Istilah biomaterial adalah dimaksudkan bagi semua material sintetik maupun alami yang digunakan dalam praktek klinik yang bertujuan sebagai pengganti, penyetabil, ataupun penguat jaringan tubuh yang rusak. Dalam bidang bedah orthopedi, berbagai biomaterial digunakan untuk mendapatkan berbagai peralatan guna fiksasi fraktur, osteotomi dan arthrodesis, penutupan luka, penggantian jaringan, dan penggantian sendi total. Guna memastikan bahwa tingkat keamanan dan fungsi mereka di bawah kondisi yang bervariasi adalah baik, maka biomaterial orthopedi haruslah bersifat biokompatibel (mampu berfungsi dalam in vivo tanpa menimbulkan respon buruk lokal maupun sistemik dalam tubuh), tahan terhadap korosi dan degradasi (mampu bertahan tidak merapuh dalam lingkungan in vivo tanpa memberikan reaksi buruk), dan memiliki property wear dan mekanikal yang adekuat. Kriteria terrsebut menjadi penting khususnya pada keadaan penggantian atau pengutan dalam penahanan beban struktur tulang seperti tulang panjang dan sendi. Tambahannya, biomaterial harus memperlihatkan standar kualitas yang tinggi dengan harga yang rasional. Mengerti akan hubungan antara struktur dan komposisi biomaterial orthopedi (metal, polimer, keramik) yang sering digunakan dan kemampuan mereka dalam memenuhi berbagai kriteria di atas adalah sangat utama guna memahami efikasinya dalam praktik klinis.
BIOKOMPATIBILITAS
Sebagai benda asing dalam lingkungan in vivo, biomaterial orthopedi memicu satu rangkaian kejadian yang bilamana diimplantasikan dapat membahayakan dalam hal ini meracuni jaringan tubuh. Biokompatibilitas, dengan demikian, didefinisikan berdasarkan tingkatan reaksi buruk yang ditimbulkan saat diimplantasikan. Sebagai contoh, biomaterial yang hanya menimbulkan sedikit atau tidak samasekali respon inang (seperti cobalt chromium metallic alloy) dapat disebut sebagai inert. Biomaterial interaktif, di lain pihak, didisain untuk menimbulkan berbagai respon khusus yang menguntungkan seperti pertumbuhan jaringan (misalnya porous tantalum). Biomaterial yang berikatan atau merangsang sel yang kemudian diserap atau remodel (misalnya, pemakaian polimer yang dapat hancur dalam jaringan yang digunakan dalam pelipatgandaan jaringan fungsional). Akhirnya, material replant, terdiri dari jaringan asli yang telah dikultur secara in vitro dari sel-sel yang didapat dari seorang pasien khusus (contoh, khondroplasti untuk pengobatan defek kartilago fokal). Material yang menimbulkan reaksi biologis yang lebih parah dari apa yang tercakup dalam definisi tersebut di atas harus dipertimbangkan sebagai yang bersifat tidak biokompatibel.
Satu tingkat penerimaan biokompatibilitas telah ditetapkan bagi sebagian besar biomaterial orthopedi yang biasa dipakai. Namun biokompatibilitas menjadi isu penting, khususnya bagi peralatan multikomponen seperti satu kombinasi plat tulang atau peralatan dengan artikulasi sebagaimana dalam arthroplasti sendi. Berbagai peralatan tersebut mudah melepaskan partikel-partikel debris yang telah diketahui dapat berakumulasi baik secara lokal maupun sistemik. Meskipun biomaterial yang dalam bentuk utuhnya adalah bersifat biokompatibel (seperti ultra high molecular weight polyethylene/UHMWPE), namun dalam bentuk partikelnya dapat menimbulkan reaksi jaringan yang merusak seperti osteolisis yang mengawali destruksi jaringan dan gagalnya pengobatan.
KETAHANAN TERHADAP KOROSI DAN DEGRADASI
Lingkungan in vivo tubuh manusia dapat sangat korosif. Korosi menimbulkan dua masalah yaitu meninggalkan bagian rusak pada daerah yang bersinggungan dengan implan orthopedi yang nantinya sebagai sumber penimbul stress yang dengan jelas akan menurunkan kekuatan implan, dan melepaskan produk korosi ke dalam lingkungan sekitar yang dapat berefek buruk dari segi biokompatibilitas, menimbulkan nyeri, pembengkakan, dan kerusakan jaringan sekitar. Berbagai implan orthopedi dapat terpapar terhadap beberapa modus korosi bergantung dari geometri dan riwayat pembuatannya, kondisi in vivo di mana ia diperuntukkan, dan adanya defek-defek permukaan.
Korosi galvanik terjadi sebagai satu hasil dari potensial elektrokimia yang ditimbulkan antara dua metal yang berkontak fisik dan immersed dalam satu medium konduktif seperti misalnya serum atau cairan interstisil. Korosi galvanik adalah secara khas diperlihatkan pada fraktur yang difiksasi dengan plat pada lokasi antarmuka plat dan screw yang menahannya ke tulang. Meskipun plat dan screw tersebut pembuatannya dari campuran metal yang sama, namun perbedaan dalam metode pembuatan antara kedua komponen tersebut dapat menimbulkan beberapa variasi lokal dalam struktur mikro dan komposisi kimianya, yang merangsang satu respon galvanik selama kontak keduanya. Korosi galvanik juga dapat disebabkan oleh impurities dalam satu implan (juga disebut korosi intergranuler). Meski jarang, korosi intergranuler telah pernah dijumpai pada prostesis panggul yang diambil dari pasien di mana adanya cracks yang dipropagasi antara beberapa pits, mengarahkan ke fraktur katastrofik. Korosi galvanik paling baik dihindarkan melalui penggunaan bahan mentah dengan tingkat kemurnian setinggi-tingginya, pengurangan tambahan impurities yang dapat masuk ke dalam material selama pembuatannya, dan keyakinan bahwa digunakannya prosedur-prosedur pemanasan yang konsisten pada berbagai komponen yang berbeda dari peralatan jenis multikomponen.
Korosi fretting timbul pada lokasi kontak antarmaterial dengan terdapatnya gerakan mikro relatif di antara keduanya ketika menerima beban. Diperkenalkannya teknik modularitas pada peralatan arthroplasti sendi telah meningkatkan kejadian korosi fretting oleh pemakaian tapered junction, sebagai contoh penggantian kaput femur dan stem leher femur. Korosi fretting dapat juga menjadi masalah dalam sistim plat-screw stainless melalui satu kombinasi kerusakan mekanis yang ditimbulkan oleh pemasangan screw dan gerakan mikro tambahan dalam pengimplantasiannya, di mana keduanya tersebut menyebabkan destruksi mekanis bagi lapis pelindung oksidanya. Cara korosi ini dapat dihindarkan melalui pemasangan screw yang tidak terlalu tight, mempertahankan alur taper tulang bebas dari debris, dan optimalisasi disain taper yang mengurangi gerakan mikro relatif.
Korosi crevice timbul oleh karena perbedaan tekanan oksigen di dalam dan di luar satu crevice dengan satu ikutan perubahan-perubahan dalam konsentrasi elektrolit dan pH. Beberapa crevice dan, dengan demikian, potensial timbulnya korosi crevice adalah sering terjadi dalam implan orthopedi, terbanyak dijumpai antar lokasi countersunk lobang-lobang screw dalam peralatan seperti plat, dan komponen acetabuler tanpa semen dan kepala screw yang digunakan untuk menahan peralatan ke tulang di dekatnya. Sebagai contoh, korosi crevice dan fretting dijumpai pada sedikitnya 90% plat tulang berbahan stainless steel yang diambil dari pasien-pasien. Korosi crevice dapat dihindarkan melalui pengurangan defek permukaan yang dapat timbul saat pembuatannya dan selama dalam masa pemasangannya saat operasi.
Degradasi biomaterial orthopedi seperti misalnya polimer adalah juga merupakan satu bentuk korosi sebagai hasil dari paparan lingkungan yang merusak. Dalam beberapa situasi, degradasi diprogramkan ke dalam material, seperti polimer yang dapat didegradasi (biodegradable) yang ditujukan untuk menurunkan kekuatannya ataupun untuk melepaskan obat-obatan tertentu dalam satu waktu tertentu. Pada situasi tertentu, bagaimanapun, degradasi dapat detrimental terhadap sifat-sifat implan. Mungkin komplikasi yang palaing dikenal luas yang dikaitkan dengan degradasi dalam implan-implan orthopedi adalah degradasi oksidatif dari komponen UHMWPE untuk ganti sendi total. Paparan terhadap radiasi dalam satu lingkungan ambient menyebabkan scission dari rantai polimer dan mengkreasi adanya radikal bebas yang sebaliknya akan berreaksi dengan oksigen. Sebagai hasilnya, akan menimbulkan satu penurunan berat molekul dan satu peningkatan dalam kristalinitas dan densitas. Berbagai perubahan ini, sebaliknya menyebabkan satu penurunan kekerasan polietilen tersebut dan resisten terhadap propagasi crack dan peningkatan dalam modulus elastisitasnya. Dengan demikian, implan polietilen yang terdegradasi
SIFAT-SIFAT MEKANIK BIOMATERIAL
Menciptakan satu peralatan (device) untuk satu kebutuhan orthopedi memerlukan kemampuan memerkirakan bagaimana sifat-sifat mekanik yang dimilikinya melalui pertimbangan geometri dan sumber/bahan material yang akan digunakannya. Memerkirakan sifat-sifat mekanik yang dimiliki satu jenis peralatan adalah bergantung pada beberapa faktor: gaya-gaya yang nantinya akan bekerja padanya, burdens mekanik pada mana gaya-gaya tadi akan bekerja secara internal dalam material tersebut, dan kemampuan yang dimiliki material untuk menahan burdens tersebut dalam rentang waktu usia yang dimiliki peralatan tersebut.
Stress & Strain
Aggaplah ada satu ciptaan plat tulang metalik dari bahan stainless yang kedua ujungnya dijepitkan pada satu jepitan. Satu pembebanan regang diberikan melalui jepitan yang menyebabkan plat menjadi memanjang. Beban eksternal ditahan oleh satu beban internal yang bekerja tegak lurus terhadap potongan tegak plat dan dengan terdistribusikan pada area potongan tegak tersebut. Hasil dari stress regang dalam plat tulang memiliki satu besaran yang sama dengan besarnya beban yang diberikan dibagi dengan luasnya area potongan tegak (F/A). Pemanjangan dijelaskan sebagai strain regang dengan membagi besarnya pemanjangan yang terjadi antara kedua jepitan dengan panjang awal regio tersebut saat sebelum pembebanan (ΔL/L).
Bila beban dihilangkan selama bagian garis lurus awal dari hasil kurva stress-strain (gb.1), kedua stress dan strain akan kembali nol (yang artinya, kurva stress-strain berretraksi dengan sendirinya kembali ke posisi semula). Sifat stress strain yang sepenuhnya kembali seperti itu menunjukkan tidak adanya perubahan dalam bentuk plat dan, dengan demikian, tidak terjadi kerusakan metal; stainless steel memiliki sifat elastis. Ratio stress terhadap strain disebut modulus elastisitas (E) dan merupakan satu sifat material stainless steel dan bukan plat tulang itu. Sebagai contoh, pengulangan pembebanan pada satu plat stainless steel dalam eksperimen dengan digandakannya luas area potongan tegak akan juga membutuhkan penggandaan pembebanan untuk mencapai pemanjangan yang sama, namun modulusnya tetap tidak berubah karena stress (F/A) yang diperlukan untuk mencapai pemanjangan tersebut akan sama besarnya. Modulus elastisitas, dengan demikian, adalah satu pengukuran dari kemampuan satu material untuk mempertahankan bentuknya di bawah pemberian beban eksternal. Satu materi yang memiliki modulus elastisitas yang lebih besar disebut sebagai lebih kaku dan akan lebih tahan terdahadap perubahan bentuk pada beberapa bentuk dan pembebanan tertentu dibandingkan dengan satu material dengan modulus elastisitas yang lebih rendah.
Yield dan ultimate stress
Bila beban regang kembali diberikan pada plat tulang dan dibiarkan besarannya terus meningkat, maka kurva stress-strain kemudian menjadi nonlinier. Penghilangan beban saat ini memberikan pemanjangan yang menetap (atau deformasi plastik) dari plat stainless steel (gb.1). Stress pada mana deformasi plastik dimulai disebut yield stress (atau juga disebut yield strength). Dengan berlanjutnya peningkatan pembebanan, kerusakan plastis berakumulasi dalam stainless steel, selanjutnya plat tulang ruptur. Stress maksimum yang tercapai setelah yield namun sebelum ruptur terjadi disebut ultimate stress (atau ultimate strength).
Yield strength merupakan satu kriteria kegagalan yang penting. Sebagai contoh, pembebanan maksimum dapat di impose pada satu nail plate panggul sebelum kemudian secara permanen berubah bentuk (yield strength nya) menunjukkan apakah peralatan tersebut dapat tetap menahan fragmen fraktur dalam satu posisi yang relatif terfiksir untuk merangsang penyembuhan. Spesifikasi material dan geometri plat haruslah sebagaimana halnya bahwa stres-stres yang diterima plat adalah lebih rendah dibandingkan dengan yield strength nya.
Material yang dapat memberikan gambaran yang jelas akan yield point nya diikuti dengan permanent strain nya sebelum menjadi gagal adalah didefinisikan sebagai material ductile, pada mana yang lainnya yang memiliki deformasi yang kecil atau tidak samasekali sebelum fraktur disebut material brittle. Duktilitas dapat menguntungkan, misalnya, dalam hal membiarkannya satu energi diserap tanpa menimbulkan kegagalan katastrofik sebagaimana halnya yang mungkin terjadi dalam satu struktur terbuat dari satu material brittle (sperti satu kaput femoral terbuat dari keramik untuk satu penggantian sendi total panggul). Duktilitas tingkat sedang juga adalah berguna dalam plat-plat tulang tertentu, yang memungkinkan mereka dapat dibentuk di kamar operasi.
Fatigue
Kegagalan yang didasarkan pada yield strength adalah pertinent terhadap trauma atau situasi lainnya termasuk satu pemberian tunggal dari satu beban yang sangat besar. Kebanyakan implan orthopedi, bagaimanapun, akan menerima pembebanan berulang dan siklik. Berulang-ulangnya antara siklus beban dan tanpa beban dapat menyebabkan kegagalan, meskipun masing-masing beban tersebut secara sendiri-sendiri mengkreasi stres-stres dalam implan yang lebih rendah dari ultimate strength nya. Kegagalan fatigue merupakan kejadian tersering jenis kegagalan mekanis yang dialami peralatan orthopedi. Berbagai plat tulang, komponen femoral penggantian sendi panggul total, tray tibia penggantian sendi lutut, berbagai nail intrameduler, dan berbagai peralatan lainnya yang dibuat dari campuran metal telah diketahui mengalami kegagalan fatigue dalam penggunaan klinisnya. Bahkan permukaan artikuler polietilen komponen tibia gagal oleh adanya fatigue terkait mekanisme wear karena adanya siklus alami pembebanan kontak pada peralatan tersebut.
Di bawah kondisi fatigue, sejumlah siklus stres yang dapat ditahan oleh material adalah berbanding terbalik secara proporsional dengan besarnya stres yang diberikan; artinya, banyaknya jumlah siklus stress yang dapat ditahan material akan meningkat sebagaimana intensitas stres semakin dikurangi. Secara khasnya, stres pada mana material dapat menahan 10 juta siklus stres tanpa mengalami patah disebut sebagai endurance limit (atau fatigue strength). Pasien tersebut yang dengan memberikan jutaan siklus stres tiap tahun pada sistim muskuloskeletalnya, implan orthopedi seperti pengganti sendi total yang diperuntukkan sebagai implan permanen haruslah memenuhi satu kombinasi yang adekuat dalam hal-hal ukuran, bentuk/rupa, dan pilihan materialnya guna meyakinkan bahwa stres-stres yang akan diterimanya akan lebih rendah dari limit endurance nya.
Fatigue terdiri dari tiga langkah, yaitu: dimulai dengan adanya satu crack dalam material, kemudian propagasi crack keseluruh material, dan akhirnya kegagalan saat crack mencapai satu panjang di mana sisa material tidak mampu lagi menahan stres yang diterimanya. Beberapa faktor yang mendorong diawalinya crack akan secara jelas dapat mengurangi usia fatigue material. Sebagai contoh, adanya goresan atau nicking pada permukaan satu metal orthopedi akan mengkreasi kerusakan yang di bawah pembebanan siklik dapat secara cepat menjadi satu crack, yang kemudian dengan kuat menurunkan usia pakai peralatan. Sebaliknya, setiap faktor yang bekerja untuk menghentikan atau memperlambat propagasi crack akan meningkatkan usia fatigue. Satu crack yang tumbuh melalui satu matriks yang berbentuk serat akan menghentikan pertumbuhannya ketika crack mencapai ikatan satu serat yang kuat dalam matriks. Crack akan tetap stagnant hingga terakumulasinya kerusakan yang cukup untuk menggerakkan crack melewati serat.
Sifat isotropik dan anisotropik
Material yang memiliki sifat mekanik yang sama dalam segala arah disebut sebagai isotropik. Material metal dan keramik yang digunakan dalam ranah orthopedi secara umumnya isotropik. Jaringan muskuloskeletal (tulang, kartilago, otot, ligamen, dan tendon) dan komposit (fiberglass dan carbon fiber reinforced resin) memiliki sifat-sifat yang bergantung arah dan disebut anisotropik. Jaringan tulang kortikal dari tulang apendikular, sebagai contoh, menunjukkan sifat-sifat stress-strain dan fatigue yang sangat berbeda bila diberi pembebaban dalam arah longitudinal dibandingkan pada arah tranversal. Ketika dibebani dalam arah tranversal, jaringannya lebih banyak lemahnya dalam hal yield dan ultimate strength nya, juga banyak kurangnya dalam hal ductile, dan memiliki modulus elatik yang jauh lebih rendah. Sifat-sifat anisotropik merupakan penunjuk bagaimana sebenarnya struktur yang dimiliki tulang, yang mana ia merupakan bahan komposit baik dari level ultrastrukturalnya, di mana baik serat kolagen maupun kristal hidroksiapatitnya secara umum berada dalam satu arah longitudinal; maupun pada satu skala mikrostrukturalnya, di mana osteon secara umum juga berada dalam arah longitudinal.
Material komposit yang dibuat manusia adalah seringkali bersifat anisotropik. Sebagai contoh, serat-serat yang kuat dapat diposisikan dalam arah yang diinginkan dan kemudian diisikan dengan bahan matriks yang lemah. Sebagai hasilnya, material menunjukkan sifat-sifat mekanik yang bergantung dari sifat-sifat material dari serat dan matriks yang digunakan, jumlah relatif serat dan matriks, ikatan di antara serat dan matriks, dan geometri dan orientasi dari serat. Material komposit telah dikembangkan untuk berbagai ligamen artifisial, peralatan fiksasi fraktur yang dapat diserap tubuh, engineering scaffolds jaringan, dan bahkan komponen sendi total. Sifat anisotropik dari material meng-underscores kepentingan berbagai peralatan uji dalam lebih dari hanya satu arah pembebanan guna evaluasi yang adekuat akan penampilan klinis potensial mereka.
Combined stress state
Meskipun rejimen pembebanan sederhana adalah berguna bagi pengukuran sifat-sifat mekanik (gb.1), namun kebanyakan peralatan orthopaedi biasanya akan mengalami kombinasi pembebanan baik aksial, bending, dan torsi yang akan menghasilkan distribusi stres yang kompleks dalam material dari mana peralatan tersebut dibuat. Bahkan di bawah ketegangan yang sederhana, stres kombinasi muncul pada banyak bidang yang tidak hanya pada satu bidang tegak lurus saja terhadap pemberian pembebanan. Menghadapi situasi pembebanan yang lebih realistik dalam sistim muskuloskeletal, penghitungan tipe, besaran, dan distribusi stres dalam material dapat menjadi sulit, akibat dari kompleksnya bentuk implan dan berbagai struktur skeletal. Berbagai teknik komputer, seperti analisis elemen yang rinci, seringkali digunakan untuk menentukan stres-stres dan untuk memperkirakan kegagalan melalui membandingkan besaran perkiraan stres dengan kriteria kegagalan untuk material.
Viscoelasticity
Bila uji regang dari plat tulang berbahan stainless steel dilakukan pada banyak tingkat pembebanan yang berbeda, hasil dari sifat stress-strain adalah akan sama (gb.1). Pernyataan ini adalah benar bagi campuran metal material lainnya dan keramik. Bagaimanapun, untuk banyak material lainnya seperti polimer, tingkat pembebanan berpengaruh besar pada sifat-sifat mekanik material. Suatu material yang dengan sifat bergantung pembebanan disebut bersifat viscoelastik.
Anggaplah ada satu material viscoelatik yang diberikan strain secara tiba-tiba. Stres akan secara instantaneous timbul dalam material itu, namun stres dibutuhkan untuk mempertahankan strain yang berkurang dengan berjalannya waktu; material mengalami adanya relaksasi stres. Bila material diberikan instead dengan satu pembebanan mendadak, stres dan strain kembali akan terjadi secara instantaneous dalam material. Bagaimanapun, meski stres tetap konstan dengan berjalannya waktu, strain yang timbul dalam material viscoelatik berlanjut meningkat dengan berjalannya waktu, yang merupakan satu fenomena disebut creep.
Karakteristik material viscoelastik lainnya adalah histeresis. Sebagai contoh, anggaplah, ada satu uji regang yang sama seperti halnya pada plat tulang stainless steel (gb.1), namun dilaksanakan pada satu jenis plat yang diciptakan dari satu bahan material viscoelastik. Ketika spesimen di berikan pembebanan, daerah di bawah kurva stress-strain menunjukkan energi strain tersimpan dalam material. Ketika beban dihilangkan, kurva mengikuti satu alur yang berbeda, less steep. Rantai tertutup dibentuk antara plot-plot loading dan unloading menunjukkan hilangnya energi dalam material sebagai hasil dari ketidakefisienan dalam proses penyimpanan dan pelepasan energi (sebagai contoh, melalui friksi internal dalam struktur mikro). Polimer, sebagai contoh, adalah sering viscoelatik, dengan energi terdisipasi melalui friksi antara rantai-rantai polimer bersamaan dengan material mengalami deformasi. Ketika secara siklik pembebanan dan tanpa pembebanan, material-material viscoelastik seperti itu, kenyataannya menimbulkan panas sebagai hasil dari friksi. Material metalik, di lain pihak, memiliki struktur kristalin, material yang dibuat sedemikian rupa agar mengurangi timbulnya mekanisme friksi internal dan secara khas tidak menunjukkan satu lingkaran histeresis sebagai bagian dari sifat stress-strain mereka.
WEAR RESISTANCE
Partikel-partikel metalik, polimerik, dan keramik sebagai produk samping dari akibat wear-nya implant orthopedi, adalah bersifat takterdegradasikan. Reaksi ikutannya, khususnya terhadap partikel yang sangat kecil, dapat menginisiasi satu rangkaian kejadian biologik, mengawali timbulnya destruksi jaringan dan kegagalan terapi.
Pengetahuan akan hubungan pasti antara sifat-sifat material dan wear resistance adalah masih sangat kurang; namun, wear resistance seringkali ditunjukkan secara empiris melalui uji penyaringan seperti simulator sendi dan berbagai uji wear yang disederhanakan (seperti pin-on-disk test). Kemampuan berbagai uji tersebut untuk dapat menyediakan hasil yang bermanfaat adalah bergantung pada kemampuan mengkreasi ulang kondisi-kondisi pembebanan, kinematik, dan berbagai kondisi lingkungan. Uji validasi akhir-akhir ini adalah berdasarkan atas kemampuan untuk mengkreasi wear rate yang sama seperti yang didapatkan pada rata-rata pasien (berdasarkan atas perkiraan dari hasil radiografi berseri/serial) dan debris partikel bersesuaian dengan ukuran dan bentuknya yang diambilkan dari jaringan periprostetik saat operasi revisi.
Secara umum, material dengan kekerasan tinggi, seperti keramik, menunjukkan wear resistance yang lebih baik dibandingkan dengan permukaan yang berbahan metalik atau polimerik. Keramik mungkin memiliki wear resistance yang lebih baik oleh karena mereka dapat dilicinkan yang menjadikan permukaannya lebih halus dan karena mereka memiliki kemampuan berbasahnya (wettability) yang lebih besar yang mengkreasikan kemungkinan pembentukan lapisan film pelindung lubrikasi antara kedua permukaan sendi. Material yang lebih lunak dan, sehingga, lebih mudah tergores, seperti campuran titanium, terbukti lebih mudah wear. UHMWPE wear telah dikaitkan dengan osteolisis berdasarkan atas volume dari partikel submikron kecil-kecil yang berasal dari permukaan artikuler polietilen. Dengan demikian, dibutuhkan beberapa hal yang perlu untuk memperbaiki wear resistance UHMWPE.
DAFTAR ISTILAH YANG DIGUNAKAN
A
alloys (steel, titanium, cobalt)
anisotrophic property
annealing
atactic
atomic dislocation
B
biocompatibility (inert, interactive, absorbed/remodel, replant)
biomaterial (degraded
body-centered cubic phase
C
carbide grafitisation
carbide segregation
casting
ceramic covalent bond
ceramic elcetrovalent/ionic bond
cold and hot workingclosed-packed phase
combine stress state
corrosion (galvanic, intergranular, fretting, crevice
corrosive resistance
crack
crack length limit
creep phenomenon
creep rupture strength
crystallinity
cyclic loading
D
debris particle
deformation (plastic,
E
elastic modulus
endurance limit
extrusion
F
failure
failure criteria
fatigue failure
fatigue strength
fatigue age
fine-grained two-phase
forging
G
grain
grain-grain face-centered cubic
grain growth tendency
H
heating treatment
histeresis
hot isostatic pressing
I
implant (multicomponent, articulated)
impurity
interfacial strength
isomerism
isostatic
isotrophic property
L
load-bearing implant
M
material (ductile, brittle, composite, viscoelastic
matrix fibre
mechanical and wear property
metal plastic deformity
metallic alloy mechanical property
metalic bound
minimum molibdenum concentration stainless steel
modularity technique
monoclinic content of ziconia surface
N
nickle-free stainless steel
non-structural application of material (coating, filler)
O
osteoconductive material
P
pits
permanent strain
polymer cross-link level
polymer post irradiation aging
polymer post irradiation degradation
pyrolitic carbone back-bone
R
rapid cooling
S
secondary periprosthetic osteolysis
self pasification
sementing (bone preparation, semen delivery
shelf aging
sindiotactic
stainless steel body-centered cubic phase
stainless steel face-centered cubic phase
sterlization methode (radiation, non radiation
strain
stress
stress cycle
stress relaxation
stress-strain curve
T
tappered junction
tensile strength
torque
U
ultimate strength
ultimate stress
unalloyed titanium (pure titanium)
V
viscoelasticity
void
W
wear (pitting, delamination)
wear rate
wear resistance (hardness, surface smoothness and hydrophylic
workability
wettability
Y
yield point
yield strength
yield stress
A
alloys (steel, titanium, cobalt)
anisotrophic property
annealing
atactic
atomic dislocation
B
biocompatibility (inert, interactive, absorbed/remodel, replant)
biomaterial (degraded
body-centered cubic phase
C
carbide grafitisation
carbide segregation
casting
ceramic covalent bond
ceramic elcetrovalent/ionic bond
cold and hot workingclosed-packed phase
combine stress state
corrosion (galvanic, intergranular, fretting, crevice
corrosive resistance
crack
crack length limit
creep phenomenon
creep rupture strength
crystallinity
cyclic loading
D
debris particle
deformation (plastic,
E
elastic modulus
endurance limit
extrusion
F
failure
failure criteria
fatigue failure
fatigue strength
fatigue age
fine-grained two-phase
forging
G
grain
grain-grain face-centered cubic
grain growth tendency
H
heating treatment
histeresis
hot isostatic pressing
I
implant (multicomponent, articulated)
impurity
interfacial strength
isomerism
isostatic
isotrophic property
L
load-bearing implant
M
material (ductile, brittle, composite, viscoelastic
matrix fibre
mechanical and wear property
metal plastic deformity
metallic alloy mechanical property
metalic bound
minimum molibdenum concentration stainless steel
modularity technique
monoclinic content of ziconia surface
N
nickle-free stainless steel
non-structural application of material (coating, filler)
O
osteoconductive material
P
pits
permanent strain
polymer cross-link level
polymer post irradiation aging
polymer post irradiation degradation
pyrolitic carbone back-bone
R
rapid cooling
S
secondary periprosthetic osteolysis
self pasification
sementing (bone preparation, semen delivery
shelf aging
sindiotactic
stainless steel body-centered cubic phase
stainless steel face-centered cubic phase
sterlization methode (radiation, non radiation
strain
stress
stress cycle
stress relaxation
stress-strain curve
T
tappered junction
tensile strength
torque
U
ultimate strength
ultimate stress
unalloyed titanium (pure titanium)
V
viscoelasticity
void
W
wear (pitting, delamination)
wear rate
wear resistance (hardness, surface smoothness and hydrophylic
workability
wettability
Y
yield point
yield strength
yield stress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar