Senin, 14 Februari 2011

Horizon Baru dalam Osteoarthritis

Abstrak

Osteoarthritis (OA), juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif, merupakan penyakit muskuloskeletal kronik yang paling sering dan sebagai penyebab terdepan ketunaan pada orang-orang tua. Saat ini terdapat sedikitnya 27 juta orang mengidap OA di Amerika Serikat, dan biaya tahunan terhadap masyarakat untuk perawatan dan besarnya kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai 100 miliar dolar pada 2020, dengan konsekuensi akan meningkat dengan melakukan diagnosis dan pengobatan, pencegahan efek samping, dan hilangnya produktifitas. Meskipun demikian besarnya beban ini, banyak aspek OA masih belum diketahui, dengan implikasi tidak hanya dalam hal diagnosis dan assessment-nya namun juga dalam hal terapi. Kewaspadaan akan keadaan ini telah menarik banyak peneliti mengarah perhatiannya ke bidang ini, membuat OA menjadi satu sektor rheumatologi yang paling aktif distudikan. Meskipun beberapa klinisi menyadari akan kemajuan saat ini, namun terdapat begitu banyak publikasi yang mengindikasikan bahwa telah banyak yang dicapai. Progres besar telah dibuat dalam pembuatan formulasi yang lebih baik dalam penentuan berbagai faktor risiko, khususnya dalam mengindikasikan responsibilitas faktor-faktor biokhemis dan genetik, dan, dalam hal dengan patogenesis, menekankan pada peran tulang subkhondral, sitokin dan proteinase. Penentuan aktifitas OA dan progresinya telah berkembang dengan munculnya berbagai penanda-hayati dan prosedur imejing baru, khususnya sonografi dan magnetic resonace imaging (MRI), namun juga dengan berbagai instrumen klinis yang lebih baik, termasuk berbagai kuesioner pasien yang lebih dapat dipercaya. Informasi yang berasal dari berbagai studi yang sedang berlangsung dapat mengembangkan hingga ke batas tertentu berbagai definisi fenotip OA. Akhirnya, horizon baru yang menjanjikan telah terbuka, bahkan dalam hal pengobatan OA yang hingga kini masih tetap jalan di tempat bagi sebagian besar ketidakpuasan kecuali bagi terapi penggantian bedah. Sejumlah substansi baru telah diformulasikan dan berbagai temuan percobaan yang mempelajari efeknya memberikan semangat, meskipun banyak yang belum terlaksana.

Kata kunci: osteoarthritis; kartilago; biomekanik; sitokin; proteinase; penanda-hayati; IL-1; terapi

Pendahuluan

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit muskuloskeletal kronik yang paling sering, dan tidak diragukan lagi, sejauh ini merupakan yang paling menyebabkan keterbatasan aktifitas sehari-hari bagi populasi tua (1). Saat ini terdapat sedikitnya 27 juta orang mengidap OA di Amerika Serikat, menggerogoti ekonomi sedikitnya 60 miliar dolar setiap tahunnya (2, 3). Biaya tahunan bagi masyarakat untuk perawatan medis dan besarnya biaya kerugian yang ditanggung akibat arthritis diperkirakan mencapai sedikitnya 100 miliar dolar dalam 2020, dengan konsekuensi meningkat lagi bagi pengeluaran untuk melakukan diagnosis dan terapi, pencegahan efek samping dan hilangnya pendapatan. Saat ini sedikitnya 40% usia dewasa di atas 70 menderita OA lutut, di mana 80% dari jumlah itu menderita pembatasan mobilisasi dan 25% di antaranya terganggu dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari (4). Adalah juga penting untuk ditekankan mengenai efek sinergistik dari kondisi lainnya yang bersama-sama muncul dengan OA, khususnya kegemukan dan penyakit kardiovaskuler (5, 6).
Meskipun sedemikian berat keburukan yang ditimbulkan, OA tidak mendapatkan perhatian cukup dari penguasa sipil dan klinisi, termasuk ahli rheumatologi sendiri. Suatu besaran yang meningkat dari jumlah peneliti telah, paling tidak, menjadi tertarik kepada, yang untuk beberapa hal, bidang ”tak populer” ini. Alasan bagi ketidakpasan ini barangkali sebagiannya dapat dijelaskan karena adanya satu seri konsepsi salah pada masa lalu seperti misalnya suatu pendekatan epidemiologi bagi sebagian banyak kita yang mefokuskan pada profil radiografi pasien dari pada karakteristik dan fenotip klinik, pengarahan perhatian berlebih kepada tanda-tanda radiografi tradisional, yang dalam hal ini seringkali menjadi bukti hanya ketika progresi penyakit sudah lanjut, ketidakadekuatan pertukaran di antara para peneliti dasar dengan klinisi terhadap berbagai temuan ilmiah dan kebutuhan pasien, dan keterbatasan alternatif teraputik yang seringkali terbukti mengesalkan. Kesadaran dari berbagai inkonsistensi ini mungkin dapat memfasilitasi penyelidikan yang mengarah ke pada wilayah yang belum tersentuh guna mengungkap data baru yang mampu untuk menjelaskan banyak pertanyaan tak terjawab seperti misalnya peran dari faktor-faktor risiko, pemupukan dagnosis awal bahkan dalam fase pra-radiologik, pengidentifikasian penandaan aktifitas penyakit yang dapat dipercaya, dan, akhirnya, memverifikasi terapi baru. Beberapa dari objektif tersebut telah mendekati pencapaiannya, sebagaimana diunjukkan oleh sejumlah temuan yang dipublikasikan dalam literatur dan disingkat dalam tinjauan ini.

Faktor risiko

OA, yang diklasifikasikan sebagai primer atau idiopatik, biasanya berkembang tanpa diketahui penyebabnya. Bukti-bukti yang semakin banyak jumlahnya menyarankan bahwa beberapa faktor risiko seperti misalnya predisposisi genetik, usia, kegemukan, kelamin perempuan, kepadatan tulang yang lebih tinggi, kelenturan sendi, dan pembebanan mekanik berlebih dapat berperan sebagiannya dalam perkembangannya. Meski usia merupakan faktor risiko paling penting, tetap masih belum jelas apakah OA harus dipertimbangkan sebagai sebuah proses penuaan ataukah sebagai suatu “true” disease, karena yang disebut terdahulu terjadi pada semua anggota populasi sementara yang disebut belakangan mempengaruhi hanya se-subset terbatas (7, 8). Tambahannya, kecuali fakta bahwa hampir semua orang tua memperlihatkan temuan radiografi OA, banyak subjek yang senyatanya mengeluhkan gejala yang secara langsung berkaitan dengan penyakit ini malah jumlahnya jauh lebih rendah (9, 10). Heberden’s node, sebagai contoh, suatu kasus yang menarik banyak perhatian, hanya sedikit saja pasien yang mengeluhkan sekitaran pertumbuhan berlebihan tulang tangan mereka meskipun dengan berbagai perubahan radiografi dari semua pembengkakan tulang ini yang seringkali terlihat pada populasi umum. Beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah mengumumkan dugaan adanya peran faktor genetik dalam menentukan usia lanjut dan predisposisi kepada penyakit-penyakit yang terkait-usia termasuk OA (11), sementara penyelidik lainnya menyepekulasi bahwa beberapa faktor lingkungan, khususnya faktor mekanik, mungkin mempercepat dan mengakumulasi berbagai proses ini (12).

Predisposisi genetik

Predisposisi genetik mungkin memiliki suatu efek pada OA dalam berbagai cara, misalnya dengan cara mempengaruhi suseptibilitas terhadap penyakit, usia saat onset, progresi, subtipe dan, mungkin, respon terhadap terapi. Pengidentifikasian gen-gen suseptibilitas mungkin menjadi berguna untuk menjelaskan mekanisme penyakit ini, karena ia mungkin dapat mengungkap kejadian-kejadian biologis utama yang menyebabkan OA (13).
Agregasi familial dari gambaran klinis dan radiologi OA pertamakali diunjukkan pada 1940an oleh studi klasik yang dilakukan pada Heberden’s node, dan telah dikonfirmasikan, with regard to hand and knee OA, oleh banyak studi berbasis-komunitas (14-17). Suatu analisis akhir-akhir ini tentang gambaran sinar-x OA tangan dan sendi lutut pada pasien kembar yang diambil dari populasi normal mengunjukkan bahwa variasi peran faktor genetik terhitung antara 39% hingga 65% terhadap penyakit ini pada kedua lokasi (18).
Mengenai suseptibilitas gen terpenting akhir-akhir ini yang telah teridentifikasi, frizzle-related protein3 (FRZB) (19) dan asporin (ASPN) (20) adalah secara khusus menarik. Studi yang dilaksanakan di Inggris melaporkan bahwa dua single nucleotide polymorphism (SNP) dari FRZB meningkatkan risiko OA lutut dan panggul pada wanita Kaukasia namun tidak pada laki-laki (21, 22). Peranan SNP tidak dikonfirmasi dalam populasi Spanyol, pada mana SNP lainnya cenderung menjadi lebih sering pada pasien-pasien dengan penyakit klinisnya pada sendi-sendi multipel, dan secara spesifik pada wanita dengan OA panggul (23, 24). Mengenai ASPN, asosiasinya dengan OA lutut atau panggul telah teramati pada populasi Jepang (20), namun tidak dalam populasi Eropa (25-28).
Banyak defek gen mempengaruhi pembentukan matriks kartilago dan pemolaan elemen-elemen skelet selama perkembangan yang menghasilkan suatu variasi displasia kartilago kongenital dengan sifat menurun Mendel, meskipun terjadi amat sangat jarang (29). Menariknya, OA adalah berlokasi spesifik paling sering pada individu-individu dengan displasia skelet. Mutasi dalam gen kolagen tipe II (COL2A1), sebagai contoh, menyebabkan spondyloepiphyseal dysplasia congenita. Meskipun kolagen khusus-kartilago ini menempati jumlah terbanyak dalam kartilago artikuler dalam semua sendi, fenotip OA dari penyakit ini adalah berlokasi spesifik (site-specific) (30). OA panggul adalah sangat parah, OA tulang belakang dan lutut keparahannya tingkat sedang, namun tangan adalah normal. Mutasi dalam COMP (cartilage oligomeric matrix protein), komponen lain yang banyak memenuhi kartilago artikuler/epifisis, menyebaban OA dini, parah namun tulang belakang dan sendi-sendi perifer tidak terkena (31). Berbagai efek tak menguntungkan dari malalignment sendi dan congruity pada pasien-pasien ini mungkin menyumbang bagi kemungkian hilangnya kartilago artikuler, dan dalam beberapa kasusnya, OA onset dini (29-31).
Predisposisi genetik mungkin juga mempengaruhi tipe dari reaktifitas beberapa fungsi bawaan yang terlibat dalam respon inflamasi. Botha-Scheepers dkk mengunjukkan bahwa joint space narrowing (JSN) nampak 24 jam setelah pemeriksaan awal pada 33.7% pasien bergejala dengan OA lutut (32). Setelah stimulasi contoh-contoh whole blood pasien tersebut dengan lipopolisakharid (LPS), ditemukan bahwa pasien-pasien dalam kwartil tertinggi produksi tumor necrosis factor (TNF) α memiliki risiko peningkatan enam kali lipat untuk progresi JSN, sementara pasien-pasien dalam kwartil tertinggi produksi interleukin (IL)-10 memiliki suatu risiko peningkatan empat kali lipat untuk progresi JSN, dibandingkan, untuk kedua kasus, dengan nilai-nilai pada pasien-pasien dalam kwartil terrendah (32). Tidak ditemukan asosiasi bermakna di antara variasi dalam produksi IL-1β dan IL-1Ra dengan progresi JSN. Kapasitas bawaan untuk menghasilkan TNFα dan IL-10 atas stimulasi LPS dengan demikian berasosiasi dengan progresi radiologis OA lutut, bahkan lewat suatu periode pemantauan yang relatif pendek yaitu 2 tahun. Studi lainnya oleh kelompok yang sama menghasilkan hal yang sama. Dalam studi Genetics of Osteoarthritis and Progression (GARP), peran gen C-reactive protein (CRP) dalam hand OA (HOA) dievaluasi melalui penentuan level serum CRP menggunakan sebuah metode high sensitivity (hs) dan menetapkan variasi genetik gen CRP melalui genotyping five tagging SNPs (33). Suatu haplotipe gen CRP, terkait dengan suatu level hsCRP basal yang tinggi, diasosiasikan dengan HOA parah, mengindikasikan bahwa level-level hsCRP-serum basal yang tinggi bawaan mungkin mempengaruhi onset dan keparahan OA (33).
Studi menarik lainnya oleh Stern dkk mendukung hipotesis suatu asosiasi genetik di antara erosive hand OA (EHOA), suatu subtipe parah HOA, dengan suatu SNP pada gen yang mengkode IL-1β (35).

Reaktifitas biomekanik

Biomekanik merupakan istilah yang sering digunakan pada OA untuk mendefinisikan reaksi biokimia terhadap rangsangan mekanik, suatu proses penting bagi patogenesis modern dari penyakit. Sendi merupakan struktur terorganisir bagi fungsi penting yang terlibat dalam gerakan sendi, termasuk transfer beban melewati sendi. Dus, sementara pembebanan “normal” berguna dan perlu untuk merangsang perubahan fisiologis struktur sendi, pembebanan “abnormal”, khususnya selama aktifitas, dapat mempercepat onset dan progresi penyakit (36, 37). Berbagai kejadian biologis yang diinduksi oleh faktor mekanik dapat menggangu pasangan normal degradasi dan sintesis khondrosit kartilago artikuler, matriks ekstraseluler dan tulang subkhondral. Banyak studi telah mengunjukkan beberapa gangguan sendi mekanik akibat dari menisektomi atau cedera ligamen ACL dapat secara dramatis meningkatkan insiden dan progresi OA lutut (36, 37). Namun, seperti halnya usia, semua kejadian ini terjadi hanya pada beberapa subjek yang memiliki kecenderungan ke arah itu. Menjelaskan hubungan di antara cedera mekanik dengan berkembangnya abnormalitas kartilago artikuler boleh dipertimbangkan sebagai tantangan utama yang dihadapi penelitian rheumatologis modern
Khondrosit diprogram untuk menanggapi gangguan biomekanik langsung dan bekerja sebagai “sensor mekanik (mechanosensor)” menggunakan reseptor sensitif spesifik, yang banyak di antaranya berikatan dengan komponen matriks ekstrasel (ECM) (38, 39) (gambar 1). Terbaik di antaranya yang telah dipelajari adalah integrin, yang berperan sebagai reseptor bagi fibronektin (FN), dan fragmen kolagen tipe II (38 – 40). Aktifasi semua reseptor ini dapat merangsang produksi sitokin, khemokin, dan proteinase penghancuran-matrik, utamanya metaloproteinase (MMPs) (40). Dalam setingan fisiologis, integrin memodulasi pensinyalan sel/ECM, yang penting dalam pengaturan pertumbuhan dan diferensiasi juga dalam mempertahankan homeostasis kartilago. Pengekspresian integrin abnormal selama aktifitas penyakit dapat mengubah pensinyalan sel/ECM dan memodifikasi aktifitas sintesis khondrosit diikuti dengan ketidakseimbangan sitokin destruktif atau sitokin katabolik atas berbagai faktor pengaturan dan/atau sitokin anti-inflamasi atau anabolik (41). Pembebanan mekanik “abnormal” merangsang deplesi proteoglikan, merusak jaringan kolagen dan menurunkan sintesis protein matriks kartilago (42). Menanggapi cedera traumatik, ekspresi gen global diaktifasi, menghasilkan meningkatnya pengekspresian berbagai mediator inflamasi, meliputi sitokin dan proteinase (38-42).

Gambar 1
Berbagai perubahan khondrosit yang diinduksi oleh stres mekanik. Khondrosit dapat menanggapi gangguan biomekanik langsung dengan meningkatkan ekspresi berbagai mediator inflamasi, termasuk sitokin dan proteinase, dan berbagai faktor tanggapan terhadap stress. Khondrosit memiliki berbagai reseptor dalam menanggapi rangsangan mekanik (reseptor mekanik/mechanoreceptors), yang banyak di antaranya juga reseptor-reseptor untuk komponen matriks ekstraseluler (ECM), termasuk integrin, sebuah reseptor bagi fibronektin dan fragmen kolagen tipe II; discoidin domain receptor-2 (DDR-2), suatu reseptor fibril kolagen natif; annexin-V, suatu reseptor fragmen kolagen II. Semua reseptor ini berinteraksi dengan molekul pensinyalan intraseluler untuk mentransduksi sinyal mekanik menjadi berbagai respon biokimia yang mengawali dihasilkannya sejumlah substansi proinflamasi, termasuk sitokin, enzim proteolitik, NO dan PGE2. Yang terpenting di antara kaskade sinyal intraseluler ini adalah jalur NF-kB dan MAPK. Keluarga MAPK, yang meliputi p38, Erk 1 dan 2, dan JNK, merupakan yang sangat penting bagi ketahanan hidup sel, diferensiasi sel, dan khondrogenesis. Cara menarik lainnya yang dirangsang oleh gaya mekanik adalah the stretch-activated ion channels (SACs), yang dipercaya berrespon terhadap tekanan membran, berinteraksi dengan integrin dan mengawali ke pada suatu peningkatan kalsium intraseluler. Ini dapat merangsang mitochondria untuk melepaskan AIF dan sitokhrom c, yang sebaliknya mengaktifasi pro-kaspase 9 dan 3 untuk menghasilkan kaspase 9 dan kaspase 3, yang terlibat dalam apoptosis khondrosit. Untuk proses ini dapat juga menyumbang kalpain, sebuah keluarga enzim proteolitik yang terrangsang oleh meningkatnya kalsium sitoplasma dari ERG dan mitokhondria.

Sitokin, faktor pertumbuhan dan metaloproteinase

Berbagai sitokin, yang terlibat dalam interaksi sel – sel, merupakan protein mirip-hormon yang mengatur intensitas dan lamanya respon imun (43). Sitokin dan faktor pertumbuhan yang terlibat dalam OA mungkin dilepaskan dari sumber-sumber seluler berbeda, seperti khondrosit, sel-sel sinovial atau osteosit. Adalah hampir pasti bahwa sitokin dilibatkan dalam perkembangan dan progresi OA, dan tindakan pengeblokan sitokin tersebut adalah berguna dalam mencegah kartilago dari pengerusakan (44-46).
IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang paling penting dan terbaik distudikan dalam OA. IL-1 dilepaskan baik oleh sinovium (47) ataupun oleh khondrosit (48), dapat merangsang yang disebut belakangan untuk menghasilkan kebanyakan atau semua proteinase yang terlibat dalam destruksi kartilago (49, 50). TNFα dan IL-1 dapat juga menghambat sintesis proteoglikan dan kolagen tipe II (51, 52). Khondrosit dalam kartilago OA mengekspres IL-1, IL-1β converting enzyme (kaspase-1) dan reseptor IL-1 tipe-1 (IL-1RI) (38). Sebaliknya, IL-1 yang disintesis oleh khondrosit mungkin mampu menginduksi pengekspresian MMPs dan agrekanase (51, 52), penyintesisan prostaglandin E2 (PGE2) (53, 54) dan pemroduksian oksida nitrat (NO) via NO sintetase yang dapat terinduksi (iNOS, atau NOS2) (48, 55, 56). IL-1β juga menginduksi sitokin proinflamasi lainnya seperti IL-6, leukemia inhibitory factor (LIF), IL-17, dan IL-18 dan kemokin, termasuk IL-8 (38, 57). IL-6 memainkan peranan penting dalam mempengaruhi metabolisme kartilago. Ketika Guerne dkk menganalisis efek IL-6 pada sintesis proteoglikan oleh kondrosit artikuler manusia dalam kehadiran sIL-6R (58), mereka mendapatkan bahwa sIL-6R mempotensiasi efek penghambatan IL-6 pada sintesis proteoglikan oleh khondrosit artikuler, namun keseluruhan efek dari IL-6 + IL-6sR adalah bertingkat sedang dibandingkan dengan efek dari IL-1 (58).
Sitokin yang terlibat dalam metabolisme kartilago dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: sitokin katabolik, yang terdiri dari IL-1β, TNFα, IL-17, dan IL-18; sitokin inhibitor, terdiri dari IL-4, IL-10, IL-11, IL-13, antagonis reseptor IL-1, dan interferon-γ; sitokin anabolik, terdiri ari insulin-like growth factor 1, TGFβ1, TGFβ2, TGFβ3, fribrolast growth factor (FGF)-2, FGF-4, FGF-8, BMP-2, BMP-4, BMP-6, BMP-7, BMP-9, DAN BMP-13 (46)
Sitokin bersinergi satu sama lainnya dalam jaringan sendi normal untuk mempertahankan suatu jejaring yang benar-benar seimbang (59). Ketidakseimbangan dalam sistim ini dapat memiliki implikasi penting bagi patogenesis dari kebanyakan arthropati, termasuk OA (60, 61). Dalam konteks ini, peranan regio tulang subkhondral, dalam kombinasinya dengan atau terbebas dari membran sinovial, yang mewakili sumber terbanyak sitokin pada OA, kelihatannya semakin relevan (62, 63).
Sebagaimana ditekankan di atas, efek destruktif paling relevan dari sitokin pada kartilago adalah diperantarai oleh MMPs, termasuk ADAMTS (a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motifs) (64-68). Di antara anggota keluarga MMP, peran relevan dimainkan oleh MMP-13, terlibat dalam degradasi kolagen tipe II pada kartilago OA (67), dan oleh ADAMTS4 dan ADAMTS5, dipercaya menjadi protease kunci dalam degradasi aggrekan (69, 70)

Adipokin

Istilah “adipokin” umumnya digunakan untuk berbagai substansi aktif secara biologis yang dijumpai dalam adiposit dari white adipose tissue (WAT), meski mereka juga disintesis di lokasi lainnya (71). Adipokin meliputi sevarietas peptida pro-inflamasi atau sitokin yang menyumbang bagi ”keadaan inflamasi derajat-rendah (low-grade inflammatory state)” subjek-subjek gemuk (72, 73). Yang paling dikenal dari keluarga ini adalah leptin, adiponektin dan resitin. Leptin merupakan hormon peptida yang tak-terglikosilasi (non-glycosylated) dengan BM 16 kDa anggota superfamili sitokin kelas I, dihasilkan oleh adiposit (74). Leptin dapat dipertimbangkan sebagai sebuah hormon mirip-sitokin dengan aksi pleiotropi yang mengerahkan berbagai pengaruh biologis melalui pengikatannya dengan reseptornya (75). Leptin mampu memodulasi sel-sel yang terlibat dalam berbagai reaksi inflamasi/imun, termasuk monosit/makrofag, netrofil, sel dendritik dan sel-T (76). Produksi leptin jauh lebih banyak pada kartilago manusia dengan OA dibandingkan pada kartilago normal (77). Temuan bahwa pemberian leptin eksogen meningkatkan produksi IGF1 dan TGFβ1 oleh kartilago sendi lutut tikus besar telah menyarankan bahwa level-level tinggi leptin bersirkulasi dalam individu-individu gemuk mungkin melindungi kartilago dari proses degenerasi (77). Di bawah kondisi patologis, bagaimanapun, kontrol terhadap homeostasis matriks oleh khondrosit dalam sendi menghilang. Dalam kultur khondrosit manusia dan murine, aktifasi NOS2 oleh IL-1 ditingkatkan oleh leptin melalui sebuah mekanisme yang melibatkan JAK2, PI3K, MEK1 dan p38 (78). Adalah akhir-akhir ini diunjukkan bahwa leptin juga mampu menginduksi sintesis MMPs yang relevan untuk perusakan kartilago, seperti MMP9 dan MMP13 (79).
Adiponektin dihasilkan kebanyakan oleh WAT dan memiliki homologi struktural dengan kolagen VIII dan X dan faktor komplemen C1q (80). Adiponektin bekerja melalui dua reseptor, satu (AdipoR1) dijumpai secara predominan dalam otot rangka dan yang lainnya (AdipoR2) dalam hati (81). Adiponektin memiliki sebuah efek berrentang luas dalam penyakit imun dan inflamasi dan mengerahkan berbagai aksi relevan pada imunitas bawaan dan adaptif (71). Sebaliknya dengan peran ”melindungi” melawan kegemukan dan penyakit vaskuler, ia kelihatannya dalam sendi kerangka bersifat proinflamasi dan terlibat dalam degradasi matriks (79). Khondrosit menyajikan reseptor adiponektin fungsional, yang pengaktifasiannya mengawali penginduksian NOS2 melalui sebuah jalur pensinyalan yang melibatkan PI3 kinase; dan khondrosit yang diterapi-adiponektin sama-sama meningkatkan sintesis IL-6, TNF dan MCP1 (monocyte chemotactic protein 1) (82).
Resitin merupakan sebuah protein dimerik yang menerima namanya dari penampakan induksi resistensi insulinnya dalam tikus kecil percobaan, dus menyediakan sebuah hubungan yang mungkin di antara kegemukan dan resistensi insulin (83). Baik level resitin maupun leptin adalah meningkat pada individu-individu gemuk. Resitin diproduksi oleh WAT dan monosit/makrofag, namun juga oleh kartilago itu sendiri, dan merupakan sebuah sitokin proinflamasi yang sangat kuat, meningkatkan produksi IL-1, TNFα, sejumlah khemokin (84). Mengikuti cedera sendi traumatik, level-level resitin meningkat, menyebabkan degradasi matriks dan melepaskan sitokin inflamasi dari kartilago artikuler (85).
Level-level serum adiponektin dan resitin baru-baru ini diukur pada 48 wanita dengan HOA erosif (EHOA), 27 dengan non-EHOA dan 20 tanpa HOA sebagai kontrol (86). Adiponektin, namun bukan resitin, lebih meningkat secara bermakna pada EHOA dibandingkan pada yang non-EHOA ataupun pada kontrol. Baik adiponektin maupun resitin tidak berkorelasi dengan level-level CRP juga tidak dengan Body Mass Index, dus menyarankan bahwa adiponektin mungkin memainkan peran dalam patofisiologi subset erosif HOA (86).

Tulang subkhondral

Sejumlah bukti yang semakin banyak memperlihatkan bahwa tulang subkhondral secara aktif terlibat dalam pathogenesis OA lewat beberapa kemungkinan mekanisme, termasuk adanya defek dalam perannya sebagai penyerap getaran (shock absorber); fungsi osteosit abnormal; meningkatnya produksi produk-produk yang berasal tulang, sitokin, dan MMPs (38, 62, 63). Adalah masih belum jelas apakah berbagai perubahan yang terjadi dalam tulang subkhondral mengawali atau mengikuti onset OA. Dalam banyak kasusnya, adalah memungkinkan bahwa sebuah peran penting dimainkan oleh penginvasian vaskuler jaringan sumsum tulang yang memasuki regio ini (87). Dalam persesuaiannya dengan hal ini, terlihat bahwa konsentrasi beberapa sitokin inflamasi seperti IL-1, TNF dan IL-6 yang secara bermakna diregulasi ke hulu, mendukung hipotesis bahwa plat subkhondral yang tervaskularisasi mungkin meningkatkan sintesis sitokin dan enzim proteolitik sehingga menyumbang bagi degradasi kartilago hyalin yang terletak disekitarnya (88).
Kepentingan angiogenesis pada OA akhir-akhir ini telah didiskusikan secara rinci (89). Angiogenesis dan inflamasi merupakan proses terintegrasi lekat dan mungkin mempengaruhi progresi penyakit dan nyeri. Angiogenesis mungkin mendorong hipertrofi khondrosit dan osifikasi endokhondral, menyumbang bagi perubahan radiografi dalam sendi. Dalam kaitannya dengan inflamasi, hal itu mungkin me-sensitisasi syaraf dan dus meningkatkan nyeri. Inervasi mungkin juga menyertai vaskularisasi kartilago artikuler, di mana gaya kompresif dan hipoksia dapat merangsang syaraf-syaraf baru ini.
Banyak percobaan telah mengunjukkan bahwa aliran cairan tak adekuat sekitar osteosit mungkin menghasilkan apoptosis osteosit, menarik osteoklas dan ekskavasi tulang yang tak viabel (90, 91). Dalam beberapa kasusnya, kolaps sebagian atau total dari tulang subkhondral mungkin mengambil alih, sebagaimana dapat dilihat pada nekrosis avaskuler (AVN) (87, 92). Iskemi tulang subkhondral mungkin penting bagi perkembangan OA dalam beberapa cara, pertama-tama melalui pengeblokan pasokan makanan dan oksigen, biasanya furnished oleh vaskuler subkhondral yang tebal yang sangat dekat dengan kartilago, dan melalui saluran mikro yang mempenetrasi zona mineralisasi subkhondral, mengijinkan komunikasi di antara tulang dengan kartilago (87)
Semua kejadian pada level tulang subkhondral dengan jelas ditunjukkan melalui pemeriksaan sendi menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) berresolusi tinggi. Daerah terang pada tulang subkhondral pada MRI, sering teramati baik pada OA dini maupun yang telah mapan dan pada individu dengan sendi-sendi yang nyeri (93), kemungkin berhubungan dengan area bone marrow-like oedema lesions (BMLOL), yang terjadi secara idiopatik atau dalam responnya terhadap trauma tulang (93). Banyak studi longitudinal telah memperlihatkan bahwa BMLOL merupakan faktor risiko penting bagi deteorisasi struktural pada OA lutut (94-96). Akhir-akhir ini telah diperlihatkan bahwa kista subkhondral, merupakan karakteristik dari OA mapan dan parah, berkembang dalam regio-regio dimana BMLOL subkhondral telah ada sebelumnya (preexisting region) (97). Sementara asal-muasal BMLOL tidak diketahui, ia mungkin timbul sekunder terhadap episode iskemik yang kemungkinan dieksaserbasikan oleh proses cedera reperfusi (reperfusion injury) (98, 99).

Penanda hayati

Penanda molekuler pada OA telah menjadi objek perhatian yang semakin berkembang akibat dari potensi kegunaannya dalam memformulasikan diagnosis dini, dalam menilai akitfitas dan tingkat parah penyakit dan dalam mengevaluasi efek obat (100). Dalam kaitannya dengan hal ini, penanda biokimia atau penanda hayati, adalah ideal, sebagaimana mereka merupakan alat ukur yang tidak invasif dan murah (101). Sebuah kelompok multidisiplin, The NIH-funded Biomarkers Network, yang tertarik untuk mengembangkan dan memvalidasi biomarkers, akhir-akhir ini mengajukan klasifikasi biomarker: ”the Burden of Disease, Investigative, prognostic, Efficacy of Intervention and Diagnostic” (BIPED) (102). Dapat disimpulkan, bagaimanapun, bahwa meskipun sejumlah besar substansi secara berkelanjutan diajukan, hanya sedikit saja yang dapat dipertimbangkan sebagai sebuah ”penanda penyakit” OA yang sejati (100-108).
Hingga kini, tidak ada biomarker yang mampu dalam membantu penegakan diagnosis OA dalam stadium praradiologis, namun dengan dikenalkannya akhir-akhir ini high sensitive (hs) immunoassay, sejumlah studi yang bertumbuh menyarankan bahwa CRP mungkin menjadi sebuah penanda aktifitas dan keparahan OA (106). Kelihatannya bahwa level CRP yang lebih tinggi mungkin memprediksi hasil luaran penyakit yang buruk setelah empat tahun berikutnya (109).
Telah teramati bahwa level-level serum hsCRP adalah lebih tinggi pada pasien dengan EHOA dibandingkan dengan pasien non-EHOA (110). Ini kemungkinannya lebih mencerminkan aktifitas penyakit dari pada subtipenya, karena level hsCRP berkorelasi dengan skor aktifitas klinik (110). Sebagaimana MMPs adalah secara khusus terlibat dalam degradasi kartilago, level aktifitas mereka telah ditelusuri dalam suatu usaha untuk mendapatkan informasi kaitannya dengan tingkat keparahan dan progresi OA (111). Jenis MMP paling banyak yang terdapat baik dalam serum maupun dalam SF adalah MMP3 (111, 112). Dihipotesiskan bahwa, pro-matrix MMP-3 bekerja sebagai sebuah penanda untuk degradasi kartilago pascatrauma (113, 114).
Penanda molekuler yang paling berguna dalam mengidentifikasi sintesis atau degradasi kartilago adalah berasal dari sumber artikuler berbeda seperti misalnya kartilago, tulang dan jaringan sinovial (101, 102). Hyaluronan serum (HA), sebuah penanda proliferasi dan hiperaktifitas sinovium, mencerminkan progresi OA (115, 116). Penanda biokimia menarik lainnya adalah serum kreatin sulphate (KS), COMP, YKL-40, dan urinary C-terminal crosslinking telopeptides of collagen type I and II (uCTX-II) (106). Konsentrasi COMP dalam cairan lavas sinovium juga dalam serum merupakan sebuah indikator dini progresi radiografi pada follow-up (117-119). Telah terbukti juga bahwa COMP merupakan uji paling peka dalam mengidentifikasi subjek-subjek terafeksi dengan bentuk genetik OA prematur (120, 121). Dalam studi ECHODIAH, yang dilaksanakan oleh peneliti Perancis untuk menentukan apakah penanda sistemik tulang, kartilago, dan sinovium dapat memperkirakan progresi struktural OA panggul, mengevaluasi 10 penanda di antaranya: N-propeptides of collagen types I and III, COMP, YKL-40, HA, MMP-1 dan MMP3, CRP dan urinary C-terminal crosslinking telopeptides of collagen types I and II (uCTX-II) (122). Pengukuran menggunakan kombinasi uCTX-II dan sHA didapatkan sebagai prediktor terbaik progresi struktural OA panggul (122). Coll 2-1 dan Coll 2-1 NO2, merupakan penanda biokimia serum baru, akhir-akhir ini telah digunakan untuk studi degradasi jejaring kolagen tipe II yang terkait-oksidatif pada pasien-pasien dengan OA dan RA (123). Tidak ditemukan hubungan di antara tingkat parah OA secara radiologis dengan level-level serum dari semua penanda ini, namun, menariknya, Coll 2-1 NO2 berkorelasi dengan CRP dalam serum pasien OA dan RA (123). Coll 2-1 dan Coll 2-1 NO2 dan myeloperoxydase (MPO) seluruhnya lebih tinggi dalam serum pasien dengan EHOA dibandingkan pada pasien yang non-EHOA, walaupun hanya meningkatnya MPO yang bermakna (124). Dalam studi lainnya, level-level epitop Coll 2-3/4C adalah lebih tinggi pada pasien EHOA dibanding pada subjek non-EHOA nodal dan kontrol (125).

Tabel 1
Penanda hayati paling relevan dalam osteoarthritis

Menentukan fenotip osteoarthritis

Dalam mereka berpraktik klinik, tidak diragukan lagi, para klinisi mengalami frustrasi oleh banyaknya aktifitas penelitian dasar menyangkut OA dibandingkan dengan sedikit produk yang tersedia bagi pasien mereka. Tuntutan dalam memperjelas berbagai penanda yang dapat digunakan untuk membuat diagnosis pra-radiologis dini dan penilaian aktifitas penyakit atau progresinya adalah, di satu sisi, sangat sulit terpenuhi dalam ketiadaan sebuah definisi klinis yang benar-benar mapan. Harus dikatakan bahwa banyak upaya berlanjut dibutuhkan dalam mengembangkan kualitas observasi klinik.
Dalam konteks ini, sebuah langkah penting diambil oleh the American College of Rheumatology dalam memapankan kriteria untuk diagnosis dan klasifikasi OA dengan penekanan pada peran dari nyeri (126). Sejak itu, kemajuan konstan telah dibuat dalam penilaian gejala dan tanda, memfasilitasi diagnosis awal dan, pada saat yang sama, pengidentifikasian sebuah subtipe atau varian yang belum dapat terdeteksi dengan cara-cara radiologi atau temuan laboratorium. EHOA, sebagai contoh, dapat diidentifikasi melalui penilaian gambaran klinis bahkan sebelum pengidentifikasian sinar-x memungkinkan. Faktanya, subtipe OA tangan ini ditandai secara klinis oleh episoda inflamasi yang frekuen yang suatu saat menetap beberapa tahun dan, suatu saat, melibatkan banyak sendi bersamaan (127). Sebaliknya, kambuhnya nodal HOA terjadi utamanya saat onset dari masing-masing sendi yang terlibat, dalam sebuah onset poliarthropati yang ”hilang timbul bergantian (stuttering) ” dari interfalang distal (DIP) dengan interfalang proksimal, yang menyerupai sebuah ”monoarthritis multiplex” (127). Secara khas, pasien menjadi tak nyaman karena pembengkakan sebuah sendi interfalang, belakangan melibatkan sendi IP lainnya dan kemudian yang lainnya lagi, menciptakan ”stuttering onset” poliarthritis dari sendi IP distal dan proksimal. Instabilitas dan ankilosis sendi IP adalah, lebih lanjut, hampir selalu hanya berupa sebuah gambaran EHOA (128). Karena EHOA seringkali terdeteksi melalui MRI (129), di masa datang kriteria penentuan EHOA akan kemungkinan juga termasuk di dalamnya gambaran klinis spesifik sebagai tambahan terhadap gambaran erosi (130).
Berada dalam kerangka ide bahwa pendekatan modern terhadap OA harus menyertakan evaluasi adekuat pasien-pasien yang terkena, kemajuan dalam penilaian penyakit telah dihasilkan melalui penggunaan kuesioner yang dapat dipercaya, khususnya yang mengevaluasi kualitas hidup, nyeri fungsi dan progresi radiografi (131-133). Di bawah bantuan OARSI (Osteoarthritis Research Society International) dan inisiatif the OMERACT (Outcome Measures in Rheumatology Clinical Trials), merupakan sebuah kelompok kerja internasional, akhir-akhir ini memutuskan penentuan persyaratan teoritis penggantian sendi total OA lutut dan panggul untuk digunakan oleh percobaan klinis dan mengevaluasi disease-modifying drugs potensiil (134). Adalah keputusan merekalah bahwa domains nyeri, fungsi fisik dan struktur sendi pada sinar-x harus dikombinasikan sebagai sebuah alat ukur pengganti hasil luaran (135, 136)
Skor-skor tinggi pada kuesioner self-reported health-related quality of life (HRQOL) telah ditemukan berasosiasi dengan: besaran kemungkinan mengunjungi dokter, menggunakan analgesik atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) yang lebih tinggi, dan telah menjalani arthroplasti (137). Hubungan antara kesehatan mental dan ketunaan fisik adalah sebuah permasalahan kompleks khususnya untuk OA. Telah diunjukkan bahwa depresi seringkali dijumpai pada orang-orang tua terkait dengan ketunaan fungsi (138), dan depresi dan nyeri tersebut merupakan prediktor ketunaan lebih penting dibandingkan bukti radiografi perubahan sendi degeneratif pada pasien dengan OA panggul atau lutut (139). Adalah juga telah teramati bahwa pengobatan depresi, misalnya dengan antidepresan dan/atau psikoterapi, dapat menurunkan nyeri dan memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup pasien dengan OA (140).
Telah menjadi harapan bahwa ketersedian sarana baru ini akan membantu membedakan subtipe OA dan memperbaiki kebiasaan profesional kesehatan dengan pasien-pasien mereka.

Strategi teraputik di masa datang

Satu di antara keluhan tersering yang disampaikan klinisi yang mengobati pasien dengan OA adalah kefrustrasian mereka dengan ketidakefektifan peralatan teraputik yang tersedia. Sebagaimana digarisbawahi oleh berbagai rekomendasi terakhir, satu dari berbagai alasan bagi keadaan ini adalah kemungkinan kurangnya sebuah strategi penatalaksanaan OA global (141-145). Tidak ada keraguan bahwa, seperti halnya dengan penyakit rematik lainnya, pengobatan farmakologi OA adalah menyandang tingkat kepuasan terrendah. Kemajuan dalam pengobatan bedah adalah lebih terbukti, dalam hal tidak hanya untuk penggantian sendi namun juga dengan rekayasa jaringannya, yang disebut ”biosurgery” (146-147). Hal ini telah dikaitkan dengan material pengisi-ruang, juga dikenal sebagai scaffolds, yang berkemampuan meregenerasi atau memperbaiki kartilago (148). Transplantasi sel belum diusahakan dalam pengobatan OA.
Sebagaimana dalam tipe arthritis lainnya, dan berpikir akan kepentingan dari predisposisi genetik, bahkan terapi gen dapat menjadi sebuah alat berdaya guna untuk di masa depan. Namun, adalah tidak dapat dipercaya bahwa modifikasi strategi di masa depan seperti mutasi gen adalah relevan dapat digunakan untuk mengobati OA. Pendekatan yang lebih realistik adalah, kemungkinannya memodifikasi sinovium atau tulang subkhondral guna menguatkan sintesis matriks kartilago, menghambat pengerusakannya, atau kombinasi keduanya (149-151). Sayangnya, semua hasil yang ada saat ini hanyalah berupa model-model khewan atau berbagai studi in vitro; tidak ada satupun percobaan terapi gen klinis manusia terimplementasikan.
Sejumlah percobaan yang sedang berlangsung sedang menggali pemakaian terapi antisitokin. Tiga buah strategi saat ini menargetkan aktifitas sitokin katabolik meliputi: penghambatan proteinase yang mendegradasi protein matriks kartilago (152), penekanan jalur pensinyalan terinduksi-sitokin (153, 154) dan penghambatan apoptosis khondrosit menggunakan penghambat NO synthase atau caspase yang dapat dinduksi (155). Sebagaimana banyak proteinase yang terlibat dalam OA berbagi spesifisitas substrat dan epitop struktural yang bertumpang tindih, beberapa penghambat proteinase tampak efektif baik dalam model khewan maupun percobaan klinis manusia (156). Krezski dkk telah melaporkan, bagaimanapun, akhir-akhir ini bahwa PG-116800, suatu inhibitor MMP, tidak hanya tak-efektif dalam memodifikasi struktur matriks pada pasien-pasien OA namun kelihatannya memprovokasi sejumlah efek-efek merugikan bagi sistim muskuloskeletal (157). Strategi penekanan jalur pensinyalan terinduksi-sitokin meliputi: netralisasi sitokin, blokade reseptor, penghambatan pemrosesan sitokin, penghambatan sintesis atau aksi sitokin, dan terapi kombinasi (44, 158).
Dalam percobaan-percobaan yang sedang berlangsung saat ini, pemberian obat terutama adalah melalui terapi oral dan infus dan sangat jarang intraartikuler. Adalah memungkinkan bahwa kemungkinan terdapat banyak faktor yang membatasi efikasi obat anti-sitokin yang diberikan lewat jalur yang disebut belakangan, termasuk waktu-paruh yang lebih pendek. Hal ini mungkin merupakan alasan kenapa anakinra, sebuah antagonis reseptor IL-1, ditemukan efektif dalam memodifikasi progresi penyakit pada khewan-khewan model (159, 160) dan dalam sebuah 12-week open-label study pada OA lutut manusia simtomatik (161), namun tidak menyebabkan perbaikan statistik atas plasebo setelah sebulan dalam sebuah percobaan terkontrol follow-up (162). Dalam sebuah percobaan terkontrol acak prospektif, antagonis reseptor IL-1 otolog, bagaimanapun, ditemukan memperbaiki fungsi dan gejala pasien OA dibandingkan dengan plasebo (163).
Jalur intraartikuler, dalam hal apapun, telah terbukti merupakan sebuah sarana memuaskan bagi pasien dan dokter, sebagaimana diunjukkan oleh fakta bahwa, bersama-sama dengan derivatif-derivatif hyaluronat, hal ini telah menjadi terkenal di seluruh dunia (164-168). Banyak perusahaan farmasi kenyataannya cemas untuk mempercepat penelitian dalam wilayah ini, sebagaimana diunjukkan oleh banyaknya produk-produk menarik saat ini sedang diujikan pada khewan dan dalam percobaan-percobaan manusia fase I.