikuler alami yang menyokong khosndrogenesis ASCs. Yang ditampilkan adalah (A) gambaran morfologi kasar scaffold matriks berasal-kartilago, (B) sebuah pindaian mikrograf elektron scaffold matriks berasal-kartilago, (C) sebuah microCT memerlihatkan porositas tinggi dari scaffold matriks berasal-kartilago, dan (D) contoh-contoh imunohistokimia memerlihatkan khondrogenesis oleh ASCs dalam scaffold berasal kartilago berpori. Pada baris pertama adalah scaffold kosongan sebelum semaian; pada baris kedua contoh-contoh dari hari ke 28; dan pada baris ketiga adalah contoh-contoh dari hari 42. Batang skala = 1 mm (A, B, C) dan 200 µm (D)(16).
Peran Tekanan Oksigen dalam Khondrogenesis
Walaupun sering diakui bahwa kondisi pembenihan sel yang digunakan untuk perekayasaan jaringan kurang dapt meniru kondisi in vivo, tidaklah jelas apakah mereproduksi karakteristik in vivo dapat memengaruhi khondrogenesis. Sebagai contoh, kartilago artikuler berwujud pada satu keadaan lingkungan dengan oksigen yang dikurangi (mendekati 1%-5%) in vivo; dengan demikian, tekanan oksigen telah dihipotesiskan untuk menjadi satu faktor penting yang meregulasi metabolisme kartilago(62). Terdapat bukti bermakna bahwa tekanan oksigen dapat memengaruhi diferensiasi dan aktifitas biosintetik khondrosit primer sebagaimana mereka saat mengalami passage dalam benihan(67). Untuk memeriksa pengaruh oksigen pada khondrogenesis ASC, ASC manusia dalam alginate beads dibenihkan dalam kontrol atau media khondrogenik baik pada tekanan oksigen rendah (5%) ataupun pada tekanan oksigen atmosfer (20%) hingga 14 hari(82). Tekanan oksigen rendah secara bermakna menghambat proliferasi ASCs, namun menginduksi dua kali lipat peningkatan dalam kecepatan sintesis protein dan tiga kali lipat peningkatan dalam sintesis kolagen total.Tekanan oksigen rendah juga meningkatkan sintesis glikosaminoglikan pada saat-saat tertentu. Analisis imunohistokimia memerlihatkan produksi bermakna molekul matriks terkait-kartilago, termasuk kolagen tipe II dan khondroitin-4-sulfat. Semua temuan ini memerlihatkan bahwa tekanan oksigen dapat memainkan sebuah peran penting dalam peregulasian proliferasi dan diferensiasi ASCs manusia sebagaimana mereka menjalani khondrogenesis dan menyarankan bahwa manipulasi lingkungan fisikokimia benihan dapt menyediakan cara-cara tambahan dalam pengontrolan aktifitas sel-sel progenitor undifferentiated dalam konteks bioreaktor(28).
Sifat Fungsional Rekayasaan-Jaringan Konstruksi Kartilago menggunakan ASCs
Berbagai perubahan komposisi biokimia dari semua konstruksi kartilago rekayasa-jaringan dengan berjalannya waktu dapat memengaruhi biomekanik fungsional dan sifat-sifat trenspor mereka. Sebagai contoh, meningkatnya moduli geser dan kompresif dikaitkan dengan peningkatan akumulasi komponen matriks seperti misalnya konten proteoglikan dan kolagen. Diperlihatkan bahwa, komposisi dan struktur scaffold biomaterial juga memengaruhi sifat difusi kartilago yang direkayasa dari ASCs(48). Sebagai kartilago (alami atau rekayasa jaringan) adalah avaskuler, proses difusi bekerja sebagai mekanisme utama transpor makromolekul. Koefisien difusi molekul-molekul dextran fluoresen, uncharged (berrentang dari 3 hingga 500 kDa) diukur menggunakan sebuah metode baru bagi fluorescence recovery fo photobleaching (FRAP)(49). Temuannya memerlihatkan bahwa independen dari ukuran molekul, sifat difusi konstruksi rekayasa-ASC bergantung pada komposisi biomaterial konstruksi, kehadiran sel-sel, kondisi faktor pertumbuhan pembenihan, dan lamanya pembenihan(48). Sebagai contoh, setelah 4 minggu dalam benihan, difusitas konstruksi menurun lebih besar dari 40% di bawah kondisi khondrogenik, dan ini dikaitkan dengan peningkatan bersih dalam biosintesis dan retensi makromolekul matriks. Yang perlu dicatat, temuan bahwa difusifitas dari keseluruhan konstruksi berbeda-beda yang diuji dalam pembenihan secara bermakna lebih besar dibandingkan dengan yang dari kartilago artikuler alam, menyarankan bahwa transpor nutrien dan metabolit ke sel dalam konstruksi tidak terhalang selama stadium dini pembentukan jaringan, dibandingkan dengan jaringan alami(49). Dari sudut pandang fungsional, bagaimanapun, konstruksi yang diciptakan dari gel-seeded ASCs atau MSCs umumnya tidak mampu mencapai sifat mekanik kartilago artikuler alam dalam sebuah periode waktu yang pendek dari waktu pembenihan, khususnya berkenaan dengan tegangan (4,40,71,78), Jadi, ada semacam kebutuhan penting untuk mengembangkan material scaffolds yang dapat menyediakan fungsi biomekanik bagi konstruksi rekayasa hingga sel-sel dapat menyintesis dan menghimpun sebuah matriks fungsional(64). Untuk menangani jaringan ini, sebuah scaffold serat tenunan tiga-dimensi baru dikembangkan yang meniru sifat-sifat mekanik kartilago alami dalam tegangan, kompresi, dan geser, sementara dengan mudah memungkinkan terjadinya konsolidasi dan penyemaian sel(63). Semua scaffolds komposit porous ini dapat didisain menggunakan bermacam kombinasi serat yang dapat diserap seperti poly(glycolic acid) dengan sifat-sifat inisiilnya sebanding dengan kartilago alami dalam hal anisotropi, viskoelastisitas, dan tension-compression nonlinearity. Sehingga, scaffolds yang seperti itu memberi potensi untuk penopangan-beban dengan segera setelah penyemaian sel dan implantasinya, memungkinkan maturasi konstruksi in vivo kelanjutannya sementara meminimalisir waktu pembenihan in vitro. Dalam sebuah kajian, sebuah scaffold berkomposisikan poly(ε-caprolactone) (PCL) tenunan tiga-dimensi digunakan yang berkonsolidasi dengan ASCs manusia terbungkus dalam fibrin gel dan dibenihkan hingga selama 4 minggu(65). Untuk semua waktu yang diuji, semua scffolds memertahankan sifat biomekanik geser, kompresi, dan frksi yang sama dengan yang dimiliki kartilago alami (Gambar 5), sementara menunjukkan sintesis satu matriks ekstraseluler yang kaya kolagen(65). Temuan ini menyarankan bahwa konstruksi berbasis ASC dapat didisain dan diciptakan menggunakan scaffolds biomaterial yang memberikan fungsi biomekanik alami, memungkinkan bagi penggunaan potensiil dari teknologi ini dalam aplikasi berbasis klinik untuk perbaikan dan regenerasi kartilago.
Gambar 5. Struktur tiga-dimensi ditenun dengan cara membuat lapisan dari dua set yang saling tegaklurus satu sama lain multipel saling terkunci dari serat dalam bidang (arah bidang x atau arah melengkung, arah bidang y atau arah kain) dengan sebuah set ketiga serat dalam arah bidang z. (A) Sebuah pandangan permukaan dari bidang X-Y (SEM), (B) pandangan silang dari bidang X-Z, dan (C) pandangan silang dari bidang Y-Z diperlihatkan. (D) Kekakuan struktural dari scaffolds PCL tiga-dimensi meningkat ketika dikonsolidasikan dengan fibrin. Modulus agregat (HA) dan modulus dari Young (E) diperlihatkan pada hari ke 0 sebagaimana ditentukan oleh kompresi terbatas dan tak terbatas, berturut-turut. Scaffolds komposit PCL/fibrin tiga dimensi telah memiliki nilai-nilai HA dan E lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan apa yang diperlihatkan scaffolds PCL tiga dimensi tak konsolidasi (ANOVA,*p<0.05. **p<0.0001); data yang disajikan sebagai rerata + SEM; batang skala = 1 mm (65).
Diskusi
Perekayasaan jaringan, terapi gen, dan berbagai teknik pendekatan berbasis-sel dalam kedokteran regeneratif telah menggaris bawahi kebutuhan akan sebuah sumber berlimpah sel-sel progenitor undifferentiated. Tujuan kajian ini adalah untuk menentukan faedah jaringan lemak sebagai sebuah sumber sel punca bagi regenerasi muskuloskeletal dan scaffolds dan kondisi benihan yang optimal untuk mendorong diferensiasi khondrogenik mereka. Berbagai kajian memerlihatkan lemak subkutan dan depo jaringan adipos lainnya pada tubuh manusia dewasa mengadung sejumlah besar sel punca yang dengan mudah diisolasikan dari sampah sedot lemak baku, menyediakan satu sumber sel otolog atau alogenik yang mudah terpenuhi. Di bawah isyarat lingkungn, sebagaimana dijelaskan di sini, sel-sel ini dapat memertontonkan karakteristik fenotipik tipe-tipe sel multipel,dan dengan demikian memberikan satu sumber sel yang unik dan menjanjikan bagi aplikasi dalam kedokteran regeneratif.
Relatif dengan sumber-sumber sel punca dewasa lainnya, ASCs dapat dipanen dengan menghasilkan jumlah sel yang tinggi, walaupun beberapa keterbatasan akan pemakaian mereka masih tetap ada. Pertama, akan sulit untuk menentukan periode pembenihan in vitro optimal yang dibutuhkan untuk satu aplikasi spesifik. Fraksi vaskuler stromal yang awalnya diisolasikan menggambarkan satu tipe sel campuran yang heterogen yang dapat mencakup sel-sel endotel, perisit, dan sel-sel imun. Beberapa kajian memerlihatkan bahwa setelah penginduksian yang terawasi atau passaging berseri, ASCs menjadi lebih uniform dalam fenotip dan potensi diferensiasinya(24), menyarankan bahwa pengekspansian in vitro akan memilih secara istimewa satu populasi sel yang relatif homogen diperkaya untuk sel-sel mengekspres satu imunofenotip stromal(61). Namun, sebagaimana pengekspansian ekstensif dalam benihan dapat mengintroduksi kemungkinan jaran tumorigenesis, kondisi benihan in vitro dan seleksi dari progenitor dini mungkin kuat sekali dalam memengaruhi fenotip sel-sel sebelum diferensiasi(24,76), dan dengan demikian haruslah diseleksi dengan hati-hati sebelum pemakaiannya dalam sebuah aplikasi klinik(75). Bagaimanapun juga, kebanyakan aplikasi ASCs memusatkan pada meminimalisir atau bahkan mengurangi pengekspansian sel in vitro sebelum pengimplantasiannya(46). Jadi, walaupun terdapat keterbatasan, ASCs berlanjut menemukan beberapa, kalau tidak dikatakan seluruhnya, dari karakteristik yang dibutuhkan bagi sebuah teraputik sel yang aplikabel secara klinis.
Temuan di sini dan juga demikian pada yang lainnya memerlihatkan bahwa ASCs memertontonkan kemampuan diferensiasi multipoten dalam garis turunan mesenkhimal yang sama dengan sel-sel punca dewasa lainnya seperti MSCs, dengan bukti diferensiasi adipogenik, khondrogenik, myogenik, neurogenik, osteogenik, dan tenogenik(36,53,86). Hal yang sama, kondisi benihan yang dipakai untuk menginduksi diferensiasi ACSs yang spesifik-garis turunan umumnya sama dengan apa yang digunakan untuk MSCs; walaupun bukti yang meningkat mengindikasikan bahwa sel-sel punca dewasa yang berbeda memiliki karakteristik dan sifat-sifat unik bergantung pada lokasi asalnya. Melali pengukuran bermacam penanda permukaan sel, ASCs menunjukkan profil ekspresi yang adalah sama namun yang berbeda dalam perbandingannya dengan MSCs sumsum tulang. Namun, respon ASCs terhadap faktor pertumbuhan dan scaffolds biomaterial mungkin berbeda secara bermakna dari MSCS(21,26). Sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa penambahan BMP-6 secara bermakna menguatkan khondrogenesis ASC, menyarankan bahwa kondisi bagi diferensiasi ASC yang optimal mungkin berbeda dari apa-apa yang diperlukan untuk MSCs(26,39). Jadi, berdasarkan semua data ini, para penyelidik haruslah menyadari akan keberbedaan seperti itu antaratingkah laku ASC dan MSC sebagaimana mereka akan mengoptimalisasi teraputik berbasis-sel bagi penyakit muskuloskeletal.
Pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel ini, khususnya di dalam mereka menjalani khondrogenesis, adalah sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan multipel seperti misalnya mediator yang dapat larut (yi, faktor pertumbuhan dan sitokin), faktor fisikokimia seperti misalnya pembebanan mekanik, pH, atau tekanan oksigen, dan interaksi mereka dengan bermacam matriks biomaterial. Pada khususnya, temuan menyarankan bahwa satu bentuk sel bulat (lewat scaffolds tiga dimensi atau pembenihan massa mikro) merupakan sebuah faktor penting dalam penginduksian fenotip khondrogenik, dan sehingga interaksi fisik dengan matriks ekstraseluler mungkin memiliki sebuah efek bermakna dalam memertahankan fenotip ASC dalam jangka panjang(53). Bukti ini menyarankan bahwa adalah memungkinkan untuk memanfaatkan perangsangan mekanoinduktif seperti itu untuk memodulasi diferensiasi dan fungsi khondrogenik ASC bersama-sama dengan faktor-faktor pertumbuhan biokimia yang lebih tradisional(38,51,54)
Akhirnya, kemampuan ASCs untuk menyediakan sebuah basis bagi regenerasi jaringan dalam sistim muskuloskeletal kemungkinan akan bergantung pada kemampuan bagi konstruksi rekayasa untuk menyediakan sifat-sifat fungsional yang cocok disepanjang kehidupan implan(11). Dalam hal ini, sifat-sifat mekanik dan biofisik scaffolds biomaterial yang digunakan dalam perekayasaan jaringan berbasis- sel punca merupakan parameter disain penting yang akan memengaruhi translasi klinik dari teknik pendekatan tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan kajian lanjutan menyangkutkan ilmuwan biomaterial dan biomekanik, insinyur teknik proses produksi, klinis orthopedi, dan ahli biologi sel punca. Melalui pendorongan hubungan kolaboratif di antara tim dari akademisi, biotechnology startups, dan pemapanan perusahan industri biomaterial, perkembangan terapi medik regeneratif berbasis-ASC bagi defek kartilago dan tulang dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan peraturan internasional. Bukti yang telah ada menyarankan bahwa semua tujuan ini adalah dapat dilaksanakan karena berhasilnya pemakaian ASCs otolog untuk memerbaiki defek kraniofasial berukuran-kritis yang telah dipublikasikan sebagai laporan kasus dalam literatur klinik(52,58).
Sabtu, 30 Juni 2012
Selasa, 19 Juni 2012
Perekayasaan jaringan bagi Sel Punca-Penghasil Tulang, Terapi Gen dan Scaffolds
Abstrak
Sulihan tulang telah menjadi baku emas pengobatan bagi perbaikan defek tulang. Namun, akibat adanya morbiditas lokasi donor terkait sulihan tulang, beberapa alternatif penggantian tulang dibuat tersedia namun dengan penambahan biaya dan keterbatasan properti osteoinduktif yang tidak ideal. Dengan demikian, riset telah dimulai dalam perekayasaan jaringan guna menyelidiki sel-sel punca, yang merupakan satu di antara mekanisme yang dimiliki tubuh untuk digunakan memerbaiki tulang. Sel punca merupakan sel tak terdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewel. Siap tersedia dari bermacam sumber, sel punca memiliki potensiil untuk berdiferensiasi dalam osteoblas dan khondrosit memerlihatkan kemampuannya untuk memerbaiki tulang dan kartilago. Sifat imunologik sel punca yang telah dikenal lebih lanjut menguatkan penampilan teraputik mereka. Sel punca telah memerlihatkan menjadi pembawa yang baik sekali bagi transfer gen memiliki kemampuan untuk ditranduksikan. Transfer gen dapat memungkinkan faktor pertumbuhan dan protein morfogenetik tulang menguatkan perbaikan tulang. Sel punca diimplantasikan di atas scaffold, yang merupakan struktur berkemampuan menyokong pembentukan jaringan lewat membiarkannya migrasi sel berlangsung, memngkinkannya perlekatan sel memiliki biodegrabilitas, biokompatibilitas dan non-imunogenisitas yang adekuat. Namun, setelah mencoba dan menguji bermacam bahan termasuk produk-produk sintetik dan alami, riset untuk mencari produk scaffold yang sempurna terus berlangsung. Tinjauan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sel punca diungkap, berbagai teknik yang digunakan untuk mengisolasi sel punca, mengidentifikasi dan memanipulasi mereka menuju garis turunan sel yang berbeda dan mendiskusikan riset masuk ke dalam penggunaan sel punca untuk merekonstruksi tulang menggunakan modifikasi genetik dan scaffolds.
Kata-kata kunci: Sel punca dewasa, sumsum tulang, rekonstruksi tulang, terapi gen, scaffolds, perekayasaan jaringan.
Defek tulang yang melebihi ukuran kritisnya biasanya menyembuh dengan jaringan fibrus (parut), menghilangkan penyambungan kembali tulang sempurna. Ukuran kritis didefinisikan sebagai defisiensi intraoseus yang tidak akan menyembuh dengan lebih dari 10% pembentukan tulang baru sepanjang masa perkiraan usia hidup pasien (manusia atau bukan manusia)(1).
Rekonstruksi defek tulang bergantung pada mekanisme tertentu, yang dapat di simpulkan menjadi mekanisme-mekanisme osteokonduksi, osteoinduksi dan osteogenesis. Ostegenesis adalah pembentukan tulang baru dari sel-sel kompeten tulang. Osteokonduksi adalah pembentukan tulang baru sepanjang scaffold dari sebuah substansi biologik atau aloplastik pada mana sel-sel pembentuk tulang yang berasal dari sel-sel kompeten tulang inang sebelumnya telah ada. Osteoinduksi adalah pembentukan tulang baru lewat diferensiasi dan stimulasi sel-sel mesenkhim oleh protein-protein induktif tulang(2).
Pada prinsipnya, sulihan tulang mengandung seluruh elemen kunci yang dibutuhkan bagi perbaikan tulang; sebagaimana mereka menyediakan scaffold osteokonduktif, faktor pertumbuhan bagi osteoinduksi, dan sel dengan potensi osteogenik(3). Penggunaan sulihan tulang dalam praktik klinik menimbulkan banyak gangguan major(4). Walaupun persentase kesuksesannya tinggi, berbagai komplikasi seperti resorpsi, fraktur, infeksi dan non-union tetap ada(5). Penambahan pengambilan tulang otolog sering menghasilkan morbiditas lokasi donor, yang besarnya bervariasi teggantung dari lokasi dan teknik intervensi termasuk perdarahan, kerusakan syaraf, ketunaan kosmetik, nyeri, infeksi, dan kehilangan fungsi(6)
Pemakaian kadave manusia atau sulihan tulang khewan dari bank tulang mencegah permasalahan morbiditas lokasi donor, namun memberikan risiko potensiil infeksi-infeksi virus atau bakteri dan adanya respon imun jaringan inang terhadap implan. Bagaimanapun, berlanjutnya kemajuan prosedur-prosedur pemrosesan sulihan secara bermakna menurunkan risiko infeksi(7).
Sebagai alternatif, regenerasi tulang terpandu dan beberapa materi biologis telah dipertimbangkan dan digunakan sebagai pengganti tulang, termasuk keramik kalsium fosfat, polimer dan bioglass. Semuanya memiliki keuntungan akan ketersediaannya yang tak terbatas dan dengan sifat-sifat osteokonduktif yang baik. Di lain pihak, mereka tidaklah osteoinduktif, sehingga membatasi aplikasinya untuk perbaikan defek tulang yang besar(8). Sebaliknya, distraksi tulang memberi keuntungan dalam regenerasi tulang; menghindarkan segala kesulitan yang terkait dengan integrasi sulihan. Namun, ia sangatlah memberikan permasalahan bagi pasien, secara teknis sulit dan memerlukan interval waktu yang panjang(9).
Perekayasaan jaringan dapat menjamin sumber tak terbatas bagi regenerasi tulang tanpa komplikasi sebagaimana yang terjadi dari berbagai modalitas rekonstruksi tulang lainnya. Juga, teknik ini sangat menguntungkan dalam rekonstruksi tulang pada kasus defek tulang yang sangat besar dan pada populasi anak-anak: karena lubuk penyimpanan tulang otogenus yang terbatas sebagai tambahan terhadap terbatasnya pemakaian material aloplastik, juga karena pertumbuhan tulang yang sedang berlangsung(10).
APAKAH SEL PUNCA ITU?
Sejarah sel punca dimulai pada 1976, ketika sel tertentu diisolasikan dan dibenihkan, hasil dari benihan ini bersifat sebagaimana fibroblast like cells yang berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi koloni mirip tulang dan kartilago. Sel-sel ini dinamai “colony forming-unit – fibroblast” (CFU-F). Belakangan, sel-sel ini dinamakan mesenchymal stem cells (1994), marrow stromal cells (1997) dan mesenchymal progenitor cells (1999). Saat ini, mesenchymal stem cells (MSC) merupakan dominator yang paling populer yang diberikan bagi sel-sel ini(3).
Sel punca didefinisikan sebagai sel takterdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewal dan berdiferensiasi menjadi satu atau lebih sel turunan. Sejarahnya, MSCs dewasa diperkirakan menjadi terbatas secara perkembangan ke garis turunan sel yang spesifik yang berkaitan dengan jaringan di mana sel-sel tersebut tinggal. Saat ini, terbukti bahwa potensi diferensiasi MSCs dewasa adalah sangat serba guna meliputi seluruh jaringan berasal mesenkhimal. Lebih jauh, di bawah kondisi yang cocok, MSCs dewasa memiliki potensi untuk transdiferensiasi menjadi sel-sel yang memiliki sifat-sifat morfologi dan biokimia dari jaringan syaraf berasal ektodermal, juga berdediferensiasi menjadi sel punca pluripoten. Sifat-sifat transdiferensiasi dari MSCs dewasa dijamin lewat pendeteksian banyak sekali penanda neural in vitro, termasuk nestin, mitogen-activated protein 2, Tau, NeuN, dan glial fibrillary acidic protein(3)
Saat ini, sel punca telah diisolasikan dan dikarakterisasi dari jaringan embryonik, janin, dan dewasa. Embryonic stem cells (ES) adalah pluripoten, dan berkemampuan proliferasi tak terbatas dalam sebuah keadaan takterdiferensiasi. ES adalah sel yang secara keseluruhan tak terikat yang memerlukan pemrograman sel tertentu untuk diarahkan menjadi turunan sel spesifik. Sel punca janin adalah satu tipe sel intermediet di antara ES dengan sel punca jaringan orang dewasa. Sel punca pada jaringan orang dewasa adalah sel-sel yang sangat terikat yang membutuhkan beberapa pemrograman untuk berdiferensiasi menjadi jaringan dewasa(11).
