Selasa, 19 Juni 2012

Perekayasaan jaringan bagi Sel Punca-Penghasil Tulang, Terapi Gen dan Scaffolds

Abstrak
Sulihan tulang telah menjadi baku emas pengobatan bagi perbaikan defek tulang. Namun, akibat adanya morbiditas lokasi donor terkait sulihan tulang, beberapa alternatif penggantian tulang dibuat tersedia namun dengan penambahan biaya dan keterbatasan properti osteoinduktif yang tidak ideal. Dengan demikian, riset telah dimulai dalam perekayasaan jaringan guna menyelidiki sel-sel punca, yang merupakan satu di antara mekanisme yang dimiliki tubuh untuk digunakan memerbaiki tulang. Sel punca merupakan sel tak terdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewel. Siap tersedia dari bermacam sumber, sel punca memiliki potensiil untuk berdiferensiasi dalam osteoblas dan khondrosit memerlihatkan kemampuannya untuk memerbaiki tulang dan kartilago. Sifat imunologik sel punca yang telah dikenal lebih lanjut menguatkan penampilan teraputik mereka. Sel punca telah memerlihatkan menjadi pembawa yang baik sekali bagi transfer gen memiliki kemampuan untuk ditranduksikan. Transfer gen dapat memungkinkan faktor pertumbuhan dan protein morfogenetik tulang menguatkan perbaikan tulang. Sel punca diimplantasikan di atas scaffold, yang merupakan struktur berkemampuan menyokong pembentukan jaringan lewat membiarkannya migrasi sel berlangsung, memngkinkannya perlekatan sel memiliki biodegrabilitas, biokompatibilitas dan non-imunogenisitas  yang adekuat. Namun, setelah mencoba dan menguji bermacam bahan termasuk produk-produk sintetik dan alami, riset untuk mencari produk scaffold yang sempurna terus berlangsung. Tinjauan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sel punca diungkap, berbagai teknik yang digunakan untuk mengisolasi sel punca, mengidentifikasi dan memanipulasi mereka menuju garis turunan sel yang berbeda dan mendiskusikan riset masuk ke dalam penggunaan sel punca untuk merekonstruksi tulang menggunakan modifikasi genetik dan scaffolds.
Kata-kata kunci: Sel punca dewasa, sumsum tulang, rekonstruksi tulang, terapi gen, scaffolds, perekayasaan jaringan.

Defek tulang yang melebihi ukuran kritisnya biasanya menyembuh dengan jaringan fibrus (parut), menghilangkan penyambungan kembali tulang sempurna. Ukuran kritis didefinisikan sebagai defisiensi intraoseus yang tidak akan menyembuh dengan lebih dari 10% pembentukan tulang baru sepanjang masa perkiraan usia hidup pasien (manusia atau bukan manusia)(1).
Rekonstruksi defek tulang bergantung pada mekanisme tertentu, yang dapat di simpulkan menjadi mekanisme-mekanisme osteokonduksi, osteoinduksi dan osteogenesis. Ostegenesis adalah pembentukan tulang baru dari sel-sel kompeten tulang. Osteokonduksi adalah pembentukan tulang baru sepanjang scaffold dari sebuah substansi  biologik atau aloplastik pada mana sel-sel pembentuk tulang yang berasal dari sel-sel kompeten tulang inang sebelumnya telah ada. Osteoinduksi adalah pembentukan tulang baru lewat diferensiasi dan stimulasi sel-sel mesenkhim oleh protein-protein induktif tulang(2).
Pada prinsipnya, sulihan tulang mengandung seluruh elemen kunci yang dibutuhkan bagi perbaikan tulang; sebagaimana mereka menyediakan scaffold osteokonduktif, faktor pertumbuhan bagi osteoinduksi, dan sel dengan potensi osteogenik(3). Penggunaan sulihan tulang dalam praktik klinik menimbulkan banyak gangguan major(4). Walaupun persentase kesuksesannya tinggi, berbagai komplikasi seperti resorpsi, fraktur, infeksi dan non-union tetap ada(5). Penambahan pengambilan tulang otolog sering menghasilkan morbiditas lokasi donor, yang besarnya bervariasi teggantung dari lokasi dan teknik intervensi termasuk perdarahan, kerusakan syaraf, ketunaan kosmetik, nyeri, infeksi, dan kehilangan fungsi(6)
Pemakaian kadave manusia atau sulihan tulang khewan dari bank tulang mencegah permasalahan morbiditas lokasi donor, namun memberikan risiko potensiil infeksi-infeksi virus atau bakteri dan adanya respon imun jaringan inang terhadap implan. Bagaimanapun, berlanjutnya kemajuan prosedur-prosedur pemrosesan sulihan secara bermakna menurunkan risiko infeksi(7).
Sebagai alternatif, regenerasi tulang terpandu dan beberapa materi biologis telah dipertimbangkan dan digunakan sebagai pengganti tulang, termasuk keramik kalsium fosfat, polimer dan bioglass. Semuanya memiliki keuntungan akan ketersediaannya yang tak terbatas dan dengan sifat-sifat osteokonduktif yang baik. Di lain pihak, mereka tidaklah osteoinduktif, sehingga membatasi aplikasinya untuk perbaikan defek tulang yang besar(8). Sebaliknya, distraksi tulang memberi keuntungan dalam regenerasi tulang; menghindarkan segala kesulitan yang terkait dengan integrasi sulihan. Namun, ia sangatlah memberikan permasalahan bagi pasien, secara teknis sulit dan memerlukan interval waktu yang panjang(9).
Perekayasaan jaringan dapat menjamin sumber tak terbatas bagi regenerasi tulang tanpa komplikasi sebagaimana yang terjadi dari berbagai modalitas rekonstruksi tulang lainnya. Juga, teknik ini sangat menguntungkan dalam rekonstruksi tulang pada kasus defek tulang yang sangat besar dan pada populasi anak-anak: karena lubuk penyimpanan tulang otogenus yang terbatas sebagai tambahan terhadap terbatasnya pemakaian material aloplastik, juga karena pertumbuhan tulang yang sedang berlangsung(10).

APAKAH SEL PUNCA ITU?
Sejarah sel punca dimulai pada 1976, ketika sel tertentu diisolasikan dan dibenihkan, hasil dari benihan ini bersifat sebagaimana fibroblast like cells yang berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi koloni mirip tulang dan kartilago. Sel-sel ini dinamai “colony forming-unit – fibroblast” (CFU-F). Belakangan, sel-sel ini dinamakan mesenchymal stem cells (1994), marrow stromal cells (1997) dan mesenchymal progenitor cells (1999). Saat ini, mesenchymal stem cells (MSC) merupakan dominator yang paling populer yang diberikan bagi sel-sel ini(3).
Sel punca didefinisikan sebagai sel takterdiferensiasi klonogenik berkemampuan self-renewal dan berdiferensiasi menjadi satu atau lebih sel turunan. Sejarahnya, MSCs dewasa diperkirakan menjadi terbatas secara perkembangan ke garis turunan sel yang spesifik yang berkaitan dengan jaringan di mana sel-sel tersebut tinggal. Saat ini, terbukti bahwa potensi diferensiasi MSCs dewasa adalah sangat serba guna meliputi seluruh jaringan berasal mesenkhimal. Lebih jauh, di bawah kondisi yang cocok, MSCs dewasa memiliki potensi untuk transdiferensiasi menjadi sel-sel yang memiliki sifat-sifat morfologi dan biokimia dari jaringan syaraf berasal ektodermal, juga berdediferensiasi menjadi sel punca pluripoten. Sifat-sifat transdiferensiasi dari MSCs dewasa dijamin lewat pendeteksian banyak sekali penanda neural in vitro, termasuk nestin, mitogen-activated protein 2, Tau, NeuN, dan glial fibrillary acidic protein(3)
Saat ini, sel punca telah diisolasikan dan dikarakterisasi dari jaringan embryonik, janin, dan dewasa. Embryonic stem cells (ES) adalah pluripoten, dan berkemampuan proliferasi tak terbatas dalam sebuah keadaan takterdiferensiasi. ES adalah sel yang secara keseluruhan tak terikat yang memerlukan pemrograman sel tertentu untuk diarahkan menjadi turunan sel spesifik. Sel punca janin adalah satu tipe sel intermediet di antara ES dengan sel punca jaringan orang dewasa. Sel punca pada jaringan orang dewasa adalah sel-sel yang sangat terikat yang membutuhkan beberapa pemrograman untuk berdiferensiasi menjadi jaringan dewasa(11).
Sel punca pada jaringan orang dewasa merupakan fondasi model sel punca yang digunakan pada riset-riset saat ini, sebagaimana ia meminimalisir perdebatan etik dan hukum. Sel punca jaringan orang dewasa merupakan seluruh sel punca pasca natal yang dapat diklasifikasikan menjadi sel punca hematopoietik, sel punca epitelial dan MSCs. Tidak seperti halnya dua sumber lain sel punca jaringan dewasa, MSCs jaringan dewasa adalah lebih unggul sebagaimana mereka dapat diisolasikan dari sumber-sumber multipel seperti sumsum tulang, jaringan adipos, periosteum, otot, dermis, membran sinovial, dll. Juga, MSCs jaringan dewasa merupakan sel multipoten berkemampuan diferensiasi menjadi berjenis jaringan dewasa(3)

SUMBER IDEAL SEL PUNCA DEWASA
Sumsum tulang merupakan sumber utama sel-sel osteogenik berkemampuan pembentukan tulang in vitro. Namun, prosedur isolasi sel dari sumsum tulang kadang menyebabkan beberapa kerugian dalam praktek klinik. Aspirasi sumsum tulang secara potensiil lebih invasif dan merupakan prosedur menyakitkan, dan meningkatkan risiko morbiditas dan infeksi. Selain MSCs berasal sumsum tulang, sel-sel berasal periosteal juga multipoten dan memiliki potensi berdiferensiasi menjadi osteoblas dan khondrosit. Sel-sel berasal periosteal memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan MSCs berasal sumsum tulang, seperti misalnya tindakan invasi minimal dalam mendapatkannya, dan pemungutan selnya yang mudah. Sel berasal periosteum ini juga menyimpan sifat untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas setelah mengikuti pengobatan enzim dan pengekspansian sel(12)
Sumber ideal sel punca otolog haruslah, dengan demikian, mudah didapat maupun menimbulkan ketidaknyamanan minimal bagi pasien, tetapi berkemampuan, dari jumlahnya, cukup kuat untuk menghindarkan pengekspansian ekstensif dalam pembenihan. Jaringan adipos, seperti sumsum tulang, adalah berasal dari mesoderm embryonik dan mengandung satu populasi sel stromal heterogen. Kesamaan ini membentuk konsep bahwa satu populasi sel punca dapat diisolasikan dari jaringan adipos manusia. Selain itu, keburukan prosedur memanen  sumsum tulang tradisional di samping jumlah MSCsnya yang rendah, pada pengolahannya memerlukan langkah pengekspansian ex vivo untuk mendapatkan jumlah sel yang bermakna secara klinis. Langkah yang seperti itu adalah memakan waktu, mahal, dan berrisiko kontaminasi sel dan hilang. Semua poin perbandingan ini membuat sel punca berasal jaringan adipos menjadi sumber sel punca yang lebih baik(13).

PENGIDENTIFIKASIAN SEL PUNCA
Pengidentifikasian sel punca dicapai lewat morfologi, karakteristik fenotip mereka dan tingkah laku biologis mereka. Secara korfologis, sel punca adalah sel berbentuk gelendong dengan inti yang besar di tengah-tengah sel, memiliki prosesus sitoplasmik multipel menonjol dari permukaan terluarnya. Saat ini, tidak terdapat penanda fenotip spesifik untuk mengidentifikasi sel punca. Namun, sel punca berkemampuan pengekspresian banyak penanda permukaan, di mana kesemua penanda ini juga terdeteksi pada sel-sel mesenkhimal, endothelial, dan epithelial. Kesimpulannya, sel punca hanya dapat diidentifikasi dengan tingkah laku biologis mereka sebagaimana sel- sel ini berkemampuan proliferasi dan diferensiasi menjadi turunan sel berbeda-beda(13).
Menjadi satu dari sumber paling populer sel punca aktifitas riset berfokus pada pengidentifikasian MSCs jaringan dewasa berasal sumsum tulang lewat tiga buah penanda CD34, CD45, dan CD90. CD34 merupakan penanda permukaan progenitor hematopoietik, CD45 adalah penanda permukaan limfositik, dan CD90 adalah penanda permukaan utama sel-sel mesenkhim(14). Sebelum ini telah dipertunjukkan bahwa passage 2 synovial fat pad derived MSCs dan bone marrow derived MSCs terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan jelek untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56 (Gambar 1). Kadangkala sel-sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik dari synovial fat pad dan sumsum tulang.



Gambar 1
Pengarakterisasian epitop permukaan sel dari passage 2 MSCs berasal bantalan lemak sinovial (a) dan MSCs berasal sumsum tulang (b) menggunakan sebuah panel antibodi. Permuakan sel diwarnai menggunakan FITC conjugated secondary antibody (hijau) dan DAPI (biru) memerlihatkan bahwa sel-sel terwarnai dengan kuat untuk CD13, CD29, CD44, CD90 dan CD105, dan terwarnai dengan buruk untuk LNGFR, STRO1, CD34 dan CD56. Sesekali sel terwarnai secara positif untuk 3G5 baik yang dari bantalan lemak sinovial maupun sumsum tulang. Tidak satupun pewarnaan teramati untuk kontrol IgG.

Walaupun mekanisme molekuler yang mengatur diferensiasi MSC tidak secara penuh dipahami, sejumlah faktor pertumbuhan yang memerantarai jalur pensinyalan telah memerlihatkan menginduksi atau mengatur diferensiasi MSCs sepanjang garis turunan mesenkhimal sebagaimana bone morphogenetic proteins (BMP) dan fibroblast growth factor (FGF) merupakan contoh untuk semua faktor pertumbuhan ini(15)

KENAPA SEL PUNCA ADALAH TIDAK IMUNOGENIK?
Akhirnya, imunologi MSCs, sama seperti halnya dengan banyak aspek dari sel ini, penetapannya masih buruk. Studi-studi in vitro yang terdisain bagus mengenai kapasitas imunogenisitas dan imuno-modulator MSCs dalam model patofisiologi spesifik diperlukan sebelum melanjutkan pengekliman menyangkut sifat-sifat imun MSCs dapat dibuat. Sifat-sifat imunologi MSCs yang telah dikenal menguatkan penampilan teraputik mereka. Namun, sebagaimana dengan analisis kebanyakan MSCs, semua sifat-sifat imun ini telah diamati secara ekskulsif pada sel-sel benihan. Fenotip imun dari MSCs benihan secara luas dijelaskan sebagai MHC Class I +ve, MHC Class II -ve, CD40 -ve, CD80 -ve, and CD86 –ve(16, 17).
Fenotip ini dipertimbangkan sebagai non-imunogenik dan menyarankan bahwa MSCs kemungkinan menjadi efektif dalam penginduksian toleransi. Klas I mungkin mengaktifasi sel-sel T, tapi dengan tanpa kehadiran molekul-molekul ko-stimulasi, sinyal sekunder tidak ikut serta, membiarkan sel-sel T anergik(18). MSCs mampu menghambat produksi limfosit sitotoksik in vitro dan menahan pembunuhan baik oleh limfosit sitotoksik maupun sel-sel pembunuh alami. Juga MSCs terbukti menghambat sel-sel mononuklear darah perifer (PBMSCs) bahkan bila molekul ko-stimulasi ditambahkan. Hal ini dijelaskan kiranya lewat produksi faktor-faktor yang dapat larut(17). Sekali lagi, yang mengejutkan, terdapat kurangnya data pada efek imunomodulator MSCs in vivo. Dilaporkan bahwa MSCs memiliki ketahanan hidup sulihan kulit alogenik yang memanjang pada outbred baboon, imunokompeten(19).

PEREKAYASAAN JARINGAN TULANG
Perekayasaan jaringan merupakan sebuah bidang interdisipliner yang sedang bertumbuh yang menggunakan prinsip-prinsip baik ilmu kehidupan maupun perekayasaan menuju ke pengembangan penggantian biologis yang mengembalikan, memertahankan, dan memerbaiki fungsi dari jaringan rusak dan/atau hilang.(3, 20). Perekayasaan jaringan saati ini mengisi posisi depan dalam bidang kedokteran regeneratif. Secara khusus, setelah pemunculan klas perekayaan jaringan lainnya yaitu perekayaan jaringan berbasis sel, di mana defek-defek struktural dan fungsional secara sepenuhnya di kembalikan. Hal ini mencapai tujuan yang lebih besar dari kedokteran regeneratif melalui penggantian jaringan yang hilang dengan tipe jaringan yang sama(20). Berbagai tipenya dijelaskan berikut ini.
1. Perekrutan Lokal Sel-sel Osteogenik
Sebuah kemajuan penting dalam mengobati defek tulang adalah pengajuan bone morphogenetic proteins (BMPs) khususnya BMP-2, -4, dan -7. Semua protein ini menginduksi diferensiasi sel osteogenik in vitro, juga penyembuhan defek tulang in vivo. Pembawanya yang menguatkan daya ikat BMPs adalah yang paling penting, karena pemanjangan pelepasan BMP menyiptakan sebuah lingkungan mikro osteogenik yang memungkinkan progenitor sel multipoten bermigrasi ke daerah cedera dan berproliferasi dan berdiferensiasi menuju ke arah garis turunan osteogenik. Empat kategori utama pembawa material BMP adalah polimer alami, material anorganik, polimer sintetik dan komposit dan semua material ini(3).
Ini, bagaimanapun akan gagal bila vitalitas dan jumlah dari sel-sel multipoten yang dimiliki pasien tidak mencukupi atau bila pasien usianya tua dan dengan satu keadaan kesehatan yang buruk. Kondisi terakhir meliputi pasien-pasien dengan defek tulang yang besar, mereka yang menjalani terapi radiasi atau khemoterapi, usia tua, sistim kekebalan terganggu, pasien kurang gizi dan lainnya. Miligram dari BMP adalah menjadi persoalan sehubungan dengan soal pembuatannya, biaya dan dosis(1, 3)
2. Terapi Gen dan Perekayasaan Jaringan
MSCs juga sangat menjanjikan dalam pengiriman gen dan produk-produk gen. Kemampuan MSCs untuk ditransduksikan memberikan mereka potensi untuk bekerja sebagai wahana atau transfer gen teraputik baik berjangka lama ataupun pendek, misalnya, sebagaimana dalam pengekspresian BMP bagi perbaikan tulang. Sel-sel punca berasal sumsum tulang yang tertransduksi BMP memerlihatkan kekuatan yang efektif dalam perbaikan dari defek berukuran kritis pada model-model khewan berbeda dan lokasi-lokasi berbeda(21).
Di lain pihak, pemberian dosis BMP suprafisiologis telah menunjukkan menginduksi efek berlawanan lewat penyetimulasian resorpsi tulang dan turnover, menuruti satu respon kontra produktif. Dengan demikian, penggunaan MSCs sebagai sebuah wahana pengiriman dapat memastikan pemberian yang spesifik-lokasi dosis fisiologis BMP(22).
3. Osteoinduksi Sel Punca In Vitro
Sitokin osteoinduktif ditambahkan ke media benihan rutin dalam rangka mengontrol diferensiasi sel punca mengarah ke pada garis turunan osteoblas. Di antara protokol penginduksian yang paling terkenal adalah kombinasi  β-glycerophosphate, dexa-methasone dan ascorbic acid. Di mana β-glycerophosphate merupakan sumber fosfat organik, dexamethasone penting dalam pengekspresian fenotip osteogenik dalam konsentrasi tertentu, dan ascorbic acid penting dalam deposisi kolagen dan mineral. Faktor pertumbuhan osteoinduktif dan sitokin yang lain meliputi transforming growth factor β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), active vitamin D, BMPs (BMP 2, 4, dan 7) dan hormon paratiroid(13).
Telah diketahui bahwa diferensiasi osteoblastik dari keadaan takterdiferensiasi menjadi osteoblas aktif fungsional adalah satu seri langkah meliputkan sejumlah protein yang diekspres pada setiap stadiumnya, seperti misalnya alkaline phosphatase (ALP), osteocalcin dan deposisi mineral. Umumnya, ALP dipertimbangkan sebagai satu penanda awal relatif difernesiasi osteoblas. Selama pembentukan tulang, matriks ekstraseluler secara progresif mengasumsikan sifat-sifat mirip-tulang dan kemudian, dengan dimulainya mineralisasi, terjadi peningkatan aktifitas protein matriks ekstraseluler non-kolagenus, seperti misalnya osteocalcin, dan deposisi kristal anorganik berkomposisikan kalsium dan fosfat. Pada akhirnya, pembebanan dari sebuah scaffold yang cocok dengan sel-sel terinduksi bergandengan dengan penginkubasian keseluruhaan benihan dalam bioreaktor menyediakan cara efisien namun mahal untuk membangkitkan tulang(12).
4. Produksi Jaringan Tulang Rekayasa Ex-Vivo
Perekayasaan jaringan tulang berbasis-sel punca meliputi tiga langkah utama. Pertama, pemanenan sel punca, pengisolasian dan pengekspansian. Kedua, penyemaian scaffold dengan sel-sel punca terinduksi. Akhirnya, pengimplantasian ulang dilakukan in vivo untuk merekonstruksi defek. Bidang ini telah menarik banyak sekali perhatian dikarenakan afinitasnya sebagai satu alternatif terhadap sulihan tulang dan penggantian bagi rekonstruksi tulang(9).

APAKAH SCAFFOLD ITU?
Sel punca seringkali diimplantasikan atau diunggulkan ke dalam satu struktur yang berkemampuan penyokongan pembentukan jaringan tiga-dimensi. Struktur ini, secara khusus disebut scaffolds, seringkali penting, baik ex vivo juga in vivo, untuk berserah dengan lingkungan in vivo dan memersilahkan sel-sel memengaruhi lingkungan mikro mereka. Teknik pendekatan perekayasaan jaringan bagi rekonstruksi skelet membangkitkan prinsip-prinsip umum penggunaan porous scaffolds yang mengirimkan berbagai biofaktor (sel, gen dan protein) untuk regenerasi jaringan. Scaffolds juga haruslah memenuhi persyaratan khusus agar jaringan berfungsi secara mekanik dari penguatan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor sementara memertahankan fungsi mekanik sementara hingga jaringan mampu menopang beban. Namun, pada wilayah rekonstruksi tertentu (mis. Kraniofasial), scaffolds haruslah sesuai benar dengan defek anatomi 3-dimensi yang sangat kompleks yang dapat menjadi lebih rumit dibandingkan yang dijumpai pada skelet apendikuler(23).

PERSYARATAN DASAR SCAFFOLD
Scaffolds harus sesuai dengan defek anatomi 3D. Hal ini dapat dicapai secara kasar lewat pengalaman pembedahan dalam pendisainan atau lewat sistim pendisainan terkomputerisasi yang sangat canggih(24). Mereka haruslah menyediakan skelet penopangan beban sementara waktu hingga terbentuknya jaringan baru. Biodegrabilitas seringkali merupakan sebuah faktor penting karena scaffolds harus lebih dipilih untuk diabsorpsi oleh jaringan sekitar tanpa diperlukannya pembuangan secara pembedahan. Kecepatan pada mana degradasi terjadi haruslah bertepatan sebanyak-banyaknya yang memungkinkan dengan kecepatan pembentukan jaringan: hal ini berarti bahwa sementara sel-sel sedang memfabrikasi struktur matriks alami sendiri mereka di sekeliling mereka sendiri, maka scaffold harus berkemampuan menyediakan integritas struktural di dalam tubuh dan selanjutnya nanti ia akan terpecah meninggalkan jaringan baru, jaringan yang terbentuk baru yang akan mengambil alih beban mekanik(25).
Scaffolds harus menguatkan regenerasi jaringan melalui pengiriman biofaktor. Untuk mencapai tujuan rekonstruksi jaringan, scaffolds haruslah berpori  dengan ukuran lobang poriadekuat, untuk memasilitasi penyemaian dan difusi sel lewat struktur keseluruhan sel maupun nutrien. Lobang berpori berrentang dari diameter 300 - 1200µm adalah efisien dalam penyokongan migrasi sel, proliferasi sel dan transpor faktor pertumbuhan. Diameter porositas yang lebih kecil adalah tidak efisien sementara yang lebih besar dapat memengaruhi sifat-sifat mekanik scaffold. Jadi, dengan menggabungkan keduanya, sifat-sifat penopangan beban yang dimiliki scaffold dan porositas merupakan satu hal maha penting dalam memiliki scaffold ideal. Kedua persyaratan itu bervariasi sesuai dengan wilayah yang menjadi perhatian tujuan-tujuan rekonstruksi(23).

TIPE SCAFFOLD
Banyak material berbeda (alami dan sintetik, bidegradabel dan permanen) telah diselidiki. Kebanyakan dari material ini telah diketahui dalam bidang medis sebelum munculnya perkeyasaan jaringan sebagai sebuah topik penelitian, telah menjadi terpakai sebagai benang jahit jaringan yang dapat diserap secara biologis. Contoh dari semua material ini adalah kolagen dan beberapa polyester. Biomaterial baru telah direkayasakan untuk memiliki sifat-sifat ideal dan penyesuaian fungsi: injektabilitas, pembuatan bahan sintetis, biokompatibilitas, non-imunogenisitas, transparensi, serat-serat berskala-nano, kecepatan resorpsinya, dll(26).
Secara luas terdapat dua kelompok scaffolds dan scaffolds dari material alami merupakan kelompok pertama. Secara khusus, derivatif-derifativ berbeda dari matriks ekstraseluler telah distudikan untuk mengevaluasi kemampuan mereka untuk menyokong pertumbuhan sel. Material proteik, seperti misalnya kolagen atau fibrin, dan material polisakharid, seperti chitosan atau glycosaminoglycans (GAGs), kesemuanya terbukti pantas dipandang dari segi kompatibilitas sel, namun beberapa isu dengan imunogenisitas potensiil masih tetap ada. Di antara GAGs, hyaluronic acid, kemungkinan dalam kombinasinya dengan agen cros linking (mis., glutaraldehyde, carbodiimide yang dapat larut dalam air, dll), merupakan satu dari pilihan yang mungkin sebagai material scaffold (26). Juga, placental decellular matrix (PDM) dievaluasi oleh Flynn dkk mengenai efeknya pada aktifitas sel yang dibenihkan(25). Koral alami dengan ukuran pori 150 hingga 220µm dan porositas sekitar 36% dibentuk  (molded) menjadi bentuk sebuah kondilus mandibula manusia. Koral ini memberikan hasil bermakna sebagai sebuah scaffold di samping recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2)(24).
Kelompok kedua adalah scaffolds sintetik, danmaterial sintetik yang sering digunakan adalah PLA-polylactic acid. Polyester ini yang berdegradasi di dalam tubuh manusia untuk membentuk asam laktat, sebuah bahan kimia yang terjadi secara alami yang dengan mudah dibuang dari tubuh. Material yang sama adalah polyglycolic acid (PGA) dan polycaprolactone (PCL), dengan mekanisme degradasi mereka adalah sama seperti PLA, namun mereka memperlihatkan berturut-turut angka kecepatan degradasi yang lebih cepat dan lebih lambat dibandingkan dengan PLA(26). Para peneliti bertujuan menyiptakan material scaffold dengan sifat biomimetik yang meniru peran matriks ekstraseluler (ECM) dalam banyak fungsi sel, termasuk: adhesi, migrasi. Perekayasaan lebih lanjut sifat-sifat permukaan dan sebagian besar biomaterial akan mengijinkan berbagai interaksi bio-spesifik di antara tipe-tipe sel, material scaffold dan proliferasi yang cocok. Porositas adalah salah satu hal penting bagi material scaffolding yang berhasil. Sejumlah metode berbeda telah dijelaskan dalam literatur dalam memersiapkan struktur berpori untuk bekerja sebagai scaffolds perekayasaan jaringan. Setiap dari semua teknik ini memberikan masing-masing keuntungannya, namun tak satupun tanpa kelemahan(26).

