Sabtu, 21 Juli 2012

Teknologi Biomaterial untuk Aplikasi Rekayasa Jaringan

Abstrak
Rekayasa jaringan merupakan sebuah teknologi dan metodologi biomedik yang sedang berkembang untuk membantu dan memercepat regenerasi dan perbaikan defek dan kerusakan jaringan berbasiskan pada potensi penyembuhan alami pasien sendiri. Untuk sebuah strategi teraputik baru, teknik ini sangat dibutuhkan guna menyediakan sel-sel dengan lingkungan lokal yang menguatkan dan mengatur proliferasi dan diferensiasi mereka bagi regenerasi jaringan berbasis-sel.  Teknologi biomaterial memainkan sebuah peran penting dalam penciptaan lingkungan sel ini. Sebagai contoh, scaffolds biomaterial dan the drug delivery system (DDS) dari biosignalling molecules telah diselidiki untuk menguatkan proliferasi dan diferensiasi potensi sel bagi regenerasi jaringan. Pula, teknologi scaffold dan DDS menyumbang bagi perkembangan riset dasar biologi dan ilmu pengobataan sel punca juga menghasilkan sejumlah besar sel dengan satu kualitas tinggi bagi terapi tranplantasi. Sebuah teknologi untuk rekayasa genetika sel untuk manipulasi fungsional mereka juga berguna bagi riset dan terapi sel. Beberapa contoh aplikasi rekayasa jaringan dengan scaffold sel dan DDS dari faktor pertumbuhan dan gen-gen diperkenalkan untuk menegaskan kebermaknaan teknologi biomaterial dalam wilayah teraputik dan riset baru.
Kata Kunci: bioamterial, sistim penghantaran obat, molekul pensinyalan biologis, rekayasa jaringan, regenerasi jaringan

1. Kebermaknaan teknologi biomaterial dalam aplikasi rekayasa jaringan
Terapi bedah canggih yang tersedia saat ini terdiri dari bedah rekonstruksi dan transplantasi organ. Walau tidak diragukan lagi kalau semua terapi ini telah menyelamatkan dan memerbaiki hidup yang tek terhitung jumlahnya, mereka memiliki beberapa keterbatasan teraputik dan metodologi. Pada kasus bedah rekonstruksi, peralatan biomedik tidaklah dengan sepenuhnya mengganti fungsi biologis bahkan bagi sebuah jaringan atau organ tunggal, dan sebagai konskuensinya tidaklah dapat mencegah deteriorasi progresif dari jaringan dan organ yang cedera atau rusak. Satu dari isu terbesar untuk transplantasi organ adalah kekurangan jaringan atau organ donor. Selain itu, pemakaian berlanjut dan permanen agen-agen imunosupresif guna mencegah respon penolakan imunologis seringkali menyebabkan efek samping, seperti misalnya tingginya kemungkinan infeksi bakterial, karsinogenesis dan infeksi virus. Untuk memutus semua isu dalam dua macam terapi canggih ini, diperlukan sebuah solusi teraputik baru yang secara klinis nyaman bagi pasien.
Dalam situasi klinis ini, satu percobaan teraputik baru, pada mana penyembuhan penyakit dapat dicapai berdasarkan pada potensi penyembuhan alami pasien, telah digali. Percobaan ini diberi nama terapi regenerasi jaringan di mana regenerasi jaringan dan organ adalah secara alami diinduksi untuk secara teraputik mengobati penyakit lewat pendorongan secara artifisiil potensi proliferasi dan diferensiasi sel. Guna mewujudnyatakan terapi regenerasi sel-yang diinduksi, terdapat dua macam teknik pendekatan. Satunya adalah transplantasi sel di mana sel dengan satu potensi proliferasi dan diferensiasi yang tinggi ditransplantasikan untuk menginduksi regenerasi jaringan berdasarkan atas potensi mereka sendiri. Yang lainnya, teknik pendekatan teraputik dengan teknologi biomaterial. Teknik pendekatan yang disebut belakangan, menggunakan penciptaan sebuah lingkungan lokal in vivo yang memungkinkan sel mendorong proliferasi dan diferensiasi mereka melalui pemanfaatan biomaterial dan teknologi. Bila lingkungan dengn efisien memanipulasi sel-sel yang secara inheren ada dalam tubuh untuk menguatkan potensi biologis regenerasi jaringan, penyembuhan alami yang diinduksi-sel dari jaringan dan organ akn tercapai tanpa transplantasi sel. Teknik pendekatan ini disebut rekayasa jaringan. Konsep dasar rekayasa jaringan berbasis-biomaterial ini mula-mula diperkenalkan oleh Langer & Vacanti (1993). Scaffold sel dan teknologi pengiriman biosignalling molecule dengan biomaterial telah diunjukkan untuk menyiptakan lingkungan yang cocok bagi regenerasi jaringan (Saltzman & Olbricht 2002; Bach et al. 2003; Bannasch et al. 2003; Chen & Mooney 2003; Hubbell 2004; Langer & Tirrell 2004; Silva & Mooney 2004; Kuo et al. 2006; Leo & Grande 2006; Tabata 2008). Untuk teknik pendekatan yang disebutkan terlebih dahulu, secara umum, sel-sel ditransplantasikan ke dalam tubuh dengan metode injeksi bolus atau infus. Namun, sedikit sel saja yang dipertahankan pada lokasi transplantasi dan angka sulihan mereka sangatlah rendah karena proses ekskresi dan kematian. Angka sulihan yang rendah dari sel-sel yang ditransplantasikan ini dan konsekuensi fungsi buruknya seringkali memberikan efikasi teraputik yang rendah dari teknik transplantasi sel. Scaffold untuk mendorong proliferasi dan diferensiasi disediakan dari biomaterial, sementara biomaterial digunakan sebagai pembawa pengiriman biosignalling molecules sebagaimana sel-sel itu memberi makanan untuk mengaktifasi secara biologis sel-sel. Kombinasi dengan biomaterial memungkinkan satu faktor angiogenik untuk secara efisien menginduksi angiogenesis in vivo, yang memberikan nutrien dan oksigen ke sel-sel yang ditransplantasikan. Biomaterial perlu membantu teknik pendekatan transplantasi sel dan menguatkan efikasi teraputik.
Terapi regenerasi baru ini tidaklah dapat selalu mengganti secara teraputik bedh rekonstruktif dan trnsplantasi organ yang tersedia secara klinis, dan memiliki keuntungan dan kerugian. Namun, ia secara klinis diekspektasikan sebagai pilihan teraputik ketiga. Bila terapi regenerasi jringan ini diujudnyatakan, ia akan memungkinkan kita untuk menyiptakan strategi teraputik baru juga meningkatkan pilihan teraputik klinisi, yang konsekuensinya membawa keuntungan teraputik besar bagi pasien yang tidak memiliki kemampuan meneria terapi efektif secara klinis. Terdapat tiga tujuan terapi regeneratif. Tujuan pertama adalah untuk menyiptakan sebuah strategi teraputik baru dari bedah dan kedokteran penyakit dalam, yang secara umumnya telah dikenal baik. Tujuan kedua adalah untuk memerbesar aplikasi klinik terapi yang tersedia secara konvensional. Terapi bedah konvensional tidak selalu efektif dalam mengobati pasien tua atau menderita penyakit-penyakit lainnya seperti diabetes dan hiperlipaemia, atau yang tidak dapat diaplikasikan karena sel-sel kuncinya kecil dan potensi untuk proliferasi dan diferensiasi yang rendah. Pada kasus ini, adalah memungkinkan secara praktis bahwa kombinasi dengan teknologi dan metodologi untuk mendorong potensi penyembuhan-diri berbasis-sel akan memerbaiki efikasi teraputik bahkan untuk pasien-pasien yang telah menerima pengobatan klinik. Tujuan ketiga adalah untuk menekan deteriorasi progresif penyakit. Deteriorasi dan memberatnya kondisi penyakit ditekan oleh potensi sel yang didorong secara artifisial untuk menginduksi regenerasi jaringan. Sebagai contoh, pada penyakit fibrosis khronik, jaringan fibrus dari serat-serat kolagen dan fibroblas berlebih menyebabkan gangguan proses penyembuhan alami pada lokasi penyakit. Bila fibrosis dapat dibuat longgar dan dicerna, dan tambahan potensi penyembuhan alami dari jaringan sekitar yang sehat dapat diperbesar, adalah besar kemungkinannya bahwa deteriorasi dan progresi penyakit dapat ditekan dalam cara alami yang fisiologis.
Saat ini, tidak terdapat terapi medik efektif untuk penyakit fibrosis khronik, seperti misalnya fibrosis paru, sirosis, dilated cardiomyopathy dan nefritis khronik. Untuk semua penyakit ini, lokasi yang cedera normalnya dipenuhi dengan jaringan fibrus dari serat kolagen berlebih dan proliferasi berlebih dari fibroblas. Adalah memungkinkan bahwa pemenuhan jaringan ini menyebabkan gangguan fisik dari proses penyembuhan pada lokasi penyakit. Bahkan pada orang dewasa, potensi penyembuhan alami untuk regenerasi jaringan masih tetap ada, namun tidak dapat beroperasi secara alami untuk alasan tertentu dalam kondisi penyakit. Sebagai contoh,  dengan demikian, bila fibrosis dapat dibuat longgar dan dicernakan untuk menghilangkannya dengan setiap dari metode pengobatan menggunakan obat-obatan, besar perkiraannya bahwa lokasi penyakit akan diregenerasi dan diperbaiki berdasarkan pada potensi regenerasi alami jaringan sehat sekitar. Percobaan ini merupakan sebuah terapi baru dan memungkinkan bagi penyakit fibrosis khronik dan didefinisikan sebagai ‘tissue regeneration of internal medicine’ karena aplikasi pengobatan menggunakan obat-obatan dari kedokteran penyakit dalam (Gambar 1). Teknik pendekatan ini adalah sama dengan terapi regenerasi bedah di mana sel, scaffold dan faktor pertumbuhan, atau kombinasinya, diaplikasikan secara bedah ke defek jaringan untuk terapi generasi, karena kedua macam teknik pendekatan adalah didasarkan atas potensi penyembuhan alami yang dimiliki pasien. Telah diunjukkan bahwa pelepasan terkontrol matrix metlloproteinase (MMP-1) plasmid DNA pada medula dari sklerosis ginjal khronik menginduksi regenerasi histologis struktur ginjal, yang berbeda dengan cairan DNA plasmid (Aoyama dkk 2003). Melalui pelepasan intraperitoneal hepatocyte growth factor (HGF) dapat mengobati secara histologis fibrosis hati tikus-tikus besar yang dengan sirosis hati (Oe dkk 2003). Sebuah biodegradable hydrogel dapat memenuhkan usaha pelepasan terkontrol dari small interfering RNA (siRNA) untuk transforming growth factor (TGF)-β1 type II receptor dan meregenerasi dan memerbaiki fibrosis dari sklerosis ginjal khronik (Kushibiki dkk 2006).




Gambar 1. Sebuah strategi teraputik baru bagi penyakit fibrotik khronik berdasarkan pada potensi penyebuhan alami pasien sendiri. Potensi tersebut dibantu dan didorong untuk regenerasi jaringan oleh teknologi DDS.

Ide dasar dari terapi regenerasi jaringan adalah mengambil keuntungan dari potensi penyembuhan alami pasien-pasien sendiri. Jadi, ini adalah terpakai untuk terapi lainnya dari kedokteran penyakit dalam. Untuk pengobatan kateter konvensional, sebuah oklusi aneurisma dengan gumpalan darah telah dilaksanakan secara klinis. Namun, kadangkala kekambuhan aneurisma akibat dari lisisnya gumpalan darah secara klinis menjadi masalah. Sebagaimana sebuah percobaan untuk mengatasi masalah, oklusi aneurisma dengan pengorganisasian jaringan telah tercapai lewat penggunaan coils incorporating basic fibroblast growth factor (bFGF; Kawakami dkk 2005). Pelepasan bFGF mendorong proliferasi sel di dalam aneurisma untuk memungkinkan oklusi terjadi oleh pengorganisasian jaringan. Strategi regenerasi jaringn akan diaplikasikan ke pada terpi kedokteran penyakit dalam.
Satu dari keuntungan teraputik adalah kemampuannya memercepat penyembuhan alami dari cedera fisik melalui pendorongn angiogenesis atau infiltrasi dan perekrutan sel-sel kunci pada lokasi cedera. Ini akan memungkinkan pasien untuk memerpendek periode penyembuhan dan menekan proses deteriorasi penyakit bahkan di bawah kondisi inflamasi dan infeksi. Satu kerugian dari terapi ini adalah bahwa, secara umum, sedikitnya beberaapa hari dinutuhkan untuk menginduksi dan mengaktifasi regenerasi jaringan berbasis-sel. Dengan konsekuensi, tidak dapat diperkirakan bahwa terapi regenerasi jaringan sendiri-sendiri akan mencapai penyembuhan cepat dari luka atau penyakit. Bergantung pada situsai klinis, adalah penting buat pengobatan medik yang lebih baik untuk mengombinasikan terapi konvensional dengan strategi regenerasi jaringan.

2. Prinsip dasar teknologi dan metodologi biomaterial bagi terapi regeneratif berbasis-rekayasa jaringan
Pada dasarnya, jaringan tubuh berkomposisikan dua komponen: sel dan lingkungan sekitar. Yang disebut belakangan meliputi matriks ekstraseluler (ECM) bagi proliferasi dan diferensiasi sel (scaffold alami) sebagai tempat hidup sel-sel dan biosignalling molecules sebagai nutrisi sel. Terdapat beberapa kasus di mana regenerasi jaringan dicapai lewat penggunaan komponen tunggal atau kombinasi dalam satu cara yang tepat. Namun, karena keberhasilan regenerasi jaringan tidak dapat selalu diperkirakan hanya dengan cara pengombinasian sederhana mereka, adalah penting untuk secara biomedik merancang cara untuk mengombinasikannya. Untuk tujuan ini, bantuan yang tepat dan positif dari teknologi biomaterial akanlah menjajikan secara praktisnya. Biomaterial memainkan satu peran kunci dalam pendisainan dan penciptaan pengganti untuk ECM dan the drug delivery system (DDS) dari biosignalling molecules untuk menguatkan aktifitas biologis mereka. Di samping aplikasi teraputik, biomaterial juga berguna dalam kemajuan dari riset dan pengembangan biologi dan kedokteran sel punca.
Sebagai biomaterial, bermacam material sintetik dan alami, seperti polimer, keramik dan metal atau komposit mereka, telah diselidiki dan digunakan dalam cara-cara berbeda. Di antara mereka, biodegradable biomaterial akan dijelaskan di sini. Dari sudut pandang praktis, metal dan keramik, kecuali untuk kalsium karbonat dan trikalsium fosfat, tidaklah biodegradable. Di lain pihak, beberapa polimer merupakan material biodegradable (Tabel 1). Kata ‘biodegradation’ didefinisikan menjadi fenonena di mana sebuah material didegradasikan atau terlarutkan dalam air oleh setiap proses dalam tubuh untuk menghilang dari lokasi di mana ia ditanam. Terdapat dua cara hilangnya material. Pertama, rantai utama material dihidrolisakan atau dicernakan secara enzimatik untuk menurunkan berat molekul, dan akhirnya menghilang. Kedua, material di cross-link secara kimiawi untuk membentuk sebuah hidrogel tak larut dalam air. Ketika ikatan cross-link didegradasikan untuk membangkitkan fragmen yang dapat larut dalam air, fragmen dibersihkan dari lokasi penanaman, menghasilkan menghilangnya material. Polimer sintetik umumnya didegradasikan dengan hidrolisis sederhana sementara polimer alami utamanya didegradasikan secara enzimatik. Polimer sintetik dapat dimodifikasi dengan mudah untuk mengubah komposisi kimiawi dan berat molekul mereka, yang memengaruhi sifat fisikokimiawi material ini. Polimer alami yang tersedia adalah dari protein, polisakharid dan asam nukleat. Derajat kebebasan mereka untuk pemodifikasian sifat-sifat adalah kecil ketika dibandingkan dengan polimer sintetik, namun mereka dapat secara kimiawi dimodifikasi untuk menghasilkan bermacam derivatif. Polimer alami secara normal dipakai dalam formulasi hidrogel yang dipersiapkan lewat cross-linking kimiawi. Secara umum, polimer sintetik adalah hidrofobik dan secara mekanik kuat ketika dibandingkan dengn yang alami; dengan lain kata, angka  degradasi mereka secara komparatif rendah. Untuk tujuan pengaplikasian material bagi regenerasi jaringan, retensi material yang ditanam dalam tubuh sering menyebabkan gangguan fisik dari regenerasi jaringan. Di lain pihak, sebuah kekuatan mekanik yang tepat dari material adalah juga diperlukan. Secara umum, kekuatan mekanik material melemah sebagaimana degradasi mereka lebih cepat. Kedua sifat bertolak belakang ini haruslah diseimbangkan dengan pendisainan dan pengombinasian material.



