Kamis, 13 Juni 2013

Translokasi Gen dalam Tumor Muskuloskeletal

Abstrak
Memapankan diagnosis terbaik untuk neoplasma muskuloskeletal membutuhkan satu teknik pendekatan multidisiplin menggunakan analisis klinik, radiografik, dan histologik. Kendati menggunakan teknik pendekatan yang demikian teliti ini, memapankan diagnosis dan prognosis akurat masih tetap menjadi tantangan. Meningkatnya metoda diagnostik diharapkan sebagai sinyal molekuler unik untuk kanker jaringan tulang dan lunak yang spesifik yang teridentifikasi. Tulisan ini meninjau tiga aplikasi major genetik molekuler yang paling menguntungkan dalam mengelola neoplasma muskuloskeletal: aplikasi diagnostik, prognostik, dan teraputik. Pertanyaan spesifiknya adalah: (1) Set subtipe histopatologik sarkoma apakah yang akan paling diuntungkan dari pengevaluasian dan diagnosis molekuler? (2) Metode molekuler apakah yang paling baik diaplikasikan bagi histopatologik sarkoma untuk membedakan di antara berbagai subtipe major? (3) Bagaimanakah pola molekuler yang terungkap dari diagnosis genetik memengaruhi prognosis dari sarkoma tertentu? (4) Translokasi sarkoma manakah yang dapat memberi keuntungan dari sebuah respon dan hasil luaran yang meningkat menggunakan teknik pendekatan farmakogenetik yang akan datang yang menarget kejadian-kejadian molekuler? Tinjauan ini menyimpulkan berbagai kemajuan terkini dalam genetik molekuler yang tersedia dan akan segera tersedia buat klinisi untuk lebih baik lagi memerkirakan hasil luaran dan selanjutnya membantu dalam membuat keputusan pengobatan di masa datang.

Pendahuluan
Sarkoma jaringan lunak dan tulang merupakan satu kelompok tumor yang jarang dan heterogen yang mewakili  kurang dari 1% seluruh keganasan usia dewasa dan 15% dari seluruh keganasan pediatrik. Sebagai ilustrasi, insiden tahunannya di Amerika, yang masih tetap relatif konstan, adalah mendekati 6000 hingga 7000 sarkoma jaringan lunak dan 2500 sarkoma tulang (99). Aplikasi dari genetik molekuler terhadap neoplasma muskuloskeletal telah mengidentifikasi berbagai gambaran molekuler berbeda berrentang dari point mutations hingga translokasi kromosom. Sebuah simpulan komprehensif dari bermacam lesi molekuler dan sitogenetik yang terkait dengan neoplasma muskuloskeletal disajikan dalam Tabel 1. Pengetahuan yang didapat dari semua kajian ini ditranslasikan menjadi aplikasi diagnostik, prognostik dan teraputik bagi pengelolaan pasien.

Tabel 1. Simpulan dari berbagai perubahan genetik/molekuler dalam neoplasma muskuloskeletal


Diagnosis akurat dari neoplasma muskuloskeletal adalah penting bagi pengelolaan klinik. Diagnosis akurat membutuhkan pengintegrasian temuan klinis, evaluasi histopatologis, dan berbagai metode baru, termasuk imunohistokimia, sitogenetik, dan genetik molekuler. Teknik diagnostik molekuler seperti misal reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dan fluorescence in situ hybridization (FISH) telah menjadi peralatan penting untuk mengevaluasi neoplasma muskuloskeletal dan meningkatkan akurasi diagnostik pengklasifikasian histopatologis. Berbagai teknik baru dengan potensi diagnostik berlanjut muncul seperti misalnya cDNA microarray dan expression profiling. Semuanya ini masih sedang dalam pengevaluasian untuk menentukan peran klinik mereka dalam diagnosis. Identifikasi dari gambaran molekuler berbeda dalam neoplasma muskuloskeletal spesifik akan memengaruhi prognosis. Akhirnya, dengan farmakogenetik, yang dapat meningkatkan kemampuan dalam menarget berbagai kejadian molekuler spesifik, merupakan sebuah teknologi yang menjanjikan untuk pengobatan baru tambahan di masa datang.
Tulisan ini menyediakan simpulan dari berbagai kemajuan terkini dalam genetik molekuler yang dapat digunakan klinisi untuk memerkirakan hasil luaran yang lebih baik dan selanjutnya menjadi berguna dalam membuat putusan pengobatan di masa datang. Pertanyaan khusus yang dialamatkan dalam tinjauan sistimatik ini adalah: (1) Set subtipe histopatologis sarkoma yang manakah yang akan bermanfaat dari pengevaluasian molekuler dan diagnosis? (2) Metode molekuler yang manakah yang paling baik diaplikasikan terhadap histopatologik sarkoma untuk membedakan di antara berbagai subtipe major? (3) Bagaimanakah caranya pola-pola molekuler yang terungkap pada diagnosis genetik dapat memengaruhi prognosis dari sarkoma tertentu? (4) Translokasi sarkoma yang manakah yang dapat beruntung dari sebuah respon dan hasil luaran yang membaik menggunakan teknik pendekatan farmakogenetik yang ada dan yang akan datang yang menarget berbagai kejadian molekuler dan bagaimanakah caranya?

Teknik Pendekatan untuk Genetik Tumor
Analisis translokasi kromosom telah berkembang secara substansiil dalam dua dekade terakhir, dari perkembangannya yang lambat menggunakan chromosomal karyotiping konvensional dan kajian southern blot hingga dengan yang lebih canggih menggunakan teknik diagnostik molekuler (8). Kebanyakan dari semua ini merupakan hasil dari berbagai tantangan dalam penanganan contoh-contoh jaringan, biaya pengujian, dan waktu penyelesaiannya yang panjang. Sejumlah ketidaknormalan sitogenetik telah terungkap, meliputi: (1) satu translokasi khas yang berulang  menyiptakan satu faktor transkripsi fusi ; (2) point mutation; (3) translokasi menyebabkan pengekspresian berlebih faktor pertumbuhan; (4) kejadian yang berulang di dalam bermacam perubahan karyotipic kompleks; dan (5) berbagai perubahan karyotipic kompleks tanpa kejadian konsisten yang pasti. Semua mekanisme ini mengawali ke pada sebuah pemahaman yang lebih baik dari patogenesis dalam neoplasma itu sendiri akibat dari penyimpangan sitogenetik. Kemajuan dalam genetik molekuler telah menguatkan pendeteksian fusi gen, menyempurnakan klasifikasi dalam sejumlah kelompok sarkoma, mengawali ke pada pengidentifikasian klas-klas prognostik yang terlepas dari berbagai faktor risiko klinik konvensional, dan ini membuahkan wawasan baru ke dalam pengobatan dari semua tumor ini.
Karyotiping konvensional bergantung pada ketersediaan dari jaringan tumor yang segar dan steril, berhasilnya pertumbuhan sel tumor dalam benihan, dan kualitas preparasi sel metafase. Itu membutuhkan personil yang terampil, kebanyakannya tersedia pada laboratorium yang tersentralisasi, dan masih tetap makan waktu, bahkan dengan sistim karyotiping otomatis. Karyotiping konvensional terbatas mendeteksi hanya abnormalitas struktural yang besar dan yang dapat diprediksi. Teknik sitogenetik seperti misalnya karyotiping konvensional dan southern blot telah digantikan dalam laboratorium klinik oleh teknik diagnostik molekuler seperti misalnya RT-PCR dan FISH untuk mendeteksi semua gen fusi ini. Banyak teknologi laboratorium lainnya saat ini sedang diteliti bagi aplikasi kliniknya seperti misalnya comparative genomic hybridization (CGH) (9), spectral karyotiping (SKY) (13), multiflorophore fluorescence in situ hybridization (M-FISH) (66), dan cDNA microarray (1).
FISH menawarkan beberapa keuntungan lebih dari yang dapat diberikan oleh karyotiping konvensional dan RT-PCR. Teknologi FISH mendeteksi satu rangkaian target DNA dalam nuklei dari sel tak berbelah (interfase) dan dapat dilaksanakan pada contoh-contoh segar, beku, atau yang terfiksir. Ia dapat menyediakan hasil ketika jaringannya tidak mencukupi bagi sitogenetik konvensional atau ketika hanya tersedia jaringan terbenam-parafin dan, sebagai sebuah prosedur semalam, dapat dilakukan dengan cepat dengan sensitifitas dan spesifisitas baik. Sebaliknya dengan karyotiping, FISH adalah satu teknik pendekatan tertarget yang memerlukan pengetahuan dari keadaan penyimpangan yang diduga; dengan demikian, FISH dibatasi oleh apa yang dikenal tentang genetik dari neoplasma dan oleh ketersediaan dari probes FISH komersiil. Hanya sejumlah tertentu probes FISH disediakan bagi diagnosis molekuler, meliputi ALK, CHOP, FKHR, ETV6, EWS, dan SYT (5). Hibridisasi atau deteksi yang tidak berhasil dapat terjadi baik ketika jumlah sel yang tersedia tidak adekuat ataupun ketika fiksasi yang dilakukan tidak tepat, seperti fiksasinya tertunda atau berkepanjangan, atau ketika bahan fiksatifnya terlalu ketat/keras.
RT-PCR adalah sebuah metode untuk mengidentifikasi genomic breakpoints dengan cara mendeteksi fusi transkrip RNA. Walaupun DNA adalah lebih mudah ditangani dan lebih mudah diperoleh dari jaringan terbenam-parafin dibandingkan dengan RNA, kebanyakan karakteristik breakpoints berlokasi di dalam intron-intron besar. Kemajuan kini telah dibuat dalam mengembangkan sebuah real-time PCR assay yang adalah sebanding dalam hasilnya dengan RT-PCR dan menimbulkan satu risiko lebih rendah kontaminasi silang (79). Keutungan dari RT-PCR adalah bahwa, diperlukan hanya sejumlah kecil jaringan dan bahwa itu dapat dilaksanakan pada jaringan segar-beku ataupun jaringan terbenam-parafin. Namun, angka keberhasilan diagnostiknya bervariasi dan bergantung pada banyak faktor. Halangan kedua dari metodologi RT-PCR adalah tingginya risiko kontaminasi reagen, utamanya dengan produk-produk PCR, khususnya dalam ruang laboratorium kecil. Hasil negatif yang tidak diperkirakan mungkin sebagai hasil dari satu variasi faktor seperti misalnya bentuk-bentuk varian baru atau yang tidak terdeteksi dari fusi gen, disain utama yang tidak tepat yang tidak mencakup variabilitas di antara pasangan-pasangan gen fusi, diagnosis morfologik yang diragukan, material tumor yang tidak mencukupi atau nekrotik, atau kualitas RNA yang buruk. Sebagai tambahan terhadap pendeteksian, RT-PCR kuantitatif dapat juga digunakan untuk menghitung transkrip fusi, yang secara potensiil merupakan sebuah indikator dari keagresifan neoplasma.
Imunohistokimia dapat digunakan untuk mendeteksi protein gen fusi pada sarkoma terkait-translokasi, membuka fakta bahwa hanya satu bagian dari sebuah protein yang akan diekspres berlebih. Gambaran molekuler dari neoplasma muskuloskeletal memiliki banyak kesamaan dengan apa yang diperlihatkan oleh neoplasma hematopoietik, termasuk kinase-kinase yang terdisregulasi, onkogen-onkogen yang diekspres berlebih, atau faktor-faktor transkripsi fusi. Karenanya, berbagai terapi yang dikembangkan untuk neoplasma hematopoietik telah ditranslasikan dengan baik menjadi terapi untuk sarkoma. Antibodi untuk WT1 pada tumor sel bulat desmoplastik dan FLI1 pada sarkoma dari Ewing telah digunakan dengan berhasil dalam bahan-bahan arsip (22). Sebuah kajian imunohistokimia anti-ALK menyarankan pengekspresian protein ALK terregulasi ke hulu pada sedikitnya 60% inflammatory myofibroblastic tumors (IMT) (100). Imunohistokimia mungkin membantu dalam setingan biopsi-biopsi kecil atau preservasi RNA suboptimal dan dalam laboratorium-laboratorium yang tidak menyiapkan diri untuk melaksanakan pengujian genetik molekuler.
cDNA microarrays menunjukkan hasil sangat menjanjikan dalam mengklasifikasi neoplasma muskuloskeletal, khususnya yang dengan perbubahan karyotipik kompleks atau multipel (10). cDNA microarray memiliki kemampuan memeriksa secara simultan pengekspresian dari lebih dari 12,000 gen (95). Menggunakan analisis pengklasteran, peneliti telah mengidentifikasi serangkaian tanda yang secara unik mengkategorikan sarkoma. Namun, teknik ini menghasilkan klasifikasi lebih dari yang sudah ada dalam sistim klasifikasi yang sudah berlebih-lebihan (95). Analisis multipel telah dijalankan pada bermacam sarkoma untuk membedakan pola-pola tanda yang dapat lebih jauh lagi mengklasifikasi berbagai subtipe untuk memapankan diagnosis (103).

Set yang manakah dari Histopatologi Subtipe Sarkoma akan Beruntung dari Pengevaluasian dan Diagnosis Molekuler?
Sepertiga dari seluruh sarkoma dikarakterisasi oleh translokasi kromosomal yang berulang, menghasilkan fusi gen yang sangat spesifik, biasanya mengkode faktor-faktor transkripsi chimeric menyimpang (68). Dua per tiga lainnya memiliki tanda genetik yang sedikit dan dikarakterisasi oleh sejumlah penyimpangan, termasuk hilangnya kromosom dan memeroleh kromosom (68). Kelompok hilangnya kromosom menawarkan kesempatan terbaik bagi evaluasi molekuler karena semua translokasi ini seringkali merupakan satu-satunya abnormalitas sitogenetik dan kemungkinan besar adalah penting secara patogenetik.
Mekanisme paling umum menyangkut pengaturan ulang gen EWS, satu translokasi spesifik yang mendampingkan domain fungsional gen EWS dengan DNA-binding domain gen-gen FLI1, ERG, ATF1, DDIT3, WT1 (82). Sembilan puluh delapan persen sel bulat biru kecil akan memiliki pengaturan ulang gen EWS dan rentan terhadap salah diagnosis. Semua tumor ini memiliki keragaman klinik yang luar biasa dan seringkali menimbulkan satu masalah diagnostik karena membedakan mereka dapat menjadi sulit menggunakan mikroskop cahaya dan kadang sebagai hasil dari sebuah immunoresults nonspesifik. Sebagai contoh, reaktifitas O13 (CD99), pada awalnya dipercaya mewakili satu penanda handal untuk sarkoma dari Ewing/diagnosis PNET, pula telah dijelaskan dalam rhabdomyosarkoma alveoler, sarkoma sinovial, desmoplastic round cell tumors (DRCT), dan seterusnya. Kesamaan imunohistokimia umum di antara tumor-tumor sel bulat biru kecil dapat dilihat dalam Tabel 3. Transkrip fusi yang diciptakan oleh semua translokasi ini melayani sebagai penanda tumor spesifik yang saat ini dapat dideteksi oleh RT-PCR. Di antara tumor-tumor sel bulat, satu perbedaan yang harus dibuat adalah di antara DRCT dan sarkoma dari Ewing/PNET. Dengan DRCT, prognosis adalah sangat buruk dengan 35% dari keseluruhan ketahanan hidup bebas progresi pada 5 tahun dan sarkoma dari Ewing nonmetastatik memiliki satu prognosis yang lebih baik. Tumor sel bulat desmoplastik (DRCT) memiliki sebuah karakteristik translokasi, gen EWS pada khromosom 22 difusikan dengan gen WT1 (gen penekan tumor Wilms) pada khromosom 11 yang dengan jelas membedakannya dari sarkoma dari Ewing (57). Perbedaan lainnya yang mesti harus dibuat adalah di antara rhabdomyosarkoma dan sarkoma dari Ewing/PNET. Rhabdomyosarkoma dan sarkoma dari Ewing/PNET berbagi dua penanda imunohistokimia, CD99 dan MyoD, namun dapat dibedakan lewat cara translokasi molekuler (18). Bahkan positifitas desmin, sekali memercayainya untuk mewakili satu penanda untuk rhabdomyosarkoma, tersaji juga dalam DRCT dan pada kasus-kasus jarang dari sarkoma dari Ewing (33). Perbedaan penting lainnya adalah di antara poorly differentiated embryonal rhabdomyosarcoma (E-RMS) dan solid-alveolar rhabdomyosarcoma (A-RMS) didasarkan atas fusi PAX3/FKHR (33). A-RMS terjadi terutama pada ekstremitas dan togog, pada mana E-RMS terjadi terutamanya pada regio kepala dan leher, traktus urogenital, dan retroperitoneum. Prognosis adalah berbeda secara substansiil, di mana pasien dengan A-RMS memiliki ketahanan hidup lebih buruk dibandingkan dengan yang dengan E-RMS. A-RMS dikarakterisasikan oleh dua buah translokasi khas, t(2;13)(q35;q14) dan t(1;13)(q36;q14), ditemukan dalam 80% dan 15% kasus, secara berturut-turut, di mana E-RMS tidaklah terkait dengan pengaturan ulang khromosom struktural berulang (81). Identifikasi molekuler lebih jauh dengan RT-PCR dari translokasi EWSR1-ATF1 dapat juga membedakan keduanya (110).

Tabel 2. Sebuah algoritma praktis untuk evaluasi diagnostik dari tumor-tumor muskuloskeletal umum
Mekanisme kedua adalah translokasi domain fungsional berbasis-gen non-EWS, seperti misalnya FUS dan TLS, menghasilkan pengekspresian berlebih faktor transkripsi fusi chimeric. Berdasarkan atas transkrip FUS-DDIT3, liposarkoma miksoid dapat dibedakan dari bentuk-bentuk lain liposarkoma (LS). Antonescu dkk. (6) melaporkan fusi TLS-CHOP adalah sangat sensitif dan spesifik untuk LS sel bulat/miksoid. Tipe-tipe lain liposarkoma, bahkan dengan satu komponen miksoid yang dominan, pengaturan ulangan TLS-CHOP yang sedikit, mengonfirmasi mereka mewakili sekelompok LS yang berbeda secara genetik. Sedikitnya 5% dari liposarkoma miksoid/LS sel bulat, namun tidak secara molekuler, translokasi 12;22 yang tidak dapat dibedakan telah juga teridentifikasi sebagai satu penyimpangan karakteristik dalam clear cell sarcoma dari tendon dan aponeurosis. Namun, diferensiasi histologik adalah mencukupi walaupun identifikasi molekuler dengan RT-PCR dari translokasi EWSR1-ATF1 juga mampu membedakan keduanya. Low-grade fibromyxoid sarcoma (LGFMS) adalah jenis tumor jaringan lunak malignan yang lambat berkembang dan late-metastasizing yang seringkali mengelirukan apakah tipe tumor ini lebih ke arah jinak ataukah lebih ke ganas. Ini sekarang dapat diidentifikasi dengan satu translokasi seimbang berulang t(7;16)( q32-34;p11) (FUS/gen fusi CREBL32) (77). Beberapa lipoma diferensiasi-baik dengan atipia minimal dilaporkan memerlihatkan keuntungan dari rangkaian 12q15-q24 lebih dari pada cincin dan penanda atau translokasi seimbang dari 12q13-15 (gambaran tipikal dari lipoma jinak biasa) (66). Karenanya, adalah penting untuk membuat perbedaan ini di antara lipoma-lipoma jinak dan ganas. Perbedaan di antara angiomatoid fibrous histiocytoma dengan malignant fibrous histicytoma dapat dibuat dengan deteksi fusi FUS-ATF1 (104). Kriteria prognostik telah berubah secara mendasar karena tumor fibrohistiositik sekarang adalah dalam satu kategori terpisah, ganas tingkat sedang (jarang bermetastase), dan timbul utamanya pada anak-anak dan dewasa. Tumor ini pada mulanya dipertimbangkan sebagai satu subtipe dari kategori luas dari malignant fibrous histiocytoma.
Mekanisme umum ketiga melibatkan fusi dari satu domain katalitik dari sebuah reseptor kinase tirosin dengan satu protein terekspres di mana-mana menyediakan satu domain dimerisasi menghasilkan sebuah kinase tirosin chimeric teraktifasi secara konstitutif, dan bergantung-ligand. Mekanisme terakhir ini dilibatkan dalam patogenesis tumor myofibroblastik inflamasi sebagai sebuah akibat dari pengaturan ulang ALK (TPM-ALK dan seterusnya) dan dalam nefroma mesoblastik fibrosarkoma/seluler akibat dari fusi ETV6-NTRK. Tumor myofibroblastik inflamasi dari kandung kencing merupakan sebuah neoplasma sel spindel yang tak umum yang memerlihatkan atipia sitologik, pertumbuhan infiltratif, dan aktifitas mitotik menyerupai tumor malignan seperti misalnya leiomyosarkoma, rhabdomyosarkoma, dan sarcomatoid carsinoma. Pada tumor myofibroblastik inflamasi dari kandung kencing, positifitas ALK-1 oleh imunohistokimia berrentang dari 33% hingga 89%, pada mana ekspresi protein ALK-1 pada leiomyosarkoma dan sarcomatoid urothelial carsinoma belum dilaporkan, menyarankan bahwa kajian-kajian imunohistokimia ALK-1 mungkin berguna dalam diferensiasi tumor myofibroblastik inflamasi dari lesi-lesi sel spindel lainnya dalam kandung kencing (100). Dalam satu mekanisme yang sama, deregulasi gen rantai-β platelet-derived growth factor melalui fusi dengan gen kolagen COL1A1 dalam dermatofibrosarcoma protuberans dan giant cell fibroblastoma menghasilkan faktor pertumbuhan otokrin chimeric yang bernilai diagnostik (92). Satu diagnosis histopatologik adalah mencukupi untuk dermatofibrosarcoma protuberans; namun, identifikasi dari kejadian molekuler ini memiliki konsekuensi penting dalam pengobatan, yang akan dijelaskan kemudian dalam tulisan ini.
Akhirnya, mekanisme yang kurang umum melibatkan kejadian-kejadian berulang di dalam berbagai perubahan karyotipik kompleks. Sangat sedikit neoplasma telah dijelaskan dalam kategori ini, meliputi tumor selubung syaraf perifer dan liposarkoma dediferensiasi. Imunohistokimia atau FISH untuk mendeteksi MDM2 atau perubahan CDK4, yakni dua buah gen yang umumnya dikuatkan pada 12q13-15 dalam tumor lipomatous atipikal/liposarkoma diferensiasi-baik (93), mungkin berguna dalam setingan diagnosis diferensiil yang sulit.