DISKUSI
Prosedur rekonstruktif kraniofasial, maksilofasial, dan anggota gerak atas dan bawah seringkali memerlukan pengambilan suihan tulang yang menghasilkan morbiditas lokasi donor. Perekayasaan jaringan berbasis sel merupakan teknik dasar dalam pembangkitan jaringan, khususnya dalam produksi tulang. Perekayasaan jaringan tulang akan mengatasi kelemahan dari teknik yang umum dari rekonstruksi tulang(6).
Perekayasaan jaringan tulang dipertimbangkan sebagai sebuah sumber tak berhingga dari pemroduksian tulang tanpa morbiditas lokasi donor dan bermacam restriksi penyulihan tulang otogen. Di sini tidak ada risiko transmisi infeksi atau penolakan sebagaimana dapat terjadi dengan tulang demineralisasi berasal kadaver manusia atau sumber-sumber khewan. Juga ia memberikan kita sebuah material sebanding tanpa adanya rejeksi atau reaksi imun yang melawannya. Jadi, ia menutupi kasus-kasus di mana material aloplastik dikontraindikasikan karena rejeksi dan restriksi pertumbuhannya(7).
Telah menjadi mapan bahwa defek kranial ukuran kritis telah secara luas digunakan sebagai sebuah model untuk mengukur efisiensi dari teknik perbaikan tulang berbeda. Karena faktanya bahwa terdapat kurangnya suplai darah, kurangnya sumsum dan tulang kortikal yang tebal pada kranium, sehingga dijumpai kesulitan dalam memerbaiki defek-defek tulang kalvaria. Banyak studi telah dilakukan pada defek-defek kranial berukuran kritis pada tikius kecil, tikus besar, kelinci, dan khewan-khewan lainnya(27).
Banyak studi telah dilakukan untuk mengevaluasi, menstandarisasi dan membatasi teknik optimal bagiperekayasaan jaringan tulang. Di Cina, Fulin 2002 dkk(24) memelajari pemakaian MSC berasal sumsum tulang dibenihkan pada scaffold koral dalam merekonstruksi defek kondilus mandibula pada model tikus kecil nude, di mana rhBMP2 dipakai untuk memerbaiki fenotip osteoblastik sel-sel benihan. Keberhasilan diperoleh setelah 2 bulan di mana tulang yang terrekonstruksi memertahankan bentuk koral, yang telah dimanipulasi untuk menyerupai kondilus mandibula. Pemakaian donor kelinci memberi keuntungan untuk menyediakan sumber takterbatas untuk sel punca, namun pemakaian tikus kecil nude adalah wajib untuk menghindari reaksi imun sebagaimana yang telah dipercaya.
Pada tahun 2004, Abukawa dkk.(24) mengevluasi pemakaian sel punca sumsum tulang otolog untuk merekonstruksi defek mandibular. Osteoinduksi dari sel punca dikerjakan memakai β-glycerophosphate, dexamethazone dan asam askorbat (standard osteo-induction cytokines). Studi ini memerkenalkan penggunaan poly-DL-lactic coglycolic acid polymer sebagai sebuah scaffold biodegradabel yang dapat menyokong jaringan hingga tulang baru diproduksi. Semenjak itu, polyester sintetik biodegradabel dipertimbangkan ebagai material scaffold baku dalam proses perekayasaan jaringan tulang. Polyester sepenuhnya diserap setelah satu interval waktu. Interval ini cukup bagi tulang yang baru terbentuk untuk mengambil alih fungsi penyokongan jaringan. Juga polyester dapat dimanipulasikan menurut sifat-sifat fisik seperti bentuk, area permukaan dn porositas.
Pada tahun 2006, Mankani dkk.(29) menggunakan sel punca sumsum tulang pada model khewan yang lebih tinggi untuk memastikan efisiensi teknik perekayasaan jaringan tulang untuk merekonstruksi defek tulang yang cukup besar. Osteo-induksi dikerjakan menggunakan the standard osteo-induction biodegradable materials cytokines. Keramik kalsium fosfat digunakan sebagai scaffold. Keramik ini adalah material non-biodegradabel, yang dapat mengganggu sifat mekanik tulang yang diproduksi. Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa jaringan yang dihasilkan merupakan sebuah kombinasi tulang dengan keramik kalsium fosfat, yang membuat jaringan ini lebih mudah pecah dibandingkan dengan tulang murni alami.
Mereka mengevaluasi karakter tulang yang dihasilkan in vivo lewat pemakaian pemeriksaan ultrasonik yang memerlihatkan pembentukan tulang yang lebih dibandingkan dengan area kontrol. Juga ia mengomentari sifat-sifat mekanik tulang yang terbentuk yang adalah lebih baik dari pada kontrol. Namun ia tidak membandingkan sifat mekanik tulang yang diproduksi dengan tulang tengkoraknormal; sifat-sifat mekaniknya diperiksa dalam cara ex-vivo.
Sekali lagi, Hou dkk.(27) mengevaluasi koral yang dibenihkan MSCs berasal sumsum tulang otolog dengan ditambahkan rhBMP2 dalam merekonstruksi defek tulang kalvarial kelinci New Zealand. Mereka membandingkan hasilnya dengan kelompok ekivalen lain yang direkonstruksi dengan (1) sulihan tulang kortiko-kanselus iliak otolog, (2) koral dengan rhBMP2, (3) hanya rhBMP2. Jaringan yang dihasilkan dievaluasi secara klinis, radiologis dan histologis. Sulihan tulang otolog memberikan angka keberhasilan paling tinggi (84%) dengan kualitas menghasilkan tulang yang terbaik. Perekayasaan jaringan tulang (koral + sel punca terinduksi + rhBMP2) memberikan hasil yang sebanding dengan sulihan tulang otolog (77.9%). Kelompok koral dan rhBMP2, dan kelompok hanya koral memberikah hasil paling kecil dengan hasil yang lebih besar diberikan oleh kelompok yang disebutkan terlebih dahulu.
Berbagai studi perekayasaan jaringan belumlah pernah menggunakan alograf MSCs untuk rekonstruksi defek tulang. Namun beberapa studi diakukan dalam lapangan lainnya untuk memelajari efek MSCs bila digunakan sebagai alograf (studi untuk imunologi transplantasi). Tse dkk.(17) memelajari karakteristik imun in vitro dari MSCs berasal sumsum tulang manusia. Studi ini membangun prinsip pemahaman aksi MSCs dalam pemodulasian imun.
Pada dasarnya, fenotip MSCs ditentukan sebagai MHC class I positive dan negative untuk MHC class II, kecuali bila diterapi dengan interferon gamma. MSCs adalah negatif untuk antigen ko-stimulatori lainnya (CD80, CD86 dan CD40). Tse dkk. 2003(17) menyimpulkan bahwa fenotip ini meninggalkan sel-sel mononuklear darah perifer anergik dengan tanpa sifat proliferatif melawan MSCs atau sel-sel alogenik lainnya dalam kehadiran MSCs. Mereka mengasumsikan bahwa efek penghambatan MSCs ini tak hanya lewat kontak seluler langsung namun sebetulnya lewat diproduksinya faktor-faktor penghambatan yang dapat berdifusi. Hal ini dibuktikan dengan membenihkan sel-sel mononuklear yang dirangsang berproliferasi pada pembenihan yang sama dengan MSCs berasal sumsum tulang. Proliferasi sel-sel mononuklear teraktifasi dihambat oleh kehadiran sel-sel punca, kendatipun dengan kehadiran membran semipermiabel di antara dua populasi sel.
Silva dkk.(30) menggunakan alograf MSCs dalam mengobati model iskemik otot jantung kronik khewan. Hasil dari studi ini memerlihatkan keefektifan modalitas pengobatan ini dan mengomentarinya pada sifat-sifat alogenik sel punca yang digunakan. Yang mengejutkan, sel punca sepenhnya berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel vaskuler dan otot polos, di mana mereka dengan berhasil tercangkokkan menjadi pembuluh darah baru yang terinduksi dalam otot jantung iskemik. Cangkokan yang berhasil ini menimbulkan perbaikan vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Tidak ada pemakaian obat-obat penekanan imun dalam studi ini.
Matsumoto dkk.(14) melewati sebuah studi yang lebih maju. Mereka menggunakan model khewan iskemik otot jantung akut, di mana MSCs berasal sumsum tulang ditransfeksikan dengan gen vascular endothelial growth factor (VEGF) lewat vektor adenovirus. Sel-sel ini dibenihkan dan memerlihatkan peningkatan progresif dalam level VEGF dalam media benihan. Setelah penginjeksian in vitro dari sel-sel ini di dalam model jantung iskemik akut, semua khewan percobaan memerlihatkan perbaikan dalam vaskularitas dan kontraktilitas jantung. Penelusuran isotop radioaktif memerlihatkan bahwa sel punca tercangkokkan dengan berhasil dalam proses angiogenesis dan mereka berdiferensiasi menjadi sel-sel endotelial dengan aktif menghasilkan VEGF.