Sel punca pada jaringan orang dewasa merupakan fondasi model sel punca yang digunakan pada riset-riset saat ini, sebagaimana ia meminimalisir perdebatan etik dan hukum. Sel punca jaringan orang dewasa merupakan seluruh sel punca pasca natal yang dapat diklasifikasikan menjadi sel punca hematopoietik, sel punca epitelial dan MSCs. Tidak seperti halnya dua sumber lain sel punca jaringan dewasa, MSCs jaringan dewasa adalah lebih unggul sebagaimana mereka dapat diisolasikan dari sumber-sumber multipel seperti sumsum tulang, jaringan adipos, periosteum, otot, dermis, membran sinovial, dll. Juga, MSCs jaringan dewasa merupakan sel multipoten berkemampuan diferensiasi menjadi berjenis jaringan dewasa(3)
SUMBER IDEAL SEL PUNCA DEWASA
Sumsum tulang merupakan sumber utama sel-sel osteogenik berkemampuan pembentukan tulang in vitro. Namun, prosedur isolasi sel dari sumsum tulang kadang menyebabkan beberapa kerugian dalam praktek klinik. Aspirasi sumsum tulang secara potensiil lebih invasif dan merupakan prosedur menyakitkan, dan meningkatkan risiko morbiditas dan infeksi. Selain MSCs berasal sumsum tulang, sel-sel berasal periosteal juga multipoten dan memiliki potensi berdiferensiasi menjadi osteoblas dan khondrosit. Sel-sel berasal periosteal memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan MSCs berasal sumsum tulang, seperti misalnya tindakan invasi minimal dalam mendapatkannya, dan pemungutan selnya yang mudah. Sel berasal periosteum ini juga menyimpan sifat untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas setelah mengikuti pengobatan enzim dan pengekspansian sel(12)
Sumber ideal sel punca otolog haruslah, dengan demikian, mudah didapat maupun menimbulkan ketidaknyamanan minimal bagi pasien, tetapi berkemampuan, dari jumlahnya, cukup kuat untuk menghindarkan pengekspansian ekstensif dalam pembenihan. Jaringan adipos, seperti sumsum tulang, adalah berasal dari mesoderm embryonik dan mengandung satu populasi sel stromal heterogen. Kesamaan ini membentuk konsep bahwa satu populasi sel punca dapat diisolasikan dari jaringan adipos manusia. Selain itu, keburukan prosedur memanen sumsum tulang tradisional di samping jumlah MSCsnya yang rendah, pada pengolahannya memerlukan langkah pengekspansian ex vivo untuk mendapatkan jumlah sel yang bermakna secara klinis. Langkah yang seperti itu adalah memakan waktu, mahal, dan berrisiko kontaminasi sel dan hilang. Semua poin perbandingan ini membuat sel punca berasal jaringan adipos menjadi sumber sel punca yang lebih baik(13).
PENGIDENTIFIKASIAN SEL PUNCA
Pengidentifikasian sel punca dicapai lewat morfologi, karakteristik fenotip mereka dan tingkah laku biologis mereka. Secara korfologis, sel punca adalah sel berbentuk gelendong dengan inti yang besar di tengah-tengah sel, memiliki prosesus sitoplasmik multipel menonjol dari permukaan terluarnya. Saat ini, tidak terdapat penanda fenotip spesifik untuk mengidentifikasi sel punca. Namun, sel punca berkemampuan pengekspresian banyak penanda permukaan, di mana kesemua penanda ini juga terdeteksi pada sel-sel mesenkhimal, endothelial, dan epithelial. Kesimpulannya, sel punca hanya dapat diidentifikasi dengan tingkah laku biologis mereka sebagaimana sel- sel ini berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi turunan sel berbeda-beda(13).
Menjadi satu dari sumber paling populer sel punca aktifitas riset berfokus pada pengidentifikasian MSCs jaringan dewasa berasal sumsum tulang lewat tiga buah penanda CD34, CD45, dan CD90. CD34 merupakan penanda permukaan progenitor hematopoietik, CD45 adalah penanda permukaan limfositik, dan CD90 adalah penanda permukaan utama sel-sel mesenkhim(14). Sebelum ini telah dipertunjukkan bahwa passage 2 synovial fat pad derived MSCs dan bone marrow derived MSCs terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan jelek untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56 (Gambar 1). Kadangkala sel-sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik dari synovial fat pad dan sumsum tulang.
Gambar 1
Pengarakterisasian epitop permukaan sel dari passage 2 MSCs berasal bantalan lemak sinovial (a) dan MSCs berasal sumsum tulang (b) menggunakan sebuah panel antibodi. Permuakan sel diwarnai menggunakan FITC conjugated secondary antibody (hijau) dan DAPI (biru) memerlihatkan bahwa sel-sel terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan buruk untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56. Sesekali sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik yang dari bantalan lemak sinovial maupun sumsum tulang. Tidak satupun pewarnaan teramati untuk kontrol IgG.
Walaupun mekanisme molekuler yang mengatur diferensiasi MSC tidak secara penuh dipahami, sejumlah faktor pertumbuhan yang memerantarai jalur pensinyalan telah memerlihatkan menginduksi atau mengatur diferensiasi MSCs sepanjang garis turunan mesenkhimal sebagaimana bone morphogenetic proteins (BMP) dan fibroblast growth factor (FGF) merupakan contoh untuk semua faktor pertumbuhan ini(15)
KENAPA SEL PUNCA ADALAH TIDAK IMUNOGENIK?
Akhirnya, imunologi MSCs, sama seperti halnya dengan banyak aspek dari sel ini, penetapannya masih buruk. Studi-studi in vitro yang terdisain bagus mengenai kapasitas imunogenisitas dan imuno-modulator MSCs dalam model patofisiologi spesifik diperlukan sebelum melanjutkan pengekliman menyangkut sifat-sifat imun MSCs dapat dibuat. Sifat-sifat imunologi MSCs yang telah dikenal menguatkan penampilan teraputik mereka. Namun, sebagaimana dengan analisis kebanyakan MSCs, semua sifat-sifat imun ini telah diamati secara ekskulsif pada sel-sel benihan. Fenotip imun dari MSCs benihan secara luas dijelaskan sebagai MHC Class I +ve, MHC Class II -ve, CD40 -ve, CD80 -ve, and CD86 –ve(16, 17).
Fenotip ini dipertimbangkan sebagai non-imunogenik dan menyarankan bahwa MSCs kemungkinan menjadi efektif dalam penginduksian toleransi. Klas I mungkin mengaktifasi sel-sel T, tapi dengan tanpa kehadiran molekul-molekul ko-stimulasi, sinyal sekunder tidak ikut serta, membiarkan sel-sel T anergik(18). MSCs mampu menghambat produksi limfosit sitotoksik in vitro dan menahan pembunuhan baik oleh limfosit sitotoksik maupun sel-sel pembunuh alami. Juga MSCs terbukti menghambat sel-sel mononuklear darah perifer (PBMSCs) bahkan bila molekul ko-stimulasi ditambahkan. Hal ini dijelaskan kiranya lewat produksi faktor-faktor yang dapat larut(17). Sekali lagi, yang mengejutkan, terdapat kurangnya data pada efek imunomodulator MSCs in vivo. Dilaporkan bahwa MSCs memiliki ketahanan hidup sulihan kulit alogenik yang memanjang pada outbred baboon, imunokompeten(19).
PEREKAYASAAN JARINGAN TULANG
Perekayasaan jaringan merupakan sebuah bidang interdisipliner yang sedang bertumbuh yang menggunakan prinsip-prinsip baik ilmu kehidupan maupun perekayasaan menuju ke pengembangan penggantian biologis yang mengembalikan, memertahankan, dan memerbaiki fungsi dari jaringan rusak dan/atau hilang.(3, 20). Perekayasaan jaringan saati ini mengisi posisi depan dalam bidang kedokteran regeneratif. Secara khusus, setelah pemunculan klas perekayaan jaringan lainnya yaitu perekayaan jaringan berbasis sel, di mana defek-defek struktural dan fungsional secara sepenuhnya di kembalikan. Hal ini mencapai tujuan yang lebih besar dari kedokteran regeneratif melalui penggantian jaringan yang hilang dengan tipe jaringan yang sama(20). Berbagai tipenya dijelaskan berikut ini.
1. Perekrutan Lokal Sel-sel Osteogenik
Sebuah kemajuan penting dalam mengobati defek tulang adalah pengajuan bone morphogenetic proteins (BMPs) khususnya BMP-2, -4, dan -7. Semua protein ini menginduksi diferensiasi sel osteogenik in vitro, juga penyembuhan defek tulang in vivo. Pembawanya yang menguatkan daya ikat BMPs adalah yang paling penting, karena pemanjangan pelepasan BMP menyiptakan sebuah lingkungan mikro osteogenik yang memungkinkan progenitor sel multipoten bermigrasi ke daerah cedera dan berproliferasi dan berdiferensiasi menuju ke arah garis turunan osteogenik. Empat kategori utama pembawa material BMP adalah polimer alami, material anorganik, polimer sintetik dan komposit dan semua material ini(3).
Ini, bagaimanapun akan gagal bila vitalitas dan jumlah dari sel-sel multipoten yang dimiliki pasien tidak mencukupi atau bila pasien usianya tua dan dengan satu keadaan kesehatan yang buruk. Kondisi terakhir meliputi pasien-pasien dengan defek tulang yang besar, mereka yang menjalani terapi radiasi atau khemoterapi, usia tua, sistim kekebalan terganggu, pasien kurang gizi dan lainnya. Miligram dari BMP adalah menjadi persoalan sehubungan dengan soal pembuatannya, biaya dan dosis(1, 3)
2. Terapi Gen dan Perekayasaan Jaringan
MSCs juga sangat menjanjikan dalam pengiriman gen dan produk-produk gen. Kemampuan MSCs untuk ditransduksikan memberikan mereka potensi untuk bekerja sebagai wahana atau transfer gen teraputik baik berjangka lama ataupun pendek, misalnya, sebagaimana dalam pengekspresian BMP bagi perbaikan tulang. Sel-sel punca berasal sumsum tulang yang tertransduksi BMP memerlihatkan kekuatan yang efektif dalam perbaikan dari defek berukuran kritis pada model-model khewan berbeda dan lokasi-lokasi berbeda(21).
Di lain pihak, pemberian dosis BMP suprafisiologis telah menunjukkan menginduksi efek berlawanan lewat penyetimulasian resorpsi tulang dan turnover, menuruti satu respon kontra produktif. Dengan demikian, penggunaan MSCs sebagai sebuah wahana pengiriman dapat memastikan pemberian yang spesifik-lokasi dosis fisiologis BMP(22).
3. Osteoinduksi Sel Punca In Vitro
Sitokin osteoinduktif ditambahkan ke media benihan rutin dalam rangka mengontrol diferensiasi sel punca mengarah ke pada garis turunan osteoblas. Di antara protokol penginduksian yang paling terkenal adalah kombinasi β-glycerophosphate, dexa-methasone dan ascorbic acid. Di mana β-glycerophosphate merupakan sumber fosfat organik, dexamethasone penting dalam pengekspresian fenotip osteogenik dalam konsentrasi tertentu, dan ascorbic acid penting dalam deposisi kolagen dan mineral. Faktor pertumbuhan osteoinduktif dan sitokin yang lain meliputi transforming growth factor β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), active vitamin D, BMPs (BMP 2, 4, dan 7) dan hormon paratiroid(13).
Telah diketahui bahwa diferensiasi osteoblastik dari keadaan takterdiferensiasi menjadi osteoblas aktif fungsional adalah satu seri langkah meliputkan sejumlah protein yang diekspres pada setiap stadiumnya, seperti misalnya alkaline phosphatase (ALP), osteocalcin dan deposisi mineral. Umumnya, ALP dipertimbangkan sebagai satu penanda awal relatif difernesiasi osteoblas. Selama pembentukan tulang, matriks ekstraseluler secara progresif mengasumsikan sifat-sifat mirip-tulang dan kemudian, dengan dimulainya mineralisasi, terjadi peningkatan aktifitas protein matriks ekstraseluler non-kolagenus, seperti misalnya osteocalcin, dan deposisi kristal anorganik berkomposisikan kalsium dan fosfat. Pada akhirnya, pembebanan dari sebuah scaffold yang cocok dengan sel-sel terinduksi bergandengan dengan penginkubasian keseluruhaan benihan dalam bioreaktor menyediakan cara efisien namun mahal untuk membangkitkan tulang(12).
4. Produksi Jaringan Tulang Rekayasa Ex-Vivo
Perekayasaan jaringan tulang berbasis-sel punca meliputi tiga langkah utama. Pertama, pemanenan sel punca, pengisolasian dan pengekspansian. Kedua, penyemaian scaffold dengan sel-sel punca terinduksi. Akhirnya, pengimplantasian ulang dilakukan in vivo untuk merekonstruksi defek. Bidang ini telah menarik banyak sekali perhatian dikarenakan afinitasnya sebagai satu alternatif terhadap sulihan tulang dan penggantian bagi rekonstruksi tulang(9).
APAKAH SCAFFOLD ITU?
Sel punca seringkali diimplantasikan atau diunggulkan ke dalam satu struktur yang berkemampuan penyokongan pembentukan jaringan tiga-dimensi. Struktur ini, secara khusus disebut scaffolds, seringkali penting, baik ex vivo juga in vivo, untuk berserah dengan lingkungan in vivo dan memersilahkan sel-sel memengaruhi lingkungan mikro mereka. Teknik pendekatan perekayasaan jaringan bagi rekonstruksi skelet membangkitkan prinsip-prinsip umum penggunaan porous scaffolds yang mengirimkan berbagai biofaktor (sel, gen dan protein) untuk regenerasi jaringan. Scaffolds juga haruslah memenuhi persyaratan khusus agar jaringan berfungsi secara mekanik dari penguatan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor sementara memertahankan fungsi mekanik sementara hingga jaringan mampu menopang beban. Namun, pada wilayah rekonstruksi tertentu (mis. Kraniofasial), scaffolds haruslah sesuai benar dengan defek anatomi 3-dimensi yang sangat kompleks yang dapat menjadi lebih rumit dibandingkan yang dijumpai pada skelet apendikuler(23).
PERSYARATAN DASAR SCAFFOLD
Scaffolds harus sesuai dengan defek anatomi 3D. Hal ini dapat dicapai secara kasar lewat pengalaman pembedahan dalam pendisainan atau lewat sistim pendisainan terkomputerisasi yang sangat canggih(24). Mereka haruslah menyediakan skelet penopangan beban sementara waktu hingga terbentuknya jaringan baru. Biodegrabilitas seringkali merupakan sebuah faktor penting karena scaffolds harus lebih dipilih untuk diabsorpsi oleh jaringan sekitar tanpa diperlukannya pembuangan secara pembedahan. Kecepatan pada mana degradasi terjadi haruslah bertepatan sebanyak-banyaknya yang memungkinkan dengan kecepatan pembentukan jaringan: hal ini berarti bahwa sementara sel-sel sedang memfabrikasi struktur matriks alami sendiri mereka di sekeliling mereka sendiri, maka scaffold harus berkemampuan menyediakan integritas struktural di dalam tubuh dan selanjutnya nanti ia akan terpecah meninggalkan jaringan baru, jaringan yang terbentuk baru yang akan mengambil alih beban mekanik(25).
Scaffolds harus menguatkan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor. Untuk mencapai tujuan rekonstruksi jaringan, scaffolds haruslah berpori dengan ukuran lobang poriadekuat, untuk memasilitasi penyemaian dan difusi sel lewat struktur keseluruhan sel maupun nutrien. Lobang berpori berrentang dari diameter 300 - 1200µm adalah efisien dalam penyokongan migrasi sel, proliferasi sel dan transpor faktor pertumbuhan. Diameter porositas yang lebih kecil adalah tidak efisien sementara yang lebih besar dapat memengaruhi sifat-sifat mekanik scaffold. Jadi, dengan menggabungkan keduanya, sifat-sifat penopangan beban yang dimiliki scaffold dan porositas merupakan satu hal maha penting dalam memiliki scaffold ideal. Kedua persyaratan itu bervariasi sesuai dengan wilayah yang menjadi perhatian tujuan-tujuan rekonstruksi(23).
TIPE SCAFFOLD
Banyak material berbeda (alami dan sintetik, bidegradabel dan permanen) telah diselidiki. Kebanyakan dari material ini telah diketahui dalam bidang medis sebelum munculnya perkeyasaan jaringan sebagai sebuah topik penelitian, telah menjadi terpakai sebagai benang jahit jaringan yang dapat diserap secara biologis. Contoh dari semua material ini adalah kolagen dan beberapa polyester. Biomaterial baru telah direkayasakan untuk memiliki sifat-sifat ideal dan penyesuaian fungsi: injektabilitas, pembuatan bahan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparensi, serat-serat berskala-nano, kecepatan resorpsinya, dll(26).
Secara luas terdapat dua kelompok scaffolds dan scaffolds dari material alami merupakan kelompok pertama. Secara khusus, derivatif-derifativ berbeda dari matriks ekstraseluler telah distudikan untuk mengevaluasi kemampuan mereka untuk menyokong pertumbuhan sel. Material proteik, seperti misalnya kolagen atau fibrin, dan material polisakharid, seperti chitosan atau glycosaminoglycans (GAGs), kesemuanya terbukti pantas dipandang dari segi kompatibilitas sel, namun beberapa isu dengan imunogenisitas potensiil masih tetap ada. Di antara GAGs, hyaluronic acid, kemungkinan dalam kombinasinya dengan agen cros linking (mis., glutaraldehyde, carbodiimide yang dapat larut dalam air, dll), merupakan satu dari pilihan yang mungkin sebagai material scaffold (26). Juga, placental decellular matrix (PDM) dievaluasi oleh Flynn dkk mengenai efeknya pada aktifitas sel yang dibenihkan(25). Koral alami dengan ukuran pori 150 hingga 220µm dan porositas sekitar 36% dibentuk (molded) menjadi bentuk sebuah kondilus mandibula manusia. Koral ini memberikan hasil bermakna sebagai sebuah scaffold di samping recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2)(24).
Kelompok kedua adalah scaffolds sintetik, danmaterial sintetik yang sering digunakan adalah PLA-polylactic acid. Polyester ini yang berdegradasi di dalam tubuh manusia untuk membentuk asam laktat, sebuah bahan kimia yang terjadi secara alami yang dengan mudah dibuang dari tubuh. Material yang sama adalah polyglycolic acid (PGA) dan polycaprolactone (PCL), dengan mekanisme degradasi mereka adalah sama seperti PLA, namun mereka memperlihatkan berturut-turut angka kecepatan degradasi yang lebih cepat dan lebih lambat dibandingkan dengan PLA(26). Para peneliti bertujuan menyiptakan material scaffold dengan sifat biomimetik yang meniru peran matriks ekstraseluler (ECM) dalam banyak fungsi sel, termasuk: adhesi, migrasi. Perekayasaan lebih lanjut sifat-sifat permukaan dan sebagian besar biomaterial akan mengijinkan berbagai interaksi bio-spesifik di antara tipe-tipe sel, material scaffold dan proliferasi yang cocok. Porositas adalah salah satu hal penting bagi material scaffolding yang berhasil. Sejumlah metode berbeda telah dijelaskan dalam literatur dalam memersiapkan struktur berpori untuk bekerja sebagai scaffolds perekayasaan jaringan. Setiap dari semua teknik ini memberikan masing-masing keuntungannya, namun tak satupun tanpa kelemahan(26).
DISKUSI
Prosedur rekonstruktif kraniofasial, maksilofasial, dan anggota gerak atas dan bawah seringkali memerlukan pengambilan suihan tulang yang menghasilkan morbiditas lokasi donor. Perekayasaan jaringan berbasis sel merupakan teknik dasar dalam pembangkitan jaringan, khususnya dalam produksi tulang. Perekayasaan jaringan tulang akan mengatasi kelemahan dari teknik yang umum dari rekonstruksi tulang(6).
Perekayasaan jaringan tulang dipertimbangkan sebagai sebuah sumber tak berhingga dari pemroduksian tulang tanpa morbiditas lokasi donor dan bermacam restriksi penyulihan tulang otogen. Di sini tidak ada risiko transmisi infeksi atau penolakan sebagaimana dapat terjadi dengan tulang demineralisasi berasal kadaver manusia atau sumber-sumber khewan. Juga ia memberikan kita sebuah material sebanding tanpa adanya rejeksi atau reaksi imun yang melawannya. Jadi, ia menutupi kasus-kasus di mana material aloplastik dikontraindikasikan karena rejeksi dan restriksi pertumbuhannya(7).
Telah menjadi mapan bahwa defek kranial ukuran kritis telah secara luas digunakan sebagai sebuah model untuk mengukur efisiensi dari teknik perbaikan tulang berbeda. Karena faktanya bahwa terdapat kurangnya suplai darah, kurangnya sumsum dan tulang kortikal yang tebal pada kranium, sehingga dijumpai kesulitan dalam memerbaiki defek-defek tulang kalvaria. Banyak studi telah dilakukan pada defek-defek kranial berukuran kritis pada tikius kecil, tikus besar, kelinci, dan khewan-khewan lainnya(27).
Banyak studi telah dilakukan untuk mengevaluasi, menstandarisasi dan membatasi teknik optimal bagiperekayasaan jaringan tulang. Di Cina, Fulin 2002 dkk(24) memelajari pemakaian MSC berasal sumsum tulang dibenihkan pada scaffold koral dalam merekonstruksi defek kondilus mandibula pada model tikus kecil nude, di mana rhBMP2 dipakai untuk memerbaiki fenotip osteoblastik sel-sel benihan. Keberhasilan diperoleh setelah 2 bulan di mana tulang yang terrekonstruksi memertahankan bentuk koral, yang telah dimanipulasi untuk menyerupai kondilus mandibula. Pemakaian donor kelinci memberi keuntungan untuk menyediakan sumber takterbatas untuk sel punca, namun pemakaian tikus kecil nude adalah wajib untuk menghindari reaksi imun sebagaimana yang telah dipercaya.
Pada tahun 2004, Abukawa dkk.(24) mengevluasi pemakaian sel punca sumsum tulang otolog untuk merekonstruksi defek mandibular. Osteoinduksi dari sel punca dikerjakan memakai β-glycerophosphate, dexamethazone dan asam askorbat (standard osteo-induction cytokines). Studi ini memerkenalkan penggunaan poly-DL-lactic coglycolic acid polymer sebagai sebuah scaffold biodegradabel yang dapat menyokong jaringan hingga tulang baru diproduksi. Semenjak itu, polyester sintetik biodegradabel dipertimbangkan ebagai material scaffold baku dalam proses perekayasaan jaringan tulang. Polyester sepenuhnya diserap setelah satu interval waktu. Interval ini cukup bagi tulang yang baru terbentuk untuk mengambil alih fungsi penyokongan jaringan. Juga polyester dapat dimanipulasikan menurut sifat-sifat fisik seperti bentuk, area permukaan dn porositas.
Pada tahun 2006, Mankani dkk.(29) menggunakan sel punca sumsum tulang pada model khewan yang lebih tinggi untuk memastikan efisiensi teknik perekayasaan jaringan tulang untuk merekonstruksi defek tulang yang cukup besar. Osteo-induksi dikerjakan menggunakan the standard osteo-induction biodegradable materials cytokines. Keramik kalsium fosfat digunakan sebagai scaffold. Keramik ini adalah material non-biodegradabel, yang dapat mengganggu sifat mekanik tulang yang diproduksi. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa jaringan yang dihasilkan merupakan sebuah kombinasi tulang dengan keramik kalsium fosfat, yang membuat jaringan ini lebih mudah pecah dibandingkan dengan tulang murni alami.
Mereka mengevaluasi karakter tulang yang dihasilkan in vivo lewat pemakaian pemeriksaan ultrasonik yang memerlihatkan pembentukan tulang yang lebih dibandingkan dengan area kontrol. Juga ia mengomentari sifat-sifat mekanik tulang yang terbentuk yang adalah lebih baik dari pada kontrol. Namun ia tidak membandingkan sifat mekanik tulang yang diproduksi dengan tulang tengkoraknormal; sifat-sifat mekaniknya diperiksa dalam cara ex-vivo.
Sekali lagi, Hou dkk.(27) mengevaluasi koral yang dibenihkan MSCs berasal sumsum tulang otolog dengan ditambahkan rhBMP2 dalam merekonstruksi defek tulang kalvarial kelinci New Zealand. Mereka membandingkan hasilnya dengan kelompok ekivalen lain yang direkonstruksi dengan (1) sulihan tulang kortiko-kanselus iliak otolog, (2) koral dengan rhBMP2, (3) hanya rhBMP2. Jaringan yang dihasilkan dievaluasi secara klinis, radiologis dan histologis. Sulihan tulang otolog memberikan angka keberhasilan paling tinggi (84%) dengan kualitas menghasilkan tulang yang terbaik. Perekayasaan jaringan tulang (koral + sel punca terinduksi + rhBMP2) memberikan hasil yang sebanding dengan sulihan tulang otolog (77.9%). Kelompok koral dan rhBMP2, dan kelompok hanya koral memberikah hasil paling kecil dengan hasil yang lebih besar diberikan oleh kelompok yang disebutkan terlebih dahulu.
Berbagai studi perekayasaan jaringan belumlah pernah menggunakan alograf MSCs untuk rekonstruksi defek tulang. Namun beberapa studi diakukan dalam lapangan lainnya untuk memelajari efek MSCs bila digunakan sebagai alograf (studi untuk imunologi transplantasi). Tse dkk.(17) memelajari karakteristik imun in vitro dari MSCs berasal sumsum tulang manusia. Studi ini membangun prinsip pemahaman aksi MSCs dalam pemodulasian imun.
Pada dasarnya, fenotip MSCs ditentukan sebagai MHC class I positive dan negative untuk MHC class II, kecuali bila diterapi dengan interferon gamma. MSCs adalah negatif untuk antigen ko-stimulatori lainnya (CD80, CD86 dan CD40). Tse dkk. 2003(17) menyimpulkan bahwa fenotip ini meninggalkan sel-sel mononuklear darah perifer anergik dengan tanpa sifat proliferatif melawan MSCs atau sel-sel alogenik lainnya dalam kehadiran MSCs. Mereka mengasumsikan bahwa efek penghambatan MSCs ini tak hanya lewat kontak seluler langsung namun sebetulnya lewat diproduksinya faktor-faktor penghambatan yang dapat berdifusi. Hal ini dibuktikan dengan membenihkan sel-sel mononuklear yang dirangsang berproliferasi pada pembenihan yang sama dengan MSCs berasal sumsum tulang. Proliferasi sel-sel mononuklear teraktifasi dihambat oleh kehadiran sel-sel punca, kendatipun dengan kehadiran membran semipermiabel di antara dua populasi sel.
Silva dkk.(30) menggunakan alograf MSCs dalam mengobati model iskemik otot jantung kronik khewan. Hasil dari studi ini memerlihatkan keefektifan modalitas pengobatan ini dan mengomentarinya pada sifat-sifat alogenik sel punca yang digunakan. Yang mengejutkan, sel punca sepenhnya berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel vaskuler dan otot polos, di mana mereka dengan berhasil tercangkokkan menjadi pembuluh darah baru yang terinduksi dalam otot jantung iskemik. Cangkokan yang berhasil ini menimbulkan perbaikan vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Tidak ada pemakaian obat-obat penekanan imun dalam studi ini.
Matsumoto dkk.(14) melewati sebuah studi yang lebih maju. Mereka menggunakan model khewan iskemik otot jantung akut, di mana MSCs berasal sumsum tulang ditransfeksikan dengan gen vascular endothelial growth factor (VEGF) lewat vektor adenovirus. Sel-sel ini dibenihkan dan memerlihatkan peningkatan progresif dalam level VEGF dalam media benihan. Setelah penginjeksian in vitro dari sel-sel ini di dalam model jantung iskemik akut, semua khewan percobaan memerlihatkan perbaikan dalam vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Penelusuran isotop radioaktif memerlihatkan bahwa sel punca tercangkokkan dengan berhasil dalam proses angiogenesis dan mereka berdiferensiasi menjadi sel-sel endotelial dengan aktif menghasilkan VEGF.
SIMPULAN
Pada dasarnya, sulihan tulang otogen merupakan teknik baku dalam rekonstruksi defek tulang. Semua teknik alternatif adalah bertujuan untuk menghindarkan morbiditas lokasi donor dan berbagai komplikasi lainnya. Akhir-akhir ini, perekayasaan jaringan tulang menawarkan sebuah teknik unggul dalam penatalaksanaan defek tulang. Perekayasaan jaringan tulang dicapai lewat tiga langkah utama: (1) pemanenan, pengisolasian dan pengekspansian sel punca, (2) penyemaian scaffold dengan osteo-induced stems cells, (3) re-implantasi in vitro.
MSCs sumsum tulang dewasa atau yang berasal jaringan adipos merupakan sumber baku sel punca yang dipakai dalam perekaysaan jaringan tulang. Di lain pihak, pemilihan scaffold tetap masih dalam penyelidikan dalam rangka untuk menjadi terdtandarisasi. Jadi, perekayasaan jaringan tulang memiliki seluruh keuntungan dari penyulihan tulang otogen namun tanpa morbiditas lokasi donor. Juga, ia dapat dipertimbangkan sebagai sumber takterbatas dari alograf bagi rekonstruksi tulang, sebagaimana karakter non-imunogenisitas sel punca mendukung ide pembuatan bank sel punca. Penambakan sel ini dapat digunakan sebagai sebuah sumber takterbatas segera dari rekonstruksi tulang.
Kesimpulannya, penggunaan MSCs berasal sumsum tulang terbukti menjadi sebuah teknik efisien untuk rekonstruksi tulang. Walaupun alogenik, sel-sel punca digunakan untuk menangani berbagai permasalahan defek tulang.
Sulihan tulang telah menjadi baku emas pengobatan bagi perbaikan defek tulang. Namun, akibat adanya morbiditas lokasi donor terkait sulihan tulang, beberapa alternatif penggantian tulang dibuat tersedia namun dengan penambahan biaya dan keterbatasan properti osteoinduktif yang tidak ideal. Dengan demikian, riset telah dimulai dalam perekayasaan jaringan guna menyelidiki sel-sel punca, yang merupakan satu di antara mekanisme yang dimiliki tubuh untuk digunakan memerbaiki tulang. Sel punca merupakan sel tak terdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewel. Siap tersedia dari bermacam sumber, sel punca memiliki potensiil untuk berdiferensiasi dalam osteoblas dan khondrosit memerlihatkan kemampuannya untuk memerbaiki tulang dan kartilago. Sifat imunologik sel punca yang telah dikenal lebih lanjut menguatkan penampilan teraputik mereka. Sel punca telah memerlihatkan menjadi pembawa yang baik sekali bagi transfer gen memiliki kemampuan untuk ditranduksikan. Transfer gen dapat memungkinkan faktor pertumbuhan dan protein morfogenetik tulang menguatkan perbaikan tulang. Sel punca diimplantasikan di atas scaffold, yang merupakan struktur berkemampuan menyokong pembentukan jaringan lewat membiarkannya migrasi sel berlangsung, memngkinkannya perlekatan sel memiliki biodegrabilitas, biokompatibilitas dan non-imunogenisitas yang adekuat. Namun, setelah mencoba dan menguji bermacam bahan termasuk produk-produk sintetik dan alami, riset untuk mencari produk scaffold yang sempurna terus berlangsung. Tinjauan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sel punca diungkap, berbagai teknik yang digunakan untuk mengisolasi sel punca, mengidentifikasi dan memanipulasi mereka menuju garis turunan sel yang berbeda dan mendiskusikan riset masuk ke dalam penggunaan sel punca untuk merekonstruksi tulang menggunakan modifikasi genetik dan scaffolds.
Kata-kata kunci: Sel punca dewasa, sumsum tulang, rekonstruksi tulang, terapi gen, scaffolds, perekayasaan jaringan.
Defek tulang yang melebihi ukuran kritisnya biasanya menyembuh dengan jaringan fibrus (parut), menghilangkan penyambungan kembali tulang sempurna. Ukuran kritis didefinisikan sebagai defisiensi intraoseus yang tidak akan menyembuh dengan lebih dari 10% pembentukan tulang baru sepanjang masa perkiraan usia hidup pasien (manusia atau bukan manusia)(1).
Rekonstruksi defek tulang bergantung pada mekanisme tertentu, yang dapat di simpulkan menjadi mekanisme-mekanisme osteokonduksi, osteoinduksi dan osteogenesis. Ostegenesis adalah pembentukan tulang baru dari sel-sel kompeten tulang. Osteokonduksi adalah pembentukan tulang baru sepanjang scaffold dari sebuah substansi biologik atau aloplastik pada mana sel-sel pembentuk tulang yang berasal dari sel-sel kompeten tulang inang sebelumnya telah ada. Osteoinduksi adalah pembentukan tulang baru lewat diferensiasi dan stimulasi sel-sel mesenkhim oleh protein-protein induktif tulang(2).
Pada prinsipnya, sulihan tulang mengandung seluruh elemen kunci yang dibutuhkan bagi perbaikan tulang; sebagaimana mereka menyediakan scaffold osteokonduktif, faktor pertumbuhan bagi osteoinduksi, dan sel dengan potensi osteogenik(3). Penggunaan sulihan tulang dalam praktik klinik menimbulkan banyak gangguan major(4). Walaupun persentase kesuksesannya tinggi, berbagai komplikasi seperti resorpsi, fraktur, infeksi dan non-union tetap ada(5). Penambahan pengambilan tulang otolog sering menghasilkan morbiditas lokasi donor, yang besarnya bervariasi teggantung dari lokasi dan teknik intervensi termasuk perdarahan, kerusakan syaraf, ketunaan kosmetik, nyeri, infeksi, dan kehilangan fungsi(6)
Pemakaian kadave manusia atau sulihan tulang khewan dari bank tulang mencegah permasalahan morbiditas lokasi donor, namun memberikan risiko potensiil infeksi-infeksi virus atau bakteri dan adanya respon imun jaringan inang terhadap implan. Bagaimanapun, berlanjutnya kemajuan prosedur-prosedur pemrosesan sulihan secara bermakna menurunkan risiko infeksi(7).
Sebagai alternatif, regenerasi tulang terpandu dan beberapa materi biologis telah dipertimbangkan dan digunakan sebagai pengganti tulang, termasuk keramik kalsium fosfat, polimer dan bioglass. Semuanya memiliki keuntungan akan ketersediaannya yang tak terbatas dan dengan sifat-sifat osteokonduktif yang baik. Di lain pihak, mereka tidaklah osteoinduktif, sehingga membatasi aplikasinya untuk perbaikan defek tulang yang besar(8). Sebaliknya, distraksi tulang memberi keuntungan dalam regenerasi tulang; menghindarkan segala kesulitan yang terkait dengan integrasi sulihan. Namun, ia sangatlah memberikan permasalahan bagi pasien, secara teknis sulit dan memerlukan interval waktu yang panjang(9).
Perekayasaan jaringan dapat menjamin sumber tak terbatas bagi regenerasi tulang tanpa komplikasi sebagaimana yang terjadi dari berbagai modalitas rekonstruksi tulang lainnya. Juga, teknik ini sangat menguntungkan dalam rekonstruksi tulang pada kasus defek tulang yang sangat besar dan pada populasi anak-anak: karena lubuk penyimpanan tulang otogenus yang terbatas sebagai tambahan terhadap terbatasnya pemakaian material aloplastik, juga karena pertumbuhan tulang yang sedang berlangsung(10).
APAKAH SEL PUNCA ITU?
Sejarah sel punca dimulai pada 1976, ketika sel tertentu diisolasikan dan dibenihkan, hasil dari benihan ini bersifat sebagaimana fibroblast like cells yang berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi koloni mirip tulang dan kartilago. Sel-sel ini dinamai “colony forming-unit – fibroblast” (CFU-F). Belakangan, sel-sel ini dinamakan mesenchymal stem cells (1994), marrow stromal cells (1997) dan mesenchymal progenitor cells (1999). Saat ini, mesenchymal stem cells (MSC) merupakan dominator yang paling populer yang diberikan bagi sel-sel ini(3).
Sel punca didefinisikan sebagai sel takterdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewal dan berdiferensiasi menjadi satu atau lebih sel turunan. Sejarahnya, MSCs dewasa diperkirakan menjadi terbatas secara perkembangan ke garis turunan sel yang spesifik yang berkaitan dengan jaringan di mana sel-sel tersebut tinggal. Saat ini, terbukti bahwa potensi diferensiasi MSCs dewasa adalah sangat serba guna meliputi seluruh jaringan berasal mesenkhimal. Lebih jauh, di bawah kondisi yang cocok, MSCs dewasa memiliki potensi untuk transdiferensiasi menjadi sel-sel yang memiliki sifat-sifat morfologi dan biokimia dari jaringan syaraf berasal ektodermal, juga berdediferensiasi menjadi sel punca pluripoten. Sifat-sifat transdiferensiasi dari MSCs dewasa dijamin lewat pendeteksian banyak sekali penanda neural in vitro, termasuk nestin, mitogen-activated protein 2, Tau, NeuN, dan glial fibrillary acidic protein(3)
Saat ini, sel punca telah diisolasikan dan dikarakterisasi dari jaringan embryonik, janin, dan dewasa. Embryonic stem cells (ES) adalah pluripoten, dan berkemampuan proliferasi tak terbatas dalam sebuah keadaan takterdiferensiasi. ES adalah sel yang secara keseluruhan tak terikat yang memerlukan pemrograman sel tertentu untuk diarahkan menjadi turunan sel spesifik. Sel punca janin adalah satu tipe sel intermediet di antara ES dengan sel punca jaringan orang dewasa. Sel punca pada jaringan orang dewasa adalah sel-sel yang sangat terikat yang membutuhkan beberapa pemrograman untuk berdiferensiasi menjadi jaringan dewasa(11).
Sel punca pada jaringan orang dewasa merupakan fondasi model sel punca yang digunakan pada riset-riset saat ini, sebagaimana ia meminimalisir perdebatan etik dan hukum. Sel punca jaringan orang dewasa merupakan seluruh sel punca pasca natal yang dapat diklasifikasikan menjadi sel punca hematopoietik, sel punca epitelial dan MSCs. Tidak seperti halnya dua sumber lain sel punca jaringan dewasa, MSCs jaringan dewasa adalah lebih unggul sebagaimana mereka dapat diisolasikan dari sumber-sumber multipel seperti sumsum tulang, jaringan adipos, periosteum, otot, dermis, membran sinovial, dll. Juga, MSCs jaringan dewasa merupakan sel multipoten berkemampuan diferensiasi menjadi berjenis jaringan dewasa(3)
SUMBER IDEAL SEL PUNCA DEWASA
Sumsum tulang merupakan sumber utama sel-sel osteogenik berkemampuan pembentukan tulang in vitro. Namun, prosedur isolasi sel dari sumsum tulang kadang menyebabkan beberapa kerugian dalam praktek klinik. Aspirasi sumsum tulang secara potensiil lebih invasif dan merupakan prosedur menyakitkan, dan meningkatkan risiko morbiditas dan infeksi. Selain MSCs berasal sumsum tulang, sel-sel berasal periosteal juga multipoten dan memiliki potensi berdiferensiasi menjadi osteoblas dan khondrosit. Sel-sel berasal periosteal memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan MSCs berasal sumsum tulang, seperti misalnya tindakan invasi minimal dalam mendapatkannya, dan pemungutan selnya yang mudah. Sel berasal periosteum ini juga menyimpan sifat untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas setelah mengikuti pengobatan enzim dan pengekspansian sel(12)
Sumber ideal sel punca otolog haruslah, dengan demikian, mudah didapat maupun menimbulkan ketidaknyamanan minimal bagi pasien, tetapi berkemampuan, dari jumlahnya, cukup kuat untuk menghindarkan pengekspansian ekstensif dalam pembenihan. Jaringan adipos, seperti sumsum tulang, adalah berasal dari mesoderm embryonik dan mengandung satu populasi sel stromal heterogen. Kesamaan ini membentuk konsep bahwa satu populasi sel punca dapat diisolasikan dari jaringan adipos manusia. Selain itu, keburukan prosedur memanen sumsum tulang tradisional di samping jumlah MSCsnya yang rendah, pada pengolahannya memerlukan langkah pengekspansian ex vivo untuk mendapatkan jumlah sel yang bermakna secara klinis. Langkah yang seperti itu adalah memakan waktu, mahal, dan berrisiko kontaminasi sel dan hilang. Semua poin perbandingan ini membuat sel punca berasal jaringan adipos menjadi sumber sel punca yang lebih baik(13).
PENGIDENTIFIKASIAN SEL PUNCA
Pengidentifikasian sel punca dicapai lewat morfologi, karakteristik fenotip mereka dan tingkah laku biologis mereka. Secara korfologis, sel punca adalah sel berbentuk gelendong dengan inti yang besar di tengah-tengah sel, memiliki prosesus sitoplasmik multipel menonjol dari permukaan terluarnya. Saat ini, tidak terdapat penanda fenotip spesifik untuk mengidentifikasi sel punca. Namun, sel punca berkemampuan pengekspresian banyak penanda permukaan, di mana kesemua penanda ini juga terdeteksi pada sel-sel mesenkhimal, endothelial, dan epithelial. Kesimpulannya, sel punca hanya dapat diidentifikasi dengan tingkah laku biologis mereka sebagaimana sel- sel ini berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi turunan sel berbeda-beda(13).
Menjadi satu dari sumber paling populer sel punca aktifitas riset berfokus pada pengidentifikasian MSCs jaringan dewasa berasal sumsum tulang lewat tiga buah penanda CD34, CD45, dan CD90. CD34 merupakan penanda permukaan progenitor hematopoietik, CD45 adalah penanda permukaan limfositik, dan CD90 adalah penanda permukaan utama sel-sel mesenkhim(14). Sebelum ini telah dipertunjukkan bahwa passage 2 synovial fat pad derived MSCs dan bone marrow derived MSCs terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan jelek untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56 (Gambar 1). Kadangkala sel-sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik dari synovial fat pad dan sumsum tulang.
Gambar 1
Pengarakterisasian epitop permukaan sel dari passage 2 MSCs berasal bantalan lemak sinovial (a) dan MSCs berasal sumsum tulang (b) menggunakan sebuah panel antibodi. Permuakan sel diwarnai menggunakan FITC conjugated secondary antibody (hijau) dan DAPI (biru) memerlihatkan bahwa sel-sel terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan buruk untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56. Sesekali sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik yang dari bantalan lemak sinovial maupun sumsum tulang. Tidak satupun pewarnaan teramati untuk kontrol IgG.
Walaupun mekanisme molekuler yang mengatur diferensiasi MSC tidak secara penuh dipahami, sejumlah faktor pertumbuhan yang memerantarai jalur pensinyalan telah memerlihatkan menginduksi atau mengatur diferensiasi MSCs sepanjang garis turunan mesenkhimal sebagaimana bone morphogenetic proteins (BMP) dan fibroblast growth factor (FGF) merupakan contoh untuk semua faktor pertumbuhan ini(15)
KENAPA SEL PUNCA ADALAH TIDAK IMUNOGENIK?
Akhirnya, imunologi MSCs, sama seperti halnya dengan banyak aspek dari sel ini, penetapannya masih buruk. Studi-studi in vitro yang terdisain bagus mengenai kapasitas imunogenisitas dan imuno-modulator MSCs dalam model patofisiologi spesifik diperlukan sebelum melanjutkan pengekliman menyangkut sifat-sifat imun MSCs dapat dibuat. Sifat-sifat imunologi MSCs yang telah dikenal menguatkan penampilan teraputik mereka. Namun, sebagaimana dengan analisis kebanyakan MSCs, semua sifat-sifat imun ini telah diamati secara ekskulsif pada sel-sel benihan. Fenotip imun dari MSCs benihan secara luas dijelaskan sebagai MHC Class I +ve, MHC Class II -ve, CD40 -ve, CD80 -ve, and CD86 –ve(16, 17).
Fenotip ini dipertimbangkan sebagai non-imunogenik dan menyarankan bahwa MSCs kemungkinan menjadi efektif dalam penginduksian toleransi. Klas I mungkin mengaktifasi sel-sel T, tapi dengan tanpa kehadiran molekul-molekul ko-stimulasi, sinyal sekunder tidak ikut serta, membiarkan sel-sel T anergik(18). MSCs mampu menghambat produksi limfosit sitotoksik in vitro dan menahan pembunuhan baik oleh limfosit sitotoksik maupun sel-sel pembunuh alami. Juga MSCs terbukti menghambat sel-sel mononuklear darah perifer (PBMSCs) bahkan bila molekul ko-stimulasi ditambahkan. Hal ini dijelaskan kiranya lewat produksi faktor-faktor yang dapat larut(17). Sekali lagi, yang mengejutkan, terdapat kurangnya data pada efek imunomodulator MSCs in vivo. Dilaporkan bahwa MSCs memiliki ketahanan hidup sulihan kulit alogenik yang memanjang pada outbred baboon, imunokompeten(19).
PEREKAYASAAN JARINGAN TULANG
Perekayasaan jaringan merupakan sebuah bidang interdisipliner yang sedang bertumbuh yang menggunakan prinsip-prinsip baik ilmu kehidupan maupun perekayasaan menuju ke pengembangan penggantian biologis yang mengembalikan, memertahankan, dan memerbaiki fungsi dari jaringan rusak dan/atau hilang.(3, 20). Perekayasaan jaringan saati ini mengisi posisi depan dalam bidang kedokteran regeneratif. Secara khusus, setelah pemunculan klas perekayaan jaringan lainnya yaitu perekayaan jaringan berbasis sel, di mana defek-defek struktural dan fungsional secara sepenuhnya di kembalikan. Hal ini mencapai tujuan yang lebih besar dari kedokteran regeneratif melalui penggantian jaringan yang hilang dengan tipe jaringan yang sama(20). Berbagai tipenya dijelaskan berikut ini.
1. Perekrutan Lokal Sel-sel Osteogenik
Sebuah kemajuan penting dalam mengobati defek tulang adalah pengajuan bone morphogenetic proteins (BMPs) khususnya BMP-2, -4, dan -7. Semua protein ini menginduksi diferensiasi sel osteogenik in vitro, juga penyembuhan defek tulang in vivo. Pembawanya yang menguatkan daya ikat BMPs adalah yang paling penting, karena pemanjangan pelepasan BMP menyiptakan sebuah lingkungan mikro osteogenik yang memungkinkan progenitor sel multipoten bermigrasi ke daerah cedera dan berproliferasi dan berdiferensiasi menuju ke arah garis turunan osteogenik. Empat kategori utama pembawa material BMP adalah polimer alami, material anorganik, polimer sintetik dan komposit dan semua material ini(3).
Ini, bagaimanapun akan gagal bila vitalitas dan jumlah dari sel-sel multipoten yang dimiliki pasien tidak mencukupi atau bila pasien usianya tua dan dengan satu keadaan kesehatan yang buruk. Kondisi terakhir meliputi pasien-pasien dengan defek tulang yang besar, mereka yang menjalani terapi radiasi atau khemoterapi, usia tua, sistim kekebalan terganggu, pasien kurang gizi dan lainnya. Miligram dari BMP adalah menjadi persoalan sehubungan dengan soal pembuatannya, biaya dan dosis(1, 3)
2. Terapi Gen dan Perekayasaan Jaringan
MSCs juga sangat menjanjikan dalam pengiriman gen dan produk-produk gen. Kemampuan MSCs untuk ditransduksikan memberikan mereka potensi untuk bekerja sebagai wahana atau transfer gen teraputik baik berjangka lama ataupun pendek, misalnya, sebagaimana dalam pengekspresian BMP bagi perbaikan tulang. Sel-sel punca berasal sumsum tulang yang tertransduksi BMP memerlihatkan kekuatan yang efektif dalam perbaikan dari defek berukuran kritis pada model-model khewan berbeda dan lokasi-lokasi berbeda(21).
Di lain pihak, pemberian dosis BMP suprafisiologis telah menunjukkan menginduksi efek berlawanan lewat penyetimulasian resorpsi tulang dan turnover, menuruti satu respon kontra produktif. Dengan demikian, penggunaan MSCs sebagai sebuah wahana pengiriman dapat memastikan pemberian yang spesifik-lokasi dosis fisiologis BMP(22).
3. Osteoinduksi Sel Punca In Vitro
Sitokin osteoinduktif ditambahkan ke media benihan rutin dalam rangka mengontrol diferensiasi sel punca mengarah ke pada garis turunan osteoblas. Di antara protokol penginduksian yang paling terkenal adalah kombinasi β-glycerophosphate, dexa-methasone dan ascorbic acid. Di mana β-glycerophosphate merupakan sumber fosfat organik, dexamethasone penting dalam pengekspresian fenotip osteogenik dalam konsentrasi tertentu, dan ascorbic acid penting dalam deposisi kolagen dan mineral. Faktor pertumbuhan osteoinduktif dan sitokin yang lain meliputi transforming growth factor β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), active vitamin D, BMPs (BMP 2, 4, dan 7) dan hormon paratiroid(13).
Telah diketahui bahwa diferensiasi osteoblastik dari keadaan takterdiferensiasi menjadi osteoblas aktif fungsional adalah satu seri langkah meliputkan sejumlah protein yang diekspres pada setiap stadiumnya, seperti misalnya alkaline phosphatase (ALP), osteocalcin dan deposisi mineral. Umumnya, ALP dipertimbangkan sebagai satu penanda awal relatif difernesiasi osteoblas. Selama pembentukan tulang, matriks ekstraseluler secara progresif mengasumsikan sifat-sifat mirip-tulang dan kemudian, dengan dimulainya mineralisasi, terjadi peningkatan aktifitas protein matriks ekstraseluler non-kolagenus, seperti misalnya osteocalcin, dan deposisi kristal anorganik berkomposisikan kalsium dan fosfat. Pada akhirnya, pembebanan dari sebuah scaffold yang cocok dengan sel-sel terinduksi bergandengan dengan penginkubasian keseluruhaan benihan dalam bioreaktor menyediakan cara efisien namun mahal untuk membangkitkan tulang(12).
4. Produksi Jaringan Tulang Rekayasa Ex-Vivo
Perekayasaan jaringan tulang berbasis-sel punca meliputi tiga langkah utama. Pertama, pemanenan sel punca, pengisolasian dan pengekspansian. Kedua, penyemaian scaffold dengan sel-sel punca terinduksi. Akhirnya, pengimplantasian ulang dilakukan in vivo untuk merekonstruksi defek. Bidang ini telah menarik banyak sekali perhatian dikarenakan afinitasnya sebagai satu alternatif terhadap sulihan tulang dan penggantian bagi rekonstruksi tulang(9).
APAKAH SCAFFOLD ITU?
Sel punca seringkali diimplantasikan atau diunggulkan ke dalam satu struktur yang berkemampuan penyokongan pembentukan jaringan tiga-dimensi. Struktur ini, secara khusus disebut scaffolds, seringkali penting, baik ex vivo juga in vivo, untuk berserah dengan lingkungan in vivo dan memersilahkan sel-sel memengaruhi lingkungan mikro mereka. Teknik pendekatan perekayasaan jaringan bagi rekonstruksi skelet membangkitkan prinsip-prinsip umum penggunaan porous scaffolds yang mengirimkan berbagai biofaktor (sel, gen dan protein) untuk regenerasi jaringan. Scaffolds juga haruslah memenuhi persyaratan khusus agar jaringan berfungsi secara mekanik dari penguatan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor sementara memertahankan fungsi mekanik sementara hingga jaringan mampu menopang beban. Namun, pada wilayah rekonstruksi tertentu (mis. Kraniofasial), scaffolds haruslah sesuai benar dengan defek anatomi 3-dimensi yang sangat kompleks yang dapat menjadi lebih rumit dibandingkan yang dijumpai pada skelet apendikuler(23).
PERSYARATAN DASAR SCAFFOLD
Scaffolds harus sesuai dengan defek anatomi 3D. Hal ini dapat dicapai secara kasar lewat pengalaman pembedahan dalam pendisainan atau lewat sistim pendisainan terkomputerisasi yang sangat canggih(24). Mereka haruslah menyediakan skelet penopangan beban sementara waktu hingga terbentuknya jaringan baru. Biodegrabilitas seringkali merupakan sebuah faktor penting karena scaffolds harus lebih dipilih untuk diabsorpsi oleh jaringan sekitar tanpa diperlukannya pembuangan secara pembedahan. Kecepatan pada mana degradasi terjadi haruslah bertepatan sebanyak-banyaknya yang memungkinkan dengan kecepatan pembentukan jaringan: hal ini berarti bahwa sementara sel-sel sedang memfabrikasi struktur matriks alami sendiri mereka di sekeliling mereka sendiri, maka scaffold harus berkemampuan menyediakan integritas struktural di dalam tubuh dan selanjutnya nanti ia akan terpecah meninggalkan jaringan baru, jaringan yang terbentuk baru yang akan mengambil alih beban mekanik(25).
Scaffolds harus menguatkan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor. Untuk mencapai tujuan rekonstruksi jaringan, scaffolds haruslah berpori dengan ukuran lobang poriadekuat, untuk memasilitasi penyemaian dan difusi sel lewat struktur keseluruhan sel maupun nutrien. Lobang berpori berrentang dari diameter 300 - 1200µm adalah efisien dalam penyokongan migrasi sel, proliferasi sel dan transpor faktor pertumbuhan. Diameter porositas yang lebih kecil adalah tidak efisien sementara yang lebih besar dapat memengaruhi sifat-sifat mekanik scaffold. Jadi, dengan menggabungkan keduanya, sifat-sifat penopangan beban yang dimiliki scaffold dan porositas merupakan satu hal maha penting dalam memiliki scaffold ideal. Kedua persyaratan itu bervariasi sesuai dengan wilayah yang menjadi perhatian tujuan-tujuan rekonstruksi(23).
TIPE SCAFFOLD
Banyak material berbeda (alami dan sintetik, bidegradabel dan permanen) telah diselidiki. Kebanyakan dari material ini telah diketahui dalam bidang medis sebelum munculnya perkeyasaan jaringan sebagai sebuah topik penelitian, telah menjadi terpakai sebagai benang jahit jaringan yang dapat diserap secara biologis. Contoh dari semua material ini adalah kolagen dan beberapa polyester. Biomaterial baru telah direkayasakan untuk memiliki sifat-sifat ideal dan penyesuaian fungsi: injektabilitas, pembuatan bahan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparensi, serat-serat berskala-nano, kecepatan resorpsinya, dll(26).
Secara luas terdapat dua kelompok scaffolds dan scaffolds dari material alami merupakan kelompok pertama. Secara khusus, derivatif-derifativ berbeda dari matriks ekstraseluler telah distudikan untuk mengevaluasi kemampuan mereka untuk menyokong pertumbuhan sel. Material proteik, seperti misalnya kolagen atau fibrin, dan material polisakharid, seperti chitosan atau glycosaminoglycans (GAGs), kesemuanya terbukti pantas dipandang dari segi kompatibilitas sel, namun beberapa isu dengan imunogenisitas potensiil masih tetap ada. Di antara GAGs, hyaluronic acid, kemungkinan dalam kombinasinya dengan agen cros linking (mis., glutaraldehyde, carbodiimide yang dapat larut dalam air, dll), merupakan satu dari pilihan yang mungkin sebagai material scaffold (26). Juga, placental decellular matrix (PDM) dievaluasi oleh Flynn dkk mengenai efeknya pada aktifitas sel yang dibenihkan(25). Koral alami dengan ukuran pori 150 hingga 220µm dan porositas sekitar 36% dibentuk (molded) menjadi bentuk sebuah kondilus mandibula manusia. Koral ini memberikan hasil bermakna sebagai sebuah scaffold di samping recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2)(24).
Kelompok kedua adalah scaffolds sintetik, danmaterial sintetik yang sering digunakan adalah PLA-polylactic acid. Polyester ini yang berdegradasi di dalam tubuh manusia untuk membentuk asam laktat, sebuah bahan kimia yang terjadi secara alami yang dengan mudah dibuang dari tubuh. Material yang sama adalah polyglycolic acid (PGA) dan polycaprolactone (PCL), dengan mekanisme degradasi mereka adalah sama seperti PLA, namun mereka memperlihatkan berturut-turut angka kecepatan degradasi yang lebih cepat dan lebih lambat dibandingkan dengan PLA(26). Para peneliti bertujuan menyiptakan material scaffold dengan sifat biomimetik yang meniru peran matriks ekstraseluler (ECM) dalam banyak fungsi sel, termasuk: adhesi, migrasi. Perekayasaan lebih lanjut sifat-sifat permukaan dan sebagian besar biomaterial akan mengijinkan berbagai interaksi bio-spesifik di antara tipe-tipe sel, material scaffold dan proliferasi yang cocok. Porositas adalah salah satu hal penting bagi material scaffolding yang berhasil. Sejumlah metode berbeda telah dijelaskan dalam literatur dalam memersiapkan struktur berpori untuk bekerja sebagai scaffolds perekayasaan jaringan. Setiap dari semua teknik ini memberikan masing-masing keuntungannya, namun tak satupun tanpa kelemahan(26).
DISKUSI
Prosedur rekonstruktif kraniofasial, maksilofasial, dan anggota gerak atas dan bawah seringkali memerlukan pengambilan suihan tulang yang menghasilkan morbiditas lokasi donor. Perekayasaan jaringan berbasis sel merupakan teknik dasar dalam pembangkitan jaringan, khususnya dalam produksi tulang. Perekayasaan jaringan tulang akan mengatasi kelemahan dari teknik yang umum dari rekonstruksi tulang(6).
Perekayasaan jaringan tulang dipertimbangkan sebagai sebuah sumber tak berhingga dari pemroduksian tulang tanpa morbiditas lokasi donor dan bermacam restriksi penyulihan tulang otogen. Di sini tidak ada risiko transmisi infeksi atau penolakan sebagaimana dapat terjadi dengan tulang demineralisasi berasal kadaver manusia atau sumber-sumber khewan. Juga ia memberikan kita sebuah material sebanding tanpa adanya rejeksi atau reaksi imun yang melawannya. Jadi, ia menutupi kasus-kasus di mana material aloplastik dikontraindikasikan karena rejeksi dan restriksi pertumbuhannya(7).
Telah menjadi mapan bahwa defek kranial ukuran kritis telah secara luas digunakan sebagai sebuah model untuk mengukur efisiensi dari teknik perbaikan tulang berbeda. Karena faktanya bahwa terdapat kurangnya suplai darah, kurangnya sumsum dan tulang kortikal yang tebal pada kranium, sehingga dijumpai kesulitan dalam memerbaiki defek-defek tulang kalvaria. Banyak studi telah dilakukan pada defek-defek kranial berukuran kritis pada tikius kecil, tikus besar, kelinci, dan khewan-khewan lainnya(27).
Banyak studi telah dilakukan untuk mengevaluasi, menstandarisasi dan membatasi teknik optimal bagiperekayasaan jaringan tulang. Di Cina, Fulin 2002 dkk(24) memelajari pemakaian MSC berasal sumsum tulang dibenihkan pada scaffold koral dalam merekonstruksi defek kondilus mandibula pada model tikus kecil nude, di mana rhBMP2 dipakai untuk memerbaiki fenotip osteoblastik sel-sel benihan. Keberhasilan diperoleh setelah 2 bulan di mana tulang yang terrekonstruksi memertahankan bentuk koral, yang telah dimanipulasi untuk menyerupai kondilus mandibula. Pemakaian donor kelinci memberi keuntungan untuk menyediakan sumber takterbatas untuk sel punca, namun pemakaian tikus kecil nude adalah wajib untuk menghindari reaksi imun sebagaimana yang telah dipercaya.
Pada tahun 2004, Abukawa dkk.(24) mengevluasi pemakaian sel punca sumsum tulang otolog untuk merekonstruksi defek mandibular. Osteoinduksi dari sel punca dikerjakan memakai β-glycerophosphate, dexamethazone dan asam askorbat (standard osteo-induction cytokines). Studi ini memerkenalkan penggunaan poly-DL-lactic coglycolic acid polymer sebagai sebuah scaffold biodegradabel yang dapat menyokong jaringan hingga tulang baru diproduksi. Semenjak itu, polyester sintetik biodegradabel dipertimbangkan ebagai material scaffold baku dalam proses perekayasaan jaringan tulang. Polyester sepenuhnya diserap setelah satu interval waktu. Interval ini cukup bagi tulang yang baru terbentuk untuk mengambil alih fungsi penyokongan jaringan. Juga polyester dapat dimanipulasikan menurut sifat-sifat fisik seperti bentuk, area permukaan dn porositas.
Pada tahun 2006, Mankani dkk.(29) menggunakan sel punca sumsum tulang pada model khewan yang lebih tinggi untuk memastikan efisiensi teknik perekayasaan jaringan tulang untuk merekonstruksi defek tulang yang cukup besar. Osteo-induksi dikerjakan menggunakan the standard osteo-induction biodegradable materials cytokines. Keramik kalsium fosfat digunakan sebagai scaffold. Keramik ini adalah material non-biodegradabel, yang dapat mengganggu sifat mekanik tulang yang diproduksi. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa jaringan yang dihasilkan merupakan sebuah kombinasi tulang dengan keramik kalsium fosfat, yang membuat jaringan ini lebih mudah pecah dibandingkan dengan tulang murni alami.
Mereka mengevaluasi karakter tulang yang dihasilkan in vivo lewat pemakaian pemeriksaan ultrasonik yang memerlihatkan pembentukan tulang yang lebih dibandingkan dengan area kontrol. Juga ia mengomentari sifat-sifat mekanik tulang yang terbentuk yang adalah lebih baik dari pada kontrol. Namun ia tidak membandingkan sifat mekanik tulang yang diproduksi dengan tulang tengkoraknormal; sifat-sifat mekaniknya diperiksa dalam cara ex-vivo.
Sekali lagi, Hou dkk.(27) mengevaluasi koral yang dibenihkan MSCs berasal sumsum tulang otolog dengan ditambahkan rhBMP2 dalam merekonstruksi defek tulang kalvarial kelinci New Zealand. Mereka membandingkan hasilnya dengan kelompok ekivalen lain yang direkonstruksi dengan (1) sulihan tulang kortiko-kanselus iliak otolog, (2) koral dengan rhBMP2, (3) hanya rhBMP2. Jaringan yang dihasilkan dievaluasi secara klinis, radiologis dan histologis. Sulihan tulang otolog memberikan angka keberhasilan paling tinggi (84%) dengan kualitas menghasilkan tulang yang terbaik. Perekayasaan jaringan tulang (koral + sel punca terinduksi + rhBMP2) memberikan hasil yang sebanding dengan sulihan tulang otolog (77.9%). Kelompok koral dan rhBMP2, dan kelompok hanya koral memberikah hasil paling kecil dengan hasil yang lebih besar diberikan oleh kelompok yang disebutkan terlebih dahulu.
Berbagai studi perekayasaan jaringan belumlah pernah menggunakan alograf MSCs untuk rekonstruksi defek tulang. Namun beberapa studi diakukan dalam lapangan lainnya untuk memelajari efek MSCs bila digunakan sebagai alograf (studi untuk imunologi transplantasi). Tse dkk.(17) memelajari karakteristik imun in vitro dari MSCs berasal sumsum tulang manusia. Studi ini membangun prinsip pemahaman aksi MSCs dalam pemodulasian imun.
Pada dasarnya, fenotip MSCs ditentukan sebagai MHC class I positive dan negative untuk MHC class II, kecuali bila diterapi dengan interferon gamma. MSCs adalah negatif untuk antigen ko-stimulatori lainnya (CD80, CD86 dan CD40). Tse dkk. 2003(17) menyimpulkan bahwa fenotip ini meninggalkan sel-sel mononuklear darah perifer anergik dengan tanpa sifat proliferatif melawan MSCs atau sel-sel alogenik lainnya dalam kehadiran MSCs. Mereka mengasumsikan bahwa efek penghambatan MSCs ini tak hanya lewat kontak seluler langsung namun sebetulnya lewat diproduksinya faktor-faktor penghambatan yang dapat berdifusi. Hal ini dibuktikan dengan membenihkan sel-sel mononuklear yang dirangsang berproliferasi pada pembenihan yang sama dengan MSCs berasal sumsum tulang. Proliferasi sel-sel mononuklear teraktifasi dihambat oleh kehadiran sel-sel punca, kendatipun dengan kehadiran membran semipermiabel di antara dua populasi sel.
Silva dkk.(30) menggunakan alograf MSCs dalam mengobati model iskemik otot jantung kronik khewan. Hasil dari studi ini memerlihatkan keefektifan modalitas pengobatan ini dan mengomentarinya pada sifat-sifat alogenik sel punca yang digunakan. Yang mengejutkan, sel punca sepenhnya berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel vaskuler dan otot polos, di mana mereka dengan berhasil tercangkokkan menjadi pembuluh darah baru yang terinduksi dalam otot jantung iskemik. Cangkokan yang berhasil ini menimbulkan perbaikan vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Tidak ada pemakaian obat-obat penekanan imun dalam studi ini.
Matsumoto dkk.(14) melewati sebuah studi yang lebih maju. Mereka menggunakan model khewan iskemik otot jantung akut, di mana MSCs berasal sumsum tulang ditransfeksikan dengan gen vascular endothelial growth factor (VEGF) lewat vektor adenovirus. Sel-sel ini dibenihkan dan memerlihatkan peningkatan progresif dalam level VEGF dalam media benihan. Setelah penginjeksian in vitro dari sel-sel ini di dalam model jantung iskemik akut, semua khewan percobaan memerlihatkan perbaikan dalam vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Penelusuran isotop radioaktif memerlihatkan bahwa sel punca tercangkokkan dengan berhasil dalam proses angiogenesis dan mereka berdiferensiasi menjadi sel-sel endotelial dengan aktif menghasilkan VEGF.
SIMPULAN
Pada dasarnya, sulihan tulang otogen merupakan teknik baku dalam rekonstruksi defek tulang. Semua teknik alternatif adalah bertujuan untuk menghindarkan morbiditas lokasi donor dan berbagai komplikasi lainnya. Akhir-akhir ini, perekayasaan jaringan tulang menawarkan sebuah teknik unggul dalam penatalaksanaan defek tulang. Perekayasaan jaringan tulang dicapai lewat tiga langkah utama: (1) pemanenan, pengisolasian dan pengekspansian sel punca, (2) penyemaian scaffold dengan osteo-induced stems cells, (3) re-implantasi in vitro.
MSCs sumsum tulang dewasa atau yang berasal jaringan adipos merupakan sumber baku sel punca yang dipakai dalam perekaysaan jaringan tulang. Di lain pihak, pemilihan scaffold tetap masih dalam penyelidikan dalam rangka untuk menjadi terdtandarisasi. Jadi, perekayasaan jaringan tulang memiliki seluruh keuntungan dari penyulihan tulang otogen namun tanpa morbiditas lokasi donor. Juga, ia dapat dipertimbangkan sebagai sumber takterbatas dari alograf bagi rekonstruksi tulang, sebagaimana karakter non-imunogenisitas sel punca mendukung ide pembuatan bank sel punca. Penambakan sel ini dapat digunakan sebagai sebuah sumber takterbatas segera dari rekonstruksi tulang.
Kesimpulannya, penggunaan MSCs berasal sumsum tulang terbukti menjadi sebuah teknik efisien untuk rekonstruksi tulang. Walaupun alogenik, sel-sel punca digunakan untuk menangani berbagai permasalahan defek tulang.
Langganan:
Postingan (Atom)