Rabu, 23 Desember 2009

Pathogenesis Infeksi-Infeksi Biofilm Jaringan: Tantangan dan Kemajuannya

Biofilm jaringan hidup hingga kini masih belum jelas diketahui, utamanya akibat dari hasil-hasil penggunaan teknik-teknik pengambilan sampel mikroba tradisional atau pemrosesan histologik yang merusak ruang-ruang spasial dalam organisasi mikroorganisme-mikroorganisme jaringan. Jadi, sifat dasar biofilm dari infeksi-infeksi jaringan tertentu menjadi seringkali tanpa disengaja terlewatkan atau tidak diperhitungkan. Secara umumnya dapat dikatakan bahwa studi tentang biofilm-biofilm jaringan manusia adalah masih tetap dalam tahapan awal. Bagaimanapun, dengan apa yang telah dicapaikan oleh metodologi-metodologi yang lebih baru, seperti fluorescent in situ hybridization dan endoscopic confocal laser scanning microcopy, yang mengombinasikan identifikasi mikroba-mikroba dalam hubungan-hubungannya satu sama lainnya dan dengan substratum mereka secara in situ dan melalui penglihatan langsung, membuat biofilm jaringan lebih mudah untuk diteliti , dan, jadinya, peran mereka dalam infeksi-infeksi pada manusia menjadi lebih nyata. Tinjauan ini menyimpulkan berbagai tantangan dalam studi tentang biofilm jaringan berfokus proses inflamasi, mengusulkan dua hal dengan dua sisi yang walaupun saling berlawanan, yaitu: model-model pathogenetik dari infeksi-infeksi biofilm jaringan, dan saran-saran dari berbagai arah bagi penelitian-penelitian dan pendekatan-pendekatan pengobatan yang penting.

Biofilm Jaringan berimplikasi luas bagi Infeksi-infeksi Jaringan Tubuh Manusia

Istilah biofilm telah digunakan untuk menjelaskan satu komunitas mikroba terorganisasi sempurna yang terbenam dalam satu matriks ekstraseluler (ECM) polimerik dan kaya karbohidrat serta melekat ke satu permukaan mati atau permukaan hidup. Kebanyakan bakteri dan jamur menunjukkan secara dominan dalam komunitas terorganisir seperti itu di alam dan memicu lebih dari 80% infeksi-infeksi jaringan lunak dan keras manusia. Perkembangan biofilm berjalan dalam dua tahap utama, yaitu: pertama, perlekatan mikroba ke satu permukaan dan, kedua, perlekatan sel-ke-sel dengan formasi struktur multiseluler. Proses-proses ini adalah, sedikitnya sebagian daripadanya, dikontrol oleh molekul-molekul quorum-sensing yang disebut alarmones, yang merupakan molekul-molekul komunikasi interseluler diproduksi oleh bakteria dan jamur dan analog dengan sitokin yang diproduksi oleh sel-sel mamalia. Kriteria klinis yang diajukan bagi infeksi-infeksi biofilm jaringan adalah termasuk: gejala dan tanda infeksi pada pasien-pasien dengan hasil kultur negatif, kronisitas atau kekambuhan dengan exaserbasi dan remisi yang periodik, dan, berrespon minimal atau tidak samasekali terhadap antimikroba.

Biofilm Jaringan adalah susah untuk diselidiki

Terdapat satu kesepakatan umum di antara para ahli mikrobiologi bahwa studi organisme-organisme biofilm adalah jauh lebih sulit dibandingkan dengan studi tentang sel-sel planktonic (hidup sendiri-sendiri). Sebagaimana halnya dengan aturan yang berlaku, maka biofilm adalah lebih sulit untuk tumbuh in vitro, lebih sulit untuk dihitung menggunakan hitungan unit pembentuk koloni (coloni forming unit/CFU) atau metabolic assays, dan lebih sulit (kalau tidak takmungkin) untuk memeriksanya dengan transmisi tradisional mikroskop cahaya. Sebagai contoh, tanpa menggunakan teknik-teknik pemisah sel yang khusus, penghitungan berdasar CFU terhadap jumlah organisme-organisme biofilm akan sangat kurang dipercaya karena hasil yang ditunjukkannya adalah: dalam satu koloni per agregat, yang tentunya akan berlawanan dengan hasil bagi penghitungan berdasar CFU yaitu satu koloni per sel mikroba. Lebih lanjut, penggunaan metabolic assays, seperti misalnya assay 2,3-bis(2-methoxy-4-nitro-5-sulfophenyl)2H-tetrazolium-5-carboanilide (XTT) yang sering digunakan untuk mengekstrapolasi kepadatan sel dalam biofilm jamur, adalah penuh dengan kesulitan karena aktifitas metabolik sel dan jumlah sel adalah hanya berhubungan secara linier dalam masa-masa awal pertumbuhan biofilm. Berbagai kesulitan dalam studi biofilm yang tertera di atas menyangkut ke semua jenis biofilm tubuh manusia, baik biofilm jaringan maupun biofilm permukaan abiotik. Bagaimanapun, studi biofilm jaringan selanjutnya dipersulit oleh dua faktor. Pertama, berkaitan dengan sampel jaringan manusia, sulitnya pecarian infeksi pada model-model binatang atau model-model jaringan yang dibuat secara in vitro yang menyediakan substrat bagi pertumbuhan biofilm, adalah tidak selalu tersedia. Aksesibilitas ke sampel-sampel jaringan manusia yang buruk mungkin menjelaskan kenyataan bahwa, dibandingkan dengan biofilm jaringan manusia, biofilm jaringan pada binatang telah dapat dikarakterisasikan lebih baik. Kedua, sejak ketika jaringan dapat diambil sampelnya untuk studi, teknik-teknik preservasi jaringan haruslah mampu menghindarkan timbulnya distorsi biofilm. Karena ECM dengan kandungan mukopolisakarid umumnya mengalami kolaps setelah fiksasi dengan bahan dasar aldehid dan mengalami dehidrasi, spesimen-spesimen mungkin harus di simpan beku atau dipindahkan dalam satu cairan salin fisiologis segera untuk imejing. Beberapa peneliti menyarankan bahwa fiksasi jaringan dalam cairan Carnoy nonaqueous mampu mempertahankan lapisan mukopolisakarid. Namun begitu, bagaimanapun, berdasarkan fakta bahwa hidrofobisitas dan solubilitas ECM dapat bervariasi dalam biofilm bergantung pada substratum, yaitu dalam hal level pematangan atau tipe mikroorganismenya, fiksasi aldehid standar dapat berhasil digunakan dengan beberapa jenis biofilm sebelum pelaksanaan imejing.

Fluorescent in situ hybridization (FISH) adalah merupakan satu assay diagnostik molekuler yang terbukti baik, sering digunakan dalam laboratorium-laboratorium pathologi untuk mendeteksi dan membedakan antara mikroorganisme-mikroorganisme dalam potongan-potongan histologis. FISH dapat membedakan organisme dalam level spesies atau lebih tinggi (misalnya, genus, filum atau domain) dan memungkinkan secara bersamaan mengidentifikasi hingga tujuh spesies mikroba berbeda dalam satu sampel. Satu keterbatasan FISH adalah bahwa ia menggunakan probes bertarget ribosomal (r)RNA dan, jadinya, kesensitifitasannya terbatas oleh status metabolik mikroorganisme dalam biofilm jaringan, karena organisme-organisme yang inaktif secara metabolik adalah umumnya dipertimbangkan memiliki isi ribosomal seluler yang lebih rendah. Keterbatasan ini mungkin menjelaskan inaksesibiltas relatif dari probe FISH dalam daerah-daerah biofilm yang hening secara metabolik, yang padahal dapat diwarnai dengan baik dengan pewarna nuklir, seperti misalnya 4’-6-diamidino-2-phenyl-indole (DAPI). Bagaimanapun, aktifitas metabolik tidak berhubungan erat dengan isi ribosomal pada semua spesies mikroba, karena beberapa bakteri yang tumbuh lambat tetap mempertahankan isi ribosomal seluler yang tinggi, bahkan dalam kondisi aktifitas metabolik yang rendah. Untuk mendeteksi sel-sel yang aktif secara metabolik lebih akurat, probe-probe FISH oligo-nucleotide dapat disintesis yang berikatan ke regio-regio intergenic spacer dalam gen-gen rRNA, yang dengan cepat mengalami degradasi selama maturasi ribosom dalam bakteri. Jadi, probe-probe ini akan mendeteksi sel-sel yang hanya memroduksi rRNA baru (misalnya, sel-sel yang aktif secara metabolik) pada saat pengambilan sampel dilakukan. Karena pemrosesan histologis tradisional spesimen-spesimen jaringan untuk FISH memerlukan fiksasi dan sejumlah langkah pencucian yang tak diragukan lagi dapat menghilangkan atau merusak sejumlah bermakna biofilm, maka kombinasi FISH dengan confocal laser-scanning microscopy dari spesimen-spesimen segar atau beku mungkin menjadi lebih cocok dipakai dalam studi biofilm jaringan. Pada kenyataannya, kombinasi FISH dengan confocal imaging, diikuti oleh image analysis menggunakan perangkat lunak stereologik atau spatial statistic, terbukti menentukan teknologi-teknologi yang sebenarnya dalam pendeskripsian pola-pola dari lokalisasi spasial mikroorganisme yang bertumbuh dalam lingkungan biofilm, dan mungkin menemukan aplikasi-aplikasi yang sama dalam biofilm-biofilm jaringan.

Dalam situasi di mana dijumpai kesulitan dalam mengakses jaringan, maka teknologi yang lebih baru seperti misalnya laser-scanning confocal endoscopy, yang memungkinkan evaluasi mikroskopis dari jaringan hidup tanpa perlu untuk biopsi atau pemrosesan histologik, mungkin dapat digunakan bagi permasalahan ini. Meskipun one-photon excitation laser-scanning microscopy konvensional adalah umumnya cukup untuk analisis imej biofilm; two-photon excitation laser-scanning microscopy memungkinkan satu penetrasi yang lebih dalam ke biofilm jaringan dan penguatan resolusi. Akhirnya, atomic force microscopy yang merupakan satu teknik imejing sampel yang secara esensiil nondestruktif dengan kemampuan resolusi berskala nano (nanoscale), telah digunakan untuk studi sifat-sifat (properties) ultrastruktur dan nano-mekanik dari biofilm abiotik dan mungkin, akhirnya, menemukan beberapa aplikasi dalam studi biofilm-biofilm jaringan.

“Perburuan” terhadap ECM

Keberadaan satu ECM, atau glycocalyx, adalah dipertimbangkan menjadi penanda umum dari satu biofilm. Dalam kebanyakan biofilm yang dipelajari hingga kini, komposisi dan regulasi biosintetik dari ECM masih tetap menjadi tujuan penelitian yang sulit difahami dan mewakili “sisi gelap” dari biologi biofilm. Meski hanya bagian visualisasi dari ECM telah menjadikan problematika, namun sementara itu beberapa studi telah mempertimbangkan observasi mikroskopik dari “blebs” di bawah phase-contrast microscopy dan mewarnainya dengan pewarna-pewarna spesifik untuk karbohidrat, seperti Alcian blue, adalah sebagai bukti tak langsung bagi keberadaan ECM.

Bagian dari masalah dalam mengidentifikasi ECM biofilm jaringan in situ adalah kemampuan sensitifitasnya terhadap pemrosesan histologik standar, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan, sebagiannya lagi, adalah karena kenyataan bahwa kuantitas dan komposisinya dapat bervariasi pada banyak lokasi jaringan bergantung pada isyarat-isyarat lingkungan, berrentang dari ketersediaan nutrien hingga stimulus mekanik. Sebagai contoh, adalah telah diketahui jelas bahwa di bawah kondisi-kondisi statik, sintesis matriks oleh pathogen-patogen jaringan tertentu adalah minimal. Dengan demikian, secara keseluruhan, adalah tidak mengejutkan bahwa pembentukan biofilm adalah lebih suka terjadi pada lokasi jaringan dengan adanya aliran cairan atau motilitas jaringan. Sebagai tambahannya, komposisi dari ECM biofilm jaringan adalah sedemikian bawaannya yaitu lebih kompleks dibandingkan dengan biofilm-biofilm permukaan abiotik, berdasarkan terhadap fakta bahwa glikoprotein-glikoprotein, asam-asam nukleat dan sel-sel mungkin berpartisipasi dalam perkembangannya.

Untuk beberapa mikroorganisme bakteri dan jamur seperti, S. aureus, P. aeruginosa, atau Cryptococus neoformans, komposisi ECM mereka telah dapat dikarakterisasi dengan baik. Sebagai contoh, pada staphylococci, kandungan utama ECMnya adalah satu β-1,6-linked N-acetylglucosamine polymer, yang sintesisnya diregulasi oleh ica operon. Beberapa bakteri gram-negatif adalah dikenal menyekresi biosurfaktan lipid sebagai bagian dari matriks, yang mana memungkinkan biofilm mencair dan menggunakan substrat khusus itu agar menjadi tak dapat dicapai. Untuk pathogen lainnya, bukti taklangsung menampakkan bahwa cocoknya satu campuran khusus dari polisakarid dalam ECM. Sebagai contoh, sejumlah glukosa mendekati 20% dari berat kering polisakharid ekstraseluler dalam biofilm-biofilm Candida albicans, di mana mannose ditemukan dalam jumlahnya yang lebih sedikit. Tambahannya, biofilm-biofilm Candida adalah mudah dihancurkan oleh pengobatan dengan satu β-1,3-glucanase, yang menyarankan bahwa glukosa-lah yang membentuk satu polimer glukan extraselulernya. Dalam mendukung akan hal ini, satu protein glucan cross-linked telah menunjukkan bahwa ia penting dalam perkembangan biofilm dan data terakhir menyarankan bahwa ia mungkin “shed” dari dinding sel selama sintesis ECM. Telah dapat dikonfirmasikan keberadaan dari β-glucan dalam ECM dan telah pula mampu mengarakterisasi distribusinya di dalam satu jaringan secara in situ menggunakan satu double immunolabelling technique diikuti dengan confocal microscopy.

Biofilm Permukaan Abiotik dapat memberikan penjejakan (clues) bagi Biofilm Jaringan

Pembentukan biofilm pada permukaan abiotik dan permukaan jaringan nampaknya diatur melalui proses-proses yang sama dalam pathogen-pathogen jaringan tertentu. Sebagai contoh, kemampuan untuk otoagregat in vitro adalah secara positif dikaitkan dengan kemampuan pathogen-pathogen jaringan, seperti misalnya Streptococcus, Proteus dan Lactobacillus, untuk melekat ke epithel inang. Pembentukan biofilm pada satu jaringan oleh spesies Proteus ditandai oleh ekspresi fibriae yang mengawali terjadinya agregasi bakterial, yang mana terjadi sama sebagaimana pebentukan biofilm pada penutup gelas atau permukaan plastik. Hal yang sama, protein-protein permukaan yang spesifik dari Escherichia coli memungkinkan mikroorganisme ini untuk membentuk biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan epithel. Akhir-akhir ini, Candida alcohol dehydrogenase telah menunjukkan perannya dalam pembentukan biofilm, yang bekerja sebagai satu pengatur negatif baik dalam model-model jaringan maupun abiotik. Adalah juga jelas diketahui bahwa, pola-pola Streptococcus pneumonia gene-expression adalah hampir identik dalam biofilm jaringan dan biofilm abiotik, yang hal ini mempertimbangkan bahwa terdapat keberbedaan sangat besar dalam kondisi-kondisi pertumbuhan mikroba dari dua lokasi ini. Berdasarkan dari informasi ini, adalah beralasan untuk memerkirakan bahwa, setidaknya untuk beberapa pathogen, kemungkinan terdapat jalur-jalur pengaturan yang mengontrol pertumbuhan biofilm pada permukaan abiotik maupun permukaan jaringan. Dengan demikian, pengetahuan pada jalur-jalur pengaturan biofilm-biofilm biomaterial dapat menyediakan jejak-jejak penting sekitar biofilm jaringan.

Respon Inang dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan Lunak

Satu gambaran yang menonjol dari infeksi-infeksi jaringan permukaan yang ditandai oleh biofilm-biofilm jaringan adalah merupakan satu respon inflamasi dengan banyak sel, molekul dan gambaran histologik dari satu respon akut terhadap infeksi. Penanda umum histologik dari lesi-lesi superfisial ini termasuk destruksi bermediasi enzim hidrolitik dari cell junctions, lepasnya perlekatan keratinosit prematur dari satu dengan lainnya dan shedding (achantolysis), edema interseluler (spongiosis) dan, akhirnya, sejumlah besar netrofil menembus lapisan epithel dan masuk ke dalam kantong-kantong biofilm. Gambaran histopatologik lainnya termasuk nekrosis superfisial dan kantong-kantong ulserasi terpaket dengan komunitas mikroba yang mana, umumnya, tidaklah berpenetrasi dalam-dalam ke jaringan. Netrofil ada dalam jumlah banyak di dalam biofilm-biofilm jaringan manusia secara in vivo. Apakah mereka menjadi secara aktif direkrut oleh inang atau oleh protein-protein mikroba, hingga saat ini belum diketahui jawabannya. Tambahannya, aktifasi fungsional mereka dan status fagositiknya di dalam biofilm nampaknya bervariasi, dengan fagositosis aktif terdeteksi berada di dalam biofilm-biofilm dari spesies-spesies bakteri tertentu namun tidak pada yang lainnya.

Pathogenesis dari Infeksi-Infeksi Biofilm Jaringan

Meskipun biofilm-biofilm telah dapat terdeteksi pada banyak lokasi-lokasi jaringan, kemampuan mereka memicu penyakit pada manusia masih tetap menjadi satu masalah untuk penelitian-penelitian aktif. Dari banyak hal yang telah diketahui, yaitu bahwa jaringan di bawah biofilm masih tetap utuh dan tidak diinvasi oleh mikroorganisme, menunjukkan bahwa kemungkinan pembentukan biofilm merupakan hal sekunder terhadap satu respon imun menyimpang terhadap self-antigent, adalah masih ada. Memang, adalah masuk akal bahwa pelepasan nutrien dari lisisnya sel-sel epitel yang terdorong secara imunologis mungkin mendorong pertumbuhan biofilm mikroorganisme. Lebih lanjut, pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi secara lokal dapat bekerja sebagai faktor-faktor pertumbuhan spesifik bagi biofilm. Jadi, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan terbentuk sebagai satu konsekuensi dari inflamasi, terpicu awalnya oleh stimuli yang takterkait biofilm.

Bagaimanapun, studi-studi mikroskopik lainnya telah menunjukkan bahwa biofilm-biofilm kolonik adalah biasanya dihubungkan dengan arsitektur jaringan abnormal secara histologis dan, jadinya, mungkin menginisiasi kerusakan jaringan lokal. Dengan demikian, adalah memungkinkan bahwa biofilm-biofilm jaringan menyediakan satu lingkungan perlindungan bagi mikroorganisme dari mekanisme pertahanan bawaan, yang mana mungkin mendorong persistensi dan, akhirnya, invasi mereka ke dalam jaringan inang, kemudian memicu kerusakan jaringan langsung. Faktanya, kemampuan dari pathogen-pathogen tertentu untuk membentuk biofilm jaringan lunak mungkin menunjukkan kemampuan mereka untuk menginvasi dan mendestruksi jaringan lunak. Satu hubungan dekat antara pembentukan biofilm dan invasi jaringan adalah juga menyarankan dengan kuat untuk pathogen seperti ini melalui data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan invasif dan perkembangan biofilm diatur oleh jalur-jalur pe-sinyalan umum.

Usulan Pathogenesis Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan berfokus Reaksi Inflamasi

Dua model pathogenesis berfokus inflamasi dari infeksi-infeksi biofilm jaringan diajukan dalam bagian tulisan berikut di bawah ini, yang mungkin dapat membantu menjelaskan potensialitas dari luasnya peranan biofilm-biofilm jaringan dalam penyakit-penyakit pada manusia. Besarnya kemungkinan dari salah satu dari dua skema pathogenetik dimaksud mungkin bergantung pada karakteristik-karakteristik lokasi jaringan, seperti tipe jaringan dan fungsi khusus yang dimilikinya, dan pada karakteristik virulensi mikroorganisme atau, lebih miripnya, pada keduanya sekaligus.

Biofilm Jaringan dapat memicu Respon Proinflamasi berlebih yang mengawali Kerusakan Jaringan Inang Taklangsung

Akhir-akhir ini telah dihipotesiskan bahwa kerusakan jaringan permukaan akibat dari biofilm utamanya adalah dari satu imun menyimpang dan respon infamasi terhadap agregat mikroba, daripada kerusakan langsung dari enzim-enzim hidrolitik mikroba. Faktanya, telah diketahui bahwa, netrofil menyumbang bagi patologi paru terinduksi Pseudomonas melalui penggunaan berlebihan sekret arsenal toksik mereka seperti agen-agen oksidatif yang, meskipun menargetkannya bagi perlawanan terhadap biofilm bakteri, adalah malah merusak jaringan inang karena adanya aksi penamengan bakteri (bacteria-shielding) dari ECM. Adalah juga telah diusulkan bahwa, mesin pembangkit yang mendorong eksudat inflamasi khronik (otorrhea) pada otitis media khronik adalah biofilm bakteri. Bagaimanapun, bukanlah berbagai mekanisme oleh biofilm-biofilm jaringan mana yang memengaruhi perkembangan kejadian-kejadian inflamasi, demikian juga bukanlah perubahan-perubahan khusus penyakit (disease-spesific) dalam komunitas-komunitas biofilm yang telah menentukan infeksi-infeksi biofilm jaringan ini.

Biofilm Jaringan mungkin me-block Respon Inflamasi Awal Inang yang mengawali Sel Imun bawaan mengalami Paralysis & mendorong Pertumbuhan Biofilm & Invasi Jaringan

Peran penting sitokin-sitokin proinflamasi dalam pertahanan inang melawan banyak pathogen-pathogen jaringan telah secara tegas ditunjukkan dalam sejumlah studi-studi in vitro dan binatang. Sitokin-sitokin proinflamasi adalah diperlukan untuk memulaikan pengaturan (upregulation) sejumlah reseptor-reseptor pengenalan pola mikroba (microbial pattern-recognition receptors) dalam sel-sel imun bawaan, seperti juga untuk aktifasi kebanyakan fungsi-fungsi mikrobisidal. Berdasar model pathogenesis ini, komponen-komponen biofilm mungkin melemahkan respon inflamasi jaringan terhadap infeksi dan mengganggu fungsi fagositik sel, menyediakan satu keuntungan pertumbuhan awal dari biofilm organisme.

Dilaporkan bahwa biofilm H. influenza ditandai oleh level-level tinggi permukaan sel terkait dengan lipooligosaccharides berkandungan phosphorylcholine, dengan penurunan potensi sebagai agonis inflamasi selama masa awal infeksi, sehingga memungkinkan perkembangan yang stabil dari komunitas biofilm. Hal yang sama, biofilm-biofilm C. albicans menunjukkan adanya penurunan regulasi dari sekresi kebanyakan sitokin-sitokin proinflamasi oleh sel-sel mononuklear darah perifer, dan penambahan sel-sel ini ke biofilm memiliki satu efek stimulasi, daripada efek penghambatan, pada pertumbuhan biofilm secara in vitro. Akhirnya, adalah diusulkan bahwa, meski sitokin-sitokin proinflamasi tidak dipengaruhi oleh komponen-komponen biofilm, sitokin-sitokin anti-inflamasi, seperti misalnya IL-10 dan TGF-B, mungkin secara substansiil akan terstimulasi. Sebagai contoh, untuk sitokin-sitokin seperti itu dapat diinduksi oleh polisakarid-polisakarid kapsuler C. neoformans. Secara potensiil, polisakarid-polisakarid ini adalah sangat penting bagi pathogenesis biofilm dalam infeksi-infeksi, karena sekresi mereka mendorong perkembangan biofilm.

Tantangan Pengobatan dalam Infeksi-infeksi Biofilm Jaringan

Uji suseptibilitas antimikroba dari model-model biofilm in vitro telah menunjukkan tingkat kemampuan hidup bakteri setelah pengobatan dengan konsentrasi 100 – 1000 kali MIC bagi bakteri dalam satu kultur suspensi. Bermacam jenis mekanisme pertahanan antimikroba telah ditunjukkan memainkan satu peran dalam fenotip biofilm ini pada banyak mikroorganisme. Mekanisme-mekanisme ini adalah termasuk inaktifasi dari antimikroba oleh ECM lewat reaktifitas atau adsorpsi, meningkatkan produksi enzim-enzim penghancur antimikroba, meningkatkan respon-respon stres terinduksikan densitas tinggi (high-density-induced stress responses), menurunkan angka pertumbuhan, memfasilitasi transfer gen plasmid dan menginduksi gen-gen pemompaan keluar jenis obat berganda (multidrug efflux-pump). Semua dari mekanisme-mekanisme ini adalah dipertimbangkan sebagai bagian dari satu fenotip biofilm-specific, yang mana adalah diinduksi dalam satu subpopulasi dari komunitas multiseluler oleh faktor-faktor terkait biofilm, seperti misalnya stres-stres lingkungan yang bergantung pembatasan nutrien dan bergantung densitas (nutrient limitation and density-dependent environmental stresses). Sejumlah studi telah juga menyarankan bahwa jumlah organisme-organisme resisten di dalam satu biofilm mungkin adalah kecil saja selama pemaparan awal dengan antibiotika, namun dengan pengulangan pemaparan tersebut terhadap klas antimikroba yang sama secara cepat mengarahkan sel-sel yang resisten untuk kembali melipatgandakan (repopulate) biofilm. Hasil akhirnya adalah, terjadinya perkembangan dari generasi kedua atau ketiga biofilm-biofilm, yang adalah jauh lebih resisten dibandingkan dengan biofilm awal. Secara klinis, hal ini berimplikasi bahwa pengobatan-pengobatan antimikroba tradisional yang menargetkan sel-sel mikroba tunggal di dalam biofilm-biofilm akan tidak pernah menjadi dapat mengeliminasikannya. Hal ini mungkin juga benar adanya bagi banyak pendekatan teraputik nontradisional, seperti misalnya radiasi sitosidal berwahanakan antibodi (antibody-delivered cytocidal radiation), karena bahkan dengan pendekatan-pendekatan ini adalah tidak sepenuhnya mampu mengeradikasi biofilm dan mungkin mengantagonis berbagai efek obat-obat anti jamur tradisional.

Dengan demikian, telah disarankan bahwa, terapi-terapi antibiofilm yang menargetkan keseluruhan biofilm sebagai satu organisme multiseluler kompleks atau pencegahan yang unik bagi proses-proses biofilm-specific, adalah dibutuhkan untuk melawan infeksi-infeksi biofilm. Berbagai arah dalam terapi di masa depan dapat termasuk sintesis kimia dan penggunaan molekul-molekul quorum-sensing untuk mencegah perlekatan sel mikroba dengan inang dan sel mikroba dengan sel mikroba lainnya., atau mendorong pelepasan perlekatan sel dari jaringan atau bifilm-biofilm. Sejak diketahuinya beberapa molekul quorum-sensing (alarmones) memainkan satu peran dalam memancing sel-sel (priming cells) untuk berresistensi terhadap antimikroba, pengunaan inhibitor-inhibitor untuk sintesis atau aktifitas molekul-molekul ini dapat digunakan dalam mengubah biofilm menjadi lebih resisten terhadap antimikroba konvensional. Berbagai pendekatan potensiil lainnya adalah termasuk penemuan inhibitor-inhibitor dari biosintesis ECM atau mengembangkan strategi-strategi untuk mendorong probiotik biofilm yang menghalangi perkembangan biofilm-biofilm pathogenik. Sebagai tambahannya, kombinasi pengiriman secara lokal teraputik-teraputik proinflamasi berbasis sitokin dengan berwahanakan obat-obat antimikroba tradisional mungkin dapat menjadi satu pendekatan yang beralasan bagi pengobatan di masa depan. Sebagai contoh, agen-agen yang mendorong invasi sel-sel fagositik ke dalam biofilm, dalam kombinasinya dengan obat-obat pengurang glycocalyx, mungkin dapat meningkatkan keefektifitasan pengobatan infeksi-infeksi jaringan terkait biofilm. Sejalan dengan hal ini pula, efek-efek menguntungkan dari satu cairan pembersih berbasis granulocyte-macrophage colony-stimulating factor juga dapat digunakan.

Selasa, 01 Desember 2009

Perkembangan Mutakhir Teknologi & Teknik Bedah Tulang Belakang (II): Vertebra Lumbal

PENYAKIT VERTEBRA LUMBAL

Pengelolaan di bidang bedah untuk masalah-masalah vertebra lumbal juga banyak mengalami kemajuan, di mana di antaranya meningkatnya penggunaan teknik bedah invasif minimal (mis. IDET [intradiscal electrothermal therapy]); augmentasi korpus vertebra (mis. kifoplasti, vertebroplasti); berbagai pengganti bahan sulihan tulang dan ekstender (mis. DBM, BMP); dan yang paling mutakhir adalah penggantian diskus lumbal total.

Degenerasi Diskus Lumbal

Degenerasi diskus lumbal dapat merupakan diagnosis yang sulit, sebagian karena terdapat silang pendapat sekitar beberapa masalah dalam penggunaan modalitas diagnostik (mis. diskografi). Pengelolaan awal haruslah berupa tindakan konservatif; yang bilamana gagal, tindakan yang lebih agresif dapat dicarikan. Terhadap kasus-kasus yang refrakter terhadap terapi konservatif, maka beberapa variasi teknik penanganan di bidang bedah dapat digunakan.

Teknik IDET merupakan prosedur bedah yang telah dikembangkan secara poliklinis dan bersifat invasif minimal dan digunakan beberapa tahun belakangan untuk menangani pasien-pasien dengan nyeri punggung bawah kronik yang disebabkan oleh disrupsi diskus intervertebra (mis. robeknya annulus, herniasi diskus minimal). Satu probe pemanas kecil secara perkutan diinsersikan ke dalam diskus dan melalui alat bantu navigasi fluoroskopi ditujukan langsung pada bagian-bagian robeknya annulus yang secara potensial menimbulkan rasa nyeri. Alat kemudian dipanaskan hingga dicapai suhu yang diharapkan untuk mendapatkan denaturasi kolagen, elaborasi serat-serat nosiseptif, dan memodulasi proses inflamasi. Dalam satu percobaan yang dilakukan secara acak prospektif oleh Pauza dkk mendapatkan lebih dari 75% nyeri berkurang pada 50% populasi pasien setelah dilakukan IDET. Freedman dkk dan Saal & Saal melaporkan satu angka kegagalan sebesar 50% pada pasien penerima terapi IDET saat 2 tahun mereka diikuti. Secara umum, IDET dapat digunakan pada pasien-pasien tertentu yang dengan nyeri menetap akibat disrupsi diskus internal setelah gagal dalam terapi konservatif sedikitnya dalam waktu 6 bulan.

Fusi spinal dapat juga digunakan untuk mengobati degenerasi diskus lumbal. Meskipun banyak teknik fusi yang baru telah dikembangkan, seperti fusi sirkumferensial 360º, posterior lumbar interbody fusion (PLIF), anterior lumbar interbody fusion (ALIF), namun Kelompok Studi Swedia untuk Vertebra Lumbal tidak menemukan salah satu teknik tersebut yang lebih baik secara bermakna dibanding teknik lainnya. Teknik manapun yang digunakan akan memiliki kesamaan dalam tujuan dasar yang ingin dicapai yakni mendapatkan fusi tulang yang solid antar vertebra yang dituju. Fusi dimaksud dicapai melalui penyulihan tulang dan / atau pencangkokan bone extender dan berbagai pengganti tulang pada vertebra baik melalui satu teknik pendekatan anterior (interbodi saja) dan / atau pendekatan posterior (interbodi dan intertransvers) dengan atau tanpa menggunakan implan. Melakukan fusi vertebra bertujuan mengurangi nyeri punggung bawah melalui pengurangan gerakan pada satu segmen gerak vertebra penimbul nyeri. Sayangnya, tindakan fusi membawa satu peningkatan risiko timbulnya degenerasi vertebra sebelah menyebelahnya dan mungkin akan membutuhkan intervensi bedah kembali di kemudian hari. Berdasarkan studi lainnya yang lebih besar dan terdisain baik oleh Kelompok Studi Swedia untuk Vertebra Lumbal, saat 2 tahun setelah fusi lumbal, 63% pasien melaporkan hasil yang baik atau memuaskan dalam hal pengurangan nyeri, angka ketunaan, peningkatan fungsi umum, dan percepatan kembali kerja.

Prosedur yang terbukti sukses tersebut di atas, dapat terdiri dari beberapa teknik pendekatan atau terapi, termasuk di dalamnya melalui pendekatan anterior saja, posterior saja, atau kombinasi pendekatan anterior-posterior. Prosedur dapat dilakukan dengan atau tanpa instrumentasi. Dengan pendekatan instrumentasi, berbagai implan interbodi atau screw dan rod pedikel dapat digunakan. Sulihan tulang bersumber orang lain ataupun dari diri sendiri, DBM, BMP, merupakan pilihan-pilihan yang tersedia, di mana penggunaannya secara khusus tergantung dari pengalaman atau pendidikan masing-masing ahli bedahnya. Dengan begitu banyak pilihan, adalah sulit untuk menentukan teknik pendekatan pilihan fusi mana yang paling baik. Hingga kini masih disepakati bahwa iliac crest bone graft (ICBG) merupakan baku emas untuk fusi. Bila jumlah tulang sulihan diperkirakan tidak mencukupi, maka dapat diaugmentasikan baik dengan DBM ataupun BMP. Meskipun masih kurangnya studi-studi baru yang membuktikan efikasi bahan pengganti sulihan tulang, di masa datang produk-produk tersebut mungkin akan mengurangi penggunaan ICBG dan komplikasi potensialnya dan nyeri pascaoperasinya.

Dibandingkan dengan pelaksanaan prosedur terbuka klasik, teknik pendekatan laparoskopik pada vertebra lumbal semakin meningkat penggunaannya utamanya karena dapat mengurangi nyeri pascaoperatif, lama waktu rawat inap, dan berkurangnya kehilangan darah. Meskipun terdapat banyak keuntungan potensial dari pembedahan laparoskopik, beberapa peneliti melaporkan penggunaan obat bius pascaoperasi yang sama, biaya rawat inap yang meningkat, dan lebih banyak komplikasi intraoperatif, termasuk ejakulasi retrograd.

Teknik penggantian diskus intervertebra lumbal semakin banyak digunakan sebagai satu pilihan terapi bagi penyakit degeneratif diskus. Prosedur ini telah secara ekstensif digunakan di Eropa dan saat ini pemakaiannya telah diijinkan di Amerika Serikat. Di seluruh dunia, penelitian-penelitian klinis yang mendukung efikasinya telah semakin banyak. Penggantian diskus intervertebra lumbal secara prinsip adalah sama sebagaimana halnya dengan penggantian sendi lain dalam hal bahwa sendi yang rusak dan menimbulkan nyeri dibuang dan digantikan dengan sendi artifisial yang dapat bergerak. Pada vertebra lumbal, tujuannya adalah membuang diskus yang rusak dan yang menimbulkan nyeri dan menggantikannya dengan satu implan berbahan metal-plastik yang didesain untuk dapat menyediakan adanya gerakan yang sama sebagaimana oleh diskus normal.

Keuntungan teoritis penggantian diskus lumbal, dibandingkan dengan fusi lumbal, adalah dua kalinya. Pertama, diskus yang diganti memungkinkan dan mempertahankan gerakan pada level degenerasi. Kedua, alat pengganti menurunkan penjalaran stres ke level menyebelah yang secara potensial mencegah timbulnya percepatan degenerasi segmental. Jadi tujuannya adalah sama dengan fusi spinal dalam mereduksi nyeri dan mereduksi berbagai komplikasi potensial jangka panjang. Meskipun telah digunakan secara ekstensif di Eropa, kemajuan yang menjanjikan bagi pasien-pasien LBP ini masih memerlukan banyak perhatian khusus termasuk: implan berpotensi berubah posisi, wear debris, dan kebutuhan akan adanya bedah revisi di belakang hari. McAfee dkk memelopori studi prospektif acak dan memaparkan adanya kemajuan dalam banyak pengukuran hasil luaran fungsional dengan arthroplasti diskus yang terutama digunakan untuk mengobati nyeri punggung mekanik dan mencapai keberhasilan dibandingkan dengan apa yang dihasilkan melalui tindakan fusi interbodi lumbal dengan cage dan BMP atau interbodi dengan sulihan tulang sendiri dan instrumental screw.

Alternatif lain dari fusi spinal untuk pengobatan penyakit degenerasi diskus adalah penggunaan peralatan implan yang dapat tetap mempertahankan gerakan daerah posterior. Satu peralatan implan tersebut, sebagai contoh, Dysnesys dynamic stabilization system (Zimmer Spine, Minneapolis, Minn) saat ini telah mendapatkan ijin pemakaiannya dari FDA di Amerika Serikat. Dysnesys merupakan pilihan atraktif oleh karena ia dapat mempertahankan gerakan fisiologis vertebra lebih baik daripada tindakan fusi sementara ia tetap dapat mempertahankan stabilitas.

Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal

Kifoplasti dan vertebroplasti merupakan prosedur bedah perkutan invasif minimal yang digunakan dalam penanganan fraktur kompresi korpus vertebra akibat osteoporosis atau tumor. Tujuan dari kedua prosedur adalah sebagai penyedia stabilitas korpus guna mengurangi nyeri yang disebabkan oleh fraktur. Stabilitas dicapai melalui penempatan berbagai material seperti polimetilmetakrilat (PMA) atau semen tulang ke dalam korpus vertebra melalui satu kanula. Tulang korpus distabilisasi, yang mana pula kadang sebagian dari hilangnya tinggi korpus akibat fraktur kompresi dapat dikembalikan. Telah dilaporkan bahwa 67 – 100% pasien mengalami perbaikan nyeri mulai tingkat baik hingga sangat baik segera setelah selesai prosedur. Tinggi korpus sebagian dapat dipertahankan pada sebagian besar pasien. Komplikasi yang jarang terjadi melalui prosedur ini adalah seperti ekstrusi semen masuk ke dalam sistim vena dalam kanal spinal yang secara potensial dapat menimbulkan berbagai keadaan yang membahayakan.

BAHAN PENGGANTI SULIHAN TULANG

Fusi spinal tetap merupakan satu cara tersering digunakan dalam mendapatkan stabilitas dan penurunan nyeri dalam bedah tulang belakang. Berbagai metoda dalam mendapatkan fusi yang adekuat adalah seperti dekortikasi tulang inang dan peletakan material sulihan. Tulang otolog tetap merupakan baku emas untuk prosedur fusi spinal yang memiliki tiga buah kemampuan penting yaitu: sebagai sumber sel-sel osteogenik, memiliki struktur osteokonduktif, dan matriks osteoinduktif yang membantu dalam efektifitas penyembuhan tulang mengawali suatu fusi yang solid. Namun, bagaimanapun, pengambilan tulang otolog memiliki satu angka morbiditas yang tinggi pada lokasi donor dan menambah lama waktu operasi. Jadi, untuk pengaplikasiannya dalam bedah tulang belakang, usaha-usaha yang intensif telah diarahkan menuju pengembangan bahan-bahan alternatif seperti DBM, BMP guna mengganti atau menambah tulang otolog.

DBM telah tersedia sedikitnya dalam 10 tahun terakhir ini dan merupakan bentuk allograft terproses yang popular. DBM tersedia melalui proses menggunakan teknik ekstraksi asam yang menghasilkan dekalsifikasi tulang kortikal, meninggalkan kolagen, protein-protein nonkolagen, dan berbagai faktor pertumbuhan. Ia dapat diproses menjadi bentuk putty, gel, atau sebentuk lembaran fleksibel, dan dapat digunakan bersamaan dengan sulihan tulang otolog dalam satu komposit fusi spinal. Ia lebih banyak bersifat osteoinduktif dan osteokonduktif dan tidak digunakan secara sendiri-sendiri. DBM merupakan ekstender sulihan tulang (bukan merupakan pengganti) dan penggunaannya diperuntukkan bagi usaha mendapatkan angka fusi yang lebih tinggi dengan sulihan tulang otolog yang lebih sedikit.

Belakangan ini telah dijumpai ledakan dalam jumlah penelitian ilmiah dasar dan berbagai aplikasi klinis faktor-faktor pertumbuhan rekombinan asal manusia atau BMP. Boden dkk telah menunjukkan adanya peningkatan angka fusi melalui penggunaan BMP asal sapi (100%) dibanding dengan sulihan otolog (62%) dalam satu model fusi intertransvers posterolateral kelinci. BMP-2 dan OP-1 (BMP-7) telah menunjukkan dapat menginduksi dan membentuk pertumbuhan tulang baru, dan banyak produk-produk lain sedang diujikan. Telah dilakukan uji pada khewan secara ekstensif, dan pecobaannya pada manusia sedang dilaksanakan. BMP-2 telah digunakan dan diletakkan ke dalam cangkang fusi interbodi berbahan titanium dengan hasil yang memuaskan (fusi solid didapat pada keseluruhan dari 11 pasien dalam satu studi perdana). Meskipun banyak hasil menunjukkan hal positif dan mungkin dapat mengurangi kebutuhan akan pengambilan sulihan tulang otolog, adalah penting untuk dicatat bahwa penggunaan BMP akan menambah biaya dari prosedur fusinya sendiri yang memang telah mahal. Sebelum pemakaiannya dipergunakan dalam komunitas tulang belakang, maka BMP haruslah telah terbukti efektif dari segi pembiayaan. Pengembangan dari pengganti sulihan tulang dan ekstendernya merupakan satu di antara wilayah penelitian yang paling bergairah dan diselidiki dalam bedah tulang belakang.

Perkembangan Mutakhir Teknologi & Teknik Bedah Tulang Belakang (I) : Servikal

Degenerasi Diskus Vertebra Servikal

Degenerasi diskus servikal, yang kejadiannya lebih jarang dibanding degenerasi diskus lumbal, sering mengakibatkan nyeri leher kronik. Terapi konservatif menggunakan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), steroid, tirah baring, dan traksi leher haruslah mula-mula dilakukan, karena hasil luaran tindakan bedah untuk nyeri leher kurang dapat dipastikan keberhasilannya dan bila memungkinkan harus dihindarkan. Setelah dijalankannya penanganan konservatif dan dengan hasil yang tidak memuaskan, maka kemungkinan dijalankannya penanganan jenis lainnya harus dicarikan. Di samping fusi spinal, terdapat beberapa pilihan terapi lainnya dalam penanganan penyakit degenerasi diskus servikal.

Penggantian diskus intervertebra servikal, yang dalam beberapa hal telah menunjukkan keberhasilan, kepopulerannya telah semakin meningkat. Prosedur ini memiliki riwayat yang lebih lama di Eropa, namun beberapa percobaan sedang dilaksanakan di banyak pusat-pusat penelitian di Amerika Serikat. Diskus artifisial servikal pertama [Medtronic’s Prestige disc] untuk pengobatan degenerasi diskus servikal telah diijinkan penggunaannya oleh FDA pada bulan Juli tahun 2007. Sebagaimana halnya dengan penggantian diskus intervertebra lumbal, tujuan dari prosedur adalah untuk mempertahankan keberlangsungan gerakan vertebra servikal dari pada melaksanakan diskektomi dan fusi anterior servikal (ACDF) yang dapat memperbesar kemungkinan mengurangi gerakan dan mempercepat degenerasi servikal sebelah menyebelahnya. McAfee dkk melaporkan bahwa, 67% pasien mengalami degenerasi pada level vertebra servikal sebelah menyebelahnya setelah prosedur ACDF; dan 10% di antara pasien tersebut memerlukan satu prosedur bedah kedua terhadap vertebra level sebelahnya. Penggantian diskus intervertebra servikal memiliki satu keuntungan atas ACDF karena prosedur tersebut dapat mempertahankan gerakan dan kinetamatik normal antar 2 vertebra. Uji biomekanik yang dikerjakan oleh Goffin dkk menunjukkan dapat dipertahankannya luas gerak sendi (LGS) pada level implan melalui pelaksanaan teknik tersebut. Dalam studi follow-up 2 tahun, Bryan menunjukkan hasil dengan tingkat baik hingga memuaskan pada sebagian terbesar pasien baik secara radiografi maupun klinis, dan Goffin dkk mendapatkan 64% dengan hasil baik hingga memuaskan. Juga peneliti ini melaporkan bahwa, pada sejumlah kecil pasien, adanya fusi spontan terjadi pada level penggantian dengan hasil yang sama-sama baik. Sayangnya, juga dilaporkan terjadinya kegagalan, meskipun jarang, berupa dislokasi implan. Dislokasinya ke anterior dapat menyebabkan gangguan proses menelan dan obstruksi jalan nafas. Dislokasinya ke posterior ke dalam kanal spinal dapat juga terjadi yang menimbulkan paralisis dan bahkan kematian. Tambahannya, kemungkinan timbulnya wear debris jangka panjang dan osteolisis diikuti kegagalan implan yang sama sebagaimana pada penggantian sendi (panggul, dan lutut) tetap memerlukan satu perhatian besar. Meskipun penggantian diskus vertebra servikal dapat memberikan hasil baik hingga memuaskan dalam jangka waktu lama, prosedur yang digantikannya, yaitu ACDF level tunggal, memiliki angka keberhasilan sebesar 97%. Dengan demikian, sebelum teknologi penggantian diskus servikal diperkenalkan, satu percobaan klinis dengan desain yang baik haruslah dapat menunjukkan bahwa hasil-hasil dari penggunaan prosedur yang lebih baru adalah lebih unggul dari, atau setidaknya sama baiknya dengan prosedur yang telah mengalami sukses besar berjangka lama dengan memiliki catatan yang memuaskan.

Dari vertebra servikal, telah terdapat banyak niatan dalam usaha-usaha penciptaan peralatan perangkat keras fusi yang dapat diserap oleh korpus vertebra. ACDF merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada vertebra servikal. Saat pelaksanaan prosedur ini, banyak ahli bedah juga mengaplikasikan plat metal dan screw untuk mendapatkan stabilitas sesegera mungkin pada konstruksinya dengan harapan meningkatkan angka fusi dan menurunkan angka penggunaan alat bantu eksternal pascaoperatif seperti hallo vest atau collar. Ketika fusi tulang telah terjadi, implan tidak lagi berfungsi. Seperti telah diketahui, implan yang ditanam dalam tubuh menimbulkan peningkatan level ion metal tersebut pada serum dan urin. Efek jangka panjang ion yang bersirkulasi telah dapat ditentukan dan diketahui dengan pasti. Implan-implan baru sedang didesain dengan menggunakan bahan-bahan dari material terserapkan secara biologis. Berbagai screw servikal anterior terbuat dari hidroksiapatit dan kalsium-fosfat, dan plat terbuat dari poly (L-lactic acid) mesh telah banyak dipilih dari pada implan-implan klasik dari bahan titanium dan baja. Implan-implan terserapkan tersebut mampu menyediakan cukup stabilitas untuk meningkatkan angka fusi. Kehancuran dan resorpsi produk terjadi setelah 6 minggu, saat mana fusi tulang dengan autograft telah terjadi. Kuribayashi dan Matsuda dan Vaccaro dkk melakukan analisis retrospektif terhadap implan-implan terserapkan tersebut. Angka fusi terjadi bervariasi antara 71% - 77% pada satu tahun. Studi-studi tersebut menyarankan bahwa jenis implan seperti itu adalah menjanjikan.

Myelopati pada spondilosis servikalis

Laminoplasti sebagai satu jenis pilihan penanganan bedah untuk spondilosis servikal disertai dengan myelopati adalah merupakan alternatif dari tindakan laminektomi saja atau yang disertai dengan fusi. Laminoplasti servikal, yang merupakan satu jenis operasi ekspansif-kanal-spinal tanpa fusi, dilakukan dengan harapan dapat lebih mempertahankan gerakan servikal, telah dikembangkan di Jepang untuk mengurangi tingginya insiden deformitas kifotik pascalaminektomi melalui pengerjaan laminektomi saja. Ratliff dan Cooper, melalui analisis meta terhadap literatur-literatur berbahasa Inggris seputar laminoplasti, meneliti ulang sebanyak 71 laporan yang menyangkut lebih dari 2000 pasien. Mereka menetapkan hasil luaran neurologis, perubahan LGS, perkembangan deformitas spinal, dan komplikasi. Semua studi adalah retrospektif, tanpa kontrol, seri kasus yang tak acak. Empat puluh satu dari 71 seri menyediakan data angka kesembuhan pascaoperatif dengan memakai skala dari Japanese Orthopaedic Association Scale dalam menentukan myelopati. Rerata angka kesembuhan adalah 55% (bervariasi, 20% - 80%). Pemilik dari 23 tulisan menyediakan data persentase perbaikan pasien (rerata, -80%). Tidak terdapat perbedaan hasil luaran neurologis berdasarkan atas perbedaan teknik laminoplasti atau bila laminoplasti dibandingkan dengan laminektomi. Terdapat perburukan pascalaminoplasti dalam hal alignment servikal pada sedikitnya 35% pasien dan dengan berkembangnya kifosis pascaoperatif pada sedikitnya 10% pasien yang dilakukan follow-up review jangka panjang. Terjadi penurunan LGS servikal secara substansial setelah laminoplasti (rerata penurunan, 50%; rentangan: 17% - 80%). Para peneliti yang melakukan follow-up jangka panjang menemukan adanya kehilangan LGS servikal progresif, dan LGS akhir adalah sama seperti halnya terlihat pada pasien yang telah menjalani laminektomi dan fusi. Pada review mereka terhadap literatur laminektomi, para penelitinya tidak dapat mengonfirmasi bahwa keberadaan membran pascalaminektomi menyebabkan deteriorasi fungsi neurologis bermakna secara klinis. Komplikasi pascaoperatif berbeda di antara seri kasus. Hanya dalam 7 artikel para penulisnya dengan jelas melakukan quantifikasi angka dari nyeri leher aksial pascaoperatif (rentangan, 6% - 60%). Dua belas artikel di antaranya melaporkan disfungsi akar syaraf C5, di mana komplikasi ini timbul pada sedikitnya 8% pasien. Tulisan menyimpulkan bahwa literatur telah mendukung berbagai keuntungan laminoplasti. Hasil luaran neurologis dan perubahan dalam alignment spinal adalah sama setelah laminektomi dan laminoplasti. Pasien-pasien yang menjalani laminoplasti mengalami limitasi LGS servikal progresif, sama seperti yang terlihat setelah laminektomi dan fusi.

Penanganan jenis lain untuk myelopati servikal adalah ACDF dan laminoforaminotomi. ACDF sebagai satu pilihan terapi memiliki hasil luaran terbaik bilamana patologi yang ada terbatas hanya pada satu level (angka fusi diperkirakan 96%). Angka fusi ACDF menurun dengan semakin banyaknya level yang hendak difusikan (hanya 75% untuk 2 level ACDF, 56% untuk 3 level ACDF). Augmentasi menggunakan fiksasi plat dapat memperbaiki persentase tersebut hingga 11.8%. Laminoforaminotomi meliputi penggunaan pendekatan posterior untuk mengeluarkan herniasi diskus atau spur yang menyebabkan gejala neurologis. Prosedur adalah invasif minimal dan efektif dalam mengurangi radikulopati tanpa membutuhkan fusi spinal. Berbagai komplikasi seperti edema trakhea, disfungsi esophageal, dan stroke juga dapat dihindarkan. Adapun kerugian prosedur laminoforaminotomi, sebagai hasil dari pendekatan posterior adalah dilakukannya diseksi otot-otot paraspinal, nyeri leher aksial pascaoperatif, berpotensi timbulnya instabilitas yang memerlukan fusi, dan deformitas lebih lanjut.