Sabtu, 26 Mei 2012

Pensinyalan Wnt dan Orthopedi. Sebuah Tinjauan

Abstrak

Pensinyalan wnt merupakan sebuah sistim dengan keberadaan luas di muka bumi ini bagi komunikasi interseluler, dengan fungsi berganda selama tubuh berkembang dan dalam homoeostasis. Ia terdiri dari  berjenis ligand, reseptor, dan inhibitor. Beberapa molekul, seperti sklerostin, memerlihatkan memiliki fungsi yang spesifik-tulang, dan dapat menjadi target dari obat-obat potensiil. Saat ini, percobaan klinis yang sedang berjalan sedang menguji semua obat ini sebagai pengobatan untuk osteoporosis. Berbagai studi pada khewan telah juga menyarankan bahwa semua obat ini dapat memercepat penyembuhan fraktur dan fiksasi implan. Tinjauan singkat ini memokuskan pada informasi yang tersedia saat ini tentang berbagai efek manipulasi pensinyalan Wnt pada penyembuhan tulang.

Daftar singkatan

BMP, Bone morphogenic protein; Dkk, Dickkopf; Frzb, Frizzled-related protein; Fz, Frizzled; GSK3ß, Glycogen synthase kinase-3 ß; Lef, Lymphoid enhancer binding factor; LRP4, -5, -6, Low-density lipoprotein receptor-related proteins 4, 5, and 6; OPG, Osteoprotegerin; PTH, Parathyroid hormone; RANKL, Receptor activator of nuclear factor kappa B ligand; sFrp, Secreted Frizzled-related protein; Tcf, T-cell factor; TNF-α, Tumor necrosis factor α; Wif1,2, Wnt inhibitory factor; Wise, Wnt modulator in surface ectoderm; Wnt2, -3a, -4, -5a, -5b, -10, Wnt ligand 2, 3a, 4, 5a, 5b, and 10; Wnts, Wnt ligands.

Apakah pensinyalan Wnt itu?

Saat komunitas orthopedi memelajari tentang bone morphogenetic proteins (BMPs) pada 1990an, ekspektasi tentang kemungkinan teraputik baru mungkin tidak realistik, namun setelah satu waktu kosong yang panjang beberapa dari ekspektasi ini kenyataannya telah diketemukan (Agarwal dkk, 2009). BMPs merupakan bagian dari satu sistim pesinyalan yang tersebar luas di mana-mana dengan beberapa fungsi spesifik dalam tulang. Mereka tidaklah sendirian, namun: sistim pensinyalan yang lain belakangan ternyata menjadi penting untuk homeostasis dan regenerasi tulang, yang mungkin bahkan berpotensi lebih besar bagi aplikasi teraputik - disebut pensinyalan Wnt. Obat-obat yang mengganggu jalur ini saat ini mendekati pengujian klinis guna memercepat penyembuhan patah tulang. Sebagaimana halnya dengan PTH, semua obat ini mungkin menjadi perlengkapan berguna bagi ahli bedah orthopedi.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sebuah tinjauan dari berbagai studi pensinyalan Wnt yang sekiranya relevan dalam bidang orthopedi.

Wnts merupakan protein pensinyalan tersekresikan yang meningkatkan β-catenin intraseluler

Mutasi alami pada manusia menyediakan indikasi pertama dari pentingnya pensinyalan Wnt dalam pembentukan tulang. Subjek-subjek yang terkena mutasi tersebut memiliki beberapa kali peningkatan dalam massa tulang, dengan sedikit saja perubahan lainnya. Studi terhadap mutasi ini pada khewan transgenik menyarankan sebuah potensi teraputik potensiil bagi obat-obat yang mengganggu pensinyalan Wnt untuk meningkatkan massa tulang.
Ligands Wnt (Wnts) merupakan sekelompok protein tersekresikan yang penting bagi perkembangan embryonik, juga proliferasi dan diferensiasi sel pada usia dewasa (Logan dan Nusse, 2004). Proses pensinyalan selengkapnya ditinjau terinci oleh yang lainnya (Logan dan Nusse 2004, McDonald dkk 2009, Macsai dkk 2008) dan di sini hanya akan menjelaskan secara singkat sebelum mendiskusikan kemungkinan kepentingannya bagi orthopedi. Saat ini, terdapat sebanyak 19 homolog Wnt yang telah dapat dijelaskan pada manusia, dengan serentangan luas fungsi dan pola ekspresi. Nama Wnt diambilkan dari kombinasi Wg (Wingless gene pada Drosophila) dan Int-1 (gen dari lokasi pengintegrasian virus tumor payudara tikus kecil). Nama itu tercipta ketika kedua gen itu memerlihatkan kehomologannya (Rijsewijk dkk 1987).
Wnts berinteraksi dengan reseptor yang mengaktifasi beberapa set jalur pensinyalan intraseluler. Semua jalur ini dapat dibagi menjadi canonical Wnt signaling dan non-canonical Wnt signaling. Canonical Wnt signaling merupakan yang paling sering distudikan, dan tinjauan ini akan memusat pada jalur ini, karena kelihatannya merupakan yang paling penting pada tulang. Pengesahan dari canonical Wnt signaling adalah stabilisasi dari ß-catenin dalam sitosol, yang memungkinkannya untuk bertranslokasi ke dalam nukleus dan mengatur pengekspresian gen (Gambar 1). Sebaliknya, jalur non-canonical berfungsi tanpa ß-catenin. Pada awalnya, Wnts berikatan dengan sebuah reseptor spesifik anggota dari kelompok Frizzled (Fz) (mereka sedikitnya ada sepuluh di antaranya). Sebuah kompleks reseptor kemudian terbentuk dengan low-density lipoprotein receptor-related proteins (LRPs) 4, 5, dan 6. Kejadian ini mencegah sebuah kompleks protein intraseluler yang terdiri dari Axin, GSK3 ß, dan APC dari penandaan ß-catenin untuk penghancuran. Sebagai hasilnya, β-catenin berakumulasi dalam sitosol dan dapat bertranslokasi ke dalam nukleus, di mana ia berinteraksi dengan anggota dari klas Tcf/Lef dari protein pengikatan DNA dan faktor transkripsi. Ketepatan regulasi dari sistim ini adalah vital, khususnya dalam perkembangan tubuh embryonik. Pembentukan dan fungsi yang benar dari sistim syaraf, otak, jantung, dan ginjal juga bergantung pada sistim ini (Macsai 2008). Pensinyalan Wnt juga berimplikasi pada kanker, dengan meningkatkan proliferasi sel (McDonald 2009). Jauh sebelum diisolasi, pensinyalan Wnt mudah untuk crosstalk dengan jalur-jalur lainnya, terlebih dengan mereka yang terkoneksi dengan PTH (Guo dkk 2010) dan BMPs (Itasaki dan Hoppler 2010).



Gambar 1
Canonical Wnt signaling. Dalam keadaan aktif, ligand Wnt (Wnt) membentuk satu kompleks dengan reseptor-reseptor low-density lipoprotein receptor-related protein 5 atau 6 (LRP5/6) dan Frizzled (Fz). Disheveled (Dsh) kemudian mampu berikatan ke Fz. Dsh membentuk sebuah kompleks dengan glycogen synthase kinase 3β (GSK3β), Axin, dan adenomatous polyposis coli (APC). Ini melindungi β-catenin dari degradasi proteasomal sehingga β-catenin dapat mengumpul dalam sitosol dan bertranslokasi ke dalam inti. Di dalam inti ia berinteraksi dengan famili T-cell factor/lymphoid enhancer factor (TCF/LEF) dari faktor-faktor transkripsi. Inhibitor dari sistim ini mencegah pembentukan dari kompleks Wnt-Fz-LRP5/6, menginaktifasi pensinyalan Wnt. Hal ini mengawali ke pada pemosforilasian bermediasikan GSK3β dari β-catenin, menyebabkan ia didegradasikan. Sejumlah inhibitor ekstraseluler yang berbeda bekerja sebagai inaktifator. Dickkopf (Dkk) dan sklerostin (Sost berikatan dengan LRP5/6, mencegah pengikatan Wnt. Secreted Fizzled-related protein (sFrp) memiliki kesamaan dengan Frizzled, dan dapat berikatan baik dengan ligand Wnt ataupun dengan reseptor Fz sendiri. Frizzled-related protein (Frzb) bekerj sebagai sebuah reseptor pemancingan untuk ligand Wnt. Wnt-inhibitory factor (Wif) juga berikatan secara langsung dengan ligand Wnt (Komatsu and Warden 2010, MacDonald 2009, Macsai 2008).

Pensinyalan Wnt diregulasikan oleh inhibitor yang dapat larut

Terdapat banyak lingkar umpan balik, dengan inhibitor tersekresikan maupun intraseluler, yang memodifiksi pensinyalan Wnt (Gambar 1). Inhibbitor terekresikan ini meliputi sklerostin (produk dari gen SOST), the dickkopfs (Dkks), secreted Frizzled-related proteins (sFrps), Frizzled-related protein (Frzb), Wnt1-induced secreted protein (WISE), Wnt inhibitory factor-1 dan -2 (Wif-1, Wif-2) dan Chibby (Galli dkk 2010). Inhibitor-inhibitor tersekresikan sangat menarik dikarenakan mereka dapat ditarget oleh antibodi-antibodi teraputik, yang beberapa di antaranya manjur dan aman dalam setingan klinis.

Pensinyalan Wnt pada perkembangan tubuh

Pensinyalan Wnt dibutuhkan untuk memapankan the head–to-tail axis


Pada semua studi khewan, pensinyalan Wnt adalah penting bagi perkembangan tubuh embryonik (van Amerongen dan Nusse 2009). Ia diperlukan bagi proses yang mengatur kemapanan aksis kepala-ke-ekor, polaritas anggota gerak, diferensiasi krista neural, morfogenesis ginjal, dan penentuan jenis kelamin. Disrupsi jalur ini dapat mengawali ke pada disabilitas perkembangan major. Tidak hanya ligands Wnt yang diperlukan untuk hadir; penghambat Wnt adalah juga sama pentingnya. Sebagai contoh, embryo yang berkekurangan Dickkopf-1 (Dkk-1) tidak mengembangkan kepala (karenanya disebut Dickkopf) (Glinka dkk 1998). Sebaliknya, ketika inhibitor sklerostin atau sFrp1 tidak hadir in vivo, hanya jaringan skelet yang kelihatan terganggu (Li dkk 2008, Gaur dkk 2009). Resepetor LRP5 dan LRP6 telah mendapatkan banyak perhatian, karena mereka kelihatannya keberadaannya sebagian namun masih vital terhadap perkembangan tubuh. Percobaan in vivo memerlihatkan defisiensi LRP6 menjadi fatal, sementara khewan2 yang dengan satu defisiensi LRP4 dan LRP5 adalah viabel (McDonald dkk 2009). Semua studi tumbuh kembang ini telah banyak membantu dalam mengungkap peran penting pensinyalan Wnt dalam proliferasi dan diferensiasi sel – tidak cuma pada tulang, namun juga pada jaringan lainnya.

Pensinyalan Wnt pada tulang

Pensinyalan Wnt penting bagi pemeliharaan dan perbaikan tulang

ß-catenin dibutuhkan baik untuk mendorong proliferasi dan diferensiasi osteoblas dini (Gali dkk 2010) maupun untuk menekan osteoklas. Akumulasi ß-catenin meningkatkan komitmen sel punca mesenkhimal untuk menjadi osteogenik, manjauh dari kemenjadiannya di garis turunan adipogenik atau khondrogenik (Case dabn Rubin 2010). Pengaturan ß-catenin yang tepat lewat pensinyalan Wnt dibutuhkan bagi sebuah respon penyembuhan yang benar (Chen dkk 2007, Kim dkk 2007), dan mutasi pada bagian-bagian dari sistim ini tidak hanya mengawali bagi pertumbuhan tulang berlebih-lebihan juga bagi penyerapan tulang. Sebagai contoh, mutasi loss-of-function dalam LRP5 mengawali ke pada sindroma pseudoglioma osteoporosis manusia, dengan massa tulang rendah (Gong dkk 2001) di mana gain of function nya mengawali ke pada massa tulang yang tinggi (Boyden dkk 2002, Little dkk 2002, Semenov dan He 2006). Sebagai konsekuensinya, mutasi loss-of-function memengaruhi inhibitor sklerostin (van Besooijen dkk 2005, Semenov dan He 2006) menimbulkan fenotipe massa tulang yang amat tinggi pada manusia, yang ditandai oleh hiperostosis kortikal generalisata – penyakit dari van Buchem (Balemans dkk 2002).

Pensinyalan Wnt terlibat dalam respon tulang terhadap pembebanan mekanik
Sklerostin juga memainkan sebuah peran penting dalam bagaimana tulang berrespon terhadap pembebanan mekanik (Lin dkk 2009, Robling dkk 2008) (Gambar 2). Terdapat juga beberapa indikasi bahwa Dkk1 terlibat, walaupun pada derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan sklerostin, dalam respon tulang terhadap pembebanan mekanik (Robling dkk 2008). Lebih lanjut, defisiensi dari satu atau kedua gen ini untuk inhibitor Dkk1 mengawali ke pada meningkatnya massa tulang dan tulang yang lebih kuat (MacDonald dkk 2007, McDonald dkk 2010, Morvan dkk 2006). Litium merupakan sebuah inhibitor GSK3ß, yang merupakan satu protein dalam kaskade intraseluler yang memosforilasi ß-catenin. Litium dengan demikian meningkatkan level-level ß-catenin, yang mendorong pembentukan tulang dan meningkatkan massa tulang pada tikus kecil (Clement-Lacroix dkk 2005). Terdapat beberapa indikasi yang juga mungkin memiliki berbagai efek ini dalam klinik (Vestergaard dkk 2005, Zamani dkk 2009).



Gambar 2

Pensinyalan Wnt dalam mekanotransduksi: 1. Inhibitor Wnt sklerostin disekresikan dari osteosit dan mengeblok perangsangan lining cells. 2. Deformasi akibat dari pembebanan mekanik diterima oleh osteosit, yang mana menurunkan sekresi sklerostin, sehingga memungkinkan sel-sel permukaan diaktifasikan oleh ligand Wnt. 3. Aposisi tulang mengurangi deformasi dan sekresi sklerostin ditingkatkan kembali.

Beberapa polimorfisme umum dari gen LRP5 reseptor Wnt dikaitkan dengan berbagai fraktur osteoporotik, dan polimorfisme dari LRP6 dikaitkan dengan kepadatan mineral tulang yang rendah, dengan demikian menjelaskan beberapa dari pengaruh keturunan pada osteoporosis (Riancho dkk 2010). Semua mutasi ini menunjuk ke pada kemungkinan pemodulasian pensinyalan Wnt untuk tujuan-tujuan orthopedi, sebagaimana beberapa organ kecuali tulang nampak dipengaruhinya. Lebih lanjut, semua efek ini muncul setelah pemaparan sepanjang hidup, menyarankan bahwa penggunaan jangka pendek terbatas dari agen-agen yang memodulasi jalur ini dapat sekiranya aman dan cocok untuk praktik klinik.

Pensinyalan Wnt dalam penyembuhan fraktur

Meningkatnya pensinyalan  Wnt memerbaiki penyembuhan tulang

ß-catenin adalah penting untuk penyembuhan fraktur (Chen dkk 2007, Kim dkk 2007) dan sebagai konsekuensinya, pemodulasian pensinyalan Wnt telah memerlihatkan memengaruhi penyembuhan fraktur. Tabel di bawah menunjukkan simpulan dari metode pemodulasian yang digunakan untuk menguatkan penyembuhan. Dalam sebuah setingan endokhondral, ß-catenin kelihatan memiliki berbagai efek berbeda pada stadium-stadium berbeda perbaikan tulang. Pada saat-saat awal proses, ia mengontrol hubungan di antara jumlah osteoblas dengan khondrosit yang muncul dari sel-sel mesenkhimal pluripoten. Jadi, apakah ß-catenin ada dalam jumlah terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menganggu penyembuhan tulang pada stadium ini. Setelahnya, ß-Catenin mendorong diferensiasi osteoblas dan menguatkan produksi matriks tulang mereka, sehingga bahwa jumlah ß-catenin yang terlalu sedikit pada stadium ini mengganggu penyembuhan pada mana level-level ß-catenin yang meningkat akan memerbaiki penyembuhan (Chen dkk 2007). Berbagai studi pengekspresian gen pada fraktur diafiseal pada tikus besar memerlihatkan meningkatnya pengekspresian ß-catenin pada hari ke-3 setelah fraktur, memuncak pada hari ke-10 dan mendatar pada 21 hari, namun tetap diregulasi setelahnya (Hadjiargyrou dkk 2002, Zhong dkk 2006). Studi lainnya padaa tikus kecil memerlihatkan bahwa ligand-ligand Wnt4, 5a, 5b, 10b, dan juga Dkk1 dan sklerostin juga diregulasi dalam satu pola yang sama, dengan puncaknya sekitar hari ke-10 namun pengekspresiannya cukup rendah selama hari-hari pertama. Di lain pihak, reseptor LRP5 dan LRP6 diregulasi dari hari ke-1 (Kakar dkk 2007). Lebih jauh, pada studi yang sama, pengobatan PTH meningkatkan pengekspresian semua faktor Wnt ini, mengindikasikan bahwa terdapat interaksi di antara PTH dengan pensinyalan Wnt (Kakar dkk 2007). Koneksi ini mungkin penting, karena penginjeksian PTH intermiten merupakan satu-satunya pengobatan sistemik yang hingga saat ini memerlihatkan memerbaiki penyembuhan fraktur secara klinik (Aspenberg dkk 2010, Aspenberg dan Johansson 2010)

Tabel. Bermacam Perubahan dalam Pensinyalan Wnt dan Penyembuhan Fraktur

Pensinyalan Wnt menyetimulasi langsung pembentukan tulang

Pensinyalan Wnt juga penting bagi pembentukan tulang metaplastik (intramembran), sebagaimana diperlihatkan pada model-model penyembuhan tulang tanpa pembentukan kartilago. Penyembuhan dari lobang pemboran pada tulang tibia proksimal tikus kecil adalah bergantung pada pensinyalan ß-catenin bermediasikan-Wnt (Kim dkk 2007). Pengekspresian gen selama pembentukan tulang intramembran yang disebabkan oleh pengablasian sumsum telah distudikan pada tikus besar beberapa kali menunjukkannya setelah cedera. Gen-gen yang terlibat dalam pensinyalan Wnt diketahui diregulasi, dengan puncaknya setelah 10 hari dan kemudian mendatar. Ligand-ligand diregulasi (Wnt2, -5a, dan -5b) juga reseptor (LRP4 dan -6, dan beberapa dari reseptor Fz) dan inhibitor (sFrps, Wise, dan Frzb (Wise dkk 2010).

Mengeblok setiap dari inhibitor Wnt sklerostin dan Dkk-1 meredakan osteoporosis dan menyetimulasi penyembuhan fraktur

Terdapat bukti kuat untuk kepentingan pensinyalan Wnt dalam penyembuhan tulang. Jadi, telah dilakukan berbagai usaha untuk memengaruhi penyembuhan dengan pengeblokan inhibitor jalur Wnt. Dua inhibitor khususnya telah distudikan lebih ekstensif, yaitu sklerostin dan Dkk1. Sklerostin dan Dkk1 menghambat hanya canonical Wnt signaling dan efek-efek utama mereka diketahui adalah pada tulang. Antibodi yang mengeblok sklerostin dengan demikian sedang dievaluasi bagi pengobatan osteoporosis. Mereka meningkatkan massa tulang dan melawan berbagai efek ovariektomi baik pada binatang pengerat maupun monyet (Li dkk 2009, 2010, Ominsky dkk 2010). Sebuah percobaan klinik fase-2 mengindikasikan bahwa mereka aman dan mengawali ke pada meningkatkan kepadatan tulang pada osteoporosis (Padhi dkk 2011). Tambahannya, percobaan klinik menyangkut penyembuhan fraktur adalah sedang berjalan.
Antibodi pengeblokan-sklerostin memerbaiki fiksasi skrup dan meningkatkan pembentukan tulang intramembran pada tibia proksimal tikus besar (Agholme dkk 2010), dan juga pada fraktur-fraktur sepertiga tengah tibia tikus besar (Ominsky dkk 2010). Semua antibodi ini juga melawan berbagai efek merugikan dari pembebanan mekanik, menyoroti pentingnya sklerostin sebagai sebuah mekanotransduser dalam tulang (Tian dkk 2010). Dalam cara yang sama, pada tikus kecil, antibodi-antibodi terhadap Dkk1 meningkatkan volum dan densitas tulang (Glantsching dkk 2010), meningkatkan ukuran kalus dan pembentukan tulang (Komatsu dkk 2010), dan melindungi dari kehilangan tulang inflamatori (Diarra dkk 2007). Lebih lanjut, data laboratorium menyarankan bahwa penghambatan Dkk1 dengan antibodinya berefek pada fiksasi implan dan regenersi tulang yang sama seperti halnya efek dari antibodi anti-sklerostin (Agholme dkk 2011). Kedua tipe antibodi menghentikan kehilangan tulang pada tibia proksimal tikus besar setelah penghilangan pembebanan mekanik. Namun, tak satupun dari mereka sendiri-sendiri mampu menyempurnakan pelanggengan massa tulang, menyarankan kelebihan dalam sistim pensinyalan ini.

Terdapat mungkin lebih banyak cara untuk meningkatkan pensinyalan Wnt


Knockout mice yang berkekurangan sFrp1 memiliki massa tulang yang lebih tinggi dan fraktur-fraktur diafiseal menyembuh dengan lebih cepat. Penyembuhan yang lebih cepat, dengan tanpa hilangnya kualitas tulang, adalah diakibatkan oleh meningkatnya pembentukan tulang metaplastik, langsung dan kurangnya kalus kartilagenus (Gaur dkk 2009). Meningkatnya aktifitas osteoklas juga tercatat, namun ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan akan banyaknya woven bone yang harus di remodel.
Jalur intraseluler dari canonical Wnt signaling, yakni regulasi level-level ß-catenin, kelihatannya juga merupakan target tersingkap untuk terapi dengan obat-obatan. Jadi, penghambatan GSK3ß menggunakan litium memiiki satu efek positif pada pembentukan tulang bila diberikan setelah inisiasi trauma (Chen dkk 2007). Namun, pemberian litium oral, tidak memerlihatkan suatu efek substansiil pada penyembuhan tulang seperti halnya yang dialami dengan antibodi-antibodi terhadap sklerostin atau Dkk1. Obat lainnya dapat juga memodifikasi fungsi GSK3ß dan mendorong diferensiasi progenitor osteogenik (Gambardella dkk 2010). Namun, GSK3ß nampaknya memiliki banyak fungsi penting selain dari pengaturan tulang, dan juga diregulasi oleh sistim selain pensinyalan Wnt. Jadi, obat-obatan yang menarget ß-catenin secara langsung mungkin memiliki cukup banyak efek tak menguntungkan.
Cara lainnya memengaruhi pensinyalan Wnt adalah memasok lebih banyak ligand Wnt. Wnt3a, yang diaplikasikan secara lokal ke sebuah lobang pemboran pada tibia proksimal tikus kecil, menginduksi pengaturan ke hulu pengekspresian ß-catenin dan memercepat penyembuhan tulang (Minear dkk 2010). Pemberian lokal Wnt3a meningkatkan pembentukan tulang peri-implan sekitar implan-implan stainless-steel pada tikus kecil. Pengiriman transien ligand Wnt ini meningkatkan diferensiasi sel-sel peri-implan mengarah ke fenotipe osteoblastik (Popelut dkk 2010). Kepentingan dari hal ini bagi osteointegrasi implan juga didukung oleh studi-studi lainnya, pada mana baik Dkk1 maupun Dkk2 ditemukan memengaruhi diferensiasi osteoblas dini pada permukaan titanium in vitro. Pengekspresian gen-gen ini juga bergantung pada bermacam spesifikasi permukaan implan (Olivares-Navarrete dkk 2010) Sebagai simpulan, meningkatnya pensinyalan Wnt kelihatannya menguatkan pembentukan tulang, dan ini dapat dicapai tidak hanya dengan pemberian lebih banyak ligand Wnt namun juga dengan penghilangan satu inhibitor.

Pensinyalan Wnt dan penyakit sendi

Dkk1 terlibat dalam pengerusakan sendi dan pembentukan osteofit

Dkk1 muncul menjadi satu regulator kunci remodeling tulang patologis pada penyakit sendi. Berbagai perubahan dalam pengekspresian Dkk1 mungkin bertanggung jawab untuk banyak keberbedaan penampilan radiologis di antara osteoarthritis dan arthritis rheumatoid. Pengekspresian berlebih TNF-α dlm tikus kecil transgenik mengawali ke pada sinovitis dan destruksi sendi yang sama terjadi pada arthritis rheumatoid. TNF-α juga meningkatkan pengekspresian Dkk1 dalam sinovium yang mengalami inflamasi, mengawali ke pada ketidakmampuan perbaikan erosi arthritik. Ketika Dkk1 diblok dengan sebuah antibodi, tidak terjadi perkembangan kerusakan sendi, terlepas dari TNF-α. Malahan, osteofit terbentuk, membuat sendi nampak osteoarthritik (Diarra dkk 2007). Dkk1 diinduksi oleh TNF-α namun tidak berpartisipasi dalam inflamasi: ia memiliki efek tersendiri pada tulang. Dkk1 dapat juga meningkatkan pengekspresian sklerostin, sehingga lebih meningkatkan ketidakmampuan untuk menggantikan tulang yang telah hilang akibat dari inflamasi (Heiland dkk 2010). Sebaliknya dengan pengaturan ke hulu dengan inflamasi yang diinduksi oleh TNF-α, Dkk1 diatur ke hilir pada spondilitis ankilosa dan osteoarthitis. Ini mengawali ke pada peningkatan pembentukan tulang dan pembentukan osteofit (Diarra dkk 2007). Pengaturan ke hilir Dkk1 kemungkinannya bertanggung jawab untuk ankilosis pada spondilitis. Terdapat juga reaksi silang kompleks dengan pengaturan aktifitas osteoklas lewat sistim OPG/RANKL.

Apa arti semua ini bagi ahli bedah orthopedi?

Modulator sinyal Wnt dapat menjadi peralatan berguna dalam orthopedi

Dipercaya bahwa ke depannya, ahli bedah orthopedi dan ahli rheumatologi akan menggunakan obat-obat yang memodulasi sistim pensinyalan Wnt. Khususnya dalam pengobatan fraktur, pemakaian antibodi inhibitor sepertinya aman dan efektif biaya – atas pertimbangan pendeknya waktu pengobatan. Karena beberapa dari inhibitor Wnt diekspresikan dan disekresikan hanya dalam tulang, antibodi terhadap mereka akan memiliki sedikit efek samping di luar skelet. Di dalam kotak peralatan orthopedi akan berisikan banyak obat-obatan dengan beberapa efek pada penyembuhan tulang, seperti misalnya BMPs, PTH, dan modulator Wnt. Namun, efek mereka akan menjadi berbeda. Telah jelas saat ini bahwa BMP-2 bekerja lebih baik dibanding otograf kanselus bagi fusi spinal (Agarwal dkk 2009). BMPs dikenal dari kemampuannya menginduksi pembentukan tulang dari sel-sel takterkondisikan, utamanya lewat jalur endokhondral. Hal ini juga menyebabkan beberapa dari efek merugikannya. Sebaliknya, antibodi sklerostin hanya dapat berfungsi bila sel-sel tulang yang memroduksi sklerostin sudah siap tersedia, dan kemudian menyokong pembentukan tulang metaplastik.  PTH nampak berada kira-kira di antara BMPs dan antibodi sklerostin, pada mana ia terutama merangsang sel-sel yang telah ada dalam garis turunan osteoblastik, namun ia tidaklah membutuhkan sel-sel dewasa yang memroduksi sklerostin. Namun, efikasinya mungkin terbatas karena permasalahan dosis. Sebaliknya dengan BMPs, PTH dan antibodi sklerostin harus diberikan secara sistemik dan tidak memerlukan pembedahan. Waktu sajalah nanti yang akan memberitahu kita tentang hasil-hasil dari banyak percobaan fraktur manusia yang sedang berlangsung saat ini dengan antibodi sklerostin.