Minggu, 22 Agustus 2010

Farmakogenomik Osteoporosis: Peluang sekaligus Tantangan

Abstrak

Genetika osteoporosis dapat dipertimbangkan dalam dua lingkupan luas: suseptibilitas penyakit dan aktifitas obat. Sementara yang disebutkan terlebih dulu telah dipelajari, yang belakangan tetap banyak yang masih belum tersentuh.
Farmakogenomik merupakan utilisasi informasi genetik untuk memrediksi hasil luaran drug treatment, dengan berdasarkan berbagai efek menguntungkan maupun kerugiannya. Farmakoterapi osteoporosis ditandai oleh variabilitas dalam respon teraputik dengan pemrediksian terbatas respon pada suatu basis patient-by-patient. Hal ini khususnya menjadi masalah dalam suatu situasi klinik di mana terapi secara tipikal adalah dibutuhkan untuk beberapa tahun sebelum hasil-hasil luaran dapat dievaluasi bagi seorang individu.
Jadi, bidang pengetahuan farmakogenomik yang sedang muncul ini berpotensi besar bagi menghaluskan dan mengoptimalkan pengobatan farmakologis osteoporosis. Komponen-komponen kunci bagi pengembangan farmakogenomik osteoporosis di masa depan harus meliputi pendalaman pemahaman mekanisme-mekanisme aksi obat, pengidentifikasian gen-gen kandidat dan varian-variannya, dan pengekspansian percobaan-percobaan klinis hingga meliputi pemrofilan genetik. Pendekatan ini dapat berperan sebagai peralatan sangat berguna bagi para klinisi dan ilmuwan untuk membedah jalur-jalur molekuler baru yang tersangkut dalam osteoporosis dan juga untuk mengidentifikasi target-target obat baru. Kombinasi berulang dari genomik inovatif dengan pendekatan-pendekatan endokrinologi klasik dalam penelitian osteoporosis dapat digunakan sebagai suatu model penelitian biologis dan pendekatan-pendekatan teraputik yang diperbaharui dalam suatu interaksi berkelanjutan antara pengetahuan klinis dan penelitian dasar.
Kata kunci: Osteoporosis, Fraktur, Densitas Mineral Tulang, Gen Reseptor Vitamin D, Gen Kolagen I alpha-1, Farmakogenetik.

Latar Belakang

Osteoporosis, yang merupakan “penyakit” tulang kerangka tersering dan paling serius, adalah memiliki prevalensi yang tinggi di antara orang-orang tua di kedua jenis kelamin, dengan suatu risiko selama hidup yang terkombinasi (combined lifetime risk) untuk fraktur panggul, fraktur antebrakhii dan fraktur-fraktur vertebra menyita atensi klinis hingga sebesar sekitar 40%, yang ekivalen dengan risiko untuk penyakit kardiovaskuler (1). Di Amerika Serikat sendiri, osteoporosis menghinggapi 25 juta orang, dan memikul kebutuhan dana yang diperkirakan adalah sebesar $60 juta. Risiko sepanjang usia dari fraktur panggul, yang merupakan fraktur paling serius, pada wanita-wanita Kaukasia adalah satu berbanding enam; agak lebih tinggi dari risiko diagnosis kanker payudara (satu di antara sembilan) (2). Mortalitas merupakan suatu kejadian yang frekuen dalam bulan-bulan segera setelah suatu fraktur panggul (3). Limapuluh persen individu-individu yang bertahan hidup akan membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya, dan 15 hingga 25 persen akan memerlukan untuk masuk ke dalam suatu institusi rawatan jangka panjang segera setelah fraktur (3). Terlebih lagi, semua fraktur-fraktur osteoporotik major adalah dikaitkan dengan suatu peningkatan mortalitas dua hingga tiga kali lipat pada wanita mapun laki-laki (3).

Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit skeletal sistemik yang ditandai oleh rendahnya massa tulang dan deteriorasi arsitektur-mikro jaringan tulang yang menghasilkan peningkatan fragilitas tulang dan suseptibilitas untuk fraktur. Massa tulang secara tradisional dihitung menggunakan densitas mineral tulang (BMD). Pada setiap bagian kerangka yang spesifik, BMD dapat secara akurat dan dipercaya diukur menggunakan dual X-ray absorptiometry (DXA); sebagai banyaknya mineral per area tulang yang diimej.

Meskipun fraktur secara klinis merupakan titik akhir relevan (relevant endpoint ) dari osteoporosis, BMD merupakan suatu prediktor utama risiko fraktur (4-6). Setiap penurunan deviasi baku (SD) dalam BMD adalah dikaitkan dengan suatu peningkatan dua-kali lipat dalam risiko fraktur (7). Hubungan BMD – fraktur secara umum diaplikasikan sepanjang tulang kerangka, dengan beberapa spesifisitas lokasi (site-specific); misalnya, risiko fraktur panggul adalah lebih dikaitkan dengan pengukuran-pengukuran BMD pada panggul dibandingkan vertebra lumbal atau lengan bawah. Hubungan antara risiko fraktur dan pengukuran-pengukuran BMD adalah sebanding dengan hubungan-hubungan di antara stroke dan pembacaan-pembacaan tekanan darah. Dengan cara yang sama bahwa ”hipertensi” berhubungan dengan nilai cut-off untuk pengukuran-pengukuran tekanan darah, osteoporosis didasarkan pada suatu nilai untuk BMD di bawah suatu ambang cut-off. Terlebih lagi, seperti halnya tekanan darah, tidak terdapat ambang BMD yang mendiskriminasi secara absolut di antara mereka-mereka yang akan atau yang tidak akan memiliki suatu kejadian klinis. Karenanya, suatu pengukuran BMD yang ”normal” tidak merupakan garansi bahwa fraktur akan tidak terjadi; hanya risikonya adalah rendah secara relatif. Sebaliknya, bila BMD adalah dalam rentangan osteoporotik, maka fraktur adalah lebih memungkinkan terjadi, namun tetap mungkin tidak terjadi. Pada usia 50 tahunan, proporsi wanita-wanita dengan osteoporosis yang akan memderita fraktur panggul, tulang belakang, lengan bawah atau humerus proksimal dalam 10 tahun berikutnya – yang disebut nilai prediktif – adalah sebesar 45%. Laju pendeteksian bagi fraktur-fraktur ini (sensitifitas) adalah rendah, dengan kata lain, suatu proporsi bermakna fraktur-fraktur terjadi pada wanita-wanita di atas ambang BMD ini.

BMD bukanlah satu-satunya prediktor fraktur; agaknya, ia adalah interaksi dari meningkatnya force, misalkan, pada jatuh, dan menurunnya ”kekuatan” tulang. Meskipun pencegahan jatuh dapat memengaruhi pencegahan fraktur osteoporotik, determinan-determinan ”kekuatan” tulang telah menjadi fokus major saat ini dengan banyak jenis pengobatan telah dikembangkan dan diaplikasikan secara klinis dengan efektif. BMD merupakan suatu prediktor bermanfaat bagi risiko fraktur masa datang, dan sebagiannya untuk menjelaskan ukuran tulang, namun bukan struktur tulang, termasuk distribusi dan kualitas massa tulang, yang dianggap menyumbang bagi kekuatan tulang. Pengukuran-pengukuran quantitative ultrasound, broadband ultrasound attenuation (BUA) dan speed of sound (SOS) telah diajukan sebagai pengukuran-pengukuran tambahan kualitas tulang, terkait dengan konektifitas trabekuler dan matriks tulang. Lebih lanjut, banyak studi-studi klinis yang mendukung suatu peran bagi penormalan meningkatnya bone turnover sebagai bagian dari efikasi anti-fraktur dari luasnya pemakaian berbagai terapi anti-resortif.

Osteoporosis, dengan demikian, merupakan suatu penyakit kompleks. Kompleksitasnya tidak hanya ditandai oleh multiplisitas aspek-aspek klinis, namun juga oleh diterminan multipel. Seperti halnya banyak penyakit multifaktor lainnya, osteoporosis dtentukan oleh faktor-faktor lingkungan, oleh suseptibilitas genetik, dan mungkin oleh interaksi di antara faktor-faktor ini semua. Variasi genetik tidaklah seharusnya menyebabkan osteoporosis atau fraktur, namun mereka dapat memengaruhi suatu suseptibilitas yang dimiliki subjek terhadap faktor-faktor lingkungan spesifik dan sehingga memodifikasi risiko penyakit. Hal ini menyatakan bahwa setiap subjek memiliki suatu pofil risiko unik yang dapat berubah dengan waktu. Karenanya, data populasi dapat menjadi hanya merupakan peramalan yang berhati-hati kepada subjek-subjek secara individu. Namun hingga kini keputusan sekitar diagnosis dan pengobatan osteoporosis masih tetap didasarkan pada data statistik populasi umum di mana subjek berasal/berada. Jelasnya, teknik pendekatan perata-rataan umum ini adalah suboptimal dibandingkan dengan suatu teknik pendekatan individu, yang berdasarkan pada genetik individu dan profil risiko lingkungan. Osteoporosis merupakan kasus ideal bagi teknik pendekatan yang seperti itu, oleh karena presipitasi genetiknya yang kuat dan variabilitasnya yang tinggi dalam suseptibilitas risiko fraktur di antara individu-individu. Dalam kerangka kerja seperti ini, prinsip-prinsip farmakogenomik, yang mencari korelasi fenotip-fenotip dan berbagai penanda hayati dengan mengambil keuntungan dari teknologi genomik, dapat diaplkasikan untuk mengidentifikasi dasar genetik yang sebenarnya dari variasi inter-individu dalam efikasi obat.

Genetika osteoporosis

Pewarisan Fraktur

Data tentang pewarisan fraktur pada hakekatnya adalah langka. Dalam satu studi Finnish, sedikitnya 35% dari varian dalam kemungkinan besar untuk fraktur (pada laki-laki maupun wanita) dapat dipertalikan dengan faktor-faktor genetik (8). Dalam suatu studi keluarga akhir-akhir ini, sedikitnya 25% dari kemungkinan besarnya untuk satu tipe fraktur, misalnya fraktur dari Colles, dapat dipertalikan dengan faktor-faktor genetik (9). Analisis familial dalam Study of Osteopoprotic Fracture (10) menyarankan bahwa wanita-wanita, yang ibu mereka pernah mengalami fraktur panggul, memiliki peningkatan dua kali lipat dalam risiko fraktur panggul dibandingkan kontrol. Risiko fraktur panggul atau lainnya adalah tiga kali lipat lebih tinggi pada wanita yang dengan suatu riwayat orang tua dengan fraktur pergelangan tangan. Pada dua studi osteoporotik kecil wanita-wanita dengan fraktur-fraktur vertebra atau panggul, anak-anak perempuan mereka memiliki defisit densitas tulang tingkat intermediet antara yang dimiliki ibu mereka dengan “perkiraan” densitas tulang pada lokasi fraktur yang terjadi pada ibu mereka, misalnya, vertebra lumbal atau femur proksimal (11, 12). Beberapa pengamatan yang sama telah juga dibuat pada laki-laki maupun wanita-wanita tua (13)

Pewarisan Densitas Mineral Tulang

Kebanyakan studi-studi genetik pada osteoporosis adalah memokuskan pada prediktif fenotip-fenotip tulang, seperti misalnya BMD. Meskipun BMD adalah ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan maupun genetik, telah diestimasikan dari studi-studi kembar berpasangan bahwa 70% hingga 80% varian BMD terukur pada vertebra lumbal dan leher femur adalah dipertalikan ke faktor-faktor genetik dalam contoh-contoh kembar (14-18). Dapat diwariskannya BMD lengan bawah kelihatannya lebih rendah dibandingkan dengan leher femur ataupun vertebra lumbal (17, 18). Pada studi-studi ini, terdapat bukti adanya efek-efek pleiotropik, misalnya, BMD dari berbagai lokasi skelet adalah ditentukan oleh set-set gen yang umum dan memiliki lokasi khas (16, 21).

Genetik Memengaruhi Bone Turnover

Perubahan dalam BMD selama kehidupan dewasa merupakan hasil dari penerimaan ketidakseimbangan di antara pembentukan tulang dan penyerapan tulang. Semua ini secara tipikal ditetapkan melalui pengukuran-pengukuran (dalam darah atau ekskresi urin) berbagai produk aktifitas se-sel osteoblas (pembentukan tulang) dan osteoklas (penyerapan tulang). Petunjuk akan pembentukan tulang meliputi osteokalsin, bone-specific alkaline phosphates, procollagen I carboxy-terminal dan amino-terminal propeptides. Petunjuk akan penyerapan tulang meliputi ekskresi urin hidroksiprolin atau yang lebih spesifik pyridinoline cross-links, dan yang lebih terkini, produk-produk pecahan urinary type I collagen cross-linked N-telopeptides dan urinary or serum type I collagen C-telopeptide. Faktor-faktor genetik telah menunjukkan penyumbangan secara bermakna bagi varian inter-individual dari penanda-penanda pembentukan tulang (baik osteokalsin maupun collagen C-terminal propeptide of type 1 collagen) pada orang-orang kembar pramenopaus (19-21).

Pewarisan quantitative ultrasound (QUS)

Pengaruh genetik terhadap tipe-tipe berbeda dari pengukuran-pengukuran QUS, sebut saja BUS dan SOS, telah menunjukkan sebesar 0.53 hingga 0.82 (22). Pengukuran-pengukuran BUA telah dilaporkan lebih kuat keterkaitannya di antara ibu-ibu dengan masa pascamenopaus mereka dibandingkan dengan anak-anak perempuan mereka dalam masa pramenopaus; misalnya, kebalikannya dari apa yang dilaporkan bagi pengukuran-pengukuran DXA (23, 24). Pengamatan-pengamatan ini menyarankan bahwa berbagai pengaruh genetik berbeda bekerja pada komponen-komponen dari fenotip tulang sebagaimana diukur menggunakan QUS dan DXA. Tidak terdapat data tentang heritabilitas dari pengukuran-pengukuran speed of-sound di sepanjang tulang kortikal. Berbagai hubungan genetik yang teramati di antara transmisi QUS dan pengukuran-pengukuran BMD adalah berada pada tingkat sedang/moderat, yaitu, 0.32 hingga 0.59 (22). Jadi, gen yang memengaruhi variasi dalam BMD mungkin, namun tidaklah mesti, memengaruhi variasi dalam QUS, dan vice versa. Hal ini konsisten dengan QUS yang mengukur karakteristik-karakteristik bukan densitas (non-density characteristics) tambahan dari tulang. Pada beberapa kasus, satu bagian yang bermakna dari variabilitas pengukuran BMD QUS dan DXA memerlihatkan tak berhubungan, konsisten dengan pengukuran mereka dari beberapa karakteristik fenotip tulang yang berbeda.

Diketahuinya bahwa berbagai ciri terkait tulang adalah sebagian besarnya ditentukan oleh faktor-faktor genetik, mengawali ke pada suatu penyelidikan intensif terhadap gen-gen baik yang berkaitan atau yang berasosiasi dengan ciri-ciri ini. Berbagai studi penyelidikan gen telah memokuskan pada densitas mineral tulang menggunakan dua teknik pendekatan utama yaitu genome wide screening dan candidate genes. Teknik pendekatan gen kandidat adalah didasarkan pada pengetahuan a priori dari fungsi potensiil gen-gen yang tersangkut, dan mengambil keuntungan dari jalur biokhemis relevan dan telah dikenal dari fisiologi tulang. Didasarkan atas teknik pendekatan yang sering digunakan ini, saat ini telah diajukan sebanyak 16 gen berpotensi sebagai kandidat bagi densitas mineral tulang, meliputi reseptor vitamin D, kolagen tipe I-1, osteokalsin, antagonis reseptor IL-1, calcium sensing receptor, glikoprotein 2HS, protein pengikat vitamin D, osteopontin, osteonektin, reseptor estrogen, interleukin-6, reseptor kalsitonin, kolagen tipe I-2, hormojn paratiroid, dan transforming growth factor-1. Sebagaimana dengan polimorfisme di atas, berbagai polimorfisme lainnya dalam gen adalah meliputi reseptor steroid lainnya, sitokin, dan gen-gen protein matriks tulang, dan gen-gen kandidat osteoporosis yang lebih ”jauh” seperti apoliprotein E adalah juga tersarankan (25, 44-50). Suatu gambaran dari studi-studi gen kandidat ini adalah berada dalam rentangan luas dalam hasil-hasil luaran positif dan negatif dan, bahkan dalam studi-studi yang konsisten, memiliki rentangan luas dalam besaran efeknya.

Gen-gen kandidat yang telah teridentifikasi, sejauh ini tidaklah kuat juga tidak cukup konsisten guna memiliki nilai prediktif klinik utama. Lebih penting lagi, karena hubungan-hubungan mereka dengan biologi tulang merupakan basis dari studi awal mereka sebagai ”kandidat”, tak satupun di antaranya dapat menyediakan target-target yang benar-benar baru bagi perkembangan terapi-terapi baru. Kelihatannya yang mungkin sebenarnya terjadi adalah bahwa, terdapat berbagai variasi minor dalam pengaturan atau fungsi dalam beberapa gen, yang masing-masingnya memberi kontribusi yang relatif kecil, berinteraksi untuk membentuk komponen genetik dari osteoporosis. Di bawah skenario ini, berbagai studi individual untuk memapankan suatu asosiasi di antara sebuah gen kandidat dengan berbagai penanda penyakit mungkin memberi hasil-hasil palsu. Berbagai strategi terbaik untuk menjelaskan kontribusi-kontribusi genetik dan lingkungan bagi suatu penyakit poligenik sedemikian seperti osteoporosis adalah belum jelas.

Teknik pendekatan alternatif yang kurang sering dilakukan menggunakan genome wide-scan telah memaparkan temuan-temuan menariknya. Melalui penggunaan linkage analysis data dari sebuah keluarga dengan osteoporosis-pseudoglioma syndrome (OPS), semacam penyakit yang ditandai oleh sangat rendahnya massa tulang dan ketidaknormalan mata, para penyeldik mampu melokalisasi lokus OPS ke regio khromosom 11q12-13 (51). Pada saat yang sama, suatu analisis genome-wide linkage dari sebuah keluarga dengan anggota diperluas menjadi 22 anggota yang 12 di antara mereka memiliki massa tulang sangat tinggi (high bone mass/HBM) menyarankan bahwa lokus HBM juga berlokasikan di dalam regio 30cM dari lokus yang sama (52).
Dalam studi-studi follow-up menggunakan teknik pendekatan kandidat posisional, kedua kelompok peneliti mendapatkan bahwa sebuah gen mengkode the low-density lipoprotein receptor-related protein 5 (LRP5) terkait ke OPS maupun HBM (53, 54). Temuan bahwa gen LRP5 adalah terkait ke HBM selanjutnya dikonfirmasi dalam satu studi keluarga yang menyertakan individu-individu dengan BMD yang sangat tinggi namun sebaliknya secara fenotip adalah normal (55). Studi ini menunjukkan bahwa suatu missense mutation G171V ditemukan dalam individu-individu ber-BMD tinggi (55). Satu studi keluarga akhir-akhir ini lebih lanjut mengidentifikasi 6 mutasi yang benar-benar baru dalam LRP5 di antara 13 polimorfisme terkonfirmasi yang diasosiasikan dengan banyak kondisi berbeda dengan peningkatan BMD (56). Berbagai kondisi ini meliputi hiperostosis endosteal, penyakit Van Buchem, autosomal dominant osteosclerosis, dan osteopetrosis tipe I. Asosiasi di antara LRP5 dan BMD telah juga akhir-akhir ini ditunjukkan dalam suatu populasi takterseleksi (57).

Sebuah contoh dari suksesnya strategi combine linkage and association diunjukkan dalam satu studi terkini pada 207 nuclear family dengan sebanyak 1323 individu dari keturunan Islandia. Dalam studi ini, melalui pelaksanaan pertama satu genome-wide scan dalam keluarga yang diteliti, gen-gen BMP2 ditemukan terhubungkan ke variasi dalam BMD; dan melalui analisis asosiasi, dengan adanya peningkatan risiko fraktur dan BMD (58).

Farmakologi Osteoporosis

Pada dekade yang lalu terjadi perkembangan yang luar biasa dalam pemahaman biologi tulang dasar (basic) yang mengawali ke pada teknik-teknik pendekatan yang menarget pencegahan maupun pengobatan efektif osteoporosis. Di antara terapi-terapi farmakologis yang telah disetujui untuk osteoporosis, terapi pengganti estrogen, elective estrogen receptor moulators (SERMs), kalsitonin, derivatif-derivatif vitamin D, bifosfonat-bifosfonat poten, dan hormon paratiroid telah diajukan untuk penggunaan klinis (59). Kebanyakan dari obat-obat ini, dengan perkecualian hormon paratiroid, bekerja sebagai agen-agen antiresorptif, dan sehingga menurunkan kehilangan tulang.

Sebaliknya, walaupun agen-agen ini memiliki berbagai efek sedang dalam meningkatkan densitas tulang, mereka mengerahkan suatu efek yang jauh lebih besar pada menurunkan risiko fraktur. Sebagai contoh, alendronat (sebuah bifosfonat yang poten) dapat memerbaiki BMD hingga 4 sampai 8%, yang mana didasarkan atas hubungan BMD-fraktur, dapat diekspektasikan menurunkan risiko fraktur hingga 12 sampai 28%; namun dalam kenyataannya, risiko fraktur di antara pasien-pasien yang diterapi alendronat diturunkan hingga sekitar 50%. Berbagai mekanisme potensiil untuk menjelaskan angka penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperkirakan dengan BMD ini masih sedang dievaluasi.

Suatu gambaran yang kerap ada dari semua percobaan klinis yang meliputi intervensi farmakologis dalam osteoporosis adalah bahwa, efikasi dan keamanan adalah bervariasi besar di antara pasien-pasien, seperti halnya rentangan respon adalah sangat luas, berrentang dari “sukses” hingga ke respon kecil atau tdak ada respon. Sebagai contoh, deviasi baku (SD) perubahan dalam BMD yang terinduksi oleh bifosfonat poten adalah lebih dari dua kali laju dari perubahan itu(59). Sebagai hasilnya, sementara majoritas pasien mengalami suatu peningkatan dalam BMD, seproporsi kecil (mungkin 5 hingga 10%) pasien kelihatannya masih kehilangan tulang. Jadi, meskipun sejumlah sangat sedikit pasien mengalami tanpa efek teraputik samasekali setelah pengobatan anti-resorptif tipikal, tidak ada satupun pengobatan yang saat ini mampu mencegah keseluruhan fraktur. Lebih lanjut, beberapa subjek mengalami beberapa efek tak menguntungkan bermakna. Efek-efek ini, positif maupun negatif, adalah dialami bertahun-tahun. Jadi, sementara jenis-jenis pengobatan ini adalah secara keseluruhan menguntungkan, tidak ada satu carapun yang benar-benar dapat diandalkan untuk memrediksi siapa yang akan mengalami beberapa tipe efek yang tidak mengenakkan atau yang merugikan.

Farmakogenomik

Pada level klinik, respon obat adalah dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk usia, kelamin, etnisitas, dan penyakit atau terapi obat penyerta. Bagaimanapun, adalah juga memungkinkan bahwa faktor-faktor genetik memengaruhi variabilitas dalam respon-respon obat (60). Memang, bukti akan pengaruh genetik pada respon obat inter-subjek telah dilaporkan seawalnya tahun 1940an, dalam kasus neuropati perifer pada sejumlah cukup pasien yang diterapi dengan obat anituberkulosa, isoniazid (61). Teramati juga bahwa tentara-tentara dari campuran Afrika-Amerika yang menerima obat antimalaria kelihatannya lebih mengembangkan anemia hemolitik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka dari ras Kaukasia, akibat dari berbagai perbedaan enzim metabolik bawaan (62). Bukti berikutnya dari genetika respon obat dijumpai pada studi-studi orang kembar, pada mana kembar identik lebih banyak kesamaannya dibandingkan bukan kembar identik dalam hal waktu paruh plasma sejumlah jenis obat, menyediakan indikasi eksperimental terbaik dari komponen-komponen genetik yang kuat dalam eliminasi obat (63). Jadi, faktor-faktor genetik mungkin menentukan suatu respon yang dimiliki individu terhadap terapi farmakologis osteoporosis dan suseptibilitas mereka terhadap berbagai reaksi obat tak menguntungkan, bagi setiap obat yang spesifik. Meskipun eliminasi dan metabolisme obat dapat dipelajari dengan mudah secara relatif, komponen-komponen lain yang memengaruhi berbagai efek obat adalah masih belum dikenal maupun lebih sulit untuk dipelajari

Pada level molekuler, agen-agen farmakologis bekerja melalui cara berinteraksi dengan berbagai protein seperti reseptor, enzim, dan protein-protein pensinyalan intraseluler. Maka dari itu, ketika obat diminum, absorpsi, distribusi, ekskresi dan respon-respon farmakologisnya adalah mungkin ditentukan oleh banyak interaksi di antara faktor-faktor tersebut, termasuk protein-protein pembawa, transporter, enzim-enzim yang memetabolisme, reseptor-reseptor, dan banyak ko-faktor. Anggota-anggota sitokrom P450 (CYP), termasuk CYP2D6, 3A4/3A5, 1A2, 2E1, 2C9, dan 2C19 dikenal memengaruhi efikasi dan toksisitas obat (64, 65). Sebagai contoh, pasien-pasien yang adalah homozigous untuk CYP2D6 null alleles memerlihatkan satu fenotip pemetabolisme buruk, dengan gangguan pendegradasian dan pengekskresian banyak macam obat, termasuk debrisokuin, metoprolol, nortriptilin, dan propafon (64). Para pemetabolisme buruk ini lebih menunjukkan berbagai reaksi buruk obat. Frekuensi dari kelainan bawaan resesif ini berrentang dari 1% hingga 2% pada orang-orang Asia, 5% pada orang Afrika-Amerika dan hingga 6% - 10% pada populasi Kaukasia (66-69). Hal yang sama, pasien-pasien yang homozigous untuk “nullallele dari isoform P450 CYP2C19 adalah sangat sensitif dengan omeprazol, diazepam, propranolol, mefenitoin, amitriptilin, heksobarbital dan obat-obat lainnya (64). Fenotip pemetabolisme buruk CYP2C19 meliputi 2% hingga 5% orang-orang Kaukasia dan 3% hingga 23% orang-orang Asia, sebagian besar dari hasil satu mutasi pasangan basa tunggal (A→G) dalam exon 5 dari regio pengkodean 7 (70). Anggota famili sitokhrom P450 yang terekspres secara polimorfik lainnya, CYP2C9, memetabolisasi ibuprofen, naproksen, piroksikam, tetrahidrokanabinol, fenitoin, tolbutamid, dan S-warfarin (71); beberapa di antaranya memiliki indikasi teraputik sempit. Berbagai substitusi asam amino pada kodon-kodon 144 dan 359 pada regio pengkodean dari CYP2C9 menghasilkan sebesar 5 kali penurunan dalam aktifitas metabolik. Meskipun frekuensi dari 2 varian allelic ini tidak jelas, sedikitnya 25% dari orang-orang Kaukasia memerlihatkan menjadi heterozigous bagi satu atau beberapa varian, mengawali bagi suatu perkiraan frekuensi sebesar 5% dari the compound homozygous genotype (72).

Farmakogenomik Osteoporosis

Beberapa obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, bifosfonat misalnya, tidak menjadi subjek metabolisme, namun banyak yang lainnya dimetabolisasi menjadi komponen-komponen aktif atau sebagai bagian dari jalur eliminasi mereka. Meskipun terdapat bukti berbagai efek genetik dalam hal variasi dalam efikasi dan keamanan agen-agen farmakologi pada penyakit-penyakit lainnya, semuanya ini sebagian besar masih belum teruji dalam pengobatan osteoporosis, namun potensi mereka dipertegas oleh adopsi cepat mereka dalam berbagai disiplin seperti misalnya obesitas dan hipertensi.

Namun, bukti akhir-akhir ini menyarankan bahwa berbagai faktor mungkin memediasi respon terhadap pengobatan (73), dan memodifikasi asosiasi dinamik di antara penanda bone turnover dan densitas tulang. Satu seri studi terkini oleh Palomba dkk. (74-76) menyarankan bahwa di antara wanita-wanita pascamenopaus yang menerima pengobatan alendronat dan pengganti hormon, b allele dari polimorfisme DR’s Bsm-I adalah dikaitkan dengan satu peningkatan yang lebih besar dalam BMD dibandingkan dengan mereka sebagai pembawa (carrier) B allele. Bagaimanapun, menariknya, di antara pasien-pasien dengan pengobatan RLX, para pembawa B allele adalah dikaitkan dengan satu peningkatan yang lebih besar dalam BMD dibandingkan dengan para pembawa b allele. Sebagai hasil dari efek berlawanan itu, di antara mereka-mereka yang menerima kombinasi ALN dan RLX, tidak terdapat asosiasi bermakna di antara polimorfisme VDR dan perubahan BMD. Hasil-hasil ini dengan jelas mengilustrasikan interaksi di antara polimorfisme VDR dan berbagai terapi anti-resorptif dalam perubahan BMD.

Dalam satu studi dari 21 wanita-wanita Kaukasia premenopaus yang homozigous untuk genotip-genotip VDR (BB atau bb), ditemukan bahwa data awal (baseline) osteokalsin, 1,25-(OH)2D, type I collagen carboxyterminal telopeptide, dan level-level fosfat anorganik adalah secara bermakna lebih tinggi dan densitas mineral tulang spinal secara bermakna lebih rendah dalam kelompok BB allelic. Bagaimanapun, setelah pemberian kalsitriol, level-level serum 1,25-(OH)2D tercapai sama dalam kedua kelompok genotip. Peningkatan dalam level-level osteokalsin serum dalam kelompok BB secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan yang dijumpai dalam kelompok bb. Perbedaan dalam level-level osteokalsin awal yang terkait genotip (genotype-related) tidak kelihatan pada level-level 1,25-(OH)2D serum yang sama. Sebaliknya, berbagai perbedaan dalam fosfat dan type I collagen carboxyterminal telopeptide adalah menetap sepanjang studi. Lebih jauh, hormon paratiroid kurang ditekan dalam kelompok densitas tulang rendah meskipun level-level kalsium terionisasinya adalah sama (77)

Polimorfisme gen VDR mungkin juga memengaruhi asosiasi dinamik di antara asupan kalsium dalam makanan dan densitas tulang. Sebagai contoh, pada asupan-asupan kalsium dalam makanan yang lebih rendah, absorpsi kalsium saluran cerna pada wanita yang dengan VDR-nya bergenotip BB tidaklah meningkat, namun mereka yang dengan genotip bb adalah sebaliknya (78, 79). Perbedaan dalam absorpsi kalsium saluran cerna di antara dua alternate homozygotes bagi the vitamin D receptor start codon polymorphism adalah 42% (80). Seperti halnya dengan studi-studi lainnya tentang tulang dan genetik, sejumlah studi mendapatkan hubungan positif di antara allele gen reseptor vitamin D dengan homeostasis kalsium (80-82), sementara banyak studi lainnya mendapatkan hubungan yang negatif (83-86).

Hal yang sama, banyak studi longitudinal telah juga menunjukkan perbedaan respon densitas tulang terhadap asupan kalsium menuruti genotip reseptor vitamin D. Dalam sebuah studi, heterozigot-heterozigot reseptor vitamin D berrespon terhadap asupan kalsium, sementara alternate homoygote juga meresponnya atau juga kehilangan tulang tidak bergantung dari asupan kalsium (88).

Bagaimanapun, meskipun terdapat berbagai penampakan berbeda dalam absorpsi kalsium saluran cerna, sejumlah studi tidak menemukan perbedaan dalam level reseptor vitamin D intestinal (86, 89, 90). Sebaliknya, perbedaan-perbedaan dalam pengaturan kelenjar paratiroid diketahui berhubungan dengan polimorfisme-polimorfisme reseptor vitamin D (91, 92).

Interaksi gen-lingkungan berpotensi lainnya untuk gen reseptor vitamin D dapat menjadi berhubungan dengan vitamin D sederhana (simple vitamin D) itu sendiri ataupun dengan bentuk-bentuk hormon aktif vitamin D. Berbagai perbedaan dalam respon densitas tulang terhadap metabolit-metabolit vitamin D dan berbagai analog-nya telah dilaporkan menuruti genotip-genotip reseptor vitamin D, khususnya dalam studi-studi orang-orang Jepang (93, 95). Genotip bb yang lebih sering dijumpai dalam banyak kohort orang Jepang (sekitar 75% dari subjek-subjek) adalah lebih responsif dibandingkan dengan para heterozigot yang tidak berrespon dengan baik atau memburuk secara nyata. Adanya heterozigot yang merupakan genotip tersering pada kebanyakan kelompok-kelompok orang Kaukasia, berbagai perbedaan ini membangkitkan minat untuk menyejajarkannya dengan berbagai perbedaan yang telah terobservasi dalam respon terhadap bahan-bahan vitamin D aktif dalam berbagai studi klinik osteoporosis di antara kelompok-kelompok orang-orang Jepang dengan Kaukasia. Dalam studi yang lainnya, respon terhadap vitamin D sederhana (simple vitamin D) bervariasi menuruti genotip-genotip reseptor vitamin D (96).

Mekanisme melalui mana setiap perubahan dalam alleles reseptor vitamin D menjelaskan berbagai perubahan dalam homeostasis tulang dan kalsium adalah tidak jelas. Secara sederhananya, adalah memungkinkan bahwa terdapat berbagai perbedaan hampir tak kentara dalam peregulasian gen atau dalam stabilitas produk mRNA. Beberapa studi-studi in vitro pendahuluan menyarankan bahwa terdapat perubahan dalam stabilitas produk mRNA (37, 97); bagaimanapun berbagai studi yang lainnya tidak mengonfirmasi efek ini (98-100). Mekanisme lainnya, hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan-perubahan dalam banyak transkrip alternatif dari banyak promoter ganda yang dilaporkan akhir-akhir ini tentang gen reseptor vitamin D tunggal manusia (101).

Berbagai perbedaan dalam efek allelic vitamin D mungkin berkaitan dengan latar belakang genetik dan/atau faktor-faktor lingkungan seperti misalnya asupan-asupan kalsium dan vitamin D. Berbagai latar belakang genetik mungkin berkaitan dengan efek-efek gen allelic yang lain, seperti genotip reseptor estrogen (102, 103). Melalui mekanisme ini, efek-efek allelic dapat berbeda di antara berbagai keadaan lingkungan. Beberapa efek dapat menjadi sangat tidak dapat diperkirakan sebagaimana, contohnya, penampakan proteksi dalam melawan banyak infeksi kronik yang dilaporkan dalam satu studi orang-orang Afrika akhir-akhir ini (104) dan hubungan dengan risiko osteoarthritis dari tulang belakang dan panggul (105-107).

Menjelaskan Mekanisme Farmakogenomik

Saat ini, kebanyakan studi-studi farmakogenomik adalah bergantung pada memperbandingkan pengekspresian profil-profil pada level mRNA (genomik) atau protein (proteomik) untuk sebuah jaringan atau tipe sel setelah pemberian sebuah stimulus relevan. Membandingkan pengekspresian profil-profil pada level mRNA adalah menarik, khususnya dengan tibanya ketersediaan microarrays akhir-akhir ini yang memungkinkan dapat dilakukannya banyak analisis berbarengan dari puluhan ribu gen-gen. Teknologi baru ini dapat dengan cepat menetukan genotip individu-individu guna menyediakan informasi tentang gen-gen metabolisme obat polimorfik, dan juga mengidentifikasi gen-gen yang terekspres berbeda dalam responnya terhadap suatu obat. Pada kenyataannya, sebuah chip gen, CYP2C6/CYP2C19, telah tersedia bagi pengidentifikasian para pemetabolis obat yang dengan potensi buruk. Di lain pihak, teknologi berbasis genomik ini mungkin juga membantu dalam memahami berbagai respon obat dan dalam menginterpretasi berbagai percobaan teraputik (108).

Pembandingan pengekspresian profil-profil mRNA dapat digunakan untuk menggali gen-gen yang mana yang diregulasi ke hulu dan mana yang diregulasi ke hilir dalam pengobatan osteoporosis melalui pembandingan pengekspresian profil-profil dalam jaringan yang diambil dari individu-individu yang terjangkiti maupun tidak. Kesulitan potensiil dengan teknik pendekatan ini adalah bahwa banyak variasi kecil dalam konstituen seluler dari jaringan dapat memroduksi fluktuasi-fluktuasi besar dalam mRNA dan/atau protein, yang memberikan kemunculan hasil-hasil positif (atau negatif) palsu. Problem potensiil lainnya adalah bahwa kesulitan-kesulitan logistik dalam berurusan dengan data dari ribuan produk-produk gen (yang mungkin perdefinisi fungsinya tidak diketahui) adalah sangat besar. Berbagai permasalahan ini dapat dihindarkan hingga beberapa tingkat melalui penyederhanaan disain eksperimen. Sebagai contoh, satu teknik pendekatan menggunakan sel-sel tulang manusia terkultur dari sebuah sel tunggal dan kemudian membandingkan pengekspresian profil-profil mereka setelah pengobatan dengan, katakanlah, bifosfonat.

Di samping berbagai kesulitan logistik dalam pengambilan contoh tulang dan mendapatkan jaringan tulang yang dapat diperbandingkan, disain studi akan juga menjadi sebuah isu major. Sebagaimana halnya studi-studi genetic linkage, sebuah tantangan major bagi farmakogenomik osteoporosis terletak dalam disain studi yang nantinya bermanfaat untuk dipakai dari teknologi-teknologi ini. Dalam setiap studi level mRNA, melipatgandakan sejumlah pasangan yang layak harus dilakukan dan demikian juga poin-poin waktu relevan (relevant time points) diperiksa. Dalam praktiknya, adalah memungkinkan untuk mengurangi hal ini hingga ke satu baseline dan hingga ke penentuan dua buah poin waktu berbeda untuk jenis eksperimen ini. Bagaimanapun, bahkan kemudian, dengan sejumlah penggandaan yang tepat, besarnya sampel untuk diproses dan logistik-logistik dari sampel-sampel multipel, setidaknya pada manusia, masih tetap menakutkan bila tidak ingin dikatakan tidak memungkinkan secara etis. Di lain pihak, banyak studi epidemiologi besar diperlukan untuk mengidentifikasi aosiasi-asosiasi di antara polimorfisme-polimorfisme gen spesifik dengan predisposisi kearah osteoporosis sebelum semua ini dapat berguna dalam setingan klinis. Saat ini, studi-studi asosiasi berbasis SNP berskala besar dalam osteoporosis secara memungkinkan dapat dihindarkan melalui pembatasan dalam suber-sumber pe-genotip-an (genotyping resources) dan model-model statistik hayati. Studi-studi asosiasi berskala besar menyangkut SNPs akan menjadi lebih praktis ketika high-throughput dan metode pe-skor-an SNP yang dapat dijangkau adalah tersedia (109). Kemajuannya, setidaknya, telah menarik perhatian: saat ini the Human Genome Project telah menyediakan lebih dari dua juta SNPs sebagai penanda genetik 110). Dalam beberapa tahun ke depan, SNPs yang terlokasikan setiap 3-50kb akan mungkin dikarakterisasi, ini akan memungkinkan untuk melakukan studi-studi asosiasi genom yang luas guna memeroleh informasi sekitaran gen-gen major yang menyumbang ke pada penyakit atau ke berbagai perbedaan farmakologis, sebagaimana juga sebagai gen-gen sekunder, pemodifikasi, yang juga memengaruhi penyakit. Perkembangan mutakhir metode pencucian mulut tunggal bagi memeroleh studi-studi klinik DNA genomik (111) mungkin menjadi cocok bagi studi-studi berbasis komunitas besar pada mana sampel-sampel dapat dikoleksi oleh mereka-mereka yang ikut berpartisipasi.

Kemajuan dalam penelitian genomik memunculkan beberapa isu etik yang memerlukan penyelesaian. Sementara informasi seperti ras dan etnisitas telah lama digunakan dalam pemrediksian respon teraputik, sejumlah kritik bermunculan yang memandang penggunaan informasi ini sebagai berpotensi prejudicial (112). Pengoleksian dan penyimpanan informasi genetik dari individu-individu menimbulkan pertanyaan sekitar privasi juga keamanan dan berbagai dilema etik, karena informasi tersebut juga menyediakan informasi sekitar saudara-saudara mereka yang berpotensi tidak tersensor. Jadi, berbagai tuntunan perlu dikembangkan untuk melindungi privasi dan kerahasiaan yang berpartisipasi dalam penelitian dan anggota keluarga mereka. Sebuah komponen penting dari setiap studi seperti itu akan menjadi meyakinkan bahwa prinsip-prinsip etis dari keberuntungan (beneficience) telah dipenuhi. Analisis sampel-sampel DNA, meliputi mereka-mereka dari studi-studi populasi besar, dalam penelitian adalah sangat penting bagi pemahaman berbagai pengaruh genetik dari suseptibilitas penyakit, namun keuntungan haruslah melebihi risiko bagi manusia, termasuk potensi bagi pendiskriminasian dan penginvasian privasi. Meskipun isu-isu ini adalah sulit, disarankan bahwa yang berpartisipasi dalam pengobatan (treating participants) sebagai limited partners dalam penelitian genetik dapat menyediakan semacam kerangka kerja bagi pengalamatan (addressing) banyak dari berbagai perhatian (concern) ini (113).

Kesimpulannya, data terkumpul selama tiga dekade terakhir dengan jelas mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik merupakan penentu major densitas mineral tulang, quantitative ultrasound of bone, dan bone turnover, Banyak faktor-faktor genetik kelihatannya tersangkut dalam penentuan BMD sebagaimana juga arsitektur tulang dalam banyak lokasi skelet. Ditinjau dari segi klinis demikian juga ekonomi, berbagai strategi agresif menyelidiki gen-gen osteoporosis diperlukan. Dengan kemajuan yang dicapai the Human Genome Project, era baru korelasi-korelasi genotip-fenotip pasca-genomik dalam osteoporosis dijanjikan. Pengidentifikasian dari gen-gen relevan harus menguatkan pemahaman kita tidak hanya mengenai mekanisme-mekanisme penyakit, namun juga menjelaskan bagaimana perjalanan klinis osteoporosis adalah demikian bervariasi di antara individu-individu. Penelitian yang lebih bersifat operasional adalah dibutuhkan untuk pendisainan studi-studi yang berkemampuan mengartikan berbagai interaksi kompleks di antara berbagai perbedaan genetik yang dimiliki individu, predisposisi ke pada suatu penyakit, dan berbagai interaksi obat-gen; dan integrasi dan interogasi dari set-set data luas yang studi-studi seperti itu hasilkan. Sementara usaha-usaha penelitian seperti itu tidak diragukan kekompleksannya, pengembangan berbagai teknik molekuler yang sedang berlangsung dalam farmakogenomik memungkinkan tidak hanya pemrediksian individual akan efikasi dan toksisitas obat namun juga pengembangan obat-obat yang inovatif, lebih aktif dan lebih aman. Pe-genotip-an individu-individu dapat membantu menentukan pengaruh berbagai polimorfisme pada farmakokinetik obat terhadap sejumlah enzim dan transporter yang memengaruhi berbagai proses absorpsi dan metabolisme obat. Pe-genotip-an dapat juga digunakan untuk me-stratifikasi pasien-pasien bagi banyak percobaan fase III, guna mengurangi keperluan ukuran sampel. Juga, pe-genotip-an dapat menjadi bagian penyelidikan rutin dalam membantu klinisi menyesuaikan terapi obat cecara efektif. Banyak studi akhir-akhir ini mengunjukkan kemungkinan dapat terlaksananya dan kepentingan dari konsep-konsep ini (108, 114).

The Human Genome Project, bersama-sama dengan berbagai teknologi molekuler baru dan metode-metode statistik baru, akan secara kolektif menguatkan penyelidikan bagi gen-gen osteoporosis dan membantu mentranslasi pemrediksian kompleks osteoporosis secara genetik ke pada dunia nyata.

Rabu, 04 Agustus 2010

Horizon Baru dalam Fisiologi dan Patofisiologi Tulang Kerangka

PENDAHULUAN

Berbagai kisah yang mewakili penjelasan akan keadaan yang disebut ”the Dowager’s hump” telah ada sejak akhir abad ke-15 dan, bahkan mungkin sebelumnya, ke masa mumi di Mesir. Bagaimanapun, istilah “osteoporosis” diciptakan oleh seorang ahli patologi Perancis , Jean Lobstein, ia yang, tahun 1820, menemukan bahwa pasiennya memiliki “tulang yang berlobang-lobang (riddled) dengan memiliki lobang yang lebih besar dari normal (1).” Bahkan sebelum temuan penting tersebut, seorang ahli bedah Inggris John Hunter mengobservasi bahwa tulang adalah secara konstan mengalami “remodel” – yaitu, paket-paket tulang tua digantikan oleh paket-paket tulang baru (1). Guna memertahankan integritas dan kekuatan skelet, retakan mikro yang sebagai hasil dari pengaruh hidup dipermukaan bumi harus di perbaiki secara konstan (2). Baik pembuangan tulang sekitar suatu retakan mikro oleh osteoklas maupun peletakan kembali kolagen dan mineral oleh osteoblas dengan demikian akan secara tepat mengatur baik dalam ruang maupun waktu. Di mana ketika terjadi ketidakseimbangan sementara di antara resorpsi tulang dengan pembentukannya, dengan resorpsi terjadi lebih banyak dari pada pembentukannya, maka tulang akan hilang, yang pada akhirnya menghasilkan osteoporosis dan fragilitas skelet. Pada dekade yang lalu telah digunakan tikus-tikus percobaan yang termodifikasi secara genetik untuk membedah pengaturan molekuler remodeling tulang, dan untuk menentukan molekul-molekul manakah yang penting dan harus ada bagi resorpsi dan pembentukan tulang. Molekul-molekul ini sebaliknya telah menjadi target-target teraputik hidup. Terdapat tiga kemajuan yang tercapai. Pertama adalah temuan bahwa sitokin RANK-L adalah diperlukan sekaligus mencukupi bagi membentuk dan memungsikan sel-sel osteoklas (3). Tikus-tikus yang kekurangan RANK-L akan tidak memiliki osteoklas; ini artinya bahwa RANK-L dapat ditekan untuk keuntungan teraputik pada osteoporosis, sebagaimana saat ini sedang dijalankannya menggunakan suatu antibodi monoklon (4). Kedua, telah diketahui bahwa pelepasan TGFa dari matriks tulang selama resorpsi menunjukkan suatu mekanisme mendasar, dan mungkin satu-satunya, melalui mana resorpsi tulang akan digabungkan dengan pembentukan tulang (5). Jadi, ketersediaan TGFa aktif saat awal pada suatu model tikus dari penyakit dari Carmauti-Engelman menimbulkan remodeling tulang yang terganggu, yang mengingatkan kita pada penyakit tulang dari Paget pada manusia (5). Akhirnya (ketiga), telah didapatkan bahwa central leptinergic nerve mengatur pembentukan tulang melalui perintah (relay) simpatis (6). Tikus yang secara genetik tidak memiliki komponen-komponen dari sistim nervus simpatis, khususnya reseptor â2 adrenergik, dengan demikian memiliki perbanyakan pembentukan tulang dan massa tulang yang tinggi. Hal yang sama, telah ditemukan bahwa banyak hormon-hormon hipofisis dan hipothalamus, sebut saja TSH, FSH, ACTH, dan okasitosin, secara langsung mengatur massa tulang melampaui target-target tradisonal pada mana mereka hanya diperkirakan bekerja (7-10). Tulisan ini akan memokuskan pada berbagai mekanisme baru tersebut ini.

TEKA-TEKI KLINIS

Data di Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 44 juta masyarakatnya memiliki osteoporosis, dengan insiden fraktur pada wanita-wanita pascamenopaus sangat melebihi kombinasi insiden kanker payudara, penyakit jantung dan stroke (11). Memang, penarikan (withdrawal) hormon steroid seks secara akut melalui ablasi gonad ataupun secara bertahap sebagaimana terjadi pada menopaus alami adalah selalu dikaitkan dengan hilangnya tulang. Bagaimanapun, apa yang telah terkumpul sedikit demi sedikit akhir-akhir ini adalah bahwa hilangnya tulang sangat dipercepat seawalnya pada akhir masa perimenopaus, meskipun level-level estrogennya secara relatif adalah normal (12, 13). Hingga sebesar 50% dari hilangnya tulang sepanjang hidup dapat terjadi dalam lima tahun pertama menopaus (11). Terbanyak yang tercatat, dalam hal ini parameter-parameter remodeling tulang, seperti misalnya frekuensi aktifasi, adalah meningkat bahkan lebih awal dalam tahun pertama menopaus (14). Pentingnya, hilangnya tulang ini adalah dikaitkan dengan deteriorasi struktur mikro jaringan tulang, yang mana akan menyebabkan suatu pengurangan kekuatan tulang secara dramatik dan suatu predisposisi ke suatu fraktur (15). Sebagaimana level estrogen adalah relatif normal selama masa akhir perimenopaus, laju hilangnya tulang yang cepat ini tidak dapat memberikan pemahaman bila dijelaskan melalui hipoestrogenemia. Fakta bahwa level-level FSH yang bersirkulasi adalah tinggi selama periode ini (12) mendorong kita untuk menyelidiki apakah FSH secara langsung memengaruhi skelet. Tambahannya, lebih dari 10% wanita-wanita pascamenopaus menerima terapi pengganti hormon tiroid. Dari kepentingannya yang sama, dibandingkan pada hipertiroidisme laki-laki , maka hal ini 10 kali lipat lebih sering pada wanita, dengan suatu angka insiden satu dalam 1,000 per tahun (16). Hipertiroidisme yang jelas ataupun penekanan TSH teraputik adalah dikaitkan dengan osteoporosis parah, yang adalah lebih sering terjadi pada wanita-wanita pascamenopaus (17, 18). Jadi, osteoporoses pascamenopaus dan keadaan tirotoksis bertumpang tindih secara bermakna pada wanita-wanita usia tua. Pentingnya, pasien pasien dengan hipertiroidisme subklinis pada mana level-level hormon tiroid adalah ”normal” dan TSH ditekan akan menderita kehilangan tulang yang parah (7); hal ini mendorong kita untuk memeriksa apakah TSH yang rendah mengijinkan bagi osteoporosis yang hingga kini dihubungkan hanya ke pada meningkatnya hormon-hormon tiroid.

Dalam dekade lalu, perhatian telah difokuskan pada pemahaman patofisiologi dari dua kondisi medis penting, osteoporosis pascamenopaus dan osteoporosis hipertiroid, yang dalam rangka itu telah menemukan mekanisme-mekanisme baru proses kehilangan tulang pathologis. Sebut saja, osteoporoses menopaus dan hipertiroidisme yang selama ini telah difikirkan hanya adalah diakibatkan oleh menurunnya estrogen serum dan meningkatnya hormon-hormon tiroid serum, secara berurutan, saat ini dapat dihubungkan, sedikitnya sebagian, kepada berbagai perubahan yang menyertai dalam hormon hipofisis anterior FSH dan TSH (19). Tulisan ini akan berfokus pada studi-studi pada biologi sel, genetika tikus, dan studi pada manusia yang telah memapankan suatu aksi langsung hormon-hormon yang bertanggung jawab pada tulang skelet, dan mendiskusikan bukti klinis yang sedang bermunculan saat ini tentang suatu aksis hipofisis-tulang yang baru pada manusia yang melampaui/melompati organ-organ endokrin utama, sebut saja ovarium dan kelenjar tiroid.


FSH YANG MENINGKAT DAN OSTEOPOROSIS PASCAMENOPAUS

Sejak adanya temuan Fuller Albright tentang hilang tulang hipogonad, defisiensi estrogen telah dipertimbangkan sebagai satu-satunya penyebab (20). Bukti yang didapat dari lebih dua dekade telah membanjiri kita bahwa menurunnya estrogen menyebabkan hilangnya tulang, dan bahwa penggantian estrogen akan mencegah kehilangan itu (21). Konsep-konsep ini adalah berlaku bagi semua spesies, dan tidak diragukan lagi bahwa estrogen memiliki peran utama dalam homeostasis skelet. Bagaimanapun, hal yang sebaliknya terjadi dengan data in vivo dan klinik, studi-studi in vitro menjelaskan bagaimana estrogen dalam mencegah hilangnya tulang adalah tidak begitu meyakinkan. Sebut saja, terdapat bukti efek estrogen yang lemah namun bersifat penghambatan langsung terhadap prekursor-prekursor osteoklas melalui penghambatan suatu enzim janus N-terminal kinase (22, 23). Estrogen juga menggunakan jalur-jalur ganda untuk memodifikasi sekresi RANK-L dan reseptor pengumpan (decoy)-nya yaitu osteoprotegerin (OPG) dari osteoblas, sehingga secara sekunder memengaruhi pembentukan osteoklas (24). Berbagai efek pada pembentukan osteoklas adalah juga dikerahkan melalui sel-sel T, di mana estrogen telah diketahui mengatur produksi sitokin TNF-, dan juga untuk memodulasi produksi penghambat osteoklas yaitu oksida nitrat (25-27). Juga suatu efek anabolik estrogen adalah telah termapankan dengan baik pada model-model binatang (28). Tulisan ini tidaklah menentang aksi anabolik estrogen, juga tidak meragukan efek antiresorptifnya. Tulisan ini hanyalah meninjau suatu korpus paralel studi yang mengusulkan FSH sebagai suatu perangsang resorpsi tulang fisiologis sekaligus patologis tambahan, menyarankan bahwa suatu keadaan meningkatnya FSH dapat menyumbang ke pada penyerapan berlebih dan hilangnya tulang yang hal ini hanya melulu dikaitkan kepada keadaan estrogen yang rendah.

Berbagai implikasi teraputik potensiil adalah meliputi perkembangan dari banyak pertentangan baik bagi FSH yang bersirkulasi dan reseptor osteoklastiknya. Pada tahun 2006, dilaporkan bahwa FSH rekombinan merangsang pembentukan osteoklas dari prekursor-prekursor sumsum tulang manusia atau tikus in vitro (8), suatu temuan yang telah dikonfirmasi oleh banyak temuan lainnya (29). Tambahannya, ditunjukkan bahwa FSH mengaktifasi sel-sel osteoklas dewasa manusia dan menguatkan daya tahan hidup osteoklas melalui penghentian apoptosis-nya (8, 30). Aksi-aksi osteoklastogenik, pro-resorptif dan pro-survival FSH adalah dikerahkan melalui suatu Gi2-coupled FSH receptor isoform, yang telah diidentifikasi baik pada osteoklas (dan prekursornya) manusia maupun tikus (8, 30-32). Dengan mengaktifasi reseptor, FSH menguatkan fosforilasi dari downstream RANK-L-sensitive kinases, sebut saja Erk dan Ak, juga IB, suatu penghambat NF-B; semua dari jalur ini dikenal mentransduksi efek-efek pro-resorptif RANK-L (8, 30). Sebagai tambahan terhadap efek aksi-aksi langsungnya pada prekursor-prekursor osteoklas, ditemukan bahwa FSH merangsang produksi TNF dari sel-sel makrofag prekursor pada sumsum tulang (33). Temuan lainnya menunjukkan kuatnya berbagai efek FSH pada pengekspresian sitokin pro-resorptif yang lain , IL-1â, pada manusia (32). Pacifici dan rekan kerjanya, sebagai tambahannya, telah mengunjukkan bahwa FSH meningkatkan pengekspresian CD40-ligand pada sel-sel limfosit T, yang mungkin sebagai suatu pemicu melalui mana defisiensi estrogen meningkatkan produksi TNF dari sel-sel T dan menyumbang bagi hilangnya tulang pada hipogonadisme (34).

Kekuatan dari observasi-observasi in vitro yang berasal dari Harry Blair (Pittsburgh), Alberta Zallone (Bari, Italia) dan dari laboratorium yang lainnya, dan saat ini telah pula dikonfirmasikan juga oleh banyak lainnya (29, 32), menyarankan bahwa peningkatan level-level FSH mungkin menyumbang bagi penguatan osteoklastogenesis dan penyerapan yang adalah khas pada keadaan-keadaan hipogonad.

Bagaimanapun, guna menyediakan bukti genetik bagi suatu efek FSH pada skelet yang dimunculkan secara tidak bergantung estrogen, maka digunakanlah tikus percobaan yang kekurangan the subunit of FSH atau the FSHR (8). Adapun bukti genetik dari tikus-tikus mutan FSHadalah adanya: haploinsufficiency (pengurangan sebesar 50%) FSH bersirkulasi dalam heterozigot FSHâ yang menghasilkan suatu keadaan massa tulang yang tinggi, walaupun tikus-tikus ini adalah dalam keadaan gonad normal (eugonadal) (8). Pentingnya, ditemukannya di sini bahwa, tingginya massa tulang adalah sebagai akibat dari pengurangan resorpsi tulang yang terbukti berdasarkan pemeriksaan histomorfometri dan kultur-kultur sel-sel sumsum tulang ex vivo (8). Meningkatnya massa tulang dan defek osteoklas pada tikus-tikus eugonad dan haploinsufisien, telah memisahkan berbagai aksi skelet FSH dengan estrogen (35). Tikus-tikus hypogonadal FSH-/- gagal kehilangan tulang meskipun terdapat hipogonadisme parah (8). Keadaan perlindungan skelet ini, adalah sebagiannya mirip dari apa yang terjadi pada keadaan yang sama pada hiperandrogenemia akibat dari bertahannya fungsi luteal (36), dan tulisan ini tidak menyangkalnya. Jadi, tikus-tikus FSHR-/- memang menunjukkan suatu keadaan kehilangan massa tulang bergantung umur, yang kemudian lanjut berkurang akibat penarikan (withdrawal) androgenik (36). Bagaimanapun, reduksi dalam massa tulang ini adalah sebagian besar akibat dari berbagai efek penghambatan estrogen dan penghilangan androgen pada pembentukan tulang, dengan suatu peningkatan rendah (hingga 4 – 5%) dalam resorpsi tulang (36). Sebaliknya, hal yang sama pada tikus-tikus hypogonadal aromatase-/- yang padanya level-level FSH adalah tinggi, mempertunjukkan suatu pelipatgandaan permukaan resorpsi walaupun dengan hiperandrogenemi level rendah yang ekivalen (35). Tikus-tikus ER-/--/- atau GnRHmut hpg, pada mana defsiensi estrogen adalah parah, namun tidak disertai serum FSH tinggi, tidak menunjukkan peningkatan resorpsi tulang yang diperkirakan (37, 38). Beberapa di antara tikus-tikus ini memang kehilangan tulang, namun hilangnya tersebut adalah akibat dari menurunnya pembentukan tulang lebih dari pada suatu peningkatan resorpsi tulang (38). Perkecualian terhadap hal ini adalah penghilangan (deletion) reseptor estrogen (ER) dalam osteoklas, di mana kehilangan tulang dan resorpsi meningkat benar-benar terjadi dalam keadaan menghadapi level-level FSH normal (39).

Sementara memapankan suatu efek estrogen pada skelet (39), hal itu yang memang tidak disangsikan, semuanya tidaklah menjelaskan adanya aksi tambahan FSH. Juga, tanpa (by no means) mengabaikan (excluding) efek antiresorptif estrogen, penarikannya (withdrawl) pada manusia yang diterapi dengan agonis-agonis GnRH, menyebabkan kehilangan tulang jenis high turnover meskipun level-level FSH menurun (40). Malahan, bukti berbagai efek berbeda dari estrogen dan FSH pada tulang, pada mana FSH adalah pro-resorptif, dan estrogen adalah anabolik dan anti-resorptif, menyiptakan suatu pergeseran paradigma dalam pemahaman kita tentang hipogonad, dan yang lebih penting, kehilangan tulang perimenopaus lanjut dan pascamenopaus. Kita perlu menghubungkan kehilangan tulang cepat mendadak dalam tahun-tahun awal menopaus tidak hanya dengan menurunnya estrogen, namun juga dengan meningkatnya level-level FSH. Dengan semua ini, tulisan ini mengajukan relevansi khsusus di mana pada saat level-level estrogen adalah normal, meskipun dalam hal ini kehilangan tulang adalah paling banyak.

Banyak observasi klinis menyokong terhadap peranan FSH dalam kehilangan tulang di sepanjang masa transisi menopaus. The Study of Women’s Health Across the Nations (SWAN), suatu studi cross-sectional dan longitudinal dari lebih dari 2375 wanita-wanita perimenopaus berusia di antara 42 dan 52 tahun, menunjukkan bahwa, tidak hanya terdapat suatu korelasi kuat di antara FSH basal dengan berbagai penanda remodeling tulang (41), namun bahwa suatu perubahan dalam level-level FSH lebih dari 4 tahun akan memrediksi suatu perubahan dalam massa tulang (13). Juga, Xu dkk., memerlihatkan suatu peningkatan bermakna dalam insiden osteoporosis pada suatu kelompok sebanyak 689 wanita-wanita Cina asli yang dengan FSH serum pada kuartil ketiga dan keempat (42). Baru-baru ini, Sower dkk. memerlihatkan bahwa kehilangan tulang vertebra dan kolum femur dipercepat pada wanita-wanita berusia di antara 47.6 dan 51 tahun, misalnya selama stadium 3 FSH (34 hingga 54 mIU/ml), yang berkorespon dengan saat 2 tahun sebelum periode menstruasi terakhir dengan kehilangan terbesar terjadi dalam 2 tahun setelah menopaus (43). Bahwa efek FSH yang mungkin, sebagiannya, terarahkan-sitokin (cytokine-driven) telah juga diunjukkan akhir-akhir ini (32). Khususnya, FSH rekombinan menginduksi isolated human monocytes untuk menyekresi IL-1â, TNFâ, dan IL-6 dalam proporsinya ke pada ekspresi reseptor-reseptor FSH (32). Lebih lanjut, konsentrasi-konsentrasi FSH serum pada wanita-wanita pascamenopaus adalah berkorelasi dengan level-level serum berbagai sitokin ini. Semua korelasi kuat ini membantu kita secara klinis untuk mengidentifikasi wanita-wanita mana yang mengalami kehilangan tulang cepat awal saat menopaus. Telah disediakan satu set rekomendasi yang mendorong intervensi aktif selama masa awal pascamenopaus untuk mencegah kehilangan tulang cepat (44)

Sementara studi-studi korelatif menyediakan informasi klinik berguna, adalah sulit untuk memapankan kausalitas sebagaimana FSH serum merupakan suatu penanda lebih sensitif bagi hipogonadisme dibandingkan dengan penurunan estrogen. Bagaimanapun, terdapat tiga studi yang membawa kita ke suatu langkah menuju pemapanan hubungan sebab-akibat antara FSH dan hilangnya tulang. Pertama, yang berupa studi kecil, menunjukkan bahwa, dengan level-level estrogen yang sama, wanita-wanita amenoreik yang memiliki suatu rerata FSH serum sebesar 35 mIU/ml mengalami kehilangan tulang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan wanita-wanita yang dengan rerata level FSH serum sebesar 8mIU/ml (45). Yang kedua adalah studi pada tikus di mana pemberian FSH secara eksogenus dapat menguatkan kehilangan tulang alveolar yang terinduksi ovariektomi (46, 47). Lebih penting, hilangnya tulang pascaovariektomi, juga bahwa apa yang terinduksi oleh FSH eksogenus, secara bermakna diturunkan oleh suatu antagonis FSH, menyediakan bukti langsung bagi suatu efek FSH pada skelet in vivo (46, 47). Akhirnya, suatu efek langsung FSH pada skelet manusia telah termapankan oleh suatu analisis genetik akhir-akhir ini dari polimorfisme FSHR pada wanita-wanita pascamenopaus, pada mana ditunjukkan bahwa SNP rs6166 dari gen reseptor FSH secara bermakna memengaruhi densitas mineral tulang dan risiko fraktur (48). Khususnya, wanita-wanita dengan AA rs6166 adalah berada pada risiko yang lebih banyak untuk osteoporosis dan fraktur dibandingkan dengan wanita-wanita yang dengan GG rs6166, yang dalam hal ini tidak bergantung dengan level-level FSH dan estrogen dalam sirkulasi. Yang paling penting, kelompok ini memerlihatkan berbagai penanda resorpsi tulang yang tinggi, menyarankan bahwa terdapat suatu efek langsung resorpsi tulang osteoklastik (48). Jadi, sementara suatu bukti dari peran FSH dalam pengaturan massa tulang terus berkembang, analisis genetik ini menawarkan suatu argumen menarik bagi suatu efek langsung FSH pada skelet manusia.


TSH RENDAH DAN KEHILANGAN TULANG PADA HIPERTIROID

Von Recklinghausen (1890) merupakan yang pertama melaporkan adanya suatu asosiasi antara fraktur-fraktur berganda dengan hipertiroidisme (49). Pengalaman klinis yng merupakan kenyataan dan penelitian yang berorientasi pasien kemudiannya telah memapankan banyak asosiasi yang jelas antara tirotoksikosis dan osteoporosis.
Greespan dan Greenspan menyimpulkan bahwa hipertiroidisme berlebih, termasuk penyakit dari Grave, adalah dikaitkan dengan suatu kehilangan integritas skelet dan suatu risiko fraktur panggul yang tinggi (16). Pentingnya, penekanan teraputik TSH bagi kanker tiroid, gondok atau nodul-nodul tiroid adalah dikaitkan dengan osteoporosis, yang mana lebih kentara pada menopaus (17, 18). Sebaliknya, terapi pengganti hormon tiroid untuk menormalkan level FSH serum pada pasien-pasien hipotiroid memiliki suatu efek, yang bila ada, adalah minimal pada tulang. Teka-teki klinis ini memunculkan pertanyaan apakah efek merusak akibat berlebihnya hormon tiroid adalah dimediasi oleh hormon tiroid itu sendiri, tertekannya level TSH, ataukah bahkan faktor-faktor lainnya, seperti misalnya antibodi-antibodi TSHR. Data in vitro menunjukkan efek perangsangan dari hormon tiroid pada resorpsi tulang mendukung banjirnya asosiasi klinik antara hipertiroidisme, osteoporosis dan risiko fraktur yang tinggi (50, 51). T4 dan T3 merangsang resorpsi tulang osteoklastik in vitro dan dalam kultur-kultur organ awalnya melalui pengaktifan osteoblas, yang kemudian melepaskan RANK-L yang menggabungkan aktifasi osteoblastik dengan penguatan resorpsi (52, 53). Bukti genetik adalah sama kuatnya. TR null mice dengan level-level hormon tiroid dan TSH normal memerlihatkan suatu massa tulang yang tinggi, sementara TR deficient mice, pada mana TSH maupun hormon tiroidnya adalah meningkat, memerlihatkan kehilangan tulang (54). Konfirmasi genetik aksi hormon tiroid ini pada tulang tidaklah, bagaimanapun, mengabaikan suatu efek langsung dari level-level TSH rendah. Faktanya, pasien dengan hipertiroidisme subklinis, pada mereka dengan hormon tiroid serum yang normal namun TSHnya ditekan, memerlihatkan osteoporosis high turnover (55-58) dan densitas tulang dan risiko fraktur berkorelasi kuat dengan level-level TSH serum, tidak dengan hormon tiroid serum (59, 60). Telah dilaporkan bahwa TSH merupakan suatu penghambat langsung osteoklas maupun osteoblas (7). Jadi, haploinsufisiensi reseptor TSH (TSHR) pada tikus-tikus TSHR+/- heterozigot akan memicu osteoporosis high turnover dalam keadaan fungsi tiroid normal (7). Lebih lanjut, tikus-tikus TSHR-/- adalah osteoporotik, suatu fenotip yang, dalam suatu keadaan hipotiroid, tidak memungkinkan (could not possibly) muncul dari aksi-aksi proresorptif hormon tiroid. Penggantian hormon tiroid dari tikus-tikus TSHR-/- gagal dalam memertahankan massa tulang, namun mengoreksi pengerdilan (7). Semua data ini menyarankan bahwa efek dari suatu kecacatan pensinyalan TSH pada tulang adalah tidak bergantung dari hormon tiroid dalam sirkulasi. Lebih lanjut, berbagai studi ini menghubungkan, sedikitnya melalui implikasinya, osteoporosis hipertiroidisme dengan level-level TSH rendah, lebih dari pada semata-mata dengan hormon tiroid tinggi (61, 62). Data dari Abe dkk., Hase dkk., dan Sun dkk. mendukung bukti bahwa TSH menghambat resorpsi tulang secara langsung (7, 63, 64). Tikus-tikus TSHR-/- memerlihatkan bukti dari penguatan pembentukan osteoklas, sebagaimana halnya pada tikus-tikus hyt/hyt yang memiliki kecacatan pensinyalan TSH (7, 64). Konsisten dengan studi-studi tentang kehilangan fungsi ini menunjukkan menguatnya osteoklastogenesis, pengaplikasian TSH rekombinan akan menghentikan genesis, fungsi, dan daya tahan hidup osteoklas in vitro (7). Juga, pengekspresian berlebih TSHR yang teraktifasi secara konstitutif pada sel-sel prekursor osteoklas RAW.C3 atau pengekspresian transgeniknya pada prekursor-prekursor tikus adalah mengambat osteoklastogenesis (63, 64). Penghambatan ini dapat dijelaskan melalui adanya suatu penurunan pensinyalan NF-B dan JNK, juga melalui statu penghambatan produksi sitokin osteoklastogenik, TNF (7, 63). Produksi TNF diregulasihulukan pada tikus-tikus TSHR-/- (7), yang kita percayai, meningkatkan pembentukan osteoklas, menyumbang, sedikitnya sebagian, kepada fenotip osteopenik.
Dilesi genetik TNF pada tikus-tikus TSHR-/- menyelamatkan proses peningkatan pembentukan osteoklas dan osteoporosis pada homozigot-homozigot ganda (63). Hal ini konsisten dengan tingginya level-level TNF dan IL-6 yang ditemukan pada manusia hipertiroidisme (65). Jadi, bukti dari studi-studi genetik, farmakologi dan studi-studi pada manusia adalah memaksakan bahwa pensinyalan TSH adalah menghambat pembentukan, fungsi, dan nasib osteoklas. Bukti bagi penekanan langsung resorpsi tulang oleh TSH adalah juga menggunung (64, 66, 67), walau nampaknya bahwa pemberian TSH secara intermiten mungkin juga menjadi bersifat anabolik, meskipun diketahui suatu kemungkinan aksi anti-anabolik hormon tersebut ketika ia bersirkulasi secara konstan pada level-level tinggi. Pada sejumlah 13 tikus, pemberian TSH 3 kali seminggu menghambat hilangnya tulang yang terinduksi ovariektomi dan merestorasi kehilangan tulang 28 minggu setelah ovariektomi (67). Berbagai observasi yang disebut belakangan, dalam perestorasian kehilangan tulang telah menghubungkan berbagai efek anabolik TSH intermiten akibat dari peningkatan laju pembentukan tulang pada studi-studi yang berlabel kalsein (67). Dalam suatu studi lanjutan, TSH mencegah kehilangan tulang yang terinduksi ovariektomi pada tikus, hal yang sama seperti pada pengobatan dengan estrogen atau PTH intermiten (64). Didapatkan juga bahwa kehilangan tulang yang terobservasi setelah ovariektomi pada tikus-tikus besar dapat direstorasi dengan penginjeksian TSH sekali seminggu atau sekali setiap dua minggu – suatu temuan luar biasa mengingat pendeknya waktu paruh TSH tikus (64).

Studi-studi klinis mengenai efek TSH rekombinan pada manusia adalah juga bermunculan dengan cepat. Sebut saja, pada wanita-wanita pascamenopaus, suatu penginjeksian subkutan tunggal dari TSH manusia rekombinan dengan jelas menurunkan serum crosslaps dalam dua hari hingga ke level-level pramenopaus, diikuti oleh penyembuhan setelah 7 hari (66). Bagaimanapun, berbagai efek pada level-level RANK-L dan osteoprotegerin (OPG) serum telah menjadi kontroversi. Sementara Giusti dan kawan sekerjanya (68) memerlihatkan tidak adanya perubahan dalam sitokin-sitokin ini sebagai respon terhadap TSH rekombinan pada pasien-pasien penerima tiroksin untuk differentiated carcinoma thyroid, Martini dan kawan sekerjanya (69) mendapatkan suatu peningkatan RANK-L mengikuti suatu elevasi inisial (initial elevation) PINP, yang merupakan suatu penanda pembentukan tulang. Studi berikutnya menyarankan bahwa TSH rekombinan yang diberikan bolus pada awalnya memengaruhi pembentukan tulang, suatu simpulan yang kelihatannya suatu bukti dari studi-studi pada tikus besar (67). Dari catatan adalah bahwa, tidak ada studi-studi pada binatang pengerat (64, 67) atau pada manusia (66) yang dengan peningkatan level-level hormon tiroid, yang membuktikan melewati keraguan yang beralasan (which proves beyond reasonable doubt) bahwa aksi-aksi skeletal TSH adalah: (1) bebas dari aksi-aksi hormon tiroid (independent from those of thyroid hormones), (2) dikerahkan pada konsentrasi-konsentrasi yang relatif rendah, dan, (3) pada pokoknya (in instances), dapat terjadi pada pemberian intermiten.

Beberapa laporan telah mengiindikasikan bahwa level-level TSH serum rendah dan kehilangan tulang adalah berkorelasi dengan kuat. Satu studi terkini memerlihatkan adanya korelasi negatif kuat pada wanita-wanita pascamenopaus antara C-telopeptid serum, suatu penanda resorpsi tulang, dengan level-level TSH serum, pada mana tidak terjadi korelasi demikian dengan level-level hormon tiroid serum (70). Tiroksin-L yang diberikan kepada pasien-pasien dengan penyakit tiroid noduler mengurangi densitas mineral tulang hingga ke lebih besar bermakna pada pasien-pasien yang dengan level-level TSH mereka ditekan melebihi dari mereka yang dengan TSH tetap dalam batas normal (71). Juga, pada pasien-pasien dengan differentiated carsinoma thyroid, terdapat suatu korelasi terbalik kuat di antara TSH serum dengan berbagai penanda turnover tulang (72). Diperlihatkan bahwa, berbagai korelasi ini adalah bebas/tidak bergantung dari level-level T4 bebas serum dan T3 serum, juga dari parameter-parameter lainnya dari metabolisme tulang (72). Level-level kathepsin K bersirkulasi yang tinggi, yang belum tervalidasi sebagai penanda bagi resorpsi tulang, telah juga dilaporkan pada pasien-pasien penerima dosis-dosis supresif tiroksin bagi kanker tiroid (73). Studi Tromso (74), melaporkan bahwa subjek-subjek dengan level TSH serum mereka di bawah 2.5 dan di atas 97.5 persentil memiliki densitas mineral tulang lebih rendah dan lebih tinggi secara bermakna, berurutan, pada mana tidak terdapat asosiasi yang seperti itu tercatat di antara TSH serum dengan BMD pada level- level TSH normal. Hal ini dikonfirmasikan pada HUNT-2, yang mengunjukkan suatu korelasi kuat antara TSH rendah dengan densitas tulang pada wanita-wanita hipertiroid (75). Hal yang sebaliknya dengan Tromso dan HUNT-2, di mana tidak terdapat korelasi nampak pada level-level TSH normal, yang diperlihatkan akhir-akhir ini bahwa, tanpa memandang level-level T4 bebas, wanita-wanita pascamenopaus dengan level-level TSH normal memiliki suatu massa tulang yang menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang dengan level-level TSH yang rendah (76). Tambahannya, dalam suatu studi epidemiologi yang diperluas menggunakan data dari NHANES, rasio-rasio odds untuk korelasi-korelasi antara TSH serum dan massa tulang berada pada rentangan 2 dan 3.4 (60). Secara khusus terdapat suatu korelasi positif kuat antara TSH serum, yang dalam berbagai rujukan, dengan massa tulang baik pada wanita-wanita Amerika kulit hitam maupun kulit putih. Akhirnya, dalam observasi-observasi terbatas pada pasien-pasien yang diterapi dengan tiroksin, TSH serum berkorelasi dengan sejumlah indikator arsitektur mikro tulang menggunakan ultrasound tumit (77). Lebih lanjut, dan lebih menarik, data datang dari Bauer dkk. (59), yang memerlihatkan bahwa terdapat suatu peningkatan dramatik sebesar 4.5 dan 3.2 kali lipat dalam laju fraktur tulang belakang dan bukan tulang belakang, secara berurutan, bilamana TSH serum diturunkan di bawah 0.1 IU/L. Yang lebih terkini, Mazziotti dan kawan sekerjanya menemukan bahwa nilai-nilai TSH di bawah normal adalah dikaitkan dengan suatu prevalensi fraktur tulang belakang yang tinggi pada wanita-wanita pascamenopaus yang terdiagnosis dengan osteoporosis atau osteopenia, tak bergantung dengan hormon tiroid, usia dan BMD (78). Studi-studi epidemiologi ini mendorong kita untuk mengerahkan kewaspadaan klinis dalam menggunakan suplementasi hormon tiroid untuk menurunkan TSH serum, khususnya pada pasien-pasien hipotiroid non-kanker yang mana penekanan teraputik tidak diperlukan. Hal ini juga mendorong kita untuk menggunakan suatu agen antiresorptif dalam mencegah hilangnya tulang pada pasien-pasien di mana penekanan teraputik TSH adalah dibutuhkan. Akhirnya, asosiasi-asosiasi allelic antara TSHRs, TSH serum dan massa tulang, pada titik ini, mungkin menyumbang bukti yang paling kuat bagi kausalitas antara TSH dan massa tulang pada manusia. Pasien-pasien yang membawa TSHR-D727E polymorphism dalam tubuhnya memiliki suatu massa tulang yang tinggi, suatu asosiasi yang menghilang setelah pengoreksian berat badan (72). Asosiasi allelic yang sama telah dilaporkan pada wanita-wanita pascamenopaus dari studi-studi Inggris dan Rotterdam (79, 80). Hingga kini, polimorfisme lainnya pada populasi Korea, yang diberi nama T+140974TC, dikaitkan dengan suatu densitas tulang tinggi pada tulang belakang lumbal dan kolum femur, khususnya pada kelompok-kelompok pasien dengan suatu peningkatan level TSH, yang mungkin konsisten dengan suatu aksi anti-resorptif TSH (79).


SIMPULAN

Tulisan ini mengusulkan suatu pergeseran paradigma dalam fisiologi endokrin. Yaitu, hormon-hormon hipofise – FSH dan TSH – bekerja sesuai disain pada suatu jaringan non-endokrin, tulang. Tertanam di dalam buku-buku teks puluhan tahun telah menguatkan fakta bahwa pelepasan hormon-hormon ini merangsang sekresi hormon utama (master hormones) dari organ-organ endokrin target. Ekstrapolasi ambisius dari konsep dalam tulisan ini adalah bahwa suatu pluralitas dari hormon-hormon hipofise bekerja secara bersama-sama sebagai bagian dari aksis hipofise-tulang untuk mengatur integritas skelet dalam keadaan sehat dan sakit. Ketika hormon-hormon utama terdisregulasi sebagai hasil dari level-level hormon hipofise berubah melalui umpan balik hipothalamik, yang belakangan juga menyumbang bagi kehilangan tulang. Osteoporosis pada hipertiroidisme yang hanya difikirkan disebabkan oleh meningkatnya level-level hormon tiroid jadinya dapat dihubungkan, sedikitnya sebagian, dengan menurunnya level-level TSH, khususnya pada pasien-pasien yang dengan level-level hormon tiroidnya adalah normal. Juga, osteoporosis pada menopaus yang hanya difikirkan muncul oleh karena menurunnya estrogen, saat ini dapat dijelaskan dengan suatu peningkatan FSH, khususnya selama masa perimenopus lanjut ketika level-level estrogen adalah normal dan kehilangan tulang adalah cepat. Dari titik pijakan evolusi, adalah juga terlihat dari studi-studi genetik tikus dan farmakologis bahwa aksis hipofise-tulang adalah lebih terpertahankan (conserved) dibandingkan dengan aksis-aksis hipofise-ovarium atau hipofise-tiroid. Koservasi evolusi yang lebih kuat adalah didukung oleh data yang mengunjukkan bahwa haploinsufisiensi FSH atau TSHRs memengaruhi skelet tanpa memengaruhi kelenjar ovarium dan tiroid, secara berurutan (7). Lebih lanjut, TSH eksogenus menghambat resorpsi tulang pada tikus, tikus besar dan manusia tanpa memengaruhi level-level hormon tiroid serum (64, 66, 67). Suatu studi longitudinal baru-baru ini telah menekankan berbagai kompleksitas dalam banyak fluktuasi hormonal selama masa transisi menopause (81), dan adalah sangat mirip bahwa sel-sel tulang target menerima (sum) perubahan-perubahan ini bagi memengaruhi suatu hasil luaran tertentu. Pertanyaan baru juga bermunculan. Apakah uji-uji diagnostik yang baru adalah dirancang untuk mendeteksi berbagai perubahan dalam aksis hipofise-tulang, yang merefleksikan kekacauan sistim yang lebih besar? Juga, dapatkah berbagai terapi biologis yang baru adalah dikembangkan untuk mengeksploitasi aksis hipofise-tulang guna mencegah kehilangan tulang pada hipogonadisme, hipertiroidisme, dan berbagai kondisi medik lainnya? Penggunaan ACTH untuk mencegah osteonekrosis terinduksi glukortikoid pada panggul menyumbangkan satu contoh seperti itu (9).

Kualitas Tulang dan Terapi Osteoporosis

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai oleh rendahnya kekuatan tulang yang mengawali peningkatan suseptibilitas kepada fraktur tulang. Kapasitas tulang untuk menahan gaya-gaya mekanik dan fraktur bergantung tidak hanya pada kuantitas tulang namun juga pada kualitasnya.
Banyaknya jaringan tulang sebagiannya dapat dievaluasi melalui pengukuran kepadatan mineral tulang (BMD) menggunakan dual X-ray absorptiometry (DEXA). Saat ini BMD merupakan penentu terpenting kekuatan tulang dan risiko fraktur (1), namun ia tidaklah melulu memrediksi risiko fraktur, dan perubahan dalam BMD hanyalah berarti seporsi pengurangan risiko fraktur yang terobservasi melalui berbagai terapi osteoporosis. Orang-orang yang lebih tua dapat memiliki hingga sepuluh kali lipat peningkatan risiko fraktur 10-tahunan dalam perbandingannya dengan individu-individu yang lebih muda yang dengan BMD yang sama (2). Jadi, dalam individu-individu dengan BMD sebanding, risiko fraktur tidaklah sama. Tambahannya, lebih dari 50% keseluruhan fraktur terjadi pada wanita dengan osteopenia, sebagaimana didefinisikan oleh satu -2.5 < BMD skor T pada kelompok ini akan menjadi tidak terdeteksi melalui penggunaan pendefinisian BMD WHO tentang osteoporosis (3). Perubahan dalam BMD terkait dengan pengobatan antiresorptif adalah bernilai kurang dari 40% dari efeknya dalam mengurangi risiko fraktur tulang belakang (4, 5), yang menunjukkan bahwa berbagai perubahan dalam BMD dengan pengobatan osteoporosis hanya sebagian saja menjelaskan pengurangan risiko fraktur dan bahwa terdapat faktor-faktor independen tambahan yang mungkin berkontribusi kepada efikasi klinis dari berbagai terapi ini. Terminologi ” kualitas tulang” kemudian diajukan untuk merujuk bagi kombinasi berbagai faktor yang memengaruhi risiko fraktur namun yang tidak berhubungan dengan massa tulang (6, 7)

KUALITAS TULANG

Kualitas tulang adalah ditentukan oleh sifat-sifat struktur dan material yang dipengaruhi oleh laju bone turnover. Bone turnover atau remodeling tulang merupakan suatu proses kontinyu dari pembaharuan tulang pada mana tulang tua atau rusak diserap dan tulang baru dibentuk untuk menggantikannya membentuk suatu tulang yang sebagaimana adanya secara mekanik dan memertahankan homeostasis. Sifat-sifat struktur tulang terdiri dari geometri (ukuran dan bentuk) dan arsitektur mikro (arsitektur trabekuler/kanselus dan ketebalan kortikal/porositas), sementara sifat-sifat material tulang terdiri dari komposisi mineral dan kolagen demikian juga kerusakan mikro dan perbaikannya (gambar 1).

Sementara pengukuran yang persis untuk kekuatan tulang tidak ada, BMD telah digunakan secara luas sebagai suatu pengganti noninvasif dari parameter ini demikian juga sebagai suatu prediktor akurat dari risiko fraktur. Di samping penggunaan DXA, BMD dapat diukur dengan quantitative computer tomography (QCT) yang merefleksikan BMD volumetrik alih-alih suatu proyeksi areal dan dengan demikian memungkinkan penentuan dari densitas volumetrik aktual tulang yang tidak bergantung ukurannya. Bagaimanapun, pada penggunaan biopsi tulang atau spesimen otopsi, sejumlah teknik pendekatan telah dikembangkan yang menyediakan pemahaman lebih baik tentang bagaimana kualitas tulang berkontribusi kepada kekuatan tulang pada berbagai keadaan penyakit yang tak diobati maupun yang diobati. Yang paling popular dari teknik pendekatan ini adalah histomorfometri, namun berbagai teknik imejing yang lebih baru seperti microcomputed tomography (µCT) dan magnetic resonance microimaging (µMRI) memungkinkan pengukuran tiga dimensi (3D) arsitektur mikro trabekuler dalam contoh-contoh tulang dalam suatu cara nondestruktif. Meskipun analisis MRI dan µCT adalah dapat dipercaya, mereka harus sebaiknya digunakan secara kombinasi untuk mendapatkan simpulan yang sahih. Namun, penggunaan dari teknik-teknik ini adalah masih terbatas akibat dari ketersediaannya yang terbatas, berbiaya mahal, dan memaparkan radiasi relatif tinggi.
Bone Turnover atau Remodelling

Bone turnover mengoordinasikan berbagai faktor yang berkontribusi kepada kualitas tulang (gambar 1). Keseimbangan di antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang merupakan komponen kunci dalam melanggengkan kualitas tulang, memerbaiki kerusakan arsitektur mikro, memertahankan BMD dan mengurangi risiko fraktur.
Percepatan dalam bone turnover mengawali kepada hilangnya beberapa trabekula tulang yang tidak akan diperoleh kembali, menghasilkan lemahnya tulang dan meningkatnya risiko fraktur. Karena adalah tidak memungkinkannya secara rutin untuk menilai konektifitas trabekula tulang pada pasien-pasien dengan osteoporosis, bone turnover adalah yang paling sering dinilai dalam praktik klinik melalui pengukuran berbagai penanda biokimia bone turnover.
Dapat dideteksinya dalam darah atau urin, berbagai penanda bone turnover merupakan produk dari pemecahan osteoblas/osteosit dan osteoklas, kolagen tipe I yang merefleksikan pembentukan tulang dan resorpsi tulang, secara berurutan. Sebagai contoh, CTx (bone type I collagen C-telopeptide) merupakan suatu produk degradasi kolagen dan sehingga mencerminkan penyerapan tulang; tingginya level CTx secara umum berarti peningkatan bone turnover.
Penanda tulang juga membantu dalam menilai respon terhadap terapi antiresorptif; mereka umumnya berkurang setelah sebulan (berbagai penanda penyerapan) hingga empat bulan (berbagai penanda pembentukan) pengobatan; bagaimanapun, terdapat variabilitas intra- dan inter-individu yang cukup, dan level-levelnya dipengaruhi oleh diet dan ritme sirkadia. Namun, pengukuran penanda bone turnover sebagai tambahan terhadap BMD, telah diajukan sebagai suatu pengganti/perwakilan yang lebih efektif dalam memrediksi risiko fraktur dibandingkan hanya BMD saja (8).
Bone turnover dapat juga dinilai dengan histomorfometri tulang menggunakan pelabelan tetrasiklin sebelum biopsi. Luasnya permukaan terlabel tetrasiklin mengindikasikan bone turnover, menjelaskan bahwa remodeling tulang adalah dalam suatu keadaan yang tetap (steady state) dan bahwa penyerapan tulang dan pembentukan tulang adalah berdampingan.
Histomorfometri terdiri dari analisis kuantitatif dari parameter-parameter penyerapan tulang dan pembentukan tulang, dan struktur pada potongan-potongan histologis, dan sangat dipertimbangkan sebagai baku emas untuk menilai bone turnover karena ia merupakan satu-satunya metode yang tersedia untuk menganalisis in situ langsung sel-sel tulang dan aktifitasnya. Tambahannya, teknik ini dapat menilai arsitektur mikro tulang 2D yang memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran-pengukuran terhadap misalnya ketebalan dan konektifitas trabekula. Terlebih lagi, analisis komputer dari contoh-contoh biopsi dapat menilai berbagai karakteristik kavitas penyerapan dalam cara-cara kuantitatif seperti misalnya rerata (mean) dan kedalaman erosi maksimum, dan area yang tererosi. Namun, bone turnover dalam biopsi-biopsi krista iliaka dapat tidak merefleksikan perubahan-perubahan pada lokasi skelet lainnya dan sifat invasif prosedur ini dapat menjadi suatu kekurangan bagi tujuan-tujuan penggunaannya yang lebih luas (6).
Penanda biokimia dan histomorfometri adalah berbeda dalam hal penentuan mereka terhadap bone turnover khususnya dalam hal derajat penekanan bone turnover oleh agen-agen anti-resorptif, yang umumnya hasilnya akan lebih besar ketika dinilai dengan teknik yang belakangan.


Geometri Tulang

Diameter eksternal dan ketebalan kortikal tulang memainkan peran penting dalam penentuan kekuatan tulang. Geometri tulang memerhitungkan distribusi dari massa tulang dan kemampuan tulang untuk menahan torsi dan bending (mis. semakin luas diameter eksternal suatu silinder, semakin besar ketahanannya terhadap bending). Dengan demikian, untuk area BMD yang sama, suatu tulang yang lebih luas akan memiliki kekuatan bending dan kekuatan aksial yang lebih besar oleh karena massa-nya didistribusikan menjauh dari pusat (gambar 2A).
Adanya bukti yang cukup telah mengindikasikan bahwa berkurangnya properti material jaringan tulang terkait umur akan diikuti oleh suatu pendistribusian ulang tulang kortikal dan trabekuler. Secara khusus pada tulang apendikuler berbagai perubahan ini akan meliputi penyerapan endosteal di dalam tulang berkombinasi dengan aposisi periosteal pada permukaan eksternal. Hal ini mengawali ke pada suatu peningkatan diameter tulang panjang terkait umur namun disertai suatu penurunan dalam ketebalan korteks. Peningkatan dalam diameter luar ini membantu untuk memertahankan ketahanan terhadap pembebanan bending dan torsi. Bertahun-tahun telah disarankan bahwa laki-laki menjalani pola adapatasi geometrik alami ini lebih besar dibandingkan dengan wanita, yang menjadikan ini sebagai alasan untuk menjelaskan bagi lebih rendahnya angka kejadian fraktur pada laki-laki tua dibandingkan dengan wanita tua. Bagaimanapun, data terkini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun wanita menjalani berbagai perubahan geometrik yang sesuai dengan bertambahnya umur (gambar 2B).

Arsitektur-mikro Tulang

Berbagai perubahan dalam arsitektur mikro tulang membentuk suatu kontribusi penting bagi kekuatan tulang yang mungkin tidak selalu terliput melalui pengukuran-pengukuran densitas mineral tulang. Dalam hal ini, arsitektur kortikal dan kanselus adalah penting. Pada tulang kanselus, jumlah dan ketebalan trabekula dan konektifitas dan orientasi mereka (anisotropi) menyumbang bagi kekuatan tulang, hal mana pada tulang kortikal, luas dan porositas merupakan determinan utama.
Perubahan arsitektur mikro tulang pada keadaan-keadaan penyakit yang diobati maupun tidak diobati merupakan hasil dari bebagai perubahan dalam remodeling tulang yang mendasari. Keadaan high turnover dan meningkatnya aktifitas osteoklas berkecenderungan kepada penetrasi trabekula, hilangnya konektifitas, penipisan korteks dan meningkatnya porositas kortikal, di mana keadaan low turnover dan berkurangnya pembentukan tulang dikaitkan dengan penipisan trabekula dan pelanggengan relatif dari arsitektur mikro tulang.
Meskipun beberapa dari berbagai gambaran arsitektural ini dapat dinilai melalui histomorfometri tulang, berbagai metoda yang lebih canggih saat ini telah dikembangkan yang memungkinkan visualisasi 3D dan kuntifikasi.
Pengembangan µCT scanning telah memungkinkan evaluasi 3D dari contoh-contoh tulang trabekuler pada resolusi 14 – 50 µm. Melalui penggunaan µCT, volum tulang (BV), jumlah dan ketebalan trabekula, dan konektifitas dapat dinilai. Ketegangan (strain) pada jaringan tulang dapat diukur dengan membandingkan elemen-elemen struktural dengan dan tanpa pembebanan mekanik. Teknik ini juga berpotensi berguna bagi studi aspek molekuler fisiologi tulang sebagaimana ia dapat di jalankan pada temperatur rendah, memertahankan RNA dan dengan demikian memungkinkan penyelidikan dari berbagai interaksi di antara profil-profil genetik dan berbagai properti biomekanik (6)
Analisis elemen berukuran mikro melalui pengombinasian geometri tulang dengan berbagai karakteristik material untuk memrediksi kekuatan tulang merupakan suatu teknik yang menjanjikan bagi penilaian fraktur yang didasarkan pada penghitungan berbagai properti mekanik lokasi-lokasi trabekula dari imej-imej resolusi tinggi. Penggunaan kombinasi dari kedua metoda ini menyediakan suatu penilaian in vivo BV yang ada (apparent) terhadap volum total (BV/TV) dan menguantifikasi berbagai perubahan dalam elemen-elemen horizontal tulang trabekula dari radius distal pada wanita-wanita pascamenopaus dalam hal struktur dan kekuatan tulang (6)
Akhirnya, MRI resolusi tinggi yang noninvasif dan nonionisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi tulang trabekula. Alat ini dibuat untuk membandingkan struktur trabekuler tulang kalkaneus pada wanita-wanita dengan dan tanpa fraktur panggul terkait dengan osteoporosis, memungkinkan pembedaan yang jelas di antara kedua kelompok (9). Lebih terkini, berbagai efek kalsitonin pada parameter arsitektur mikro trabekula dianalisis membandingkan baik MRI noninvasif pada berbagai lokasi skelet multipel (radius, hip, dan kalkaneus) maupun µCT/histomorfometri yang didapat melalui biopsi tulang krista iliaka, dalam percobaan QUEST (qualitative effects of salmon-Calcitonin trial). Meskipun hasil-hasilnya mendukung penggunaan MRI bagi penilaian arsitektur mikro trabekula dalam percobaan-percobaan penelitian klinik, peneliti di sini menggarisbawahi berbagai perbedaan yang spesifik-lokasi (site-specific) dalam respon terhadap terapi antiresortif dan perlunya pengambilan contoh (sampling) yang cukup besar dalam rangka penilaian arsitektur tulang yang dapat dipercaya (10).


Komposisi Matriks Tulang

Matriks tulang memiliki dua konstituen esensiil, mineral dan kolagen. Mayoritas bukti menyarankan bahwa dalam tulang normal mineral menyediakan kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength) di mana kolagen mendukung tulang dalam hal daktilitas (ductility) dan kemampuannya menyerap energi (toughness) sebelum terjadi patah.
Kolagen tulang secara kontinyu diperbaharui dan serat-seratnya distabilisasi secara pascatranslasi melalui enzymatic cross-linking (piridinolin dan deoksipiridinolin), non-enzymatic glycation yang membangkitkan AGEs (aged glycation product ends) seperti pentosidin, dan isomerisasi-β dari epitop CTx.
Rasio piridinolin/deoksipiridinolin (PYD/DPD) telah ditunjukkan menjadi positif dikaitkan dengan kekuatan dan kekakuan dalam tulang, namun menampakkan memiliki korelasi kecil dengan toughness. Non-enzymatic collagen cross-link (AGEs) membuat jaringan tulang lebih brittle dan gampang fraktur. Berbagai studi in vitro tulang kortikal bayi sapi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa berbagai perubahan dalam cross-link (PYD, DPD dan AGEs) dan dalam derajat bersamaan dengan isomerisasi-β karboksi telopeptid dari kolagen tipe-I mengubah berbagai properti mekanik tulang sebagai resultante dari proses penuaan (11).
Berlebihannya AGEs akan mengawali ke pada suatu penurunan dalam toughness dan kekuatan akibat dari meningkatnya kekakuan. Terlebih lagi, reseptor-reseptor AGE yang nampak pada sel-sel tertentu (osteoblas, misalnya) mungkin mengatur ke hilir (downregulate) sel-sel ini. Menariknya, AGEs adalah meningkat pada diabetes dan mungkin berpartisipasi dalam percepatan proses penuaan yang dialami oleh subjek-subjek diabetik (12)
CTx yang berasal dari kolagen tipe I yang baru disintesis sebagai CTx αα dan kemudian mengalami isomerisasi yang membangkitkan CTx ββ, yang dilepaskan dari kolagen tipe I yang telah tua. Dengan demikian, penilaian dari fragmen-fragmen CTx αα dan ββ dengan enzyme-linked immunosorbent assay merefleksikan usia dari kolagen tulang endogen. Rasio CTx αα/ββ yang terhitung dalam contoh-contoh urin merefleksikan nilai rerata usia kolagen tulang dan dapat digunakan sebagai suatu indeks kualitas matriks tulang (13) (gambar 3). Dalam kesepakatan dengan konsep ini, telah ditunjukkan bahwa nilai rerata usia tulang yang ternilai dengan ratio CTx αα/ββ adalah lebih tinggi pada bone turnover cepat (accelerated) (tulang trabekula) dan sebaliknya lebih rendah pada bone turnover lambat (reduced) (tulang kortikal).

Mineralisasi

Mineralisasi matriks tulang terdiri dari dua langkah yang berhasil. Mineralisasi primer terjadi ketika matriks kolagen yang baru mulai memineral dengan cepat dan ini mewakili 50% – 60% dari mineralisasi maksimum. Selanjutnya, tingkat mineralisasi berkurang perlahan dan mineralisasi sekunder mengambil alih untuk beberapa tahun Secara khas, mineralisasi menjadi stabil setelah mencapai sekitar 90% – 95 % dari maksimum. Derajat mineralisasi sekunder adalah bergantung pada bone turnover; bila bone turnover rendah, tersedia lebih banyak waktu bagi mineralisasi untuk berlanjut, di mana pada keadaan-keadaan high turnover, tulang yang baru terbentuk dibuang sebelum tersedia waktu bagi mineralisasi sekunder yang memadai.
Sebagaimana mineralisasi meningkat, jaringan tulang menjadi lebih mudah patah (brittle) dan kurang memerlukan energi untuk terjadi fraktur. Sehingga, adalah memungkinkan bagi suatu tulang bahwa bila ia termineralisasi berlebih akan menjadi lebih mudah lagi patah dibandingkan dengan suatu tulang yang dengan derajat mineralisasi yang lebih rendah. Efek ini mungkin menjelaskan sebagian temuan dari Riggs dkk (14), yang mengunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan dramatik dalam BMD dengan terapi fluorid namun terjadi suatu peningkatan bermakna dalam jumlah pasien dengan fraktur-fraktur nonvertebra pada kelompok fluorid dibandingkan dengan plasebo. Sebaliknya, ketika penyerapan tulang mulai sebelum mineralisasi terpenuhi, suatu defisit mineralisasi kumulatif akan timbul yang mengawali kepada penurunan kekakuan dan kekuatan tulang.
Derajat mineralisasi dan distribusinya di seluruh tulang dapat diukur ex vivo dengan banyak metoda termasuk radiografi mikro, teknik-teknik quantitative back-scattered electro imaging (qBEI) and spectroscopic. Derajat mineralisasi akan terliput oleh pengukuran-pengukuran BMD namun kontribusinya, dalam kaitannya dengan berbagai faktor yang memengaruhi BMD, tidaklah dapat dideduksi secara langsung.


Kerusakan-mikro

Tulang mengalami pembebanan siklik berulang dan kerusakan fatigue dalam matriks tulang sebagai hasilnya akan diekspresikan melalui adanya retakan mikro (microcracks) atau kerusakan mikro. Kerusakan mikro umumnya didefinisikan sebagai keretakan linier yang dapat terdeteksi dengan mikroskop cahaya, dan meskipun metoda optimal untuk menghitung kerusakan mikro dalam tulang masih dalam perdebatan, sejumlah studi saat ini telah menunjukkan bahwa akumulasi dari kerusakan akan melemahkan tulang. Lebih lanjut, nampaknya bahwa kerusakan mikro memicu remodeling, yang kemungkinan bertujuan untuk memerbaiki kerusakan jaringan tulang (15). Di lain pihak, akumulasi kerusakan mikro adalah mungkin sebagai hasil dari meningkatnya mineralisasi sekunder untuk menekan remodeling, yang membuat tulang menjadi lebih brittle.
Perdebatan masih sedang berlangsung mengenai level optimal bone turnover untuk mencegah deteriosasi arsitektural sementara menjaga kemampuan tulang untuk memertahankan homeostasis kalsium, berrespon terhadap perubahan pembebanan mekanik, dan untuk memerbaiki kerusakan mikro. Peran dari kerusakan mikro dalam fragility fracture terkait usia telah dimapankan. Akumulasi kerusakan mikro telah diajukan sebagai suatu faktor yang mungkin berkontribusi meningkatkan fragilitas skelet dengan bertambahnya usia (16).
Berbagai teknik untuk mendeteksi retakan mikro memerlukan teknologi pelatihan yang mahal. Kebanyakan data adalah diambilkan dari model-model khewan, dan tingkat aplikasi dari beberapa hasil percobaannya ke manusia masih tetap tidak jelas. Memelajari kerusakan mikro pada manusia, khususnya untuk menentukan dampak dari obat-obat tulang adalah masih berdasarkan pada biopsi krista iliaka, yang mungkin ini adalah tidak tepat oleh karena rendahnya numerik densitas retakan pada lokasi ini dibandingkan dengan lokasi lainnya. Berbagai teknik noninvasif masih memerlukan pengembangan dalam rangka memerbaiki penilaian kerusakan mikro in vivo (17).


EFEK PENGOBATAN OSTEOPOROSIS PADA KUALITAS TULANG

Jenis-jenis obat bagi pengobatan osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: antiresorptif atau stimulasi pembentukan tulang. Bagaimanapun, adalah semakin menjadi jelas bahwa mereka bekerja tidak hanya melalui perbaikan BMD namun juga melalui peningkatan kekuatan tulang, memodifikasi kualitas tulang, dan dengan demikian mengurangi risiko fraktur.

Bifosfonat (BPs)

Bifosfonat (BPs) memiliki afinitas besar bagi mineral tulang dan bagi efek-efek penghambatan pada osteoklas. Terikatnya BPs pada kristalin hidroksiapatit adalah ditentukan oleh strukturnya, utamanya konfigurasi P-C-P. Bifosfonat berkandungan nitrogen telah menjadi baku rawatan bagi osteoporosis. BPs oral saat ini adalah: alendronat (dosis harian atau mingguan), risedronat (dosis harian atau mingguan), dan ibandronat (dosis bulanan) di mana rejimen intravena adalah tersedia dengan pamidronat dan asam zoledronat (empat kali setahun atau setahun sekali).
Di samping secara bermakna meningkatkan BMD pada pasien-pasien dengan osteoporosis, BPs juga bekerja melalui pemodifikasian kualitas tulang guna memerbaiki kekuatan tulang. Meskipun adalah sulit untuk menilai aksi-aksi BPs pada kualitas tulang dalam praktik umum, bukti pada arah itu telah terkumpul dalam tahun-tahun terakhir ini.


* Efek pada Mineralisasi Tulang
BPs menurunkan bone turnover dan meningkatkan durasi mineralisasi sekunder, jadi memerbaiki tingkat mineralisasi. Boivin dkk. (19), mengobati wanita-wanita pascamenopaus yang dengan osteoporosis dengan terapi alendronat tiga-tahunan, mendapatkan suatu peningkatan dalam rerata mineralisasi pada tulang iliak sedikitnya 11% baik pada tulang kanselus maupun kortek. Lebih jauh, Borah dkk. (20), menggunakan µCT untuk menilai biopsi-biopsi dari pasien dengan terapi risedronat pada saat dimulai dan setelah 3 dan 5 tahun, menunjukkan suatu peningkatan homogeneitas mineralisasi. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam rata-rata (average) atau homogeneitas nilai-nilai mineralisasi di antara 3 tahun dan 5 tahun terapi risedronat, tidak juga hipermineralisasi matriks tulang terobservasi (21). Lebih jauh, Recker dkk. (22), menunjukkan bahwa pemberian asam zoledronat intravena setiap tahun selama tiga tahun adalah efektif dalam mengurangi remodeling tulang dan menjaga struktur tulang pada wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis. Bagaimanapun, berbagai perbedaan di antara asam zoledronat dan BPs oral pada mineralisasi telah diverifikasi sebagaimana digarisbawahi oleh Ebeling dan Burr (23) sebagai berikut: asam zoledronat merangsang aktifitas osteoblas menghasilkan percepatan aposisi mineral dan meningkatkan volum tulang namun tidak dalam mineralisasi sekunder.

* Peran dalam Kerusakan-mikro
Remodeling tulang bertujuan untuk memerbaiki kerusakan mikro fatigue, namun suatu pengurangan berlebih bone turnover dapat menghasilkan ketidakadekuatan dalam perbaikan kerusakan mikro yang mengawali kepada suatu fraktur. Tulang-tulang khewan yang diobati berlebih dengan BPs menunjukkan penekanan bone turnover trabekuler yang dikaitkan dengan meningkatnya kekuatan vertebra, bahkan dengan akumulasi kerusakan mikro yang bermakna, dan mengurangi energi intrinsik kapasitas absorpsi (toughness) (24, 25).
Mekanisme pengakumulasian kerusakan mikro yang terinduksi bifosfonat belumlah sepenuhnya termapankan. BPs menekan turnover, mengurangi targeted remodeling maupun stochastic remodeling, dan membiarkan kerusakan mikro untuk bertahan lebih lama dalam perbandingannya dengan tulang yang tidak diterapi. Terlebih lagi, peningkatan mineralisasi dan peningkatan homogeneitas jaringan tulang, yang keduanya merupakan resultante dari pengobatan BPs, adalah mengijinkan bagi pembentukan dan pengakumulasian kerusakan mikro (26).


* Aksinya pada Kolagen Tipe I
Ketersediaan data yang menyangkut berbagai efek BP pada komponen organik tulang adalah terbatas.
Saito dkk. (27) dan Allen dkk. (28) telah mendokumentasikan berbagai perubahan dalam enzimatik (PYD/DPD), non-enzymatic cross-linking (AGEs) dan isomerisasi kolagen dari matriks organik pada khewan-khewan yang diterapi bifosfonat. Menyertai pengobatan dengan suatu dosis BP dengan rentangan luas, rasio PYD/DPD pada tulang trabekuler vertebra lumbal secara bermakna meningkat dibandingkan dengan vehicle-treated animals juga level-level dari pentosidin (AGEs) dalam suatu cara (fashion) yang bergantung dosis; sebaliknya, rasio αα/ββ CTx menurun ketika dibandingkan dengan khewan-khewan yang tidak diobati.
Pada tulang manusia, pentosidin dengan jelas meningkat dengan usia, dan kandungannya dalam tulang dari pasien-pasien dengan fraktur panggul adalah secara bermakna lebih tinggi dibanding pada kontrolnya yang dengan usia bersesuaian dan tanpa fraktur (29).
Sebagaimana matriks organik dikenal berkontribusi pada berbagai properti biomekanik, data ini menyarankan bahwa berbagai perubahan dalam komponen non-mineral dengan pengobatan BP mungkin memengaruhi berbagai properti mekanik dan dengan demikian berrisiko fraktur. Bagaimanapun, perubahan dalam matriks organik dapat memiliki beberapa efek pada kekuatan dan kekakuan jaringan tulang, bahkan bila berbagai properti ini adalah secara predominan ditentukan oleh mineralisasi.


* Efeknya pada Geometri Tulang dan Arsitektur-mikro
Setiap perubahan yang didapat dengan pengobatan BPs memiliki suatu efek bermakna pada level material berbagai properti biomekanik, tidak bergantung dari berbagai perubahan dalam massa tulang, namun kontribusi individual spesifik mereka adalah sulit dinilai secara eksperimental. Kemungkinannya, berbagai efeknya pada mineralisasi tulang dan collagen cross-linking cenderung meningkatkan kekakuan dan kekuatan tulang, pada mana meningkatnya kerusakan mikro cenderung menurunkan keduanya. Relevansi berbagai perubahan ini masih tetap enigmatic, bagaimanapun, menimbang bahwa BPs juga memodifikasi geometri dan arsitektur mikro tulang.
Dalam jalur ini, Davison dkk. (30) meninjau berbagai laporan dari berkurangnya porositas kortikal setelah pengobatan dengan BP dan berbagai perubahan dalam parameter dari arsitektur 3D trabekuler setelah terapi risedronat satu tahun yang dinilai dengan µCT. Dalam kelompok placebo, volum tulang, jumlah trabekula dan konektifitas trabekula didapatkan menurun di mana tidak terdapat deteriosasi yang seperti itu terobservasi dalam kelompok risedronat, dengan hasil yang sama bahkan setelah 3 tahun terapi risedronat.
Dalam studi DIVA (dosing intravenous administration), yang dijalankan pada wanita-wanita pascamenopaus, sekitar 12 minggu dalam setahun pemberian ibandronat intravena mampu secara bermakna mendapatkan BMD yang lebih besar dibanding dengan pemberian 2.5 mg ibandronat oral sehari, dengan efikasi yang ekivalen dan dengan tingkat keamanan yang sama. Setelah 2 tahun pengobatan ibandronat, tulang trabekuler memertahankan struktur lamelar normalnya dengan tanpa bukti adanya woven bone, fibrosis sumsum, toksisitas seluler, atau berbagai abnormalitas kualitatif. Analisis histomorfometrik dari sejumlah 89 biopsi tulang transiliak menunjukkan struktur mikro normal dari tulang yang baru terbentuk dengan mineralisasi normal dan berkurangnya remodeling setelah pemberian ibandronat oral atau intravena (31). Oleh karena rejimen ibandronat intravena dalam DIVA memiliki suatu paparan kumulatif setiap tahunnya yang sama dengan 150 mg ibandronat oral setiap bulan, adalah memungkinkan bahwa profil-profil histomorfometrik dan keamanan tulang yang terobservasi dapat juga merefleksikan berbagai efek dari penggunaan oral-nya saat ini.
Saat ini, nampaknya berbagai perubahan level mikro ini telah mengarahkan efikasi antifraktur dari BPs, dan dapat dengan adekuat mengompensasi menurunnya properti material. Namun, penelitian pada terapi BP jangka lama menjamin dengan pasti karena berbagai keuntungan level struktural BPs dapat secara potensiil bertumpangtindih (could potentially be overridden) dengan waktu (26)


Reconbinant Human Parathyroid hormone peptide 1-34: Teriparatide (TPT)

Berbagai efek PTH pada tulang skelet adalah kompleks dan berbeda di antara keadaan-keadaan tingginya PTH endogen dan pemberian PTH secara eksogen.
Fragmen amino-terminal dari human parathyroid hormone (PTH 1-34), yang juga dikenal sebagai teriparatid (berasal dari DNA rekombinan), memiliki suatu efek anabolik pada tulang bila diberikan secara intermiten, bekerja sebagai suatu agen pembentuk tulang (bone-forming agent) bagi pengobatan osteoporosis.
Suatu penginjeksian teriparatid (TPT) subkutan memroduksi suatu peningkatan cepat dalam berbagai penanda pembentukan tulang, diikuti oleh peningkatan yang lebih lambat dalam berbagai penanda resorpsi tulang. Ia juga meningkatkan secara bermakna BMD terukur oleh DXA yang menurunkan risiko fraktur-fraktur baru vertebra dan nonvertebra sebesar masing-masing 65% dan 53%, pada wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis. Peningkatan BMD tersebut terhitung untuk tidak lebih dari sebesar 40% dari efikasi antifrakturnya, yang menyarankan bahwa TPT juga dapat memodifikasi kualitas tulang (32).
Adanya perbaikan arsitektur mikro dalam tulang trabekuler maupun kortikal telah tersarankan pada pasien-pasien yang menggunakan TPT. Untuk menjelaskan berbagai isu ini, berbagai penyelidikan telah dijalankan dalam rangka mengevaluasi apakah berbagai perubahan dalam BMD adalah berkorelasi dengan berbagai perbaikan struktural tulang terobservasi pada pasien-pasien yang diobati dengan TPT.


* Bone Turnover
Penilaian menggunakan histomorfometri tulang (33) menunjukkan bahwa TPT mengubah remodeling tulang melalui peningkatan laju pembentukan tulang dan turnover-nya, menjaga sejumlah besar bone multicelluler units (BMUs) aktif untuk membentuk tulang baru. Perangsangan remodeling tulang oleh TPT baik pada permukaan kanselus maupun endosteal tercapai maksimum setelah 6 bulan pengobatan. Selanjutnya, bone turnover kembali kepada level yang terukur pada wanita-wanita pascamenopaus yang tidak diterapi, dengan pembentukan tetap melebihi dari resorpsinya. Tambahannya, terdapat bukti langsung bahwa terapi TPT 12 hingga 24 bulan dapat menginduksi pembentukan modeling tulang pada permukaan-permukaan tulang yang tenang (quiescent) (34). Berbagai mekanisme ini mungkin berkontribusi kepada perbaikan arsitektur trabekuler dan kortikal yang terlihat setelah pengobatan dengan TPT.

* Arsitektur-mikro dan Geometri
Pengobatan TPT merangsang pembentukan tulang trabekuler maupun kortikal, menghasilkan peningkatan volum tulang kanselus dan ketebalan kortikal (35). Terdapat juga beberapa bukti adanya peningkatan aposisi tulang periosteal, mengawali kepada suatu perolehan dalam ukuran tulang (36). Jadi, untuk menilai berbagai modifikasi pada tulang kortikal dari wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis yang menerima terapi TPT, suatu studi cross-sectional mengestimasikan berbagai parameter kualitas tulang kortikal menggunakan QCT perifer dalam radius distal nondominan mereka. Dibandingkan dengan placebo, pasien-pasien di bawah terapi TPT memiliki isi mineral tulang total, area total dan area tulang kortikal, lingkar (sirkumferen) periosteal dan endokortikal yang lebih tinggi secara bermakna (37).
Bagaimanapun, porositas kortikal yang timbul pada pasien-pasien dengan hiperparatiroidisme telah meningkatkan perhatian bahwa pemberian PTH intermiten untuk mengobati pasien-pasien osteoporotik dapat melemahkan tulang kortikal dengan cara meningkatkan porositasnya. Untuk mengevaluasi efek potensiil dari terapi TPT ini, Burr dkk. (38) mengobati monyet-monyet yang terovariektomi untuk waktu hingga 18 bulan dengan TPT dan mengobservasi adanya peningkatan porositas intrakortikal bergantung dosis dalam humerus mereka tanpa suatu efek bermakna pada kekuatan tulang. Kebanyakan porositas terkonsentrasi dekat permukaan endokortikal di mana efek mekaniknya di sini adalah kecil. Lebih lanjut, Sato dkk. (39) menjalankan suatu analisis kuantitatif yang terinci terhadap berbagai efek TPT pada femur proksimal dari monyet-monyet yang terovariektomi dan menyimpulkan bahwa TPT memiliki banyak efek menguntungkan pada femur proksimal meskipun terjadi peningkatan porositas kortikal. Pororitas kortikal tidaklah berpengaruh buruk pada integritas mekanik femur proksimal karena meningkatnya area kortikal (mungkin akibat dari aposisi tulang periosteal yang meningkat) dan volum tulang trabekuler adalah lebih dari pada kompensasi bagi porositas itu sendiri. Dari catatan diketahui bahwa, banyak efek-efek menguntungkan dari TPT dipertahankan hingga 6 bulan setelah terapi.


* Mineralisasi
Misof dkk. (40) telah mengevaluasi distribusi BMD biopsi-biopsi tulang krista iliaka sebelum dan sesudah terapi TPT untuk 18 – 36 bulan pada laki-laki dan wanita dengan osteoporosis menggunakan qBEI. Pada tulang kortikal, perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari biopsi-biopsi sebelum dan sesudah pengobatan memerlihatkan suatu penurunan dalam konsentrasi kalsium tipikal pada laki-laki namun tidak berubah pada wanita, dengan suatu peningkatan dalam heterogeneitas mineralisasi pada keduanya. Pada tulang kanselus, tidak dijumpai perubahan dalam konsentrasi kalsium tipikal, namun terdapat suatu heterogeneitas mineralisasi yang lebih besar baik pada laki-laki maupun wanita akibat dari matriks tulang yang baru terbentuk. small angle X-ray scattering dibuat pada suatu subgroup pada subjek-subjek yang menunjukkan struktur kolagen/mineral yang normal. Berbagai temuan ini mengonfirmasi observasi-observasi bahwa PTH merangsang remodeling skelet, menghasilkan pada suatu meningkatnya persentase matriks tulang yang baru terbentuk dari densitas mineralnya yang lebih rendah.

* Kolagen dan Kerusakan-mikro
Garnero dkk. (41) telah meneliti berbagai efek PTH (1-84) dan alendronat (ALN) dalam rasio CTx αα/ββ pada wanita-wanita pascamenopaus yang dengan osteoporosis. Selama tahun pertama, tidak terdapat perubahan bermakna dalam rasio CTx αα/ββ dengan pengobatan PTH atau ALN, menyarankan bahwa produk-produk degradasi kolagen tipe I yang tersekresikan dalam urin selama tahun pertama pemberian PTH, yang mungkin meningkat secara predominan, adalah berasal dari resting bone yang terbentuk sebelum memulai terapi. Saran alternatifnya, isomerisasi kolagen yang terbentuk selama pengobatan PTH mencapai keseimbangan sebelum terdegradasikan. Pada saat 24 bulan, bagaimanapun, terjadi suatu peningkatan yang jelas dalam rasio CTx αα/ββ pada wanita-wanita yang telah menerima PTH selama tahun pertama yang diikuti dengan suatu pemberian placebo atau ALN pada tahun kedua di mana rasio itu hanya sedikit meningkat setelah 2 tahun berlanjutnya ALN, menyarankan bahwa terapi PTH mungkin menghasilkan penurunan maturasi kolagen tulang. Peneliti kemudian menyimpulkan bahwa terapi dengan PTH (1-84) untuk satu tahun dan diikuti oleh pemberian placebo atau ALN, dapat dikaitkan dengan penurunan isomerisasi kolagen tipe I. Pengaruh dari berbagai perubahan kolagen tipe I ini pada ketahanan tulang terhadap fraktur masih tetap perlu diteliti.
Hasil-hasil yang analog adalah didapatkan sebelumnya oleh Paschalis dkk. (42) yang menganalisis biopsi-biopsi tulang dari pasien-pasien setelah menerima placebo atau TPT. Pada kelompok TPT, suatu kecenderungan yang mengarah kepada suatu peningkatan dalam divalent crosslinks terobservasi setelah pengobatan, berhubungan dengan meningkatnya pembentukan kolagen tersintesis yang baru.
Penekanan bone turnover oleh BPs adalah dikaitkan dengan peningkatan akumulasi kerusakan mikro tulang pada model-model binatang namun berbagai efek TPT pada akumulasi kerusakan mikro belum pernah dilaporkan. Karenanya, Dobnig dkk. (43) melakukan studi efek peningkatan bone turnover dan perbaikan struktur tulang terhadap akumulasi kerusakan mikro pada 66 wanita pascamenopaus dengan osteoporosis yang memulai dengan TPT (20 µg/d) sebagai pengobatan pertama (38 wanita) dan pada mereka yang berpindah dari ALN jangka panjang (10 mg/d atau 70 mg/minggu) ke pengobatan TPT (28 wanita). Biopsi-biopsi tulang krista iliaka dikumpulkan dan dianalisis untuk struktur mikro dan akumulasi kerusakan mikro pada saat mulai pengobatan dan setelah 24 bulan pemberian TPT.
Pengobatan TPT mengurangi akumulasi kerusakan mikro pada pasien-pasien osteoprotik yang sebelumnya telah menjalani pengobatan dengan ALN dan mengurangi panjangnya keretakan tanpa melihat pengobatan yang didapat sebelumnya. Lebih jauh, peneliti di atas menekankan bahwa suatu arsitektur mikro yang intak adalah esensiil bagi mempertahankan akumulasi kerusakan mikro pada level normal secara fisiologis pada pasien-pasien osteoporotik.


Strontium Ranelate (SR)

Strontium ranelat (SR) merupakan suatu obat antiosteoporotik oral yang mendorong pembentukan tulang in vitro dengan cara menguatkan replikasi sel pre-osteoblastik, meningkatkan diferensiasi osteoblastik dan menaikkan rasio osteoprotegerin/RANK-L. Di samping berbagai efek pada osteoblas ini, SR juga menurunkan resorpsi tulang dengan cara menghambat aktifitas dan diferensiasi osteoklas (44). Studi-studi terkini menunjukkan bahwa aktifasi replikasi osteoblas adalah sebagiannya dimediasi oleh calcium sensing receptor (CaR) yang adalah juga tersangkut dalam proses apoptosis osteoklas terinduksi SR (SR-induced osteoclast apoptosis) (45).
Oleh karena strontium merupakan suatu elemen yang lebih berat dari pada kalsium, inkorporasinya ke dalam tulang akan memengaruhi pengukuran BMD. Tambahannya, telah ditunjukkan bahwa SR didistribusikan dalam matriks terkalsifikasi dan dengan mudah dapat berpindah (exchangeable) dari mineral tulang menjadi sedikit terkait (linked) ke kristal-kristal dewasa melalui substitusi ionik. Berbagai efek kombinasi dari distribusi strontium dalam tulang dan meningkatnya absorpsi sinar-X strontium dibandingkan dengan kalsium mengarah ke pada amplifikasi pengukuran BMD dengan DXA. Berbagai efek ini dapat digunakan untuk menjelaskan temuan mengenai sedikitnya 50% dari perubahan dalam BMD yang terukur. Bagaimanapun, suatu algoritma bagi pengaturan BMD akan menyangkut sejumlah asumsi dan tidak dapat digunakan bagi pasien-pasien secara individu (45). Secara keseluruhan, berbagai perubahan BMD yang terjadi pada pasien-pasien yang diterapi dengan SR yang bertanggung jawab atas 75% reduksi dalam risiko fraktur, menyarankan bahwa terapi ini juga mengganggu (interfere) kualitas tulang (45).


* Arsitektur-mikro dan Geometri
Studi-studi in vivo mengindikasi bahwa SR menurunkan resorpsi tulang dan mendorong pembentukan tulang, sehingga mencegah hilangnya tulang. Proses positif yang berjalan secara terpisah (uncoupling) di antara pembentukan dan resorpsi tulang ini menghasilkan perolehan tulang dan perbaikan dalam geometri dan arsitektur mikro tulang pada khewan-khewan yang bertumbuh. Ketika diberikan kepada tikus-tikus betina selama 2 tahun, SR menginduksi suatu peningkatan dalam sifat-sifat mekanik tulang yang bergantung dosis pada level korpus vertebra dan pertengahan femur (47). Tambahannya, Pengobatan dengan SR mencegah efek deleterious dari ovariektomi pada kekuatan tulang. Setelah setahun pemaparan dengan SR, sifat-sifat mekanik tulang vertebra dari tikus-tikus yang diovariektomi secara bermakna dipertahankan dalam kaitannya dengan suatu pemertahanan sebagian dari arsitektur mikro trabekula: efek bergantung dosis pada rasio volum tulang/volum trabekula dan jumlah dan ketebalan trabekula (48).
Biopsi-biopsi tulang krista iliaka dari wanita-wanita osteoporotik pascamenopaus dianalisis dengan 3D µCT menunjukkan beberapa perbaikan arsitektur mikro baik pada tulang trabekuler maupun kortikal setelah 3 tahun pengobatan dengan SR. Dalam perbandingannya dengan placebo, pasien-pasien yang diterapi dengan SR selama 3 tahun menunjukkan peningkatan bermakna dalam jumlah trabekula (+14%), penurunan separasi trabekula (-16%) dan peningkatan dalam ketebalan kortikal (+18%). Lebih lanjut, terdapat suatu peningkatan bermakna (-22%) dari model index structure yang mana hal ini menyarankan suatu pergeseran dalam struktur trabekula dari konfigurasi berbentuk seperti batang (rod-like) ke seperti piringan (plate-like) yang menghasilkan tulang yang lebih kuat. Berbagai perubahan dalam struktur trabekuler dan kortikal ini yang mungkin menjelaskan efikasi anti fraktur SR (49).


* Mineralisasi
Boivin dkk. melaporkan evaluasi histomorfometrik wanita-wanita osteoporotik yang diterapi dengan SR dan tidak mendapatkan efek pada karakteristik kristal ataupun pada mean degree of mineralization of bone (MDMB) atas suatu rentangan dosis yang besar (0.5, 1, dan 2 g/d) (30).

Estrogen: Terapi Pengganti Hormon (HRT)

WHI (Women’s Health Initiative) mengunjukkan adanya efek dari terapi hormon pada BMD dan pada pengurangan fraktur osteoporotik pada beberapa tempat, termasuk panggul. Walaupun keuntungan terapi pengganti hormone (HRT) pascamenopaus pada fraktur adalah jelas, berbagai efek buruk seperti peningkatan risiko stroke dan thrombosis vena dalam perlu diperhatikan, juga diganggu oleh berbagai temuan belakangan berupa meningkatnya risiko kanker payudara dan kurangnya keuntungan dalam perlindungan jantung (cardio-protective) (50). Bagi semua alasan ini, sekalipun telah diketahui keefektifannya dalam pencegahan osteoporosis pascamenopaus, HRT haruslah hanya dipertimbangkan bagi wanita-wanita yang berada pada risiko osteoporosis bermakna yang tidak dapat menerima pengobatan non-estrogenik.

* Bone Turnover dan Arsitektur-mikro
HRT merupakan suatu pengobatan profilaktik efektif bagi hilangnya tulang pascamenopaus karena ia mengurangi remodeling tulang, yang mana proses ini mungkin dipercepat oleh hiperaktifitas osteoklastik progresif. Tambahan pula, estrogen juga mampu mengerahkan suatu efek anabolik pada wanita-wanita dengan osteoporotik, bahkan ketika sudah terjadi saat memasuki menopaus sebagaimana ditunjukkan oleh Khastgir dkk. (51). Berbagai studi histomorfometrik biopsi-biopsi tulang iliak dilaksanakan pada perempuan-perempuan pascamenopaus yang lebih tua dengan BMD rendah, sebelum dan 6 tahun setelah HRT, menghasilkan perbaikan BMD baik pada lokasi-lokasi vertebra lumbal maupun femur proksimal. Lebih jauh, mereka mengobservasi suatu peningkatan dalam volum tulang kanselus dan suatu tambahan ketebalan dinding setelah 6 tahun HRT, mengindikasikan adanya perolehan keuntungan tulang.
Penelitian akan aksi-aksi estrogenik pada tulang skelet adalah terutama memusatkan pada tulang kanselus. Guna meneliti berbagai efek baik HRT konvensional maupun estradiol dosis tinggi pada tulang kortikal pada wanita-wanita pascamenopaus, Vedi dkk. (52) menjalankan studi-studi histomorfometrik ditambah analisis imejing tulang iliak pada saat mulai dan saat 2 tahun setelah HRT. Wanita-wanita yang diterapi estrogen dosis tinggi menunjukkan lebar kortikal tertinggi sementara proporsi kanal-kanal dengan suatu permukaan tererosi secara bermakna lebih rendah dibandingkan pada wanita-wanita sebelum atau setelah pemberian HRT konvensioal. Laju pembentukan tulang mereka secara bermakna lebih rendah dari pada wanita-wanita yang tidak diterapi dan nilai-nilai intermediet ditemukan pada wanita-wanita yang diterapi dengan HRT konvensional. Hasil-hasil ini menyediakan bukti bahwa estrogen menginduksi penekanan bone turnover dalam tulang kortikal krista iliaka dari wanita-wanita pascamenopaus melalui suatu cara-cara yang bergantung dosis.


* Mineralisasi dan Kolagen
Untuk menilai apakah HRT mengubah derajat mineralisasi tulang dan collagen cross-linking, Paschalis dkk. (53) menganalisis contoh-contoh tulang dari wanita-wanita pascamenopaus dini pada saat awal dan 2 tahun setelah pemberian HRT dengan menggunakan suatu kombinasi pemeriksaan histomorfometrik dan teknik imejing infra merah. Mereka mengobservasi adanya suatu pergeseran dalam derajat mineralisasi tulang dan rasio collagen cross-links (rasio PYD/DPD) menuju ke arah nilai-nilai yang lebih tinggi setelah pemberian HRT, menyarankan bahwa tulang menjadi lebih dewasa, yang mungkin hal ini diperkirakan akibat dari tertekannya aktifitas osteoklastik.

Selective Estrogen Receptor Modulator (SERMs)

Sepanjang dekade lalu, perhatian yang cukup besar telah dipusatkan pada SERMs sebagai suatu alternatif untuk terapi estrogen pascamenopaus. Agen-agen ini bekerja sebagai agonis estrogen dalam beberapa jaringan dan sebagai antagonis pada yang lainnya akibat dari aksi-aksi spesifik mereka pada reseptor-reseptor estrogen. Berbagai keuntungan dengan terapi raloksifen (suatu SERM nonsteroid) yang muncul dari percobaan MORE (multiple outcomes of raloxifene evaluation), pada mana sebanyak 7705 wanita-wanita pascamenopaus dengan osteoporosis dipelajari. Ditemukan adanya peningkatan BMD dalam vertebra dan kolum femur dan risiko fraktur-fraktur vertebra berkurang secara bermakna, tanpa adanya efek bermakna pada fraktur-fraktur non-vertebra. Risiko timbulnya hiperplasia endometrium tidak berubah dan risiko timbulnya kanker payudara invasif berkurang secara bermakna sementara terdapat suatu peningkatan risiko thromboembolisme vena (54). Walaupun risiko kejadian-kejadian koroner tidak berubah dengan terapi ini, level-level kolesterol LDL ditemukan menurun dan level HDL meningkat.
Terjadi hanya sebesar 4% – 5% pengurangan fraktur terobservasi dengan pemakaian raloksifen (RLX) yang hal itu merupakan hasil dari peningkatan BMD vertebra lumbal dan kolum femur, menyarankan bahwa RLX mungkin juga memerbaiki properti matriks tulang (55).


* Bone Turnover
Untuk membandingkan terapi raloksifen terhadap HRT, Weinstein dkk. (56) menganilisis dampak obat-obatan ini pada bone turnover setelah satu tahun pengobatan. Frekuensi dari berbagai kejadian remodeling pada tulang kanselus dan laju pembentukan tulang baik pada tulang kanselus maupun pada tulang endokorteks adalah meningkat pada kelompok placebo, sementara semua pengukuran ini menurun dikedua kelompok pengobatan. BMD meningkat dari awal memulai pengobatan pada vertebra lumbal (dalam kelompok HRT) dan pada keseluruhan tubuh (pada kedua kelompok RLX dan HRT). Dibandingkan dengan kelompok RLX, meningkatnya BMD adalah lebih besar pada kelompok HRT pada vertebra lumbal namun tidak pada keseluruhan tubuh. Berbagai penanda tulang menurun secara bermakna di kedua kelompok pengobatan aktif, yang berubah berbeda secara bermakna dari apa yang diperlihatkan dengan pemberian placebo. Secara keseluruhan, para peneliti di sini menyarankan bahwa RLX melanggengkan massa tulang melalui pengurangan peningkatan bone turnover yang dijumpai pada wanita-wanita pascamenopaus melalui berbagai mekanisme yang sama dengan yang bekerja pada wanita-wanita pascamenopaus yang menerima HRT.

* Arsitektur-mikro dan Geometri
Meskipun terdapat banyak kesamaan di antara raloksifen dengan BPs dalam pencegahan penurunan pembebanan maksimal, massa tulang, dan arsitektur mikro pada tikus-tikus terovariektomi, meningkatnya BMD adalah lebih menonjol setelah pemberian BP dibandingkan RLX (57). Temuan ini adalah paralel dengan apa yang diobservasi dari banyak studi pada anjing yang menunjukkan suatu perbaikan bermakna berbagai properti mekanik pada level material setelah satu tahun pengobatan dengan raloksifen bahkan bila aBMD, vBMD, BV/TV, dan percent ash masih tetap tidak berubah dalam perbandingannya dengan kontrol. Berbagai perbaikan level-material ini telah dideteksi baik pada lokasi-lokasi tulang kortikal maupun trabekuler.
Dalam setingan klinik, suatu efek ringan relatif dari RLX pada BMD telah juga terobservasi meskipun terdapat suatu yangat perlu diperhatikan, efikasi antifraktur vertebra. Terobservasinya berbagai perbaikan dalam arsitektur mikro mungkin, setidaknya sebagian, mendasari kemampuan RLX untuk meningkatkan kekuatan tulang dan mengurangi risiko fraktur, yang sekalipun demikian nampaknya bahwa aksi menguntungkan mendasar pada kualitas material tulang intrinsik, baik pada level kortikal maupun trabekuler, memainkan suatu peranan penting dalam mekanisme ini melalui cara mana agen ini adalah efektif dalam pengobatan osteoporosis. Tambahannya, adalah juga harus dicatat bahwa SERMs dikenal memiliki suatu efek perlindungan pada osteosit in vitro; bagaimanapun, tidak terdapat bukti meyakinkan dari berbagai efek ini pada manusia (57).

* Mineralisasi
Berbagai efek pengobatan RLX (60 x 120 mg/d) terhadap mean degree of mineralization of bone (MDMB) telah juga diselidiki dalam satu studi longitudinal prospektif dari satu subset dari sejumlah 64 pasien yang ikut serta dalam percobaan MORE. Analisis radiografi-mikro kuantitatif dari biopsi-biopsi krista iliaka yang diambil pada saat awal mulai dan setelah 2 tahun pengobatan menunjukkan suatu peningkatan bergantung dosis (dose-dependent) yang bermakna pada MDMB dibandingkan dengan pada saat awal mulai pengobatan. Peningkatan dalam konten mineral yang terobservasi disertai langgengnya heterogeneitas distribusi mineral merupakan suatu hasil dari kemampuan RLX untuk menurunkan bone turnover, dengan demikian memerpanjang durasi mineralisasi sekunder dari basic structural units (BSUs) tulang dan memungkinkan bagi tulang baru untuk mencapai suatu derajat mineralisasi yang lebih tinggi. Mekanisme ini telah ditunjukkan bagi memerbaiki berbagai properti biomekanik tulang dan akan menyumbang bagi pengurangan risiko fraktur terobservasi setelah pengobatan dengan RLX. Di lain pihak, meningkatnya mineral skelet dapat memerbaiki rigiditas struktural dan mineral yang berlebihan mungkin dapat mengawali ke pada suatu peningkatan dalam brittleness (58).

* Kolagen dan Kerusakan-mikro
Telah dihipotesiskan bahwa RLX dapat mengubah matriks organik (26) dan, khususnya, kolagen, yang telah dikenal menyumbang bagi properti biomekanik dan intrinsik tulang. Untuk menjawab pertanyaan ini, Byrjalsen dkk. (11) mengevaluasi efek dari berbagai pengobatan antiresorptif (BPs, HRT dan RLX) pada maturasi kolagen tulang yang diukur menggunakan rasio CTx αα/ββ. Ditemukan bahwa berbagai terapi antiresorptif ini menginduksi banyak perbedaan profil maturasi dari kolagen tulang, misalnya rasio CTx αα/ββ adalah lebih besar setelah pengobatan dengan HRT dibanding RLX di mana rasio CTx αα/ββ setelah terapi RLX adalah lebih besar dibanding BPs.
Terdapat suatu perdebatan yang cukup seru mengenai penentuan laju remodeling normal dan berbagai efek deleterious potensiil dari suatu penekanan berlebih oleh agen-agen antiresorptif, yang memberikan gangguan potensiil pada perbaikan kerusakan mikro dan pada penggantian tulang tua oleh unit-unit baru yang segar. Walaupun tidak terdapat data fraktur yang mendukung teori yang sangat kontroversiil ini, SERMs tidaklah menekan bone turnover hingga sebesar yang akan menyebabkan penumpahan perhatian yang seperti itu. Faktanya, data menunjukkan bahwa RLX memertahankan bone turnover hingga ke level-level premenopaus (59) dan data eksperimental mengunjukkan bahwa obat-obat ini senyatanya mengurangi densitas keretakan mikro dalam jaringan tulang.


Kalsitonin (CTN)

Kalsitonin (CTN) merupakan suatu hormon polipeptid endogen yang disekresikan oleh sel-sel C tiroid yang bekerja menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Namun, terdapat juga kewaspadaan bahwa paparan CTN berkepanjangan dapat mengatur-kehilir reseptor-reseptor kalsitonin pada osteoklas, yang memberi kemungkinan sel-sel osteoklas untuk kembali bangkit dari aksi penekanan oleh CTN. Pemberiannya yang intermiten telah direkomendasikan sebagai suatu strategi untuk mencegah resistensi klinis (60).
Sejumlah percobaan acak telah menyarankan bahwa CTN salmon yang dapat diinjeksikan atau bentuk intranasalnya adalah efektif dalam mencegah hilangnya tulang trabekuler pada menopaus lanjut. Satu percobaan klasik telah mengevaluasi pemberian kalsitonin 200 IU intranasal dan mengunjukkan suatu pengurangan fraktur vertebra sebesar 33 – 35% tanpa menimbulkan efek substansiil pada BMD (61). Suatu penurunan sebesar 30% dalam kejadian fraktur panggul terobservasi oleh Kanis pada pasien-pasien yang diobati dengan CTN yang dapat diinjeksikan namun data dengan CTN nasal yang umum pada lokasi-lokasi nonvertebra adalah kontroversiil. Tambahannya, CTN kemungkinan memiliki suatu efek analgesik pada wanita-wanita dengan fraktur-fraktur vertebra akut, yang mana nampaknya ini tidak bergantung dari efeknya pada proses resorpsi osteoklastik (60).
Studi-studi klinik yang tertuju pada berbagai efek CTN pada kualitas tulang adalah langka namun sedikitnya terdapat satu di antaranya yang harus dilihat. Peneliti di sini memostulasikan bahwa terapi CTN mungkin diasosiasikan dengan berbagai perbaikan dalam struktur mikro tulang yang tidak terdeteksi dengan BMD. Untuk menekankan hipotesis ini, sebuah studi terkontrol placebo acak dari dosis harian kalsitonin salmon 200 IU bentuk semprot hidung (CT-NS) dilakukan terhadap sedikitnya sejumlah 45 wanita-wanita osteoporotik pascamenopaus per kelompok, menggunakan teknologi MRI noninvasif pada lokasi-lokasi skelet berganda dan µCT/histomorfometri dari biopsi-biopsi tulang krista iliaka untuk menentukan arsitektur mikro trabekuler (10).
Penilaian MRI dari radius distal dan trokhanter minor dari panggul memerlihatkan pelanggengan parameter-parameter arsitektur mikro trabekuler pada kelompok CT-NS, di mana deteorisasi bermakna terobservasi pada kelompok placebo. Kombinasi analisis µCT/histomorfometri biopsi-biopsi tulang krista iliaka juga pengukuran BMD dengan DXA tidak menunjukkan perbedaan konsisten dalam hal arsitektur di antara kelompok CT-NS dan placebo.
Sebagai simpulan, hasil-hasil studi QUEST menyarankan bahwa terdapat berbagai keuntungan teraputik dari CT-NS dalam memertahankan arsitektur mikro trabekuler pada lokasi-lokasi sekelet berganda dan menyokong penggunaan teknologi MRI dalam banyak percobaan penelitian klinis untuk penentuan arsitektur mikro tulang. Namun, hasil-hasilnya juga menekankan terdapatnya banyak perbedaan yang spesifik lokasi (site-specific) dalam respon terhadap berbagai terapi antiresorptif dan pentingnya volum-volum sampling yang cukup besar untuk mendapatkan penilaian arsitektur tulang yang dapat dipercaya (10).


RINGKASAN DAN SIMPULAN

Meskipun memang sudah maju, terapi bagi osteoporosis masih memperlihatkan suatu tantangan penelitian yang cukup besar. BMD merupakan suatu peralatan klinis yang berguna bagi pendiagnosisan dan pemonitoran osteoporosis, namun memiliki banyak keterbatasan yang harus dikenali dan ditujukan. Karena berbagai obat dan penyakit tulang memiliki suatu spektrum efek yang berrentang dari level mikroskopis hingga level makroskopis (Tabel 1) yang mungkin berubah bergantung dari fisiologi yang mendasari dari seorang pasien tertentu, penggunaan BMD dapat tidak mendeteksi semua efek yang sepatutnya diantisipasi tersebut.

Tabel 1.

Berbagai penanda bone turnover mungkin merupakan suatu komplemen berguna dalam memecahkan kerumitan ini sebagaimana mereka memerlihatkan berbagai efeknya pada remodeling tulang dalam ketiadaan perubahan pada berbagai uji densitas tulang. Sayangnya, tidak ada teknik pengawasan yang benar-benar akurat. Banyak prospek ke depan bagi analisis kekuatan tulang in vivo menggunakan CT atau MRI telah dikembangkan hingga ke batas penggunaan klinis, namun hal ini mungkin masih merupakan jalan bagi masa depan. Berbagai analisis elemen berukuran sangat halus dapat mereproduksi konstruksi 3D tulang melalui pengukuran-pengukuran noninvasif, mengumpulkan semua elemen-elemen kekuatan tulang ke dalam suatu peralatan klinis berguna untuk penentuan respon teraputik (62)
Hingga kini, efek utama dari obat-obat osteoporosis terhadap kualitas tulang dapat disimpukan sebagai berikut. Terapi antiresorptif, khsususnya bifosfonat, umumnya meningkatkan MDMB dan homogeneitas mineralisasi. Disarankan bahwa, kebanyakan dari perubahan dalam aBMD yang terinduksi oleh berbagai terapi antiresorptif merupakan hasil dari peningkatan dalam MDMB.
Efek terapi antiresorptif pada tulang kortikal adalah terbatas, namun ia berguna ketika dilihat dari dampaknya yang meskipun sedikit pada ukuran (size) namun porositas adalah menurun. Adanya perubahan relatif sedang dalam aBMD, meskipun terjadi penurunan dramatis dalam efikasi antifraktur yang terobservasi dalam percobaan-percobaan antiresorptif, mungkin sedikitnya merupakan suatu konsekuensi dari menurunnya remodeling tulang yang mengarah ke pada suatu peningkatan dalam massa tulang dan ke pada suatu penurunan dalam jumlah pembangkit-stres trabekuler
Di lain pihak, TPT telah memerlihatkan meningkatkan ketebalan trabekuler dan bone turnover; bagaimanapun, oleh karena sifat-sifat anaboliknya, ia menghasilkan adanya keuntungan perolehan bersih tulang, yang kemungkinan hal ini menjelaskan dampak positifnya pada risiko fraktur. Meskipun terjadi suatu peningkatan dramatis dalam massa tulang, mineralisasi adalah senyatanya menurun dan hasil bersihnya adalah suatu aBMD yang lebih besar setelah terapi. Strontium ranelat, bagaimanapun, menginduksi suatu peningkatan palsu aBMD sebagai suatu hasil dari inkoorporasinya ke dalam apatit.
Dalam kaitannya dengan kerusakan mikro, akumulasi keretakan mikro adalah terobservasi pada tulang yang diobati dengan BPs. Namun keberadaannya, yang terinduksi oleh obat-obat lain yang digunakan dalam terapi osteoporosis, tidak terkonfirmasikan. Bagaimanapun juga, dosis teraputik BPs tidaklah berdampak negatif pada akumulasi keretakan mikro hingga ke satu level yang dapat meningkatkan suseptibilitas fraktur pada manusia.
Tujuan masa depan bagi penentuan risiko fraktur adalah pengembangan suatu teknik biopsi maya (virtual biopsy) untuk menentukan sifat-sifat material dan struktural tulang pada lokasi-lokasi yang penting secara klinis, secara simultan dan noninvasif (30)