Kamis, 28 Oktober 2010

Terapi Gen untuk Penyakit Rematik

Abstrak
Selama dekade sejak peluncuran Arthritis Research, penerapan terapi gen untuk penyakit rematik telah mengalami perubahan-perubahan yang sama seperti halnya bidang terapi gen secara keseluruhan. Terjadi kemajuan konseptual dan teknologi dan peningkatan jumlah percobaan klinis. Namun, pendanaan tidak dapat diandalkan dan sejumlah kecil kematian berprofil tinggi dalam percobaan manusia, termasuk satu di antaranya pada percobaan terapi gen arthritis, telah memberikan amunisi untuk menjadikan skeptis. Namun demikian, kemajuan yang stabil telah dibuat dalam beberapa aplikasi, termasuk arthritis rheumatoid dan osteoarthritis, sindrom Sjögren, dan lupus. Percobaan klinis dalam arthritis rheumatoid telah berkembang ke fase II dan telah menyediakan sekilas pertama dari efikasinya yang mungkin. Dua buah protokol fase I untuk osteoartritis sedang berlangsung. Bukti prinsip telah ditunjukkan dalam model khewan sindrom Sjögren dan lupus. Untuk indikasi tertentu, hambatan teknologi besar bagi pengembangan terapi genetik tampaknya telah banyak diatasi. Penelitian translasi yang diperlukan untuk mengubah kemajuan ini menjadi obat genetik yang efektif memerlukan pendanaan dan usaha yang berkelanjutan.

Pendahuluan
Ketika Arthritis Research diperkenalkan, wilayah terapi gen dari waktu ke waktu semakin kuat. Dalam dekade sebelumnya nampak sejumlah percobaan terapi gen pada manusia bermunculan, yaitu dari transfer gen pertama pertama yang properly authorized ke manusia dalam tahun 1989, hingga total sejumlah 368 pada tahun 1998. Meskipun terdapat berbagai pemrediksian buruk dari kelompok yang skeptik, tidak pernah terjadi kejadian buruk serius dan wilayah ini looked forward, seperti halnya ekonomi yang dibahanbakari oleh banyak spekulasi di wilayahnya, untuk melanjutkan pertumbuhan sepat. Kelompok yang optimis memrediksi bahwa kedokteran genetik akan berada memenuhi pasar dalam beberapa tahun ke depan saja. Arthritis rheumatoid (RA) menjadi awal bagi terapi gen (gambar 1),

Gambar 1
Publikasi berbahasa Inggris tentang terapi gen arthritis dalam literatur yang dijadikan referensi tulisan ini. Tulisan pertama tentang terapi gen arthritis dipublikasikan dalam tahun 1992 (27). Data efikasi pertama untuk model khewan arthritis rheumatoid (RA) terlihat dalam tahun 1996 (103, 104), dan data efikasi pertama untuk model khewan osteoarthritis (OA) mengikutinya setahun kemudian (79). Percobaan pada manusia pertama kali dimulai dalam tahun 1996 (29). Tujuh percobaan klinis untuk RA dan OA telah dimulaikan, satu di antaranya mencapai fase II (Tabel 1). Bukti pertama dari respon klinis yang mungkin dengan transfer gen dipublikasikan pada tahun ini (31).

menangkap optimisme awal tahun 1990an dan pemulaian percobaan klinik pada 1996. Pertemuan the first International Meeting on the Gene Therapy of Arthritis and Related Disorders (GTARD) diadakan di the National Institutes of Health (NIH) (Bethesda, MD, USA) pada 1998 (1) dan menarik lebih dari 200 peserta.
Situasi kemudian berubah dengan cepat. Kematian Jesse Gelsinger pada 1999 (2) membuka kembali perhatian akan tingkat keselamatan. Hal ini, sebaliknya, membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan pendanaan dari sumber-suber tradisional, seperti misalnya NIH, juga dari industri bioteknologi, yang juga berurusan dengan keadaan ekonomi yang melambat dengan cepat. Banyak penyakit reumatik, meski serius, tidaklah dipertimbangkan untuk mengancam hidup penderitanya, merupakan satu faktor yang mengurangkan antusiasme lebih lanjut bagi penelitian terapi gen dalam daerah ini di bawah berbagai situasi tersebut.
Meskipun besarnya antusiasme pertama telah berhenti, dekade lalu menampakkan progres yang tetap dalam pengembangan berbagai terapi gen untuk beberapa kondisi, dan jumlah percobaan klinis di seluruh dunia mencapai 1,500. Terapi gen komersil pertama, Gendicin untuk kanker kepala dan leher, telah diperkenalkan untuk digunakan di Cina (3), dan terapi gen untuk defisiensi lipase lipoprotein familial tersedia sebagai satu obat orphan di Eropa dan Amerika. Penyembuhan telah dilaporkan untuk penyakit X-linked severe combined immunodeficiency disease (SCID) (4), adenosine deaminase-SCID (5), dan X-linked chronic granulomatous disease (6). Keberhasilan yang menyolok dalam mengobati Leber's congenital amaurosis akhir-akhir ini telah dilaporkan oleh dua kelompok berbeda (7, 8).
Pertumbuhan yang tetap juga terlihat pada penelitian pengembangan terapi gen bagi penyakit reumatik. Progres dapat di-gauge, hingga tingkat tertentu, lewat apa yang tertulis dalam simpulan pertemuan biennial GTARD (1, 9, 10). Semua ini, juga, telah mencapai 10th anniversary mereka dan GTARD-5 akhir-akhir ini diadakan di Seatle – Amerika. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bawah, terdapat sejumlah percobaan klinis dalam wilayah terapi gen untuk arthritis, di mana satu di antaranya telah memasuki tahap fase II, dan beberapa wilayah jenis penyakit lainnya dalam suatu stadium pengembangan praklinik mutakhir.

Kemajuan dalam teknologi

Inti dari setiap terapi gen yang berhasil adalah kemampuan untuk memindahkan gen dengan efisien dan aman ke sel-sel target. Berbagai vektor dasar virus dan nonvirus yang sama yang tersedia saat ini adalah telah tersedia 10 tahun lalu, namun telah terjadi pengembangan dalam perekayasaan dan pengaplikasiannya.

Vektor Virus

Meskipun berbagai onkoretrovirus, seperti virus Moloney murine leukemia, merupakan yang pertama digunakan dalam percobaan klinis dan mendominasi berbagai pengaplikasian dalam terapi gen manusia untuk beberapa tahun, kepopuleran mereka saat ini telah berkurang. Tindakan pseudotyping selimutan retrovirus telah mengatasi, hingga tingkat tertentu, permasalahan modest titers, namun ketidaknyamanan dan expense dari transfer gen in vivo masih tetap ada. Lebih jauh, kejadian mutagenesis insersi (insertional mutagenesis) selama percobaan terapi gen manusia (11) telah membangkitkan sejumlah besar hambatan untuk penggunaan onkoretrovirus pada penyakit-penyakit nonlethal nonmendelian. The US Food and Drug Administration (FDA), sebagai contoh, membutuhkan 15 tahun follow-up pada semua percobaan klinis menggunakan pengintegrasian vektor-vektor (integrating vectors).
Oleh karena vektor-vektor lentivirus adalah juga merupakan pengintegrasian retrovirus-retrovirus (integrating retroviruses), mereka dilindungi oleh pembatasan-pembatasan yang sama. Hal ini disayangkan karena vesicular stomatitis virus-pseudotyped lentiviruses adalah sangat efisien dan tidak memerlukan pemecahan sel inang; mereka mentransduksi sinovium dengan sangat efektif setelah penginjeksian intraartikuler (12, 13). Meskipun lentivirus sedang direkayasa agar tetap episom, penggunaannya pada manusia dalam reumatologi nampaknya tidak memungkinkan dalam any reasonable time frame.
Vektor-vektor adenovirus telah mengambil alih retrovirus sebagai yang tersering digunakan dalam pecoban-percobaan klinik manusia. Bahkan, terapi gen yang ada secara komersiil, Gendicin (3), yang tersedia di Cina untuk kanker, menggunakan adenovirus. Perekayasaan vektor-vektor adenovirus telah mengarah pada penghilangan segmen genom virus yang semakin bertambah besar, mengawali ke high capacity ‘gutted’ vectors yang kurang berisi seluruh rangkaian pengkodean virus (14). Hal ini mengurangi imunogenisitas sel-sel tertransduksikan, namun tidak dalam hal virion-nya sendiri. Meskipun gutted adenovirus vectors memiliki beberapa keuntungan, termasuk kapasitas pembawaannya (carrying capacity) melebihi 30 kb, mereka sulit dibuat dan dimurnikan. Berbagai modifikasi lain adenovirus adalah termasuk pemutasian protein-protein pembalut untuk menguatkan efisiensi transduksi atau untuk mengubah tropisme. Inklusi suatu rangkaian arginin-glisin-aspartat, misalnya, besar sekali menguatkan transduksi sinovium (15).
Adeno-associated virus (AAV) saat ini nampaknya yang paling besar pengembangannya. AAV sebelumnya dihambat oleh berbagai kesulitan dalam pembuatan sejumlah besar clinical-grade vector dan modest levels of transgene expression dalam banyak tipe sel. Yang disebut belakangan merefleksikan, sebagian, the single-stranded DNA genome of AAV, yang membutuhkan sel inang untuk menyintesa satu complimentary second strand; proses ini tidak efisien dalam banyak jenis sel.
Berbagai permasalahan dalam pemroduksian telah dikurangi oleh penggunaan bermacam teknologi baru untuk memfasilitasi pembentukan AAV rekombinan (16). Yang paling bermakna, pengekspresian transgen telah dibuat jauh lebih tinggi, lebih cepat, dan lebih dapat dipercaya melalui pengebangan dari self-complimentary (SC) vectors berkandungan genom-genom virus positive- dan negative-strand pada satu pengulangan terminal (17). Drawback-nya adalah bahwa packaging capacity-nya dikurangi setengahnya hingga sekitar 2 kb. Namun, banyak dari sitokin dan molekul-molekul modulator lainnya yang menarik dalam penyakit reumatik memiliki cDNA yang cukup kecil untuk fit ke dalam ruang ini. Data terakhir mengonfirmasi keunggulan dari scAAV sebagai suatu cara penransferan gen-gen ke sendi dan mengekspresikan mereka secara intra-artikuler (18).
Telah terjadi peningkatan cepat dalam jumlah serotipe AAV rekombinan berbeda (19). Beberapa di antaranya menawarkan tropisme-tropisme yang telah berubah dan efisiensi-sfisiensi transduksi yang telah dikuatkan. AAV1, sebagai contoh, memiliki kemampuan yang jauh lebih besar menransduksi otot rangka dibandingkan dengan serotipe AAV2 prototipik (20). Adalah tidak jelas, if any, serotipe-serotipe baru ini akan terpakai dalam reumatologi, meskipun ini merupakan satu daerah aktif penelitian.
Hingga akhir-akhir ini, hanya sedikit perhatian ditumpahkan bagi reaksi imun terhadap AAV yang membuatnya dinyatakan sebagai ber-imunogenisitas rendah. Hal ini dengan cepat berubah ketika data dari percobaan klinis menggunakan AAV untuk mengobati hemofilia mencatatkan satu reaksi imun yang menetralkan (21) yang menyangkutkan pembangkitan sel-sel limfosit T sitotoksik (22). Hal ini mengawali timbulnya transaminitis transien dan curtailed pengekspresian transgen. Berdasarkan dari simpulan temuan-temuan ini, respon imun terhadap AAV adalah sedang dalam pengevaluasian ulang.
The perceived safety vektor-vektor AAV telah juga menyumbang bagi peningkatan kepopulerannya. Sebagaimana tercatat, kematian-kematian terkait vektor terjadi dalam banyak percobaan menggunakan retrovirus dan adenovirus rekombinan. Meskipun satu kematian terjadi tahun lalu pada kasus percobaan arthritis memnggunakn AAV rekombinan (23), FDA menentukan bahwa vektor tidak dipersalahkan dan percobaan diperbolehkan untuk dilanjutkan. Jumlah percobaan pada manusia menggunakan AAV telah meningkat hingga melebihi 50, kebanyakan daripadanya disetujui pada beberapa tahun lalu. Dua buah percobaan fase III besar untuk kanker prostat menggunakan AAV sedang berjalan. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, status obat yang orphan telah granted bagi terapi gen bermediasi AAV untuk defisiensi lipoprotein lipase familial, dan perhatian telah ditujukan bagi pasien-pasien dengan Leber’s congenital amaurosis menggunakan vektor-vektor AAV (7, 8).
Meskipun sejumlah vektor-vektor virus lainnya telah digunakan dalam percobaan klinik, mereka kurang relevan pada penyakit reumatik. Virus herpes simplex, misalnya, masih tetap dipermasalahkan oleh sitotoksisitasnya dan penggunaannya semakin dibatasi pada sistim syaraf, di mana ia memiliki suatu latensi alami.

Vektor Nonvirus

Vektor nonvirus masih terus menarik perhatian karena mereka lebih sederhana, lebih aman, dan kurang mahal dibandingkan dengan virus dan menawarkan carrying capacities yang sangat besar. Di antaranya yang paling sederhana adalah plasmid. Efisiensi transfeksi dapat ditingkatkan melalui pengasosiasian DNA dengan suatu bahan pembawa, seperti satu liposom atau satu polimer, atau melalui penggunaan stimulus fisik, seperti misalnya denyutan listrik (elektroporasi). Meskipun tersedia sejumlah sangat besar formulasinya, pengiriman gen nonvirus (transfeksi) masih tetap kurang efisien dibandingkan pengiriman gen virus (transduksi) dan hal ini masih tetap merupakan satu penghambat pemakaiannya secara lebih luas. Di samping semua ini, vektor nonvirus masih tetap menarik oleh karena masih berlangsungnya berbagai laporan dalam literatur rujukan akan keberhasilannya ketika menggunakannya untuk pengobatan pada model-model binatang dengan penyakit reumatik.

Aplikasinya pada penyakit rheumatik

Arthritis rheumatoid

Terapi lokal
Ketertarikan dalam mengaplikasikan terapi gen ke penyakit-penyakit reumatik dimulai dalam awal-awal tahun 1990-an dengan usaha-usaha untuk mengirim cDNA ke barisan sel-sel permukaan sinovium (synovial linings) sendi (26, 27). Premise dasarnya adalah cukup sederhana (gambar 2). Pengekspresian cDNA intra-artikuler yang sustained mengkode suatu produk anti-artritik tersekresikan yang akan

Gambar 2
Strategi untuk terapi gen pada arthritis (28, 106)

mengobati sendi secara lokal tanpa memerlukan pemberian ulangan dan menghindarkan pencapaian puncak dan melewati (the peaks and troughs) dari rute pengiriman obat secara tradisional. Tidak ada satu teknologi lain yang sebanding mampu melakukan hal ini. Bila transfer gen adalah cukup efisien, cDNAs yang mengkode produk-produk nonsekresi adalah juga memungkinkan. Melakukan pengobatan langsung ke sendi-sendi sakit dibandingkan kepada keseluruhan tubuh pasien akan menurunkan biaya dan mengurangi berbagai kemungkinan efek samping sistemik merugikan. Sejumlah tipe-tipe transgen berbeda telah disarankan untuk dipakai untuk tujuan-tujuan ini, termasuk mereka yang mengkode berbagai antagonis sitokin, berbagai imunomodulator, berbagai faktor antiangiogenik, agen-agen apoptosis, antioksidan, penghambat mitosis, juga berbagai molekul yang memodulasi pensinyalan sel dan berbagai aktifitas dari faktor-faktor transkripsi (28).
Sejak isu pertamakali dari Arthritis Research muncul, satu percobaan klinis fase I dilakukan (Gambar 1 dan Tabel 1). Percobaan menggunakan satu retrovirus (MFG-IRAP) untuk mengirimkan cDNA antagonis reseptor interleukin-1 manusia (IL-1Ra) melalui suatu protokol ex vivo ke sendi-sendi metakarpofalang pada pasien-pasien dengan RA parah (29). Di antara berbagai persyaratan keamanannya yang ketat, antara lain studi ini membutuhkan subjek yang memerlukan pembedahan ganti sendi, sehingga sel-sel yang telah dimodifikasikan secara genetik dapat dikeluarkan dengan pembedahan 1 minggu setelah penginjeksian.

Tabel 1
Percobaan klinis manusia untuk terapi gen arthritis

Keterangan tabel. Keseluruhan yang disebut di atas adalah menarget arthritis rheumatoid, kecuali untuk percobaan the TissueGene Inc. and Kolon Life Science. Percobaan the Targeted Genetics Corporation dapat juga merekrut subjek dengan arthritis psoriatic dan spondilitis ankilosa. AAV, adeno-associated virus; FDA, US Food and Drug Administration; HSV-tk, herpes simplex virus thymidine kinase; IL-1Ra, interleukin-1 receptor antagonist; N/A, not applicable; OBA, Office of Biotechnology Activities; PI, principal investigator; TGF-β1, transforming growth factor-beta-1; TNFR, tumor necrosis factor receptor (23).

Studi ini mengonfirmasikan bahwa gen-gen dapat dengan aman ditransfer ke sendi-sendi rheumatoid manusia dan mengekspresikannya di dalamnya, sedikitnya untuk 1 minggu (30). Meskipun beberapa subjek melaporkan perbaikan dalam gejala, studinya tidaklah didisain untuk mengukur efikasi. Satu studi yang sama di Jerman dengan sejumlah kecil subjek, meliputi hanya dua subjek, kemudian menjadi menarik karena ia memasukkan pengukuran-pengukuran hasil luaran pendahuluan yang didasarkan pada nyeri dan pembengkakan, menggunakan satu sendi yang tidak menerima cDNA IL-1Ra sebagai suatu kontrol intrapasien. Kedua subjek berrespon terhadap terapi gen, satu dari mereka berrespon dengan dramatis, dan perbaikan klinisnya berlangsung terus hingga keseluruhan waktu sepanjang 4 minggu dari studi, meskipun satu subjek mengalami kemerahan pada sendi-sendi yang tidak diterapi (31).
Timbulnya leukemia pada manusia sebagai suatu hasil dari mutagenesis insersional menggunakan vektor-vektor retrovirus, ditambah dengan tingginya biaya dari terapi gen ex vivo menggunakan passaged autologous cells, telah membatasi percobaan-percobaan seperti ini di masa depan. Malah, para peneliti berkonsentrasi pada pengiriman gen in vivo ke sendi-sendi. Didasarkan data praklinik yang menjanjikan pada kelinci (32), Roessler dkk mengobati satu subjek dengan DNA plasmid yang mengkode virusthymidine kinase herpes simplex diikuti dengan pemberian ganciclovir untuk memberi efek suatu sinovektomi genetik. Meskipun tidak timbul kejadian buruk yang dikaitkan dengan prosedur ini, percobaan ini tumpang tindih dengan kematian Jesse Gelsinger pada tahun 1999, yang menghentikan perekrutan pasien, dan studi kemudian dihentikan. Sejak itu kemudian, perhatian akan pengiriman in vivo ke sendi-sendi telah bergeser ke AAV untuk berbagai alasan yang telah dijelaskan di bagian tulisan sebelumnya.
Terdapat dua percobaan klinis menggunakan AAV, kedeuanya disponsori oleh Targeted Genetics Coorporation (Seatle, WA, USA). Vektornya (tgAAG94) mengandung AAV2 dengan satu single-stranded DNA genome yang mengkode etanercept. Pengekspresian diarahkan oleh a human cytomegalovirus immediate early promoter. Di dalam studi fase I yang pertama, sebanyak 14 subjek RA dan 1 dengan spondilitis ankilosa diberikan vektor (33). Sebanyak 14 sendi lutut dan satu sendi ankle diinjeksikan dengan 1010 atau 1011 partikel virus per mililiter; sendi lutut menerima 5 mL dan ankle menerima 2 mL. Suatu studi fase I/II berikutnya menggunakan 127 subjek dengan suatu dosis yang semakin meningkat 1011, 1012, atau 1013 virion per mililiter diinjeksikan ke dalam lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, MCP, atau sendi siku yang bergejala. Protokolnya memungkinkan subjek untuk menerima suatu penginjeksian tgAAC94 kedua.
Percobaan fase I/II menarik cukup perhatian tahun lalu ketika satu subjek meninggal segera setelah menerima penginjeksian vektor kedua kedalam sendi lututnya (23). Kasus ini memunculkan kontroversi karena, di samping penerimaan cDNA yang mengkode etanercept, subjek berada dalam pengaruh adalimumab, di mana sebelumnya telah menerima etanercept hingga kemudian ini dihentikan karena adanya kekambuhan (flare). Pasien meninggal karena histoplasmosis, suatu faktor risiko yang telah dikenal dengan anti-tumor necrosis factors (anti-TNFs), bersama-sama dengan suatu hematom peritoneal masif. Setelah suatu penyelidikan yang panjang oleh FDA dan the Recombinant DNA Advisory Committee of the NIH, percobaan diperbolehkan untuk dilanjutkan di dalam suatu cara yang dimodifikasi. Data efikasi pendahuluan menyarankan bahwa beberapa subjek memiliki perbaikan gejala dalam responnya terhadap terapi gen (34).
Sejumlah kelompok saat ini tertarik dalam penggunaan AAV untuk mengirimkan gen-gen ke sendi-sendi. Penelitian difokuskan pada pemilihan srotipe dan respon imun inang terhadap vektor-vektor. Serotipe 1, 2, 5, dan 8 paling menarik perhatian. Menurut Apparailly dkk (35), AAV5 lebih unggul dari AAV1 atau 2 pada sendi lutut mice. Ini dikonfirmasikan pada tikus besar (rat), dan AAV2 dan 5 menunjukkan memiliki efisiensi yang sama dalam mentransduksi kultur-kultur sel-sel fibroblas sinovium manusia (36). Studi yang lain mengindikasikan urut-urutan keunggulan berikut: AAV2 > 1 > 5 > 8 (37). Bagaimanapun, ketika cairan sinovium manusia di-screen bagi pre-existing immunity terhadap AAV, antibodi-antibodi yang menetralkan serotipe-serotipe 1 dan 2 adalah lebih sering muncul dibandingkan dengan terhadap serotipe 5, yang hal ini menyarankan Boissier dkk bahwa AAV5 mungkin lebih bermanfaat pada manusia, meskipun efisiensi transduksinya lebih rendah. Berbagai reaksi humoral terhadap AAV2 tercatat dalam percobaan tgAAC94, seperti diperlihatkan di atas, namun imunitas bermediasikan sel yang mungkin terjadi tidaklah diukur. Studi-studi pengiriman gen bermediasikan AAV2 ke sendi-sendi lutut kelinci mengonfirmasi suatu reaksi imun yang menetralkan yang mencegah redosing (18). AAV telah digunakan untuk mengekspres reseptor-reseptor TNF yang dapat larut (38), beta interferon (IFN- β) (39), angiostatin (40), dominant negative Iκκβ (inhibitor of kappa B kinase β) (41), dan IL-1Ra (18) dalam sendi-sendi khewan percobaan, dengan suatu efek antiartritik terkait.
Dalam kebanyakan spesies, vektor-vektor AAV konvensional berkandungan suatu untaian tunggal genom DNA (single-stranded DNA genome) hanya berkemampuan tingkat sedang untuk mentransduksi jaringan artikuler. Efisiensi pentransduksian dapat diperkuat oleh radiasi, suatu proses yang memprovokasi sintesis untaian kedua (second-strand) (42). Kebutuhan akan yang belakangan tersebut dapat dipermudah dengan penggunaan scAAV, dan berbagai temuan terkni mengonirmasikan keunggulan dari vektor-vektor ini pada sendi lutut kelinci (18). Berdasarkan data dari studi yang sama, hanya 10% – 20% genom-genom AAV yang memasuki sel-sel fibroblas sinovium nampak di dalam nukleus. Hal ini mengidentifikasikan suatu pembatasan kedua terhadap efisiensi pentransduksian yang membantu untuk memperhitungkan sejumlah virion AAV yang relatif tinggi (104 to 105 partikel per sel) yang diperlukan bagi level-level pengeskpresian transgen yang berguna. Berbagai penghambat proteosom dapat memerbaiki serapan (uptake) nukleus genom-genom AAV dalam sel-sel sinovium manusia, mengawali ke pada pengekspresian transgen yang besar (43). Dalam kesepakatan dengan hal ini, berbagai pemutasian ke pada protein selimutan AAV (AAV coat protein) yang mencegah ubikuitinasi juga meningkatkan efisiensi transduksi (44). Menurut Traister dkk (45), pengekspresian transgen dari vektor-vektor AAV akan ditingkatkan dalam sel-sel fibroblas sinovium manusia dalam keberadaan sitokin-sitokin inflamasi. Suatu efek yang sama dilaporkan beberapa tahun lalu oleh Pan dkk (46, 47) pada sendi-sendi lutut tikus besar namun hal ini sulit untuk direproduksi (18).
Agar terapi gen intraartikuler dapat menjadi suatu keberhasilan klinis, maka diperlukan suatu kebutuhan akan perpanjangan periode pengekspresian transgen. Hal ini terbukti sulit dalam model-model binatang. Usaha yang dilakukan Gouze dkk baru-baru ini (48) mengidentifikasi berbagai reaksi imun terhadap berbagai protein non-homolog sebagai penghalang utama bagi pengekspresian transgen yang diperpanjang. Menggunakan sendi lutut tikus besar sebagai suatu sistim model, mereka mengunjukkan bahwa cDNA yang mengkode suatu protein tikus besar yang dikirimkan dengan suatu vektor yang tenang (silent) secara imunologis dapat diekspres dalam suatu tampilan stabil yang panjang. Yang menarik, pengekspresian transgen jangka panjang tidak memerlukan suatu pengintegrasian vektor (integrating vector) dan tidak bergantung promoter.
Malahan, ia mengandalkan pada keberadaan dari sel-sel nonmitosis berusia panjang (long-lived) di dalam jaringan-jaringan kolagen padat tertentu dalam dan sekitar sendi (gambar 3).

Gambar 3
Residen fibroblast dalam jaringan artikuler fibrus menyokong pengekspresian stabil dari berbagai transgen eksogen. Menyertai penginjeksian intra-artikuler lentivirus-GFP atau Ad.GFP ke dalam lutut nude rats, kelompok-kelompok khewan ini kemudian dibunuh pada hari ke 5 dan 168. Sendi lutut dan jaringan sekitar diambil intak, dekalsifikasi, dan diproses untuk pemeriksaan histologi. Untuk setiap sendi, posisi terdekat dari sel-sel fluoresen diidetifikasi serial, potongan sagital keseluruhan sendi ditabulasi dalam warna hijau pada diagram sendi lutut yang sama dengan yang ditunjukkan pada gambar di kiri. Diagram yang ditunjukkan adalah representatif dari hasil-hasil yang terobservasi dengan kedua jenis virus pada waktu-waktu yang berkaitan. Gambar kanan, karakteristik pencitraasn dari penampilan sel-sel GFP+ dalam potongan jaringan pada waktu-waktu berbeda dipertunjukkan (pembesaran 20X). Garis-garis mengindikasikan regio-regio terdekat yang terwakilkan oleh potongan-potongan jaringan. Banyaknya sel-sel GFP+ dalam sinovium dan subsinovium berkurang secara dramatis pada hari ke 168. Kepadatan dan distribusi sel-sel GFP+ dalam tendon, ligamen, dan sinovium fibrus sebahagian besar tidak berubah sepanjang waktu eksperimen. Tidak terlihat sel fluoresen dalam kartilago artikuler dari kedua jenis virus pada setiap poin waktu. B, bone; GFP, green fluorescent protein; M, muscle; P, patella (48).

Suatu kemampuan untuk mencapai pengekspresian transgen jangka panjang membuka jalan bagi pengekspresian terregulasi. Dua teknik pendekatan telah diselidiki. Satu di antaranya menggunakan cues endogen untuk memastikan bahwa level pengekspresian menelusuri aktifitas penyakit di dalam sendi. Strategi-strategi ini menggunakan berbagai promoter yang dapat diinduksikan didasarkan atas serangkaian pengaturan ke hulu (upstream regulation) yang mengontrol pengekspresian protein-protein dan sitokin-sitokin inflamasi fase akut, seperti IL-1 dan IL-6 (38, 49, 50). Suatu metode yang berkaitan menggunakan suatu rangkaian berkandungan nuclear factor-kappa-B (NF-κB)-binding sites multipel (38). Teknik pendekatan kedua dalam meregulasikan pengekspresian transgen adalah menggunakan molekul-molekul eksogen, seperti doksisiklin, untuk memanipulasi level pemroduksian (51 – 53). Teknik pendekatan yang belakangan menyediakan kepastian yang lebih besar melawan pengeskpresian transgen yang tidak tepat yang mungkin timbul selama suatu infeksi. Meski tidaklah terapi gene yang sebenarnya, suatu percobaan klinis yang terkait melakukan penginjeksian decoy oligonucleotides yang menghambat aktifitas pentranskripsian factor NF-κB ke dalam sendi-sendi rheumatoid (54). Sejauh ini, tidak terjadi kejadian-kejadian buruk dan terdapat beberapa bukti dari suatu respon klinik dalam subjek-subjek tertentu.

Terapi sistemik

Dalam suatu keadaan poliartikuler seperti pada RA, suatu terapi gen intraartikuler dapat membutuhkan penginjeksian sejumlah banyak sendi-sendi. Terlebih lagi, suatu terapi gen lokal mungkin tidak ditujukan bagi berbagai manifestasi ekstraartikuler sistemik dari penyakit. Jadi, terdapat ketertarikan ke pada suatu pendekatan terapi yang lebih umum pada mana suatu transgen diintroduksikan ke dalam suatu lokasi (melalui rute pengiriman metode in vivo atau ex vivo intramuskuler, intravena, intraperitoneum, dan subkutan) di mana suatu produk gen tersekresikan akan memiliki akses ke sirkulasi sistemik (gambar 2). Meskipun teknik pendekatan ini memiliki daya tarik yang besar, mereka menyediakan hanya suatu tambahan canggih di atas apa yang telah dicapaikan oleh metode-metode pengiriman protein tradisional dan disertai oleh meningkatnya risiko berbagai kejadian buruk. Untuk alasan-alasan ini, mereka tidak mencapai popularitas luas. Satu pengecualian yang menarik, bagaimanapun, adalah pemberian DNA polos (naked DNA) parenteral.
Terdapat banyak laporan dalam literatur rujukan menjelaskan sifat-sifat antiartritik poten DNA plasmid ketika dikirimkan melalui rute-rute intramuskuler, intraperitoneal, intravena, dan intranasal (55 – 61). Karena level-level pengekspresian transgen adalah rendah ketika DNA diberikan melalui cara-cara ini, penjelasan alternatif bagi efikasi mereka dalam model-model khewan RA adalah diperlukan. Satu kemungkinannya adalah uptake DNA oleh antigen-presenting cells (APCs) yang kemudian bergerak ke lokasi-lokasi pemresentasian antigen di mana transgen yang cukup diskpresikan untuk memodulasi reakfitas imun secara lokal. Ini merupakan suatu contoh dari terapi lokal terfasilitasi yang akan dijelaskan di bagian berikut tulisan ini.
DNA dapat juga digunakan untuk vaksinasi. Terdapat beberapa contoh yang menggunakan model khewan RA pada mana vaksin-vaksin DNA yang mengekspres antigen-antigen artritogenik, seperti misalnya heat-shock proteins (62), atau mediator-mediator artritis, seperti TNF (63), adalah bersifat melindungi (protektif). Adalah juga memungkinkan untuk menginduksi toleransi melalui pengimunisasian dengan DNA (DNA immunization) dalam ketiadaan adjuvant (64). Meski efektif dalam model-model khewan, strategi-strategi seperti itu mungkin berrisiko pada manusia.

Terapi lokal terfasilitasi

Kemampuan untuk menarget sendi-sendi sakit multipel secara selektif dengan suatu penginjeksian parenteral tunggal dikenal sebagai terapi lokal terfasilitasi (gambar 2). Hal ini pertama kali dikenal sebagai suatu efek teraputik kontralateral dalam sendi-sendi lutut kelinci yang dengan arthritis terinduksi antigen bilateral (65). Hal ini terjadi baik secara pengiriman gen in vivo maupun ex vivo (66) dan diperkirakan merefleksikan pemodulasian imun via APCs yang dipapari dengan produk-produk transgen yang tepat sebagaimana mereka mempresentasikan antigen-antigen artritogenik ke limfosit-limfosit T (gambar 4).

Gambar 4
Sebuah model yang didasarkan atas trafficking dari antigen-presenting cells (APCs) untuk menjelaskan efek kontralateral. Introduksi dari sebuah vektor yang pantas, dalam contoh ini ia mengkode viral interleukin-10 (vIL-10), ke dalam sebuah sendi inflamasi men-transduksi sinovium dan APCs. Limfosit adalah sangat sulit ditransduksi, sebagaimana direfleksikan dalam gambar di atas. Presentasi antigen intra-artikuler dus terjadi dalam kehadiran dari sebuah konsentrasi lokal tinggi vIL-10 diproduksi oleh sinovium, APC, atau oleh keduanya. Di bawah semua kondisi ini, respon imun berdeviasi mengarah ke suatu theraputic Th2 response. Limfosit dan APCs kemudian traffic ke sendi satunya melalui aliran darah atau limfatik, di mana mereka menekan penyakit (28).

Studi-studi yang menggunakan reaksi hipersensitifitas bertipe lambat pada murine sebagai suatu model (67) menunjukkan bahwa sel-sel dendritik dan makrofag yang termodifikasi secara genetik dapat bermigrasi ke lokasi-lokasi inflamasi dan mencegah timbulnya patologi yang terarahkan oleh imun (immune-driven pathology) di dalam suatu cara yang spesifik antigen (antigen-specific manner). Dalam studi-studi berikutnya, sel-sel dendritik yang mengekspres IL-4 terlihat bermigrasi ke the paws of MHC-matched mice yang dengan arthritis terinduksi kolagen dan quell disease activity, bahkan pada penyakit yang sudah mapan (68). Efek anti artritik adalah lebih kuat ketika vektor adenovirus yang sama digunakan untuk mengirimkan IL-4 secara sistemik. Suatu variasi dari transgen-transgen tambahan yang lain, termasuk IL-10, indoleamin 2,3-dioxy-genase, dan IκB (inhibitor of kappa-B), adalah efektif dengan cara-cara ini.
Satu strategi yang berkaitan dengan hal itu telah memroduksi pengablasian selektif dari sel-sel limfosit T otoreaktif melalui pemodifikasian APCs untuk mengekspres penginduksi-penginduksi apoptosis pada permukaan-permukaan sel mereka. Ketika APC mengekspresikan suatu antigen artritogenik ke sel-sel limfosit T reaktif, yang disebut belakangan kemudian apoptosis. Meskipun hal ini telah ditunjukkan dalam banyak model menggunakan Fas Ligand (69, 70) sebagai trasgen-nya, TRAIL (tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand) merupakan kandidat yang lebih baik karena reseptornya memiliki sebaran yang terbatas, jadi mengurangi kemungkinan-kemungkinan efek samping yang tak diinginkan. Bukti impresif dari prinsip ini telah tertunjukkan dalam arthritis terinduksi kolagen pada murine menggunakan sel-sel dendritik yang mengekspres TRAIL (71). Efek teraputik diperbaiki melalui pulsing sel-sel dendritik dengan kolagen tipe II sebelum penginjeksian. Manipulasi yang ekuivalen dalam RA akan menjadi sulit karena antigen-antigen incitings tidak dikenal, meskipun suatu efek regulatory bystander dapat dicapai. Respon terhadap transfer gen TRAIL diperkuat ketika interferens RNA digunakan untuk mematikan pengekspresian reseptor decoy-nya, DcR2 (72).
Sel-sel limfosit T juga home to lokasi-lokasi inflamasi dan reaktifitas imun. Seperti halnya APCs, mereka mungkin secara genetik termodifikasi dan digunakan untuk menarget banyak lokasi penyakit melalui pemberian parenteral, meskipun sel-sel limfosit lebih sulit untuk ditransduksikan dibandingkan APCs. Bagaimanapun, bukti prinsip ini memperlihatkan dalam nbanyak khewan percobaan menggunakan IL-4, IL-10, IL-12 p40, dan anti-TNF single chain antibody sebagai transgen-transgen (73, 74). Dalam kebanyakan model- model khewan, antigen artritogenik telah dikenal dan sel-sel limfosit T dengan reseptor sel-T yang tepat dapat digunakan untuk memaksimalkan terjadinya efek. Pada RA, bagaimanapun, the inciting antigen tidaklah dkenal dan pengayaan adalah sulit. Sebagaimana yang telah direspon akan kesulitan ini, Annenkov dan Chernajovsky (75) merekayasa suatu reseptor sel-T yang extracellular domain-nya mengandung suatu motif pengikatan kolagen tipe II (a type II collagen-binding motif).
Isis Pharmaceuticals (Carlsbad, CA, USA) menyeponsori percobaan klinis fase I, IIa, dan II pada mana anti-sense RNA yang diarahkan untuk melawan TNF diinjeksikan secara intravena dan subkutan ke subjek-subjek dengan RA. Anti-sense RNA dipertunjukkan bergerak ke sinovium sendi-sendi yang sakit, menyarankan pengiriman lokal terfasilitasi (facilitated local delivery). Studi fase II menyertakan sebanyak 157 pasien dengan RA yang menerima 200 mg anti-sense RNA dua kali seminggu, sekali semingu, atau sekali dalam empat malam. Subjek-subjek pada dua kelompok dengan pemberian dosis tertinggi menunjukkan perbaikan dalam skor ACR20 (American college of Rheumatology 20% improvement criteria). Studi-studi belum pernah dipublikasikan dan penyandang dana tidak lagi menyokongnya.
Penggangguan oleh RNA yang penting ini menyediakan kemampuan untuk menghentikan penyintesisan sitokin dalam suatu tampilan yang sangat spesifik. Khoury dkk (77) telah melakukan pengiriman molekul-molekul RNA pengganggu pendek yang menarget ke IL-1, IL-6, dan IL-18 dalam murine dengan artritis terinduksi kolagen (77). Penghentian dari setiap jenis sitokin tersebut adalah efektif dalam menurunkan insiden dan keparahan penyakit, namun suatu efek teraputik yang dramatik terobservasi ketika ketiga jenis sitokin tersebut dihambat secara bersama-sama.

Osteoarthritis

Oleh karena berbagai pengaruh OA adalah terbatas pada sendi dan tidak memiliki komponen-komponen sistemik yang dikenal, OA merupakan target terapi gen lokal yang menguntungkan (78). Banyak studi praklinik mengonfirmasi efikasi dari pengiriman gen lokal dalam mengobati model-model eksperimental OA (79 – 82). Hampir seluruh dari studi ini menggunakan IL-1Ra sebagai produk transgen-nya, yang menunjukkan bahwa pentingnya IL-1 sebagai suatu mediator dalam sendi osteoartritik. The equine study dari Frisbie dkk (83) adalah menarik karena, di samping menggunakan pengukuran-pengukuran hasil luaran histologis konvensional, mereka mencatat suatu pengurangan ketimpangan dalam respon terhadap terapi gen. Ini merupakan suatu hasil yang membesarkan hati untuk suatu penyakit pada mana nyeri merupakan gejala klinis penumpangtindih. OA adalah sering pada kuda, anjing, dan khewan lain seperti itu, sehingga terapi gen berperan dalam kedokteran khewan.
Oleh karena pengerusakan kartilago artikuler merupakan lesi pathologis yang paling banyak pada sendi-sendi yang sakit pada penderita dengan OA, berbagai studi tentang pengobatan OA bertumpangtindih dengan studi pada regenerasi kartilago. Secara kolektif, cDNA yang mengkode insulin-like growth factor -1, fibroblast growth factor-2, bone morphogenetic protein (BMP)-2, BMP-4, BMP-7, TGF- β, dan sonic hedgehog telah menjanjikan dalam perbaikan kartilago. Percobaan klinis sedang berjalan di Korea dan Amerika Serikat menggunakan human chondrocyte cell line yang terinduksikan secara retrovirus sebagai suatu wahana bagi pengiriman ex vivo TGF- β1 ke dalam sendi-sendi dengan OA (Tabel 1). Protokol ini adalah didasarkan pada data praklinik yang menunjukkan suatu efek restoratif mengejutkan pada model-model khewan dengan kartilago rusak ketika TGF- β1 dikirimkan dalam suatu cara ex vivo menggunakan sulihan sel-sel alogenik atau bahkan xenogenik (85). Dalam percobaan pada manusia, sel-sel diradiasikan sebelum penginjeksiannya untuk mencegah pendivisian sel sehingga mengurangi risiko timbulnya kanker dari sel-sel aneuploid yang tertransduksi secara retrovirus ini. Sejauh ini, sebanyak 16 subjek telah diterapi dengan cara ini tanpa timbul insiden. Peningkatan level TGF- β1 belum pernah terobservasi dalam serum, namun dua subjek telah mengunjukkan dengan efusi sinovial. Delapan pasien di antaranya mengunjukkan perbaikan gejala, dan pengevaluasian lewat magnetic resonance imaging menunjukkan bukti adanya regenerasi kartilago.

Gout

Ketika kristal urat diinjeksikan ke dalam air pouches subkutan tikus, mereka menginduksi berbagai respon inflamasi dari tipe yang terlihat pada gout manusia. Pengiriman ex vivo prostsaglandin D synthetase memiliki efek antiinflamasi yang kuat, menyarankan bahwa hal ini dapat bekerja sebagai dasar bagi suatu pengobatan gen untuk arthopati terinduksi kristal (86). Suatu studi klinik kecil mengindikasikan bahwa IL-1Ra (Kineret) rekombinan memiliki suatu efek menguntungkan dalam gout manusia (87). Hal ini menyarankan suatu target klinis tambahan bagi berbagai terapi genetic, sebagaimana didiskusikan di atas, yang menggunakan IL-1Ra cDNA untuk mengobati RA dan OA.

Penyakit rematik lainnya

Sjögren syndrome

Sebagaimana halnya sendi-sendi diarthrodial, kelenjar liur merupakan discrete isolated structure yang memungkinkan untuk menerima transfer gen lokal. Vektor dapat diintroduksikan melalui suatu cannulated duct dan mencapai permukaan luminal sel-sel epitel. Oleh karena kelenjar liur adalah berkapsul tebal, maka risiko lepasnya vektor menuju organ nontarget adalah kecil. Banyak dari prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di atas dalam konteks RA juga dapat digunakan pada sindrom Sjögren (88).
Meskipun vektor-vektor adenovirus pentransfer gen ke kelenjear liur sangat efisien, AAV terbukti menjadi vektor pilihan oleh karena keamanannya dan noninflamasinya. Serotipe 2 dan 5 menjanjikan, dana efisiensinya telasha ditunjukkan dalam model-model khewan menggunakan IL-10 (89) dan peptida intestinal vasoaktif (90) sebagai produk-produk transgen. Oleh karena kelenjar liue memiliki suatu fungsi eksokrin, ia juga dapat digunakan sebagai suatu lokasi transfer gen bagi tujuan-tujuan pengiriman sistemik (91).

Lupus

Banyak dari strategi yang telah didiskusikan dalam konteknya dengan RA dapat juga diaplikasikan pada lupus. Tidak seperti terapi RA, terapi lupus tidaklah menunjukkan suatu penampilan dramatik dari pengintroduksian biologik. Terlebih lagi, karena lupus disertai dengan suatu peningkatan yang besar dalam mortalitas, rasio risiko – untungnya lebih cocok untuk terapi gen. Lupus diperkirakan menyangkut berlebihnya produksi sitokin-sitokin tipe 2, sehingga sejumlah penyelidik telah mengintroduksikan sitokin-sitokin tipe 1, seperti IL-2 dan IL-12. Hasil-hasil yang menggembirakan mengikuti penginjeksian plasmid-plasmid yang mengkode sitokin-sitokin ini intramuskuler pada model-model murine (92, 93). Penginjeksian plasmid yang mengkode suatu reseptor IFN- γ: Fc construct telah pula menjanjikan (94). Dalam beberapa eksperimen, efisiensi transfeksi telah ditingkatkan melalui elektroporasi, mengawali kepada efikasi dengan suatu cDNA yang mengkode suatu mutasi negatif dominan dari monocyte chemoattractant protein-1 (95). Teknik pendekatan pemvaksinasian DNA juga bermanfaat menggunakan suatu cDNA yang mengkode suatu consensus peptide dari berbagai imunoglobulin anti-DNA.
Penyelidik lainnya biasanya menggunakan adenovirus untuk mengirim imunoinhibitor PD-L1 reseptor, TACI (transmembran activator dan CAML [calcium modulator and cyclophylin ligand] interactor, suatu inhibitor B-lymphocyte stimulator [BlyS]), CTLA4, dan suatu bentuk yang dapat larut dari reseptor II TGF (96 – 99). CTLA4 dan CD40Ig telah juga dikirimkan dalam model-model khewan menggunakan AAV8 (100, 101). Sehingga kemudian data dari model-model khewan menyediakan sejumlah contoh terapi gen yang berhasil pada model-model murine dari lupus. Tantangannya adalah mentranslasikan semua ini ke dalam protokol-protokol pada manusia yang secara klinis berguna.

Antiphospholipid syndrome

Vaksinasi DNA telah digunakan untuk membangkitkan antibody terhadap TNF dengan suatu perbaikan ikutannya dalam suatu model khewan yang dengan sindrom antifosfolipid (102)

Ringkasan dan arah pemikiran ke depan

Selama dekade terakhir ini, setidaknya suatu kelompok kecil penyelidik dalam area terapi gen pada penyakit-penyakit reumatik telah mempertahankan suatu tulisan hasil-hasil luaran penelitian (gambar 1), mengawali kepada beberapa percobaan klinis fase I dan sebuah percobaan klinis fase II pada RA. Terdapat bukti-bukti akan adanya suatu respon klinis pada subjek-subjek tertentu, menyarankan bahwa perlunya dilakukan percobaan tambahan untuk memapankan efikasinya. Implementasi mereka belumlah terbantukan oleh mahalnya percobaan klinis. Lebih jauh, terdapat perhatian meluas akan keamanan, dan banyak pertanyaan sekitar pemakaian terapi gen untuk mengobati penyakit-penyakit nongenetik nonlethal. Perhatian ini diperbesar lagi oleh keberhasilan klinis dan komersiil dari terapi-terapi berdasar protein untuk RA. Setidaknya, biologis konvensional adalah sangat mahal, dan suatu terapi gen intraartikuler yang efektif yang hanya jarang sepertinya menjadi kurang berbiaya mahal.
Sebaliknya, OA, berrespon buruk terhadap pengobatan konvensional dan merupakan penyebab morbiditas yang semakin meningkat. Keinginan kuat mencari jalan yang lebih baik untuk mengontrol kondisi yang sering terjadi, sangat mengganggu aktifitas, dan berbiaya tinggi ini dapat menjadi cocok dengan berbagai protokol terapi gen yang sesuai dengan menggunakan vektor yang aman. Dua buah percobaan klinis yang menggali penggunaan terapi gen pada OA sedang berlangsung. Bila berhasil, mereka dapat mengawali penggunaannya pada manusia dan kedokteran khewan. Demikian juga bagi penyakit-penyakit reumatik lainnya. Teknologi transfer gen telah berkembang hingga ke titik di mana ia menjadi tidak terbatas bagi banyak tujuan. Meskipun demikian, terdapat suatu kebutuhan akan dukungan pendanaan, persistensi, dan kontinyuitasnya untuk membawa terapi gen ke dalam praktek klinik reumatologi.

Metastasis: Temuan Terkini dan Strategi Pengobatan Baru

Abstrak

Kebanyakan kematian akibat kanker adalah disebabkan oleh perkembangan metastase, karenanya perbaikan terpenting dalam morbiditas dan mortalitas akan didapat dari tindakan pencegahan (atau eliminasi) dari penyakit yang tersebar tersebut. Beberapa di antaranya akan mendebat bahwa pengobatan yang diarahkan untuk melawan metastasis adalah sangat terlambat karena sel-sel telah terlepas dari tumor primernya. Pernyataan yang seperti itu adalah berlawanan dengan fakta adanya perbaikan yang bermakna (untuk banyak jenis kanker dewasa yang sering) namun cukup sederhana, dalam lama usia hidup (survival) setelah penggunaan radiasi ajuvan dan khemoterapi yang didisain untuk mengeliminasi sel-sel yang telah menyebar setelah tindakan bedah pembuangan tumor primer. Walaupun demikian, perdebatan tersebut memunculkan isu-isu penting mengenai keakuratan identifikasi awal dari clonogenic, sel-sel metastatik, temuan target-target terapi yang baru, mudah dikerjakan, dan pemonitoran penyakit residu minimal. Tulisan ini memfokuskan pada temuan terkini dalam hal mekanisme molekuler intrinsik dan ekstrinsik yang mengontrol metastasis yang menentukan bagaimana, kapan, dan di mana kanker bermetastasis, dan implikasinya bagi pengelolaan pasien pada abad ke 21.


Pendahuluan

Metastasis merupakan kulminasi progresi neoplastik. Dalam tinjauan klasik mereka, Hanahan dan Weinberg menjelaskan enam tanda-tanda sah kanker (1). Di samping keabadian, pengaturan pertumbuhan tidak normal, swa-sokongan pertumbuhan, pengelakan dari apoptosis, dan topangan angiogenesis, invasi dan metastasis melalui membran basal merupakan tanda sah yang secara objektif menentukan malignasi, tidak semua neoplasma adalah invasif (misalnya, karsinoma duktus in situ payudara dan neoplasia intraepitelial prostat), meskipun mereka dapat progres menuju malignansi. Hal yang sama, kemampuan untuk bermetastase tidaklah merupakan sebuah sifat bawaan dari seluruh sel neoplastik. Beberapa tumor adalah sangat agresif, membentuk lesi sekunder dengan frekuensi tinggi ( misalnya, small cell carsinoma paru, melanoma, karsinoma pankreas) di mana lainnya jarang bermetastase ke lokasi jauh terkecuali menjadi invasif secara lokal (misalnya, karsinoma sel basal kulit, glioblastoma multiforme).
Metastasis secara umumnya adalah dijelaskan berkenaan dengan diseminasi hematogenous (penyebaran lewat darah). Bagaimanapun, tumor sekunder dapat muncul melalui penyebaran lewat limfatik (metastasis kelenjar limfe merupakan gambaran sering dari banyak karsinoma) atau melalui kavitas tubuh (misalnya, karsinoma ovarium utamanya memapankan tumor seknder dengan cara menyebarkannya di dalam abdomen, jarang membentuk metastase melalui penyebaran hematogenous). Sel-sel bahkan dapat bermigrasi sepanjang ruang di antara endotel dan membran basal atau sepanjang neuron, sebagaimana dalam kasus karsinoma pankreas. Mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari kecenderungan berbeda ini merupakan topik dari perdebatan yang konstan (2) dan menimbulkan upaya penyelidikan yang intens oleh karena mereka memiliki implikasi penting bagi kemampuan kita untuk memprediksi, mengidentifikasi, dan mengeradikasi penyakit metastatik yang mengancam jiwa.

Mekanisme dasar metastasis

Progres yang mengarah kepada suatu fenotip invasif
Proses metastasis dimulai sebelum sel bermigrasi dari massa tumor primer. Di antara karakteristik paling awal dari sel-sel yang bertransformasi adalah instabilitas genetik dan fenotipik. Sel-sel kanker adalah lebih mudah untuk mutasi dan melakukan penyimpangan fenotipik dibandingkan dengan sel normal (3-5). Instabilitas genetik, bergandengan dengan seleksi alam tipe “siapa yang kuat dia yang menang” menghasilkan populasi yang tahan terhadap kontrol pertumbuhan homeostatik normal, serangan imun, dan berbagai kendali lingkungan (6). Laju progresi bervariasi dan, di dalam setiap massa neoplastik, dapat diisolasikan subpopulasi dengan potensi maligna berbeda (gambar 1), Dus, tidak semua tumor adalah metastatik, tidak juga semua sel di dalam yang disebut tumor metastatik mampu bermetastase (7-9). Bahkan sel yang terisolasi dari metastase besar memperlihatkan heterogeneitas substansiil ketika dinilai secara eksperimental (10), memunculkan pertanyaan apakah sel-sel secara transien mendapatkan potensi metastatiknya (6).


Gambar 1
Bagaimana dan kapan potensi metastatik ditentukan?
Semua mekanisme ini tidaklah bekerja sendiri-sendiri, dan semuanya dapat berkontribusi

Bukti terkini menyarankan bahwa sel-sel tumor mungkin mulai mengondisikan jaringan jauh untuk kolonisasi dengan cara memapankan suatu yang disebut pre-metastatic niche (11). Hingga sekarang belum dikenal faktor-faktor yang memobilisasi sel-sel tunas hematopoietik ke jaringan-jaringan, me-remodel matriks, dan memodifikasi sel-sel stroma dan lingkungan faktor pertumbuhan seperti yang sel-sel tumor diarahkan ke atau meningkatkan predileksi untuk pertumbuhan pada lokasi-lokasi ini (12). Dalam sebuah model karsinoma kolon tikus kecil transgenik, sel-sel myeloid imatur CD34+ yang mengekspresikan reseptor kemokin CCR1 direkrut dari sumsum tulang diletakkan kemudian ke tepi-tepi lesi primer lokal dan merangsang invasi lokal oleh sel-sel tumor yang mengekspresikan CCL9 ligand (13). Pentingnya, instabilitas genetik, pembangkitan varian-varian, dan pemapanan niches premetastatik merupakan berbagai perubahan sel tumor intrinsik dan lingkungan mikro yang mengambil alih sebelum penyebaran sel kanker terjadi.

Transisi epitelial-mesenkhimal
Sel-sel neoplastik mungkin mendapatkan kemampuan untuk bermetastasis dengan cara dediferensiasi menjadi ke suatu fenotip sel mesenkhim yang lebih motile, sebuah proses yang disebut epithelial-mesenchymal transition (EMT) (14, 15). Sekali termapankan dalam sebuah lingkungan baru, sel-sel metastatik mungkin kemudian berbalik kembali menjadi ke suatu fenotip non-metastatik, melalui sebuah transisi mesenkhimal-epitelial. Transisi epithelial-mesenkhimal dapat diinduksi dengan cara perangsangan berbeda, di mana pensinyalan transforming growth factor (TGF) β memegang sebuah peran kunci. Berbagai mediator penting yang lainnya meliputi jalur pensinyalan onkogenik (terutama phosphoinositide 3 [PI3] kinases), mitogen-activated protein (MAP) kinases, loss of E-cadherin (atau sebuah perpindahan menjadi N-cadherin), dan aktivasi dari berbagai pengatur transkripsi seperti misalnya Twist dan Snail (SNA1) (16-18). Menariknya, Wnt, Notch, dan jalur-jalur pensinyalan Hedgehog (juga terimplikasi dalam mempertahankan sel tunas) dikaitkan dengan transisi epitelial-mesenkhimal (19).
Sel-sel yang terinduksi untuk menjalani transisi epithelial-mesenkhimal tidak hanya memperlihatkan motilitas yang menguat namun juga tahan terhadap apoptosis: keperluan kunci bagi metastasis yang berhasil (20). Bagaimanapun, sel-sel kanker lainnya mungkin memanfaatkan sebuah migrasi kolektif yang bebas dari transisi epithelial-mesenkhimal (21). Fakta bahwa pensinyalan Wnt dapat juga menginduksi migrasi kolektif sebagai tambahan terhadap transisi epithelial-mesenkhimal menekankan adanya interrelasi kompleks dan plastisitas dalam keseluruhan proses ini (22).
Meskipun peran bagi transisi epithelial-mesenkhimal selama proses perkembangan adalah diterima dengan baik dan dapat didemonstrasikan dan dimanipulasikan dalam model-model tumor eksperimental, beberapa pertanyaan tersisa adalah apakah hal itu terjadi pada kanker manusia (23), dan adalah penting untuk secara ekplisit menetapkan bahwa transisi epithelial-mesenkhimal adalah tidak synonymous dengan invasi atau metastasis.

Ketahanan terhadap apoptosis dan anoikis
Diseminasi membutuhkan sel-sel tumor terlepas dari matriks atau dari cell anchor(s) yang mengontrol arsitektur jaringan. Di bawah keadaan normal, sel-sel epitel menjalani apoptosis (programmed cell death) ketika perlekatannya dengan substrat yang benar terberaikan (24, 25). Memang, sebuah bentuk khusus apoptosis – disebut anoikis – terjadi ketika sel-sel normal dipertahankan dalam suspensi; proses ini merupakan sebuah mekanisme yang sudah jelas terdisain untuk melindungi organisme multisel dari sel-sel penipu yang memapankan diri mereka di luar dari lokasi anatomis mereka yang benar. Karena itu sel-sel metastatik haruslah tahan terhadap anoikis dan apoptosis untuk dapat bertahan hidup selama diseminasi dan kolonisasi dari lokasi-lokasi ektopik. Banyak studi memperlihatkan bahwa modulator-modulator apoptotic penting dideregulasi dalam metastase. Deregulasi ini dikerjakan melalui bermacam cara: aktifasi dari jalur-jalur ketahanan hidup (misalnya, PI3 kinase-Akt), pengaturan ke hulu berbagai metalloproteinase matriks (yang meregulasi ke hilir reseptor-reseptor kematian, melepaskan faktor-faktor pertumbuhan, dan mengondisikan matriks ekstrasel bagi penginvasian); pengekspresian berlebih protein-protein anti-apoptotic (BCL-2, BCL-XL) atau focal adhesion kinase (FAK), dan penginaktifasian P53, di antara yang lain-lainnya (26-28). Kepentingan ketahanan terhadap anoikis dalam metastasis ditunjukkan secara elegan dalam studi-studi eksperimental di mana sebuah penyaringan fungsional bagi berbagai penekan anoikis mengidentifikasi reseptor neurotrofik TrkB sebagai sebuah mediator kunci. Sel-sel epitel intestinal tikus besar adalah sangat sensitif terhadap anoikis terinduksi-beraian dan adalah bersifat non-tumorigenik, namun ketika ditransfeksikan dengan TrkB, mereka menjadi sangat tumorigenik dan metastatik melalui rute-rute limfatik maupun hematogen, bahkan menghancurkan tulang (29, 30). TrkB seringkali diekspresikan berlebih dalam berbagai keganasan pada manusia dan dimutasikan dalam kanker kolon (31). Aktifasinya juga menginduksi pengekspresian vascular endothelial growth factor (VEGF) melalui hypoxia inducible factor (HIF) 1α, yang berpotensi membantu melalui proses pemapanan dan angiogenesis tumor-tumor pada lokasi-lokasi sekunder (32).

Angiogenesis and limfangiogenesis
Bahwa pertumbuhan dan progresi tumor adalah terbatas sebelum vaskularisasi massa neoplatik secara umum dterima (33). Vaskularisasi dicapai melalui neo-angiogenesis (34), kooptasi pembuluh-pembuluh darah yang ada (35), penyerupaan (mimicry) vaskulogenik (pada mana sel-sel tumor dengan diferensiasi buruk dan sangat malignan dapat membentuk semacam sistim vaskuler primitif) (36), atau kombinasi dari semua proses ini. Kapiler baru terbentuk yang mudah ditembus ini dapat juga bekerja sebagai sebuah conduits bagi sel-sel yang sedang berdiseminasi.
Hipoksia dan berbagai onkogen yang teraktifasi, meliputi RAS, EGFR, dan HER2/NEU, meregulasi ke hulu sitokin-sitokin angiogenik (misalnya, VEGF dan Interleukin 8) dan berbagai enzim proteolitik (misalnya, berbagai metalloproteinase matriks, urokinase plasminogen activator [uPA]) dan meregulasi ke hilir berbagai inhibitor seperti misalnya thrombospondin (TSP1) melalui jalur-jalur pensinyalan PI3 kinase dan MAP kinase, dus mempotensiasi angiogenesis, pertumbuhan tumor, dan penyebaran (33, 37, 38). Hipoksia dapat juga secara langsung mempengaruhi motilitas sel tumor, penginvasian, dan metastasis, dengan sebuah komponen kunci yang belakangan ini teridentifikasi sebagai HIF1α-regulated lysyl oxidase (LOX) (39). LOX dikaitkan dengan prognosis buruk pada banyak tipe tumor, meliputi kanker payudara dan mulut. Ia diperkirakan mengatur aktifitas FAK, adhesi matriks-sel, dan motilitas, yang secara potensiil menciptakan sebuah niche permisif bagi pertumbuhan metastatik pada lokasi-lokasi sekunder. CXCR4, sebuah khemokin terimplikasi dalam metastasis yang selektif-lokasi, adalah juga diregulasi ke hulu oleh hipoksia juga oleh berbagai onkogen seperti misalnya HER2, MET, dan EGFR (40-42). Hipoksia meregulasi banyak gen lainnya yang terkait dengan progresi tumor (43, 44), merekrut makrofag dan sel inflamasi lainnya (45), dan juga menyumbang bagi peningkatan instabilitas genetik (46, 47) dan ketahanan terhadap apoptosis (48)
Sebuah proses parallel – limfangiogenesis – telah tetapkan sebagai sebuah fasilitator metastasis limfatik potensiil (49, 50), meskipun pembuluh limfatik fungsional di dalam tumor-tumor pada manusia adalah jarang dan ko-optasi dari pembuluh limfa yang ada dapat juga terjadi (51). Sitokin limfangiogenik utama (VEGF-C dan VEGF-D) dan limfangiogenesis telah dikaitkan dengan prognosis buruk pada beberapa kanker, dan secara lebih spesifik, dengan metastasis kelenjar limfe (52-54). Manipulasi eksperimental sitokin-sitokin ini memodulasi metastasis limfatik pada beberapa model eksperimental (55-58). VEGF-A (59) dan sistim pensinyalan lainnya – misalnya, angiopoietin: Tie, ephrin: Eph, dan PDGF-BB: PDGFR – dapat juga terlibat (60).
Belakangan ini, sebutan zip codes telah diidentifikasi pada endotelium limfatik dalam xenograft tumor yang, ketika diblok, menghambat metastasis limfatik (61).
Dua pertanyaan yang mendapat perhatian khusus: dapatkah kecenderungan metastasis limfatik diprediksikan dari ekspresi gen signatures, sebagaimana telah diklaim untuk lokasi lain dari metastasis? Dan apakah diseminasi limfatik predispos menjadi metastasis jauh? Peran diseminasi limfatik belakangan ini telah ditinjau (62-64), dan bahwa metastasis nodal dapat bekerja sebagai sebuah pangkalan bagi diseminasi lebih jauh pada kanker tertentu adalah jelas; bagaimanapun, diseminasi hematogenous langsung terjadi pada yang lainnya. Jelasnya, diseksi kinetik dan molekuler dari penyebaran kanker adalah diperlukan untuk menggambarkan kepentingan dari sel-sel tumor terdeteksi tidak hanya dalam nodus, namun juga dalam darah dan sumsum tulang (63, 65-67).

Diseminasi dan kolonisasi lokasi sekunder
Beberapa juta sel per-gram tumor dapat ditumpahkan setiap harinya ke dalam sistim limfatik atau aliran darah (68). Nasib dari tumor yang menyebar lewat darah adalah sedikit kontroversi dan disertai dengan kontradiksi bukti eksperimental. Pada beberapa model, kebanyakan sel-sel yang bersirkulasi akan mati, (69, 70), di mana pada yang lainnya, kebanyakan bertahan hidup dan ke luar pembuluh darah (71). Data yang ada tidak mencukupi untuk menghitung fraksi dari sel-sel tumor yang ditumpahkan dengan yang berhasil menyemai jaringan sekunder, khususnya pada kanker manusia. Namun, seluruh studi memperlihatkan bahwa kebanyakan sel yang memasuki pembuluh vaskulatur gagal untuk membentuk foki makroskopik pada lokasi-lokasi jauh.
Lalu, apakah yang diperlukan sebuah sel untuk mengkolonisasi jaringan lainnya dengan berhasil? Bebagai kemampuan ini haruslah ikut berada (co-exist) bersama di dalam sebuah sel tunggal karena metastase terutamanya adalah clonal (72, 73). Guna menyempurnakan proses ini, sel-sel tumor menggunakan varietas dari mekanisme motilitas (74, 75), perbedaan konsentrasi khemokin (76), dan berbagai proteinase (misalnya, metalloproteinase matriks , kathepsin, uPA, dll) (77-80) guna memasuki ke dan keluar dari sirkulasi. Banyak dari proses ini adalah juga diaktifasi oleh sel endotel selama angiogenesis (81, 82). Menariknya, Friedl dkk (83) belakangan mempertunjukkan bahwa migrasi sel-sel tumor melalui matriks kolagen tetap terjadi dalam kehadiran dari broad-spectrum proteinase inhibitor cocktails. Tambahannya, asumsi intuitif bahwa enzim-enzim ini adalah berasal dari sel tumor telah ditantang oleh temuan bahwa kebanyakan dari padanya adalah diproduksi oleh sel-sel stromal (80, 84, 85).
Pada akhirnya, sel-sel metastatik harus lodge di lokasi sekunder dan membangun kembali koneksi adesif. Selama penyebaran hematogen, waktu transit adalah hanya beberapa detik saja, sehingga sel tidak mungkin untuk mematikan ekspresi molekul adhesi transkripsional saat mereka keluar tumor primer, dan mengekspresikannya kembali ketika tiba di lokasi sekunder. Sel bisa menggunakan molekul adhesi selektif alternatif atau mungkin mengubah adhesi dengan cara memodifikasi protein pasca-translasi, glikoprotein, lektin, atau molekul lainnya yang telah ter-ekspres sebelumnya (86). Sel-sel kanker metastatik juga harus menghindari efektor kekebalan atau me-co-opt kekebalan tubuh/sel-sel inflamasi untuk membantu mereka dalam menyelesaikan langkah-langkah berikutnya dari kaskade metastasis, dan mereka harus menahan kekuatan sheer hidrostatik (yaitu, turbulensi di dalam pembuluh). Kerentanan terhadap tekanan tersebut dapat sangat bervariasi dan dapat berkontribusi stokastik untuk inefisiensi metastasis. Meskipun demikian, sel metastasis yang berhasil harus mengatasi tantangan apa pun untuk mematok kelangsungan hidupnya.


Berbagai isu kunci

Kapan dan bagaimana potensi metastatik ditentukan?
Microarray ekspresi gen telah memberikan harapan bagi pemecahan masalah menjengkelkan dalam mengidentifikasi apakah tumor akan atau tidak akan bermetastasis. Kemoterapi atau terapi hormonal mengurangi risiko metastasis jauh sekitar sepertiga, namun 70-80% pasien kanker payudara yang menerima pengobatan ajuvan akan bertahan hidup tanpa itu. Karena populasi pasien tidak dapat diidentifikasi secara akurat, mereka diperlakukan unnecessarily (87). Beberapa kelompok peneliti menggunakan microarray untuk mengidentifikasi berbagai penanda prognosis yang dinyatakan buruk, potret molekuler, atau kematian dari kanker signatures yang menunjukkan menjanjikan untuk memisahkan subset pasien dengan fenotip yang berbeda, dengan tujuan akhir untuk menyesuaikan pengobatan sesuai dengan kebutuhan (87-93) (Tabel 1). Sebuah studi prospektif, teracak baru-baru ini, membandingkan kriteria klinikopathologi konvensional dengan 70 gen signature – satu set 70 gen penanda yang memprediksi prognosis buruk (87) - telah dibentuk untuk memilih pasien bagi kemoterapi adjuvan. Penelitian ini disebut Microarray In Node negative Disease may Avoid Chemotherapy (MINDACT; EORTC Protocol 10041-BIG 3-04).

Tabel 1
Contoh gene signatures untuk progresi dan metastasis kanker

 

Data gene expression array, selain memberikan alat prognostik dan prediktif menjanjikan, juga memberikan kontribusi untuk sebuah perdebatan penting mengenai dasar molekuler metastasis. Pola prognosis buruk ekspresi gen telah diamati pada tumor primer (90, 93), menunjukkan bahwa akuisisi kompetensi metastasis adalah merupakan kejadian awal (misalnya, tertanam) dalam perkembangan tumor. Observasi ini berkonflik dengan hipotesis bahwa kompetensi metastasis ini disebabkan oleh munculnya keterlambatan subclones khusus (gambar 1). Bagaimana cara kita mendamaikan kedua set observasi ini? Pertama, karena tumor yang heterogen, bisa jadi bahwa metastasis signature diwakili oleh populasi secara massal, namun tidak oleh setiap sel dalam populasi itu (yaitu, ekspresi didistribusikan di antara semua sel). Beberapa subpopulasi dalam tumor bisa mengungkapkan salah satu gen metastasis signature, sedangkan yang lain bisa mengungkapkan proporsi yang lebih besar (atau semua) dari gen signature. Karena metastasis adalah klonal, sukses sel individual harus mengungkapkan semua sifat yang diperlukan, atau dapat tergantung pada dukungan tuan rumah bagi berbagai kekurangan mereka.
Kedua, dua jenis profil yang telah diidentifikasi oleh Minn dan rekan (102): satu set metastagenicity umum gen (yang kebetulan juga mempotensiasi pertumbuhan tumor primer), bertumpang tindih atas yang (mungkin lebih sedikit) perubahan ekspresi terkait dengan metastasis per se, dan apa yang metastasis lebih lakukan, di lokasi spesifik: organ virulence genes (102). Jadi, gen yang berkaitan dengan angiogenesis, kelangsungan hidup, dan proliferasi (diperlukan untuk pertumbuhan tumor primer maupun sekunder) dapat membelokkan profil ekspresi menuju ke satu konkordansi tingkat tinggi. Baru-baru ini, sebuah hipotesis baru telah diajukan: bahwa sel-sel yang menyebar akan kembali pulang ke lokasi primer, meningkatkan populasi sel dalam tumor primer dengan profil molekuler metastatik (108). Bagaimanapun, pada tipe-tipe kanker lainnya, sel-sel ganas dalam sumsum tulang (dan lokasi lainnya) dapat memperlihatkan perbedaan genetik substansiil tidak hanya dibandingkan dengan tumor primernya, namun juga dengan satu sama lainnya, menyarankan diseminasi dan evolusi parallel yang awal (atau sequential) (109). Dengan jelas terdapat implikasi dari kedua mekanisme metastasis ini (non-eksklusif) bagi kepentingan pengelolaan klinis: pada kasus pertama, pengambilan contoh tumor primer dapat secara adekuat memperkirakan the make-up of metastases, di mana bila mereka dibangkitkan secara bebas, bahkan penentuan profil pengekspresian dari satu metastasis dapat tidak merefleksikan yang dilakukan metastasis lainnya.
Sejak pengobatan baru sekarang ini bertujuan untuk menghambat jalur onkogenik khusus yang mendasari pada kanker (misalnya, akibat dari translokasi Bcr-Abl, tirosin kinase teraktifasi, protein mutan), akan menjadi penting untuk berkemampuan memprediksi dengan beberapa derajat kepastian prevalensi dari target di dalam lokasi penyakit sebaran, untuk memilah pasien-pasien yang akan diterapi dan untuk menentukan respon.
Beberapa dari gen-gen yang teridentifikasi dalam metastasis signatures adalah berasal stromal (110, 111), sekali lagi attesting to kontribusi inang terhadap metastasis (112). Banyak dari gen-gen ini dikaitkan dengan remodeling matriks ekstraseluler, invasi, dan motilitas, sebagai tambahan terhadap apa yang dibutuhkan bagi ketahanan hidup dan proliferasi. Keraguan masih menggelayuti mengenai kepentingan fungsional mereka oleh karena terdapat konkordansi kecil dalam gen-gen yang teridentifikasi pada studi-studi berbeda (113). Bagaimanapun, sebuah editorial terakhir (114) menyarankan bahwa banyak dari gen-gen signature yang dilaporkan adalah prediktif equally dan mengombinasikan mereka mungkin menjadikannya lebih prediktif kuat (powerful). Bahwa fungsi-fungsi komplimenter diperlukan untuk berhasilnya metastasis dapat dipenuhi oleh gen-gen berbeda pada jenis kanker berbeda adalah memungkinkan. The myriad perubahan transkripsional yang terobservasi dapat diorkestrasikan oleh sejumlah kecil pengatur fungsional kunci. Sebagai contoh, signature respon luka (sebuah prediktor kuat metastasis pada tipe-tipe tumor multipel) (115), diinduksi oleh pengaplifikasian terkoordinasi dari dua buah gen, MYC dan CSNS (116). Pengekspresian berlebih mereka adalah mencukupi untuk menginduksi pertumbuhan cepat dan sifat invasif sel, namun memerlukan kerjasama dengan gen-gen lainnya bagi transformasi onkogenik pendahuluan. Yang lainnya teridentifikasi sebagai sebuah signature ekspresi metastasis yang sama dengan yang diperlihatkan oleh sel-sel tunas (88, 117)

Apa yang menentukan selektifitas lokasi metastase?
Sel-sel yang diseminasi mengkolonisasi jaringan-jaringan tertentu lebih sering dibandingkan yang lainnya (Gambar 2). Beberapa lokasi yang disukai dapat diperhitungkan berdasarkan aliran darah (misalnya, hepar dari karsinoma kolon, vertebra dari karsinoma prostate), pada mana yang lainnya tidak (misalnya, hepar dari melanoma uveal, tulang panjang dari karsinoma payudara) (119, 120). Paget (118) menerangkan distribusi tak-acak ini dengan menyarankan bahwa benihan (seed) (sel tumor) hanya akan tumbuh dalam sebuah lahan tanam (soil) yang tepat (lingkungan mikro jaringan). Sejumlah studi mendukung pernyataan ini dan beberapa mekanisme mungkin menyumbang: sel-sel tumor dapat melekat secara selektif ke sel-sel endothel atau membran basal dari jaringan tertentu, sehingga lebih siap menginvasi, atau berrespon terhadap faktor-faktor pertumbuhan yang spesifik-organ bergantung pada reseptor yang terekspresi dan jalur-jalur pensinyalan yang tergunakan (121, 122). Famili ERB-B/HER dari tirosin kinase reseptor: epidermal growth factor receptor (EGFR/ERB-B1, ERB-B2 [HER2], ERB-B3, dan ERB-B4) sering terekspresi berlebih dan, dalam beberapa kasus, termutasi pada kanker manusia. Upon pengikatan ligand, mereka membentuk homodimer atau heterodimer dan dengan kuat mengaktifasi jalur pensinyalan MAP kinase dan PI3 di antara yang lainnya, mengawali ke pada proliferasi sel, motilitas, dan invasi. MET, tirosin kinase reseptor lainnya, dan ligandnya, hepatocyte growth factor, sering juga terregulasi ke hulu dalam kanker. Predileksi sel-sel kanker payudara yang mengekspres berbagai onkogen ERB-B untuk membangkitkan metastasis CNS (123, 124) dapat dijelakan melalui fakta bahwa cognate ligand mereka (heregulins/neuregulins) merupakan faktor-faktor pertumbuhan otak; hal yang sama sel-sel karsinoma kolon atau pankreas mengekspresi berlebih EGFR atau MET dapat berrespon, berturut-turut, terhadap level-level tinggi dari TGFα atau hepatocyte growth factor pada hepar (125, 126).


Gambar 2
Dapatkah sebaran kanker ke lokasi berbeda diprediksikan?

Belakangan ini, kelompok Massagué menggunakan cDNA microarrays untuk membandingkan garis sel karsinoma payudara yang mengkolonisasi paru, tulang, dan adrenal (72, 102). Mereka temukan bahwa beberapa gen terekspres oleh sel-sel tumor adalah umum bagi metastasis ke semua lokasi (misalnya, osteopontin), di mana yang lainnya secara selektif terekspres bila garis sel memiliki semacam predileksi untuk tumbuh pada sebuah given tissue (misalnya, CXCR4). Pentingnya, mereka menemukan bahwa pengombinasian gen-gen adalah diperlukan bagi berhasilnya metastasis untuk setiap lokasi; sebuah molekul tunggal tidaklah mencukupi. Gen signature yang spesifik-lokasi lainnya telah dilaporkan dalam model eksperimental maupun contoh-contoh klinik (Tabel 1).
Terdapat beberapa contoh jelas dari profil pengekspresian gen yang berhubungan dengan metstasis tulang (lagi-lagi ber-superimposed pada high-risk signature) (72, 96, 102), mungkin karena lokasi ini mewakili sebuah lingkungan yang lebih spesial dan demanding dibandingkan dengan jaringan lunak. Terdapat bukti bagi osteomimicry, dengan keberhasilan sel-sel metastatik berrespon terhadap faktor-faktor khemotaktik dan mitogenik yang berasal-tulang dan memasuki sebuah vicious cycle dari degradasi dan remodeling tulang (127-129). Singkatnya (briefly), vicious cycle berkembang ketika faktor-faktor itu disekresikan oleh atau tersekpres oleh sel-sel tumor (misalnya, parathyroid hormone-related peptide) mengaktifasi sel-sel osteoblas dan osteoklas dalam lingkungan mikro tulang untuk memroduksi sitokin (misalnya, receptor activator for nuclear factor κB ligand, RANKL); sebaliknya, osteoprotegerin diregulasi ke hilir. Remodeling dan osteolisis menyebabkan lepasnya faktor-faktor pertumbuhan (misalnya, TGFβ dan insulin –like growth factor [IGF] 1), yang lalu merangsang pertumbuhan dan motilitas sel tumor dan selanjutnya terlepasnya parathyroid hormone-related peptide). Pemrofilan molekuler mungkin membantu mengidentifikasi pasien yang dapat beruntung dari pemakaian bifosfonat atau agen lainnya yang mengganggu kolonisasi tulang.
Pemeriksaan metastasis sumsum tulang mengidentifikasi berbagai determinan berbeda, dengan bukti bahwa lokasi ini mungkin memrediksi bagi kejadian kekambuhan jauh di kemudian hari (97). Diseminasi awal juga nampaknya mengidikasikan persemaian sel-sel dengan potensi metastatik rendah yang tetap dapat dormant untuk periode yang panjang. Agar tetap hidup dan thrive, mereka butuh untuk adaptasi atau didorong kembali oleh later waves dari sel-sel berkelangkapan yang lebih baik. Mengidentifikasi yang mana dari sel-sel ini merupakan penginvasi asli, memiliki kebermaknaan klinik utama.
Apakah metastasis limfatik adalah sebuah proses aktif, atau hanyalah akibat dari mudahnya akses sel-sel tumor ke pembuluh limfatik dan transport pasif ke kelenjar draining, tidaklah jelas. Beberapa studi telah mengidentifikasi profil pengekspresian gen yang memrediksi metastasis limfatik (101, 130, 131), pada mana yang lainnya tidak mengidentifikasinya (132). Menariknya, Hoang dkk (98) menyarankan bahwa signature molekuler dari metastasis kelenjar (nodal metastasis) merupakan sebuah komposit dari dua pola pengekspresian gen: satu yang adalah sama di antara kanker primer dengan metastasis, dan sebuah subset kecil dari 27 gen metastasis berbeda, mungkin menawarkan semacam pemecahan elegan terhadap debat di antara seleksi klonal vs. prediterminisme.

Gen-gen mana sajakah yang mengontrol metastasis?
Pengidentifikasian gen metastatik spesifik adalah sulit karena kebutuhan akan beberapa fungsi komplimenter yang mungkin terpenuhi oleh gen-gen berbeda dalam berbagai konteks berbeda. Bagaimanapun, beberapa laboratorium mengidentifikasi lebih dari 20 jenis penekan metastatik (Tabel 2) yang menghambat metastase tanpa mengeblok pembentukan tumor (133-137). Eksistensi dari berbagai penekan seperti itu mendebat melawan potensi metastatik yang sepenuhnya telah ditanamkan pada sel-sel kanker. Menariknya, berbagai penekan metastatik nampaknya terlibat dalam banyak posisi penting yang dapat menguatkan sinyal molekuler kunci. Banyak di antaranya efektif dalam sel-sel tumor berasal dari bermacam jenis jaringan, menyarankan ini merupakan jalur biasa dari pengaturan dan kontrol metastasis.

Tabel 2
Contoh gen penekan metastasis dan fungsi mereka (133, 136, 138, 139)

 

Belakangan ini, gen penekan metastasis CD82/KAI1 telah memperlihatkan berinteraksi dengan sebuah protein (DARC; Duffy antigen receptor for chemokines, juga dikenal sebagai gp-Ly) pada sel-sel endothel dan menginduksi senescence sel-sel tumor, mengindikasikan peran dalam pencegahan diseminasi dan pertumbuhan ektopik (140). Banyak penekan metastasis mengeblok pertumbuhan sel-sel di tempat sekunder (136, 138, 139). Sebagai contoh, ketika metastasis competent C8161 human melanoma cells atau sel-sel lawannya sebagai penekan-metastasis mereka yang mengekspres neo6/C1861 atau KISS1 diinjeksikan secara intravena ke dalam tikus-tikus kecil dengan gangguan imun, sel-sel induk tumor dan sel-sel penekan-metastasis terdistribusi dengan baik dalam jumlah yang sama di seluruh tubuh (141). Banyaknya fokus mikroskopik dalam organ berbeda pada awalnya berkurang dalam jumlah yang sama; bagaimanapun, hanya sel-sel metastatik C8161 yang selanjutnya mampu berproliferasi dalam lingkungan paru untuk membentuk tumor progresif dan mematikan. Sebaliknya, sel-sel yang mengekspresikan neo6/C8161 dan C8161-KISS1 tetap bertahan untuk beberapa bulan baik sebagai sel tunggal ataupun sebagai klaster beberapa sel hingga sepuluh sel. Sel-sel dormant ini dapat diisolasi dari paru, termapankan dalam kultur jaringan, dan adalah tumorigenik ketika ditransplantasikan pada posisi normal (lokasi intradermal). Dari lokasi ini, mereka juga mampu untuk bersemai ke paru namun gagal untuk berkembang menjadi metastasis yang jelas. Pendek kata, sel-sel yang mengekspres gen penekan metastasis adalah mampu menyelesaikan setiap langkah kaskade metastatik kecuali berproliferasi pada lokasi sekunder (139).
Semua observasi ini menyarankan bahwa sedikitnya beberapa penekan metastasis merupakan mediator dari cellular context dan mungkin mengtur metastasis ke beberapa lokasi, namun tidak bagi lokasi lainnya. Bagaimanapun, mekanisme molekuler yang mendasari pertumbuhan diferensiil masih tetap sangat kurang terdefinisikan.Sebagai tambahan dari berbagai mediator dari sinyal lingkungan mikro, pengekspresian dari penekan metastasis adalah juga subjek dari extracelluler cues. Analisis pendahuluan menunjukkan bahwa semua gen ini (sebaliknya dengan banyak penekan tumor seperti misalnya p53, adenomatous polyposis coli gene [APC], dan phosphatase and tensin homolog [PTEN]) tidaklah sering mutasi, namun biasanya lebih terkontrol oleh berbagai mekanisme epigenetik (139, 142).

Berbagai isu sekitar lingkungan mikro: cellular context dan interaksi tumor-inang
Bahwa potensi metastatik bukanlah hanya berupa sebuah ciri inheren dari sel kanker, namun secara substansiil dimodifikasi oleh lingkungan mikro, adalah jelas (112, 143, 144). Studi-studi pionir Bissel dkk (145) memperlihatkan bahwa bahkan sel-sel kanker payudara yang benar-benar maligna dapat dibalik menjadi sebuah fenotip normal melalui pemaparan mereka dengan sebuah stroma non-permisif (145); sebaliknya, sel-sel dapat menerima potensi maligna-nya pada lokasi-lokasi luka atau jaringan terradiasi (144). Matriks ekstraseluler dari lokasi sekunder seperti misalnya tulang dapat juga mempotensiasi ketahanan hidup sel-sel karsinoma metastatik prostat dan payudara (146, 147). Sel-sel tumor dapat membuat diri mereka menginduksi sebuah lingkungan permisif dan mungkin bahkan menyediakan penekanan selektif bagi mutasi sel stromal – misalnya, loss of functionl p53 (148) – sebagai tambahannya terhadap penginduksian enzim proteolitik dalam makrofag dan fibroblas stromal, dan merangsang angiogenesis.
Dua buah tulisan penting menyediakan contoh-contoh bagaimana kemungkinannya tumor mengkondisikan lingkungan mereka untuk menopang perkembangannya. Topczewska dkk (149) menggunakan ikan zebra sebagai semacam biosensor dan mendapatkan bahwa sel-sel melanoma maligna memrogram ulang fenotip sel-sel sekitarnya untuk memastikan sebuah niche biologis pada mana mereka dapat thrive; ini dimediasi oleh sekresi dari sebuah morfogen embryonik poten, Nodal. Penghambatan nodal mencegah invasi dan membalikkan sel-sel menuju ke fenotip melanositik. Kaplan dkk (11) mendapatkan bahwa tumor primer dapat me-prakondisikan lokasi-lokasi metastatik di kemudian hari. Faktor-faktor yang dilepaskan oleh tumor primer menginduksi VEGFR1-positive bone marrow haematopoietic progenitor cells untuk tinggal di lokasi jaringan spesifik dan membentuk klaster-klaster seluler sebelum tibanya sel-sel tumor, kemungkinan menyediakan sebuah niche permisif akin dengan apa yang diperlukan oleh sel-sel tunas. Kita sekarang mulai untuk membuka kode bahasa yang digunakan dalam the cross talk di antara sel-sel tumor dengan lingkungan mereka yang dapat mengawali ke pada interupsi nantinya dari dialog ini.
Data eksperimen penting dari kelompok Kent Hunter menyarankan bahwa kecenderungan metastatik mungkin dipengaruhi oleh host genetic context (150). Singkatnya, tikus kecil transgenik dari strain FVB/NJ mengekspresikan the polyoma middle T oncogene (PyMT) mengembangkan tumor payudara metastatik dengan suatu insiden yang tinggi. Bagaimanapun, ketika disilangkan dengan imbred strains lainnya, potensi metastatik adalah juga diperkuat atau dihambat. Karena tumor diinisiasi oleh kejadian onkogenik yang sama, berbagai perbedaan ini adalah paling beralasan dijelaskan melalui suseptibilitas bawaan. Memang, Sipa1 (sebuah gen Rap1GAP) telah diidentifikasi belakangan ini sebagai sebuah gen modifier metastatik polimorfik dalam model ini. Level pengekspresiannya adalah juga dikaitkan dengan metastasis dalam kanker prostat manusia (151). Yang membuat ketertarikan besar adalah fakta bahwa, dalam model tumor transgenik PyMT, the 17-gene metastasis signature yang dijelaskan oleh Ramaswamy dkk (90) dibuktikan dalam tumor-tumor dari strains tikus insiden-tinggi, dan lebih jauh, beberapa subset dari pola pengekspresian gen prediktif-metastasis dibuktikan dalam jaringan normal khewan-khewan ini (150).
Kemungkinan menarik yang memunculkan signature tersebut adalah hal itu prediktif dari metastasis lurk dalam genom kita dan bahwa variasi genetik konstitusional adalah secara substansiil memodulasi efisiensi metastatik (152). Apakah profil yang seperti itu muncul (dapat di-deciphered) dalam populasi manusia outbred adalah masih tetap untuk dilihat, namun dengan jelas bahwa efek genetik inang dan lingkungan epigenetik tidak dapat diabaikan. Penyebaran kanker kelihatannya terjadi dengan sebuah frekuensi yang adalah inkonsisten dengan perlunya bagi kejadian mutasional tambahan (153) dan hipermetilasi gen-gen penekan adalah juga sebuah pengatur kunci (154). Chen dkk (155) mendapatkan bahwa sebuah garis sel tumor murine mengeksibisi sebuah fenotip metastatik-tulang dalam syngeneic strain 129 mice, namun ini bergeser menuju metastasis hepar dalam sebuah strain inang berbeda, walaupun mekanismenya belum terjelaskan. Dus, meskipun teori klasik mempertimbangkan the seed dan the soil, saat ini kita harus juga mengenal bahwa ”iklim” inang merupakan determinan penting yang lainnya dalam pertumbuhan metastatik. Mekanisme yang berbagai jenis (non-eksklusif) tersebut diilustrasikan dalam sebuah bentuk sederhana dalam Gambar 1.

Kapankah sebuah metastasis bukan merupakan metastasis?
Observasi bahwa sel-sel tumor bertingkah berbeda bergantung dari lingkungan mikro mereka, me-highlight kepentingan dari kejelasan dalam menentukan jalur pensinyalan tumor-inang dan sirkuit yang terlibat, dan juga memunculkan dua buah pertanyaan penting dan praktis: apa relevansi klinis dari sel-sel yang berdiseminasi, dan apakah sel-sel diseminasi tunggal bermetastase?
Keberadaan dari sel-sel ektopik tunggal tidak merupakan sebuah bahan pembicaraan hingga berbagai teknik berkemampuan mendeteksi mereka (atau emboli kecil) dikembangkan. Memang, bagian kebetulan dalam jaringan seringkali mendeteksi sel-sel neoplastik bediseminasi, namun kepentingan klinis mereka terabaikan karena mereka tidak memengaruhi fungsi. Observasi ini tidaklah meremehkan kepentingan klinis potensiil dari sel-sel ini, karena mereka telah menyempurnakan kebanyakan dari langkan antecendent dari metastasis. Potensi untuk menjadi kanker hadir, tetapi ketika mereka berbaur innocuously, mereka sulit untuk dideteksi dan dinetralisir. Tantangannya adalah untuk membedakan antara sel-sel yang hanya bersandar terhadap perilaku seperti itu dari mereka yang ditakdirkan untuk menjadi kanker. Meskipun demikian, bukti terkumpul menunjukkan bahwa kehadiran sel tumor dalam sirkulasi perifer, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang adalah indikator prognosis yang buruk, namun korelasinya imperfect (66). Kriteria staging terbaru sekarang menggabungkan parameter sel tunggal atau massa mikroskopis (156 -158).
Pertanyaan, apakah sel diseminasi terisolasi harus dianggap metastasis masih diperdebatkan. Pada tahun 1919, James Ewing (159) merujuk ke pada studi uncited oleh M Schmidt, demikian:
"Dari studi tentang paru-paru dalam kasus ini [kanker], Schmidt menyimpulkan bahwa dalam kanker organ perut, terjadi discharge sel kanker yang sering dan berulang kali yang mengumpul dalam arteri kecil paru [tetapi gagal untuk membentuk metastasis] "
Saat ini tidak diketahui apakah sel persisten adalah dormant (yaitu, tidak-membagi diri) atau berkemampuan replikatif terbatas. Dormansi akan menjelaskan perlawanan terhadap pengobatan yang, untuk sebagian besar, sel-sel berproliferasi adalah menjadi target; sebaliknya, kemampuan replikatif yang terbatas akan menyediakan mekanisme potensial untuk mutasi baru untuk dilanjutkan kepada turunannya. Kegagalan untuk mengembangkan suplai darah telah diusulkan untuk menjadi mediator potensial penting dari dormansi tumor yang mana merupakan bukti eksperimental kuat (160). Namun, mekanisme lain seperti aksi gen-gen penekan tumor (161) atau pengendalian imunologi (162) mungkin juga memiliki peran. Konversi ke populasi yang proliferatif secara aktif juga dapat terjadi sebagai tanggapan terhadap perubahan dalam jaringan inang (misalnya, cedera, perubahan status hormon, penuaan, inisiasi dari angiogenesis) atau pengembangan niche yang cocok (163).
Kegagalan untuk membedakan metastase bona fide dari sel diseminasi inert memiliki implikasi penting. Praktek medis saat ini adalah untuk menghilangkan semua risiko. Oleh karena itu, jika sel-sel telah menyebar, maka perlakuan agresiflah yang dianjurkan. Juga, tingkat dan lokasi penyebaran (yaitu, lokal vs regional vs beredar jauh) menentukan rencana pengobatan. Namun, pasien mungkin akan menjadi subjek agen sitotoksik lebih dari yang diperlukan karena kebanyakan sel-sel diseminasi gagal untuk membentuk tumor sekunder. Selain data microarray, beberapa peneliti mempertanyakan relevansi dari sel-sel yang bersirkulasi berkaitan dengan nilai prognostik dan prediktif mereka. Perdebatan ini sahih adanya dan merupakan subjek percobaan klinis prospektif (164). Menariknya, pada banyak pasien kanker payudara (termasuk beberapa dengan kanker primer HER2-negatif), sel kanker HER2-positif beredar adalah teridentifikasi (165). Temuan ini, bersama-sama dengan konsep tervalidasi baik dari metastase mikro pada kanker payudara, dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan penggunaan trastuzumab antibodi anti-HER2 dalam kombinasinya dengan terapi adjuvan setelah pembedahan (166, 167).
Perbedaan antara sel ektopik tunggal versus metastasis juga memiliki ramifikasi untuk menilai keberhasilan dalam percobaan klinis. Apakah pencegahan pertumbuhan sekunder merupakan pengobatan anti-metastasis sukses, ataukah harus semua sel dihilangkan? Topik-topik ini telah aktif diperdebatkan bahkan sebelum percobaan klinis pertama dimulai (71, 168).

Pengobatan bertarget molekuler
Pengobatan klasik untuk penyakit diseminasi – yaitu, radioterapi atau kemoterapi - adalah terutama ditujukan bagi sel-sel proliferatif cepat melalui penghambatan replikasi DNA, perbaikan DNA, atau siklus sel. Kita saat ini berada dalam sebuah era pengobatan tertarget berbasis patologi molekuler kanker tersebut, dan meskipun terdapat beberapa keberhasilan penting dari agen yang menargetkan jalur pensinyalan onkogenik (misalnya, imatinib, trastuzumab, erlotinib, gefitinib), masih ada cara lain untuk melakukannya lagi (169-172). Namun demikian, kita saat ini memiliki armamentarium mengesankan dari inhibitor molekul kecil maupun berbagai antibodi reseptor tirosin kinase onkogenik, dan upaya sedang dilakukan untuk menentukan cara terbaik menggabungkan agen ini bagi keuntungan teraputik maksimal. Generasi pengobatan berikutnya akan berfokus pada menambah pendekatan ini dengan membahas aspek-aspek baru perilaku maligna.
Agen-agen anti-angiogenik pertama kini sedang diuji di klinik, sebagai contoh bevacizumab (antibodi anti-VEGF [173, 174]), agen perusak pembuluh darah seperti combretastatin A4 (175.176), dan beberapa molekul kecil lainnya, antibodi dan pengumpan (decoy) yang dapat larut yang menarget reseptor faktor pertumbuhan angiogenik (VEGFR-2, VEGFR-3, PDGF-R, FGFR-2). Selain itu, yang menghambat HIF dan jalur pensinyalan ke hilir menunjukkan hasil yang menjanjikan (81, 177). Baru-baru ini, pengobatan menggabungkan agen anti-angiogenik dan sitotoksik ditunjukkan untuk mengurangi fraksi tumor mirip sel tunas pada xenografts glioma (178), menunjukkan bahwa populasi kunci ini mungkin menjanjikan untuk teknik pendekatan teraputik terdisain dengan hati-hati.
Ada juga muncul strategi untuk membalikkan peristiwa epigenetik dalam onkogenesis-misalnya, metilasi dan asetilasi histon menyimpang (179, 180). Beberapa inhibitor histone deacetylase menjanjikan adalah dalam pengembangan (181.182), dan diperkirakan bahwa methyltransferases juga dapat ditargetkan dengan obat-obat (183). Namun, pembalikan secara selektif hipermetilasi DNA yang tidak tepat pada promotor gen-gen penekan tumor atau metastasis akan sangat menantang.
Target baru lainnya yang menarik termasuk reseptor endotelin (ET1) dan RANKL (keduanya terlibat dalam metastasis tulang) menggunakan antagonis masing-masing, seperti atrasentan (184) dan denosumab (185).
Sekarang adalah waktunya juga untuk mempertimbangkan untuk menarget jalur molekuler dalam lymphangiogenesis (186), anoikis (30), dan mekanisme yang mendasari interaksi tumour-inang/stromal dan motilitas sel, terutama karena motilitas sel, lebih dari pada hal proliferasi sel, untuk membedakan kanker metastasis dari lesi jinak (81, 122). Pendekatan ini akan membutuhkan paradigma baru dalam disain percobaan dan pengelolaan pasien (187-189) (Tabel 3). Banyak hal yang telah dipelajari dari percobaan mengecewakan dengan generasi awal penghambat metaloproteinase matriks (84). Faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan adalah fakta bahwa pasien dengan kanker stadium akhir berukuran besar tertangani dan sekarang telah jelas bahwa metaloproteinase matriks berbeda dapat memiliki baik efek pro- maupun efek antitumor. Tantangannya sekarang adalah untuk menargetkan metaloproteinase matriks khusus, sementara menghindari mereka yang penghambatanya akan counterproductive (190) dan berhati-hati dalam memilih populasi pasien kanker yang sesuai.

Tabel 3
Contoh pengobatan saat ini dan di masa depan bagi penyakit metastatik


Sel tunas: apakah kita sedang menembak pada sasaran target seluler dan molekuler yang benar?
Eradikasi lengkap metastasis adalah jarang. Atas dasar pemahaman kita tentang perkembangan organ embrionik dan pembaharuan-diri jaringan dewasa (terutama sistem hematopoietik), gagasan yang muncul bahwa populasi sel tunas yang unik mungkin bertanggung jawab untuk menghasilkan baik kanker primer dan sekunder, dan bahwa sel-sel ini inheren resisten terhadap pengobatan baku. Konsep-konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Cohnheim dalam 1875 (191) dan kemudian dieksplorasi secara ekspreimental (192, 193).
Sel-sel tunas hematopoietik pluripoten yang dapat mengisi kembali semua kompartemen sel darah (yang mana, bilamana keturunan mereka atau mereka menjadi ganas, membentuk penyakit leukimia dan limfoma) telah dijelaskan dengan baik. Namun, identifikasi dan karakterisasi sel tunas pada jaringan epitel atau karsinoma yang timbul dari mereka telah menjadi tantangan, terutama pada manusia. Banyak kanker muncul pada jaringan di mana proses pembaruan-diri adalah penting (misalnya, usus, kulit, tulang sumsum). Dalam jaringan ini, sejumlah kecil sel tunas, juga dalam mempertahankan jumlah mereka sendiri, menghasilkan sel-sel progenitor dengan cara divisi asimetris. Sel-sel progenitor ini mengalami proliferasi beberapa putaran sebelum akhirnya berdiferensiasi. Hanya sel tunas langka yang hidup-panjang, mungkin sebagai alat untuk membatasi akumulasi kerusakan genetik. Posisi bakuya adalah diferensiasi atau kematian, dan kanker terjadi ketika hal ini dikalahkan. Sel-sel progenitor - dalam karikatur diferensiasi - mungkin bertanggung jawab atas heterogenitas yang telah jelas ada pada banyak jenis kanker (dan bisa mempengaruhi adanya perbedaan kepekaan obat dan kapasitas metastasis). Namun, pengobatan sitotoksik juga dapat membunuh sel-sel progenitor berproliferasi (mengurangi beban tumor), tetapi gagal untuk membasmi kompartemen sel tunas, dan dengan demikian jarang sekali terbukti menjadi kuratif (194-196) (gambar 3).


Gambar 3
Apakah kegagalan dalam mengontrol metastasis akibat dari sel-sel tunas tumor residual?

Jadi, apa yang menjadi bukti untuk sel-sel tunas pada jaringan epitel dewasa dan kanker, dan apa karakteristik mereka (panel 1)? Baru-baru ini, terdapat dua kelompok peneliti yang berhasil merepopulasikan seluruh kelenjar susu tikus dari satu sel, mengidentifikasi sel tunas putatif ini dengan serangkaian penanda permukaan (197, 198). Sebelum ini, Al-Hajj dkk (199) mengisolasi sebuah subpopulasi sel pada kanker payudara manusia yang secara dramatis meningkatkan kapasitas tumourigenik ketika ditransplantasikan ke tikus imunodefisien. Tidak diketahui apakah sel-sel tunas kanker adalah berasal dari sel-sel tunas normal, tetapi jika demikian mereka bisa berbagi satu atau lebih sifat mereka yang akan memberikan keabadian dan kemampuan untuk menahan gangguan genotoksik dari lingkungan atau, dalam kasus sel kanker, sitotoksik obat. Pertama, sebagai bagian dari pertahanan mereka terhadap kerusakan, sel-sel tunas normal mengekspresikan beberapa transporter (pompa pengeluaran untuk obat dan racun) yang merupakan gen pertahanan-obat berganda utama pada kanker (200). Selain itu, sel tunas memiliki kapasitas perbaikan DNA aktif dan mepertunjukkan ketahanan terhadap apoptosis; lebih lanjut, mereka secara relatif adalah tenang, jarang membagi diri dan meninggalkan masalah pengekspansian populasi ke pada turunan mereka. Semua faktor ini dapat memberikan kontribusi untuk kelangsungan hidup sel-sel tunas, sel-sel dapat mengisi kembali tumor atau metastasis setelah terapi obat sitotoksik atau radiasi (201). Baru-baru ini, telah didalilkan bahwa migrasi sel tunas, yang terletak di bagian depan tumor invasif, menunjukkan transisi epitelial-mesenkhimal dan pengaktifasian jalur Wnt, yang kesemuanya dapat bertanggung jawab untuk metastasis kanker usus besar metastasis (202). Menariknya, penelitian ini, dan yang lainnya (74.203), telah menunjukkan bahwa sel-sel motil adalah non-proliferatif, sekali lagi menunjukkan bahwa modalitas terapeutik baru adalah diperlukan untuk menarget sel-sel berbahaya ini.

Panel 1: Sifat kunci sel tunas
• Kapasitas untuk pembaharuan-diri dan produksi progenitor melalui divisi sel asimetrik
• Diregulasi oleh niche: apakah disrupsi dari kontrol inang ini mengawali kepada ekspansi menyimpang sel tunas/progenitor dan kanker?
• Berumur panjang: waktu untuk mengakumulasi mutasi multipel
• Mampu menghasilkan garis turunan multipel melalui diferensiasi jalur ke hilir
• Mengekspresi telomerase aktif
• Mengaktifasi jalur-jalur anti-apoptotic (protin Bc1-2 dan IAP tinggi)
• Ketahanan anoikis: tahan hidup selama diseminasi?
• Mampu bermigrasi
• Aktifitas transpor membran meningkat: tahan obat
• Pola jalur pensinyalan unik: Wnt, Notch, Snail, Twist, Hedgehog, Bmi-1

Apakah sel tunas mengekspresikan molekul yang kita targetkan saat ini? Ada laporan yang bertentangan mengenai apakah sel tunas kanker payudara mengekspresikan reseptor estrogen dan HER2, meskipun EGFR dilaporkan hadir. Jalur sinyal utama, yang sejauh ini diidentifikasi dalam sel-sel tunas, sering bermutasi pada kanker, tetapi mereka tidak, oleh dan besar, merupakan fokus dari pengobatan molekuler saat ini (204). Target-target tak tereksploitasi potensiil adalah termasuk TGFβ, jalur Notch (205, 206) (juga terlibat dalam angiogenesis (207) dan sifat osteomimetik kanker prostat [208]), Wnt, Hedgehog, Snail, Twist, dan bmi-1 (209-211).
Jadi, akankah penargetan sel tunas tumor merusak sel tunas normal? Untuk menjawab ini, kita perlu pendefinisian dan pengkarakterisasian yang lebih baik dari dua populasi ini dalam berbagai jaringan. Namun, belakangan Krivtsov dkk (212) menemukan perbedaan fenotipik antara sel tunas dalam sebuah model tikus leukemia dibandingkan dengan sel tunas haemopoietik normal (sebuah subset yang juga diidentifikasi pada leukemia manusia), memberikan bukti pendahuluan bahwa penargetan spesifik sel ganas adalah mungkin layak adanya.

Simpulan dan prospek masa depan

Tahun-tahun belakangan ini telah mengungkapkan wawasan baru yang menarik ke dalam mekanisme molekul metastasis, meskipun masih menyisakan banyak pertanyaan (panel 2). Kita perlu menyelesaikan kontribusi relatif dari mutasi pada sel-sel benih (apakah sel tunas, keturunan mereka, atau keduanya), perubahan epigenetik dan pengaruh lingkungan mikro, dan tidak kurang pula, pewarisan kecenderungan untuk kerentanan kanker dan penyebaran. Model-model khewan telah menghasilkan wawasan penting ke dalam mekanisme metastasis, namun ini harus dipertimbangkan terhadap kenyataan klinis. Kita perlu mengembangkan pengobatan yang lebih yang secara khusus menargetkan metastasis, yang harus diuji dalam sistem yang sesuai in vitro dan in vivo. Rancangan uji klinis akan menantang: identifikasi pasien berisiko melalui pemrofilan genetik dan metode yang lebih sensitif dari pendeteksian dan kuantisasi metastasis sangat mendesak untuk dilakukan, bersama dengan indikator awal dari respon. Pencegahan perkembangan metastatik (misalnya, diferensiasi terinduksi, stasis, atau reaktivasi apoptosis) adalah merupakan pertimbangan lebih lanjut.

Panel 2: Pertanyaan takterjawab kunci
• Hubungan apakah di antara sel kanker metastatik dengan sel tunas? Apakah mereka sebenarnya adalah sel tunas dalam tumor solid manusia? Mampukah obat antikanker saat ini membunuh sel tunas kanker? Akankah terdapat perbedaan di antara sel tunas maligna dengan sel tunas normal?
• Apakah metastase merupakan hasil dari transisi epithelial-mesenkhimal? Apakah transisi epithelial-mesenkhiimal berkontribusi terhadap progresi kanker manusia? Apakah terdapat kompartmen metastatik transien?
• Apakah metastasis merupakan sifat inheren (dapat diseleksi/selectable) dari sebuah subsetsel tumor ataukah semacam sifat adaptif?
• Peran apa yang dimiliki genotip inang dalam menentukan risiko metastatik?
• Mekanisme aksi apakah yang dimiliki para penekan metastasis? Apakah mereka merupakan bagian dari sebuah jalur berbagi atau apakah terdapat mekanisme paralel atau kontrol metastasis?
• Apa yang menentukan kolonisasi selektif dari organ/jaringan berbeda?
• Apakah kemampuan sel tumor untuk berproliferasi pada lokasi sekunder merupakan penentu pembatasan-laju utama dalam metastasis?
• Apakah relevansi dari sel tumor yang bersirkulasi (atau sel tumor dalam pelimbahan kelenjar limfe atau dalam sumsum tulang) dalam hal pemapanan metastase jauh?
• Dapatkah microarray atau proteomics tumor (atau jaringan normal) digunakan dalam klinik untuk memperkirakan probabilitas dan/atau lokasi dari metastasis?
• Bagaimana caranya deteksi awal metastase diperbaiki?
• Apakah metastasis merupakan sebuah pilihan teraputik tractable?
• Target molekuler apakah yang paling menjanjikan bagi pencegahan/pengobatan metastase?
• Bagaimana kita dapat memonitor penyakit residu minimal selama terapi dengan sensitifitas dan spesifisitas berderajat tinggi?
• Mekanisme molekuler apakah yang bertanggung jawab bagi dormansi tumor?