Rabu, 23 Desember 2009

Pathogenesis Infeksi-Infeksi Biofilm Jaringan: Tantangan dan Kemajuannya

Biofilm jaringan hidup hingga kini masih belum jelas diketahui, utamanya akibat dari hasil-hasil penggunaan teknik-teknik pengambilan sampel mikroba tradisional atau pemrosesan histologik yang merusak ruang-ruang spasial dalam organisasi mikroorganisme-mikroorganisme jaringan. Jadi, sifat dasar biofilm dari infeksi-infeksi jaringan tertentu menjadi seringkali tanpa disengaja terlewatkan atau tidak diperhitungkan. Secara umumnya dapat dikatakan bahwa studi tentang biofilm-biofilm jaringan manusia adalah masih tetap dalam tahapan awal. Bagaimanapun, dengan apa yang telah dicapaikan oleh metodologi-metodologi yang lebih baru, seperti fluorescent in situ hybridization dan endoscopic confocal laser scanning microcopy, yang mengombinasikan identifikasi mikroba-mikroba dalam hubungan-hubungannya satu sama lainnya dan dengan substratum mereka secara in situ dan melalui penglihatan langsung, membuat biofilm jaringan lebih mudah untuk diteliti , dan, jadinya, peran mereka dalam infeksi-infeksi pada manusia menjadi lebih nyata. Tinjauan ini menyimpulkan berbagai tantangan dalam studi tentang biofilm jaringan berfokus proses inflamasi, mengusulkan dua hal dengan dua sisi yang walaupun saling berlawanan, yaitu: model-model pathogenetik dari infeksi-infeksi biofilm jaringan, dan saran-saran dari berbagai arah bagi penelitian-penelitian dan pendekatan-pendekatan pengobatan yang penting.

Biofilm Jaringan berimplikasi luas bagi Infeksi-infeksi Jaringan Tubuh Manusia

Istilah biofilm telah digunakan untuk menjelaskan satu komunitas mikroba terorganisasi sempurna yang terbenam dalam satu matriks ekstraseluler (ECM) polimerik dan kaya karbohidrat serta melekat ke satu permukaan mati atau permukaan hidup. Kebanyakan bakteri dan jamur menunjukkan secara dominan dalam komunitas terorganisir seperti itu di alam dan memicu lebih dari 80% infeksi-infeksi jaringan lunak dan keras manusia. Perkembangan biofilm berjalan dalam dua tahap utama, yaitu: pertama, perlekatan mikroba ke satu permukaan dan, kedua, perlekatan sel-ke-sel dengan formasi struktur multiseluler. Proses-proses ini adalah, sedikitnya sebagian daripadanya, dikontrol oleh molekul-molekul quorum-sensing yang disebut alarmones, yang merupakan molekul-molekul komunikasi interseluler diproduksi oleh bakteria dan jamur dan analog dengan sitokin yang diproduksi oleh sel-sel mamalia. Kriteria klinis yang diajukan bagi infeksi-infeksi biofilm jaringan adalah termasuk: gejala dan tanda infeksi pada pasien-pasien dengan hasil kultur negatif, kronisitas atau kekambuhan dengan exaserbasi dan remisi yang periodik, dan, berrespon minimal atau tidak samasekali terhadap antimikroba.

Biofilm Jaringan adalah susah untuk diselidiki

Terdapat satu kesepakatan umum di antara para ahli mikrobiologi bahwa studi organisme-organisme biofilm adalah jauh lebih sulit dibandingkan dengan studi tentang sel-sel planktonic (hidup sendiri-sendiri). Sebagaimana halnya dengan aturan yang berlaku, maka biofilm adalah lebih sulit untuk tumbuh in vitro, lebih sulit untuk dihitung menggunakan hitungan unit pembentuk koloni (coloni forming unit/CFU) atau metabolic assays, dan lebih sulit (kalau tidak takmungkin) untuk memeriksanya dengan transmisi tradisional mikroskop cahaya. Sebagai contoh, tanpa menggunakan teknik-teknik pemisah sel yang khusus, penghitungan berdasar CFU terhadap jumlah organisme-organisme biofilm akan sangat kurang dipercaya karena hasil yang ditunjukkannya adalah: dalam satu koloni per agregat, yang tentunya akan berlawanan dengan hasil bagi penghitungan berdasar CFU yaitu satu koloni per sel mikroba. Lebih lanjut, penggunaan metabolic assays, seperti misalnya assay 2,3-bis(2-methoxy-4-nitro-5-sulfophenyl)2H-tetrazolium-5-carboanilide (XTT) yang sering digunakan untuk mengekstrapolasi kepadatan sel dalam biofilm jamur, adalah penuh dengan kesulitan karena aktifitas metabolik sel dan jumlah sel adalah hanya berhubungan secara linier dalam masa-masa awal pertumbuhan biofilm. Berbagai kesulitan dalam studi biofilm yang tertera di atas menyangkut ke semua jenis biofilm tubuh manusia, baik biofilm jaringan maupun biofilm permukaan abiotik. Bagaimanapun, studi biofilm jaringan selanjutnya dipersulit oleh dua faktor. Pertama, berkaitan dengan sampel jaringan manusia, sulitnya pecarian infeksi pada model-model binatang atau model-model jaringan yang dibuat secara in vitro yang menyediakan substrat bagi pertumbuhan biofilm, adalah tidak selalu tersedia. Aksesibilitas ke sampel-sampel jaringan manusia yang buruk mungkin menjelaskan kenyataan bahwa, dibandingkan dengan biofilm jaringan manusia, biofilm jaringan pada binatang telah dapat dikarakterisasikan lebih baik. Kedua, sejak ketika jaringan dapat diambil sampelnya untuk studi, teknik-teknik preservasi jaringan haruslah mampu menghindarkan timbulnya distorsi biofilm. Karena ECM dengan kandungan mukopolisakarid umumnya mengalami kolaps setelah fiksasi dengan bahan dasar aldehid dan mengalami dehidrasi, spesimen-spesimen mungkin harus di simpan beku atau dipindahkan dalam satu cairan salin fisiologis segera untuk imejing. Beberapa peneliti menyarankan bahwa fiksasi jaringan dalam cairan Carnoy nonaqueous mampu mempertahankan lapisan mukopolisakarid. Namun begitu, bagaimanapun, berdasarkan fakta bahwa hidrofobisitas dan solubilitas ECM dapat bervariasi dalam biofilm bergantung pada substratum, yaitu dalam hal level pematangan atau tipe mikroorganismenya, fiksasi aldehid standar dapat berhasil digunakan dengan beberapa jenis biofilm sebelum pelaksanaan imejing.

Fluorescent in situ hybridization (FISH) adalah merupakan satu assay diagnostik molekuler yang terbukti baik, sering digunakan dalam laboratorium-laboratorium pathologi untuk mendeteksi dan membedakan antara mikroorganisme-mikroorganisme dalam potongan-potongan histologis. FISH dapat membedakan organisme dalam level spesies atau lebih tinggi (misalnya, genus, filum atau domain) dan memungkinkan secara bersamaan mengidentifikasi hingga tujuh spesies mikroba berbeda dalam satu sampel. Satu keterbatasan FISH adalah bahwa ia menggunakan probes bertarget ribosomal (r)RNA dan, jadinya, kesensitifitasannya terbatas oleh status metabolik mikroorganisme dalam biofilm jaringan, karena organisme-organisme yang inaktif secara metabolik adalah umumnya dipertimbangkan memiliki isi ribosomal seluler yang lebih rendah. Keterbatasan ini mungkin menjelaskan inaksesibiltas relatif dari probe FISH dalam daerah-daerah biofilm yang hening secara metabolik, yang padahal dapat diwarnai dengan baik dengan pewarna nuklir, seperti misalnya 4’-6-diamidino-2-phenyl-indole (DAPI). Bagaimanapun, aktifitas metabolik tidak berhubungan erat dengan isi ribosomal pada semua spesies mikroba, karena beberapa bakteri yang tumbuh lambat tetap mempertahankan isi ribosomal seluler yang tinggi, bahkan dalam kondisi aktifitas metabolik yang rendah. Untuk mendeteksi sel-sel yang aktif secara metabolik lebih akurat, probe-probe FISH oligo-nucleotide dapat disintesis yang berikatan ke regio-regio intergenic spacer dalam gen-gen rRNA, yang dengan cepat mengalami degradasi selama maturasi ribosom dalam bakteri. Jadi, probe-probe ini akan mendeteksi sel-sel yang hanya memroduksi rRNA baru (misalnya, sel-sel yang aktif secara metabolik) pada saat pengambilan sampel dilakukan. Karena pemrosesan histologis tradisional spesimen-spesimen jaringan untuk FISH memerlukan fiksasi dan sejumlah langkah pencucian yang tak diragukan lagi dapat menghilangkan atau merusak sejumlah bermakna biofilm, maka kombinasi FISH dengan confocal laser-scanning microscopy dari spesimen-spesimen segar atau beku mungkin menjadi lebih cocok dipakai dalam studi biofilm jaringan. Pada kenyataannya, kombinasi FISH dengan confocal imaging, diikuti oleh image analysis menggunakan perangkat lunak stereologik atau spatial statistic, terbukti menentukan teknologi-teknologi yang sebenarnya dalam pendeskripsian pola-pola dari lokalisasi spasial mikroorganisme yang bertumbuh dalam lingkungan biofilm, dan mungkin menemukan aplikasi-aplikasi yang sama dalam biofilm-biofilm jaringan.

Dalam situasi di mana dijumpai kesulitan dalam mengakses jaringan, maka teknologi yang lebih baru seperti misalnya laser-scanning confocal endoscopy, yang memungkinkan evaluasi mikroskopis dari jaringan hidup tanpa perlu untuk biopsi atau pemrosesan histologik, mungkin dapat digunakan bagi permasalahan ini. Meskipun one-photon excitation laser-scanning microscopy konvensional adalah umumnya cukup untuk analisis imej biofilm; two-photon excitation laser-scanning microscopy memungkinkan satu penetrasi yang lebih dalam ke biofilm jaringan dan penguatan resolusi. Akhirnya, atomic force microscopy yang merupakan satu teknik imejing sampel yang secara esensiil nondestruktif dengan kemampuan resolusi berskala nano (nanoscale), telah digunakan untuk studi sifat-sifat (properties) ultrastruktur dan nano-mekanik dari biofilm abiotik dan mungkin, akhirnya, menemukan beberapa aplikasi dalam studi biofilm-biofilm jaringan.

“Perburuan” terhadap ECM

Keberadaan satu ECM, atau glycocalyx, adalah dipertimbangkan menjadi penanda umum dari satu biofilm. Dalam kebanyakan biofilm yang dipelajari hingga kini, komposisi dan regulasi biosintetik dari ECM masih tetap menjadi tujuan penelitian yang sulit difahami dan mewakili “sisi gelap” dari biologi biofilm. Meski hanya bagian visualisasi dari ECM telah menjadikan problematika, namun sementara itu beberapa studi telah mempertimbangkan observasi mikroskopik dari “blebs” di bawah phase-contrast microscopy dan mewarnainya dengan pewarna-pewarna spesifik untuk karbohidrat, seperti Alcian blue, adalah sebagai bukti tak langsung bagi keberadaan ECM.

Bagian dari masalah dalam mengidentifikasi ECM biofilm jaringan in situ adalah kemampuan sensitifitasnya terhadap pemrosesan histologik standar, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan, sebagiannya lagi, adalah karena kenyataan bahwa kuantitas dan komposisinya dapat bervariasi pada banyak lokasi jaringan bergantung pada isyarat-isyarat lingkungan, berrentang dari ketersediaan nutrien hingga stimulus mekanik. Sebagai contoh, adalah telah diketahui jelas bahwa di bawah kondisi-kondisi statik, sintesis matriks oleh pathogen-patogen jaringan tertentu adalah minimal. Dengan demikian, secara keseluruhan, adalah tidak mengejutkan bahwa pembentukan biofilm adalah lebih suka terjadi pada lokasi jaringan dengan adanya aliran cairan atau motilitas jaringan. Sebagai tambahannya, komposisi dari ECM biofilm jaringan adalah sedemikian bawaannya yaitu lebih kompleks dibandingkan dengan biofilm-biofilm permukaan abiotik, berdasarkan terhadap fakta bahwa glikoprotein-glikoprotein, asam-asam nukleat dan sel-sel mungkin berpartisipasi dalam perkembangannya.

Untuk beberapa mikroorganisme bakteri dan jamur seperti, S. aureus, P. aeruginosa, atau Cryptococus neoformans, komposisi ECM mereka telah dapat dikarakterisasi dengan baik. Sebagai contoh, pada staphylococci, kandungan utama ECMnya adalah satu β-1,6-linked N-acetylglucosamine polymer, yang sintesisnya diregulasi oleh ica operon. Beberapa bakteri gram-negatif adalah dikenal menyekresi biosurfaktan lipid sebagai bagian dari matriks, yang mana memungkinkan biofilm mencair dan menggunakan substrat khusus itu agar menjadi tak dapat dicapai. Untuk pathogen lainnya, bukti taklangsung menampakkan bahwa cocoknya satu campuran khusus dari polisakarid dalam ECM. Sebagai contoh, sejumlah glukosa mendekati 20% dari berat kering polisakharid ekstraseluler dalam biofilm-biofilm Candida albicans, di mana mannose ditemukan dalam jumlahnya yang lebih sedikit. Tambahannya, biofilm-biofilm Candida adalah mudah dihancurkan oleh pengobatan dengan satu β-1,3-glucanase, yang menyarankan bahwa glukosa-lah yang membentuk satu polimer glukan extraselulernya. Dalam mendukung akan hal ini, satu protein glucan cross-linked telah menunjukkan bahwa ia penting dalam perkembangan biofilm dan data terakhir menyarankan bahwa ia mungkin “shed” dari dinding sel selama sintesis ECM. Telah dapat dikonfirmasikan keberadaan dari β-glucan dalam ECM dan telah pula mampu mengarakterisasi distribusinya di dalam satu jaringan secara in situ menggunakan satu double immunolabelling technique diikuti dengan confocal microscopy.

Biofilm Permukaan Abiotik dapat memberikan penjejakan (clues) bagi Biofilm Jaringan

Pembentukan biofilm pada permukaan abiotik dan permukaan jaringan nampaknya diatur melalui proses-proses yang sama dalam pathogen-pathogen jaringan tertentu. Sebagai contoh, kemampuan untuk otoagregat in vitro adalah secara positif dikaitkan dengan kemampuan pathogen-pathogen jaringan, seperti misalnya Streptococcus, Proteus dan Lactobacillus, untuk melekat ke epithel inang. Pembentukan biofilm pada satu jaringan oleh spesies Proteus ditandai oleh ekspresi fibriae yang mengawali terjadinya agregasi bakterial, yang mana terjadi sama sebagaimana pebentukan biofilm pada penutup gelas atau permukaan plastik. Hal yang sama, protein-protein permukaan yang spesifik dari Escherichia coli memungkinkan mikroorganisme ini untuk membentuk biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan epithel. Akhir-akhir ini, Candida alcohol dehydrogenase telah menunjukkan perannya dalam pembentukan biofilm, yang bekerja sebagai satu pengatur negatif baik dalam model-model jaringan maupun abiotik. Adalah juga jelas diketahui bahwa, pola-pola Streptococcus pneumonia gene-expression adalah hampir identik dalam biofilm jaringan dan biofilm abiotik, yang hal ini mempertimbangkan bahwa terdapat keberbedaan sangat besar dalam kondisi-kondisi pertumbuhan mikroba dari dua lokasi ini. Berdasarkan dari informasi ini, adalah beralasan untuk memerkirakan bahwa, setidaknya untuk beberapa pathogen, kemungkinan terdapat jalur-jalur pengaturan yang mengontrol pertumbuhan biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan jaringan. Dengan demikian, pengetahuan pada jalur-jalur pengaturan biofilm-biofilm biomaterial dapat menyediakan jejak-jejak penting sekitar biofilm jaringan.

Respon Inang dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan Lunak

Satu gambaran yang menonjol dari infeksi-infeksi jaringan permukaan yang ditandai oleh biofilm-biofilm jaringan adalah merupakan satu respon inflamasi dengan banyak sel, molekul dan gambaran histologik dari satu respon akut terhadap infeksi. Penanda umum histologik dari lesi-lesi superfisial ini termasuk destruksi bermediasi enzim hidrolitik dari cell junctions, lepasnya perlekatan keratinosit prematur dari satu dengan lainnya dan shedding (achantolysis), edema interseluler (spongiosis) dan, akhirnya, sejumlah besar netrofil menembus lapisan epithel dan masuk ke dalam kantong-kantong biofilm. Gambaran histopatologik lainnya termasuk nekrosis superfisial dan kantong-kantong ulserasi terpaket dengan komunitas mikroba yang mana, umumnya, tidaklah berpenetrasi dalam-dalam ke jaringan. Netrofil ada dalam jumlah banyak di dalam biofilm-biofilm jaringan manusia secara in vivo. Apakah mereka menjadi secara aktif direkrut oleh inang atau oleh protein-protein mikroba, hingga saat ini belum diketahui jawabannya. Tambahannya, aktifasi fungsional mereka dan status fagositiknya di dalam biofilm nampaknya bervariasi, dengan fagositosis aktif terdeteksi berada di dalam biofilm-biofilm dari spesies-spesies bakteri tertentu namun tidak pada yang lainnya.

Pathogenesis dari Infeksi-Infeksi Biofilm Jaringan

Meskipun biofilm-biofilm telah dapat terdeteksi pada banyak lokasi-lokasi jaringan, kemampuan mereka memicu penyakit pada manusia masih tetap menjadi satu masalah untuk penelitian-penelitian aktif. Dari banyak hal yang telah diketahui, yaitu bahwa jaringan di bawah biofilm masih tetap utuh dan tidak diinvasi oleh mikroorganisme, menunjukkan bahwa kemungkinan pembentukan biofilm merupakan hal sekunder terhadap satu respon imun menyimpang terhadap self-antigent, adalah masih ada. Memang, adalah masuk akal bahwa pelepasan nutrien dari lisisnya sel-sel epitel yang terdorong secara imunologis mungkin mendorong pertumbuhan biofilm mikroorganisme. Lebih lanjut, pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi secara lokal dapat bekerja sebagai faktor-faktor pertumbuhan spesifik bagi biofilm. Jadi, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan terbentuk sebagai satu konsekuensi dari inflamasi, terpicu awalnya oleh stimuli yang takterkait biofilm.

Bagaimanapun, studi-studi mikroskopik lainnya telah menunjukkan bahwa biofilm-biofilm kolonik adalah biasanya dihubungkan dengan arsitektur jaringan abnormal secara histologis dan, jadinya, mungkin menginisiasi kerusakan jaringan lokal. Dengan demikian, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan menyediakan satu lingkungan perlindungan bagi mikroorganisme dari mekanisme pertahanan bawaan, yang mana mungkin mendorong persistensi dan, akhirnya, invasi mereka ke dalam jaringan inang, kemudian memicu kerusakan jaringan langsung. Faktanya, kemampuan dari pathogen-pathogen tertentu untuk membentuk biofilm jaringan lunak mungkin menunjukkan kemampuan mereka untuk menginvasi dan mendestruksi jaringan lunak. Satu hubungan dekat antara pembentukan biofilm dan invasi jaringan adalah juga menyarankan dengan kuat untuk pathogen seperti ini melalui data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan invasif dan perkembangan biofilm diatur oleh jalur-jalur pe-sinyalan umum.

Usulan Pathogenesis Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan berfokus Reaksi Inflamasi

Dua model pathogenesis berfokus inflamasi dari infeksi-infeksi biofilm jaringan diajukan dalam bagian tulisan berikut di bawah ini, yang mungkin dapat membantu menjelaskan potensialitas dari luasnya peranan biofilm-biofilm jaringan dalam penyakit-penyakit pada manusia. Besarnya kemungkinan dari salah satu dari dua skema pathogenetik dimaksud mungkin bergantung pada karakteristik-karakteristik lokasi jaringan, seperti tipe jaringan dan fungsi khusus yang dimilikinya, dan pada karakteristik virulensi mikroorganisme atau, lebih miripnya, pada keduanya sekaligus.

Biofilm Jaringan dapat memicu Respon Proinflamasi berlebih yang mengawali Kerusakan Jaringan Inang Taklangsung

Akhir-akhir ini telah dihipotesiskan bahwa kerusakan jaringan permukaan akibat dari biofilm utamanya adalah dari satu imun menyimpang dan respon infamasi terhadap agregat mikroba, daripada kerusakan langsung dari enzim-enzim hidrolitik mikroba. Faktanya, telah diketahui bahwa, netrofil menyumbang bagi patologi paru terinduksi Pseudomonas melalui penggunaan berlebihan sekret arsenal toksik mereka seperti agen-agen oksidatif yang, meskipun menargetkannya bagi perlawanan terhadap biofilm bakteri, adalah malah merusak jaringan inang karena adanya aksi penamengan bakteri (bacteria-shielding) dari ECM. Adalah juga telah diusulkan bahwa, mesin pembangkit yang mendorong eksudat inflamasi khronik (otorrhea) pada otitis media khronik adalah biofilm bakteri. Bagaimanapun, bukanlah berbagai mekanisme oleh biofilm-biofilm jaringan mana yang memengaruhi perkembangan kejadian-kejadian inflamasi, demikian juga bukanlah perubahan-perubahan khusus penyakit (disease-spesific) dalam komunitas-komunitas biofilm yang telah menentukan infeksi-infeksi biofilm jaringan ini.

Biofilm Jaringan mungkin me-block Respon Inflamasi Awal Inang yang mengawali Sel Imun bawaan mengalami Paralysis & mendorong Pertumbuhan Biofilm & Invasi Jaringan

Peran penting sitokin-sitokin proinflamasi dalam pertahanan inang melawan banyak pathogen-pathogen jaringan telah secara tegas ditunjukkan dalam sejumlah studi-studi in vitro dan binatang. Sitokin-sitokin proinflamasi adalah diperlukan untuk memulaikan pengaturan (upregulation) sejumlah reseptor-reseptor pengenalan pola mikroba (microbial pattern-recognition receptors) dalam sel-sel imun bawaan, seperti juga untuk aktifasi kebanyakan fungsi-fungsi mikrobisidal. Berdasar model pathogenesis ini, komponen-komponen biofilm mungkin melemahkan respon inflamasi jaringan terhadap infeksi dan mengganggu fungsi fagositik sel, menyediakan satu keuntungan pertumbuhan awal dari biofilm organisme.

Dilaporkan bahwa biofilm H. influenza ditandai oleh level-level tinggi permukaan sel terkait dengan lipooligosaccharides berkandungan phosphorylcholine, dengan penurunan potensi sebagai agonis inflamasi selama masa awal infeksi, sehingga memungkinkan perkembangan yang stabil dari komunitas biofilm. Hal yang sama, biofilm-biofilm C. albicans menunjukkan adanya penurunan regulasi dari sekresi kebanyakan sitokin-sitokin proinflamasi oleh sel-sel mononuklear darah perifer, dan penambahan sel-sel ini ke biofilm memiliki satu efek stimulasi, daripada efek penghambatan, pada pertumbuhan biofilm secara in vitro. Akhirnya, adalah diusulkan bahwa, meski sitokin-sitokin proinflamasi tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen biofilm, sitokin-sitokin anti-inflamasi, seperti misalnya IL-10 dan TGF-B, mungkin secara substansiil akan terstimulasi. Sebagai contoh, untuk sitokin-sitokin seperti itu dapat diinduksi oleh polisakarid-polisakarid kapsuler C. neoformans. Secara potensiil, polisakarid-polisakarid ini adalah sangat penting bagi pathogenesis biofilm dalam infeksi-infeksi, karena sekresi mereka mendorong perkembangan biofilm.

Tantangan Pengobatan dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan

Uji suseptibilitas antimikroba dari model-model biofilm in vitro telah menunjukkan tingkat kemampuan hidup bakteri setelah pengobatan dengan konsentrasi 100 – 1000 kali MIC bagi bakteri dalam satu kultur suspensi. Bermacam jenis mekanisme pertahanan antimikroba telah ditunjukkan memainkan satu peran dalam fenotip biofilm ini pada banyak mikroorganisme. Mekanisme-mekanisme ini adalah termasuk inaktifasi dari antimikroba oleh ECM lewat reaktifitas atau adsorpsi, meningkatkan produksi enzim-enzim penghancur antimikroba, meningkatkan respon-respon stres terinduksikan densitas tinggi (high-density-induced stress responses), menurunkan angka pertumbuhan, memfasilitasi transfer gen plasmid dan menginduksi gen-gen pemompaan keluar jenis obat berganda (multidrug efflux-pump). Semua dari mekanisme-mekanisme ini adalah dipertimbangkan sebagai bagian dari satu fenotip biofilm-specific, yang mana adalah diinduksi dalam satu subpopulasi dari komunitas multiseluler oleh faktor-faktor terkait biofilm, seperti misalnya stres-stres lingkungan yang bergantung pembatasan nutrien dan bergantung densitas (nutrient limitation and density-dependent environmental stresses). Sejumlah studi telah juga menyarankan bahwa jumlah organisme-organisme resisten di dalam satu biofilm mungkin adalah kecil saja selama pemaparan awal dengan antibiotika, namun dengan pengulangan pemaparan tersebut terhadap klas antimikroba yang sama secara cepat mengarahkan sel-sel yang resisten untuk kembali melipatgandakan (repopulate) biofilm. Hasil akhirnya adalah, terjadinya perkembangan dari generasi kedua atau ketiga biofilm-biofilm, yang adalah jauh lebih resisten dibandingkan dengan biofilm awal. Secara klinis, hal ini berimplikasi bahwa pengobatan-pengobatan antimikroba tradisional yang menargetkan sel-sel mikroba tunggal di dalam biofilm-biofilm akan tidak pernah menjadi dapat mengeliminasikannya. Hal ini mungkin juga benar adanya bagi banyak pendekatan teraputik nontradisional, seperti misalnya radiasi sitosidal berwahanakan antibodi (antibody-delivered cytocidal radiation), karena bahkan dengan pendekatan-pendekatan ini adalah tidak sepenuhnya mampu mengeradikasi biofilm dan mungkin mengantagonis berbagai efek obat-obat anti jamur tradisional.

Dengan demikian, telah disarankan bahwa, terapi-terapi antibiofilm yang menargetkan keseluruhan biofilm sebagai satu organisme multiseluler kompleks atau pencegahan yang unik bagi proses-proses biofilm-specific, adalah dibutuhkan untuk melawan infeksi-infeksi biofilm. Berbagai arah dalam terapi di masa depan dapat termasuk sintesis kimia dan penggunaan molekul-molekul quorum-sensing untuk mencegah perlekatan sel mikroba dengan inang dan sel mikroba dengan sel mikroba lainnya., atau mendorong pelepasan perlekatan sel dari jaringan atau bifilm-biofilm. Sejak diketahuinya beberapa molekul quorum-sensing (alarmones) memainkan satu peran dalam memancing sel-sel (priming cells) untuk berresistensi terhadap antimikroba, pengunaan inhibitor-inhibitor untuk sintesis atau aktifitas molekul-molekul ini dapat digunakan dalam mengubah biofilm menjadi lebih resisten terhadap antimikroba konvensional. Berbagai pendekatan potensiil lainnya adalah termasuk penemuan inhibitor-inhibitor dari biosintesis ECM atau mengembangkan strategi-strategi untuk mendorong probiotik biofilm yang menghalangi perkembangan biofilm-biofilm pathogenik. Sebagai tambahannya, kombinasi pengiriman secara lokal teraputik-teraputik proinflamasi berbasis sitokin dengan berwahanakan obat-obat antimikroba tradisional mungkin dapat menjadi satu pendekatan yang beralasan bagi pengobatan di masa depan. Sebagai contoh, agen-agen yang mendorong invasi sel-sel fagositik ke dalam biofilm, dalam kombinasinya dengan obat-obat pengurang glycocalyx, mungkin dapat meningkatkan keefektifitasan pengobatan infeksi-infeksi jaringan terkait biofilm. Sejalan dengan hal ini pula, efek-efek menguntungkan dari satu cairan pembersih berbasis granulocyte-macrophage colony-stimulating factor juga dapat digunakan.

Selasa, 01 Desember 2009

Perkembangan Mutakhir Teknologi & Teknik Bedah Tulang Belakang (II): Vertebra Lumbal

PENYAKIT VERTEBRA LUMBAL

Pengelolaan di bidang bedah untuk masalah-masalah vertebra lumbal juga banyak mengalami kemajuan, di mana di antaranya meningkatnya penggunaan teknik bedah invasif minimal (mis. IDET [intradiscal electrothermal therapy]); augmentasi korpus vertebra (mis. kifoplasti, vertebroplasti); berbagai pengganti bahan sulihan tulang dan ekstender (mis. DBM, BMP); dan yang paling mutakhir adalah penggantian diskus lumbal total.

Degenerasi Diskus Lumbal

Degenerasi diskus lumbal dapat merupakan diagnosis yang sulit, sebagian karena terdapat silang pendapat sekitar beberapa masalah dalam penggunaan modalitas diagnostik (mis. diskografi). Pengelolaan awal haruslah berupa tindakan konservatif; yang bilamana gagal, tindakan yang lebih agresif dapat dicarikan. Terhadap kasus-kasus yang refrakter terhadap terapi konservatif, maka beberapa variasi teknik penanganan di bidang bedah dapat digunakan.

Teknik IDET merupakan prosedur bedah yang telah dikembangkan secara poliklinis dan bersifat invasif minimal dan digunakan beberapa tahun belakangan untuk menangani pasien-pasien dengan nyeri punggung bawah kronik yang disebabkan oleh disrupsi diskus intervertebra (mis. robeknya annulus, herniasi diskus minimal). Satu probe pemanas kecil secara perkutan diinsersikan ke dalam diskus dan melalui alat bantu navigasi fluoroskopi ditujukan langsung pada bagian-bagian robeknya annulus yang secara potensial menimbulkan rasa nyeri. Alat kemudian dipanaskan hingga dicapai suhu yang diharapkan untuk mendapatkan denaturasi kolagen, elaborasi serat-serat nosiseptif, dan memodulasi proses inflamasi. Dalam satu percobaan yang dilakukan secara acak prospektif oleh Pauza dkk mendapatkan lebih dari 75% nyeri berkurang pada 50% populasi pasien setelah dilakukan IDET. Freedman dkk dan Saal & Saal melaporkan satu angka kegagalan sebesar 50% pada pasien penerima terapi IDET saat 2 tahun mereka diikuti. Secara umum, IDET dapat digunakan pada pasien-pasien tertentu yang dengan nyeri menetap akibat disrupsi diskus internal setelah gagal dalam terapi konservatif sedikitnya dalam waktu 6 bulan.

Fusi spinal dapat juga digunakan untuk mengobati degenerasi diskus lumbal. Meskipun banyak teknik fusi yang baru telah dikembangkan, seperti fusi sirkumferensial 360º, posterior lumbar interbody fusion (PLIF), anterior lumbar interbody fusion (ALIF), namun Kelompok Studi Swedia untuk Vertebra Lumbal tidak menemukan salah satu teknik tersebut yang lebih baik secara bermakna dibanding teknik lainnya. Teknik manapun yang digunakan akan memiliki kesamaan dalam tujuan dasar yang ingin dicapai yakni mendapatkan fusi tulang yang solid antar vertebra yang dituju. Fusi dimaksud dicapai melalui penyulihan tulang dan / atau pencangkokan bone extender dan berbagai pengganti tulang pada vertebra baik melalui satu teknik pendekatan anterior (interbodi saja) dan / atau pendekatan posterior (interbodi dan intertransvers) dengan atau tanpa menggunakan implan. Melakukan fusi vertebra bertujuan mengurangi nyeri punggung bawah melalui pengurangan gerakan pada satu segmen gerak vertebra penimbul nyeri. Sayangnya, tindakan fusi membawa satu peningkatan risiko timbulnya degenerasi vertebra sebelah menyebelahnya dan mungkin akan membutuhkan intervensi bedah kembali di kemudian hari. Berdasarkan studi lainnya yang lebih besar dan terdisain baik oleh Kelompok Studi Swedia untuk Vertebra Lumbal, saat 2 tahun setelah fusi lumbal, 63% pasien melaporkan hasil yang baik atau memuaskan dalam hal pengurangan nyeri, angka ketunaan, peningkatan fungsi umum, dan percepatan kembali kerja.

Prosedur yang terbukti sukses tersebut di atas, dapat terdiri dari beberapa teknik pendekatan atau terapi, termasuk di dalamnya melalui pendekatan anterior saja, posterior saja, atau kombinasi pendekatan anterior-posterior. Prosedur dapat dilakukan dengan atau tanpa instrumentasi. Dengan pendekatan instrumentasi, berbagai implan interbodi atau screw dan rod pedikel dapat digunakan. Sulihan tulang bersumber orang lain ataupun dari diri sendiri, DBM, BMP, merupakan pilihan-pilihan yang tersedia, di mana penggunaannya secara khusus tergantung dari pengalaman atau pendidikan masing-masing ahli bedahnya. Dengan begitu banyak pilihan, adalah sulit untuk menentukan teknik pendekatan pilihan fusi mana yang paling baik. Hingga kini masih disepakati bahwa iliac crest bone graft (ICBG) merupakan baku emas untuk fusi. Bila jumlah tulang sulihan diperkirakan tidak mencukupi, maka dapat diaugmentasikan baik dengan DBM ataupun BMP. Meskipun masih kurangnya studi-studi baru yang membuktikan efikasi bahan pengganti sulihan tulang, di masa datang produk-produk tersebut mungkin akan mengurangi penggunaan ICBG dan komplikasi potensialnya dan nyeri pascaoperasinya.

Dibandingkan dengan pelaksanaan prosedur terbuka klasik, teknik pendekatan laparoskopik pada vertebra lumbal semakin meningkat penggunaannya utamanya karena dapat mengurangi nyeri pascaoperatif, lama waktu rawat inap, dan berkurangnya kehilangan darah. Meskipun terdapat banyak keuntungan potensial dari pembedahan laparoskopik, beberapa peneliti melaporkan penggunaan obat bius pascaoperasi yang sama, biaya rawat inap yang meningkat, dan lebih banyak komplikasi intraoperatif, termasuk ejakulasi retrograd.

Teknik penggantian diskus intervertebra lumbal semakin banyak digunakan sebagai satu pilihan terapi bagi penyakit degeneratif diskus. Prosedur ini telah secara ekstensif digunakan di Eropa dan saat ini pemakaiannya telah diijinkan di Amerika Serikat. Di seluruh dunia, penelitian-penelitian klinis yang mendukung efikasinya telah semakin banyak. Penggantian diskus intervertebra lumbal secara prinsip adalah sama sebagaimana halnya dengan penggantian sendi lain dalam hal bahwa sendi yang rusak dan menimbulkan nyeri dibuang dan digantikan dengan sendi artifisial yang dapat bergerak. Pada vertebra lumbal, tujuannya adalah membuang diskus yang rusak dan yang menimbulkan nyeri dan menggantikannya dengan satu implan berbahan metal-plastik yang didesain untuk dapat menyediakan adanya gerakan yang sama sebagaimana oleh diskus normal.

Keuntungan teoritis penggantian diskus lumbal, dibandingkan dengan fusi lumbal, adalah dua kalinya. Pertama, diskus yang diganti memungkinkan dan mempertahankan gerakan pada level degenerasi. Kedua, alat pengganti menurunkan penjalaran stres ke level menyebelah yang secara potensial mencegah timbulnya percepatan degenerasi segmental. Jadi tujuannya adalah sama dengan fusi spinal dalam mereduksi nyeri dan mereduksi berbagai komplikasi potensial jangka panjang. Meskipun telah digunakan secara ekstensif di Eropa, kemajuan yang menjanjikan bagi pasien-pasien LBP ini masih memerlukan banyak perhatian khusus termasuk: implan berpotensi berubah posisi, wear debris, dan kebutuhan akan adanya bedah revisi di belakang hari. McAfee dkk memelopori studi prospektif acak dan memaparkan adanya kemajuan dalam banyak pengukuran hasil luaran fungsional dengan arthroplasti diskus yang terutama digunakan untuk mengobati nyeri punggung mekanik dan mencapai keberhasilan dibandingkan dengan apa yang dihasilkan melalui tindakan fusi interbodi lumbal dengan cage dan BMP atau interbodi dengan sulihan tulang sendiri dan instrumental screw.

Alternatif lain dari fusi spinal untuk pengobatan penyakit degenerasi diskus adalah penggunaan peralatan implan yang dapat tetap mempertahankan gerakan daerah posterior. Satu peralatan implan tersebut, sebagai contoh, Dysnesys dynamic stabilization system (Zimmer Spine, Minneapolis, Minn) saat ini telah mendapatkan ijin pemakaiannya dari FDA di Amerika Serikat. Dysnesys merupakan pilihan atraktif oleh karena ia dapat mempertahankan gerakan fisiologis vertebra lebih baik daripada tindakan fusi sementara ia tetap dapat mempertahankan stabilitas.

Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal

Kifoplasti dan vertebroplasti merupakan prosedur bedah perkutan invasif minimal yang digunakan dalam penanganan fraktur kompresi korpus vertebra akibat osteoporosis atau tumor. Tujuan dari kedua prosedur adalah sebagai penyedia stabilitas korpus guna mengurangi nyeri yang disebabkan oleh fraktur. Stabilitas dicapai melalui penempatan berbagai material seperti polimetilmetakrilat (PMA) atau semen tulang ke dalam korpus vertebra melalui satu kanula. Tulang korpus distabilisasi, yang mana pula kadang sebagian dari hilangnya tinggi korpus akibat fraktur kompresi dapat dikembalikan. Telah dilaporkan bahwa 67 – 100% pasien mengalami perbaikan nyeri mulai tingkat baik hingga sangat baik segera setelah selesai prosedur. Tinggi korpus sebagian dapat dipertahankan pada sebagian besar pasien. Komplikasi yang jarang terjadi melalui prosedur ini adalah seperti ekstrusi semen masuk ke dalam sistim vena dalam kanal spinal yang secara potensial dapat menimbulkan berbagai keadaan yang membahayakan.

BAHAN PENGGANTI SULIHAN TULANG

Fusi spinal tetap merupakan satu cara tersering digunakan dalam mendapatkan stabilitas dan penurunan nyeri dalam bedah tulang belakang. Berbagai metoda dalam mendapatkan fusi yang adekuat adalah seperti dekortikasi tulang inang dan peletakan material sulihan. Tulang otolog tetap merupakan baku emas untuk prosedur fusi spinal yang memiliki tiga buah kemampuan penting yaitu: sebagai sumber sel-sel osteogenik, memiliki struktur osteokonduktif, dan matriks osteoinduktif yang membantu dalam efektifitas penyembuhan tulang mengawali suatu fusi yang solid. Namun, bagaimanapun, pengambilan tulang otolog memiliki satu angka morbiditas yang tinggi pada lokasi donor dan menambah lama waktu operasi. Jadi, untuk pengaplikasiannya dalam bedah tulang belakang, usaha-usaha yang intensif telah diarahkan menuju pengembangan bahan-bahan alternatif seperti DBM, BMP guna mengganti atau menambah tulang otolog.

DBM telah tersedia sedikitnya dalam 10 tahun terakhir ini dan merupakan bentuk allograft terproses yang popular. DBM tersedia melalui proses menggunakan teknik ekstraksi asam yang menghasilkan dekalsifikasi tulang kortikal, meninggalkan kolagen, protein-protein nonkolagen, dan berbagai faktor pertumbuhan. Ia dapat diproses menjadi bentuk putty, gel, atau sebentuk lembaran fleksibel, dan dapat digunakan bersamaan dengan sulihan tulang otolog dalam satu komposit fusi spinal. Ia lebih banyak bersifat osteoinduktif dan osteokonduktif dan tidak digunakan secara sendiri-sendiri. DBM merupakan ekstender sulihan tulang (bukan merupakan pengganti) dan penggunaannya diperuntukkan bagi usaha mendapatkan angka fusi yang lebih tinggi dengan sulihan tulang otolog yang lebih sedikit.

Belakangan ini telah dijumpai ledakan dalam jumlah penelitian ilmiah dasar dan berbagai aplikasi klinis faktor-faktor pertumbuhan rekombinan asal manusia atau BMP. Boden dkk telah menunjukkan adanya peningkatan angka fusi melalui penggunaan BMP asal sapi (100%) dibanding dengan sulihan otolog (62%) dalam satu model fusi intertransvers posterolateral kelinci. BMP-2 dan OP-1 (BMP-7) telah menunjukkan dapat menginduksi dan membentuk pertumbuhan tulang baru, dan banyak produk-produk lain sedang diujikan. Telah dilakukan uji pada khewan secara ekstensif, dan pecobaannya pada manusia sedang dilaksanakan. BMP-2 telah digunakan dan diletakkan ke dalam cangkang fusi interbodi berbahan titanium dengan hasil yang memuaskan (fusi solid didapat pada keseluruhan dari 11 pasien dalam satu studi perdana). Meskipun banyak hasil menunjukkan hal positif dan mungkin dapat mengurangi kebutuhan akan pengambilan sulihan tulang otolog, adalah penting untuk dicatat bahwa penggunaan BMP akan menambah biaya dari prosedur fusinya sendiri yang memang telah mahal. Sebelum pemakaiannya dipergunakan dalam komunitas tulang belakang, maka BMP haruslah telah terbukti efektif dari segi pembiayaan. Pengembangan dari pengganti sulihan tulang dan ekstendernya merupakan satu di antara wilayah penelitian yang paling bergairah dan diselidiki dalam bedah tulang belakang.

Perkembangan Mutakhir Teknologi & Teknik Bedah Tulang Belakang (I) : Servikal

Degenerasi Diskus Vertebra Servikal

Degenerasi diskus servikal, yang kejadiannya lebih jarang dibanding degenerasi diskus lumbal, sering mengakibatkan nyeri leher kronik. Terapi konservatif menggunakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), steroid, tirah baring, dan traksi leher haruslah mula-mula dilakukan, karena hasil luaran tindakan bedah untuk nyeri leher kurang dapat dipastikan keberhasilannya dan bila memungkinkan harus dihindarkan. Setelah dijalankannya penanganan konservatif dan dengan hasil yang tidak memuaskan, maka kemungkinan dijalankannya penanganan jenis lainnya harus dicarikan. Di samping fusi spinal, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya dalam penanganan penyakit degenerasi diskus servikal.

Penggantian diskus intervertebra servikal, yang dalam beberapa hal telah menunjukkan keberhasilan, kepopulerannya telah semakin meningkat. Prosedur ini memiliki riwayat yang lebih lama di Eropa, namun beberapa percobaan sedang dilaksanakan di banyak pusat-pusat penelitian di Amerika Serikat. Diskus artifisial servikal pertama [Medtronic’s Prestige disc] untuk pengobatan degenerasi diskus servikal telah diijinkan penggunaannya oleh FDA pada bulan Juli tahun 2007. Sebagaimana halnya dengan penggantian diskus intervertebra lumbal, tujuan dari prosedur adalah untuk mempertahankan keberlangsungan gerakan vertebra servikal dari pada melaksanakan diskektomi dan fusi anterior servikal (ACDF) yang dapat memperbesar kemungkinan mengurangi gerakan dan mempercepat degenerasi servikal sebelah menyebelahnya. McAfee dkk melaporkan bahwa, 67% pasien mengalami degenerasi pada level vertebra servikal sebelah menyebelahnya setelah prosedur ACDF; dan 10% di antara pasien tersebut memerlukan satu prosedur bedah kedua terhadap vertebra level sebelahnya. Penggantian diskus intervertebra servikal memiliki satu keuntungan atas ACDF karena prosedur tersebut dapat mempertahankan gerakan dan kinetamatik normal antar 2 vertebra. Uji biomekanik yang dikerjakan oleh Goffin dkk menunjukkan dapat dipertahankannya luas gerak sendi (LGS) pada level implan melalui pelaksanaan teknik tersebut. Dalam studi follow-up 2 tahun, Bryan menunjukkan hasil dengan tingkat baik hingga memuaskan pada sebagian terbesar pasien baik secara radiografi maupun klinis, dan Goffin dkk mendapatkan 64% dengan hasil baik hingga memuaskan. Juga peneliti ini melaporkan bahwa, pada sejumlah kecil pasien, adanya fusi spontan terjadi pada level penggantian dengan hasil yang sama-sama baik. Sayangnya, juga dilaporkan terjadinya kegagalan, meskipun jarang, berupa dislokasi implan. Dislokasinya ke anterior dapat menyebabkan gangguan proses menelan dan obstruksi jalan nafas. Dislokasinya ke posterior ke dalam kanal spinal dapat juga terjadi yang menimbulkan paralisis dan bahkan kematian. Tambahannya, kemungkinan timbulnya wear debris jangka panjang dan osteolisis diikuti kegagalan implan yang sama sebagaimana pada penggantian sendi (panggul, dan lutut) tetap memerlukan satu perhatian besar. Meskipun penggantian diskus vertebra servikal dapat memberikan hasil baik hingga memuaskan dalam jangka waktu lama, prosedur yang digantikannya, yaitu ACDF level tunggal, memiliki angka keberhasilan sebesar 97%. Dengan demikian, sebelum teknologi penggantian diskus servikal diperkenalkan, satu percobaan klinis dengan desain yang baik haruslah dapat menunjukkan bahwa hasil-hasil dari penggunaan prosedur yang lebih baru adalah lebih unggul dari, atau setidaknya sama baiknya dengan prosedur yang telah mengalami sukses besar berjangka lama dengan memiliki catatan yang memuaskan.

Dari vertebra servikal, telah terdapat banyak niatan dalam usaha-usaha penciptaan peralatan perangkat keras fusi yang dapat diserap oleh korpus vertebra. ACDF merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada vertebra servikal. Saat pelaksanaan prosedur ini, banyak ahli bedah juga mengaplikasikan plat metal dan screw untuk mendapatkan stabilitas sesegera mungkin pada konstruksinya dengan harapan meningkatkan angka fusi dan menurunkan angka penggunaan alat bantu eksternal pascaoperatif seperti hallo vest atau collar. Ketika fusi tulang telah terjadi, implan tidak lagi berfungsi. Seperti telah diketahui, implan yang ditanam dalam tubuh menimbulkan peningkatan level ion metal tersebut pada serum dan urin. Efek jangka panjang ion yang bersirkulasi telah dapat ditentukan dan diketahui dengan pasti. Implan-implan baru sedang didesain dengan menggunakan bahan-bahan dari material terserapkan secara biologis. Berbagai screw servikal anterior terbuat dari hidroksiapatit dan kalsium-fosfat, dan plat terbuat dari poly (L-lactic acid) mesh telah banyak dipilih dari pada implan-implan klasik dari bahan titanium dan baja. Implan-implan terserapkan tersebut mampu menyediakan cukup stabilitas untuk meningkatkan angka fusi. Kehancuran dan resorpsi produk terjadi setelah 6 minggu, saat mana fusi tulang dengan autograft telah terjadi. Kuribayashi dan Matsuda dan Vaccaro dkk melakukan analisis retrospektif terhadap implan-implan terserapkan tersebut. Angka fusi terjadi bervariasi antara 71% - 77% pada satu tahun. Studi-studi tersebut menyarankan bahwa jenis implan seperti itu adalah menjanjikan.

Myelopati pada spondilosis servikalis

Laminoplasti sebagai satu jenis pilihan penanganan bedah untuk spondilosis servikal disertai dengan myelopati adalah merupakan alternatif dari tindakan laminektomi saja atau yang disertai dengan fusi. Laminoplasti servikal, yang merupakan satu jenis operasi ekspansif-kanal-spinal tanpa fusi, dilakukan dengan harapan dapat lebih mempertahankan gerakan servikal, telah dikembangkan di Jepang untuk mengurangi tingginya insiden deformitas kifotik pascalaminektomi melalui pengerjaan laminektomi saja. Ratliff dan Cooper, melalui analisis meta terhadap literatur-literatur berbahasa Inggris seputar laminoplasti, meneliti ulang sebanyak 71 laporan yang menyangkut lebih dari 2000 pasien. Mereka menetapkan hasil luaran neurologis, perubahan LGS, perkembangan deformitas spinal, dan komplikasi. Semua studi adalah retrospektif, tanpa kontrol, seri kasus yang tak acak. Empat puluh satu dari 71 seri menyediakan data angka kesembuhan pascaoperatif dengan memakai skala dari Japanese Orthopaedic Association Scale dalam menentukan myelopati. Rerata angka kesembuhan adalah 55% (bervariasi, 20% - 80%). Pemilik dari 23 tulisan menyediakan data persentase perbaikan pasien (rerata, -80%). Tidak terdapat perbedaan hasil luaran neurologis berdasarkan atas perbedaan teknik laminoplasti atau bila laminoplasti dibandingkan dengan laminektomi. Terdapat perburukan pascalaminoplasti dalam hal alignment servikal pada sedikitnya 35% pasien dan dengan berkembangnya kifosis pascaoperatif pada sedikitnya 10% pasien yang dilakukan follow-up review jangka panjang. Terjadi penurunan LGS servikal secara substansial setelah laminoplasti (rerata penurunan, 50%; rentangan: 17% - 80%). Para peneliti yang melakukan follow-up jangka panjang menemukan adanya kehilangan LGS servikal progresif, dan LGS akhir adalah sama seperti halnya terlihat pada pasien yang telah menjalani laminektomi dan fusi. Pada review mereka terhadap literatur laminektomi, para penelitinya tidak dapat mengonfirmasi bahwa keberadaan membran pascalaminektomi menyebabkan deteriorasi fungsi neurologis bermakna secara klinis. Komplikasi pascaoperatif berbeda di antara seri kasus. Hanya dalam 7 artikel para penulisnya dengan jelas melakukan quantifikasi angka dari nyeri leher aksial pascaoperatif (rentangan, 6% - 60%). Dua belas artikel di antaranya melaporkan disfungsi akar syaraf C5, di mana komplikasi ini timbul pada sedikitnya 8% pasien. Tulisan menyimpulkan bahwa literatur telah mendukung berbagai keuntungan laminoplasti. Hasil luaran neurologis dan perubahan dalam alignment spinal adalah sama setelah laminektomi dan laminoplasti. Pasien-pasien yang menjalani laminoplasti mengalami limitasi LGS servikal progresif, sama seperti yang terlihat setelah laminektomi dan fusi.

Penanganan jenis lain untuk myelopati servikal adalah ACDF dan laminoforaminotomi. ACDF sebagai satu pilihan terapi memiliki hasil luaran terbaik bilamana patologi yang ada terbatas hanya pada satu level (angka fusi diperkirakan 96%). Angka fusi ACDF menurun dengan semakin banyaknya level yang hendak difusikan (hanya 75% untuk 2 level ACDF, 56% untuk 3 level ACDF). Augmentasi menggunakan fiksasi plat dapat memperbaiki persentase tersebut hingga 11.8%. Laminoforaminotomi meliputi penggunaan pendekatan posterior untuk mengeluarkan herniasi diskus atau spur yang menyebabkan gejala neurologis. Prosedur adalah invasif minimal dan efektif dalam mengurangi radikulopati tanpa membutuhkan fusi spinal. Berbagai komplikasi seperti edema trakhea, disfungsi esophageal, dan stroke juga dapat dihindarkan. Adapun kerugian prosedur laminoforaminotomi, sebagai hasil dari pendekatan posterior adalah dilakukannya diseksi otot-otot paraspinal, nyeri leher aksial pascaoperatif, berpotensi timbulnya instabilitas yang memerlukan fusi, dan deformitas lebih lanjut.

Jumat, 27 November 2009

Respon terhadap Debris Implan dan Kehilangan Tulang akibat Reaksi Inflamasi

FAKTOR-FAKTOR PENGUAT RESORPSI TULANG PERIPROSTHETIK

Meskipun implan dipercaya secara biologi adalah inert, jaringan ikat sekitar atau dalam vicinity dari implan adalah di-impact oleh foreign body. Pembangkitan dari debris wear timbul segera dan selamanya setelah insersi implan. Penyebab dari akumulasi partikel ini bervariasi mulai dari gerakan mikro hingga korosi dan berbagai reaksi oksidatif. Secara umum, respon awal adalah satu respon antiinflamasi terlokalisir yang ditandai oleh pembentukan jaringan fibrus yang membungkus implan. Seringkali terbentuk cairan sinovial dan satu lapisan membran sinovial tebal, dan muncul satu jaringan granulomatous. Berbagai studi imunohistokimia dari jaringan ini menunjukkan sejumlah besar makrofag, fibroblas, dan limfosit. Bagaimanapun, aseptic loosening ditandai oleh buruknya vaskularisasi jaringan ikat yang didominasi oleh fibroblas dan makrofag. Selanjutnya, sekresi dari faktor-faktor proinflamasi, gelatinase, dan protease menyumbang ke osteolisis periprosthetik dan kegagalan implan sendi (gambar 1).

Debris wear dibentuk pada artikulasi sendi normal, modular interfaces, dan nonartikuler interfaces. Meskipun satu rentangan luas partikel-partikel telah diidentifikasi, kebanyakan partikel adalah berdiameter kurang dari 5 um dan berbentuk takberaturan. Banyak studi berbeda telah menyarankan bahwa respon seluler terhadap partikel-partikel dapat bervariasi tergantung ukuran, bentuk, kompisisi, kelistrikan (charged), dan jumlah partikel. Lebih lanjut, telah di-propose bahwa fagosistosis partikel berperan sebagai satu komponen penting dari respon seluler terhadap implan; sehingga, ukuran partikel-partikel ini adalah bermakna. Dalam hal ini, beberapa laporan telah memerkirakan bahwa partikel-partikel berdiameter antara 0.2 hingga 10 um difagosit oleh makrofag. Berbagai studi in vitro dengan kultur makrofag telah secara jelas mengindikasikan bahwa PMMA yang lebih kecil (<20 um) dan partikel polietilen menimbulkan satu respon sitokin inflamasi yang secara bermakna lebih besar, yang mana telah dibuktikan oleh meningkatnya pelepasan tumor necrotizing factor (TNF), interleukin (IL)-1, IL-6, PGE2, matrix metalloproteinase, dan faktor-faktor lainnya. Walaupun fagositosis partikel telah ditekankan sebagai satu komponen penting dari respon biologis ini, berbagai studi terkini mengindikasikan bahwa interaksi partikel-permukaan sel langsung adalah adekuat untuk mengaktifasi jalur-jalur pensinyalan osteoklastogenik dalam makrofag manusia.

Angka pada mana partikel-partikel berakumulasi adalah juga dipertimbangkan sebagai satu faktor penting untuk timbulnya osteolisis. Osteolisis ditemukan pada beberapa studi berbeda yang berkaitan dengan meningkatnya angka wear. Secara spesifik, area dengan peningkatan lisis ditemukan dengan kandungan konsentrasi partikel-partikel dengan konsentrasi lebih besar (dari bentuk dan ukuran yang sama) bila dibandingkan regio-regio nonosteolitik dari implan-implan yang mengalami loosening pada saat revisi dikerjakan. Observasi ini kemudian didukung oleh berbagai temuan dari berbagai studi in vitro pada mana induksi dari aktifitas transkripsional dan pelepasan sitokin adalah bergantung dosis partikel (particle dose-dependent). Efek konsentrasi partikel pada berbagai tipe sel adalah juga dilaporkan. Pada monosit manusia utama, pelepasan sitokin, PGE2, dan heksoaminidase bergantung pada ukuran, konsentrasi, dan area permukaan partikel-partikel. Studi lainnya menggunakan macrophage cell line melaporkan apoptosis begantung dosis dari se-sel ketika diterapi dengan partikel-partikel keramik dan polietilen. Berbagai efek toksik dilaporkan dalam beberapa studi menggunakan sel-sel lain seperti misalnya fibroblas sinovial dan khondrosit yang diterapi dengan peningkatan dosis kobalt dan vanadium. Jelasnya, pembebanan dengan partikel-partikel debris dan komposisi partikel adalah merupakan faktor-faktor penting dalam proses osteolitik. Jadi, berbagai penyelidikan dan pemakaian klinis bearing surface alternatif adalah kritikal untuk mengidentifikasikan material-material bearing yang optimal yang akan meminimalisir pembangkitan partikel sepanjang waktu. Keramik, polietilen ber-cross-linked tinggi dan artikulasi-artikulasi metal-on-metal telah menjanjikan dengan berkurangnya secara jelas produksi partikel-partikel wear.

Faktor-faktor biologi dan mekanik telah menyarankan dalam stadium-stadium awal dan lanjut dari perkembangan osteolisis setelah arthroplasti sendi. Berbagai reaksi inflamasi berkembang pada stadium-stadium awal sebagai bagian dari proses penyembuhan, termasuk meningkatnya sirkulasi primer dan meningkatnya level cairan mengarah ke jaringan yang terkena. Tambahannya, mekanisme pertahanan tubuh, termasuk pengumpulan masif makrofag dan limfosit, adalah berkumpul menjadi satu ke lokasi cedera. Mungkin aspek paling rumit dari reaksi ini adalah sekresi dari satu variasi sitokin dan berbagai faktor olehnya dan oleh sel-sel lainnya, mengawali satu efek berlawanan sepanjang waktu. Berbagai respon seluler dan inflamasi terkait tidaklah terbatas kepada proses penyembuhan awal, tetapi nampaknya terjadi selama proses berlanjut dan stadium lanjut osteolisis periprostetik.

Beberapa kofaktor telah menjelaskan kepada pemicuan propagasi inflamasi dan berakhir pada kejadian-kejadian osteolitik. Satu komponen major adalah berkaitan dengan fiksasi implan yang buruk dan ditambah dengan adanya gerakan (motion). Dalam hal ini, bukti ample mengindikasikan bahwa implan-implan yang loosening adalah dikaitkan dengan gerakan berlebih dan strain-strain fisik, yang mana menghasilkan pada percepatan pelepasan debris partikel. Hal ini dibuktikan oleh berjalannya secara progresif resorpsi tulang sekitar screw-screw yang longgar yang terkait dengan debris wear. Berbagai temuan compelling dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan bahwa pelepasan dan debris seperti itu mengawali respon-respon inflamasi yang pada puncaknya menghasilkan kehilangan tulang. Bukti yang mengimplikasikan debris partikel sebagai satu komponen major osteolisis adalah diambilkan dari berbagai studi dengan model-model binatang yang dipaparkan dengan debris partikel, studi-studi dengan makrofag dan osteoklas secara in vitro dan in vivo, dan mengevaluasi osteolisis dan berbagai kofaktor memakai prostesis sendi total yang berhasil maupun yang gagal secara klinis. Sejumlah debris partikel sekitar implan biasanya menyediakan satu hubungan yang fair dengan derajat dari aseptic loosening. Bagaimanapun, banyak partikel telah teridentifikasikan dalam jaringan-jaringan yang jauh juga. Berbagai faktor yang menunjang kepada distribusi partikel seperti itu termasuk (namun tidaklah terbatas pada) jumlah dan ukuran partikel, aliran cairan tubuh, disain implan, dan celah sendi.

BIOLOGI DARI KASKADE OSTEOLITIK

Respon seluler, meskipun utamanya dilaksanakan oleh fagosit dan makrofag, menyangkut sel-sel dengan tipe berbeda seperti osteoklas, fibroblas, dan osteoblas/sel-sel stroma (gambar 2). Ini dibuktikan oleh luasnya ragam dari produk-produk tersekresikan oleh berbagai sel, termasuk berbagai sitokin, faktor-faktor pertumbuhan, metaloproteinase, prostanoid, enzim-enzim lisosom, dan yang lainnya. Mekanisme yang mendasari induksi partikel dari berbagai respon seluler dan osteolisis sedang dalam penyelidikan. Dipercaya bahwa pengetahuan akan partikel adalah didasari dari fagositosis partikel-partikel kecil oleh makrofag dan oleh interaksi permukaan sel yang tak teridentifikasi. Interaksi yang belakangan ini mungkin termasuk induksi fisik nonspesifik dari protein-protein transmembranal atas pengenalan molekul-molekul permukaan sel oleh partikel-partikel atau berbagai protein/faktor yang menempel ke permukaannya. Baik studi-studi pada binatang maupun manusia menyarankan bahwa endotoksin, satu protein bakterial, menjadi terkonsentrasikan pada permukaan partikel-partikel dan menginduksi berbagai reaksi inflamasi pada sel-sel imun. Bagaimanapun, hal sebenarnya dan satu pengertian yang paripurna dari pemacuan sel-sel oleh partikel-partikel masih belum diketahui. Hal ini adalah unanimously diterima bahwa, sel-sel imun inang, yang berperan inti dalam reaksi inflamasi, mengetahui partikel-partikel dan secara signifikan melepaskan sejumlah besar sitokin-sitokin dan faktor-faktor proinflamasi. Ini termasuk TNF-a, IL-1a dan -1b, IL-6, receptor activator of nuclear factor-kappaB ligand (RANKL), dan PGE2. Berbagai studi dengan model binatang dan dengan berbagai kultur sel in vitro telah menunjukkan bahwa TNF memainkan satu peran penting sebagai satu mediator dari osteoklastogenik terinduksi partikel (particle-induced osteoclastogenic) dan kejadian-kejadian osteolitik. Dalam hal ini, partikel-partikel PMMA gagal untuk mendorong osteolisis agresif pada TNF-a-receptor null binatang atau dalam keberadaan agen-agen TNF-a-neutralizing, seperti misalnya berbagai TNF-a-binding protein yang larut. Demikian pula seperti halnya khewan yang kurang akan RANK atau RANKL menahan timbulnya osteolisis yang diinduksi oleh partikel. Hal ini bukanlah di luar perkiraan mengingat bahwa anggota-anggota dari keluarga TNF-a, khususnya RANKL adalah merupakan prasyarat bagi pembentukan osteoklas. Rincian molekuler TNF-a dan RANKL sebagai mediator esensiil osteolisis terinduksi-partikel akan dijelaskan di dalam tulisan berikutnya.

Tambahan downstream signaling oleh wear particles, tidaklah mengejutkan, bertumpangtindih antara TNF-a dan RANKL. Dalam hal ini, aktifasi kinase dan rekrutmen molekul-molekul esensiil bagi difrensiasi dan aktifasi osteoklas telah terdokumentasikan. Tercatat bahwa, jalur terinduksi-partikel mengawali aktifasi kinase dan faktor-faktor transkripsi esensiil bagi osteoklastogenesis. Di antara hal ini adalah aktifasi dari tyrosine kinase c-src, nitrogen-activated protein kinases, dan kaskade nuclear factor kappaB (NF-kB). Meskipun aktifasi dari jalur-jalur ini dapat merupakan sekunder dari berbagai kejadian lain, blokade selektif dari jalur-jalur downstream ini mengurangi efek-efek tertransmisikan-partikel (gambar 3).

Respon Biologis terhadap Implan Orthopedi

Arthroplasti sendi total bagi stadium akhir penyakit sendi degeneratif merupakan intervensi bedah yang sangat efektif. Sayangnya, wear debris, utamanya yang terbangkitkan dari permukaan artikuler sendi prostetik, merupakan faktor mayor yang membatasi keberlangsungan-fungsi (survivorship) dari implan-implan sendi. Wear debris menghasilkan subtle progression dari destruksi tulang sekitar implan yang secara tipikalnya tanpa menunjukkan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis hingga stadium akhir kegagalannya. Meskipun dasar dari destruksi jaringan adalah diterima sebagai hasil dari respon biologis terhadap debris implan, namun respon ini sendiri merupakan hasil dari banyak faktor, termasuk berbagai komponen fisik dan biologis. Tulisan ini memusatkan perhatian pada pembentukan respon biologis. Biologi akut dan kronik dari fiksasi implan dan berbagai efek dari debris implan baik secara lokal maupun sistemik di-review. Penekanan diberikan pada respon inang, berbagai proses inflamasi, dan berbagai mediator dari respon. Berbagai pendekatan teraputik yang mengarah pada aspek-aspek tertentu dari berbagai respon biologis dan inflamasi yang menyertai bedah rekonstruktif adalah juga disimpulkan.

FIKSASI IMPLAN DAN OSTEOINTEGRASI

Berbagai aspek inisial atau awal dari fikasi implan adalah penting dalam rangka mewujudkan satu interface dengan tulang inang yang tahan lama yang nantinya akan bertahan terhadap berbagai keperluan fisik dan biologis selama periode waktu yang panjang. Sejak bedah arthoplasti sendi digunakan untuk penanganan bagi pasien usia muda, di mana aktifitas adalah tinggi, berbagai keperluan di atas menuntut bagi peningkatan untuk pengembangan fiksasi implan dan lama-daya-guna (longevity)-nya. Jelasnya, biologi lokal pada interface implan-tulang adalah sangat penting dalam mengoptimalkan stabilitas implan dan durabilitas fiksasi. Dua moda mayor dari fiksasi implan dalam bedah arthroplasti adalah termasuk fiksasi semen, pada mana polimetilmetakrilat (PMMA) bekerja sebagai satu adesif antara prostesis dan tulang, dan fiksasi tanpa semen, pada mana bony ingrowth dan/atau ongrowth menyediakan perlekatan biologis ke tulang skelet. Terdapat banyak faktor tersangkut di dalam hal integritas dan lama-daya-guna dari fiksasi dengan semen dan tanpa semen, termasuk kualitas tulang inang, teknik bedah, alignment implan, karakteristik implan, isu-isu sekitar wear implan, remodeling adaptif sekitar prostesis, dan biologi lokal dikaitkan dengan interface implan-tulang. Fiksasi implan primer dicapai pada saat implan diinsersikan, dan fiksasi sekunder adalah sebagai hasil dari repair dan remodeling tulang sama seperti pada penyembuhan fraktur. Menyangkut fiksasi implan, terdapat tiga fase penyembuhan yang telah diketahui, termasuk di sini adalah: satu fase inisial dari injuri atau destruksi, satu fase repair yang ditandai oleh osteointegrasi, dan satu fase stabilisasi pada interface implan-tulang. Fase final dari stabilisasi adalah dinamik dalam hal bahwa interface ini sebagai subjek terhadap berbagai perubahan dari transfer beban dan berbagai konsekuensi biologis lokal dari debris partikel implan dalam jangka periode waktu yang panjang.

Pada level lokal, persiapan tulang bagi implantasi prostetik dan aplikasi semen menghasilkan satu seri kejadian-kejadian biologis yang menandakan adanya fase akut atau injuri pada interface tulang-semen. Sebagai tambahan kepada injuri mekanik dan vaskuler awal (inisial) dari implantasi prostetik dan sementasi, insult termal dan kimia dari polimerisasi PMMA dapat juga menyumbang bagi nekrosis jaringan inisial. Jadi, biologi dari fiksasi implan dengan semen saat awal adalah ditandai oleh satu fase injuri sebagai hasil dari persiapan tempat kedudukan (bed) implan dan aplikasi dari semen. Berbagai aspek mekanik, vaskuler, termal, dan kimia dari fase injuri ini mengawali terjadinya nekrosis jaringan lokal pada interface semen-tulang. Pada fase repair, satu membran fibrus terbentuk pada interface, vaskularisasi kembali muncul, dan regenerasi jaringan, termasuk osteointegrasi, berjalan. Setelah pematangan dari osteointegrasi inisial pada interface semen-tulang, kualitas dan integritas dari iterface ini dimodulasi oleh berbagai faktor, trmasuk karateristik pasien dan tulang inang, disain komponen, teknik semen, dan debris wear implan.

Pada fiksasi jangka lama, lingkungan mekanik dari tulang periprostetik setelah implantasi komponen akan berubah dan dapat menghasilkan adaptasi tulang sekunder. Respon biologis tulang sekitar terhadap prostesis ini disebut remodeling adaptif. Remodeling tulang sekitar implan-implan bersemen yang terfiksasi baik telah dijelaskan melalui studi pengambilan implan kembali lewat otopsi. Berbagai temuan tersebut ditandai oleh aposisi langsung tulang inang ke semen dan jarang terjadi penyelaan jaringan fibrus. Selapis tulang tebal atau korteks baru terbentuk sekitar selubung semen dan melekat ke tulang kortikal sekitar melalui struts trabekuler. Terdapat bukti tambahan adanya osteoporis dan penipisan korteks femur di sekitarnya. Kecuali osteointegrasi dari selubung semen, proses debonding stem femur dan fraktur selubung semen juga terbukti. Berbagai temuan ini menyarankan bahwa kegagalan mekanik pada interface semen-implan merupakan satu faktor penting pada proses-proses aseptic loosening lanjut dari implan-implan femoral. Remodeling tulang periprostetik mayor ini berkombinasi dengan kegagalan mekanik pada interface implan-semen adalah secara klinis relevan dan membuat tulang periprostetik lebih rentan terhadap kegagalan mekanik lanjut dan osteolisis yang terpicu debris implan.

Sebagai tambahan terhadap remodeling tulang adaptif di sekitar protesis bersemen, timbulnya implan wear dan debris partikel mengasumsikan satu peran mayor dalam patofisiologi aseptic loosening. Hal ini telah dibuktikan dalam beberapa studi dengan komponen-komponen asetabuler bersemen yang menunjukkan dengan jelas aseptic loosening lanjut sebagai satu resorpsi tulang tiga-dimensi yang progresif pada interface semen-tulang. Resorpsi tulang progresif ini dikaitkan dengan debris partikel dan satu respon inflamasi makrofag yang menghasilkan resorpsi tulang tersebut. Resorpsi ini dapat mengganggu stabilitas mekanik implan. Jadi, fiksasi jangka-lama implan-implan bersemen dapat terganggu oleh satu kombinasi dari berbagai mekanisme, termasuk remodeling tulang adaptif, kegagalan mekanik interface implan-semen, dan resorpsi tulang progresif yang terinduksi debris implan pada interface semen-tulang.

Meskipun fiksasi implan bersemen tetap merupakan satu pilihan yang sangat efektif untuk penggantian sendi panggul dan lutut, disain bersemen tertentu telah menghasilkan satu aseptic implant loosening sepanjang waktu. Dalam tahun 1980-an, berbagai disain tanpa semen diperkenalkan dalam rangka satu usaha bagi pengembangan durabilitas (tingkat ketahanan) dan longevity (lama pakai) dari fiksasi arthroplasti sendi total. Implan-implan tanpa semen didisain untuk mencapai fiksasi melalui osseous ingrowth dan/atau ongrowth ke dalam prostesis. Secara teoritis, tipe dari fiksasi biologis yang ini haruslah melebihi apa yang telah dicapaikan oleh implan-implan bersemen melalui penunjukkan akan satu interface yang hidup, fungsional antara implan dan tulang. Kualitas dari fiksasi biologis dengan satu implan tak bersemen adalah bergantung dari berbagai faktor termasuk teknik bedah, disain implan, stabilitas implan inisial, kualitas tulang, dan berbagai faktor terkait-pasien. Respon-respon biologis inisial atau awal sekitar implan adalah sangat penting dalam mewujudkan bony ingrowth dan stabilitas implan untuk fiksasi jangka lama.

Sebagaimana dengan implan-implan bersemen, fase awal dari fiksasi tak bersemen adalah ditandai oleh injuri dan repair inisial. Setelah injuri inisial, interface implan-tulang akan mengalami pembentukan tulang intramembran dan di bawah kondisi-kondisi yang menguntungkan akan menghasilkan osteointegrasi dari implan. Komposisi material implan, ukuran lobang-lobang permukaan ingrowth (atau karakteristik permukaan), stabilitas implan inisial, dan aposisi tulang semuanya adalah merupakan faktor penting dalam mengoptimalisasi osteointegrasi, Sebagai tambahannya, usaha-usaha yang lebih terkini telah memusatkan pada penguatan fiksasi tak bersemen dengan aplikasi menggunakan faktor-faktor bioaktif osteoinduktif, matriks-matriks inorganik osteokonduktif, dan penggunaan biomaterial.

Berbagai permukaan ingrowth dan material telah digunakan bagi fiksasi tak bersemen. Implan-i titanium mplan yang paling sering digunakan termasuk kobalt-khromium dan sintered beads titanium, fiber metal titanium, plasma spray titanium dan diffusion-bonded titanium. Secara umum, berbagai permukaan implan ini telah menyediakan osseous ingrowth atau ongrowth dan dapat menyediakan fiksasi biologis dan fungsi klinis yang baik pada follow-up berjangka menengah hingga panjang.

FAKTOR-FAKTOR PENGUAT OSTEOINTEGRASI IMPLAN

Ukuran lobang pada permukaan tulang ingrowth merupakan satu faktor penting dalam mengoptimalisasi potensial (kemampuan) osteointegrasi dari satu implan. Berbagai studi menunjukkan bahwa satu ukuran lobang sebesar 100 – 500 um akan menghasilkan bony ingrowth yang konsisten dan satu peningkatan kekuatan fiksasi secara relatif cepat. Permukaan bony ingrowth berlobang kecil tdak memungkinkan bagi kalsifikasi jaringan yang uniform, sedangkan yang berlobang besar menghasilkan area-area satu membran fibrous persisten yang lebih banyak. Gerakan mikro berlebih pada interface implan-tulang berdampak negatif pada osteointegrasi. Literatur menyarankan bahwa gerakan mikro sebesar 150um atau lebih sepertinya akan menghasilkan satu pertumbuhan jaringan fibrous dengan fiksasi biologis suboptimal.

Aposisi implan ke tulang inang merupakan satu penentu penting dari osteointegrasi. Berbagai studi binatang yang menentukan kekuatan fiksasi dan pertumbuhan tulang menggunakan implan-implan tak-berselubung dan yang berselubung hidroksiapatit menunjukkan bahwa kekuatan perlekatan interface dan pertumbuhan tulang adalah secara positif berkaitan dengan menurunnya ukuran sela (gap) inisial (<1.0mm). Pada manusia, kapasitas biologi bagi pengisian sela dengan ingrowth mungkin tidaklah begitu besar. Dalam satu studi, pasien yang menjalani arthroplasti total sendi lutut bilateral bertahap (staged) menerima implan porous cylindrical yang dipasangkan pada lutut kontralateral pada saat pertama dilakukan penggantian. Implan yang digunakan dapat berupa kontrol titanium ataupun berselubung hidroksiapatit. Selama waktu pentahapan, penggantian kontralateral, implan kemudian diambil dan selanjutnya dianalisis pada satu rerata waktu 7 minggu. Meski berjangka pendek, Eksperimen-eksperimen ini menyarankan bahwa implan berselubung porous (porous coated) dan porous dengan selubung hidroksiapatit ditempatkan pada distal femur seringkali gagal dalam mengisi gap sebesar 50 – 500um dengan bone ingrowth. Gap-gap ini seringkali tertumbuhi dengan satu jaringan ikat fibrus. Jadi, pada manusia, pertumbuhan jaringan tulang mengisi gap lebih besar dari 50um mungkin tidak reliabel.

Kecuali pertumbuhan yang konsisten dan fungsi klinis yang baik dari komponen-komponen tanpa semen kontemporer, terdapat satu kebutuhan akan mengembangkan implan yang memiliki kemampuan osteointegrasi yang lebih cepat dan ekstensif. Jadi, biomaterial-biomaterial yang baru dan berbagai perubahan dari biomaterial-biomaterial terkini dalam hal karakteristik penguatan fiksasi implan sedang terus menerus diidentifikasi. Disain implan yang lebih baik akan menghasilkan ingrowth yag lebih cepat dan ekstensif dan harus mampu menciptakan barier yang lebih berkembang terhadap migrasi debris partikel. Hal ini akan memperlambat proses dari osteolisis partikel sekunder dan aseptic loosening.

Porous tantalum, suatu biomaterial ber-porous tinggi dengan sifat-sifat fisik, mekanik, dan pertumbuhan jaringan yang unik, adalah satu biomaterial yang relatif baru berkomposisi satu vitreous carbon skeleton berdensitas rendah dengan satu array dodekahedron berulang dari interconnected pores oleh smaller opening. Secara komersial tantalum murni adalah terdeposit pada carbon skeleton untuk menciptakan satu konstruksi metal porous. Porous tantalum merupakan 75 – 80% porous by volume, dan rata-rata porositas dua-dimensi adalah 430um. Diketahui material ini memiliki satu tekstur mikro yang adalah bersifat konduktif bagi pembentukan tulang, satu modulus elastisitas yang rendah yang konsisten dengan transfer beban ke tulang yang telah terkembangkan, dan dengan koefisien friksi yang lebih tinggi untuk memperbaiki stabilitas implan inisial. Keuntungan teoritis dari porous tantalum adalah memiliki satu interface implan-tulang yang telah berkembang yang menurunkan ruang sendi efektif, meningkatkan resistensi terhadap pertumbuhan osteolisis partikel, dan memperbaiki transfer beban ke tulang sekitar.

Implan-implan corundum-blasted merupakan kelompok lain dari komponen-komponen tanpa semen yang telah mendapatkan perthatian lebih selama sepuluh tahun terakhir. Implan-implan titanium ini memiliki satu permukaan bertekstur mikro yang diciptakan melalui peledakan dengan partikel-partikel kecil yang sama seperti korundum. Bagi implan-implan pengganti sendi panggul total, kekasaran (roughness) permukaan biasanya adalah dalam rentangan 3 – 5 um. Permukaan-permukaan titanium yang dikasarkan ini merangsang pembentukan tulang dan secara langsung mengaktifasi ekspresi osteoblas dari prostaglandin E2 (PGE2) dan transforming growth factor (TGF)-B1. Yang paling penting, permukaan titanium kasar meningkatkan difrensiasi osteoblas sebagaimana dibuktikan oleh meningkatnya produksi alkali fosfatase dan osteokalsin. Sebagai tambahan dari osteointegrasi melalui bone ongrowth langsung, implan femoral dibuat dengan satu disain double wedge taper yang memenuhi stabilitas implan inisial.

Sebagaimana halnya dengan biomaterial-biomaterial yang secara potensial memiliki berbagai keuntungan terus dikembangkan dan diteliti, berbagai permukaan bioaktif dan faktor-faktor bioaktif juga sedang dikembangkan guna memacu dan meningkatkan osteointegrasi implan-implan orthopedi. Mungkin teknik augmentasi permukaan yang paling ektensif diteliti adalah pemberian selubung hidroksiapatit dari implan. Penanganan implan dengan satu penyelubungan osteokonduktif dari hidroksiapatit telah menunjukkan efikasi pada percobaan-percobaan yang sama baiknya dengan studi-studi klinis jangka menengah. Berbagai model binatang telah menunjukkan terperbaikinya kapasitas ingrowth dari implan-implan dengan permukaan terselubung hidroksiapatit ketika dibandingkan dengan yang tanpa selubung. Secara klinis, femoral stems tak bersemen yang terselubung hidroksiapatit telah dapat menyediakan ingrowth yang konsisten dan fungsi yang baik dalam studi-studi follow-up berjangka menengah.

Sebagai tambahan terhadap perbaikan karakteristik osteokonduktif dari implan-implan, meningkatkan kapasitas pembentukan tulang dari lingkungan mikro implan-tulang merupakan strategi lainnya yang sedang dikembangkan guna memperbaiki osseointegrasi. Secara teoritis, meningkatkan jumlah sel-sel osteoprogenitor akan meningkatkan bone ingrowth pada interface ini. Dalam banyak model eksperimental, implan-implan terselubungi sel menunjukkan ingrowth yang lebih cepat dan lebih ekstensif ke dalam saluran-saluran implan ketika dibandingkan dengan implan-implan yang tak berselubung. Jadi, augmentasi seluler dari permukaan implan-implan guna meningkatkan aktifitas biologi merupakan satu bioteknologi alternatif yang masih memerlukan penyelidikan lanjutan.

Sebagaimana ketersediaan dari protein-protein rekombinan menjadi lebih mendapat tempat, faktor-faktor osteokonduktif akan digunakan untuk menguatkan osteointegrasi implan-tulang. Dalam hal ini, berbagai studi menunjukkan bahwa, TGF-B1 dan bone morphogenetic protein (BMPs) mempertunjukkan aktifitas osteoinduktif pada interface implan. Secara spesifik, human rekombinan BMP-2 telah menunjukkan kemampuan menguatkan ostrointegrasi implan-implan titanium terselubung porous ektopik pada model-model tikus dan kelinci, Jadi, fakor-faktor biologis dapat dengan sukses diaplikasikan pada permukaan implan guna menguatkan osteointegrasi dan fiksasi dalam model-model eksperimental. Aplikasi klinis dari berbagai teknologi ini sepertinya akan diselidiki sepanjang dekade berikut ini.

KEHILANGAN TULANG ADAPTIF DAN BERBAGAI TERAPI POTENSIAL

Kehilangan tulang adaptif dirujuk sebagai perubahan-perubahan dalam massa dan geometri tulang sebagai respon terhadap berbagai perubahan dalam gaya-gaya mekanik dan lingkungan. Body disuse sebagai hasil dari kehilangan tulang atau massa tulang meningkat setelah mengikuti latihan adalah salah satu contohnya.

Selama pertumbuhan dan perkembangan, skelet mengoptimalisasi arsitekturnya melalui subtle adaptaton terhadap beban-beban mekanik. Mekanisme untuk adaptasi tersebut menyangkut proses multistep dari mechanotransduction seluler termasuk mechanocoupling (merupakan konversi dari gaya-gaya mekanik menjadi sinyal-sinyal mekanik lokal seperti halnya shear stresses yang menginisiasi satu respon oleh sel-sel tulang), biochemical coupling (merupakan transduksi satu sinyal mekanik ke satu respon-respon biokhemis termasuk jalur-jalur dalam membran sel dan sitoskeleton), pensinyalan sel-ke-sel dari sel-sel sensor (kemungkinan adalah osteosit dan bone lining cells) ke sel-sel efektor (osteoblas atau osteoklas) menggunakan molekul-molekul pensinyalan seperti halnya prostaglandin dan oksida nitrat, dan respon efektor (pembentukan atau penyerapan tulang agar terjadi perubahan-perubahan arsitektural yang sesuai).

Berbagai perubahan struktural dapat diperkirakan dengan berdasarkan pada tiga hukum mendasar: (1) Adaptasi tulang diarahkan oleh beban-beban dinamik dari pada statik, (2) perpanjangan durasi pembebanan memiliki satu efek pengurangan pada adaptasi tulang lebih lanjut, (3) sel-sel tulang berakomodasi ke satu lingkungan pembebanan mekanik yang membuat mereka kurang responsif terhadap sinyal-sinyal pembebanan rutin atau customary.

Latihan membantu mempertahankan massa tulang dan melawan osteoporosis, namun hubungan antara gaya mekanik dan pembentukan tulang adalah kompleks. Dalam hal ini, latihan berperiode pendek, dengan 4 hingga 8 jam istirahat di antaranya, menyediakan satu stimulus osteogenik yang lebih efektif dibandingkan satu sesi latihan sustained tunggal. Beberapa studi menyimpulkan bahwa stimulus mekanik berkekuatan rendah dan berfrekuensi tinggi adalah anabolik sebagaimana ditunjukkan pada tulang trabekuler pada anak-anak dan oleh pencegahan. Bagaimanapun, berbagai studi juga menyarankan bahwa pembebanan tulang terkoordinasi berulang dikaitkan dengan aktifitas habitualis mungkin memiliki efek yang sedikit pada preservasi massa tulang dan bahkan mungkin mengurangi potensial osteogenik dari stimulus osteogenik tinggi lainnya.

Implan-implan yang dipasangkan ke dalam tulang seringkali mengubah sifat-sifat mekanik tulang dan secara ultimate mengubah beban ke tulang inang. Perubahan-perubahan ini disebut sebagai stress shielding dan dipercaya berkontribusi kepada net bone loss. Tingkat parah dari stress shielding adalah ditentukan oleh kekakuan (stiffness) relatif implan dan tulang inang. Geometri dan sifat-sifat material dari implan dan tulang inang adalah faktor-faktor yang menentukan derajat dari stress shielding. Implan-implan alloy kobalt-khromium memiliki satu modulus elastisitas yang lebih tinggi dan menyebabkan stress shielding yang lebih dibandingkan dengan implan-implan alloy titanium dengan bentuk yang sama. Tambahannya, letak relatif implan di dalam tulang inang dan diameter implan relatif terhadap tulang inang berperan crucial sebagai satu penentu bagi tingkat parah stress shielding. Implan-implan yang terletak ke sentral dan dengan diameter kecil menimbulkan stress shielding yang lebih rendah.

Nampaknya bahwa remodeling tulang adaptif atau loss tidaklah dipengaruhi oleh tipe dari selubungan porous. Kenyataannya, implan-implan dengan selubungan di proksimal tidak menampakkan perlindungan melawan kehilangan tulang ketika dibandingkan dengan implan-implan dengan selubungan penuh; terlebih lagi, implan-implan tak berselubung menyebabkan kehilangan tulang proksimal sepanjang waktu sebagaimana halnya pada implan-implan berselubung. Hal ini dapat diuraikan, sedemikian, bahwa satu metode efektif dalam perlindungan melawan kehilangan tulang jangka lama setelah arthroplasti total panggul memerlukan pengurangan stress shielding melalui pengurangan kekakuan implan. Sebaliknya, pembebanan dan metode-metode osteogenik dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kekakuan struktural tulang inang dan dengan demikian memperbaiki kompatibilitas biologiknya dengan implan.

Tulang adalah jaringan hidup yang melakukan perubahan-perubahan dan itu menunjukkan adanya berbagai proses seluler yang mencatatkan berbagai perubahan-perubahan tersebut. Hal ini harus difahami bahwa berbagai respon tulang adaptif terhadap stres-stres mekanikal dan yang lainnya adalah diatur oleh respon-respon seluler. Sel-sel dari network osteosit/osteoblas (mesenkimal) dan osteoklas (hematopoeitik) adalah terbaik diposisikan untuk menghormati strain mekanik. Berbagai respon terkait strain memacu banyak perubahan mayor dalam fungsi dan nasib dari sel-sel ini, yang mana bervariasi sebagai satu hasil dari pembentukan tulang, penyerapan tulang, dan satu angka pengurangan apoptosis. Jadi, perhatian harus diberikan kepada pengaturan mekanistik dari sel-sel ini di bawah proses-proses adaptif-tulang. Alternatifnya, penghambatan terhadap kehilangan dan remodeling tulang dapat dicapai melalui inhibisi dari osteoklas. Selain bifosfonat, telah tersedia kini satu generasi baru inhibitor osteoklas, seperti osteoprotegerin (OPG), receptor activator of nuclear factor-kappaB (RANK)-Fc, etanercept, dan inhibitor selektif dari tirosin kinase. Agen-agen ini telah menunjukkan keefektifannya pada model binatang, dan beberapa di antaranya menjanjikan menghentikan kehilangan tulang pada manusia.

Rabu, 25 November 2009

Material Keramik sebagai Biomaterial dalam Orthopedi

Material keramik adalah padat, campuran inorganik yang terdiri dari elemen-elemen metalik dan nonmetalik terikat bersama melalui ikatan ionik atau kovalen. Berbagai keramik adalah termasuk campuran-campuran seperti silika (SiO2) dan alumina (Al2O3). Bila diproses secara tepat sehingga memiliki kemurnian tinggi, mereka menunjukkan biokompatibilitas yang sempurna (satu fungsi dari insolubilitas dan inertness kimia) dan ketahanan wear yang tingi (keras, licin, permukaan hidrofilik). Material-material keramik adalah sangat kaku dan brittle, namun sangat kuat di bawah beban kompresi. Dalam orthopedi, keramik merupakan material yang baik bagi dua aplikasi yang sangat berbeda. Pertama, termasuk penggunaannya dalam komponen-komponen arthroplasti sendi total sebagai keramik penuh, seperti alumina dan zirkonia, dengan ke-inert-an dan ketahanan wear yang lebih superior dibandingkan alloy-alloy metalik. Kedua, termasuk pemakaian keramik, seperti kalsium fosfat dan bioglass (SiO2-Na2O-CaO-P2O5), sebagai pengganti graft tulang dan sebagai selubungan osteokonduktif untuk implan-implan metalik, memungkinkan permukaan-permukaan di mana tulang akan berikatan dengan peralatan tersebut. Keberhasilan dan keterbatasan keramik pada aplikasi-aplikasi tersebut dapat dipahami melalui pertimbangan akan ikatan-ikatan, struktur, dan sifat-sifat mereka.

· Ikatan ionik (elektrovalen) dan kovalen

Keramik secara tipikal merupakan array tiga dimensi ion-ion metal bermuatan positif dan ion-ion nonmetal bermuatan negatif, yang seringkali adalah oksigen. Ion-ion bermuatan positif dibentuk dari elemen-elemen yang secara mudah melepas elektron-elektron terluarnya, dan ion-ion bermuatan negatif dibentuk dari elemen-elemen yang telah siap menerima elektron pada dinding atom terluarnya. Ion-ion bermuatan positif yang berada pada sekelilingnya dengan sebanyak-banyaknya ion bermuatan negatif yang mungkin, demikian pula sebaliknya, menghasilkan satu closely packed arrangement dari nukleus yang terikat secara kuat untuk menimbulkan keadaan dengan total muatan adalah nol. Lokalisasi dari pertukaran ion antara nuklei ini membuat kebanyakan keramik sangat baik sebagai insulator listrik dan termal.

Material-material keramik lainnya terikat satu dengan lainnya bersama melalui ikatan kovalen. Ikatan kovalen terbentuk melalui mutual sharing elektron-elektron antara atom-atom sekitar sehingga elektron-elektron yang bertukaran melengkapi dinding valensi luar dari masing-masing atom. Baik material-material dengan ikatan secara ionik maupun secara kovalen merupakan insulator yang baik. Potensi ikatan yang kuat dari ikatan-ikatan kovalen dapat dipahami melalui pengetahuan akan berlian, yang merupakan satu material berkomposisi hanya atom-atom karbon yang berikatan secara kovalen.

· Struktur mikro keramik

Kebanyakan keramik memiliki struktur mikro poligranuler yang sama seperti alloy metalik. Sifat-sifat keramik tercatat luas karena karakteristik mikrostrukturnya, termasuk ukuran grain, porositas, dan tipe dan distribusi fase-fase dalam masing-masing grain. Sebagaimana halnya dengan alloy metalik, struktur mikro keramik dapat diubah secara bermakna melalui teknik-teknik pemrosesan thermal.

Satu teknik tersering fabrikasi material keramik adalah mencampur partikel-partikel halus dari material dengan air dan satu pengikat organik dan menekan mereka ke dalam satu mold untuk membentuk sesuai yang diinginkan. Selanjutnya dikeringkan melalui pemanasan untuk menguapkan airnya dan membakar habis bahan pengikatnya. Bagian ini kemudian di-fired atau sintered pada satu temperatur yang lebih tinggi. Proses ini menjadikannya densifikasi sebagaimana partikel-partikel masuk ke dalam kontak dekat yang terarahkan oleh mekanisme-mekanisme seperti difusi, evaporasi, dan kondensasi yang mengurangi energi permukaan total dalam bagian itu. Sebagaimana halnya dengan casting alloy metalik, mikro struktur yang terjadi (sehingga juga sifat-sifatnya) dari bagian keramik akan bergantung pada kontrol dari variabel-variabel kunci dalam pemrosesannya. Sebagai contoh, strength adalah berbanding terbalik secara proporsional baik dalam hal ukuran grain maupun porositas. Ukuran grain dapat dikontrol melalui ukuran awal partikel-partikel yang akan digunakan membentuk bagian, di mana semakin kecil ukurannya maka semakin kecil ukuran grain yang didapat. Bagimanapun, ukuran grain akan meningkat selama pemrosesan berlangsung, di mana porositas akan dikurangi, sehingga sintering time adalah sangat penting.

· Penggunaan keramik dalam arthroplasti sendi

Ceramic-on-polyethylene bearing secara komersial telah tersedia untuk beberapa waktu sebagai alternatif untuk metal-on-polyethylene konvensional. Ceramic-ceramic bearing saat ini hanyalah mengantongi ijin untuk distribusi komersialnya di Amerika. Kedua tipe bearing tersebut diperkenalkan bagi maksud penanggulangan masalah wear polietilen oleh karena mereka memiliki beberapa keuntungan mekanik lainnya bagi arthroplasti sendi. Keramik memiliki tingkat kekerasan tinggi dan modulus elastisitas tinggi, yang memungkinkan mereka untuk diperlicin menjadi hasil akhir yang sangat halus dan menjadi tahan pengasaran sementara saat digunakan sebagai satu permukaan bearing. Mereka memiliki wettability yang baik, yang memungkinkan pembentukan lapisan lubrikasi antara pasangan keramik untuk mengurangi bentuk-bentuk adesif dari wear.

1. Alumina

Oksida aluminium (Al2O3) memiliki ketahanan abrasi yang tinggi dan bila diperlicin dengan baik ia akan memiliki permukaan dengan satu koefisien friksi yang sangat rendah berhadapan baik dengan UHMWPE maupun dengan sesamanya. Pengalaman jangka panjang dengan alumina-on-polyethylene bearing bagi pengganti sendi panggul menunjukkan pengurangan wear rate dibanding dengan apa yang secara tipikal terjadi dengan penggunaan metal-on-polyethylene bearing, juga demikian bila dikaitkan dengan penurunan dalam kejadian osteolisis, yang kesemuanya tersebut kemudian menyarankan kepada kita bahwa tipe-tipe bearing ini adalah memang menguntungkan dalam hal memperbaiki tampilan klinis. Penggunaan alumina-on-polyethylene bearing dalam ganti sendi lutut adalah terbatas, dan hanya hasil-hasil pemantauan berjangka menengah yang tersedia. Hasil-hasilnya adalah memuaskan namun ketiadaan pembandingan langsungnya dengan permukan metal-on-polyethylene bearing konvensional dari desain yang sama dan kurangnya hasil-hasil penelitian berjangka lamanya, membuat sulit untuk ditentukan keuntungan-keuntungan klinisnya.

Di awal-awalnya, pengalaman klinis menunjukkan fraktur kaput femur alumina merupakan satu komplikasi yang bermakna, dengan satu angka insiden lebih dari 5% dalam beberapa seri yang dilaporkan. Beberapa perbaikan dan standarisasi dalam pemrosesan alumina, termasuk penghalusan ukuran grain, hot isostatic pressing dari material setelah sintering untuk lebih meningkatkan densitasnya, dan perbaikan manufacturing taper connection telah mengawali menuju satu perbaikan dramatik dalam penampilannya. Ukuran grain, semisal, secara tipikal melewati 4μm pada 1970-an dengan densitas sekitar 4 g/mm3; ukuran grain saat ini dipertahankan pada sekitar 0.5μm dengan densitas sekitar 6g/mm3. Sebagai hasil dari berbagai perbaikan tersebut membuat sebesar 45% meningkatnya kekuatan. Meski alumina dipertimbangkan sebagai memiliki biokompatibel tinggi, adanya osteolisis periprostetik sekunder terhadap debris alumina mendorong perhatian ke arah bahwa partikel-partikel kecil yang dimakan oleh sel dapat memicu satu reaksi biologis yang tidak menguntungkan tanpa perlu mempertimbangkan naturalitas kimia mereka.

Ceramic-on-ceramic bearing telah digunakan secara luas dalam arthroplasti sendi panggul di Eropa. Umumnya, secara klinis sendi alumina-on-alumina menunjukkan wear rate yang sangat rendah. Bagaimanapun, hasil-hasil adalah bergantung disain, dan bahkan bearing-bearing ini dapat menunjukkan wear yang besar bila diinkoorporasikan ke dalam satu disain yang inferior. Laporan-laporan terkini juga menunjukkan ketahanan wear yang memuaskan pada pasien-pasien muda, dengan bukti-bukti tanpa adanya wear dan osteolisis terukur dalam lebih 10 tahun diikuti. Lebih lanjut, fraktur kaput tidak pernah dijumpai pada kelompok pasien dengan aktifitas tinggi ini, yang lebih menguatkan keyakinan akan sifat-sifat mekanik yang telah mengalami perbaikan dari material keramik alumina.

2. Zirconia

Penggunaan zirkonia sebagai satu permukaan bearing yang berhadapan dengan polietilen tidak terbukti sukses secara klinis sebagaimana pemakaian alumina. Pembandingan langsung antara alumina-, zirkonia-, dan metal-on-conventional polyethylene bearing pada pasien-pasien dengan penggantian sendi panggul total menunjukkan wear rate tertinggi pada kelompok zirkonia, yang konsisten dengan satu peningkatan konten monoklinik pada permukaan dari kaput-kaput zirkonia yang diambil dari pasien-pasien dalam seri yang sama. Propensitas untuk zirkonia bertransformasi dari satu bentuk kristalin tetragonal, yang stabil dalam temperatur yang ditingkatkan, ke bentuk monokliniknya yang kurang tough merupakan satu ketidakberuntungan material ini yang membuat FDA Amerika memeringati akan pemakaian resterilisasi otoklaf bagi kaput-kaput zirkonia. Menurunnya toughness membuat material lebih mudah menjadi kasar dan meningkatnya wear. Masalah-masalah dengan berbagai proses pembuatannya yang menyebabkan tingginya insiden fraktur mendorong akhir-akhir ini penarikan kembali sembilan batches kaput-kaput zirkonia dari peredarannya oleh pabik pembuatnya secara volunter.

3. Keramik sebagai pengganti tulang

Aplikasi kedua bagi material keramik adalah dalam lingkup penggantian tulang. Keramik dan material-material glass tertentu telah diketahui memiliki sifat-sifat osteokunduktif di alam, seperti bahwa osteoblas membentuk tulang ketika fase mineral berkontak langsung dengan permukaan keramik. Ikatan kimia atau fisik yang terbentuk antara keramik dan tulang belum deketahui pasti, namun hasilnya adalah cukupnya kekuatan interfascial dari aplikasi itu sebagaimana pada penggunaan selubungan keramik pada implan yang telah digunakan dalam rangka mendorong perbaikan fiksasi implan ke tulang.

Kebanyakan aplikasi biokeramik adalah ditujukan pada serangkaian proses resorpsi atau pelepasan biokeramik melalui substitusinya dengan tulang yang remodel. Fase mineral dari tulang adalah hidroksiapatit, yang tiada lain adalah kalsium fosfat (Ca10[PO4]6[OH]2). Stabilitas dari keramik kalsium fosfat adalah bergantung pada temperatur dan lingkungan dan dapat dipengaruhi oleh substitusi (sebagai contoh, karbonat untuk fosfat). Selubungan hidroksiapatit untuk fiksasi implan-implan load-bearing telah merupakan pemakaian klinis untuk lebih dari satu dekade. Bagaimanapun, komposisi yang benar dari selubungan ini dapat sangat bervariasi oleh karena perbedaan dari proses-proses pembuatan dan berubah in vivo dengan berjalannya waktu. Studi-studi dari selubungan pada implan-implan yang diambil dari pasien menunjukkan bahwa meskipun selubungannya seringkali bersifat osteokonduktif, berikatannya dengan tulang adalah tidak uniform, dan selubungannya sendiri mungkin tidak, sejatinya, berupa hidroksiapatit, namun satu campuran dari fase-fase, termasuk kalsium oksid, trikalsium fosfat, dan kalsium fosfat amorf. Selubungan telah menunjukkan bahwa ia akan larut dan fraktur dari substrat implan dan dapat di dilepaskan oleh satu proses remodeling osteoklastik.

Semen hidroksiapatit (secara sendiri-sendiri atau berkombinasi dengan semen tulang PMMA) telah juga dikembangkan. Semen yang dapat diinjeksikan dan memadat secara isotermal menjadi satu apatit yang sama seperti dalam tulang dan memiliki kekuatan yang sebanding dengan tulang kanselus telah diujicobakan pada binatang percobaan dan telah digunakan secara klinis, khususnya dalam aplikasi maksilofasial. Semen menunjukkan bahwa ia mempertahankan kekuatannya sebagaimana ia di-remodel, membuatnya terpilih untuk digunakan sebagai material sulih tulang. Semen hidroksiapatit telah menunjukkan sebagai seefektf sulihan otogenik dalam menangani defek-defek tulang.

Glas bioaktif adalah didasarkan secara tipikal pada berbagai kombinasi dari SiO2, CaO, N2O, dan P2O5. Secara partial material ini terlarutkan in vivo, membentuk satu hidrogel permukaan yang kaya dengan ion-ion kalsium, dan fosfat. Kristalisasi mengawali pembentukan apatit dan, berarti satu ikatan dengan tulang. Sifat brittle dan stabilitas inheren dari material ini telah membatasi pemakaiannya bagi aplikasi-aplikasi nonstruktural seperti untuk coatings (selubungan) dan fillers (pengisi).