Abstrak
Selama dekade sejak peluncuran Arthritis Research, penerapan terapi gen untuk penyakit rematik telah mengalami perubahan-perubahan yang sama seperti halnya bidang terapi gen secara keseluruhan. Terjadi kemajuan konseptual dan teknologi dan peningkatan jumlah percobaan klinis. Namun, pendanaan tidak dapat diandalkan dan sejumlah kecil kematian berprofil tinggi dalam percobaan manusia, termasuk satu di antaranya pada percobaan terapi gen arthritis, telah memberikan amunisi untuk menjadikan skeptis. Namun demikian, kemajuan yang stabil telah dibuat dalam beberapa aplikasi, termasuk arthritis rheumatoid dan osteoarthritis, sindrom Sjögren, dan lupus. Percobaan klinis dalam arthritis rheumatoid telah berkembang ke fase II dan telah menyediakan sekilas pertama dari efikasinya yang mungkin. Dua buah protokol fase I untuk osteoartritis sedang berlangsung. Bukti prinsip telah ditunjukkan dalam model khewan sindrom Sjögren dan lupus. Untuk indikasi tertentu, hambatan teknologi besar bagi pengembangan terapi genetik tampaknya telah banyak diatasi. Penelitian translasi yang diperlukan untuk mengubah kemajuan ini menjadi obat genetik yang efektif memerlukan pendanaan dan usaha yang berkelanjutan.
Pendahuluan
Ketika Arthritis Research diperkenalkan, wilayah terapi gen dari waktu ke waktu semakin kuat. Dalam dekade sebelumnya nampak sejumlah percobaan terapi gen pada manusia bermunculan, yaitu dari transfer gen pertama pertama yang properly authorized ke manusia dalam tahun 1989, hingga total sejumlah 368 pada tahun 1998. Meskipun terdapat berbagai pemrediksian buruk dari kelompok yang skeptik, tidak pernah terjadi kejadian buruk serius dan wilayah ini looked forward, seperti halnya ekonomi yang dibahanbakari oleh banyak spekulasi di wilayahnya, untuk melanjutkan pertumbuhan sepat. Kelompok yang optimis memrediksi bahwa kedokteran genetik akan berada memenuhi pasar dalam beberapa tahun ke depan saja. Arthritis rheumatoid (RA) menjadi awal bagi terapi gen (gambar 1),
Gambar 1
Publikasi berbahasa Inggris tentang terapi gen arthritis dalam literatur yang dijadikan referensi tulisan ini. Tulisan pertama tentang terapi gen arthritis dipublikasikan dalam tahun 1992 (27). Data efikasi pertama untuk model khewan arthritis rheumatoid (RA) terlihat dalam tahun 1996 (103, 104), dan data efikasi pertama untuk model khewan osteoarthritis (OA) mengikutinya setahun kemudian (79). Percobaan pada manusia pertama kali dimulai dalam tahun 1996 (29). Tujuh percobaan klinis untuk RA dan OA telah dimulaikan, satu di antaranya mencapai fase II (Tabel 1). Bukti pertama dari respon klinis yang mungkin dengan transfer gen dipublikasikan pada tahun ini (31).
menangkap optimisme awal tahun 1990an dan pemulaian percobaan klinik pada 1996. Pertemuan the first International Meeting on the Gene Therapy of Arthritis and Related Disorders (GTARD) diadakan di the National Institutes of Health (NIH) (Bethesda, MD, USA) pada 1998 (1) dan menarik lebih dari 200 peserta.
Situasi kemudian berubah dengan cepat. Kematian Jesse Gelsinger pada 1999 (2) membuka kembali perhatian akan tingkat keselamatan. Hal ini, sebaliknya, membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-suber tradisional, seperti misalnya NIH, juga dari industri bioteknologi, yang juga berurusan dengan keadaan ekonomi yang melambat dengan cepat. Banyak penyakit reumatik, meski serius, tidaklah dipertimbangkan untuk mengancam hidup penderitanya, merupakan satu faktor yang mengurangkan antusiasme lebih lanjut bagi penelitian terapi gen dalam daerah ini di bawah berbagai situasi tersebut.
Meskipun besarnya antusiasme pertama telah berhenti, dekade lalu menampakkan progres yang tetap dalam pengembangan berbagai terapi gen untuk beberapa kondisi, dan jumlah percobaan klinis di seluruh dunia mencapai 1,500. Terapi gen komersil pertama, Gendicin untuk kanker kepala dan leher, telah diperkenalkan untuk digunakan di Cina (3), dan terapi gen untuk defisiensi lipase lipoprotein familial tersedia sebagai satu obat orphan di Eropa dan Amerika. Penyembuhan telah dilaporkan untuk penyakit X-linked severe combined immunodeficiency disease (SCID) (4), adenosine deaminase-SCID (5), dan X-linked chronic granulomatous disease (6). Keberhasilan yang menyolok dalam mengobati Leber's congenital amaurosis akhir-akhir ini telah dilaporkan oleh dua kelompok berbeda (7, 8).
Pertumbuhan yang tetap juga terlihat pada penelitian pengembangan terapi gen bagi penyakit reumatik. Progres dapat di-gauge, hingga tingkat tertentu, lewat apa yang tertulis dalam simpulan pertemuan biennial GTARD (1, 9, 10). Semua ini, juga, telah mencapai 10th anniversary mereka dan GTARD-5 akhir-akhir ini diadakan di Seatle – Amerika. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bawah, terdapat sejumlah percobaan klinis dalam wilayah terapi gen untuk arthritis, di mana satu di antaranya telah memasuki tahap fase II, dan beberapa wilayah jenis penyakit lainnya dalam suatu stadium pengembangan praklinik mutakhir.
Kemajuan dalam teknologi
Inti dari setiap terapi gen yang berhasil adalah kemampuan untuk memindahkan gen dengan efisien dan aman ke sel-sel target. Berbagai vektor dasar virus dan nonvirus yang sama yang tersedia saat ini adalah telah tersedia 10 tahun lalu, namun telah terjadi pengembangan dalam perekayasaan dan pengaplikasiannya.
Vektor Virus
Meskipun berbagai onkoretrovirus, seperti virus Moloney murine leukemia, merupakan yang pertama digunakan dalam percobaan klinis dan mendominasi berbagai pengaplikasian dalam terapi gen manusia untuk beberapa tahun, kepopuleran mereka saat ini telah berkurang. Tindakan pseudotyping selimutan retrovirus telah mengatasi, hingga tingkat tertentu, permasalahan modest titers, namun ketidaknyamanan dan expense dari transfer gen in vivo masih tetap ada. Lebih jauh, kejadian mutagenesis insersi (insertional mutagenesis) selama percobaan terapi gen manusia (11) telah membangkitkan sejumlah besar hambatan untuk penggunaan onkoretrovirus pada penyakit-penyakit nonlethal nonmendelian. The US Food and Drug Administration (FDA), sebagai contoh, membutuhkan 15 tahun follow-up pada semua percobaan klinis menggunakan pengintegrasian vektor-vektor (integrating vectors).
Oleh karena vektor-vektor lentivirus adalah juga merupakan pengintegrasian retrovirus-retrovirus (integrating retroviruses), mereka dilindungi oleh pembatasan-pembatasan yang sama. Hal ini disayangkan karena vesicular stomatitis virus-pseudotyped lentiviruses adalah sangat efisien dan tidak memerlukan pemecahan sel inang; mereka mentransduksi sinovium dengan sangat efektif setelah penginjeksian intraartikuler (12, 13). Meskipun lentivirus sedang direkayasa agar tetap episom, penggunaannya pada manusia dalam reumatologi nampaknya tidak memungkinkan dalam any reasonable time frame.
Vektor-vektor adenovirus telah mengambil alih retrovirus sebagai yang tersering digunakan dalam pecoban-percobaan klinik manusia. Bahkan, terapi gen yang ada secara komersiil, Gendicin (3), yang tersedia di Cina untuk kanker, menggunakan adenovirus. Perekayasaan vektor-vektor adenovirus telah mengarah pada penghilangan segmen genom virus yang semakin bertambah besar, mengawali ke high capacity ‘gutted’ vectors yang kurang berisi seluruh rangkaian pengkodean virus (14). Hal ini mengurangi imunogenisitas sel-sel tertransduksikan, namun tidak dalam hal virion-nya sendiri. Meskipun gutted adenovirus vectors memiliki beberapa keuntungan, termasuk kapasitas pembawaannya (carrying capacity) melebihi 30 kb, mereka sulit dibuat dan dimurnikan. Berbagai modifikasi lain adenovirus adalah termasuk pemutasian protein-protein pembalut untuk menguatkan efisiensi transduksi atau untuk mengubah tropisme. Inklusi suatu rangkaian arginin-glisin-aspartat, misalnya, besar sekali menguatkan transduksi sinovium (15).
Adeno-associated virus (AAV) saat ini nampaknya yang paling besar pengembangannya. AAV sebelumnya dihambat oleh berbagai kesulitan dalam pembuatan sejumlah besar clinical-grade vector dan modest levels of transgene expression dalam banyak tipe sel. Yang disebut belakangan merefleksikan, sebagian, the single-stranded DNA genome of AAV, yang membutuhkan sel inang untuk menyintesa satu complimentary second strand; proses ini tidak efisien dalam banyak jenis sel.
Berbagai permasalahan dalam pemroduksian telah dikurangi oleh penggunaan bermacam teknologi baru untuk memfasilitasi pembentukan AAV rekombinan (16). Yang paling bermakna, pengekspresian transgen telah dibuat jauh lebih tinggi, lebih cepat, dan lebih dapat dipercaya melalui pengebangan dari self-complimentary (SC) vectors berkandungan genom-genom virus positive- dan negative-strand pada satu pengulangan terminal (17). Drawback-nya adalah bahwa packaging capacity-nya dikurangi setengahnya hingga sekitar 2 kb. Namun, banyak dari sitokin dan molekul-molekul modulator lainnya yang menarik dalam penyakit reumatik memiliki cDNA yang cukup kecil untuk fit ke dalam ruang ini. Data terakhir mengonfirmasi keunggulan dari scAAV sebagai suatu cara penransferan gen-gen ke sendi dan mengekspresikan mereka secara intra-artikuler (18).
Telah terjadi peningkatan cepat dalam jumlah serotipe AAV rekombinan berbeda (19). Beberapa di antaranya menawarkan tropisme-tropisme yang telah berubah dan efisiensi-sfisiensi transduksi yang telah dikuatkan. AAV1, sebagai contoh, memiliki kemampuan yang jauh lebih besar menransduksi otot rangka dibandingkan dengan serotipe AAV2 prototipik (20). Adalah tidak jelas, if any, serotipe-serotipe baru ini akan terpakai dalam reumatologi, meskipun ini merupakan satu daerah aktif penelitian.
Hingga akhir-akhir ini, hanya sedikit perhatian ditumpahkan bagi reaksi imun terhadap AAV yang membuatnya dinyatakan sebagai ber-imunogenisitas rendah. Hal ini dengan cepat berubah ketika data dari percobaan klinis menggunakan AAV untuk mengobati hemofilia mencatatkan satu reaksi imun yang menetralkan (21) yang menyangkutkan pembangkitan sel-sel limfosit T sitotoksik (22). Hal ini mengawali timbulnya transaminitis transien dan curtailed pengekspresian transgen. Berdasarkan dari simpulan temuan-temuan ini, respon imun terhadap AAV adalah sedang dalam pengevaluasian ulang.
The perceived safety vektor-vektor AAV telah juga menyumbang bagi peningkatan kepopulerannya. Sebagaimana tercatat, kematian-kematian terkait vektor terjadi dalam banyak percobaan menggunakan retrovirus dan adenovirus rekombinan. Meskipun satu kematian terjadi tahun lalu pada kasus percobaan arthritis memnggunakn AAV rekombinan (23), FDA menentukan bahwa vektor tidak dipersalahkan dan percobaan diperbolehkan untuk dilanjutkan. Jumlah percobaan pada manusia menggunakan AAV telah meningkat hingga melebihi 50, kebanyakan daripadanya disetujui pada beberapa tahun lalu. Dua buah percobaan fase III besar untuk kanker prostat menggunakan AAV sedang berjalan. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, status obat yang orphan telah granted bagi terapi gen bermediasi AAV untuk defisiensi lipoprotein lipase familial, dan perhatian telah ditujukan bagi pasien-pasien dengan Leber’s congenital amaurosis menggunakan vektor-vektor AAV (7, 8).
Meskipun sejumlah vektor-vektor virus lainnya telah digunakan dalam percobaan klinik, mereka kurang relevan pada penyakit reumatik. Virus herpes simplex, misalnya, masih tetap dipermasalahkan oleh sitotoksisitasnya dan penggunaannya semakin dibatasi pada sistim syaraf, di mana ia memiliki suatu latensi alami.
Vektor Nonvirus
Vektor nonvirus masih terus menarik perhatian karena mereka lebih sederhana, lebih aman, dan kurang mahal dibandingkan dengan virus dan menawarkan carrying capacities yang sangat besar. Di antaranya yang paling sederhana adalah plasmid. Efisiensi transfeksi dapat ditingkatkan melalui pengasosiasian DNA dengan suatu bahan pembawa, seperti satu liposom atau satu polimer, atau melalui penggunaan stimulus fisik, seperti misalnya denyutan listrik (elektroporasi). Meskipun tersedia sejumlah sangat besar formulasinya, pengiriman gen nonvirus (transfeksi) masih tetap kurang efisien dibandingkan pengiriman gen virus (transduksi) dan hal ini masih tetap merupakan satu penghambat pemakaiannya secara lebih luas. Di samping semua ini, vektor nonvirus masih tetap menarik oleh karena masih berlangsungnya berbagai laporan dalam literatur rujukan akan keberhasilannya ketika menggunakannya untuk pengobatan pada model-model binatang dengan penyakit reumatik.
Aplikasinya pada penyakit rheumatik
Arthritis rheumatoid
Terapi lokal
Ketertarikan dalam mengaplikasikan terapi gen ke penyakit-penyakit reumatik dimulai dalam awal-awal tahun 1990-an dengan usaha-usaha untuk mengirim cDNA ke barisan sel-sel permukaan sinovium (synovial linings) sendi (26, 27). Premise dasarnya adalah cukup sederhana (gambar 2). Pengekspresian cDNA intra-artikuler yang sustained mengkode suatu produk anti-artritik tersekresikan yang akan
Gambar 2
Strategi untuk terapi gen pada arthritis (28, 106)
mengobati sendi secara lokal tanpa memerlukan pemberian ulangan dan menghindarkan pencapaian puncak dan melewati (the peaks and troughs) dari rute pengiriman obat secara tradisional. Tidak ada satu teknologi lain yang sebanding mampu melakukan hal ini. Bila transfer gen adalah cukup efisien, cDNAs yang mengkode produk-produk nonsekresi adalah juga memungkinkan. Melakukan pengobatan langsung ke sendi-sendi sakit dibandingkan kepada keseluruhan tubuh pasien akan menurunkan biaya dan mengurangi berbagai kemungkinan efek samping sistemik merugikan. Sejumlah tipe-tipe transgen berbeda telah disarankan untuk dipakai untuk tujuan-tujuan ini, termasuk mereka yang mengkode berbagai antagonis sitokin, berbagai imunomodulator, berbagai faktor antiangiogenik, agen-agen apoptosis, antioksidan, penghambat mitosis, juga berbagai molekul yang memodulasi pensinyalan sel dan berbagai aktifitas dari faktor-faktor transkripsi (28).
Sejak isu pertamakali dari Arthritis Research muncul, satu percobaan klinis fase I dilakukan (Gambar 1 dan Tabel 1). Percobaan menggunakan satu retrovirus (MFG-IRAP) untuk mengirimkan cDNA antagonis reseptor interleukin-1 manusia (IL-1Ra) melalui suatu protokol ex vivo ke sendi-sendi metakarpofalang pada pasien-pasien dengan RA parah (29). Di antara berbagai persyaratan keamanannya yang ketat, antara lain studi ini membutuhkan subjek yang memerlukan pembedahan ganti sendi, sehingga sel-sel yang telah dimodifikasikan secara genetik dapat dikeluarkan dengan pembedahan 1 minggu setelah penginjeksian.
Tabel 1
Percobaan klinis manusia untuk terapi gen arthritis
Keterangan tabel. Keseluruhan yang disebut di atas adalah menarget arthritis rheumatoid, kecuali untuk percobaan the TissueGene Inc. and Kolon Life Science. Percobaan the Targeted Genetics Corporation dapat juga merekrut subjek dengan arthritis psoriatic dan spondilitis ankilosa. AAV, adeno-associated virus; FDA, US Food and Drug Administration; HSV-tk, herpes simplex virus thymidine kinase; IL-1Ra, interleukin-1 receptor antagonist; N/A, not applicable; OBA, Office of Biotechnology Activities; PI, principal investigator; TGF-β1, transforming growth factor-beta-1; TNFR, tumor necrosis factor receptor (23).
Studi ini mengonfirmasikan bahwa gen-gen dapat dengan aman ditransfer ke sendi-sendi rheumatoid manusia dan mengekspresikannya di dalamnya, sedikitnya untuk 1 minggu (30). Meskipun beberapa subjek melaporkan perbaikan dalam gejala, studinya tidaklah didisain untuk mengukur efikasi. Satu studi yang sama di Jerman dengan sejumlah kecil subjek, meliputi hanya dua subjek, kemudian menjadi menarik karena ia memasukkan pengukuran-pengukuran hasil luaran pendahuluan yang didasarkan pada nyeri dan pembengkakan, menggunakan satu sendi yang tidak menerima cDNA IL-1Ra sebagai suatu kontrol intrapasien. Kedua subjek berrespon terhadap terapi gen, satu dari mereka berrespon dengan dramatis, dan perbaikan klinisnya berlangsung terus hingga keseluruhan waktu sepanjang 4 minggu dari studi, meskipun satu subjek mengalami kemerahan pada sendi-sendi yang tidak diterapi (31).
Timbulnya leukemia pada manusia sebagai suatu hasil dari mutagenesis insersional menggunakan vektor-vektor retrovirus, ditambah dengan tingginya biaya dari terapi gen ex vivo menggunakan passaged autologous cells, telah membatasi percobaan-percobaan seperti ini di masa depan. Malah, para peneliti berkonsentrasi pada pengiriman gen in vivo ke sendi-sendi. Didasarkan data praklinik yang menjanjikan pada kelinci (32), Roessler dkk mengobati satu subjek dengan DNA plasmid yang mengkode virusthymidine kinase herpes simplex diikuti dengan pemberian ganciclovir untuk memberi efek suatu sinovektomi genetik. Meskipun tidak timbul kejadian buruk yang dikaitkan dengan prosedur ini, percobaan ini tumpang tindih dengan kematian Jesse Gelsinger pada tahun 1999, yang menghentikan perekrutan pasien, dan studi kemudian dihentikan. Sejak itu kemudian, perhatian akan pengiriman in vivo ke sendi-sendi telah bergeser ke AAV untuk berbagai alasan yang telah dijelaskan di bagian tulisan sebelumnya.
Terdapat dua percobaan klinis menggunakan AAV, kedeuanya disponsori oleh Targeted Genetics Coorporation (Seatle, WA, USA). Vektornya (tgAAG94) mengandung AAV2 dengan satu single-stranded DNA genome yang mengkode etanercept. Pengekspresian diarahkan oleh a human cytomegalovirus immediate early promoter. Di dalam studi fase I yang pertama, sebanyak 14 subjek RA dan 1 dengan spondilitis ankilosa diberikan vektor (33). Sebanyak 14 sendi lutut dan satu sendi ankle diinjeksikan dengan 1010 atau 1011 partikel virus per mililiter; sendi lutut menerima 5 mL dan ankle menerima 2 mL. Suatu studi fase I/II berikutnya menggunakan 127 subjek dengan suatu dosis yang semakin meningkat 1011, 1012, atau 1013 virion per mililiter diinjeksikan ke dalam lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, MCP, atau sendi siku yang bergejala. Protokolnya memungkinkan subjek untuk menerima suatu penginjeksian tgAAC94 kedua.
Percobaan fase I/II menarik cukup perhatian tahun lalu ketika satu subjek meninggal segera setelah menerima penginjeksian vektor kedua kedalam sendi lututnya (23). Kasus ini memunculkan kontroversi karena, di samping penerimaan cDNA yang mengkode etanercept, subjek berada dalam pengaruh adalimumab, di mana sebelumnya telah menerima etanercept hingga kemudian ini dihentikan karena adanya kekambuhan (flare). Pasien meninggal karena histoplasmosis, suatu faktor risiko yang telah dikenal dengan anti-tumor necrosis factors (anti-TNFs), bersama-sama dengan suatu hematom peritoneal masif. Setelah suatu penyelidikan yang panjang oleh FDA dan the Recombinant DNA Advisory Committee of the NIH, percobaan diperbolehkan untuk dilanjutkan di dalam suatu cara yang dimodifikasi. Data efikasi pendahuluan menyarankan bahwa beberapa subjek memiliki perbaikan gejala dalam responnya terhadap terapi gen (34).
Sejumlah kelompok saat ini tertarik dalam penggunaan AAV untuk mengirimkan gen-gen ke sendi-sendi. Penelitian difokuskan pada pemilihan srotipe dan respon imun inang terhadap vektor-vektor. Serotipe 1, 2, 5, dan 8 paling menarik perhatian. Menurut Apparailly dkk (35), AAV5 lebih unggul dari AAV1 atau 2 pada sendi lutut mice. Ini dikonfirmasikan pada tikus besar (rat), dan AAV2 dan 5 menunjukkan memiliki efisiensi yang sama dalam mentransduksi kultur-kultur sel-sel fibroblas sinovium manusia (36). Studi yang lain mengindikasikan urut-urutan keunggulan berikut: AAV2 > 1 > 5 > 8 (37). Bagaimanapun, ketika cairan sinovium manusia di-screen bagi pre-existing immunity terhadap AAV, antibodi-antibodi yang menetralkan serotipe-serotipe 1 dan 2 adalah lebih sering muncul dibandingkan dengan terhadap serotipe 5, yang hal ini menyarankan Boissier dkk bahwa AAV5 mungkin lebih bermanfaat pada manusia, meskipun efisiensi transduksinya lebih rendah. Berbagai reaksi humoral terhadap AAV2 tercatat dalam percobaan tgAAC94, seperti diperlihatkan di atas, namun imunitas bermediasikan sel yang mungkin terjadi tidaklah diukur. Studi-studi pengiriman gen bermediasikan AAV2 ke sendi-sendi lutut kelinci mengonfirmasi suatu reaksi imun yang menetralkan yang mencegah redosing (18). AAV telah digunakan untuk mengekspres reseptor-reseptor TNF yang dapat larut (38), beta interferon (IFN- β) (39), angiostatin (40), dominant negative Iκκβ (inhibitor of kappa B kinase β) (41), dan IL-1Ra (18) dalam sendi-sendi khewan percobaan, dengan suatu efek antiartritik terkait.
Dalam kebanyakan spesies, vektor-vektor AAV konvensional berkandungan suatu untaian tunggal genom DNA (single-stranded DNA genome) hanya berkemampuan tingkat sedang untuk mentransduksi jaringan artikuler. Efisiensi pentransduksian dapat diperkuat oleh radiasi, suatu proses yang memprovokasi sintesis untaian kedua (second-strand) (42). Kebutuhan akan yang belakangan tersebut dapat dipermudah dengan penggunaan scAAV, dan berbagai temuan terkni mengonirmasikan keunggulan dari vektor-vektor ini pada sendi lutut kelinci (18). Berdasarkan data dari studi yang sama, hanya 10% – 20% genom-genom AAV yang memasuki sel-sel fibroblas sinovium nampak di dalam nukleus. Hal ini mengidentifikasikan suatu pembatasan kedua terhadap efisiensi pentransduksian yang membantu untuk memperhitungkan sejumlah virion AAV yang relatif tinggi (104 to 105 partikel per sel) yang diperlukan bagi level-level pengeskpresian transgen yang berguna. Berbagai penghambat proteosom dapat memerbaiki serapan (uptake) nukleus genom-genom AAV dalam sel-sel sinovium manusia, mengawali ke pada pengekspresian transgen yang besar (43). Dalam kesepakatan dengan hal ini, berbagai pemutasian ke pada protein selimutan AAV (AAV coat protein) yang mencegah ubikuitinasi juga meningkatkan efisiensi transduksi (44). Menurut Traister dkk (45), pengekspresian transgen dari vektor-vektor AAV akan ditingkatkan dalam sel-sel fibroblas sinovium manusia dalam keberadaan sitokin-sitokin inflamasi. Suatu efek yang sama dilaporkan beberapa tahun lalu oleh Pan dkk (46, 47) pada sendi-sendi lutut tikus besar namun hal ini sulit untuk direproduksi (18).
Agar terapi gen intraartikuler dapat menjadi suatu keberhasilan klinis, maka diperlukan suatu kebutuhan akan perpanjangan periode pengekspresian transgen. Hal ini terbukti sulit dalam model-model binatang. Usaha yang dilakukan Gouze dkk baru-baru ini (48) mengidentifikasi berbagai reaksi imun terhadap berbagai protein non-homolog sebagai penghalang utama bagi pengekspresian transgen yang diperpanjang. Menggunakan sendi lutut tikus besar sebagai suatu sistim model, mereka mengunjukkan bahwa cDNA yang mengkode suatu protein tikus besar yang dikirimkan dengan suatu vektor yang tenang (silent) secara imunologis dapat diekspres dalam suatu tampilan stabil yang panjang. Yang menarik, pengekspresian transgen jangka panjang tidak memerlukan suatu pengintegrasian vektor (integrating vector) dan tidak bergantung promoter.
Malahan, ia mengandalkan pada keberadaan dari sel-sel nonmitosis berusia panjang (long-lived) di dalam jaringan-jaringan kolagen padat tertentu dalam dan sekitar sendi (gambar 3).
Gambar 3
Residen fibroblast dalam jaringan artikuler fibrus menyokong pengekspresian stabil dari berbagai transgen eksogen. Menyertai penginjeksian intra-artikuler lentivirus-GFP atau Ad.GFP ke dalam lutut nude rats, kelompok-kelompok khewan ini kemudian dibunuh pada hari ke 5 dan 168. Sendi lutut dan jaringan sekitar diambil intak, dekalsifikasi, dan diproses untuk pemeriksaan histologi. Untuk setiap sendi, posisi terdekat dari sel-sel fluoresen diidetifikasi serial, potongan sagital keseluruhan sendi ditabulasi dalam warna hijau pada diagram sendi lutut yang sama dengan yang ditunjukkan pada gambar di kiri. Diagram yang ditunjukkan adalah representatif dari hasil-hasil yang terobservasi dengan kedua jenis virus pada waktu-waktu yang berkaitan. Gambar kanan, karakteristik pencitraasn dari penampilan sel-sel GFP+ dalam potongan jaringan pada waktu-waktu berbeda dipertunjukkan (pembesaran 20X). Garis-garis mengindikasikan regio-regio terdekat yang terwakilkan oleh potongan-potongan jaringan. Banyaknya sel-sel GFP+ dalam sinovium dan subsinovium berkurang secara dramatis pada hari ke 168. Kepadatan dan distribusi sel-sel GFP+ dalam tendon, ligamen, dan sinovium fibrus sebahagian besar tidak berubah sepanjang waktu eksperimen. Tidak terlihat sel fluoresen dalam kartilago artikuler dari kedua jenis virus pada setiap poin waktu. B, bone; GFP, green fluorescent protein; M, muscle; P, patella (48).
Suatu kemampuan untuk mencapai pengekspresian transgen jangka panjang membuka jalan bagi pengekspresian terregulasi. Dua teknik pendekatan telah diselidiki. Satu di antaranya menggunakan cues endogen untuk memastikan bahwa level pengekspresian menelusuri aktifitas penyakit di dalam sendi. Strategi-strategi ini menggunakan berbagai promoter yang dapat diinduksikan didasarkan atas serangkaian pengaturan ke hulu (upstream regulation) yang mengontrol pengekspresian protein-protein dan sitokin-sitokin inflamasi fase akut, seperti IL-1 dan IL-6 (38, 49, 50). Suatu metode yang berkaitan menggunakan suatu rangkaian berkandungan nuclear factor-kappa-B (NF-κB)-binding sites multipel (38). Teknik pendekatan kedua dalam meregulasikan pengekspresian transgen adalah menggunakan molekul-molekul eksogen, seperti doksisiklin, untuk memanipulasi level pemroduksian (51 – 53). Teknik pendekatan yang belakangan menyediakan kepastian yang lebih besar melawan pengeskpresian transgen yang tidak tepat yang mungkin timbul selama suatu infeksi. Meski tidaklah terapi gene yang sebenarnya, suatu percobaan klinis yang terkait melakukan penginjeksian decoy oligonucleotides yang menghambat aktifitas pentranskripsian factor NF-κB ke dalam sendi-sendi rheumatoid (54). Sejauh ini, tidak terjadi kejadian-kejadian buruk dan terdapat beberapa bukti dari suatu respon klinik dalam subjek-subjek tertentu.
Terapi sistemik
Dalam suatu keadaan poliartikuler seperti pada RA, suatu terapi gen intraartikuler dapat membutuhkan penginjeksian sejumlah banyak sendi-sendi. Terlebih lagi, suatu terapi gen lokal mungkin tidak ditujukan bagi berbagai manifestasi ekstraartikuler sistemik dari penyakit. Jadi, terdapat ketertarikan ke pada suatu pendekatan terapi yang lebih umum pada mana suatu transgen diintroduksikan ke dalam suatu lokasi (melalui rute pengiriman metode in vivo atau ex vivo intramuskuler, intravena, intraperitoneum, dan subkutan) di mana suatu produk gen tersekresikan akan memiliki akses ke sirkulasi sistemik (gambar 2). Meskipun teknik pendekatan ini memiliki daya tarik yang besar, mereka menyediakan hanya suatu tambahan canggih di atas apa yang telah dicapaikan oleh metode-metode pengiriman protein tradisional dan disertai oleh meningkatnya risiko berbagai kejadian buruk. Untuk alasan-alasan ini, mereka tidak mencapai popularitas luas. Satu pengecualian yang menarik, bagaimanapun, adalah pemberian DNA polos (naked DNA) parenteral.
Terdapat banyak laporan dalam literatur rujukan menjelaskan sifat-sifat antiartritik poten DNA plasmid ketika dikirimkan melalui rute-rute intramuskuler, intraperitoneal, intravena, dan intranasal (55 – 61). Karena level-level pengekspresian transgen adalah rendah ketika DNA diberikan melalui cara-cara ini, penjelasan alternatif bagi efikasi mereka dalam model-model khewan RA adalah diperlukan. Satu kemungkinannya adalah uptake DNA oleh antigen-presenting cells (APCs) yang kemudian bergerak ke lokasi-lokasi pemresentasian antigen di mana transgen yang cukup diskpresikan untuk memodulasi reakfitas imun secara lokal. Ini merupakan suatu contoh dari terapi lokal terfasilitasi yang akan dijelaskan di bagian berikut tulisan ini.
DNA dapat juga digunakan untuk vaksinasi. Terdapat beberapa contoh yang menggunakan model khewan RA pada mana vaksin-vaksin DNA yang mengekspres antigen-antigen artritogenik, seperti misalnya heat-shock proteins (62), atau mediator-mediator artritis, seperti TNF (63), adalah bersifat melindungi (protektif). Adalah juga memungkinkan untuk menginduksi toleransi melalui pengimunisasian dengan DNA (DNA immunization) dalam ketiadaan adjuvant (64). Meski efektif dalam model-model khewan, strategi-strategi seperti itu mungkin berrisiko pada manusia.
Terapi lokal terfasilitasi
Kemampuan untuk menarget sendi-sendi sakit multipel secara selektif dengan suatu penginjeksian parenteral tunggal dikenal sebagai terapi lokal terfasilitasi (gambar 2). Hal ini pertama kali dikenal sebagai suatu efek teraputik kontralateral dalam sendi-sendi lutut kelinci yang dengan arthritis terinduksi antigen bilateral (65). Hal ini terjadi baik secara pengiriman gen in vivo maupun ex vivo (66) dan diperkirakan merefleksikan pemodulasian imun via APCs yang dipapari dengan produk-produk transgen yang tepat sebagaimana mereka mempresentasikan antigen-antigen artritogenik ke limfosit-limfosit T (gambar 4).
Gambar 4
Sebuah model yang didasarkan atas trafficking dari antigen-presenting cells (APCs) untuk menjelaskan efek kontralateral. Introduksi dari sebuah vektor yang pantas, dalam contoh ini ia mengkode viral interleukin-10 (vIL-10), ke dalam sebuah sendi inflamasi men-transduksi sinovium dan APCs. Limfosit adalah sangat sulit ditransduksi, sebagaimana direfleksikan dalam gambar di atas. Presentasi antigen intra-artikuler dus terjadi dalam kehadiran dari sebuah konsentrasi lokal tinggi vIL-10 diproduksi oleh sinovium, APC, atau oleh keduanya. Di bawah semua kondisi ini, respon imun berdeviasi mengarah ke suatu theraputic Th2 response. Limfosit dan APCs kemudian traffic ke sendi satunya melalui aliran darah atau limfatik, di mana mereka menekan penyakit (28).
Studi-studi yang menggunakan reaksi hipersensitifitas bertipe lambat pada murine sebagai suatu model (67) menunjukkan bahwa sel-sel dendritik dan makrofag yang termodifikasi secara genetik dapat bermigrasi ke lokasi-lokasi inflamasi dan mencegah timbulnya patologi yang terarahkan oleh imun (immune-driven pathology) di dalam suatu cara yang spesifik antigen (antigen-specific manner). Dalam studi-studi berikutnya, sel-sel dendritik yang mengekspres IL-4 terlihat bermigrasi ke the paws of MHC-matched mice yang dengan arthritis terinduksi kolagen dan quell disease activity, bahkan pada penyakit yang sudah mapan (68). Efek anti artritik adalah lebih kuat ketika vektor adenovirus yang sama digunakan untuk mengirimkan IL-4 secara sistemik. Suatu variasi dari transgen-transgen tambahan yang lain, termasuk IL-10, indoleamin 2,3-dioxy-genase, dan IκB (inhibitor of kappa-B), adalah efektif dengan cara-cara ini.
Satu strategi yang berkaitan dengan hal itu telah memroduksi pengablasian selektif dari sel-sel limfosit T otoreaktif melalui pemodifikasian APCs untuk mengekspres penginduksi-penginduksi apoptosis pada permukaan-permukaan sel mereka. Ketika APC mengekspresikan suatu antigen artritogenik ke sel-sel limfosit T reaktif, yang disebut belakangan kemudian apoptosis. Meskipun hal ini telah ditunjukkan dalam banyak model menggunakan Fas Ligand (69, 70) sebagai trasgen-nya, TRAIL (tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand) merupakan kandidat yang lebih baik karena reseptornya memiliki sebaran yang terbatas, jadi mengurangi kemungkinan-kemungkinan efek samping yang tak diinginkan. Bukti impresif dari prinsip ini telah tertunjukkan dalam arthritis terinduksi kolagen pada murine menggunakan sel-sel dendritik yang mengekspres TRAIL (71). Efek teraputik diperbaiki melalui pulsing sel-sel dendritik dengan kolagen tipe II sebelum penginjeksian. Manipulasi yang ekuivalen dalam RA akan menjadi sulit karena antigen-antigen incitings tidak dikenal, meskipun suatu efek regulatory bystander dapat dicapai. Respon terhadap transfer gen TRAIL diperkuat ketika interferens RNA digunakan untuk mematikan pengekspresian reseptor decoy-nya, DcR2 (72).
Sel-sel limfosit T juga home to lokasi-lokasi inflamasi dan reaktifitas imun. Seperti halnya APCs, mereka mungkin secara genetik termodifikasi dan digunakan untuk menarget banyak lokasi penyakit melalui pemberian parenteral, meskipun sel-sel limfosit lebih sulit untuk ditransduksikan dibandingkan APCs. Bagaimanapun, bukti prinsip ini memperlihatkan dalam nbanyak khewan percobaan menggunakan IL-4, IL-10, IL-12 p40, dan anti-TNF single chain antibody sebagai transgen-transgen (73, 74). Dalam kebanyakan model- model khewan, antigen artritogenik telah dikenal dan sel-sel limfosit T dengan reseptor sel-T yang tepat dapat digunakan untuk memaksimalkan terjadinya efek. Pada RA, bagaimanapun, the inciting antigen tidaklah dkenal dan pengayaan adalah sulit. Sebagaimana yang telah direspon akan kesulitan ini, Annenkov dan Chernajovsky (75) merekayasa suatu reseptor sel-T yang extracellular domain-nya mengandung suatu motif pengikatan kolagen tipe II (a type II collagen-binding motif).
Isis Pharmaceuticals (Carlsbad, CA, USA) menyeponsori percobaan klinis fase I, IIa, dan II pada mana anti-sense RNA yang diarahkan untuk melawan TNF diinjeksikan secara intravena dan subkutan ke subjek-subjek dengan RA. Anti-sense RNA dipertunjukkan bergerak ke sinovium sendi-sendi yang sakit, menyarankan pengiriman lokal terfasilitasi (facilitated local delivery). Studi fase II menyertakan sebanyak 157 pasien dengan RA yang menerima 200 mg anti-sense RNA dua kali seminggu, sekali semingu, atau sekali dalam empat malam. Subjek-subjek pada dua kelompok dengan pemberian dosis tertinggi menunjukkan perbaikan dalam skor ACR20 (American college of Rheumatology 20% improvement criteria). Studi-studi belum pernah dipublikasikan dan penyandang dana tidak lagi menyokongnya.
Penggangguan oleh RNA yang penting ini menyediakan kemampuan untuk menghentikan penyintesisan sitokin dalam suatu tampilan yang sangat spesifik. Khoury dkk (77) telah melakukan pengiriman molekul-molekul RNA pengganggu pendek yang menarget ke IL-1, IL-6, dan IL-18 dalam murine dengan artritis terinduksi kolagen (77). Penghentian dari setiap jenis sitokin tersebut adalah efektif dalam menurunkan insiden dan keparahan penyakit, namun suatu efek teraputik yang dramatik terobservasi ketika ketiga jenis sitokin tersebut dihambat secara bersama-sama.
Osteoarthritis
Oleh karena berbagai pengaruh OA adalah terbatas pada sendi dan tidak memiliki komponen-komponen sistemik yang dikenal, OA merupakan target terapi gen lokal yang menguntungkan (78). Banyak studi praklinik mengonfirmasi efikasi dari pengiriman gen lokal dalam mengobati model-model eksperimental OA (79 – 82). Hampir seluruh dari studi ini menggunakan IL-1Ra sebagai produk transgen-nya, yang menunjukkan bahwa pentingnya IL-1 sebagai suatu mediator dalam sendi osteoartritik. The equine study dari Frisbie dkk (83) adalah menarik karena, di samping menggunakan pengukuran-pengukuran hasil luaran histologis konvensional, mereka mencatat suatu pengurangan ketimpangan dalam respon terhadap terapi gen. Ini merupakan suatu hasil yang membesarkan hati untuk suatu penyakit pada mana nyeri merupakan gejala klinis penumpangtindih. OA adalah sering pada kuda, anjing, dan khewan lain seperti itu, sehingga terapi gen berperan dalam kedokteran khewan.
Oleh karena pengerusakan kartilago artikuler merupakan lesi pathologis yang paling banyak pada sendi-sendi yang sakit pada penderita dengan OA, berbagai studi tentang pengobatan OA bertumpangtindih dengan studi pada regenerasi kartilago. Secara kolektif, cDNA yang mengkode insulin-like growth factor -1, fibroblast growth factor-2, bone morphogenetic protein (BMP)-2, BMP-4, BMP-7, TGF- β, dan sonic hedgehog telah menjanjikan dalam perbaikan kartilago. Percobaan klinis sedang berjalan di Korea dan Amerika Serikat menggunakan human chondrocyte cell line yang terinduksikan secara retrovirus sebagai suatu wahana bagi pengiriman ex vivo TGF- β1 ke dalam sendi-sendi dengan OA (Tabel 1). Protokol ini adalah didasarkan pada data praklinik yang menunjukkan suatu efek restoratif mengejutkan pada model-model khewan dengan kartilago rusak ketika TGF- β1 dikirimkan dalam suatu cara ex vivo menggunakan sulihan sel-sel alogenik atau bahkan xenogenik (85). Dalam percobaan pada manusia, sel-sel diradiasikan sebelum penginjeksiannya untuk mencegah pendivisian sel sehingga mengurangi risiko timbulnya kanker dari sel-sel aneuploid yang tertransduksi secara retrovirus ini. Sejauh ini, sebanyak 16 subjek telah diterapi dengan cara ini tanpa timbul insiden. Peningkatan level TGF- β1 belum pernah terobservasi dalam serum, namun dua subjek telah mengunjukkan dengan efusi sinovial. Delapan pasien di antaranya mengunjukkan perbaikan gejala, dan pengevaluasian lewat magnetic resonance imaging menunjukkan bukti adanya regenerasi kartilago.
Gout
Ketika kristal urat diinjeksikan ke dalam air pouches subkutan tikus, mereka menginduksi berbagai respon inflamasi dari tipe yang terlihat pada gout manusia. Pengiriman ex vivo prostsaglandin D synthetase memiliki efek antiinflamasi yang kuat, menyarankan bahwa hal ini dapat bekerja sebagai dasar bagi suatu pengobatan gen untuk arthopati terinduksi kristal (86). Suatu studi klinik kecil mengindikasikan bahwa IL-1Ra (Kineret) rekombinan memiliki suatu efek menguntungkan dalam gout manusia (87). Hal ini menyarankan suatu target klinis tambahan bagi berbagai terapi genetic, sebagaimana didiskusikan di atas, yang menggunakan IL-1Ra cDNA untuk mengobati RA dan OA.
Penyakit rematik lainnya
Sjögren syndrome
Sebagaimana halnya sendi-sendi diarthrodial, kelenjar liur merupakan discrete isolated structure yang memungkinkan untuk menerima transfer gen lokal. Vektor dapat diintroduksikan melalui suatu cannulated duct dan mencapai permukaan luminal sel-sel epitel. Oleh karena kelenjar liur adalah berkapsul tebal, maka risiko lepasnya vektor menuju organ nontarget adalah kecil. Banyak dari prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas dalam konteks RA juga dapat digunakan pada sindrom Sjögren (88).
Meskipun vektor-vektor adenovirus pentransfer gen ke kelenjear liur sangat efisien, AAV terbukti menjadi vektor pilihan oleh karena keamanannya dan noninflamasinya. Serotipe 2 dan 5 menjanjikan, dana efisiensinya telasha ditunjukkan dalam model-model khewan menggunakan IL-10 (89) dan peptida intestinal vasoaktif (90) sebagai produk-produk transgen. Oleh karena kelenjar liue memiliki suatu fungsi eksokrin, ia juga dapat digunakan sebagai suatu lokasi transfer gen bagi tujuan-tujuan pengiriman sistemik (91).
Lupus
Banyak dari strategi yang telah didiskusikan dalam konteknya dengan RA dapat juga diaplikasikan pada lupus. Tidak seperti terapi RA, terapi lupus tidaklah menunjukkan suatu penampilan dramatik dari pengintroduksian biologik. Terlebih lagi, karena lupus disertai dengan suatu peningkatan yang besar dalam mortalitas, rasio risiko – untungnya lebih cocok untuk terapi gen. Lupus diperkirakan menyangkut berlebihnya produksi sitokin-sitokin tipe 2, sehingga sejumlah penyelidik telah mengintroduksikan sitokin-sitokin tipe 1, seperti IL-2 dan IL-12. Hasil-hasil yang menggembirakan mengikuti penginjeksian plasmid-plasmid yang mengkode sitokin-sitokin ini intramuskuler pada model-model murine (92, 93). Penginjeksian plasmid yang mengkode suatu reseptor IFN- γ: Fc construct telah pula menjanjikan (94). Dalam beberapa eksperimen, efisiensi transfeksi telah ditingkatkan melalui elektroporasi, mengawali kepada efikasi dengan suatu cDNA yang mengkode suatu mutasi negatif dominan dari monocyte chemoattractant protein-1 (95). Teknik pendekatan pemvaksinasian DNA juga bermanfaat menggunakan suatu cDNA yang mengkode suatu consensus peptide dari berbagai imunoglobulin anti-DNA.
Penyelidik lainnya biasanya menggunakan adenovirus untuk mengirim imunoinhibitor PD-L1 reseptor, TACI (transmembran activator dan CAML [calcium modulator and cyclophylin ligand] interactor, suatu inhibitor B-lymphocyte stimulator [BlyS]), CTLA4, dan suatu bentuk yang dapat larut dari reseptor II TGF (96 – 99). CTLA4 dan CD40Ig telah juga dikirimkan dalam model-model khewan menggunakan AAV8 (100, 101). Sehingga kemudian data dari model-model khewan menyediakan sejumlah contoh terapi gen yang berhasil pada model-model murine dari lupus. Tantangannya adalah mentranslasikan semua ini ke dalam protokol-protokol pada manusia yang secara klinis berguna.
Antiphospholipid syndrome
Vaksinasi DNA telah digunakan untuk membangkitkan antibody terhadap TNF dengan suatu perbaikan ikutannya dalam suatu model khewan yang dengan sindrom antifosfolipid (102)
Ringkasan dan arah pemikiran ke depan
Selama dekade terakhir ini, setidaknya suatu kelompok kecil penyelidik dalam area terapi gen pada penyakit-penyakit reumatik telah mempertahankan suatu tulisan hasil-hasil luaran penelitian (gambar 1), mengawali kepada beberapa percobaan klinis fase I dan sebuah percobaan klinis fase II pada RA. Terdapat bukti-bukti akan adanya suatu respon klinis pada subjek-subjek tertentu, menyarankan bahwa perlunya dilakukan percobaan tambahan untuk memapankan efikasinya. Implementasi mereka belumlah terbantukan oleh mahalnya percobaan klinis. Lebih jauh, terdapat perhatian meluas akan keamanan, dan banyak pertanyaan sekitar pemakaian terapi gen untuk mengobati penyakit-penyakit nongenetik nonlethal. Perhatian ini diperbesar lagi oleh keberhasilan klinis dan komersiil dari terapi-terapi berdasar protein untuk RA. Setidaknya, biologis konvensional adalah sangat mahal, dan suatu terapi gen intraartikuler yang efektif yang hanya jarang sepertinya menjadi kurang berbiaya mahal.
Sebaliknya, OA, berrespon buruk terhadap pengobatan konvensional dan merupakan penyebab morbiditas yang semakin meningkat. Keinginan kuat mencari jalan yang lebih baik untuk mengontrol kondisi yang sering terjadi, sangat mengganggu aktifitas, dan berbiaya tinggi ini dapat menjadi cocok dengan berbagai protokol terapi gen yang sesuai dengan menggunakan vektor yang aman. Dua buah percobaan klinis yang menggali penggunaan terapi gen pada OA sedang berlangsung. Bila berhasil, mereka dapat mengawali penggunaannya pada manusia dan kedokteran khewan. Demikian juga bagi penyakit-penyakit reumatik lainnya. Teknologi transfer gen telah berkembang hingga ke titik di mana ia menjadi tidak terbatas bagi banyak tujuan. Meskipun demikian, terdapat suatu kebutuhan akan dukungan pendanaan, persistensi, dan kontinyuitasnya untuk membawa terapi gen ke dalam praktek klinik reumatologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar