Senin, 21 Juni 2010

Mengukur Densitas Tulang & Pengelolaan Osteoporosis

PENDAHULUAN

Semua akan setuju bahwa osteoporosis adalah sebagai satu masalah penting dalam kesehatan masyarakat. Setiap upaya perbaikan dari akibat yang ditimbulkan osteoporosis, bergantung pada satu usaha mengurangi timbulnya fraktur. Sehingga banyak usaha-usaha intervensi bergantung pada mengukur massa tulang, dan aplikasi klinis yang benar dari banyaknya teknologi pengukuran massa tulang tersebut haruslah didasarkan atas kriteria berikut: 1) massa tulang dapat terukur secara akurat dan aman; 2) fraktur yang terjadi sedikitnya merupakan bagian dari massa tulang yang rendah; 3) hasil pengukuran massa tulang dapat digunakan untuk memerkirakan risiko fraktur di kemudian hari; 4) Informasi yang diberikan tidak dapat diambilkan dari evaluasi klinis lain; 5) keputusan klinis dapat didasarkan dari informasi yang diambil dari mengukur massa tulang; dan 6) keputusan dimaksud ditujukan kepada baik untuk satu intervensi yang dapat menghasilkan berkurangnya kejadian fraktur di masa datang ataupun untuk mencegah kebutuhan tindakan diagnostik dan intervensi teraputik di masa datang yang dapat mengurangi biaya rawat.

MENGUKUR MASSA TULANG

Massa tulang dapat diukur dengan tingkat akurasi yang baik dan dengan tingkat ketepatan yang cukup dengan menggunakan teknik-teknik yang tersedia.
Semua teknik tersebut adalah jauh lebih unggul dari rontgenogram baku dan metode lainnya yang ada yang memiliki angka kesalahan 30 – 50%. Terlebih lagi, tingkat akurasi mengukur massa tulang adalah sebanding dengan apa yang dihasilkan dari uji-uji lainnya yng telah diterima termasuk uji saringan seperti kolesterol serum.
Metode untuk mengukur massa tulang juga adalah sangat aman dengan paparan radiasi yang rendah. Single photon absorptiometry (SPA) menghasilkan satu dosis yang kurang dari 15mRem, dual photon absorptiometry (DPA) dan dual energy x-ray absorptiometry (DEXA) adalah kurang dari 5mRem, dan modern quantitative computed tomography (QCT) adalah antara 100 – 1000mRem. Bila semua tersebut dibandingkan dengan dosis yang diterima dari penyinaran sinar-x dada sebesar 20 – 50mRem, gigi sebesar 300mRem, atau CT abdomen sebesar 1 – 6Rem.

Hubungan antara Massa Tulang dengan Patah Tulang

Terdapat bukti-bukti yang cukup bahwa patah tulang (fraktur) timbul akibat dari massa tulang yang rendah. Densitas mineral tulang (BMD) adalah berhubungan kuat dengan kekuatan tulang hingga sebesar 75 – 80% dari kekuatan tertinggi jaringan tulang. BMD berkurang dengan meningkatnya usia pada kolum femur, yaitu menurun sekitar 58% pada wanita dan 39% pada laki-laki antara usia 20 ke 90 tahun. Sementara bila dibandingkan seperti di atas pada BMD regio intertrokhanter dari femur proksimal adalah berkurang yaitu 53% dan 35%.
Sejak ditentukannya kekuatan tulang sebagai penentu dalam kerentanan terhadap fraktur, bersama dengan hal-hal serupa seperti mengalami cedera yang cukup kuat, kekuatan tulang mengikuti bahwa BMD adalah juga berkaitan dengan risiko fraktur. Jadi, terdapat satu gradien dari meningkatnya risiko fraktur sekitar panggul dengan berkurangnya massa tulang. Sebagai contoh, fraktur-fraktur kolum dan intertrokhanter femur adalah jarang timbul di antara wanita-wanita di Rochester dan Minnesota yang dengan densitas tulang femoralnya >1,0g/cm2, namun angka insiden meningkat dengan menurunnya massa tulang femoral, mencapai level 8,3 dan 16,6 per 1000 orang-tahun, di antara wanita-wanita dengan level BMD kolum atau intertrokhanter <0,6g/cm2.
Meskipun penentuan femur proksimal melalui dual photon absorptiometry ketersediaan datanya belum cukup lama untuk studi-studi prospektif jangka panjang yang harus dilakukan, model teoritis juga menunjukkan bahwa risiko fraktur panggul sepanjang hidup bervariasi dengan densitas tulang femoral, demikian juga halnya dengan usia. Sebagaimana dalam satu buah model, bagi wanita usia 40 tahun pada saat penentuannya, maka risiko timbulnya satu fraktur femur sepanjang usianya adalah dapat diabaikan di antara mereka-mereka yang dengan densitas tulang 1.3gr/cm2. Adalah sekitar 9,2% untuk satu fraktur kolum femur dan 5,1% untuk satu fraktur intertrokhanter di antara mereka-mereka yang dengan BMD 1,0gr/cm2 dan berlanjut meningkat dengan semakin menurunnya massa tulang di bawah level itu. Untuk densitas tulang sebesar 0,6gr/cm2, maka risiko sepanjang hidup adalah diperkirakan sebesar lebih dari 25% untuk dikedua lokasi tersebut. Bagi wanita usia lebih dari 60 tahun, risiko fraktur sepanjang usianya diperkirakan pada hanya 5,0% untuk fraktur kolum femur dan 2,2% untuk intertrokhanter di antara mereka-mereka yang dengan densitas tulang femoralnya 1,0gr/cm2, sekitar setengah dari untuk usia 40 tahun dengan BMD yang sama.
Tentu saja terdapat faktor-faktor lain bagi timbulnya jenis fraktur-fraktur tersebut, khususnya yang berkaitan dengan jatuh (falling). Untuk jenis fraktur vertebra, berkurangnya massa tulang (bersama-sama dengan kualitas tulang yang buruk) merupakan penyebab fraktur yang predominan; sedangkan trauma memiliki peran yang kecil saja. Di lain pihak, jatuh merupakan hal penting dalam etiologi fraktur sekitar panggul dan jenis Colle’s. Bagaimanapun, risiko jatuh meningkat hanya 19% per tahun di antara wanita usia 60 – 64 tahun menjadi 33% per tahun pada usia 80 – 84 tahun. Jatuh saja, kemudian, tidak dapat menjelaskan peningkatan eksponensial kejadian fraktur sekitar panggul dengan bertambahnya usia, meski satu perubahan dalam tipe jatuh mungkin memiliki satu peran. Situasi ini analog dengan etiologi penyakit jantung koroner. Seperti halnya penyakit jantung, penyebab fraktur sekitar panggul adalah multifaktorial. Pengukuran terhadap satu faktor risiko (massa tulang, kolesterol) tidak dapat secara penuh menjelaskan kejadian suatu penyakit. Setidaknya, pengukuran terhadap faktor dapat mengidentifikasi mereka yang memiliki risiko terbesar untuk berkembangnya penyakit dan, sehingga, akan sangat beruntung dalam terapi.

Pengukuran Massa Tulang Dapat Memerkirakan Kejadian Fraktur Di Kemudian Hari

Berbagai bukti yang dapat dipertimbangkan saat ini menyarankan bahwa, massa tulang dapat mremerkirakan probabilitas timbulnya fraktur di kemudian hari. Sementara massa tulang dari wanita-wanita dengan fraktur sekitar panggul tumpang tindih dengan massa tulang dari wanita-wanita yang seusia yang tidak pernah mengalami fraktur yang sama, pengukuran massa tulang tidaklah diarahkan menjadi satu uji diagnostik untuk fraktur. Tindakan tersebut hanyalah merupakan pengukuran satu faktor risiko (berkurangnya massa tulang) untuk timbulnya fraktur di kemudian hari dan sebaiknya digunakan untuk stratifikasi risiko. Hal ini lagi-lagi analog dengan pengukuran faktor-faktor risiko lainnya, seperti kolesterol untuk penyakit jantung koroner dan tekanan darah untuk stroke.
Terdapat bukti yang cukup bahwa, pengukuran massa tulang dapat menstratifikasi pasien berdasarkan risiko fraktur. Studi yang dipublikasikan akhir-akhir ini telah dapat menunjukkan bahwa, pengukuran massa tulang radius atau os kalsis akan memrediksi risiko frakur di masa datang. Dalam satu studi-studi prospektif, wanita-wanita dengan massa tulang quintile terrendah memiliki sekurang-kurangnya empat kali risiko timbulnya fraktur dari wanita dengan quintile tertinggi; insiden fraktur vertebra, sebagai contoh, berkorelasi terbalik dengan massa tulang terukur pada radius, os kalsis, atau vertebra lumbal. Studi prospektif yang lain mendapatkan bahwa pengukuran massa tulang pada antebrakhii dapat memprediksikan fraktur di kemudian hari, bahkan setelah disesuaikan dengan umur. Hal ini membuktikan bahwa, temuan-temuan dalam investigasi awal menggunakan densitometri antebrakhii namun tidak di sesuaikan dengan umur. Studi lanjutan pada populasi ini telah membuktikan bahwa, satu pengukuran tunggal pada radius dapat memrediksi risiko fraktur pada semua lokasi dan pada panggul. Untuk setiap penurunan dalam SD (standard deviation) massa tulang, terdapat sedikit lebih banyak dari pada selipat dua dalam risiko fraktur yang dikontrol dengan umur.
Sementara kaitan antara massa tulang dan fraktur telah dapat ditunjukkan melalui pengukuran massa tulang antebrakhii dan tumit, beberapa studi kasus-kontrol telah mendapatkan bahwa risiko fraktur panggul bahkan lebih kuat terkait dengan massa tulang panggul dibanding dengan massa tulang antebrakhii, dan fraktur vertebra lebih kuat terkait dengan massa tulang belakang dibanding dengan massa tulang antebrakhii. Sebagai konsekuensinya, pengukuran langsung massa tulang pada panggul dan tulang belakang, yang saat ini adalah memungkinkan dilaksanakan, memiliki tingkat akurasi prediksi yang lebih besar untuk fraktur panggul dan vertebra.
Jadi, saat ini telah mapan baik bahwa, pengukuran massa tulang akan menentukan risiko fraktur. Nampaknya hal ini benar adanya untuk semua tipe fraktur, termasuk fraktur vertebra dan panggul. Hubungan antara massa tulang dengan risiko fraktur-fraktur ini adalah sekuat atau lebih kuat dari pada hubungan antara kolesterol serum dengan risiko penyakit jantung koroner.

INDIKASI MENGUKUR MASSA TULANG

Adapun indikasi klinis mengukur massa tulang, adalah sebagai berikut.

1. Wanita Dengan Defisiensi Estrogen

Kondisi ini merupakan indikasi nomor satu. Pengukuran massa tulang di sini dapat digunakan untuk mendiagnosis massa tulang secara bermakna dalam rangka pengambilan putusan penggunaan terapi pengganti hormon (ERT).

Dasar pemikiran
Defisiensi estrogen yang mengikuti menopaus, ooforektomi, ataupun amenore berkepanjangan dari penyebab apapun adalah dikaitkan dengan kehilangan tulang. Kehilangan tulang, sebaliknya, dikaitkan dengan satu risiko fraktur yang lebih besar. Keduanya itu dapat dicegah atau diperlambat dengan ERT. Namun, tidak semua wanita memiliki keuntungan yang sama dari pemakaian estrogen. Melalui pengukuran massa tulang dapat menentukan wanita-wanita mana yang memiliki terrendah dan akan paling beruntung dari pengobatan tersebut. Jadi, pengukuran massa tulang akan memungkinkan para wanita mengambil putusan yang rasional untuk mengikuti ERT jangka panjang dalam mencegah osteoporosis.

Latar belakang
Keputusan menggunakan ERT untuk mencegah kehilangan tulang dapat dituntun melalui pemeriksaan massa tulang. Dari laporan didapatkan bahwa sejumlah proporsi yang substansial wanita-wanita postmenopause penerima ERT untuk gejala-gejala menopause mereka dan berbagai alasan lainnya yang semuanya hanya berefek sedikit kepada osteoporosis diberikan terapi namun umumnya untuk satu waktu yang terbatas. Telah diperkirakan bahwa, hanya 5% dari wanita-wanita pascamenopaus akan melaksanakan ERT jangka lama (sepuluh tahun atau lebih) untuk beberapa alasan yang tidak mengarah ke osteoporosis dan, sebagai konsekuensinya, tidaklah terpengaruh oleh pentingnya pengukuran massa tulang. Jadi, sebagian terbesar wanita-wanita pascamenopaus akan harus menghitung-hitung untung ruginya terapi ini. Oleh karena ERT memiliki efek samping dan secara potensial berrisiko serius serta penerimaan pasien mungkin menjadi satu masalah dengan penggunaan kombinasi estrogen-progesteron yang sering menimbulkan perdarahan siklik, maka adalah penting untuk menyeleksi mereka-mereka yang memiliki risiko terbesar timbulnya fraktur di kemudian hari untuk menjalani ERT. Penentuan ini dapat dibuat secara dapat diandalkan hanya melalui pengukuran langsung massa tulang.
Terdapat sekumpulan bukti menunjukkan, melalui pelaksanaan ERT akan mengurangi fraktur di kemudian hari. Bukti terakhir adalah studi kohort retrospektif yang dipublikasikan dari Framingham menunjukkan adanya reduksi risiko fraktur panggul sebesar 35% di antara wanita-wanita yang pernah menerima estrogen pascamenopaus. Dari data yang terkumpul menunjukkan secara konsisten bahwa, pemberian estrogen awal setelah menopaus untuk sedikitnya 5 – 10 tahun akan mengurangi risiko fraktur panggul sebesar sekitar 50%.
Pengukuran massa tulang akan mengawali satu peningkatan dalam hasil luaran yang tepat (fraktur yang lebih sedikit). Telah diperkirakan bahwa, dengan tidak dilakukannya pengukuran massa tulang, sebanyak 15% wanita usia di atas 50 tahun akan memerlukan ERT jangka panjang dan 10% dari keseluruhan kelompok wanita perimenopaus akan mengalami fraktur panggul selama sisa hidup mereka. Dalam satu program yang mendorong dilakukannya pengukuran massa tulang pada panggul untuk mengidentifikasi wanita-wanita dengan risiko tinggi, diestimasikan bahwa, 22% wanita akan melaksanakan ERT dan hanya 8% dari keseluruhan wanita perimenopaus mengalami fraktur panggul dalam sisa usia mereka. Pengukuran massa tulang akan menghasilkan 7% lebih banyak wanita (dari 15% menjadi 22%) untuk menjalani ERT dan mungkin mengurangi risiko fraktur panggul dalam sisa usia mereka sebesar 2% (dari 10% menjadi 8%, satu reduksi relatif sebesar 20%).

Protokol
Wanita yang dipertimbangkan mendapat ERT harus diperiksa untuk membuat diagnosis massa tulang rendah. Hal ini termasuk bagi para wanita semua usia yang amenore jangka waktu lebih dari enam bulan. Tambahannya, wanita yang lebih muda dengan amenore berlanjut akan memenuhi syarat bila pencegahan terhadap kehilangan tulang menjadi perhatian klinik dan ERT (termasuk kontrasepsi oral) menjadi pertimbangan.
Wanita yang diputuskan menerima ERT jangka lama untuk alasan lain dari pada pencegahan untuk kehilangan tulang atau pengobatan untuk osteoporosis, tidak perlu dilakukan pengukuran. Demikian juga halnya dengan adanya kontraindikasi ERT atau yang menolak terhadap pertimbangan pemberian estrogen atau beberapa jenis terapi lain untuk memperlambat kehilangan tulang tidak perlu pengukuran massa tulang.
Massa tulang dapat diukur pada tulang belakang dengan QCT atau DPA atau DEXA, pada panggul dengan DPA atau DEXA, pada radius atau os kalsis dengan SPA. Pengukurannya pada panggul atau tulang belakang mungkin memberikan bukti lebih baik sebagai prediktor fraktur pada kedua lokasi dibandingkan dengan pengukuran tulang perifer dengan SPA. Bagaimanapun, hal ini belumlah terdokumentasikan dalam studi-studi prospektif bahwa pengukuran pada tulang perifer telah menjadi prediktor fraktur.
Wanita yang dalam keadaan amenore dan dengan massa tulang sekitar sama dengan atau lebih besar dari pada satu SD di bawah rerata massa tulang usia muda (usia 30 – 35 tahun) normal, harus secara kuat dipertimbangkan untuk menjalani ERT. Satu SD di bawah rerata adalah dekat dengan ambang fraktur empirik dari sebesar 1.0g/cm2 pada femur proksimal (skor-z =-0,79 untuk BMD leher femur, dan -0,46 untuk BMD intertrokhanter) dan pada tulang belakang (skor-z= -1,29 untuk BMD lumbal) secara penentuan dengan DPA. Satu level bandingannya pada distal radius (skor-z = -1,0) adalah .82g/cm2 dengan SPA. Metoda yang spesifik untuk pemberian estrogen atau estrogen/progesteron tidak dibicarakan di sini. Lama waktu terapi yang harus dijalankan tidak ditentukan, namun sedikitnya disarankan 5 hingga 10 tahun oleh studi-studi kasus kontrol.
Pasien dengan massa tulang lebih besar dari satu SD di atas rerata usia muda normal adalah secara relatif terlindungi dari osteoporosis dan dengan risiko fraktur yang lebih rendah. Mereka kemungkinan tidak memerlukan pengukuran lebih lanjut. Bila perhatian meningkat, pengukuran dapat diulang dalam 5 tahun atau lebih dan ERT dipertimbangkan saat itu. ERT tidak selalu diindikasikan bagi pasien dalam satu SD dari rerata, namun mereka mungkin beruntung dengan pengukuran setelah 3 – 5 tahun apakah kemudian akan berkembang memiliki massa tulang rendah.

2. Abnormalitas Roentgenografi

Situasi ini merupakan indikasi nomor dua. Pasien dengan abnormalitas vertebra atau osteopenia secara roentgenografi, pemeriksaan massa tulang harus digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis spinal dalam rangka membuat putusan sekitar evaluasi diagnostik dan terapi lanjutan.

Dasar pemikiran
Pasien seringkali datang dengan temuan-temuan roentgenografi yang konsisten dengan osteoporosis spinal. Hal-hal tersebut dapat merupakan satu diagnosis ahli radiologi berupa osteopenia spinalis ataupun, seringkali, berupa abnormalitas dari vertebra thorakal atau lumbal termasuk anterior wedging atau fraktur end plate. Satu diagnosis osteoporosis harus mendorong dilakukannya satu evaluasi untuk menyingkirkan penyebab-penyebab yang dapat disembuhkan dari percepatan kehilangan tulang dan harus menstimulasi terapi agresif untuk mencegah kehilangan tulang lebih lanjut atau untuk meningkatkan massa tulang spinal. Evaluasi klinis yang komplit adalah secara potensial berbiaya mahal dan terapi dikaitkan dengan biaya dan risiko kesehatan. Sementara, indiscriminate treatment untuk pasien-pasien seperti itu akan dapat mereduksi maksimal risiko fraktur, terdapat bukti bahwa banyak individu-individu dengan abnormalitas vertebra tidak benar-benar memiliki osteoporosis. Sebagai konsekuensinya, biaya dan risiko yang dikaitkan dengan pemeriksaan klinis dan terapi jangka panjang tidak dapat dibenarkan untuk mereka, dan hal itu menjadi esensiil untuk mengidentifikasi di antara mereka yang dengan abnormalitas vertebra di mana sekelompok lebih kecil lagi di antaranya dengan massa tulang yang telah benar-benar berkurang.

Latar belakang
Tidak semua pasien dengan temuan roentgenografi sebagai osteopenia secara nyata memiliki osteoporosis. Tampilan roentgenografi osteopenia adalah secara notorius tidak akurat. Sebagai tambahan bagi insensitifitasnya dalam mendeteksi kehilangan tulang, osteopenia secara roentgenografi adalah tidak berhubungan dengan fraktur vertebra. Sebagai contoh, 29% dari 218 wanita-wanita ambulatori berusia 45 tahun atau lebih adalah pasien-pasien rawat jalan pada rumah sakit Henry Ford memiliki osteopenia secara roentgenografi, namun hanya sepertujuh saja di antaranya memiliki vertebral wedging atau compression. Oleh karena penampakan osteopenia dapat sebagai hasil dari kesalahan teknis roentgenogram individu normal dapat terklasifikasi salah. Bahkan fraktur vertebra tidak secara nyata merupakan bukti osteoporosis. Beberapa fraktur yang sejati adalah akibat dari beberapa episode trauma berat di awal kehidupan, sementara yang lainnya adalah bukan benar-benar fraktur, namun sebagai old juvenile epiphysitis atau positioning problem pada roentgenogram atau sebagai variasi normal dari bentuk korpus vertebra.
Sementara, banyak perubahan bentuk vertebra mengidikasikan satu fraktur, secara khas, perubahan tidaklah dapat dikatakan demikan bila tidak tersedia roentgenogram awal (baseline). Jadi, beberapa fraktur sering harus didiagnosis secara empiris, berdasarkan adanya deviasi dari dimensi-dimensi vertebra yang diperkirakan. Pemeriksaan klinis mampu menyediakan tuntunan yang sedikit saja karena gejala-gejala fraktur vertebra dapat tidak khas. Dengan demikian, osteoporosis akan menjadi overdiagnosed melalui pemeriksaan klinis. Di antara satu sampel acak berdasar kelompok umur dari Rochester, wanita-wanita Minnesota, seperempatnya memiliki abnormalitas vertebra dalam satu kelompok atau lainnya namun 21% dari wanita-wanita tersebut dengan penampakan fraktur vertebra memiliki nilai BMD lumbal di atas ambang fraktur secara teoritis yaitu 0,97g/cm2. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, fraktur vertebra dikaitkan dengan massa tulang dan pengukuran massa tulang memerkirakan kemungkinan fraktur di kemudian hari.
Pengukuran massa tulang akan mengawali satu peningkatan dalam hasil luaran yang tepat (mengurangi evaluasi dan terapi yang kurang tepat bagi pasien-pasien tidak dengan osteoporosis). Penghematan praktis diperoleh dari pelaksanaan pengukuran massa tulang pada situasi ini tergantung dari frekuensi pada mana abnormalitas vertebra dijumpai. Telah diperkirakan bahwa, lebih dari 2 juta wanita antara usia 50 dan 70 tahun memiliki fraktur vertebra dan sebanyak seperlima daripadanya mungkin memiliki massa tulang di atas ”ambang fraktur”. Jadi, adalah potensial untuk mengevaluasi atau mengobati sebanyak 400 ribu wanita usia pertengahan saat dalam kenyataannya mereka memiliki massa tulang yang normal.

Protokol
Setiap pasien dengan satu tanda spesifik mengarahkan ke osteoporosis spinalis, termasuk osteopenia roentgeografik atau bukti-bukti yang menunjukkan adanya kolaps, wedging atau balooning dari satu atau lebih korpus vertebra thoraks atau lumbal, harus melaksanakan pemeriksaan massa tulang, bila pasien tersebut merupakan kandidat untuk intervensi teraputik atau menjalani evaluasi diagnostik ekstensif. Pengukuran massa tulang tidak diindikasikan bagi pasien-pasien yang dengan evaluasi diagnostik atau terapi akan tidak menjadi berubah melalui pemeriksaan massa tulang, misalnya, pasien-pasien yang dievaluasi sebelumnya di mana terapi khusus tidak diindikasikan. Dalam situasi ini, massa tulang harus diukur pada tulang belakang dengan DPA, DEXA atau QCT.
Pasien-pasien dengan abnormalitas vertebra dan BMD tulang belakang di atas ”ambang fraktur” haruslah tidak dipertimbangkan untuk memiliki fraktur berdasar osteoporosis, dan sebagai konsekuensinya, tidak membutuhkan satu evaluasi penyakit tulang metabolik tidak juga menjalani pengobatan untuk osteoporosis yang ada, karena semua terapi dimaksud adalah ditujukan bagi memertahankan massa tulang atau meningkatkannya. Wanita-wanita dengan abnormalitas vertebra dan BMD tulang belakang di bawah ”ambang fraktur” haruslah dipertimbangkan untuk memiliki fraktur osteoporotik dan diperlukan evaluasi lebih lanjut.

3. Terapi Glukokortikoid

Terapi steroid dibutuhkan pada sejumlah penyakit, seperti arthritis rheumatoid, hepatitis kronik aktif, penyakit inflamasi saluran cerna, asthma, dan lain-lain. Terapi ini memiliki sejumlah efek samping serius termasuk kehilangan tulang yang cepat yang mengawali fraktur vertebra dan tulang lainnya. Beberapa di antara pasien-pasien dengan terapi steroid mengalami kehilangan banyak tulang seperti itu dan tidak semuanya mengalami fraktur. Keperluan akan penilaian menjadi meningkat karena pasien-pasien sering menjalani terapi jangka lama. Terlebih, tidak seperti osteoporosis involusional, pasien-pasien di sini mungkin adalah anak-anak yang mungkin membutuhkan penentuan apakah perkembangan skeletal mereka sedang melambat (lagging) di bawah perkembangan normal. Melalui informasi sekitaran massa tulang memungkinkan adanya perbaikan pengelolaan pasien melalui pengaturan dosis dan lama terapi yang lebih tepat guna memaksimalkan efek terapi sementara meminimalisir berbagai komplikasi skeletalnya.

Protokol
Pasien yang akan menjalani terapi glukokortikoid jangka lama ( dosis >7,5 mg prednisolon/hari atau ekuivalennya untuk >1 bulan) dapat menjalani pengukuran massa tulang bila memungkinkan untuk pengaturan dosis. Pengukuran pada tulang belakang adalah menggunakan DPA atau DEXA atau QCT dianjurkan karena yang terutama terganggu adalah tulang trabekula.

4. Hiperparatiroidisme Primer

Pada pasien-pasien dengan hiperparatiroidisme primer tak bergejala, pengukuran massa tulang dapat digunakan untuk menentukan massa tulang rendah dalam rangka mengidentifikasi mereka yang berada dalam risiko penyakit tulang parah yang mungkin dapat menjadi calon untuk dilakukan intervensi bedah.
Spektrum klinis saat pasien hiperparatiroidisme primer dijumpai telah berubah dengan semakin berkembangnya uji saring biokimia rutin. Sebelum ini, pasien-pasien yang datang dengan penyakit tulang bergejala, batu ginjal, atau keluhan lainnya, di mana berbagai keadaan ini membuat dokter menjadi waspada dan mendorong dilakukannya intervensi bedah. Saat ini, banyak di antara pasien adalah tak bergejala dan tidak memiliki keluhan berarti. Pengelolaan pasien-pasien seperti ini masih terjadi silang pendapat. Hiperparatiroidisme primer adalah dikaitkan dengan satu penurunan massa tulang pada beberapa pasien yang mana dapat dideteksi melalui pengukurannya namun tidak dengan evaluasi radiografi biasa. Satu penurunan massa tulang seperti itu mungkin diikuti oleh meningkatnya frekuensi fraktur vertebra, radius distal dan panggul. Jadi, hal tersebut dapat diperdebatkan bahwa, temuan massa tulang rendah pada pasien yang jika tidak dengan hiperparatiroidisme primer tak bergejala harus dipertimbangkan satu kemungkinan berindikasi pembedahan. Setelah menjalani pembedahan yang sukses, massa tulang umumnya ditemukan meningkat, meski tidak menuju nilai normal, bila diukur pada os radius dan pada tubuh secara total. Karena massa tulang rendah dikaitkan dengan risiko fraktur, satu peningkatan dalam massa tulang haruslah mengurangi risiko kemungkinan fraktur sebagai kelanjutannya.

Protokol
Diagnosis hiperparatiroidisme primer harus dibuat menggunakan kriteria klinis yang dapat diterima. Mereka yang tak bergejala dan mengarah ke hiperparatiroidisme primer dan berindikasi untuk dilakukan pembedahan haruslah melakukan pengukuran-pengukuran. Massa tulang dapat diukur pada radius menggunakan SPA atau pada tulang belakang menggunakan DPA atau DEXA atau QCT.

5. Indikasi Potensial Lain

Dengan perkembangan teknologi yang mengawali ketepatan dan akurasi pengukuran yang lebih baik, maka beberapa indikasi lainnya untuk kepentingan klinis dari pengukuran massa tulang kemudian dapat dikembangkan. Beberapa di antaranya adalah tersebut di bawah ini.

a. Penyaringan universal untuk profilaksis osteoporosis

Pengukuran massa tulang untuk profilaksis osteoporosis mungkin sesuai dengan beberapa kriteria untuk satu uji saring, misalnya, penyakitnya adalah umum; uji saringnya tersedia; dan pengobatannya harus mengurangi insiden fraktur. Bagaimanapun, beberapa pasien mungkin berada dalam pengobatan yang efektif untuk satu alasan yang tidak berhubungan dengan osteoporosis. Sementara lainnya, mungkin mengundurkan diri dari pengobatan bukan karena pengukuran massa tulang. Tambahan pula, rejimen penyaringan optimal belumlah ditentukan. Namun, bagaimanapun, penyaringan selektif sebagaimana dijelaskan di atas adalah layak dilaksanakan.

b. Pengawasan massa tulang untuk penentuan efikasi terapi

Beberapa menyimpulkan bahwa, adalah sulit untuk menentukan kebenaran adanya perubahan dalam massa tulang melalui pengukuran yang diambil dalam waktu cukup berdekatan di antara kedua pengukuran untuk dapat menyediakan data yang relevan guna mengelola pengobatan. Sebagai contoh, dua pengukuran dari seseorang pasien yang diambil dengan selang waktu satu tahun, memberikan satu 2% SD dari perbedaan antara dua pengukuran, dan tidak terdapat kehilangan tulang di antara keduanya, akan berada pada satu interval probabilitas 95% untuk perbedaan antara kedua pengukuran berrentang dari -5,6 ke +5,6 persen. Hal ini merupakan hasil dari fakta statistik dasar bahwa varian perbedaan antara kedua pengukuran sama dengan jumlah dari varian kedua individu. Kritik seringkali menunjuk bahwa, kehilangan tulang sepanjang usia adalah hanya sekitar 1% pertahun pada wanita dan setengahnya saja pada pria dan menyimpulkan bahwa prospeknya adalah dim untuk pengawasan perubahan-perubahan dalam massa tulang yang dapat dipercaya. Bagaimanapun, isunya adalah lebih kompleks dibanding dengan hal tersebut untuk tiga alasan berikut: 1) perubahan teknologi terkini akan serta merta mermerbaiki ketepatan pengukuran longitudinal, namun kemampuan perbaikan belumlah jelas diketahui, 2) angka kehilangan tulang selama masa waktu menopaus mungkin lebih besar dibanding 1%, khususnya pada tulang trabekuler, dan 3) populasi bagi mereka yang dengan pengawasan mungkin mendapat keuntungan adalah bervariasi besar. Mempertimbangkan ERT, contoh di atas menggambarkan bahwa, bahkan dengan terapi efektif secara penuh (tidak ada kehilangan tulang pada setiap subjek), sekecil 2,5% kelompok individu akan memiliki penampilan kehilangan tulang melebihi 5,6% bila faktanya tidak ada tulang yang telah hilang. Bagaimanapun, data seperti itu dapat juga diperhatikan melalui suatu pandangan berbeda. Misalnya, ambillah 100 orang wanita menopause awal menerima ERT di mana 15% tidak berrespon terhadap terapi dan kehilangan tulang vertebra pada satu angka 3% setahun, sementara lainnya sebesar 85% tidak kehilangan tulang. (Faktanya, kelompok belakangan akan mungkin mengalami satu small gain pada tulang dalam tahun-tahun pertama terapi). Bila keseratus wanita tersebut dilakukan penentuan ulang pada akhir satu tahun, sedikitnya dua dari 85 responder akan memiliki penampilan kehilangan tulang lebih dari 5% (satu arbitrary cuttoff untuk nonrespon), sementara 4 dari 15 responder akan dideteksi sebagai memiliki lebih dari 5% kehilangan pertahun. Sehingga, sekitar duapertiga dari mereka yang dalam kelompok nonresponder akan berasal dari nonresponder sebenarnya dan 73% nonresponder mungkin terabaikan. Sementara hal ini tidaklah menyediakan bukti meyakinkan bagi kebergunaan metode-metode ini dalam memerkirakan perubahan-perubahan dalam massa tulang, namun perubahan sedikit dalam hal asumsi atau dalam hal ketepatan teknik akan lebih memertegas gambaran ini. Sebagai contoh, bila ketepatan metode baru (DEXA) adalah 1% dan sampel yang sama digunakan (15% nonrespoder) dan interval di antara pengukuran dinaikkan menjadi dua tahun, maka sedikitnya 84% responder akan menunjukkan kehilangan tulang melebihi 3% sementara sedikit saja atau tidak samasekali akan ada respoder yang tidak diklasifikasi.

c. Mengidentifikasi pasien dengan tingkat kehilangan tulang cepat (fast loser) untuk mendapat terapi agresif

Beberapa telah menemukan bukti untuk satu subgrup wanita pascamenopaus mengalami kehilangan tulang pada satu angka yang dipercepat. Dengan asumsi bahwa angka kehilangan seperti itu berlanjut untuk periode waktu yang panjang, implikasinya adalah bahwa, wanita-wanita akan pasti mengalami secara klinis bahaya osteoporosis. Bila demikian, cara paling efisien untuk mencegah fraktur terkait osteoporosis akan menjadi saringan bagi wanita-wanita pascamenopaus dan mengidentifikasi siapa-siapa yang fast loser. Bagaimanapun, hingga saat ini hal ini belum menunjukkan bahwa kehilangan tulang dengan angka cepat ini menetap untuk beberapa tahun atau bahwa populasi ini merupakan yang akan mengalami fraktur terkait osteoporotik. Hingga data ini nantinya tersedia, identifikasi rapid loser masih dalam penelitian.

Osteoporosis & Fraktur Kompresi Vertebra

ABSTRAK

Dari keseluruhan kasus fraktur terkait osteoporosis yang terjadi setiap tahunnya, fraktur kompresi vertebra (vertebral compression fractures / VCF) merupakan yang tersering. Diperkirakan sedikitnya 20 – 25% pasien dengan VCF memiliki gejala cukup mengganggu sehingga memerlukan perhatian medis. Bagaimanapun, penanganan VCF tanpa operasi secara poliklinis seringkali berhasil pada hanya 75% - 80% kasus. Dalam tulisan ini akan dibahas VCF selengkapnya beserta alternatif tindakan bedah, termasuk indikasi intervensi bedah, sekilas teknik bedah, hasil-hasil klinis, komplikasi, dan wilayah penelitiannya di masa datang.

PENDAHULUAN

Dalam kondisi homeostatik normal, produksi dan degradasi tulang terjadi secara seimbang. Bergesernya keseimbangan menuju ke satu kondisi di antara keduanya dapat merupakan pembentukan tulang baru ataupun peluruhan tulang yang sudah terbentuk sebelumnya. Berbagai kelainan yang mendorong keseimbangan tersebut ke satu arah di antaranya dapat dikategorikan sebagai gangguan kuantitatif (perubahan tulang normal dalam hal ukuran dan jumlah) atau kualitatif (perubahan tulang normal dalam hal properti). Osteoporosis sendiri merupakan gangguan dari jenis kuantitatif.

OSTEOPOROSIS

Definisi & Epidemiologi

WHO mendefinisikan osteoporosis melalui pembandingan keadaan kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD) seseorang dengan referensinya dari rerata BMD populasi muda. Orang kemudian dikategorikan memiliki masa tulang rendah (low bone mass), osteoporosis, atau osteoporosis parah. Selanjutnya, diagnosis osteoporosis diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder bergantung etiologi (Tabel 1).



Berdasarkan studi populasi, diperkirakan sedikitnya 10 juta orang di Amerika Serikat menderita osteoporosis, sementara 34 juta lainnya didiagnosis memiliki masa tulang rendah. Osteoporosis cenderung menyerang wanita 4 kali lebih banyak dari pria dan ditemukan lebih banyak pada ras Kaukasia dan keturunan Asia. Insiden fraktur tulang sekunder akibat osteoporosis pada usia lebih tua dari 50 tahun adalah 1 dari 2 untuk wanita dan 1 dari 4 untuk pria.
Kelompok fraktur yang terjadi sekunder akibat osteoporosis berada dalam satu kelompok yang membutuhkan sediaan dana rawatan berklasifikasi major pada industri kesehatan. Sebagai contoh, diperkirakan sedikitnya terjadi 1.5 juta fraktur yang berkaitan osteoporosis di negara Amerika Serikat dalam tahun 2001 dengan kebutuhan biaya rawatan sekitar 17 miliar dolar Amerika, atau mendekati 47 juta dolar sehari. Dengan semakin bertambahnya populasi usia di atas 50 tahun, kebutuhan biaya rawatan akan mencapai empat kali lipatnya di tahun 2030.

Modalitas Radiologi Diagnostik

Modalitas radiologi berganda dapat digunakan untuk mengevaluasi BMD dan mendiagnosis osteoporosis. Radiografi, ultrasound, dan computed tomography (CT) dapat digunakan untuk mengukur BMD tulang axial maupun apendikular. Baku emas berbagai modalitas ini adalah dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA). DEXA adalah alat yang paling sering digunakan dan merupakan teknologi pengukur BMD dengan hasil ukurannya paling mudah dapat direproduksi, pula memiliki angka sensitifitas dan spesifisitas tertinggi.

Faktor Risiko

Banyak faktor dapat menyebabkan seseorang memiliki risiko berkembang menjadi osteoporosis (lihat Tabel 2).



Osteoporosis primer dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 2. Osteoporosis tipe 1, atau disebut juga osteoporosis akibat menopause atau defisiensi estrogen, kebanyakan ditemukan pada wanita Kaukasia dan wanita turunan Asia. Bertambahnya usia menempatkan seseorang ke dalam risiko berkembangnya osteoporosis tipe 2, yang juga dikenal sebagai senile osteoporosis. Sebagaimana halnya pada berbagai keadaan penyakit, faktor keturunan dapat meningkatkan kerentanan seseorang mengalami fraktur. Riwayat keluarga dengan masa tulang yang rendah atau memiliki saudara langsung dengan fraktur akibat kekeroposan dapat meningkatkan risiko berkembang menjadi osteoporosis. Menopause awal, baik akibat alamiah maupun pembedahan ataupun amenore disebabkan oleh berbagai kondisi seperti gangguan makan atau latihan fisik berlebih, juga meningkatkan risiko osteoporosis. Berbagai penyakit kronis atau obat-obatan untuk menanganinya dapat memiliki efek samping yang dapat merusak tulang atau mengganggu pembentukannya yang berakibat osteoporosis. Akhirnya, pilihan gaya hidup tertentu, termasuk diet yang buruk, merokok, penggunaan alkohol berlebih, atau kurangnya latihan berbeban fisik, juga meningkatkan risiko. Melalui pengurangan berbagai faktor risiko tersebut, orang-orang yang berada pada keadaan berrisiko tinggi untuk berkembang menjadi osteoporosis kemungkinan dapat mencapai puncak masa tulang yang lebih tinggi sehingga berharapan dapat menunda atau mencegah dimulainya osteoporosis.

Terapi Medik

Disamping usaha-usaha mengurangi faktor risiko, terapi medik untuk osteoporosis kadangkala diperlukan. Estrogen, bifosfonat, dan kalsitonin tetap merupakan obat-obatan yang paling banyak diresepkan dalam terapi osteoprosis. Obat-obatan lainnya yang mungkin digunakan adalah termasuk raloksifen (merupakan modulator reseptor estrogen yang digunakan pada orang-orang dengan risiko tinggi berkembangnya kanker mama atau endometrium) dan teriparatid (satu derivat hormone paratiroid manusia). Terapi medik untuk osteoporosis telah terbukti menurunkan insiden fraktur vertebra sebesar 40 – 60% setelah hanya 1 tahun pengobatan. Bagaimanapun, disamping efikasi terapi medik dalam mengobati osteoporosis seperti tersebut, hanya 50% dari wanita-wanita dengan VCF didiagnosis secara kebetulan saat melakukan pemeriksaan sinar-x thoraks mulai menggunakan jenis terapi farmakologis untuk penyakit yang mendasarinya.

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA

Epidemiologi

Dari perkiraan 1.5 juta kasus fraktur terkait osteoporosis yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, VCF merupakan yang paling sering, yaitu sejumlah mendekati 700,000 cedera. Keseluruhan insiden VCF pada wanita di atas usia 50 tahun diperkirakan mendekati 17.8/1000. Setelah diteliti berdasar kelompok umur, angka kejadiannya terlihat meningkat dengan meningkatnya usia: insiden 5.8/1000 terjadi pada kelompok usia 50 – 54 tahun, meningkat menjadi 26.1/1000 pada kelompok usia 75 – 79 tahun. Dalam satu studi pada sedikitnya 2700 wanita (rerata usia, 74 tahun) didapatkan insiden relatif VCF 6.6% setelah 1 tahun, meningkat menjadi 19% setahun setelah mengalami VCF. Peneliti lain mendapatkan angka risiko untuk timbulnya patah berikutnya meningkat 5 kali lipat setelah VCF awal dan 12 kali lipat setelah 2 atau lebih VCF. Penelitian lainnya yang memusatkan pada BMD mendapatkan risiko relatif berkembang menjadi fraktur meningkat sebanyak 4 – 6 kali dengan satu penurunan 2-SD pada BMDnya. Namun, bagaimanapun, baik hasil BMD yang rendah maupun sebelumnya pernah VCF tidaklah dapat menunjukkan prediksi orang yang bagaimana yang akan mendapatkan VCF baru.

Tampilan Klinis

Sedikitnya 20 - 25% orang yang menderita VCF mengeluhkan gejala yang cukup parah untuk datang memeriksakan diri mereka. Pasien dapat mengeluhkan berbagai variasi keluhan (lihat Tabel III), di mana yang tersering adalah nyeri.



Dalam anamnesis seringkali didapat bahwa nyeri biasanya dimulai setelah hanya mengalami cedera ringan saja. Nyeri dapat direproduksi melalui pemeriksaan dengan menekan kuat prosesus spinosus pada level vertebra yang terganggu. Nyeri cenderung bersifat postural, memberat dalam posisi tegak, dan dapat menyebabkan seseorang bergantung dengan kursi roda atau tinggal di tempat tidur. Deformitas akibat VCF dapat menimbulkan perubahan tampilan secara visual (kifosis, menonjolnya abdomen) dan perubahan psikososial (depresi). Meningkatnya kifosis akiba VCF telah diketahui berkaitan dengan menurunnya kekuatan togog dan fungsi pulmoner. Pasien dengan VCF berkemungkinan 2 – 3 kali meninggal sekunder akibat penyebab pulmoner seperti penyakit obstruksi pulmoner kronik atau pneumonia, dan secara keseluruhan, mereka memiliki risiko relatif sedikit meningkat untuk masuk rumah sakit dan kematian. Retensio urin dan gejala gastrointestinal adalah juga merupakan manifestasi yang sering. Defisit neurologis dapat juga terjadi, namun gejala ini biasanya membaik, dan kurang dari 5% pasien akan terus mengeluh sehingga membutuhkan dekompresi melalui pembedahan.

Klasifikasi & Evaluasi

Umumnya VCF diklasifikasi secara sederhana berdasarkan tampilan morfologinya menjadi: wedge, crush, atau bikonkaf (lihat Gambar 1).



Fraktur tipe wedge dan crush terjadi lebih banyak pada regio thorakal tengah dan thorakolumbal, sementara tipe bikonkaf terjadi lebih sering pada regio lumbal. Tipe crush dikaitkan dengan kehilangan tinggi vertebra (vertebral height) terberat (vertebra plana merupakan keadaan yang ekstrem). Telah diketahui bahwa jumlah kasus tipe wedge jauh melebihi jumlah tipe lainnya, yaitu lebih dari 50% keseluruhan VCF. Tipe bikonkaf 17%, crush 13%, dan berbagai kombinasi dari ketiga tipe merupakan sisanya.
Memperkirakan derajat nyeri dan disfungsi dengan berdasar gambaran radiologi adalah masih terjadi silang pendapat. Beberapa peneliti tidak mampu menunjukkan hubungan antara tipe fraktur dan derajat kolaps dengan usia pasien, jenis kelamin, atau level nyerinya. Bagaimanapun, peneliti lainnya dapat mengidentifikasi 2 tipe pasien dan mengkategorikannya menjadi kelompok dengan berdasar pada pola frakturnya. Satu kelompok menunjukkan jenis fraktur yang berat yang tidak berubah dengan berjalannya waktu dan disertai dengan keadaan akut, parah, dan rasa nyeri tajam yang secara bertahap kemudian membaik dalam waktu 4 hingga 8 minggu; penanggulangan nyeri dan mobilisasi awal ditujukan bagi kelompok pasien ini. Kelompok lainnya menunjukkan perubahan radiologis ringan, berlanjut kemudian terjadi kolaps dan debilitasi, dan merasakan nyeri yang tumpul dan kurang parah, kemudian menyembuh dalam waktu 6 hingga 18 bulan; penanggulangan jangka panjang (hormon pengganti, suplemen makanan) dan alat penyangga (bracing) digunakan untuk mencegah kolaps berlanjut.
Secara histologis, osteoporosis menyebabkan atrofi trabekel tulang dan meningkatnya ruang antar trabekel, khususnya pada bagian anterosuperior korpus vertebra. Dengan adanya defek anterosuperior ini menyebabkan daerah tersebut menjadi lebih lemah dan lebih mudah cedera dibandingkan di bagian daerah lain dari korpus. Banyak di antara pasien usia lanjut juga menderita penyakit degenerasi diskus, yang menyebabkan tekanan intradiskal normal bergeser dan beban kemudian terpusatkan pada bagian-bagian perifer korpus vertebra. Kedua gangguan ini biasanya terjadi secara bersamaan pada pasien-pasien usia tua sehingga untuk beberapa hal keadaan tersebut dapat menjelaskan tingginya prevalensi fraktur tipe wedge dibandingkan tipe lainnya.

Pemilihan Pemeriksaan Imejing

Banyak macam pemeriksaan imejing yang dapat digunakan untuk evaluasi VCF. Foto sinar-x tetap merupakan yang utama dalam diagnosis. Banyak di antara kasus VCF ternyata dideteksi secara kebetulan pada pemeriksaan radiografi thoraks. Sekali diagnosis VCF ditegakkan, imejing tambahan lebih lanjut dapat digunakan untuk evaluasi cedera yang ada, yang bila diindikasikan, maka CT-scan sangat baik untuk menentukan kondisi anatomi tulang. Bone scan sangat sensitif, namun akan tetap dapat positif hingga 2 tahun setelah cedera, sehingga merupakan jenis uji yang buruk untuk menentukan kronisitas. Magnetic resonace imaging (MRI) dapat merupakan penyedia informasi yang bermanfaat. Meski tidak sebaik CT-scan dalam mengevaluasi anatomi tulang, MRI sangat membantu dalam mengevaluasi jaringan lunak sekitar dan dalam penentuan kronisitas cedera, juga banyak membantu dalam penentuan penyakit yang mendasari (osteoporosis ataukah lesi patologis).

Modalitas Terapi Non-operatif

Sebagian terbesar penderita VCF tidak mencari bantuan medis setelah mereka mengalami cedera. Adapun alasan utama penderita datang memeriksakan diri adalah karena adanya rasa nyeri. Umumnya, pasien yang tidak memerlukan tirah baring dapat mengontrol rasa nyeri mereka dengan melakukan modifikasi aktifitas, bracing, atau alat bantu bersamaan dengan pemakaian analgetik narkotik. Setelah pasien merasa nyaman bergerak, satu rejimen terapi fisik dapat dimulai untuk rehabilitasi lebih lanjut. Untuk lesi-lesi patologis, khususnya tumor radiosensitif (mama, prostate, myeloma), maka pemberian radioterapi dapat berefek menurunkan rasa nyeri pada lebih dari 50% pasien. Obat-obat seperti teriparitid, calcitonin telah diketahui tidak hanya bermanfaat dalam mengobati nyeri namun juga memberi keuntungan tambahan dalam hal mengobati osteoporosis yang ada. Penanganan secara poliklinis tidak memberikan hasil yang memuaskan pada 15 – 20% kasus yang mencari bantuan medis setelah VCF. Pasien-pasien seperti ini biasanya membutuhkan rawat inap di rumah sakit untuk tirah baring dan analgetik intravena. Tirah baring pada pasien usia tua, bagaimanapun, adalah dikaitkan dengan keadaan dekondisi prograsif. Pasienpasien usia tua berrisiko tinggi berkembangnya komplikasi paru (pneumonia), dekubitus, trombosis vena dalam, dan infeksi saluran kencing. Tambahannya, diketahui bahwa BMD menurun 0.25 - 1% perminggu tirah baring. Untuk pasien-pasien usia tua, yang juga osteoporotik, tirah baring jangka lama dapat dengan cepat meningkatkan risiko mereka menderita tidak hanya VCF namun juga fraktur jenis lainnya akibat kekeroposan tulang.

Modalitas Terapi Operatif

Beberapa modalitas terapi operatif dapat digunakan setelah intervensi nonopeatif dinyatakan gagal. Adapun indikasi melakukan intervensi operatif adalah nyeri tak tertahankan, defisit neurologi progresif, dan instabilitas. Teknik operatif yang saat ini dipergunakan dalam menangani VCF adalah: dekompresi dan fusi (anterior dan/atau posterior), vertebroplasty (VP), dan kyphoplasty (KP).

Teknik Dekompresi & Fusi (Anterior dan/atau Posterior)

Kurang dari 5% orang yang mencari terapi medis setelah mengalami VCF memerlukan operasi dekompresi dan fusi. Intervensi bedah dalam menangani pasien dengan osteoporosis menghadapi banyak tantangan. Hal ini oleh karena kualitas tulang yang buruk, proses tanam implan yang buruk, dan meningkatnya kejadian wire cutout. Kasus seringkali telah parah sehingga memperpanjang waktu operasi, juga waktu anesthesi, dan lebih membutuhkan transfusi darah. Akhirnya, pasien-pasien usia tua yang terikat rawatan rumah atau institusi adalah seringkali bermasalah dari aspek nutrisinya dalam keadaan menurun, angka mortalitas meningkat, dan berpotensi penyembuhan pascaoperatif yang menurun.
Beberapa teknik telah dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi pasien-pasien yang juga dengan osteoporosis. Titik-titik fiksasi pada segmen multipel dapat dimungkinkan dengan menggunakan konstruksi implan yang lebih panjang. Oleh karena lamina korpus vertebra adalah berkomposisi tulang kortikal yang lebih padat, pemakaian wire sublaminer untuk menambah fiksasi memungkinkan didapatkannya konstruksi yang lebih kuat. Ukuran skrup pedikel dibuat lebih besar, dan bila diperlukan, diperkuat lagi dengan polymethylmethacrylate (PMAA) atau sulih tulang. Digabungkannya beberapa strategi tersebut pada pasien-pasien dengan osteoporosis dapat lebih menguatkan konstruksi operatif dengan hasil pembedahan yang lebih baik.

Vertebroplasti (VP) & Kifoplasti (KP)

Teknik & Indikasi

VP pertamakalinya digunakan oleh Galibert pada tahun 1987 untuk mengobati nyeri pada hemangioma vertebralis (lihat gambar 2). KP dikenalkan pada 1998 untuk mengobati nyeri osteoporotik VCF. Kedua prosedur merupakan teknik invasif minimal dan termasuk menginjeksikan semen tulang secara perkutan ke dalam korpus vertebra yang kolaps. Perbedaan antara VP dan KP dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Indikasi saat ini untuk dilakukan VP dan KP adalah pada pasien-pasien dengan nyeri yang sangat yang menderita VCF sekunder akibat osteoporosis, myeloma multipel, atau pada lesi-lesi metastatik osteolitik. Beberapa kontraindikasi adalah usia muda, wanita hamil, pasien dengan cedera energi-tinggi, infeksi lokal vertebra, atau gangguan pembekuan darah.



Reduksi Fraktur

Satu perbedaan antara VP dan KP adalah dalam hal bagaimana korpus vertebra dipersiapkan sebelum dilakukan insersi semen tulang. Reduksi fraktur didapatkan selama VP oleh satu kombinasi tekanan ke arah luar yang dihasilkan oleh semen selama injeksinya dan dengan teknik memosisikan pasien. Pada jenis fraktur yang statik (fraktur-fraktur yang tanpa satu celah radiolusen intravertebral nyata nampak dan mudah bergerak), rata-rata peningkatan tinggi bagian anterior korpus setelah VP adalah 2.5 mm. Pada jenis fraktur yang mudah bergerak dan dengan teknik memosisikan pasien, kadangkala dapat dicapai tinggi bagian anterior korpus hingga 40 – 70 % dari normal.
Teknik KP memerlukan satu jenis balon yang dapat kembungkan untuk membuat satu kavitas dalam korpus vertebra sebagai tempat semen tulang diletakkan. Balon ini juga membantu dalam mereduksi fraktur, memperbaiki kifosis dan tinggi korpus vertebra. Secara keseluruhan, tinggi vertebra seringkali dapat diperbaiki hingga 50 – 70% pascaoperatif, dan kifosis segmental 6º hingga 10º. Bagaimanapun, bila kronisitas cedera ikut diperhitungkan (disebut akut, bila <10>4 bulan) maka, perbaikan tinggi korpus yang dicapai, reduksi kifosis dan pengurangan nyeri terjadi setelah pengobatan fraktur akut dilaksanakan dibandingkan sebaliknya bila dilaksanakan pada fraktur yang kronis.

Komplikasi

Tidak ada satu prosedur yang tidak menimbulkan komplikasi, meski jarang terjadi. Tabel VI berikut menunjukkan daftar komplikasi kedua prosedur.



Ekstravasasi Semen

Extravasasi semen dapat terjadi akibat overflow semen, outflow semen melalui celah-celah korteks, dan penempatan semen yang tak tepat. Insiden extravasasi pada teknik VP bervariasi antara 30 – 70%, sementara pada teknik KP kurang dari 10%. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan jauh lebih rendahnya insiden extravasasi pada teknik KP. Pertama, penggunaan balon selama KP akan membuka satu ruang dalam korpus, membentuk satu kavitas dengan tulang kanselus terimpaksi di sekelilingnya. Rongga tulang kompak ini berfungsi sebagai barier dalam membantu mencegah extravasasi semen. Kedua, volume kavitas dan juga jumlah semen yang digunakan akan sangat mudah ditentukan melalui pengukuran jumlah cairan yang digunakan untuk mengembangkan balon sehingga mencegah penggunaan semen secara berlebih dan juga overflow semen. Ketiga, Sementara VP merupakan sistim bertekanan tinggi, kavitas yang terbentuk selama KP menyediakan satu lingkungan bertekanan rendah yang memungkinkan semen berviskositas tinggi digunakan dengan tekanan injeksi yang lebih rendah, di mana keduanya ini menurunkan risiko exravasasi melalui celah-celah korteks.
Sistim sirkulasi balik (vena) vertebra juga merupakan penyedia lokasi lain bagi timbulnya extravasasi dan embolisasi semen. Telah banyak dilaporkan kasus emboli semen ke paru dan bahkan ke otak. Evaluasi secara histologis contoh vertebra dengan VP dan KP yang diambil dari mayat menunjukkan partikel-partikel semen dalam ruang-ruang vaskuler. Dalam satu analisis kritis pada sistim sirkulasi balik vertebra dapat mengidentifikasi beberapa lokasi yang memungkinkan terjadinya extravasasi dan embolisasi. Analisis tersebut menunjukkan bahwa peningkatan tekanan sirkulasi balik vertebra intraoperatif dapat menurunkan perbedaan tekanan antara semen yang diinjeksikan dengan sistim sirkulasi balik, dan bahkan mungkin disebalikkannya, sehingga menurunkan risiko embolisasi. Peningkatan tekanan sirkulasi balik vertebra dapat ditimbulkan melalui teknik anesthesi pada pasien-pasien dibawah pengaruh anesthesi umum (lihat juga Tabel VI).

Fraktur pada Level Korpus Vertebra Bersebelahan

Insiden fraktur korpus vertebra bersebelahan setelah VP dan KP berturut-turut bervariasi antara 12 – 50% dan 20 – 30%. Kebanyakan dari fraktur-fraktur ini terjadi dalam waktu 2 – 3 bulan pertama pascaoperasi. Mengapa terjadi pascaoperasi masih belum dapat dijawab, namun lebih banyak kemungkinannya adalah multifaktorial. Tidak seperti usaha-usaha sebelum ini untuk mempertahankan tinggi korpus vertebra secara maksimal dan juga kekuatan serta kekakuannya, studi biomekanik menunjukkan bahwa vertebra yang terlalu kaku dan usaha untuk mendapatkan tinggi korpus kembali secara maksimal merupakan hal-hal yang berperan sebagai faktor risiko untuk timbulnya fraktur korpus vertebra bersebelahan. Teknik pengisian (filling) korpus yang penuh (komplit) tidak lagi diperlukan, dan semua usaha yang diperlukan pada saat ini adalah ditujukan untuk mempertahankan kekakuan vertebra yang sesuai tingkatannya pada saat praoperasi. Tambahannya, volume bahan pengisi yang dibutuhkan dalam mempertahankan kekakuan vertebra telah diketahui berbeda dari satu merek semen dengan merek yang lain. Lokasi dari VCF semula dapat juga berperan dalam kejadian fraktur korpus vertebra bersebelahan, di mana lebih sering terjadi pada regio thorakolumbal dan kurang pada level thorakal dan lumbal. Merembesnya semen ke dalam ruang diskus dapat juga meningkatkan risiko timbulnya fraktur vertebra bersebelahan. Akhirnya, di samping insiden alami yang sebesar 20% untuk timbulnya VCF kedua yang terjadi dalam setahun setelah kejadian VCF pertama, faktor utama lainnya adalah kemungkinan akibat dari progresi osteoporosisnya sendiri pada korpus vertebra sekitar tersebut.

Perkembangan Di Masa Datang

Sebagai alternatif PMMA adalah termasuk calcium phosphate cement (CMC), hidroksiapatit, dan granul koral. Satu keuntungan penggunaan material-material alternatif ini adalah bahwa selama proses polimerisasi, panas yang dihasilkan lebih sedikit sehingga menurunkan kejadian nekrosis atau kerusakan struktur sekitar. Tambahannya, bahan-bahan alternatif ini dapat ditumbuhi tulang baru dan selanjutnya terjadi proses penggantian (hal ini merupakan efek teori yang telah ditunjukkan secara in vivo pada pasien-pasien usia tua dengan tulang osteoporotik). Adapun kerugian pemakaian material pengisi yang baru ini termasuk: biaya tinggi dan kesulitan pemakaian oleh karena viskositasnya yang tinggi.
Hingga kini, pengalaman dalam pemakaian material-material alternatif ini semakin banyak, dan dengan hasil awal yang menjanjikan. Secara biomekanik, tidak dijumpai perbedaan bermakna secara statistik antara PMAA dan CPC baik dalam mempertahankan kekuatan maupun kekakuan vertebra. Sebagai tambahan, berkurangnya nyeri saat pascaoperasi dan profil perbaikan fungsi adalah juga sama bila dibandingkan antara PMAA dan CPC. Namun, bagaimanapun hal ini masih merupakan studi berjangka waktu pendek dan masih dibutuhkan studi berikutnya berjangka waktu lama.

Penguat dalam Profilaksis Fraktur

Penggunaan penguat profilaktik pada korpus vertebra yang osteoporotik sebelum cedera merupakan satu konsep yang baru-baru ini saja diperkenalkan dalam literatur. Dalam hal ini, beberapa peneliti mengenalkan satu model biomekanikal berbasis komputer untuk memeriksa efek maya dari semen yang ditanam pada kekuatan kompresi dalam vertebra dengan kondisi BMD bervariasi sebelum cedera. Dalam contoh yang mereka desain sebagai “risiko fraktur tinggi” (risiko fraktur 100% pada korpus, mampu menahan beban sebesar <1.6>2.7 MPa).

PEMBAHASAN

Osteoporosis hingga kini tetap merupakan keadaan yang membutuhkan tanggung jawab medis yang besar. Bila proyeksi mengenai kebutuhan biaya rawatan di masa datang adalah benar adanya, maka penanganan pasien dengan fraktur akibat kekeroposan sekunder karena osteoporosis dapat dengan sendirinya membuat bangkrut industri kesehatan. Penanganan terbaik hingga kini tetap berupa intervensi awal dan manajemen medik. Dokter yang menanamkan pengertian akan pilihan hidup sehat pada pasien seawalnya (diet kaya kalsium dan vitamin D, tidak merokok, membatasi konsumsi alkohol, melakukan latihan beban) dan dokter yang secara agresif mengobati secara medis pasien yang telah osteoporosis akan dapat menyelamatkan banyak orang agar mereka memiliki daya tahan terhadap nyeri dan menghindarkan ketunaan sekunder akibat cedera kekeroposan pada saatnya nanti dalam hidup mereka.
Pasien yang telah menjalani VP atau KP (dibandingkan dengan penanganan nonoperatif) mengalami perbaikan dalam berkurangnya nyeri, menurunkan lama waktu penyembuhan fungsional, menurunkan penggunaan obat-obat analgetik, dan secara umum memperpendek lama rawat inap. Orang-orang yang dihadapkan pada VP dan KP menyatakan bahwa hasil-hasil jangka panjang untuk intervensi operatif dan nonoperatif seringkali paralel satu sama lainnya. Meskipun hal itu mungkin benar adanya, dalam menurunkan nyeri dan memobilisasi penderita, pasien-pasien usia lanjut segera pascaoperatif sangatlah memerlukan tindakan pencegahan komplikasi dan deteriorasi yang hampir pasti akan terjadi, yang menyebabkan pasien tersebut berada di tempat tidur terus. Hasil-hasil jangka panjang untuk KP dan CPC masih tertunda, namun dari hasil-hasil tahap awal nampaknya menjanjikan.
VP dan KP juga memiliki keuntungan dalam mengurangi kifosis segmental, jadi memperbaiki atau dapat mencegah beberapa dari masalah-masalah fisik dan emosi yang telah ada pada pasien-pasien penderita VCF. Kedua prosedur secara relatif adalah aman dan insiden komplikasi simtomatik pascaoperatif tetap rendah. Meskipun tindakan penguatan profilaksis bagi korpus vertebra yang osteoprotik masih merupakan satu konsep yang menarik, ketidakmampuan dalam memperkirakan secara adekuat pasien-pasien mana yang dalam risiko tinggi akan berkembang menjadi VCF membuat alternatif ini tidak praktis dan secara finansial tidak memungkinkan. Dengan perbaikan yang terus berlanjut melalui studi biomekanik, penyempurnaan lanjutan materi alternatif, dan pengalaman klinis yang semakin berkembang, maka VP dan KP bila digunakan dengan tepat berdasarkan indikasi bedah yang benar, merupakan satu metoda yang sangat baik dalam memperbaiki morbiditas pasien dan hasil luaran jangka panjang.

Kamis, 03 Juni 2010

Vaksin DNA: Pengembangan Strategi Baru Melawan Kanker

ABSTRAK

Karena perkembangannya yang demikian cepat dan menyebar luas, vaksin-vaksin DNA telah masuk ke dalam satu variasi percobaan-percobaan klinis manusia untuk vaksin-vaksin melawan berbagai penyakit termasuk kanker. Berbagai bukti bahwa vaksin-vaksin DNA telah diterima dengan baik dan memiliki satu profil keamanan yang memuaskan terbukti menjadi suatu keuntungan sebagaimana yang telah diperlihatkan pada banyak percobaan-percobaan klinis mengombinasikan fase pertama dengan fase kedua, yaitu dalam penghematan baik waktu maupun uang. Adalah telah jelas dari hasil-hasil yang diperoleh dalam percobaan-percobaan klinis bahwa vaksin-vaksin DNA yang demikian masih memerlukan banyak perbaikan dalam pengekspresian antigen dan dalam metode-metode pengirimannya agar membuatnya cukup efektif di dalam klinik. Hal yang sama, adalah telah jelas bahwa berbagai strategi tambahan masih dibutuhkan untuk mengaktifasi imunitas efektif melawan antigen-antigen tumor dengan imunogenik buruk. Disain perekayasaan vaksin untuk memanipulasi pemresentasian antigen dan pemrosesan jalur-jalur merupakan satu aspek terpenting yang dapat dengan mudah ditangani dalam teknologi vaksin DNA. Beberapa teknik pendekatan telah diselidiki meliputi perekayasaan vaksin DNA, co-delivery dari molekul-molekul imunomodulator, rute-rute aman dalam pemakaiannya, penguatan rejimen dan berbagai strategi utama guna memecah berbagai mekanisme jaring-jaring imunosupresif yang diadaptasikan oleh sel-sel maligna dalam pencegahan mereka terhadap fungsi imun sel. Strategi-strategi kombinasi ataupun tunggal untuk menguatkan efikasi dan imunogenisitas vaksin-vaksin DNA telah diaplikasikan dalam percobaan-percobaan klinis lengkap dan sedang berjalan, di mana tingkat keamanan dan tolerabilitas dari DNA platform diperbesar. Dalam tinjauan vaksin-vaksin DNA kali ini, aspek-aspek menonjol yang disampaikan adalah mulai dari penelitian dasar hingga ke klinik dievaluasi.


PENDAHULUAN


Regresi tumor spontan telah mengikuti infeksi-infeksi bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Infeksi-infeksi intratumoral mungkin me-reaktifasi fungsi-fungsi pertahanan tubuh, yang menyebabkan terjadinya regresi tumor.

Fenomena ini menginspirasi pengembangan sejumlah rudimentary cancer therapy, dimulai dengan teknik pendekatan imunostimulator pertamakali digunakan oleh William Coley (1) dan mengawali kepada konsep dari vaksinasi teraputik melawan kanker. Teknik pengidentifikasian dan pengarakterisasian terkini dari gen-gen yang mengkode antigen-antigen tumor (Ag) telah memungkinkan pendisainan vaksin-vaksin kanker untuk antigen tertentu/spesifik berdasarkan pada DNA plasmid dan vektor-vektor viral rekombinan. Terapi gen dapat digunakan untuk memanipulasi sistim imun guna membantu daya pertahanan alami tubuh untuk mengenal dan menarget sel-sel kanker.

Dalam beberapa tahun belakangan, diperkirakan bahwa di Eropa terdapat hampir 3 juta kasus kanker terdiagnosa (tidak termasuk kanker-kanker kulit non melanoma) dan lebih dari 1.5 juta kematian terjadi akibat kanker tiap tahunnya (2). Berbagai prosedur teraputik baku saat ini dalam praktek, termasuk pembedahan, radiasi, dan khemoterapi belum banyak mengimpas penyebaran dan rekurensi dari malignansi-malignansi progresif (3), yang menurunkan kemampuan sistim imun untuk memrovokasi regresi-regresi ”spontan”. Berbagai strategi yang lebih baru diperlukan untuk memerbaiki atas angka kesuksesan pengobatan saat ini.

Riwayatnya, Woff dkk.-lah (4) yang pertamakali mengunjukkan bahwa pengekspresian gen jangka panjang dalam otot skelet tikus dapat dicapai melalui penginjeksian DNA plasmid intramuskuler langsung. Hal ini dan banyak studi awal yang lain, mengunjukkan fisibilitas transfer gen intramuskuler langsung bagi tujuan vaksinasi DNA, kemudian mendorong studi-studi vaksinasi pertama menggunakan DNA plasmid dalam melindungi banyak skenario meliputi influenza (5) dan HIV-1 (6). Respon-respon imun seluler dan humoral telah terunjukkan setelah penginjeksian vaksin-vaksin DNA plasmid langsung (naked) masuk ke dalam dermis atau jaringan otot tikus (5, 7). Respon-respon seperti itu telah menginduksi perlindungan dalam model-model preklinik penyakit infeksi dan malignansi-malignansi (8).

Vaksin DNA merupakan satu contoh utama dari satu vaksin genetik moderen. Pemakaian DNA plasmid langsung sebagai vaksin untuk memunculkan sistim imun melawan penyakit menyediakan satu variasi dari banyak keuntungan praktis bagi produksi vaksin skala besar yang penanganannya tidaklah semudah seperti bentuk-bentuk vaksin lainnya termasuk protein rekombinan atau keseluruhan sel-sel tumor (9, 10). Keefektifan dalam menyaring antigen-antigen dengan cepat dan dalam disain berbagai konstruksi pengekspresian tipe-tipe spesifik telah membuat studi mengenai vaksin-vaksin DNA merupakan satu ranah bernilai bagi imunoterapi kanker.

Berbagai teknologi baru termasuk pemrofilan ekspresi gen (gene-expression profiling) meningkatkan daftar kandidat antigen-antigen tumor. Penyelidik telah memusatkan perhatian pada target-target baik pada tumour-specific, termasuk idiotypic antigens of B-cell tumours (11) maupun tumor-associated antigens (12) yang juga diekspres oleh sel-sel yang asalnya normal (13), juga termasuk dengan apa yang disebut cancer-testis antigens (14).

Adapun contoh-contoh yang masih dalam penyelidikan intesif adalah antigen-antigen melanoma, kanker prostate, dan kanker-kanker epitel lainnya.

Vaksin-vaksin DNA menawarkan kesempatan untuk menginkoorporasi gen-gen tambahan yang mengkode molekul-molekul dengan tujuan untuk menutupi pelemahan imunogenisitas oleh antigen-antigen tumor dan menoleransi imunitas bawaan pasien.

Tulisan ini dengan ringkas menyimpulkan berbagai temuan dan teknologi-teknologi kunci yang telah menyumbang ke pada progres cepat vaksin-vaksin DNA (moda aksi, disain, dan pengoptimisan [optimized] vaksin-vaksin DNA) demikian juga the state of the art dari beberapa dari studi-studi klinis yang lebih mendorong untuk menggunakan atau melawan antigen-antigen tumor.


ANTIGEN-ANTIGEN KANKER


Ilmuwan telah mengidentifikasi sejumlah besar antigen-antigen terkait kanker, banyak di antaranya saat ini sedang digunakan untuk membentuk vaksin-vaksin pengobatan kanker baik dalam penelitian-penelitian dasar maupun dalam percobaan-percobaan klinis. Daftar kandidat antigen-antigen tumor terus bertambah setiap harinya, sebagian besar dari padanya adalah berkat kemajuan teknologi genetik termasuk pemerangkaian genom manusia (human genome sequencing) dan pemrofilan ekspresi gen (gene-expression profiling). Antigen-antigen tumor telah diklasifikasikan menjadi dua kategori besar: tumor-specific shared antigens dan tumor-specific unique antigen (15). Shared antigens atau tumor-associated antigens (TAAs) diekspres oleh lebih dari satu tipe sel tumor. Sejumlah TAA juga diekspres pada jaringan-jaringan normal, walaupun dalam besaran berbeda. Sebagaimana dilaporkan oleh National Cancer Institute, contoh-contoh representatif dari shared antigens seperti itu adalah cancer-testis antigens (14), human epidermal growth factor 2 (HER2)/neu protein (16), dan carcinoembryonic antigen (CEA) (17). Sedangkan Unique tumor antigens adalah sebagai hasil dari berbagai mutasi yang terinduksi melalui karsinogen-karsinogen fisik atau kimia; oleh karenanya mereka adalah diekspres hanya oleh tumor-tumor individual. Tumor-specific unique antigens mencakup antigen-antigen diferensiasi melanosit/melanoma, seperti tirosinase (18), MART1 (19) dan gp100 (20), prostate specific antigen (PSA) (21, 11). Vaksin-vaksin kanker yang didisain dengan optimal harus mengombinasikan antigen-antigen tumor terbaik dengan agen-agen dan strategi-strategi pengiriman imunoterapi yang paling efektif guna mencapai hasil-hasil klinis positif. Dilema penting dalam vaksinasi melawan antigen-antigen terkait tumor yang diekspres berlebih adalah bagaimana caranya untuk menginduksi imunitas efektif melawan target terpilih tanpa diawali dengan pengerusakan otoimunitas. Ketepatan yang ditawarkan oleh vaksin-vaksin DNA dalam menginduksi imunitas terfokus untuk melawan antigen-antigen terseleksi, dan, sebagaimana mereka menjadi semakin kuat, target-target akan menjadi terseleksi secara hati-hati untuk menghindarkan otoimunitas. Akhir-akhir ini, satu studi prioritisasi percontohan NCI membuat suatu daftar urut prioritas dari antigen-antigen kanker yang benar-benar terperiksa dengan baik (22). Prioritisasi antigen meliputi pengembangan satu daftar dari kriteria/karakteristik-karakteristik antigen kanker ”ideal” dan penentuan bobot relatif kepada kriteria dimaksud menggunakan perbandingan-perbandingan yang berpasangan. Hasil dari pembobotan kriteria adalah sebagai berikut: (a) fungsi teraputik, (b) imunogenisitas, (c) peran antigen dalam onkogenisitas, (d) spesifisitas, (e) level pengekspresian dan percent dari sel-sel dengan antigen positif, (f) pengekspresian sel stem, (g) jumlah pasien dengan kanker-kanker yang dengan positif antigen, (h) jumlah epitop-epitop antigenik, dan (i) lokasi seluler dari pengekspresian antigen (22). Sebuah upaya untuk memrioritaskan antigen-antigen kanker yang seperti itu merupakan pengambilan langkah lanjutan logis dalam pendorongan untuk memokuskan upaya-upaya translasional pada rejimen-rejimen vaksin kanker dengan potensiil tertinggi untuk keberhasilan.

Satu isu biologis yang membatasi efikasi vaksin-vaksin kanker adalah imunogenisitas rendah dari antigen-antigen kanker. Berbagai strategi guna menguatkan imunogenisitas antigen didiskusikan dalam satu bagian akhir tulisan ini.


ME-PRIMING SISTIM IMUN


Vaksin-vaksin DNA merupakan wahana sederhana untuk transfeksi in vivo dan produksi antigen. Suatu vaksin DNA terkomposisi oleh suatu DNA plasmid yang mengkode (encodes) antigen yang diminati di bawah kontrol dari satu mammalian promoter (mis. CMV-intA, CMV immediate/early promoter, dan intron A sequence sekitarnya) dan dapat dengan mudah diproduksi dalam bakteri (23). Rangkaian gen yang diminati dan diyakini kemudian dikirimkan melalui kulit (secara intradermal), subkutaneum atau ke dalam otot melalui satu dari banyak metode-metode pengiriman. Menggunakan kerja mesin seluler inang, plasmid kemudian memasuki nukleus dari sel-sel lokal yang tertransfeksikan (seperti myosit atau keratinosit), termasuk antigen presenting cells (APCs) residen. Di sini, pengekspresian gen plasmid diikuti oleh pembangkitan antigen-antigen asing. Meskipun penjelasan dari seluruh komponen-komponen imunologikal yang tersangkut setelah pengimunisasian DNA belumlah tercapai secara keseluruhan, besarnya moda aksi vaksin-vaksin DNA plasmid terlihat dua kali lipat. Plasmid-plasmid DNA, yang diderivasi dari bakteri, menstimulasi sistim imun bawaan oleh penginteraksiannya dengan Toll-like receptor 9 (TLR9) (24), sebuah reseptor yang ditemukan pada APCs, meskipun pengekspresian diferensial dari TLR9 dalam sel-sel imun tikus dan primata membuat peran mereka lebih kompleks sebagai ajuvan-ajuvan dalam berbagai primata. Respon imun nonspesifik ini mengaugmentasikan respon imun spesifik antigen, di mana presentasi langsung maupun taklangsung antigen ke APCs ikut dilibatkan. Dua model menyeluruh/lengkap telah diajukan. Antigen yang dikodekan oleh plasmid diproduksi di dalam sel-sel inang, baik di dalam APCs profesional yang mengawali ke priming langsung respon-respon imun ataupun di dalam sel-sel nonprofesional dari mana antigen dapat ditransfer ke APCs mengawali ke cross-priming.

Satu seri studi-studi dihasratkan untuk menentukan bagaimana vaksin-vaksin tersebut dapat bekerja melalui cara penyelidikan sumber presentasi Ag, sifat-sifat imunologis (immunological properties) DNA itu sendiri, dan peran sitokin-sitokin dalam memunculkan berbagai respon imun.

Banyak studi awal menunjukkan bahwa metode pengiriman akan dipengaruhi oleh tipe-tipe sel yang ditransfeksikan. Melalui penggunaan senjata api gen (gene gun) (pemborbardiran epidermis oleh butiran-butiran mikro emas [gold microbeads] berselaputkan plasmid pada permukaannya) cenderung untuk secara langsung mentransfeksi keratinosit-keratinosit epidermal dan juga sel-sel Langerhans, yang mana ditunjukkan dengan migrasi cepatnya ke kelenjar-kelenjar limfe regional (25). Dalam kasus ini, APCs profesional ditransfeksikan secara langsung dan berperilaku sebagai sumber dari presentasi Ag. Alternatifnya, cara penginjeksian intramuskuler plasmid pada pokoknya mengawali kepada transfeksi myosit. Myosit kurang mengekspresikan major histocompatibility complex class (MHC) II dan costimulatory molecules sehingga tidak akan diperkirakan me-prime sel-sel limfosit T secara langsung. Malahan, pe-prime-ngan imun (immune priming) mungkin terjadi oleh sel-sel dendritik (DCs) (26, 27) yang rupanya bermigrasi ke lokasi penginokulasian DNA sebagai respon terhadap sinyal-sinyal inflamatori atau khemotaktik setelah vaksinasi (28, 29). DCs ini diperkirakan memresentasikan antigen melalui cross-presentation antigen ekstraseluler atau setelah transfeksi langsung oleh DNA plasmid (26, 30)

Jadi, dalam hal penginduksian imunitas, terdapat suatu pengaruh dari lokasi dan prosedur yang digunakan untuk penginjeksian, dengan sel-sel otot dan kulit dengan jelas mampu beraksi sebagai depot-depot antigen namun tidak mampu untuk me-prime respon imun. Hal ini sepertinya bahwa cross-presentation dari lokasi-lokasi ini ke APCs merupakan rute utama untuk pe-prime-ngan (26), namun terdapat juga bukti untuk transfeksi langsung APCs, khususnya ketika pengirimannya adalah ke lokasi kulit lewat penggunaan satu gene gun (25). Antigen yang disintesis inang kemudian diproses dan dipresentasikan oleh APCs dalam konteks MHC I maupun MHC II.

APCs yang telah terbebani antigen (antigen-loaded APCs) bergerak menuju kelenjar-kelenjar limfe penyalur, di mana mereka memresentasi antigen-antigen peptid ke sel-sel T naive, sehingga mengeluarkan baik respon-respon imun humoral maupun seluler. Meskipun vektor-vektor vaksin-vaksin DNA plasmid dapat menginduksi antibodi dan respon-respon sel-sel T penolong CD4+ , mereka secara khusus cocok untuk menginduksi respon-respon sel T CD8+ oleh karena mereka mengekspres antigen-antigen secara intraseluler, mengenalkan mereka secara langsung ke dalam jalur pemrosesan dan pemresentasian antigen MHC I (31).

Apapun, proses yang membawa/mengiringkan antigen-antigen ke APCs nampaknya sangat efisien karena vaksin-vaksin DNA, yang hanya memroduksi level –level antigen sangat rendah, dapat menginduksi semua bagian-bagian respon imun (32).

Satu pelajaran yang dapat diambil pada tahun lalu adalah bahwa dalam mengembangkan DNA plasmid sebagai vaksin kanker memunculkan isu-isu kunci seperti: perlunya memecah toleransi imunologis, kehilangan bertahap MHC dan antigen dalam sel-sel tumor, sel-sel T regulator yang dapat secara negatif memengaruhi penginduksian respon-respon antitumor, defek-defek sistemik dalam sel-sel dendritik, sekresi sitokin-sitokin imunosupresif, resistensi terhadap apoptosis (33, 34) sebagaimana yang telah didiskusikan di mana-mana.


KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN VAKSIN DNA


Penggunaan vektor-vektor DNA merupakan suatu platform penting untuk berbagai aplikasi klinis, pada mana produksi vaksin berskala besar adalah tidak mudah untuk ditangani dengan bentuk-bentuk lain vaksin meliputi protein rekombinan, keseluruhan sel-sel tumor, atau vektor-vektor virus (35). Meskipun transfer gen bermediasikan virus melalui lentivirus termodifikasi secara genetik, virus-virus adenovirus, virus-virus terkait adeno, dan virus-virus retrovirus adalah menguntungkan karena efisiensi dan stabilitas transfeksinya yang tinggi (36), Lompatan terbesar menggunakan vektor-vektor virus adalah untuk menanggulangi imunogenisitas dari viral packaging proteins. Lebih lanjut, metode-metode virus adalah tidak menguntungkan oleh karena sangat mahal, berbagai efek toksik, keterbatasan transgene size, dan berpotensi terjadinya insertional mutagenesis (37).

Di satu pihak, vektor-vektor nonvirus sangatlah fleksibel, mampu mengkode sejumlah komponen-komponen imunologikal, dikaitkan dengan satu sitotoksisitas yang lebih rendah, secara relatif lebih stabil, dan berpotensi lebih efektif dari segi biaya untuk pembuatan dan penyimpanannya (Tabel 1).

Tingkat keamanan berkenaan dengan berbagai reaksi yang tidak diinginkan setelah penginjeksian telah didemonstrasikan dalam model-model khewan (38, 39), demikian juga dalam percobaan-percobaan klinis pada manusia.

Percobaan klinis pertama, yang diawali untuk memonitor keamanan dan efikasi dari vaksin DNA melawan infeksi HIV-1 (40), mengunjukkan bahwa vaksin-vaksin DNA plasmid adalah aman dan berkemampuan menginduksi respon-respon imun seluler dan antibodi yang dapat dideteksi (40-42). Tulang punggung (backbone) plasmid yang sederhana ini digabungkan dengan teknologi manipulasi gen memungkinkan inkoorporasi gen-gen, yang lalu kemudian diekspresikan oleh sel-sel yang tertransfeksikan in vivo. Walaupun proses transfeksi adalah tidak efisien dan bervariasi dengan jaringan taget dan cara pengiriman, secara umum DNA adalah cukup digunakan untuk me-prime respon imun (32). Vaksin-vaksin DNA adalah bebas dari permasalahan yang terkait dengan pemroduksian vaksin-vaksin protein rekombinan, dan mereka juga lebih aman dibanding dengan vaksin berisikan mikroba yang dimatikan (live attenuated) yang dapat menyebabkan infeksi patogenik in vivo. Tambahannya, studi-studi dengan vaksin DNA menunjukkan bahwa bahkan setelah pengimunisasian multipel, antibodi-antibodi anti-DNA tidak diproduksi (43).

Kemampuan untuk mengintroduksi antigen ke sistim imun inang, sehingga memungkinkan untuk memeroleh sel-sel T CD4+ tipe Th1 dan sel-sel T sitotoksik CD8+ yang kuat, merupakan satu gambaran unik dari vaksin-vaksin DNA yag membuat mereka berbeda dari protein konvensional atau vaksin-vaksin peptid. Karena gambaran inilah, mereka dapat segera menginduksi respon-respon imun humoral dan juga seluler (44).

Transfer gen berbasis plasmid dapat juga mengirimkan oligonukleotida yang dapat mengubah gene splicing atau pengekspresian gen, sebagai contoh, siRNA (35, 45).


MENGUATKAN EFIKASI DAN IMUNOGENISITAS VAKSIN DNA


Meskipun imunogenisitas vaksin-vaksin DNA telah termapankan dengan baik dalam model-model khewan, imunogenisitasnya yang rendah telah merupakan penghambat utama dalam menuju kepada pengembangan vaksin-vaksin DNA dalam model-model khewan dan manusia yang berjumlah besar. Dalam rangka mengatasi kesulitan ini, beberapa teknik pendekatan telah diselidiki meliputi disain plasmid, molekul-molekul imunomodulator, teknik-teknik pengiriman, dan prime-boost strategy (Tabel 2).


Disain Plasmid


Pada tahap-tahap awal dalam perkembangan vaksin-vaksin DNA, telah menjadi jelas bahwa memaksimalkan pengekspresian dari Ag terkode adalah merupakan hal penting bagi penginduksian respon-respon imun poten. Promoter-promoter virus yang kuat, seperti CMV-intA, adalah secara umumnya lebih disukai dibandingkan dengan promoter-promoter eukariotik terregulasi atau eukariotik endogen (70). Lebih lanjut, nuclear targeting sequence (NTS) dapat diintroduksikan untuk meningkatkan efisiensi uptake plasmid nuklear dari sitoplasma setelah injeksi intramuskuler (48, 71).

Utilisasi dari berbagai rangkaian codon-optimized (codon-optimized sequeces) lebih dipilih dari pada menggunakan berbagai rangkaian pengkodean tipe liar (wild-type), oleh karena ia merupakan satu metode umum dan poten dalam memerbaiki vaksinasi.

Suatu rangkaian pengkodean yang optimal adalah penentuan kembali (determine back) rangkaian asam amino antigen melalui penggunaan algoritma-algoritma yang memperhitungkan (take into account) sejumlah besar tRNAs spesifik dalam sitosol sel-sel manusia dan struktur yang terprediksi dari mRNA. Setelah itu, rangkaian gen yang terseleksi dikonstruksi in vitro menggunakan oligonukleotid-oligonukleotid sintetik. Adverse rare codon dihindari dan struktur-struktur sekunder dalam mRNA diminimalisir. Sehingga, gen sintetik adalah optimal untuk pengekspresian dan dengan konsekuensinya bagi penginduksian dari suatu respon imun (72).

Flexibilitas disain plasmid dipasangkan dengan teknologi manipulasi gen memungkinkan juga ”optimisasi gen”. Tentu saja, regio-regio variabel dari rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL) dari imunoglobulin tumor, yang spesifik bagi berbagai keganasan sel-B, dapat siap di-klon dan dikombinasikan menjadi single-chain variable fragment (scFv) format, yang mengkode satu polipeptid tunggal terdiri dari gen-gen VH and VL berkaitan bersama dalam frame oleh satu pengait asam amino-15 pendek (73)

Sebagaimana yang telah didiskusikan, tulang punggung DNA bakterial berisikan cytosine-phosphate-guanine (CpG) unmethylated regions sebagai rangkaian motif-motif yang merangsang imunitas bawaan, menyiptakan suatu lingkungan inflamasi untuk pemicuan respon imun adaptif (74). Peranan motif-motif CpG sebagai ajuvan respon imun kepada vaksin-vaksin DNA telah tercatat dengan baik pada tikus (75). Berbagai studi preklinik memperlihatkan bahwa penambahan motif-motif CpG dalam plasmid menghasilkan penginduksian sitokin-sitokin proinflamatori, sebagai contoh, IL-12 atau IFN-I (75). CpGs dikenal oleh TLR9, sebuah resptor yang dijumpai pada APCs, membantu diferensiasi dan pe-priming-an cytotoxic T-lymphocyte (CTL). Diikutsertakannya penggunaan (coadministration) gen-gen yang mengkode ligands untuk Toll-like receptors (TLRs) atau molekul-molekul pensinyalan mereka, telah memperlihatkan perbaikan imunogenisitas vaksin-vaksin DNA (66, 76).

Perekayasaan disain vaksin DNA untuk pemaksimalan imunitas yang epitop spesifik (epitope-specific immunity) memungkinkan penguatan epitop melalui pemodifikasian rangkaian (sequence). Pemahaman molekuler respon imun saat ini mengawali arah menuju ke berbagai strategi baru untuk menginduksi berbagai respon imun yang lebih efektif. Toleransi diri (self-tolerance) mungkin mengawali bagi penghilangan (deletion) sel-sel T yang spesifik bagi epitop-epitop yang paling efektif (77, 78). Maka dari itu, tidak seluruh rangkaian merupakan epitop-epitop antigenik optimal. Suatu proses yang disebut penguatan epitop diperkirakan dapat membuat serangkaian dari banyak epitop kanker menjadi lebih imunogenik (79). Rangkaian-rangkaian epitop dapat dimodifikasi untuk meningkatkan kemampuan afinitas peptid epitop untuk molekul MHC. Pengetahuan akan motif-motif rangkaian bagi pengikatan peptid merupakan kunci di dalam rangka memerbaiki ”anchor residues” primer dan/atau sekunder yang menyediakan spesifisitas pengikatan yang jauh lebih tinggi ke molekul MHC (80, 81). Strategi ini dapat dengan kuat meningkatkan potensi dari suatu vaksin dan dapat mengubah suatu epitop subdominan menjadi epitop dominan melalui membuatnya lebih kompetitif untuk molekul-molekul MHC yang tersedia, sehingga meningkatkan level dari peptid spesifik, yaitu kompleks-kompleks MHC pada permukaan sel yang memresentasikan antigen (82). Penguatan epitop telah digunakan untuk meningkatkan kemampuan afinitas untuk baik bagi molekul-molekul MHC klas I maupun kelas II (83).

Untuk menguatkan imunogenisitas DNA, vaksin-vaksin yang mengkode RNA imunostimulator, seperti double-stranded RNA atau replicon RNA, adalah juga dibangkitkan (84). Perekayasaan disain vaksin bagi pemanipulasian jalur-jalur pemresentasian dan pemrosesan antigen merupakan satu dari aspek terpenting yang dapat dengan mudah ditangani di dalam teknologi vaksin DNA. Bila suatu respon antibodi merupakan tujuan, adalah dengan jelas perlu mengarahkan pengekspresian antigen ke retikulum endoplasma, pada mana pelipatan (folding) dan sekresi dapat terjadi. Suatu rangkaian terdepan (leader sequence) (sinyal) yang tepat dapat mencapi hal ini (47). Untuk penginduksian CTLs, penambahan gen-gen yang mengkode molekul-molekul seperti misalnya ubiquitin, yang dimaksudkan untuk menguatkan pendegradasian dan pemroduksian peptid di dalam proteosom, dapat menjadi efektif (85). Hal yang sama, penargetan pengekspresian ke jalur-jalur subseluler berbeda seperti endosom atau lisosom dapat memperbesar respon-respon sel T CD4+ (85). Jadi, vaksin-vaksin DNA dapat didisain untuk menginduksi suatu jalur efektor yang tepat, termasuk antibodi-antibodi yang melawan antigen-antigen permukaan sel, atau respon CTL melawan antigen-antigen intraseluler yang diekspresikan hanya sebagai peptid-peptid terkait-kelas I MHC. Karena antigen-antigen tumor adalah seringkali secara imunogenik lemah dan kekebalan yang ada pada pasien mungkin telah ditoleransi, pertanyaan sentralnya adalah apakah vaksin-vaksin DNA dapat mengaktifasi dan memertahankan level imunitas tinggi yang dibutuhkan untuk penekanan pertumbuhan sel kanker.

Menginat posisi sel-sel T penolong (Th) CD4 yang sangat penting dalam membantu sel-sel B memroduksi antibodi dan mengontrol penginduksian dan mempertahankan sel-sel T CD8 (86) telah membuat para penyelidik berfokus pada kepentingan mereka dalam berrespon terhadap vaksinasi DNA. Melalui penyeleksian gen-gen yang mengkode protein-protein mikroba yang difusikan ke rangkaian antigen tumor, adalah memungkinkan untuk mengaktifasi sel-sel Th dan dengan dramatis memperbesar imunitas melawan sel-sel tumor (87). Sebagaimana yang akan didiskusikan dalam bagian tulisan berikut, vaksin-vaksin DNA menawarkan kesempatan untuk mengaktifasi sel-sel Th dan mentransformasikan imunitas lemah dan takefektif menjadi satu antitumor yang kuat (88).


Molekul Modulator & Penguat Imun


Walaupun antibodi spesifik dan respon-respon CTL dapat diinduksikan dalam percobaan-percobaan klinis dengan vaksin-vaksin DNA yang polos (naked), melalui rute intramuskulus atau intradermis, DNA dosis tinggi diperlukan guna memunculkan respon-respon imun (89, 90). Sejumlah besar daripadanya , yaitu 5 – 10 mg, adalah dibutuhkan bagi penginduksian hanya untuk imunogenisitas tingkat sedang (91).

Pemodifikasian lingkungan lokasi tervaksinasi dengan cara pemberian ikutan (coadministration) genetik, yaitu, pengkodean plasmid-plasmid DNA untuk molekul-molekul imunostimulatori, protein, atau ajuvan-ajuvan kimia, dapat memerbaiki imunogenisitas vaksin-vaksin DNA yang bertingkat rendah (31).

Progres telah dibuat dalam pengembangan teknik-teknik terperbaiki untuk encapsulating DNA plasmid (liposome, polimer, dan partikel-partikel mikro) walaupun beberapa saja dari formulasi ini telah memperlihatkan mampu memunculkan respon-respon imun yang lebih super dari apa yang telah dimunculkan oleh cara-cara DNA plasmid intramuskulus sederhana, namun dalam percobaan-percobaan klinis pada manusia tetap mengecewakan (92).

Dalam rangka memudahkan dalam disain dan konstruksi DNA plasmid yang dipakai untuk menarget suatu neoplasma tertentu, ajuvan-ajuvan biologis dapat dijalin (tailored) dan dikodekan di dalam vektor DNA yang sama juga (35). Suatu rentangan luas molekul-molekul yang berkemampuan untuk memodulasikan respon-respon imun agar dapat dikirimkan dapat dilihat dalam Tabel 3.

Mereka adalah termasuk khemokin-khemokin untuk menarik (attract) APC (93), mengaktifkan sitokin-sitokin (94, 95), molekul-molekul penstimulator ikutan (costimulatory), antibodi-antibodi yang menarget APC, dan molekul-molekul untuk memanipulasi pemresentasian dan/atau pemrosesan antigen (96).

Satu dari sejumlah sitokin yang sering digunakan dalam vaksin DNA plasmid adalah granulocyte–macrophage colony–stimulating factor (GM-CSF), suatu molekul yang mampu menguatkan respon-respon imun melalui penginduksian proliferasi, maturasi, dan migrasi sel-sel DCs juga ekspansi dan diferensiasi limfosit-limfosit B dan T (62).

Sebagai tambahan dalam pengiriman ikutan (codelivery), vaksin-vaksin DNA memungkinkan pemfusian gen-gen yang mengkode pengaktifan molekul-molekul ke rangkaian pengkodean antigen. Hal ini merupakan suatu keuntungan, dan pemfusian gen-gen dapat menciptakan vaksin tunggal dengan berkemampuan banyak fungsi.

Biragyn dkk. menunjukkan bahwa efisiensi vaksinasi DNA in vivo dapat dengan besar ditingkatkan melalui pengkodeaan suatu pemfusian protein termasuk scFv difusikan ke suatu moiety khemokin proinflamatori yang memfasilitasi penargetan APCs bagi pengikatan bermediasi reseptor khemokin, uptake, dan memroses antigen scFv untuk pemresentasian lanjutan ke sel-sel T CD4+ atau CD8+ , atau keduanya sekaligus (63). Di dalam dua buah model terpisah, vaksinasi dengan DNA mengonstruksi pengkodean suatu pemfusian protein yang meliputi scFv difusikan ke monocyte chemotactic protein 3 (MCP-3) atau interferon inducible protein 10 (IP-10a) membangkitkan pemroteksian yang lebih superior melawan suatu large tumor challenge (20 kali dosis letal minimum), dibandingkan dengan vaksin-vaksin protein terbaik yang ada (63).

Berbagai strategi tambahan untuk mengakifasi imunitas efektif melawan antigen-antigen tumor dengan sifat imunogenik sangat kurang adalah memberlakukan “the DNA fusion genes vaccines” untuk mengaktifasi bantuan sel T bagi respon-respon antitumor. Sel Th CD4+ , sebagai sel pivotal dari respon imun mampu untuk menginduksi level-level imunitas yang tinggi dan mempertahankan respon tetap seperti itu, telah secara ekstensif dipelajari oleh Stvenson dkk. (97). Kebutuhan akan berbagai rangkaian asing untuk menginduksi Th bagi respon sel B dan membantu respon CTL telah dikenal bertahun-tahun lalu (98, 99). Karena sel-sel Th-lah yang mengontrol respon-respon untuk vaksinasi, adalah sangat mudah untuk dimengerti bahwa antigen-antigen diri pasien sendiri (self-antigens), yang tidak berisi epitop-epitop yang memungkinkan untuk dikenal oleh sel-sel Th yang tersedia, tidak berkemampuan menginduksikan imunitas. Suatu strategi untuk mengaktifasi sel-sel Th bagi penginduksian imunitas antitumor adalah dengan cara ikut menimbrungi (engage) sistim imun yang ada pada tubuh dalam melawan antigen-antigen yang tidak ditoleransi. Alasan penggunaan antigen xenogeneik untuk memecah toleransi adalah mungkin akibat dari keberadaan beberapa rangkaian asing dalam antigen xenogeneik yang mampu untuk mengaktifasi sel-sel Th (100). Memfokuskan perhatian pada sistim antimikroba yang telah ada pada tubuh, prinsip di atas telah diaplikasikan untuk mewujudnyatakan vaksin-vaksin gen pemfusian DNA (DNA fusion gene vaccines) dalam mengkode antigen tumor yang terkaitkan (linked) ke suatu antigen yang berasal dari toksin tetanus. Pemfusian C fragmen (FrC) toksin tetanus akan menguatkan respon imun melawan satu rentangan (range) antigen-antigen tumor, sehingga menyebabkan penekanan pertumbuhan tumor (87). Percobaan-percobaan klinis melalui penggunaan teknik pendekatan ini untuk memecah toleransi bawaan (self-tolerance) bagi tujuan-tujuan teraputik pada pasien-pasien dengan limfoma dan karsinoma prostat banyak didiskusikan di mana-mana.

5.3. Route of Administration

Adalah telah menjadi semakin mendekati kenyataan bahwa imunogenisitas vaksin-vaksin DNA sangat bergantung dari penggunaan metode pengiriman untuk imunisasi (101).

Dalam satu model tikus melanoma, vaksinasi DNA digunakan secara bersama-sama dengan pengiriman plasmid-plasmid antiangiogenik intratumor, mengkodekan angiostatin, dan endostatin. Vaksinasi kombinasi pada melanoma menghasilkan tingkat lama hidup bebas tumor sebesar 57% lebih dari 90 hari setelah pemberian (challenge) (54). Dalam suatu proporsi tingkat sedang (modest proportion) dari pasien-pasien dengan penyakit keganasan, penginjeksian DNA intratumor menimbulkan regresi tumor pada lokasi-lokasi jauh (102).

Studi-studi saat ini telah mengonfirmasikan bahwa metode-metode fisik adalah lebih baik dari pada metode pengiriman yang menggunakan DNA dalam bermacam-macam cairan kimia (103, 104).

Teknik pengiriman biolistic gen gun delivery meliputi melekatkan DNA polos (naked) ke butiran-butiran emas (gold beads) dan menembakan partikel-partikel melalui suatu instrumen bertekanan tinggi. Sistim ini mengrimkan DNA secara langsung kedalam kulit dan sel-sel Langerhans dalam satu proses yang sangat efisien. Pengimunisasian gene gun telah memperlihatkan menginduksi respon sel T CD8+ yang lebih besar juga memerlukan jumlah vaksin yang lebih sedikit untuk mendapatkan imunitas tumor (tumor immunity) (51).

Suatu strategi yang menjanjikan adalah electroporation (EP), yang di dalam primata tidak hanya meningkatkan level namun juga keluasan respon (105), sehingga mampu menanggulangi kesulitan dalam mentranslasikan keefektifan vaksinasi DNA yang dijumpai pada binatang-binatang pengerat preklinik ke penggunaan pada binatang yang besar, termasuk subjek-subjek manusia (106).

Teknologi pengiriman DNA berbasis elektroporasi secara dramatis menguatkan uptake seluler vaksin-vaksin DNA. EP sendiri bekerja sebagai suatu ajuvan untuk menguatkan ”sinyal-sinyal berbahaya” yang perlu yang menjadi dapat dideteksi oleh sistim imun. Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh aplikasi EP menyebabkan inflamasi dan perekrutan DCs, makrofag, dan limfosit menuju lokasi penginjeksian (107, 108) yang selanjutnya menginduksi respon-respon imun bermakna, termasuk respon-respon antibodi dan sel-sel T. Lebih lanjut, ia ditoleransi tanpa anesthesi dan tidak menginduksi respon-respon imun yang tidak perlu akibat mekanisme pengiriman, sehingga ia dapat digunakan untuk keperluan-keperluan ulangan.

Pengiriman DNA intradremal yang lebih baru yang dikembangkan adalah teknik tattoo. Peralatan tattoo memiliki satu cartridge berisi sembilan buah jarum metal penembus yang halus yang berosilasi pada frekuensi konstan dan menusuk kulit, menyebabkan transfer DNA ke sel-sel yang ada pada/terkait dengan kulit. Pengekspresian gen-gen pelapor (reporter genes)menimbulkan respon-respon sel-sel T robust (109). Imunisasi tattoo saat ini diaplikasikan dalam satu studi fase I untuk menentukan toksisitas dan efikasi dari penginduksian imunitas sel T spesifik tumor melawan melanoma (53).


Strategi Prime-Boost


Jadual pemvaksinasian yang didasarkan pada rejimen-rejimen prime-boost terkombinasi menggunakan sistim-sistim vektor untuk mengirim antigen yang diinginkan ( mis. rejimen pengimunisasian prime-boost heterolog) nampaknya menjadi berhasil dalam platform vaksin DNA.

Kenyataannya, rejimen-rejimen prime-boost telah menjanjikan dalam memunculkan respon imun yang lebih besar pada manusia dibandingkan dengan hanya vaksinasi DNA saja (101).

Teknik The DNA-prime-viral vector-boost approach memfokuskan pada penginduksian respon-respon imun sel-T. Dalam teknik pendekatan ini, pengimunisasian homologous boost membawa antigen yang ekivalen dibanding teknik pengimunisasian sebelumnya. Vektor-vektor viral yang telah diujikan sebagai vaksin booster adalah termasuk adenovirus, virus vaksinia, fowlpox (110, 111), juga virus stomatitis vesikuler rekombinan (112).

Juga, the DNA-prime-protein-boost approach menggunakan antigen-antigen protein rekombinan yang sesuai dengan antigen-antigen yang digunakan dalam DNA prime immunization (68, 113, 114). Strategi ini dimaksudkan untuk mengembangkan respon imun humoral maupun respon imun bermediasi sel dengan satu focus pada memunculkan respon-respon antibodi perlindungan berkualitas tinggi.

Rejimen pe-vaksinasian prime-boost heterolog mengeksploitasi kemampuan sistim imun untuk membangkitkan sejumlah besar sel-sel T yang spesifik antigen sekunder (secondary antigen-specific T cells). Setelah suatu priming immunization, satu proporsi populasi sel T yang spesifik antigen bertransformasi menjadi antigen-specific memory T cells, yang memiliki kemampuan berkembang (expand) dengan cepat ketika berhadapan dengan antigen yang sama pada saat pertemuan kedua kalinya.

Karena vektor-vektor priming dan boosting adalah berbeda, strategi ini memungkinkan untuk pengekspansian yang lebih besar dari populasi-populasi sel T yang spesifik antigen penyakit (115). Saat ini, rejimen-rejimen prime-boost heterolog adalah satu di antara strategi-strategi paling poten untuk menginduksi respon-respon imun seluler. Dibandingkan dengan teknik pendekatan prime-boost homolog dengan vaksin DNA yang sama, pe-boost-an satu respon primer dengan satu vektor heterolog akan menghasilkan respon-respon sel T 4 – 10 kali lebih besar (116 – 118).

Pada satu sisi, satu kombinasi vaksin-vaksin DNA dengan EP dalam satu teknik pendekatan prime-boost homolog dapat membangkitkan respon-respon antibodi yang sebanding dengan apa yang diinduksikan oleh protein dalam Complete Freund Adjuvant, dan juga memperbesar respon-respon CTL (46). EP dapat menyediakan satu kombinasi prime-boost yang ekivalen dengan yang diobservasi menggunakan vektor-vektor virus, dan saat ini sedang berlangsung pengujian klinik menggunakan satu vaksin DNA untuk pasien-pasien dengan kanker prostat. Pengulangan pemberian EP telah dapat diterima pasien-pasien tanpa memerlukan pembiusan lokal ataupun umum dan dengan tidak menimbulkan efek-efek ill jangka panjang (47)


Strategi Memecah Jaring-jaring Penekan Imun


Penekanan imun merupakan suatu bentuk (feature) lingkungan mikro tumor dan suatu barier terhadap terapi imun. Lingkungan mikro tumor dimapankan baik melalui aktifitas sel-sel regulator myeloid maupun limfoid, demikian juga melalui pemroduksian faktor-faktor penekanan imun oleh sel-sel maligna itu sendiri.

Banyak makrofag penginfiltrasi tumor, yang disebut myeloid-derived suppressor cells (MDSCs), memiliki suatu fenotip penekan imun (119). Makrofag-makrofag ini terdapat sangat banyak dalam berjenis-jenis tumor yang timbul pada manusia maupun tikus percobaan dan dapat mengeluarkan efek-efek antiinflamasi sangat kuat. Sebagai tambahan terhadap MDSCs, sel-sel T regulator (Treg) juga sangat banyak menginfiltrasi banyak jenis tumor (120). Sel-sel ini, yang ditandai oleh pengekspresian faktor transkripsi FoxP3 demikian juga CD4 dan CD25, memainkan satu peran kunci dalam pengaturan imunitas adaptif. Tregs dapat menekan respon-respon imun melalui penyekresian sitokin-sitokin penekan seperti TGF-β dan IL- 35 (120, 121). Tregs merupakan suatu barier potensiil dalam mengembangkan terapi-terapi imun produktif untuk kanker, dan mereka merupakan suatu target atraktif bagi penguatan imunitas antitumor.

Imunoterapi kanker didisain untuk secara spesifik menarget tipe-tipe kanker menggunakan komponen-komponen sistim imun. Karena itu, vaksin-vaksin DNA adalah juga menghadapi banyak hambatan meliputi antara lain dalam memecah toleransi sel T perifer untuk melawan antigen-antigen bawaan (self-antigen) tumor, dalam memunculkan reaksi-reaksi imun yang cocok, demikian juga dalam menanggulangi jaring-jaring penekanan imun berasal tumor dan taktik-taktik evasion. Berbagai mekanisme evasive yang diadopsikan oleh sel-sel maligna untuk mencegah fungsi sel imun adalah banyak dan mengawali pengekspansian klonal sel-sel tumor yang bukan imunogenik, kehilangan antigen tumor, dan untuk pencegahan apoptosis (35)

Sel-sel tumor dapat melakukan pengaturan ke hilir pengekspresian dari MHC dan antigen-antigen target dan seringkali menyekresikan molekul-molekul penekan imun untuk memertahankan dirinya melawan berbagai serangan (122). Tumor-tumor dapat menyiptakan suatu lingkungan tolerogenik yang menyebar ke saluran-saluran menuju kelenjar limfe dan dapat menguatkan aktifitas sel-T regulator. Perlawanan untuk menyukseskan usaha membalikkan toleransi dan penginduksian imunitas efektif telah menjadi semakin jelas dan vaksin-vaksin haruslah merupakan elemen yang termasuk di dalamnya dalam rangka menanggulangi kemampuan tumor yang seperti itu (123).

Lebih jauh, sel-sel kanker menyekresi faktor-faktor yang dapat larut dalam lingkungan mikro tumor, seperti misalnya, VEGF, IL-10, dan TGF-β, yang memengaruhi maturasi, diferensiasi, dan aktifitas APCs sebagaimana halnya dengan DCs(124), mengganggu proses pendewasaan sel-sel imun dan sifat-sifat efektor. Lingkungan mikro tumor mungkin mengarahkan pertumbuhan tumor dan bahkan secara selektif menyokong satu subset sel-sel tumor, yaitu sel-sel stem kanker (CSCs).

Platform vaksinasi DNA dapat menjadi berkemampuan dalam menekan progresi dari tumor-tumor yang telah mapan melalui penargetan terhadap faktor-faktor yang dapat larut yang disekresikan tumor ke dalam lingkungan mikronya (125), membalikkan mekanisme penghentian imunologis dan memerbaiki potensi vaksin DNA.

Konsep pengombinasian vaksinasi kanker dengan penghambatan angiogenesis adalah appealing, dikarenakan dari profil keamanannya yang favorable, demikian juga dengan berbagai kemungkinan sinergisitas biologisnya (54). Vaksinasi DNA pada tikus melawan reseptor VEGF, yaitu FLK-1, me-abrogate pembuluh darah tumor dan melindungi khewan-khewan yang tervaksinasi DNA dari challenge dalam pendekatan profilaktik (126). Pengekspresian platelet-derived growth factor receptor (PDGFR) dalam sel-sel stroma secara langsung berkorelasi dengan penyakit-penyakit stadium lanjut pada kanker kolorektal manusia. Vaksin DNA melawan PDGFRβ menekan pertumbuhan dan diseminasi sel-sel kanker kolorektal manusia yang diinjeksikan ke tikus (127).

Pemberian ikutan plasmid-plasmid in vivo mengkodekan the chemokine macrophage inflammatory protein-1alpha (MIP-1alpha) dan the DC-specific growth factor fms-like tyrosine kinase 3 ligand (Flt3L) dengan DNA plasmid mengaugmentasi imunogenisitas vaksin, pemobilisasian dan pengaktifan sejumlah besar DCs pada lokasi inokulasi (128). Konsisten dengan konsep bahwa terapi-terapi kanker yang paling efektif adalah multimoda, pengombinasian Treg dengan berbagai intervensi imunoteraputik kanker aktif merupakan suatu prospek yang atraktif, didukung oleh sejumlah besar data pada tikus percobaan (129 – 132) dan oleh percobaan preliminary pada manusia (133-135). Akhirnya, berbagai strategi tambahan ditujukan untuk mengubah fungsi sel T regulator dalam imunoterapi kanker, meliputi blocking T-reg trafficking, diferensiasi, dan/atau fungsi dan pengurangan suseptibilitas sel efektor terhadap penekanan, telah telah terbukti berhasil dalam studi-studi preliminary (136 – 138).


SIMPULAN DAN ARAH TUJUAN


DNA plasmid merupakan satu generasi baru produk bioteknologi yang baru saja dimulai memasuki pasar. Progres di dalam pengaplikasian vaksin-vaksin DNA sebagai suatu protokol imunisasi dibuktikan dari meningkatnya jumlah vaksin-vaksin seperti itu di bawah pengawasan dalam berbagai percobaan klinis dan oleh persetujan baru-baru ini akan beberapa produk vaksin DNA bagi pengaplikasian veteriner.

Tujuan vaksinasi DNA nantinya diharapkan dapat mengembangkan strategi imunisasi efektif melawan tumor-tumor yang telah mapan sebelumnya. Oleh karena terdapatnya toleransi dari antigen-antigen tumor, berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengoptimisasi platform teknologi vaksin DNA. Berbagai strategi untuk memerbaiki pengekspresian antigen, penginklusian berbagai ajuvan dalam formulasi, atau sebagai modulator-modulator imun untuk memerbaiki imunogenisitas, dan penggunaan metode pengiriman generasi terbaru (next-generation) sedang dalam penyelidikan intensif. Upaya-upaya yang sedang berlangsung untuk memrioritaskan antigen-antigen kanker merupakan langkah berikutnya yang logis dalam pengusahaan ke pada pemfokusan upaya-upaya translasi pada antigen-antigen kanker yang paling menjanjikan untuk menjadi vaksin-vaksin bagi pengobatan atau pencegahan kanker. Adalah memungkinkan bahwa vaksin-vaksin ini akan harus dikombinasikan dengan berbagai modalitas terapi lainnya. Telah menjadi kehormatan bahwa berbagai pendekatan vaksin dapat menguatkan respon-respon lanjutan terhadap radioterapi dan bahwa khemoterapi-khemoterapi tertentu sebenarnya menguatkan respon-respon kepada vaksin. Karenanya, banyak percobaan klinis stadium lanjut telah mengevaluasi keuntungan dari vaksinasi dalam penambahannya kepada khemoterapi konvensional. Satu setingan atraktif adalah pada pasien-pasien selama remisi penuh setelah pengobatan ajuvan baku (khemoterapi, radioterapi, dll, atau suatu kombinasinya) yang kepada mereka vaksinasi diberikan setelah pemulihan imunologisnya (149). Mengombinasikan imunoterapi dengan khemoterapi konvensional, terapi angiogenik, dan berbagai pendekatan lainnya dapat memberikan hasil-hasil teraputik yang sinergistik atau aditif.

Terdapat masih banyak yang harus dikerjakan dalam hal pengoptimisan disain vaksin, pengaktifan dan penyeleksian antigen-antigen target yang sesuai, perbaikan rekrutmen imun, dan teknologi pengiriman. Namun, beberapa tahun ke depan suatu peningkatan jumlah vaksin DNA akan memasuki fase-fase studi pada manusia yang lebih tinggi, yang bertujukan untuk memapankan efikasinya sebagai produk klinik yang sebenarnya. Rejimen-rejimen teraputik berisikan berbagai formulasi vaksin optimal, yaitu berbagai kombinasi agen-agen imunoterapi dan strategi-strategi pengiriman, menawarkan harapan ke pada pasien-pasien yang menderita kanker yang taktersembuhkan yang dengan berbagai terapi baku saat ini tidak dapat menyediakan layanan sendiri-sendirinya buat mereka.