SIMPULAN
Pada dasarnya, sulihan tulang otogen merupakan teknik baku dalam rekonstruksi defek tulang. Semua teknik alternatif adalah bertujuan untuk menghindarkan morbiditas lokasi donor dan berbagai komplikasi lainnya. Akhir-akhir ini, perekayasaan jaringan tulang menawarkan sebuah teknik unggul dalam penatalaksanaan defek tulang. Perekayasaan jaringan tulang dicapai lewat tiga langkah utama: (1) pemanenan, pengisolasian dan pengekspansian sel punca, (2) penyemaian scaffold dengan osteo-induced stems cells, (3) re-implantasi in vitro.
MSCs sumsum tulang dewasa atau yang berasal jaringan adipos merupakan sumber baku sel punca yang dipakai dalam perekaysaan jaringan tulang. Di lain pihak, pemilihan scaffold tetap masih dalam penyelidikan dalam rangka untuk menjadi terdtandarisasi. Jadi, perekayasaan jaringan tulang memiliki seluruh keuntungan dari penyulihan tulang otogen namun tanpa morbiditas lokasi donor. Juga, ia dapat dipertimbangkan sebagai sumber takterbatas dari alograf bagi rekonstruksi tulang, sebagaimana karakter non-imunogenisitas sel punca mendukung ide pembuatan bank sel punca. Penambakan sel ini dapat digunakan sebagai sebuah sumber takterbatas segera dari rekonstruksi tulang.
Kesimpulannya, penggunaan MSCs berasal sumsum tulang terbukti menjadi sebuah teknik efisien untuk rekonstruksi tulang. Walaupun alogenik, sel-sel punca digunakan untuk menangani berbagai permasalahan defek tulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar