Selasa, 26 Februari 2013

Displasia Skeletal: Tinjauan Prinsip-prinsip Penilaian Radiologik

Abstrak
Terdapat lebih dari 450 displasia skeletal telah terkarakterisasi-baik yang klasifikasinya terutama berdasarkan kriteria klinik, radiografik, dan molekuler. Pada revisi terakhir 2010 dari Nosology and Classification of Genetic Skeletal Disorders, satu peningkatan dari 372 ke 456 jenis gangguan terjadi dalam empat tahun sejak klasifikasi ditinjau terakhir pada tahun 2007. Entitas ini secara total mewakili sekitar 5% dari anak-anak dengan cacat lahir. Sebuah diagnosis akurat dari satu displasia skeletal adalah masih berdasarkan pada evaluasi terinci dari temuan klinik dan radiografik (termasuk temuan khondro-oseous). Terlepas dari diagnosis spesifik, displasia skeletal pada umumnya berbagi temuan klinik dan radiografik yang membantu kita mengelompokkannya dalam beberapa cara.  Tinjauan ini bertujuan meringkas teknik pendekatan diagnostik untuk perawakan tubuh pendek disproporsional dengan penekanan khusus pada temuan radiologis.
Kata Kunci: Displasia skeletal, Perawakan tubuh pendek disproporsional, Radiologi

PENDAHULUAN


Displasia skelet merupakan gangguan yang terkait dengan satu abnormalitas umum pada tulang kerangka. Walaupun jarang secara individu, insiden lahir secara keseluruhannya diperkirakan sebesar 1/5000 lahir hidup (1). Saat ini terdapat lebih dari 450 displasia skelet yang terkarakterisasi-baik yang terklasifikasi utamanya berdasarkan kriteria klinik, radiografik, dan molekuler (2). Setengah abad lalu, pada tahun 1960an, individu-individu dengan perawakan tubuh pendek disproporsional didiagnosis baik sebagai achondroplasia (short-limbed dwarfism) ataupun Morquio syndrome (Short-trunk dwarfism). Lambat laun, penggambaran banyak sekali entitas tidak lagi cocok dengan kedua macam “kelainan” ini yang kemudian membawa para ahli untuk datang dengan sebuah teknik pendekatan sistimatik. Kelompok “International Nomenclature of Constitutional Diseases of Bone”, yang sejak publikasi pertamanya pada tahun 1970an telah sesekali mengklasifikasi semua gangguan ini (1970-1977-1983-1992-2001-2005-2009)(3). Pada tahun 1970an, kategorinya murni klinik dan deskriptif. Kemudian ini belakangan berkembang menjadi sebuah kombinasi pengetahuan klinik, radiologik dan molekuler sebagaimana mekanisme patogenik dari bermacam entitas telah terungkap. Revisi terakhir di tahun 2010 dari Nosology and Classification of Genetic Skeletal Disorders, satu peningkatan dari sebanyak 372 menjadi 456 gangguan tercatat dalam empat tahun sejak kalsifikasi ditinjau terakhirnya di tahun 2007 (2,4). Kondisi ini, sebanyak 316 gangguan dikaitkan dengan satu atau lebih dari 226 gen-gen berbeda. Peningkatan ini merefleksikan berlangsungnya penggambaran berkelanjutan dari fenotip-fenotip unik di antara kondisi-kondisi perawakan tubuh pendek, yang dalam keseluruhannya mewakili sekitar 5% dari anak-anak yang dengan defek lahir (1). Beberapa dari peningkatan ini juga didorong oleh kemajuan teknologi dalam kemampuan kita menentukan dasar genetik molekuler semua kondisi ini, yang saat ini diketahui sebanyak 316 macam gangguan (pada revisi sebelumnya 215), dengan defek pada 226 gen berbeda (sebelumnya 140). Tabel 1 menyajikan sebuah daftar kelompok utama dalam klasifikasi yang dipublikasikan terakhir (2).

Tabel 1
Osteokhondrodisplasia (Nosologi dan Klasifikasi Kelainan Skeletal Genetik: Revisi 2010)


 
 




Bagaimanapun dalam praktik sehari-harinya, klinisi berhadapan dengan pasien-pasien dengan perawakan pendek mungkin menjadi bingung dengan daftar-daftar molekuler. Dengan demikian adalah menjadi penting untukmengingt bahwa satu diagnosis akurat dari satu displasia skelet adalah masih berdasarkan pada pengevaluasian terinci dari temuan klinik dan radiografik (demikian juga temuan khondro-oseous). Tinjauan ini bertujuan untuk meringkas teknik pendekatan diagnosis bagi perawakan tubuh pendek tak proporsional dengan penekanan khusus pada temuan radiologik.

Evaluasi Klinik


Riwayat akurat prihal waktu mulai munculnya perawakan pendek adalah penting sebelum pemeriksaan fisik dilakukan. Di antara mendekati 400 displasia skelet, 100 atau lebih di antaranya onsetnya pranatal, sementara yang lainnya mungkin hanya hadir baik saat baru lahir atau setelah usia 2 hingga 3 tahun (5). Individu-individu dengan perawakan pendek tak proporsional cenderung diakibatkan oleh dampak dari satu displasia skelet. Namun, proporsi tak normal mungkin tidak mudah dikenali. Dengan demikian, kapanpun seorang individu memerlihatkan perawakan pendek, adalah penting untuk mengukur proporsi tubuh. Hal ini harus selalu diingat karena beberapa ketidaknormalan mineralisasi tulang generalisata seperti misalnya ketidaksempurnaan osteogenesis (OI), beberapa gangguan osteosklerotik, dan hipofosfatasia mungkin menunjukkan proporsi yang mendekati normal.
Pengukuran anthropometrik seperti rasio segmen atas/bawah (U/L), tinggi saat duduk, dan rentang lengan secara rutin diukur ketika seorang pasien dengan perawakan tubuh pendek dievaluasi. Tinggi saat duduk adalah pengukuran kepala dan togog, dan mungkin sulit untuk diukur secara akurat dikarenakan kebutuhan akan peralatan khusus. Segmen bawah, bagaimanapun, lebih mudah untuk mengukurnya (dari simfisis pubis menuju lantai sebelah medial tumit). Segmen atas dapat kemudiannya dihitung dengan mudah dengan cara mengurangi segmen bawah dari tinggi total. Mengukur segmen atas dan bawah dapat dibuat dalam posisi berdiri atau rebahan. Rasionya berubah-ubah dengan bertambahnya usia. Rasio U/L adalah 1.7 pada bayi baru lahir; mendekati 1.0 di antara usia 2-8 tahun; 0.95 saat dewasa. Pasien berperawakan tubuh pendek dengan togog pendek akan memiliki satu rasio U/L rendah, sementara seorang individu dengan togog normal dan anggota gerak relatif pendek akan memiliki satu rasio U/L meningkat (6).
Evaluasi klinik juga meliputi penguraian dari anggota gerak yang terlibat. Bergantung pada segmen anggota gerak terutama yang terlibat, kondisi dapat dijelaskan sebagai rhizomelic (humerus dan femur), mesomelic (radius, ulnae, tibia dan fibula) dan acromelic (tangan dan kaki). Uraian ini membantu dalam diagnosis banding. Perlu diperhatikan bahwa satu pemeriksaan yang cermat oleh seorang ahli genetika klinik yang berpengalaman dapat kadang memersempit daftar entitas dismorfologik yang mesti dipertimbangkan bahkan sebelum radiograf kerangka dianalisis (7).
Penilaian klinik lainnya seperti data imunologik/hematologik juga kualitas rambut, adanya celah langit-langit mulut, ketidaknormalan mata (myopi) dan bahkan berbagai ketidaknormalan organ dalam (kista ginjal, hepatosplenomegali) adalah penting pada evaluasi displasia skeletal.
Setelah memeroleh satu riwayat keluarga yang lengkap, membangun satu silsilah keluarga yang rinci dan melaksanakan pemeriksaan klinis, penilaian radiologik kemungkinan besar menutup kasus pada kebanyakan displasia skeletal karena sebagiannya memiliki gmbaran radiologik yang khas pada tulang yang bertumbuh.

Penilaian Radiologik


Sebelum memberikan rincian analisis radiografik bertahap untuk displasia skeletal, penting untuk ditekankan bahwa sebuah “survei skeletal genetik” lengkap tidak diperlukan bagi pasien-pasien dengan perawakan tubuh pendek yang proposional, pada mana diagnosis bandingnya terdiri dari perlambatan konstitusional, perawakan tubuh pendek familial, sekelompok kecil endokrinopati dan beberapa sindrom dismorfik. Penilaian imejing awal mereka mungkin memerlukan radiograf tangan kiri dan pergelangan tangan untuk penentuan usia tulang. Ini akan melindungi anak-anak dari pemaparan radiasi yang tidak perlu.
“Survei skeletal genetik” harus meliputi pandangan anteroposterior (AP), dan pandangan lateral kepala. Pandangan AP dan lateral keseluruhan tulang belakang, dan pandangan AP pelvis dan keempat ekstremitas, dengan pandangan AP terpisah dari tangan dan kaki (sebuah pandangan lateral dari lutut dapat membantu diagnosis satu bentuk resesif dari multiple epiphyseal dysplasia [MED] terkait dengan multilayered patella) (7). Pada pasien dewasa, adalah wajib untuk mencoba memeroleh radiograf skeletal prapubertal. Sekali epifisis telah menyatu dengan metafisis, diagnosis dapat menjadi sulit ditegakkan. Setelah mendapatkan radiograf, satu penilaian tiga langkah akan membantu dalam mencoba membuat sebuah diagnosis spesifik.

Langkah I (Penilaian Disproporsi): Satu penilaian dari disproporsi yang sama dengan seseorang membuatnya secara klinis adalah melihat secara berulang-ulang pada radiograf. Satu penglihatan cepat pada tulang belakang akan dengan segera membantu memutuskan apakah terdapat platyspodily yang mengarahkan kita ke pada disproporsi togog-pendek. Hal yang sama, dengan melihat ke ekstremitas mungkin dapat membantu menentukan rhizomelia, mesomelia, dan acromelia. Harus dicatat bahwa semua istilah deskriptif segmen anggota gerak ini mungkin lebih banyak benarnya secara radiologik sebagaimana visualisasi klinik yang dititikberatkan oleh lipatan kulit atau jaringan lainnya lebih dari pada panjang dari tulang yang di bawahnya. Rhizomelic chondrodysplasia punctata (CDP) adalah satu contoh baik dari satu rhizomelic skeletal dysplasia yang didiagnosis dengan temuan radiologik tambahan kalsifikasi punktat (gambar bintik-bintik/stippling) dan vertebra terbelah (clefted) koroner (Gambar 1). Mesomelia saja akan menyarankan satu daftar diagnosis banding heterogen yang panjang dari displasia mesomelik. Kehadiran acromelia adalah penting untuk diketahui, sebagaimana ia mungkin sebagai sebuah temuan satu-satunya. Kehadiran hanya acromelia saja mungkin menyarankan displasia skeletal seperti acromicric dysplasia, acrodysostosis, geleophysic dysplasia atau displasia nonskeletal seperti brachydactylies. Tipe E brachydactyli, ditandai oleh tulang metakarpal IV pendek mungkin menyokong temuan klinik atau laboratoris pada sindrom Turner dan pseudohipoparatiroidisme, berturut-turut. Ketidakhadiran pemendekan akromelik yang proporsional juga sangat penting untuk diingat pada spondyloepiphyseal dysplasia congenita (dan kebanyakan dari kolagenopati tipe II) (7).
 
 
Gambar 1

Rhizomelic chondrodysplasia punctata. Perhatikan  humerus yang pendek

Langkah II (Penilaian Osifikasi Epifiseal/Metafiseal/Diafiseal)
: Perkembangan abnormal epifisis, metafisis, dan diafisis memunculkan nomenklatur awal yang menggunakan nama-nama lokasi (Gambar 2). Sebuah tampilan menyeluruh dari survei radiologik akan menyarankan displasia epifiseal atas kehadiran dari epifisis yang sangat kecil (osifikasi tertunda) dan/atau osifikasi tak teratur (Gambar 3a). Bila metafisis melebar, meluas, dan/atau tak teratur, diagnosis dari sebuah bentuk displasia metafiseal dimapankan (Gambar 3b, 3c dan Gambar 4). Displasia diafiseal hadir ketika terdapat pelebaran disafisis dan/atau penebalan korteks atau ekspansi atau restriksi ruang sumsum. Terlibatnya hanya vertebra tanpa perubahan dalam regio plat pertumbuhan pada satu pasien dengan perawakan tubuh pendek togog-pendek ini menyarankan brachyolmia (Gambar 5a dan 5b). Gambar 3 membantu mengombinasikan keterlibatan skeletal yang disebutkan di atas, seperti bentuk-bentuk displasia spondyloepiphyseal dan kelompok dari spondylo-epi-(meta)-physeal dysplasia (SE[M]Ds). Fraktur-fraktur dapat dilihat pada keseluruhan tipe OI (Gambar 6), kelainan osteosklerotik termasuk osteopetrosis (Gambar 7) dan hipofosfatasia (Gambar 8) (7).

 
 Gambar 2
Area kunci tulang yang bertumbuh


Gambar 3
a,b,c. Manifestasi Radiografik Displasia


Gambar 4
Abnormalitas Radiografik membantu dalam Klasifikasi Displasia Skeletal


Gambar 5
a,b. Brachyolmia. Perhatikan platyspondyly dan pedikel overfaced


Gambar 6
Fraktur pada Osteogenesis Imperfecta

Gambar 7
Osteopetrosis, generalized osteosclerosis

Gambar 8
Infantile hypophosphatasia

Menyusul evaluasi segmen anggota gerak dan plat pertumbuhan epifiseal, fokus pada keseluruhan struktur skeletal yang tersedia dalam survei skeletal genetik mensyaratkan wajib mengenal satu displasia skeletal yang terjelaskan dengan baik dari satu yang sebelumnya berkategori kasar menjadi sebuah kelompok spesifik. Evaluasi yang akurat ini akan meliputi satu penelusuran berbagai temuan patognomonik, seperti misalnya tulang berbentuk siput dari displasia Schneckenbecken (Gambar 9), tampilan “berrenda (lacy)” dari krista iliaka pada sindrom Dygve-Melchior_Clausen (Gambar 10), dan hilangnya angulus mandibula disertai dengan wormian bone dan acroosteolysis pada pycnodysostosis (Gambar 11 a, b, c) (7).

Gambar 9
Schneckenbecken dysplasia. Perhatikan platyspondyly parah, kosta tipis dan tulang iliak berbentuk siput



Gambar 10
Sindroma Dyygve-Melchior-Clausen. Perhatikan “lacy” iliac crest

Gambar 11
a,b,c. Pycnodysostosis. Hilangnya angulus mandibula dengan wormian bones, fontanela besar dan acroosteolysis pada distal falang tangan


Langkah III (Diferensiasi berbagai Varian Normal dari Berbagai Abnormalitas Patologik)
: Langkah terakhir ini memerlukan pengalaman dalam wilayah radiologi pediatrik. Pada dasarnya ini meliputi pengenalan variasi normal dari bermacam ketidaknormalan patologik pada tulang kerangka yang sedang bertumbuh. Setiap porsi dari setiap struktur tulang harus benar-benar diperhatikan dikombinasikan dengan temuan-temuan klinik, sering kali berupa dismorfik, yang sebelumnya tercatat pada evaluasi pasien. Temuan-temuan patognomonik membantu memersempit kelompok diagnosis banding yang mengarah kepada entitas spesifik.
Pada titik ini, setelah melakukan sebuah penilaian klinik dan radiologik menyeluruh, bahkan satu pengelompokkan radiografik dapat membantu klinisi untuk memapankan perawatan klinik dan tindak lanjutnya. Tabel 2 menyediakan sebuah daftar pengelompokkan dimaksud dengan entitas spesifik umum untuk dipertimbangkan (7).

Tabel 2: Petunjuk untuk Diagnosis Radiografik Displasia Skeletal


SIMPULAN

Kelompok lengkap dari osteokhondrodisplasia, walau secara sendiri-sendiri adalah jarang, merupakan satu kelompok penting kelainan bagi penyedia layanan kesehatan yang menghadapi individu-individu dengan perawakan tubuh pendek. Semua individu ini hadir dengan bermacam morbiditas bermakna akibat dari destruksi tulang dan kartilago yang disebabkan oleh bermacam defek dalam pertumbuhan linier, modeling tulang dan regenerasi. Terlepas dari diagnosis spesifik, displasia skeletal pada umumnya berbagi berbagai temuan klinik dan radiologik yang membantu kita untuk mengelompokkannya dalam beberapa cara. Dalam tinjauan ini, ditujukan untuk fokus pada aspek radiologik dari penilaian displasia skeletal. Juga dimasukkan penjelasan secara garis besar teknik pendekatan klinik dasar terhadap seseorang yang dengan suspek displasia skeletal. Berbagai kemajuan terkini dalam wilayah mekanisme patogenetik molekuler yang mendasari displasia skeletal adalah di luar lingkup tinjauan ini. Bagaimanapun, yang diinginkan adalah penekanan bahwa diagnosis klinik, radiologik dan akhirnya molekuler dari displasia skeletal adalah lebih penting dari pada sebelumnya dalam era diagnosis konseling genetik, pranatal, diagnosis genetik praimplantasi saat ini dan semoga juga, teraputik bertargetkan molekuler di masa depan.

Jumat, 08 Februari 2013

Perkembangan Sistim Muskuloskeletal: Hal Pokok Mutakhir



Pendahuluan
Sistim muskuloskeletal adalah sangat penting untuk sokongan struktural, daya penggerak dan gerakan. Ia adalah sebuah sistim komponen berganda berkomposisikan otot, jaringan ikat otot, tendon, ligamen dan tulang, dipersyarafi oleh syaraf dan divaskularisasi oleh pembuluh darah. Jadi, perkembangan sistim muskuloskeletal adalah kompleks. Perkembangan muskuloskeletal membutuhkan tidak hanya spesifikasi dan diferensiasi dari semua tipe sel berbeda ini, namun juga oleh morfogenesis terkoordinir mereka ke dalam sebuah sistim fungsional terintegrasi. Juga, perkembangan sistim muskuloskeletal diperrumit oleh asal embryologi berbeda dari bermacam komponen muskuloskeletal. Lebih lanjut lagi, terdapat perbedaan jelas dalam perkembangan tulang muskuloskeletal aksial, kepala dan tungkai.
Mengingat kompleksitas perkembangan muskuloskeletal, peneliti memiliki spesialisasinya dengan cara mengkaji perkembangan dari jaringan individual atau terkonsentrasi pada perkembangan kepala, bagian aksial badan atau tungkai. Mengingat adanya spesialisasi ini, begitu banyaknya pertemuan dilaksanakan mengenai myogenesis, perkembangan tulang, morfogenesis kraniofasial dan perkembangan anggota gerak. Namun demikian, agar jelasnya pemahaman tentang perkembangan muskuloskeletal, maka membutuhkan satu teknik pendekatan integratif. Selain dari pembicaraan tentang keseluruhan dari jaringan komponen, para peneliti menyajikan kajian-kajian tentang perkembangan muskuloskeletal aksial, kepala dan anggota gerak. Di dalam pertemuan yang diadakan, di antara mereka membawa serta semua peneliti yang menggunakan banyak model sistim vertebrata berbeda (ikan zebra, kodok, anak ayam dan tikus), juga yang baru, sistim yang muncul (seperti misalnya ikan hiu, bebek dan jerboa). Juga pembicaraan dari ahli genetika tentang Drosophila dan C. elegans adalah penting di dalam diskusi, sebanyak kemajuan konsep baru telah muncul dari semua kajian ini. Yang paling penting, dari pembicaraan itu terungkap bahwa interaksi di antara komponen berbeda adalah penting bagi morfogenesis muskuloskeletal (Gambar 1). Tema lainnya yang muncul adalah kepentingan gaya-gaya mekanik otot dalam membentuk tulang rawan dan tulang sepanjang masa perkembangan hidup. Akhirnya, beberapa kajian baru menyediakan wawasan ke dalam evolusi sistim muskuloskeletal dengan cara mengidentifikasi inovasi-inovasi kunci dalam perkembangan kepala, leher dan anggota gerak.

Pelajaran yang dapat diambil dari motilitas, fusi, posisi nuklear dan tipe serat otot
Satu dari langkah tumbuh kembang paling dini dalam rangka memapankan sistim muskuloskeletal adalah pembentukan mesoderm prasomitik, yang pada akhirnya membentuk keseluruhan muskuloskeleton aksial dan memunculkan otot-otot anggota gerak. Bagaimana mesoderm prasomitik membentuk dan memanjang, kemudian menjadi subjek pembicaraan. Melalui pemakaian penciteraan hidup dari embryo anak ayam yang sedang tumbuh diperlihatkan dengan mengejutkan bahwa, pemanjangan mesoderm prasomitik tidaklah hasil dari migrasi sel langsung namun malahan adalah sebuah sifat yang muncul dari pengaturan kolektif dari motilitas sel yang bertingkat dan acak (Benazeraf dkk., 2010)
Beberapa pembicaraan menekankan pentingnya kajian genetik C. elegans dan Drosophila dalam mengungkap proses seluler mendasar penting bagi perkembangan sistim muskuloskeletal. Fusi merupakan bagian penting dari pembentukan serat otot berinti ganda dari myoblas individual. C. elegans adalah organisme yang baik sekali dipakai di dalam rangka mengkaji fusi antar sel sebagaimana sepertiga dari inti somatiknya merupakan bagian dari satu synctia, yang terbentuk lewat fusi. Melalui layar genetik, kelompok Benjamin Podbilewicz’s telah mengidentifikasi dua gen, eff-1 dan aff-1, yang adalah penting dan memadai untuk sel-sel berfusi (Oren-Suissa dkk, 2010). Kedua fusogen ini adalah anggota pendiri dari fusion family (FF), yang tidak hanya dijumpai pada nematoda, namun juga pada beberapa arthropoda dan khordata (seperti misalnya amphioxus). Kemampuan kedua fusogen ini mendorong fusi antar sel pada sel-sel ginjal vertebrata yang dibenihkan (BHK) menyarankan bahwa FF fusogen mungkin berfungsi di dalam vertebrata (Avinoam dkk., 2011). Eyal Schetjer dan Benny Shilo juga mendiskusikan hasil kerja mereka, memeriksa fusi myoblas pada Drosophila. Mereka memerlihatkan bahwa homolog WASp Drosophila, satu faktor terkonservasi yang mendorong nukleasi filamen aktin berbasis-Arp2/3, adalah penting baik bagi fusi myoblas embryonik maupun dewasa. Tambahannya, homolog SCAR/WAVE lalat, faktor major kedua pendorongan-nukleasi Arp2/3, juga dibutuhkan selama fusi myoblas dewasa (Mukerjee dkk., 2011).
Setelah fusi myoblas menjadi serat-serat otot multinukleat, myonuklei bergerak menuju ke satu posisi periferal dan menyebar ke keseluruhan panjang serat otot. Posisi nuklei yang tidak tepat merupakan satu tanda berbagai penyakit otot termasuk berbagai myopati sentronuklear. Namun, mekanisme molekuler yang mengendalikan posisi myonuklear sebagian besarnya tidak diketahui dan apakah posisi nukleus yang benar adalah diperlukan bagi fungsi otot adalah tidak jelas. Untuk mendalami persoalan ini, Mary Baylies’ Lab (Sloan-Kettering Institute, NY, USA) melakukan penyaringan genetik prospektif, menggunakan embryo Drosophila dengan myonuklei yang dilabel secara fluoresen untuk mengidentifikasi mutan-mutan dengan posisi myonuklei abnormal. Mereka menemukan bahwa dua protein terkait-mikrotubulus adalah penting, merupakan pengatur terkonservasi evolusioner dari pemosisian myonuklear. Lebih lanjut, peneliti ini memerlihatkan bahwa defek-defek dalam pemosisian myonuklear akan merusak motilitas larva Drosophila. Menentukan kenapa posisi nuklear adalah penting bagi fungsi otot, akan menjadi sebuah area menarik dari penelitian di kemudian hari.

Gambar 1
Interaksi jaringan dalam morfogenesis muskuloskeletal. Otot vertebrata, memerlihatkan interaksi di antara otot (merah), jaringan ikat otot (hijau), tendon (biru), tulang (abu-abu) dan syaraf (cokelat) yang adalah sangat penting bagi morfogenesis muskuloskeletal.

Otot dan tulang dapat muncul dari tempat-tempat yang mengherankan
Walau kompleks, asal embryologik komponen-komponen berbeda dari kepala, aksial dan anggota gerak sistim muskuloskeletal secara umum telah terkarakterisasi dengan baik. Otot aksial dan apendikuler muncul dari somit, di mana otot kepala berasal dari mesoderm paraksial dan splanchnic kranial. Jaringan ikat apendikuler, tendon, ligamen dan tulang berasal dari plat lateral, di mana pada kepala semua jaringan ini berasal dari krista neural, dan pada muskuloskeleton aksial mereka berasal dari regio-regio berbeda dari somit. Namun, dari beberapa pembicaraan, sumber-sumber baru selang-seling untuk otot dan tulang dijelaskan. Ketan Patel memerlihatkan percobaannya yang sangat bagus pada anak ayam dan tikus yang mengunjukkan bahwa otot-otot leher superfisial adalah bukan berasal dari somit, sebagaimana diperkirakan sebelumnya, namun dari plat lateral oksipital mesoderm (Theis dkk., 2010). Ini adalah kali pertama bahwa setiap otot postkranial telah diperlihatkan berasal dari sel-sel non-somitik. Pada orang dewasa (dan secara potensiil pada embryo), otot mungkin juga berasal dari sumber lain lagi. Zipora Yablonka-Reuveni (USA) menggunakan satu Cre line driven oleh elemen-elemen pengaturan rantai berat myosin otot polos pada tikus besar untuk mengunjukkan kontribusi satu garis turunan sel unik, yang secara potensiil berasal dari otot polos, terhadap lubuk sel punca otot dewasa pada domain orbital otot-otot ekstraokuler. Secara potensiil, asal alternatif dari sel-sel punca otot ekstraokuler ini menjelaskan kenapa otot-otot ekstraokuler luput dari bermacam myopati, seperti misalnya Duchenne muscular dystrophy. Akhirnya, Bjorn Olsen (USA) dalam penyajian datanya memerlihatkan bahwa, selama penyakit berlangsung, tulang rawan dan tulang dapat berasal dari sumber-sumber jaringan non-kanonikal. Dalam kondisi patologik fibrodysplasia ossificans progressiva (FOP), tulang rawan dan tulang secara ektopik dari dalam jaringan lunak. Secara mengejutkan, semua osifikasi heterotopik ini berasal dari sel-sel endotelial, yang mana melalui pengekspresian mereka akan activin-like kinase 2 berdiferensiasi menjadi khondrosit atau osteoblas (Medici dkk., 2010). Apakah sel-sel endotelial dapat menimbulkan tulang rawan atau tulang selama perkembangan kerangka normal, adalah sungguh merupakan satu kemungkinan yang menggoda, namun tak tergali.

Otot berinteraksi dengan tendon dan syaraf selama masa perkembangan
Fungsi muskuloskeletal membutuhkan bahwa otot itu mesti dikaitkan dengan tulang lewat tendon dan dipersarafi oleh motorneuron. Interaksi di antara otot dan tendon adalah penting bagi perkembangan mereka. Drosophila memiliki sel-sel menyerupai-tendon, yang mana ini meneruskan daya kontraktil otot ke kutikula. Hasil kerja lab milik Talila Volk memerlihatkan bahwa Stripe, satu Egr (early growth response)-like transcription factor, adalah penting untuk spesifikasi dan diferensiasi dari semua sel-sel mirip tendon ini. Sekarang, kelompok dari Volk telah mengidentifikasi, lewat microarrays, gen-gen spesifik-tendon baru. Ia memerlihatkan bahwa dua dari semua gen ini, Thrombospondin dan slowdown, diatur oleh Stripe, dan bahwa semua faktor ini disekresikan dari sel-sel tendon dan mengarahkan pengadhesian otot ke sel-sel yang sesuai (Gilsohn dan Volk, 2010; Subramanian dkk., 2007). Berdasarkan pada peran menonjol Stripe pada perkembangan tendon Drosophila, lab milik Delphine Duprez memeriksa peran dari faktor-faktor Egr pada perkembangan tendon vertebrata. Ia melaporkan bahwa Egr1 dan Egr2 dengan kuat terekspres pada tendon-tendon anggota gerak anak ayam dan tikus dan mengatur pengekspresian penanda tendon scleraxis, demikian juga banyak kolagen tendon (Lejard dkk., 2011). Lebih jauh, ia memerlihatkan bahwa fibroblast growth factor (FGF), yang berasal dari otot, mampu mengaktifasi pengekpsreian gen-gen Egr dan kolagen-kolagen terkait-tendon.
Interaksi di antara otot dan syaraf juga dibutuhkan untuk pembentukan neuromuscular junction. Hasil karya sebelumnya dari lab Steve Burden (USA) telah menunjukkan bahwa Lrp4, dan LDL receptor-related protein, berikatan dengan agrin berasal dari syaraf dan merangsang MuSK, sebuah reseptor tyrosine kinase yang terekpres pada otot, yang penting bagi diferensiasi pascasinaptik otot (Kim dkk., 2008). Burden juga menyajikan data baru yang memerlihatkan bahwa Lrp4, yang terekspres pada otot, juga diperlukan dan cukup untuk diferensiasi prasinaptik dari motorneuron pada sinaps neuromuskuler. Jadi, Lrp4 memainkan peran penting dalam diferensiasi prasinaptik, demikian juga pascasinaptik, pada sinaps-sinaps neuromuskuler.

Otot diatur oleh skelrotom dan jaringan ikat selama masa perkembangan
Satu langkah penting dalam morfogenesis muskuloskeletal adalah migrasi progenitor myogenik dan diferensiasi mereka menjadi otot-otot anatomik. Banyak kajian klasik chimera anak burung puyuh (misalnya Chevalier dkk., 1977; Jacob dan Christ, 1980) mengunjukkan bahwa sinyal ekstrinsik adalah penting bagi pengaturan migrasi dan diferensiasi otot. Chaya Kalcheim (Israel) dalam penyajian data barunya memerlihatkan bahwa sclerotome-derived Slit1 mengatur arah migrasi dan diferensiasi sel-sel myogenik yang mengekspres-Robo2 pada myotom anak ayam dini (yang akan memunculkan otot aksial). Anne Gaelle Borycki (Inggris) juga memerlihatkan bahwa pensinyalan sonic hedgehog (Shh) diperlukan bagi perakitan membran dasar myotomal tikus dan bahwa membran dasar ini mengontrol migrasi dan diferensiasi sel-sel myotomal (Anderson dkk., 2009).
Pada orang dewasa, otot tulang belakang dikelilingi oleh jaringan ikat otot, yang berkomposisikan sejumlah kecil fibroblas yang menghasilkan, dan terbenam dalam, matriks ekstraseluler. Walaupun jaringan ikat otot adalah penting bagi struktur dan fungsi otot dewasa, perannya dalam morfogenesis muskuloskeletal masih tetap banyak tidak tergali. Peleg Hasson (Israel) menyajikan hasil kerjanya yang dilaksanakan di Malcolm Logan’s lab (Inggris) memerlihatkan bahwa transcription factor Tbx5 non-cell-autonomously, lewat jaringan ikat otot, mengatur pola dari otot-otot anggota gerak (Hasson dkk., 2010). Menariknya, Tbx5 non-cell-autonomously juga mengatur pola pembuluh darah anggota gerak. Kesulitan dalam pengkajian jaringan ikat otot adalah dikarenakan rendahnya penanda yang dapat dipakai untuk fibroblas jaringan ikat. Gabrielle Kardon (Amerika) menyajikan data yang memerlihatkan bahwa transcription factor Tcf4 (Tcf7L2) kuat sekali diekspres dalam semua fibroblas ini. Menggunakan generasi baru Tcf4GFPCre dan tamoxifen-inducible Tcf4CreERT2 Cre driver line pada tikus, ia memerlihatkan bahwa selama masa perkembangan, jaringan ikat mengatur tipe dan maturasi serat otot (Mathew dkk., 2011) dan bahwa selama regenerasi fibroblas jaringan ikat mengatur ekspansi sel punca otot dewasa. Jadi, semua kajian ini mengunjukkan bahwa jaringan ikat merupakan sebuah komponen penting dari niche yang mengatur perkembangan dan regenerasi otot.

Tendon dan tarik tambang tulang
Tendon dan tulang secara struktural dan biomekanik terkait dalam muskuloskeleton dewasa. Data baru dari Ronen Schwetizer’s lab (Amerika) memerlihatkan bahwa hubungan di antara tendon dan tulang bahkan lebih dekat lagi dibandingkan dengan apa yang diketahui sebelum ini. Percobaan-percobaan garis turunan mereka pada tikus memerlihatkan bahwa sel-sel Sox9+ (Sox9 adalah sebuah faktor transkripsi yang dibutuhkan bagi perkembangan skelet) tidak hanya memunculkan tulang rawan, namun juga memunculkan enthesis (persimpangan tulang-tendon) dan tendon distal anggota gerak yang baru muncul. Setelah itu, semua tendon distal ini memanjang oleh rekrutmen tenosit bergantung-scleraxis ke tendon yang sedang membentuk. Jadi, menurut perkembangan, tendon anggota gerak distal berasal dari sel-sel khrogenik Sox9+, demikian juga dari tenosit scleraxis+.
Beberapa di antara ahli menekankan peran dari gaya-gaya mekanik dalam pembentukan tulang rawan dan tulang. Stavros Thomopoulos (Amerika) memerlihatkan pada tikus kecil bahwa pembebanan mekanik dari otot penting untuk perkembangan dari insersi otot ke dalam tulang. Ketiadaan gaya kontraktil otot, lewat paralisis oleh toksin botulinum, mengganggu pembentukan tulang, fibrokartilago dan tendon pada tempat bertumbuhnya insersi. Elazar Zerzer juga mengunjukkan bahwa perkembangan bentuk khusus tulang panjang pada anggota gerak adalah diatur oleh gaya kontraktil otot. Tulang dibentuk oleh deposisi mineral asimetrik dan penebalan kortikal transien dan kedua proses ini bergantung pada kontraksi otot. Akhirnya, Rich Scheneider (Amerika) memeriksa pembentukan tulang rawan sekunder pada otot aduktor mandibula rahang bawah burung. Tulang rawan sekunder ini hadir pada bebek namun tidak pada puyuh. Menggunakan chimera bebek-puyuh, ia mengunjukkan bahwa krista neuralis mengontrol pola otot yang spesifik-spesies, yang pada gilirannya mengatur lingkungan mekanik otot dan pembentukan tulang rawan sekunder.

Krista neural: mediator sentral dari muskuloskeleton kepala
Sebagaimana di tinjau oleh Drew Noden (Amerika), krista neural merupakan pusat dari perkembangan sistim muskuloskeletal kranial. Krista neural memunculkan jaringan ikat otot, tendon, ligamen dan tulang kepala dan penting untuk pemolaan otot-otot kepala. Sel-sel krista neural menjalani satu transisi epitelial-to-mesenchymal saat mereka keluar tubulus neural dan bermigrasi secara ekstensif ke seluruh kepala yang sedang berkembang. Sebagaimana dibicarakan oleh Dalit Sela-Donenfeld (Israel) dan oleh Eldad Tzahor, matriks metaloprotease dan the tumor-supressor gene p53 penting bagi semua proses ini. Penginaktifasian p53 (Trp53) pada embryo tikus mengawali ke defek-defek luas pada skelet kepala, otot dan syaraf (Rinon dkk., 2011). Penelitian Giovanni Levi’s (Perancis) juga menekankan kepentingan dari krista neural dalam pembentukan rahang bawah vertebrata. Ia memerlihatkan bahwa faktor transkripsi Dlx5 dan Dlx6, yang diekspres dalam krista neural, adalah penting dan cukup untuk menetapkan rahang bawah tikus kecil. Lebih lanjut, ia mengunjukkan bahwa pengekspresian gen-gen Dlx dalam krista neural secara non-otonomous mengatur penentuan, diferensiasi dan pola dari otot-otot rahang bawah tikus (Heude dkk., 2011). Akhirnya, Paul Trainor (Amerika) menjelaskan satu sindrom kraniofasial kongenital manusia yang parah, syngnathia, pada mana maksila dan mandibula menyatu dan adanya defek sangat luas pada sistim muskuloskeletal kranial. Data baru dari Trainor lab mengidentifikasi kaskade pensinyalan FoxC-Fgf yang adalah penting untuk pembentukan sendi rahang yang tepat dan menyarankan bahwa defek-defek dalam kaskade ini yang kemungkinan mendasari syngnathia. Apakah jalur ini berfungsi spesifik di dalam krista neural sepertinyaakan menjadi satu pertanyaan menarik bagi penelitian di masa mendatang.

Evolusi kepala, leher dan anggota gerak
Selama jalannya evolusi khordata, sistim muskuloskeletal telah menjadi semakin kompleks (Gambar 2). Leluhur sistim muskuloskeletal khordata, sebagaimana diunjukkan pada cefalokhordata (mis., amphioxus) dan urokhordata (mis., larva tunicate), terdiri dari sebuah muskuloskeleton aksial, yang keduanya menyokong togog dan memampukan daya penggerak (locomotion). Dengan evolusi agnathans (hagfishes dan lamprey), sebuah kepala muskuloskeleton berevolusi dan menjadi ini penting untuk makan. Dengan evolusi ikan-ikan bertulang rawan (mis., hiu), sebuah skeleton apendikuler ditambahkan dalam bentuk sirip berpasangan, yang memungkinkan untuk moda daya penggerak yang lebih kompleks. Pada tetrapoda, kedua sirip berpasangan ini menjadi jauh lebih jelas sebagai anggota gerak berpasangan. Berbagai inovasi perkembangan merupakan kunci yang tidak diragukan bagi pengarahan evolusi luar biasa dari sistim muskuloskeletal.
Asal evolusioner dan elaborasi kepala kuat sekali terkait dengan asal dan modifikasi dari krista neural. Sebagaimana diilustrasikan oleh kajian burung bebek-puyuh dari Rich Schneider, spesialisasi kepala sistim muskuloskeletal (misalnya perubahan pada rahang bawah untuk memungkinkannya bagi moda berbeda aktifitas makan) dikodekan dalam krista neural kranial. Pemahaman asal evolusioner dari kepala sistim muskuloskeletal membutuhkan kajian dari vertebrata yang lebih basal dibandingkan sistim-sistim model yang biasa dikaji. Hagfish akan menjadi satu vertebrata ideal untuk keperluan itu, namun pembiakan dan pembesaran hagfish terbukti sangat sulit. Jadi, adalah sangat menggairahkan kemudian untuk memelajarinya dikarenakan Shigeru Kuratani (Jepang) sekarang mampu membenihkan embryo hagfish, dan kajiannya tentang embryo-embryo ini semestinya menyediakan banyak pengetahuan mendalam tentang evolusi kepala muskuloskeleton.
Walaupun seringkali terabaikan, evolusi dari leher merupakan sebuah inovasi tetrapod penting karena ia mengijinkan kepala untuk bergerak secara bebas dari tubuh. Perkembangan leher memerlukan pengurangan iga vertebra maupun pembesaran otot-otot untuk menyetabilkan dan menggerakkan leher dan kepala. Semenjak penelitian Ketan Patel mengunjukkannya, asal perkembangan otot leher adalah unik. Otot-otot ini muncul dari plat lateral oksipital, menyebarkan program myogenik kepala, dan dipolakan oleh jaringan ikat yang berasal dari krista neural kranial. Berbagai inovasi perkembangan seperti itu kemungkinan besar menjadi sangat penting bagi evolusi semua otot-otot ini dan leher.
Evolusi dari pelengkap berpasangan merupakan satu inovasi lokomotor penting. Pengekspresian dari faktor transkripsi Tbx5 dan Tbx4 dalam perkembangan anggota gerak depan dan belakang, berturut-turut, telah menyarankan bahwa kedua gen ini mungkin sangat mendasar untuk menginisiasi pertumbuhan bonggol anggota gerak dan penentuan identitas anggota gerak depan dan anggota gerak belakang. Menggunakan satu seri tikus transgenik dan alel-alel tertarget, Malcolm Logan’s lab memerlihatkan bahwa Tbx5 dan Tbx4 adalah sangat penting bagi pembentukan bonggol anggota gerak, namun tidak memainkan satu peran  dalam pemapanan identitas anggota gerak. Lebih lanjut, lab nya memerlihatkan bahwa itu mungkin akuisisi vertebrata atas serangkaian pengaturan yang mengarahkan pengekspresian Tbx5 dan Tbx4 pada plat lateral yang merupakan inovasi perkembangan penting yang memungkinkan evolusi dari pelengkap berpasangan (Minguillon dkk., 2009). Dengan adanya evolusi tetrapod, anggota gerak belakang menjadi semakin penting untuk daya penggerak. Melalui penganalisaan kelompok ikan berbeda (termasuk hiu, paddlefish dan lung fish), kelompok Pieter Currie (Australia) mengidentifikasi sebuah modifikasi bertahap dari satu yang primitif ke modus yang lebih diturunkan dari pembentukan otot sirip pelvis. Modus yang lebih diturunkan dari pembentukan otot anggota gerak belakang ini memungkinkan perkembangan dari anggota gerak belakang penyanggaan-beban.

Gambar 2
Asal evolusioner muskuloskeleton aksial, kranial dan apendikuler. Titik merah mengindikasikan asal dari komponen-komponen muskuloskeleton aksial, kranial dan apendikuler (Coates, 1994; Gans dan Northcutt, 1983; Liem dkk., 2001; Theis dkk., 2010). Filogeni menurut Bourlat dkk., 2006, dan Meyer dan Zardoya, 2003.

Pada tetrapoda, modifikasi panjang tulang anggota gerak merupakan satu gambaran yang umum. Beberapa teknik pendekatan untuk memahami mekanisme yang mendasari pemanjangan anggota gerak berikut diuraikan. Kim Cooper dan Cliff Tabin (Amerika) memusatkan perhatian pada perkembangan dari satu binatang pengerat yang tak lazim, the jerboa, yang telah dengan sangat memanjangkan anggota gerak belakangnya. Kathryn Kavanagh (Amerika) dan Cliff Tabin menggunakan sebuah kombinasi dari percobaan dan embryologi komparatif untuk mengevaluasi asal perkembangan dari variasi dalam proporsi ukuran falang, di mana Uri Alon (Israel) menggunakan sistim falang ini untuk mengunjukkan pemakaian alasan matematik, berdasarkan pada Pareto front priciple tentang optimisasi, sebagai sebuah penjelasan umum dari terbatasnya variasi morfologi di alam.

Simpulan
Ringkasnya, penelitian tentang perkembangan muskuloskeletal bergerak dalam satu arah yang menggairahkan, dengan banyak kajian-kajian baru yang memeriksa otot, jaringan ikat, tendon, dan tulang dalam satu cara integratif. Kajian integratif seperti itu menyingkap bahwa berbagai interaksi molekuler dan seluler di antara jaringan berbeda adalah sangat penting bagi perkembangan sistim muskuloskeletal. Lagi pula, penelitian ini menyediakan pengertian penting mendalam tentang etiologi berbagai penyakit muskuloskeletal manusia dan tentang bermacam inovasi perkembangan yang menjadi kunci dari evolusi kompleks sistim muskuloskeletal.