Terdapat lima buah kunci teknologi atau metodologi yang diperlukan bagi terapi regenerasi jaringan berbasis-biomaterial dan riset sel punca dasar yang secara ilmiah menyokong terapi regenerasi masa depan dari transplantasi sel. Teknologi kunci pertama adalah untuk penyiapan scaffold sel guna mendorong proliferasi dan diferensiasi atau morfogenesis, yang menyumbang ke regenerasi jaringan dan organogenesis berbasis-sel. Secara umum, adalah sulit untuk meregenerasi dan memerbaiki secara alami defek jaringan berukuran luas hanya memlalui penyuplaian sel ke lokasi defektif, karena baik sel maupun ECM juga lingkungan sekitar adalah menghilang. Dengan demikian, untuk menginduksi regenerasi jaringan pada lokasi defektif, satu jalan yang mungkin adalah membangun secara artifisial sebuah lingkungan lokal bagi sel, yang adalah berupa sebuah scaffold tiga-dimensi dari ECM artifisial guna mengawali bantuan perlekatan mereka dan kelanjutan proliferasi dan diferensiasinya, menginduksi regenerasi jaringan berbasis-sel. Diperkirakan bahwa sel-sel yang bertempat tinggal sekitar scaffold yang ditanam menginfiltrasi masuk ke dalam scaffold dan dengan konsekuensi berproliferasi dan berdiferensiasi di situ bilamana ECM artifisialnya adalah cocok secara biologis. Biomaterial memainkan sebuah peran penting dalam persiapan scaffold sel. Pada dasarnya, scaffold haruslah berpori dan biodegradable. Struktur pori diperlukan untuk infiltrasi sel masuk ke dalam scaffold, untuk suplai oksigen dan nutrisi ke sel-sel yang berproliferasi di situ dan membersihkan sisa-sisa sel. Sekali regenerasi jaringan terinduksi-sel terinisiasi secara alami, selanjutnya sel-sel akan menghasilkan ECM dari scaffold alami. Scaffold merupakan sebuah lempeng dasar sementara dari aktifitas sel. Retensi jangka panjang dari scaffold sel kadangkala menyebabkan penghalangan fisik melawan proses alami regenerasi jaringan. Ini adalah sebuah kinci bagi keberhasilan regenerasi jaringan untuk mengontrol profil waktu biodegradasi scaffold pada defek juga struktur tiga dimensi. Scaffold sel dikembangkan pada mulanya adalah sebuah entits fisik yang tidaklah memiliki satupun fungsi untuk secara positif mendorong proliferasi dan diferensiasi sel. Namun, sebuah tipe scaffold sel yang baru telah diselidiki untuk mengombinasikan biomaterial dengan ligands biologis yang reaktif untuk reseptor sel, biosignalling molecules dan substansi adhesif untuk pendorongan secara artifisial regenerasi jaringan berbasis-sel (Lutolf & Hubbell 2005; Chan & Mooney 2008). Sifat mekanik scaffold biomaterial adalah juga penting. Bila kekuatan mekanik adalah rendah, scaffold mudah berubah bentuk dalam tubuh. Sebagai hasilnya, regenerasi jaringan yang banyak tidak dapat selalu diperkirakan. Sebuah disain mekanik yang tepat adalah sangat dibutuhkan. Sebagai contoh, inkorporasi serat dan granul keramik memungkinkan spon biomaterial menguat secara mekanik dan menguatkan regenerasi jaringan in vivo mengikuti penanaman spon berkombinasi dengan sel punca (Hiraoka dkk 2003; Takahashi dkk 2005).


Gambar 2. Peran biomaterial dalam terapi regenerasi berbasis-rekayasa jaringan. (a) Biomaterial bagi scaffold sel untuk menginduksi regenerasi jaringan in vivo. Scaffold yang ddapat diserap secara biologis: (i) tanpa sel dan faktor pertumbuhan, (ii) dengan sel, (iii) dengan faktor pertumbuhan, (iv) dengan sel dan faktor pertumbuhan. (b) Biomaterial untuk melindungi ruang dan menginduksi angiogenesis bagi regenerasi jaringan in vivo. (c) Biomaterial untuk DDS dari molekul pensinyalan biologis (faktor pertumbuhan dan gen): (i) pembebasan terawasi dari molekul pensinyalan, (ii) perpanjangan usia hidup molekul, (iii) percepatan penyerapan molekul pensinyalan, (iv) penargetan molekul pensinyalan. (d) Biomaterial untuk pemanipulasian sel in vitro untuk memeroleh sel-sel dan konstruksi sel bagi transplantasi. (e) Biomaterial bagi perekayasaan fungsi biologis sel-sel.

Teknologi kunci kedua adalah untuk menyediakan ruang bagi regenerasi jaringan berbasis-sel dan suplai oksigen dan nutrisi ke sel-sel lewat angiogenesis (Gambar 2b). Kala sebuah defek tubuh timbul, ruang defek biasanya akan dipenuhi dengan cepat oleh jaringan fibrus yang dihasilkan oleh fibroblas, yang mana sel ini terdapat di mana-mana dalam tubuh dan dapat dengn cepat berproliferasi. Ini merupakan satu proses penyembuhan luka yang khas untuk sementara waktu mengisi dan memerbaiki sebuah defek tubuh dalam kasus kegawatan. Namun, sekali jaringan fibrus ini bertumbuh masuk ke dalam ruang di mana tempat regenerasi berlangsung, regenerasi dan perbaikan dari sebuah jaringan target pada ruang itu tidak lagi dapat diharapkan. Untuk mencegah pertumbuhan  jaringan, sebuah membran penghalang untuk menyediakan ruang bagi regenerasi jaringan diperlukan. Scaffold (Gambar 2a) kadangkala berfungsi menyediakan ruang bagi regenerasi jaringan. Untuk mengharapkan regenerasi jaringan berbasis-sel, lokasi di mana sel-sel ditransplantasikan haruslah diatur secara fisiologis. Untuk transplantasi sel, bila tidak ada suplai makanan dan oksigen, secara praktis tidaklah diharapkan bahwa sel-sel yang ditransplantasikan akan bertahan dan berfungsi baik untuk menginduksi regenerasi jaringan. Masalah yang sama teramati bagi transplantasi sel punca walaupun potensi mereka  untuk proliferasi dan diferensiasi adalah mengungguli sel-sel dewasa. Contoh, sebagai salah satu strategi untuk mengatasi masalah ini, menjanjikan untuk menginduksi angiogenesis in vivo lewat teknologi dan metodologi biomterial Tabat & Ikada 1999; Tabata 2003a, 2005a,b; Tambara dkk 2005; Soto-Gutierrez dkk 2006; Takehara dkk 2008).
Ketika jaringan sekitar sebuah defek tidak memiliki potensi bawaan untuk berregenerasi, regenerasi jaringan tidak dapat selalu diharapkan bila hanya scaffold atau membran penyedia-ruang disuplaikan. Scaffold sel dan membran biomaterial haruslah digunakan dalam kombinasinya dengan sel atau/dan molekul-molekul pensinyalan (mis., faktor pertumbuhan, sitokin, khemokin) yang memiliki potensi untuk memercepat regenerasi jaringan terinduksi-sel. Saat ini, banyak sel punca dengan satu potensi tinggi untuk proiferasi dan diferensiasi dipersiapkan dan diaplikasikan ke sebuah defek jaringan untuk menginduksi regenerasi jaringan di dalamnya (Salgado dkk 2006; Fernyhough dkk 2008; Mountford 2008). Walaupun terdapt beberapa kasus di mana sebuah faktor pertumbuhan diperlukan untuk mendorong regenerasi jaringan, penginjeksian langsung faktor pertumbuhan dalam cairan ke dalam lokasi yang diregenerasi umumnya tidaklah efektif. Ini karena faktor pertumbuhan dengan cepat berdifusi dari lokasi penginjeksian dan dicernak secara enzimatik atau dideaktifasikan. Untuk memampukan faktor pertumbuhan untuk mendayakannya dengan efisien fungsi biologisnya, sebuah teknologi baru diperlukan. Ini menjadi bentuk dari teknologi kunci dari rekayasa jaringan: DDS (Gambar 2c). Walau setiap teknologi DDS adalah tersedia untuk rekayasa jaringan, teknologi pelepasan faktor pertumbuhan dan gen menjadi aplikasi utama untuk menginduksi regenerasi jaringan. Contoh, pelepasan terawasi faktor pertumbuhan pada lokasi aksi sepanjang periode waktu yang diperpanjang tercapai lewat cara menggabungkan faktor ke dalam sebuah pembawa biomaterial yang tepat. Adalah juga memungkinkan bahwa ketika digabungkan dalam pembawa pelepasan, faktor pertumbuhan dilindungi dari proteolisis sehingga memerpanjang retensi aktifitas in vivo. Pembawa pelepasan haruslah dihancurkan dalam tubuh, karena ia menjadi tidak berguna setelah fungsi pelepasannya lengkap. Sebagai tambahan untuk pelepasan terawasi, perbaikan stabilisasi molekul pensinyalan, memanjangnya waktu paruh in vivo dan penargetan ke lokasi aksi akan memerkuat regenerasi jaringan terinduksi-faktor.
Dari waktu ke waktu, DDS diselidiki dan dikembangkan sebagai teknologi atau metodologi satu-satunya dalam memerkuat efikasi in vivo obat-obat teraputik. Didasarkan atas ide-ide yang itu-itu saja dan latar belakang historisnya, telah diperkirakan bahwa berdasarkan ilmu dan teknologi, DDS tidaklah dapat diaplikasikan ke terapi regenerasi jaringan. Terdapat sedikit saja jumlah penyelidikan regenerasi jaringan berbasis-DDS. Memertimbangkan bahwa obat-obat yang dapat diaplikasikan bagi terapi regeneratif meliputi protein dan gen adalah efektif dalam mendorong proliferasi dan diferensiasi sel-sel untuk menginduksi regenerasi jaringan dan organ, umumnya, mereka secara biologis tidak stail in vivo. Dengan demikian, setelah pemberian in vivo molekul-molekul pensinyalan, adalah perlu untuk menguatkan aktifitas biologis in vivonya dengan memanfaatkan teknologi dan metodologi DDS. Banyak tipe biomaterial telah dipakai untuk aplikasi DDS.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah perlu dalam memersiapkan sel-sel bagi terapi transplantasi. Dengan demikian, riset dasar biologi dan kedokteran sedang berjalan aktif untuk menyeleksi sel-sel kandidat yang cocok untuk terapi sel. Di antara para kandidat, sel-sel yang memiliki potensi proliferasi dan diferensiasi yang lebih tinggi dari sel-sel dewasa, disebut sel punca, adalah menjanjikan dari sudut pandang regenerasi jaringan berbasis-sel. Contoh, sebagai tambahan terhadap sel punca hematopoietik, sel punca mesensimal (MSC) terdapat dalam sumsum tulang dewasa. Telah dijelaskan bahwa MSC dari sel punca dewasa memiliki satu kemampuan proliferatif dan satu potensi bawaan menjadi garis turunan sel osteogenik, khondrogenik, adipogenik dan otot jantung. Sekarang ini, MSC manusia diisolasi dan tersedia di pasaran (Pittenger dkk. 1999) sementara percobaan klinis telah dimulai. Bila memungkinkan untuk pemakaian secara klinis satu tipe terdiferensiasi dari MSC seorang pasien, penolakan imunologis tidak lagi menjadi satu pertanyaan. Banyak peneliti terapi regenerasi jaringan dengan sel punca, khususnya MSC, telah melapor kelayakan teraputik mereka dalam regenerasi jaringan (Leo & Grande 2006; Docheva dkk 2007; Fibbe dkk 2007; Picinich dkk 2007; Shanti dkk 2007). Tambahan pula, sel punca neural (Hsu dkk 2007; Kornblum 2007) dan sel punca yang dapat diisolasi dari jaringan lemak (Strem & Hedrick 2005; Gimble dkk 2007; Schaffler & Bucher 2007) telah secara ekstensif diselidiki. Mereka dapat dipersiapkan dari janin dan orang dewasa dan mempertunjukkan plastisitas untuk diferensiasi sel dan diperkirakan menjanjikan menjadi kandidat sel untuk terapi medik regeneratif. Punca embryonik (ES; Mountford 2008) dan inducible pluripotent stem (iPS) celss (Yamamaka 2007) telah mapan dan diperkirakan sebagai sumber sel untuk terapi transplantasi dan riset dan pengembangan obat-obatan.
Namun, satu dari sekian banyak masalah adalah kekurangan sel yang tersedia secara klinis. Dengan demikian, adalah penting untuk mengembangkan sebuah teknologi atau metodologi untuk penyiapan sejumlah besar sel punca dengn kualitas tinggi. Untuk tujuan ini, isolasi, induksi dan bermacam teknologi pembenihan in vitro sel punca dibutuhkan. Teknologi keempat adalah untuk persiapan dan proliferasi sel yang efisien (Gambar 2d), yang  dapat dicapai melalui penyediaan sebuah substrat benihan sel sebagai ECM artifisial. Scaffold sel untuk regenerasi jaringan in vivo sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat digunakan bagi tujuan substrat benihan. Substrat tiga dimensi dapat didisain dan dipersiapkan dari biomaterial sitokompatibilitas. Dri sudut pandang pasokan makanan dan oksigen, riset dan pengembangan metode dan bioreaktor pembenihan sel adalah diperlukan (Holtorf dkk 2006; Mironov dkk 2008).
Teknologi ke lima adalah merekayasa secara genetik sel-sel bagi manipulasi fungsi dan biologi dasar. Terdapat beberapa kasus di mana sel-sel ditransplantasikan tidak berfungsi dengan baik untuk menginduksi regenerasi jaringan berbasis-sel. Sebagaimana seseorang mencoba memecah masalah ini melalui sel-sel secara genetik direkayasa dengan biomaterial untuk mengaktifasi fungsi biologis. Adalah penting untuk perekayasaan genetik sel-sel dalam rangka mengembangkan sebuah pembawa (carrier) transfeksi gen dan sistim pembenihan sel untuk pengekspresian gen yang efisien. Secara umum, vektor virus telah secara ilmiah digunakan bagi transfeksi gen karena keefisiensian mereka. Namun, virus tidaklah dapat digunakan untuk mengobati pasien; jadi, biomaterial pembawa yang non-viral dibutuhkan untuk dikembangkan dari sudut pandang klinik terapi sel. Teknologi ini adalah juga dapat diterpkan untuk riset dasar biologi dan kedoktern sel punca, yang memberikan pengetahuan dan hasil penting bagi terapi sel. Kombinasi dari scaffold sel, perlindungan ruang dan teknologi DDS ini secara praktis menjanjikan untuk menyiptakan sebuah lingkungan yang mendorong proliferasi dan diferensiasi sel-sel bagi regenerasi jaringan terinduksi-sel. Baik pembenihan maupun perekayasaan genetik sel merupakan teknologi kunci dalam rangka penyiapan sel yang secara klinis tersediakan bagi terapi sel. Setiap dari teknologi berbasis-biomaterial adalah penting tidak hanya untuk mengembangkan riset dasar biologi dan kedokteran sel punca, namun juga untuk mewujudnyatakan terapi regenerasi jaringan berbasis-sel.

3. Aspek klinis regenerasi jaringan berbasis-rekayasa jaringan
Perekayasaan jaringan untuk terapi regenerasi klinik dapat diklasifikasikan sebagai in vitro atau in vivo bergantung pada lokasi di mana regenerasi jaringan atau substitusi organ dilaksanakan. Perekayasaan jaringan in vitro menyangkut rekonstruksi jaringan dengan cara metode pembenihan sel dan substitusi organ dengan sel fungsional – di sebut bioartificial hybrid organ. Bila sebuah jaringan dapat di rekonstruksi in vitro dalam pabrik atu laboratorium dalam sebuah skala besar, ia dapat dipasokkan ke pasien ketika membutuhkannya. Contoh, fibroblas kulit manusia dibenihkan dalam satu spon kolagen untuk menyiapkan sebuah dermis artisial untuk sulihan kulit (Kuroyanagi dkk 2001; Kumagai 2002; Ichioka dkk 2005; Takemoto dkk 2008). Untuk menyiapkan vena paru dan substitusi tulang untuk pengobatan, sel-sel dari pembuluh darah dan sel punca berasal-sumsum tulang dibenihkan dalam scaffolds berpori dari polilaktid berbentuk-tabung (Shin’oka dkk 2001) dan hidroksil apatit kubus (Ohgusi & Caplan 1999). Namun, sulit untuk mereproduksi kejadian in vivo secara penuh in vitro dengan menggunakan pengetahuan dasar biologi dan kedoktern atau teknologi pembenihan sel yang tersedia saat ini. Saat ini, sulit untuk mewujudnyatakan perekayasaan jaringan in vitro karena rngkaian artifisial dari satu lingkungan biologis untuk menginduksi rekonstruksi jaringan berbasis-sel adalah tidaklah mungkin secara praktis. Bahkan bila sebuah konstruksi mirip-jaringan tiga dimensi dipersiapkan in vitro, adalah sulit secara praktis untuk membiarkan konstruksi bertahan hidup dan berfungsi in vivo setelah penyulihan. Tambahannya, konstruksi tidaklah selalu berhubungan dengan jaringan alami sekitarnya secara biologis. Lingkungan in vivo untuk konstruksi yang dimplantasikan haruslah didisain. Aplikasi lainnya dari rekayasa jaringan in vitro adalah penggantian fungsi organ dengan memakai sel-sel allo- atau xenogeneic. Sel-sel dikombinasikan dengan sebuah membran imunoisolasi dari biomaterial untuk mengganti fungsi fisiologis hati dan pankreas (Falqui dkk 1991; Olle dkk 1996; Yamashita dkk 2002; Kobayashi dkk 2003; Ehashi dkk 2006). Biomaterial telah diselidiki untuk mendisain dan menyiptakan sebuah lingkungan biologis yang dapat membantu proliferasi dan diferensiasi sel-sel dan memertahankan fungsi biologis mereka.
Berbeda dari rekayasa jaringan in vitro, rekayasa in vivo adalah menguntungkan dari sudut pandang lingkungan bagi penginduksian regenerasi jaringan. Kemungkinan besarnya bahwa kebanyakan komponen biologis penting bagi regenerasi jaringan, seperti faktor pertumbuhan dan sitokin, secara alami dipasok oleh tubuh. Berdasarkan keuntungan ini, hampir seluruh teknik pendekatan rekayasa jaringan terlaksana in vivo dengan atau tanpa scaffolds sel yang dapat hancur secara biologis. Terdapat beberapa contoh di mana regenerasi jaringan in vivo tercapai melalui pemakaian scaffold dengan atau tanpa sel (Tabata 2003b, 2005b, 2008). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bila pasiennya berusia muda dan sehat, dan jaringan yang akan diperbaiki memilik satu potensi tinggi untuk menginduksi regenerasi, sel-sel aktif dan imatur dari jaringan sehat sekitarnya akan menginfiltrasi matriks dari sebuah scaffold biodegradabel terimplantasi, menghasilkan pembentukan jaringan baru. Namun, cara-cara tambahan dibutuhkan bila pasien berusia tua dan/atau menderita penyakit lain, seperti diabetes dan hiperlipemi, atau bila potensi regenerasi jaringannya rendah sebagai hasil dari, misalnya, konsentrasi sel dan faktor pertumbuhan rendah. Metode sederhananya adalah memasok satu faktor pertumbuhan ke lokasi regenerasi untuk mendapatkan proliferasi dan diferensiasi dalam sebuah cara yang dapat terawasi.Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk membiarkan sebuah faktor pertumbuhan dari instabilitas in vivo untuk berfungsi dengan efisien dalam tubuh, adalah penting untuk memanfaatkan teknologi DDS.
Satu dari permasalahan terbesar teknologi pelepasan protein faktor pertumbuhan adalah hilangnya aktifitas biologis protein yang dilepas tersebut dari sebuah formulasi pembawa-protein. Telah diunjukkan bahwa hilangnya aktifitas ini utamanya akibat dari denaturasi dan deaktifasi protein selama proses penyiapan formulasi (Gombotz & Wee 1998; Tabata 2003b). Dengan demikian, sebuah metode untuk memersiapkan formulasi pelepasan protein dengan biomaterial haruslah dieksploatasi guna memerkecil denaturasi protein. Dari sudut pandang ini, sebuah hidrogen polimer mungkin menjadi satu kandidat yang dipilih sebagai sebuah pembawa pelepasan protein karena sifat keamanan biologisnya dan tingginya daya kelembamannya terhadap obat-obat protein. Namun, secara praktisnya tidaklah mungkin mencapai pelepasan protein yang terawasi sepanjang periode waktu yang panjang dari hidrogel hanya ketika protein cuman dikombinasikan dalam hidrogel. Kombinasi protein secara normal terlokalisasi dalam fase air di dalam hidrogel dan pelepasannya umumnya secara difusi terawasi lewat jalur air (water pathway) hidrogel. Profil pelepasannya diregulasikan oleh pemodifikasian densitas cross-linking dari polimer hidrogel. Namun, terdapat keterbatasan untuk pengaturan difusi protein lewat densitas cross-linking. Dengn demikian, secara praktisnya tidaklah mungkin untuk mencapai pelepasan protein untuk lebih dari beberapa hari. Memertimbangkan aktifasi terinduksi-protein dari fungsi sel, pelepasan protein untuk sedikitnya 7 hari atau lebih adalah dibutuhkan. Jadi, adalah penting untuk merancang sebuah metode pelepasan protein. Satu teknik pendekatan yang mungkin adalah mengimobilisasi sebuah faktor pertumbuhan dalam sebuah hidrogen yang dapat hancur secara biologis. Patut dicatat bahwa pengimobilisasian kimia adalah tidak tepat untuk tujuan ini, karena reaksi kimia terhadap faktor pertumbuhan seringkali menyebabkan aktifitas biologis. Pengimobilisasian fisik lebih dipilih. Faktor imobilisasi tidaklah dilepas melalui difusi sederhana, namun hanya dengan cara solubilisasi dari faktor dalam air bersama-sama dengan pembangkitan fragmen hidrogel yang larut dalam air sebagai stu hasil dari degradasi biologis hidrogel. Dalam sistim pelepasan seperti itu, profil waktu pelepasan dari faktor pertumbuhan dikendalikan hanya dengan cara sebagaimana pada degradasi hidrogel in vivo. Persyaratan dari sebuah polimer hidrogel bagi sistim pelepasan ini adalah harus memiliki biodegrabilitas dan kemampuan interaksi fisik dengan protein untuk pengimobilisasian. Juga, dari segi aplikasi teraputik, adalah lebih baik bahwa polimernya adalah seperti yang sudah biasa digunakan dalam klinik sebelumnya.
Terdapat beberapa laporan tentang pelepasan-terawasi dari protein (Andrianov & Payne 1998; Fujioka dkk 1998; Gombotz & Wee 1998; Tessmar & Gopferich 2007). Beberapa hidrogel efektif menguatkan aktifitas in vivo faktor-faktor pertumbuhan untuk menginduksi regenerasi jaringan (Lutolf & Hubbell 2005; Coviello et al. 2007; Van Tomme & Hennink 2007). Berdasarkan atas persyaratan yang disebutkan di atas, diseleksi jenis gelatin untuk menyiapkan sebuah hidrogel biodegradabel pembawa pembebasan protein, karena telah terbiasa secra klinik dalam aplikasi medis dan kefarmasian dan terbukti biokompatibel. Sebagaimana diperkirakan. Hidrogel gelatin mengimobilisasi faktor pertumbuhan lewat interaksi fisikokimia di antara gelatin dan faktor tersebut. Faktor pertumbuhan dapat dibebaskan dari hidrogel bersama-sama dengan degradasi hidrogel pembawanya (Tabata dkk 1994; Tbata & Ikada 1999). Gelatin dengan mudah secara kimiawi diderivasikan untuk mengubah molekuler alaminya, yang adalah rentan terhadap interaksi fisik dengan protein. Memakai hidrogel gelatin, pembebasan terawasi faktor-faktor pertumbuhan bioaktif sepanjang satu waktu 5 hari hingga tiga bulan adalah memungkinkan. Pembebasan terawasi dari bermacam faktor pertumbuhan telah berhasil dengan baik dalam terapi regenerasi dari bermacam jaringan (Gambar 3). bFGF adalah stu dari faktor angiogenik dan memiliki kemampuan untuk menguatkan penyembuhan luka melalui satu penginduksian angiogenesis dan menginduksi regenerasi tulang, kartilago, kulit, syaraf dan jaringan lemak (Tabata 2007, 2008). Ketika bFGF rekombinan manusia (Fibrast spray, Kaken Pharmaceutical Co., Tokyo) digabungkan ke dalam sebuah hidrogel gelatin dan secara subkutan diimplantasikan ke dalam punggung seekor tikus, efek angiogenik bermakna teramati sekitar lokasi implantasi, dalam perbedaan yang sangat jelas dengan hasil penginjeksian cairan bFGF bahkan pada dosis yang lebih tinggi (Ikada & Tabata 1998). Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah molekul pensinyalan angiogenik dan telah secara ekstensif diselidiki untuk mengunjukkan potensinya menginduksi angiogenesis dalam bentuk berbeda dari modifikasi DDS (Tabata et al. 2000a; Zisch et al. 2003; Patel et al. 2008). Umumnya, bagaimanapun, pembuluh darah diregenerasi oleh VEGF baik-baik saja saat dibandingkan dengan apa yang dihasilkan oleh bFGF dan VEGF seringkali menyebabkan edema jaringan. Membandingkan hal-hal itu, lebih dipilih menggunakan bFGF untuk terapi angiogenik dari sudut pandang kebutuhan teraputik pembuluh darah yang luas.


Gambar 3. Contoh-contoh regenerasi jaringan dengan hidrogel biodegradabel untuk pembebasan faktor pertumbuhan. (a) Regenerasi arteri koronaria: (i) cairan bFGF, dan (iii) diastol, (iv) sistol; (ii) mikrosfir gelatin digabung dengan bFGF, dan (v) diatol, (vi) sistol (LAD, left anterior descending coronary artery; LCX, left circumflex coronary artery). (b) Regenerasi tulang: (i) cairan BMP-2, (ii) hidrogel digabungkan dengan BMP-2. (c) Pendorongan hair shaft elongation (*p<0,05 vs bentuk yang dapat larut dalam air; ** p<0.05 vs konsentrasi VEGF lain dalam satu bentuk terbebaskan). (d) Regenerasi kartilago artikuler: (i) cairan CTGF, (ii) mikrosfir gelatin digabungkan dengan CTGF. (e) Regenerasi jaringan lemak: mikrosfir gelatin digabungkan dengan bFGF. Saat ini, sedikitnya 360 kerjasama dengan teknologi pembebasan dari bermacam faktor pertumbuhan sedang dilaksanakan oleh klinisi dan periset.

Terdapat dua tujuan penting angiogenesis dalam rekayasa jaringan: terapi penyakit iskemik dan ‘in-advance angiogenesis’ untuk transplantasi sel. Untuk satu contoh yang pertama, ketika penginjeksian ke dalam lokasi iskemi infark otot jantung (Wakura dkk 2003) atau iskemi tungkai bawah (Nakajima dkk 2004), penggabungan mikrosfer gelatin dengan bFGF menginduksi angiogenesis hingga meningkat lebih besar secara bermakna dari pada cairan bFGF. Terapi angiogenik untuk iskemi tungkai bawah ini telah secara klinik memerlihatkan pengunjukkan efikasi teraputik yang baik (Marui dkk 2007; Gambar 4). Ini adalah laporan pertama dari terapi angiogenik klinik dengan menggunakan teknologi DDS dri faktor pertumbuhan tanpa transplantasi sel sma sekali. Granul dari hidrogel gelatin yang bergabung dengan bFGF diinjeksikan ke dalam otot femur tungkai iskemik pasien-pasien. bFGF dibebaskan secara lokal sekitar lokasi penginjeksian sepanjang dua minggu dan tidak terdeteksi bFGF dalam darah sirkulasi. Ketika dibandingkan sebelum dan setelah pengobatan bFGF, skor nyeri, oksigen jaringan dan aliran darah semuanya mengalami perbaikan secara bermakna. Tambahannya, jarak tempuh berjalan pasien yang diobati meningkat hingga ke satu tingkat yang bermakna secara klinis. Terapi regenerasi sternum, lemak dan meniskus sedang berlangsung dengan keadaan klinisnya (Tabel 2).


Gambar 4. Contoh-contoh regenerasi jaringan klinik bagi ASO iskemik dan ulkus kaki diabetik dari penyakit tak sembuh-sembuh dengan hidrogel biodegradabel bagi pembebasan bFGF. Penyakit yang tak sembuh-sembuh tersebut dapat diperbaiki hanya dengan penginjeksian intramuskuler atau implantasi granul hidrogel digabung dengan bFGF. bFGF dibebaskan secara lokal selama dua minggu pada lokasi penginjeksian untuk menginduksi angiogenesis in vivo menghasilkan terdorongnya penyembuhan luka. Kasus pertama di seluruh dunia: (a) laki-laki, 27 tahun, (b) empat minggu kemudian, (c) 12 minggu kemudian; (d) Perempuan, 73 tahun, (e) empat minggu kemudian, (f) 16 minggu kemudian. Sebelum pengobatan, pasien tidak mampu berjalan akibat dari nyeri parah. Namun terapi angiogenik membuat mereka berjalan tanpa masalah.



Pasokan makanan dan oksigen ke sel yang ditranplantasikan adalah sangt dibutuhkan bagi bertahan hidup dan memertahankan fungsi biologisnya in vivo (Gambar 1b). Untuk transplantasi sel yang berhasil, adalah bermanfaat untuk menginduksi angiogenesis in advance lewat lokasi di mana sel-sel ditransplantasikan, dengan menggunakan sistim pembebasan bFGF. Teknologi in-advance angiogenesis ini dengan efisien menguatkan angka sulihan dan memerbaiki fungsi biologis pancreatic islets (Balamurugan dkk 2003), hepatosit (Ogwa dkk 2001), kardiomyosit (Sakakibara dkk 2002) dan sel-sel ginjal (Saito dkk 2003), juga penanaman dri sebuah konstruksi kulit dermis-epidermis –jaringan(Tsuji-Saso dkk 2007). Konsekuensinya, efikasi teraputik yang diinduksi oleh sel-sel dan konstruksi yang diimplantasikan secara bermakna teraugmentasikan dibandingkan dengan yang dihasilkan bila tanpa angiogenesis. Sistim pembebasan memungkinkan penguatan aktifitas dari bermacam faktor pertumbuhan, seperti misalnya bFGF, TGF-β1 dan bone morphogenetic protein-2 (BMP-2) untuk menginduksi regenerasi tulang dan penyembuhan tuhan, juga utuk secara sinergistik mendorong regenerasi tulang terinduksi oleh MSC sumsum tulang (Tabata dkk 2000b). Telah dikenal baik bahwa insulin-like growth factor  (IGF)-1 menekan apopotosis sel syaraf. Pembebasan terawasi IGF-1 dari hidrogel gelatin menghambat penuaan syaraf pendengaran, menghasilkan penekanan deteorisasi kesulitan pendengaran (Iwai dkk 2006). Pengobatan IGF-1 ini telah dimulai secara klinis untuk mengunjukkan efikasi teraputik yang baik (Tabel 2). Tambahannya, sistim hidrogel dapat membebaskan tidak hanya satu tipe faktor pertumbuhan namun juga dua atau lebih tipe dalam konsentrasi dan profil pembebasan yang berbeda. Atas pengaplikasian sebuah hidrogel yang digabungkan dengan satu dosis rendah dari bFGF ataupun TGF-β1 ke satu defek tulang kepala kelinci, tidak teramati adanya regenerasi jaringan tulang pada defek. Namun, satu efek sinergistik pada regenerasi tulang teramati dengan pembebasan simultan dua faktor (L. Hong, Y. Tabata, S. Miyamoto, K. Yamada, Y. Ikada 2000). Teramati angiogenesis sinergistik dari bFGF dan HGF (Marui dkk 2006). Platelet mengandung a cocktail dari faktor pertumbuhan otolog. Pembebasan terawasi dari a cocktail oleh hidrogel memungkinkan regenerasi tulang terjadi (Hokugo dkk 2005), meniskus lutut (Ishida dkk 2007) dan diskus intervertebralis (Nagae dkk 2007), yang sangat berbeda bila dengan hanya menggunakan cocktail saja.

4. Aspek eksperimental lebih lanjut dari terapi regenerasi berbasis-rekayasa jaringan
Cell scaffolding technology tidak hanya diaplikasikan untuk regenerasi jaringan berbasis-sel in-vivo, namun dapat juga membantu dan mendorong ilmu pengetahuan dasar proliferasi dan diferensiasi sel punca. Yang disebut belakangan adalah untuk penyediaan sel dengan kualitas baik yang mampu pakai untuk terapi sel dan pengembangan riset biologi sel punca. Untuk memanipulasi proliferasi dan diferensiasi sel punca in vitro, terdapat dua buah teknik pendekatan ilmiah dan teknologi: modifikasi media benihan dan substrat sel. Telah dilakukan beberapa kali percobaan dengan menambah bermacam faktor yang dapt larut dalam media benihan untuk memanipulasi tingkah laku sel. Menimbang bahwa secara normalnya kebanyakan sel tidaklah dapat bertahan hidup dan berfungsi secara biologis tanpa perlekatannya pada substrat benihan, tidak ada keraguan bahwa pengaruh substrat adalah sangat besar terhadap profil prolifersi dan diferensiasi sel. Contoh, telah diunjukkan bahwa arah diferensiasi sel dapat dimodifikasi dengan kelembutan (softness) (Engler dkk 2006) dan ukuran (size) (Nakamura dkk 2005) dari substrt sel dan modifikasi permukaan dari molekul pensinyalan biologis (Nagaoka dkk 2006; Benoit dkk 2008). Tambahannya, telah dilaporkan tentang sebuah scaffold tiga-dimensi yang memiliki sebuah gradien sterik dari konsentrasi molekul bioaktif di dalam material (Yamamoto dkk 2007). Telah dikenal dengan baik bahwa satu niche biologis merupakan lingkungan lokal dari sel punca untuk secara alami mengatur proliferasi dan diferensiasi mereka in vivo (Arai & Suda 2007). Saat ketika mekanisme molekuler niche sel punca secara biologis diklarifikasi dan komponen kunci dapat diungkap dan digunakan, kombinasi dengan scaffold sel konvensional memampukan sel punca untuk secara artfisial memanipulasi potensi mereka bagi regenerasi jaringan. Pengembangan di masa depan dari biologi sel punca dan kolaborasi substansiilnya dengan teknologi biomaterial akan membuka sebuah lapangan riset baru sel punca dengan konsekuensi mengawali ke pada sebuah strategi menjanjikan dari terapi sel.
Teknologi dan metodologi DDS memainkan sebuah peran penting pada riset dasar biologi sel punca. Molekul pensinyalan untuk mengatur fungsi dan nasib sel punca telah terungkap. Dalam kaitn ini, kedepannya, kebutuhan akan DDS akan tidak diragukan lagi peningkatannya untuk mengembangkan riset dasar regenerasi jaringan dan dengan konsekuensi mewujudnyatakan terapi regenerasi berbasis-sel. Secara praktisnya adalah tidak mungkin untuk membiarkan protein pensinyalan biologis berfungsi in vivo tanpa bantuan DDS. Sebagai tambahan terhadap faktor pertumbuhan, gen-gen telah digunakan untuk terapi regenerasi jaringan. Terdapat dua macam arah ke masa yang akan datang dari terapi gen. Arah pertama adalah terpi gen konvensional di mana sebuah plasmid DNA dan adenovirus secara langsung diinjeksikan untuk memberikan efek teraputik. Untuk terapi gen, secara praktis penting untuk menguatkan efisiensi transfeksi gen. Umumnya, efikasi vektor viral adalah lebih tinggi dibandingkan dengan efikasi pembawa non-viral. Namun, vektor viral secara klinik tidaklah cocok karena toksisitas dan imunogenisitas mereka. Dengan demikian, adalah penting untuk mengembangkan efikasi transfeksi gen in vivo. Satu dari beberapa kemungkinan caranya adalah menggunakan teknologi DDS. Beberapa biomaterial pembawa gen, seperti liposom kationik dan polimer kationik, telah diselidiki untuk menguatkan level ekspresi gen (Kushibiki dkk 2003; Kushibiki & Tabata 2004; Jo & Tabata 2008). Tambahannya, teknologi pembebasan juga efektif dalam memerkuat transfeksi dan pengekspresian gen. Pembebasan plasmid DNA dari sebuah hidrogel biodegradabel dari derivatif gelatin ter-kation-kan memerkuat level pengekspresian gen juga memerpanjang periode waktu pengekspresiannya ( Kushibiki dkk 2003; Kushibiki & Tabata 2004). Penginjeksian hidrogel gelatin ter-kation-kan digabungkan dengan plasmid DNA efek teraputik in vivo hingga ke satu tingkat lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan cairan plasmid DNA sendiri (Kushibiki dkk 2004). Mikrosfir digabungkan dengan plasmid DNA juga menguatkan pengekspresian gen sel-sel untuk mengaktifasi secara genetik fungsi biologis mereka dan dengan konsekuensi meningkatkan efikasi terapi sel. Menggunakan mikrosfir yang digabungkan dengan plasmid DNA, pembebasan intraseluler terawsi dari plasmid DNA tercapai untuk menguatkan efikasi trnsfeksi gen hingga ke satu level lebih tinggi dibandingkan dengan yang dicapai oleh transfeksi adenovirus. Sel-sel yang terrekayasa secara genetik berfungsi dengan baik untuk memeroleh efikasi teraputik (Yamamoto & Tabata 2006; Jo & Tabata 2008). Dengan adanya perkembangan terkini riset genomik, rangkaian DNA genom manusia telah terungkap dan terapi penyakit pada level genetik akan berkembang di masa datng. Sebagai protein, gen adalah juga tidak stabil in vivo. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa teknologi DDS akan memiliki sebuah peran penting dalam terapi gen.
Arah kedua adalah untuk merekayasa sel-sel secara genetik bagi pengaktifasian fungsi mereka, yang dapat diterapkan untuk terapi transplantsi sel dan biologi sel punca. Terdapat beberapa kasusnya di mana transplantasi sel punca sendiri-sendiri tidaklah selalu menginduksi efek teraputik yang dapat diterima secara klinik. Sebuah cara menjajnjikan dan praktis untuk mengatasi persoalan ini adalah merekayasa secara genetik sel-sel punca dengan cara transfeksi gen untuk mengaktifasi fungsi-fungsi biologis mereka. Sejauh ini, aktifasi sel seperti itu telah dicoba dengan cara menggunakan vektor virus (Lai dkk 2008). Percobaan ini telah sangat berhasil, namun hasi yang baik tidak dapat diaplikasikan ke terapi klinis karena persoalan pemakaian virus. Dengan demikian, adalah perlu untuk mengembangkan sebuah sistim tranfeksi gen non-virus. Teknologi dan metodologi DDS adalah sangat efektif dalam mengembangkan satu sistim transfeksi gen non-viral dengan efisiensi transfeksi gen setinggi yang dicapai sistim viral (Yamamoto & Tabata 2006; Jo & Tabata 2008). Sebagai tambahan terhadap mikrosfir untuk pembebasan intraseluler plasmid DNA, sebuah pembawa non-viral baru telah dipersiapkan dari polisakharid ter-kation-kan. Pembawa transfeksi gen memampukan plasmid DNA untuk menguatkan level pengekspresian gen sel punca dengan kurang toksisitasnya dibandingkan dengan liposom ter-kation-kan yang tersedian di pasaran. Transfeksi gen dengan polisakharid ter-kation-kan adalah efektif dalam menguatkan pengekspresian gen sel punca hingga merekayasa secara genetik fungsi biologis (Jo & Tabata 2008). Tambahannya, sel punca yang direkayasa memerlihatkan efikasi terapi gen sel yang lebih besar dibandingkan dengan sel-sel aselinya (Jo dkk 2007). Level pengekspresian gen oleh pembawa non-viral telah juga diperkuat dengan cara merancang metodologi benihan transfeksi gen, seperti misalnya metoda reverse transfection dan kombinasi bioreaktor (Okazaki dkk 2007; Nagane dkk ), Jadi, teknologi perekayasaan gen dengan biomaterial adalah efektif dalam menguatkan terapi regenerasi berbasis-sel punca dan juga mengembangkan riset dasar biologi dan kedokteran sel punca. Teknologi transfeksi gen akan tersedia untuk penginduksi non-viral dari sel-sel iPS dan juga membiarkan beberapa substansi bioaktif untuk menginternalisasi ke dalam sel bagi sebuah penyelidikan fungsi biologis mereka dalam biologi sel punca. Aksi efisien dari siRNA oleh pembawa non-viral adalah efektif dalam pengaturan fungsi sel secara genetik. Pembawa biomaterial memampukan siRNA untuk menguatkan efek penenangan (silencing effect) in vitro dan in vivo, menghasilkan pemodifikasian artifisial fungsi-fungsi sel, yang adalah dapat dipakai bagi biologi sel punca dan terapi sel di masa depan.

5. Komentar penutup
Terapi regenerasi jaringan – sebuah terapi baru pada penginduksian alami regenerasi jaringan melalui transplantasi sel dan perekayasaan jaringan – merupakan satu terap ke tiga setelah pembedahan rekonstruksi dan transplantasi organ. Untuk mencapai terapi regenerasi melalui penggunaan teknologi perekayasaan jaringan, riset kerjasama penting di antara material, farmasi, biologi dan ilmuwan klinik dibutuhkan. Bahkan bila  keunggulan sel punca dapat dicapai secara praktis, adalah tidak mungkin untuk mengobati pasien secara teraputik hanya dengan cara mentransplantasikan sel yang telah dipersiapkan bahkan dikombinasikan dengan pengetahuan ilmiah sel-sel dan substansi terkaitnya, kecuali satu lingkungan lokal sel-sel yang cocok untuk mendorong proliferasi dan diferensiasi diciptakan dan disediakan dengan benar. Untuk menyiptakan lingkungan, tidak diragukan lagi bahwa biomaterial dan teknologi adalah dibutuhkan.
Namun, satu dari banyak persoalan untuk menyiptakan lingkungan regenerasi saat ini adalah mutlaknya kekurangan periset biomaterial yang menyelidiki scaffold sel, DDS, pelindung penghalang dan benihan sel, yang mengarah pada regenerasi jaringan dan substitusi biologis dari fungsi organ. Periset yang seperti itu musti memiliki pengetahuan kedokteran, gigi, biologi dan farmakologi, di samping ilmu pengetahuan material. Adalah sangat diperlukan untuk mendidik periset dari lapangan antar disiplin keilmuan, yang memiliki latar belakang perekayasaan dan juga dapat memahami biologi, kedokteran dan kedokteran klinik dasar. Satu dari lapangan riset interdisiplin yang representatif adalah teknologi DDS, yang juga dapat dipakai untuk menghasilkan vektor non- viral dalam persiapan sel-sel yang telah direkayasa secara genetik untuk terapi regenerasi. Perkembangan vektor non-viral dengan satu efisiensi tinggi transfeksi gen untuk sel punca adalah merupakan sebuah prioritas tinggi.
Teknologi perekayasaan jaringan tidak hanya digunakan secara pembedahan saja untuk defek jaringan, namun juga diaplikasikan untuk mengembangkan metoda teraputik untuk penyakit-penyakit fibrosis khronik dengan memanfaatkan pengobatan kedokteran penyakit dalam. Perekayasaan jaringan adalah masih dini, walaupun beberapa proyek riset telah sampai dekat sekali ke level aplikasi klinik. Peningkatan kebermaknaan biomaterial untuk scaffolding sel dan DDS di masa depan akan membantu kemajuan perekayasaan jaringan dasar dan terapan.