Kebanyakan tumor muskuloskeletal tersjikan dengan karyotipe kompleks yang sangat sedikit memerlihatkan perubahan genetik spesifik atau mengekspresikan tanda-tanda profil pengekspresian yang dapat diidentifikasi secara konsisten. Semuanya meliputi sebagian terbesar tumor jinak dan 60% sarkoma (68). Lebih lanjut, semua sarkoma ini cenderung terjadi pada pasien-pasien tua dan memertunjukkan sitologi pleomorfik tingkat-tinggi dan disfungsi p53. Semuanya meliputi leiomyosarkoma, fibrosarkoma, myofibroblastik sarkoma, osteosarkoma, khondrosarkoma, pleomorfik rhabdomyosarkoma, dan malignant fibrohistiocytic histiocytoma. Riset yang sedang berlangsung belum bisa mengidentifikasi kejadian molekuler pasti dari semua neoplasma ini.
Walaupun terjadi kemajuan besar dalam pengarakterisasian sitogenetik dari tumor-tumor jinak dan intermediet tulang, penggabungan dari semua perubahan ini sebagai uji-uji diagnostik molekuler kurang berhasil dibandingkan pada tumor-tumor ganas. Ini dikarenakan, umumnya, tumor-tumor jinak diterapi secara adekuat baik melalui satu prosedur intralesi (kuretase dan pemboran tulang, cryosurgery) atau dengan eksisi marjinal, bergantung pada anatomi relevan. Lebih lanjut, angka kekambuhan dari ketidaknormalan khromosom tidaklah mencukupi untuk mencapai spesifisitas diagnostik molekuler klinik. Probes FISH komersiil masih jarang dan tidak tersedia untuk diagnosis molekuler rutin.
Tumor jinak secara umum masuk ke dalam satu dari dua mekanisme yang telah disampaikan sebelum ini: (1) kejadian kambuh di dalam berbagai perubahan karyotipik kompleks; dan (2) perubahan karyotipik kompleks tanpa kejadian konsisten tertentu. Di antara tumor-tumor jinak dengan kejadian kambuh, FISH dapat berguna dalam membedakan di antara giant cell tumor tulang dengan kista tulang aneurisma (91). Asosiasi telomerik merupakan penyimpangan khromosom yang sering dalam giant cell tumor dari tulang, yang paling umum 19q, 11p, 16q, 17p, 18p, 20q, dan 21p. Seluruh kista tulang aneurisma memerlihatkan keterlibatan dari segmen kromosom 17p11-13 dan/atau 16q22 (91). Ketika dihadapkan dengan sebuah pengaturan ulang, khususnya berkenaan dengan 16q22 atau 17p3, satu kista tulang aneurisma terkait harus dikesampingkan. Lipoma khondroid merupakan satu tumor jarang dalam subkutis atau otot orang dewasa; ia mungkin dikelirukan dengan liposarkoma dan khondrosarkoma dan memerlihatkan gambaran mikroskopik dari baik lipoma maupun hibernoma. Ia dapat di dibedakan dengan pengidentifikasian satu translokasi berulang dari t(11;16)(q13;p13) (11). Pengaturan ke hulu dari PTHrP dan pengekspresian Bcl-2 mengarakterisasi progresi dari osteokhondroma menjadi khondrosarkoma periferal dan merupakan satu kejadian lanjut dalam khondrosarkoma sentral (15). Dalam kasus ini, imunohistokimia dapat menjadi peralatan berguna dalam memrediksi prognosis kalau bukan dalam mengklarifikasi diagnosis seorang penderita. Adamantinoma memertunjukkan gambaran histologi mirip-Ewing yang disebut sebagai sarkoma dari Ewing yang “mirip-adamantinoma” (39). Akhir-akhir ini, menggunakan RT-PCR terhadap jaringan arsip, t(11;22) atau t(21;22) tidak dijumpai dalam setiap dari 12 adamantinoma informatif (39). Lipoma mewakili tumor jinak paling beraneka secara sitogenetik dari jaringan lemak. Walaupun 98% lipoma memiliki karyotipe normal, ketidaknormalan genetik spesifik telah dijelaskan dalam lipoma sporadik (12q13-15, t[3;12], 6p, 13q) (63), lipoblastoma (8q11-13) (31), hibernoma (11q13) (32), lipoma sel spindel/pleiomorfik (13q12, 16q13) (20), dan tumor lipomatous atipik (penanda cincin dan giant sekunder terhadap penguatan 12q13-15) (19). Lesi-lesi fibrus, fibroma desmoplastik, tumor desmoid, dan bermacam-macam tumor lainnya memiliki ketidaknormalan sitogenetik (80); namun, pembedaan subtipe lebih lanjut tidaklah memengaruhi kriteria pengobatan.
Diagnosis molekuler juga harus digunakan dalam pembedaan yang sulit di antara sebuah diagnosis jinak dan ganas ketika konsekuensi dari satu interpretasi tidak benar adalah penting. Dalam kategori ini, RT-PCR untuk pendeteksian fusi FUS-CREB312 dapat menjadi berguna untuk membedakan satu sarkoma fibromiksoid derajat-rendah dari proliferasi fibous atau neural jinak lainnya ketika temuan imunohistokimia atau ultrastruktur tidak meyakinkan (64). Sebuah contoh yang sama meliputi diagnosis banding di antara liposarkoma miksoid pada anak vs lipoblastoma, sebuah dilema diagnostik dapat terbentuk melalui pengidentifikasian fusi FUS-CHOP (protein PLAG1) dengan RT-PCR atau kehadiran dari satu abnormalitas 8q dengan FISH (31). Simpulan dari skenario klinik yang sering yang dijelaskan di atas pada mana pengujian molekuler akan berguna disampaikan dalam Tabel 2.

Metode Molekuler yang manakah yang terbaik diaplikasikan untuk Histopatologik Sarkoma dalam Membedakan Berbagai Subtipe Major?
Karena pendeteksian dari translokasi spesifik atau produk fusi gen chimeric dapat dipakai secara dapat dipercaya sebagai penanda spesifik-penyakit dalam pendiagnosisan tumor-tunor jaringan lunak, sejumlah meningkat ahli patologi bedah yang berpraktik atau bahkan dokter yang menangani pasien mengandalkan pada validasi diagnostik molekuler (18, 70). Ketika mengevaluasi kebutuhan untuk melaksanakan pengevaluasian molekuler sebagai diagnosis, adalah penting untuk melanjutkannya beriringan dengan sebuah jalur algoritmik praktis sebelum menentukan kebutuhan bagi uji diagnostik molekuler. Ini dikarenakan spesifisitas dari fusi, walaupun cukup tinggi, tidaklah absolut. Kekurangannya lebih lanjut meliputi berbiaya tinggi, waktu perputaran rendah, sejumlah banyak gagal uji, dan jumlah terbatas probe atau uji yang disetujui FDA. Banyak teknik patologi yang ada mungkin dirasa cukup untuk memapankan satu diagnosis tanpa kehilangan akurasi dan spesifisitas. Sebuah teknik pendekatan diagnosis praktis dari pengintegrasian morfologi, imunohistokimia, dan genetik molekuler telah diajukan oleh Chang dan Shidham (18). Pada awalnya, spesimen dievaluasi untuk keadekuatan selama fine-needle aspiration biopsy (FNAB) dan/atau biopsi inti dengan penginterpretasian morfologi segera dari hapusan sitologi atau potong beku. Diagnosis banding awal yang didasarkan atas interpretasi morfologi selanjutnya diperhalus menggunakan imunohistokimia. Pada titik ini, evaluasi seringkali mencukupi untuk menghasilkan diagnosis. Bila diagnosis masih tetap meragukan, kemudian penggunaan peralatan molekuler mungkin diindikasikan untuk sebuah diagnosis akurat. Pada kebanyakan kasus, hasil-hasil molekuler harus digunakan sebagai validasi diagnosis banding morfologi dan diperkuat dengan temuan imunohistokimia dan informasi klinik ketimbang sebagai sebuah tantangan untuk mengungguli histopatologi.
Pengujian genetik adalah sangat direkomendasikan untuk validasi diagnosis histologi dalam sajian klinik yang tidak biasa atau pada hasil-hasil imunohistokimia yang tak terduga. Bahkan sebuah entitas diagnostik spesifik dengan satu penampilan morfologi klasik dapat menyajikan sebuah tantangan diagnostik bila ia terjadi dalam satu kelompok umur atau lokasi yang tak umum. Sebuah tumor dengan fenotip sarkoma dari Ewing klasik mungkin memerlukan konfirmasi molekuler bila ia terjadi pada seorang yang lebih tua atau bila ia tersaji dalam satu lokasi viseral, sebagai contohnya. Contoh yang sama mungkin meliputi sebuah lokasi skeletal dari khondrosarkoma miksoid, clear cell sarcoma saluran cerna, atau sarkoma sinovial ginjal. Dalam bagian diagnostik sebelumnya, simpulan dari pengujian molekuler yang cocok untuk dilema diagnosis banding telah tersedia. Dalam hal teknik pendekatan untuk diagnostik molekuler, tulisan ini menjelaskan metode molekuler klasik dan berbagai kemajuan terkini dalam penilaian molekuler yang kemungkinan besarnya digunakan di masa datang.

Bagaimanakah cara Pola-pola Molekuler yang terungkap pada Diagnosis Genetik memengaruhi Prognosis Sarkoma-sarkoma Tertentu?
Berbagai kajian akhir-akhir ini telah dilaksanakan untuk mengkaji penyimpangan molekuler sebagai satu penanda tersendiri dari prognosis. Studi dari penanda molekuler prognostik, secara khusus, tipe gen fusi untuk menentukan prognosis dalam sarkoma jaringan lunak, telah dibahas dalam empat tipe major srkoma: (1) rhabdomyosarkoma alveolar (33); (2)  sarkoma sinovial (34); (3) keluarga neuroektoderma dari Ewing/periferal dari tumor-tumor (18); (4) liposarkoma miksoid (78).
Penyelidikan menyangkut nilai prognostik dari gen-gen fusi PAX3-FHKR dan PAX7-FKHR pada rhabdomyosarkoma pada awalnya dilaksanakan dalam sebuah kajian percontohan melibatkan 34 pasien (50). Kajian itu melaporkan hasil luaran klinik yang lebih baik untuk kelompok PAX7-FKHR dengan analisis univariat. Hasilnya itu kemudiannya dikonfirmasi dalam tiga kajian lainnya (3, 4, 22). Pada pasien yang menunjukkan dengan penyakit metastasis, The Children Oncology Group (98) melaporkan terdapat satu perbedaan yang jelas dalam hasil luaran di antara kelompok pasien PAX7-FKHR dan PAX#-FKHR (perkiraan 4-year overall survival rate sebesar 75% untuk PAX7-FKHR vs 8% PAX3-FKHR). Lebih lanjut, di antara metastatic ARMS, keterlibatan sumsum tulang lebih tinggi pada pasien-pasien PAX3-FKHR-positif.
Pada sarkoma sinovial nonmetastatik, pasien-pasien dengan tumor terlokalisir dan pasien-pasien dengan varian fusi SYT-SSX2 kelihatannya memiliki ketahanan hidup bebas metastasis yang lebih panjang dibandingkan dengan varian SYT-SSX1 (49). Satu kajian yang lebih panjang mengonfirmasi hasil itu melaporkan tipe fusi SYT-SSX tampaknya menjadi faktor prognostik paling penting tunggal dengan analisis multivariat pada pasien-pasien dengan penyakit terlokalisisr saat diagnosis (56). Hasil-hasil mereka memerlihatkan median dan 5-year overall survival rate untuk kelompok SYT-SSX1 dan SYT-SSX2 sebesar 6.1 tahun dan 53% dan 13.7 tahun dan 73%, berturut-turut. Namun, semua hasil ini saat ini sedang diperdebatkan setelah kajian yang lainnya melaporkan tidak terdapat asosiasi di antara tipe fusi gen dengan hasil luaran klinik (36).
Dua buah kajian independen (23, 109) menyarankan gen fusi tipe I EWS-FLI1 terkait dengan ketahanan bebas-kambuh lebih panjang (baik metastasis ataupun kekambuhan lokal) pada pasien-pasien dengan penyakit terlokalisir dibandingkan dengan tipe-tipe gen fusi lainnya pada tumor Ewing/PNET. Namun, sebuah kajian ketiga telah memunculkan kontroversi dengan menghubungkan tidak ada nilai prognostik untuk gen fusi ketika dievaluasi untuk event-free dan overall survival (36). Sebuah kajian tunggal mengalamatkan nilai prognostik dari tipe gen fusi pada liposarkoma miksoid, sebuah sarkoma jaringan lunak umum yang ditandai oleh kehadiran dari gen fusi TLS-CHOP pada 95% kasusnya. Penelitinya tidak mampu menemukan setiap asosiasi di antara struktur gen fusi dengan ketahanan hidup yang spesifik-penyakit namun mengonfirmasi nilai dari penilaian histologi yang hati-hati untuk prognostikasi (24).
Kendati banyak isu terlibat pada kajian dari faktor-faktor prognostik molekuler dalam sarkoma dan walaupun ketidakpastian masih menetap tentang relevansi klinis gen fusi dalam pada tumor-tumor ini, satu pendalaman biologik major dapat diperoleh dari usaha ini. Belakangan ini, identifikasi dari penanda molekuler yang relevan secara teraputik berpotensi, termasuk protein onkogenik tyrosine kinase, telah dilaksanakan dalam kajian-kajian yang mengalamatkan pada faktor-faktor prognostik molekuler baru. Pengekspresian CPY3A4 lebih tinggi pada biopsi-biopsi primer dari pasien-pasien yang mengembangkan penyakit metastatik jauh dibandingkan dengan biopsi-biopsi dari pasien-pasien dengan penyakit nonmetastatik (25).

Translokasi Sarkoma yang manakah yang dapat beruntung dari Respon dan Hasil Luaran meningkat menggunakan Teknik Pendekatan Farmakogenetik yang ada dan yang akan ada yang menarget Kajadian Molekuler dan bagaimanakah caranya?
Pengobatan dan perawatan yang optimal bagi pasien dengan sarkoma hingga kini masih tetap merupakan satu permasalahan klinik yang belum terselesaikan. Teknik pendekatan farmakogenetik baru sedang didisain untuk menarget kejadian molekuler spesifik unik bagi sarkoma individual dan memertahankan efek samping hingga minimum. Riset dalam terapi gen (26, 27), biologi sel punca (107), dan teknologi nano (38, 44) akan selanjutnya meningkatkan pilihan pengobatan di masa depan. Menargetkan kejadian molekuler yang mendasari neoplasia muskuloskeletal spesifik dapat menyediakan keuntungan dramatik (62). Protein fusi yang dibangkitkan oleh translokasi khromosom dapat berfungsi sebagai antigen spesifik-tumor dan menjanjikan target-target bagi imunoterapi. Dalam sebuah kajian belakangan ini, induksi dari synovial sarcoma-specific cytotoxic T-lymphocyte dari limfosit donor normal menggunakan stimulasi in vitro dengan peptid fusi (berasal dari SYT-SSX fusion protein-pulsed dendritic cells) telah diunjukkan (106). Limfosit-T sitotoksik ini memiliki kemampuan melisis sel-sel tumor sarkoma sinovial manusia yang mengekspres protein fusi. Semua temuan ini menyarankan bahwa, sebuah peptid yang berasal dari protein fusi dapat bekerja sebagai sebuah neoantigen dan menginduksi satu respon imun spesifik-tumor. Identifikasi dari satu target teraputik potensiil, ERBB2 (HER2.neu), belakangan telah dilaporkan untuk satu subset kasus sarkoma sinovial menggunakan analisis cDNA microarray (1),
Agen-agen yang menarget mekanisme reseptor, siklus sel, dan angiogenesis dari sarkoma jaringan lunak dan dari semuanya yang menarget osteoklas dalam sarkoma tulang adalah menjanjikan dan sedang dalam berbagai fase percobaan klinik. Penghambatan selektif yang dimiliki Imatinib dari satu set terbatas tirosin kinase reseptor tambahan telah efektif dalam pengelolaan dermatofibrosarcoma protuberans (DFSP) ganas dan ekstensif secara lokal, satu keganasan berderajat-rendah dengan satu translokasi COL1A1-PDGFB (92). Plavopiridol adalah satu obat cyclin-dependent kinase inhibitor (CDKI) yang telah secara strategis dipakai untuk mengganggu determinan dari checkpoint penting dalam siklus sel (90). Liposarkoma diferensiasi-baik dan dediferensiasi dan osteosarkoma parosteal melabuhkan sebuah amplikon 12q13-15 yang khas pada mana baik cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) maupun minute 2 gene (MDM2) berada (9). Kajian-kajian fase I dengan CDKIs bersama dengan khemoterapi sedang berlangsung. Nutlins adalah satu keluarga dari agen-agen spesifik-MDM2, yang dengan menguatkan sitotoksisitas agen-agen genotoksis, meningkatkan efisiensi khemoterapi melawan garis turunan sel sarkoma p53 seperti misalnya osteosarkoma (2). Pada kanker kolon, ginjal, paru, dan payudara, pengobatan antiangiogenik mengubah pilihan pengobatan dan memerbaiki hasil luaran pasien. Akhir-akhir ini, agen-agen seperti sorafenib dan bevacizunab telah diperiksa bagi kebergunaannya sebagai agen antiangiogenik pada sarkoma vaskuler (30). Bifosfonat menghambat resorpsi tulang melalui sejumlah jalur dan telah digunakan secara klasik dalam pengobatan hiperkalsemia, osteoporosis, dan penyakit dari Paget. Dengan diperlihatkannya aktifitas antitumor dalam menurunkan metastasis osteosarkoma pada khewan (43), sebuah percobaan klinik Fase II saat ini sedang berjalan memeriksa asam zoledronat dan khemoterapi bagi pasien-pasien dengan osteosarkoma. Percobaan Fase III juga sedang berjalan untuk penghambat RANKL sebagai alternatif bifosfonat dalam mengobati pasien dengan osteosarkoma (48).
Berbagai variasi genetik yang diturunkan dapat melayani sebagai penanda hayati bagi perbedaan individual dalam penanggapan dan efek toksik terhadap obat-obat khemoterapi dan dapat bahkan memengaruhi hasil luaran penyakit. Genotip 677TT dikaitkn dengan menurunnya aktifitas enzimatik dan dapat melayani sebagai sebuah penanda bagi efek toksik methotrexat pada pasien-pasien dengan osteosarkoma (110). Pada pasien dengan myxoid lipomatous sarcoma (MLS) dengan mekanisme perbaikan-DNA yang peka, menambah produk alami agen alkylating trabectedin menghasilkan penanggapan yang lebih baik terhadap khemoterapi (35). Belakangan, fusi gen ETV6-NTRK3 telah diidentifikasi baik pada fibrosarkoma infantil maupun nefroma mesoblastik seluler (7). Untuk kedua jenis tumor ini, pengobatan kuratif baku adalah utamanya pembedahan dengan eksisi lokal luas. Ini seringkali melibatkan pembedahan radikal dan bahkan bedah mutilasi. Tiga pasien dengan teridentifikasi fusi gen ETV6-NTRK3 diobati dengan khemoterapi praoperatif, menghasilkan penanggapan istimewa meniadakan kebutuhan bagi amputasi pada dua orang pasien.
Agen-agen penghambatan jalur-jalur pensinyalan telah dikaji seperti misalnya penghambat dari pensinyalan hedgehog pada khondrosarkoma, penghambat dari wnt/β-catenin pada osteosarkoma dan fibromatosis agresif, dan penghambat histone deacetylase pada sarkoma sinovial dan sarkoma dari Ewing. Beberapa kajian mengunjukkan khondrosarkoma dan enkhondroma memerlihatkan pengaktifasian dari jalur pensinyalan hedgehog dan mengeblok jalur itu menurunkan proliferasi dan ukuran tumor (42, 102). Triparanol dan cyclopamine, keduanya penghambat hedgehog, menurunkan volum tumor pada khewan percobaan sebesar 60%, selularitas sebesar 30%, dan angka proliferasi sebesar 20%; namun, karena efek sampingnya, saat ini aplikasi klinisnya masih terbatas (defek-defek lahir seperti misalnya malformasi ekstremitas dan holoprosencephaly) (102). Terdapat harapan karena ketika agen-agen yang lebih baru dengan profil efek samping yang lebih sedikit dikembangkan, semuanya dapat dipakai pada pasien-pasien dengan khondrosarkoma dan tumor-tumor lainnya dengan pensinyalan hedgehog aktif (53). Penghambat reseptor Wnt seperti misalnya frizzled homologue 10 receptor (FZD10) (72) atau low-density lipoprotein receptor-related protein (LRP5) (37) menurunkan baik pertumbuhan lokal tumor maupun metastasis pada osteosarkoma pada khewan-khewan model. Β-catenin bermutasi pada dua pertiga kasus fibromatosis dan keseluruhan tumor desmoid memamerkan aktifasi transkripsi bermediasikan-catenin-β (55). Penghambat cyclooxygenase dan penghambat metaloproteinase matriks memerlihatkan menjanjikan pada khewan percobaan (55). Penghambat cyclooxygenase saat ini dalam percobaan klinik. Penghambat histone deacetylase telah efektif melawan sarkoma sinovial (46), sarkoma dari Ewing (85, 97), dan khondrosarkoma (86) pada kajian-kajian praklinik.

Diskusi
Bertahan hidup dari sarkoma adalah siap untuk sangat meningkat dalam dekade mendatang dengan berlanjutnya pertumbuhan literatur dan pengaplikasian genetik molekuler. Translokasi molekuler mendefinisikan ulang dan mengklarifikasi klasifikasi sarkoma muskuloskeletal dengan spesifitas dan ketepatan yang lebih besar. Keuntungan potensiil dari tipe klasifikasi meliputi perbaikan diagnosis, perbaikan prognostikasi, dan perbaikan pengobatan. Telah dijelaskan dalam tulisan ini kondisi terkini dari pengetahuan dalam diagnosis molekuler sarkoma, aplikasi pengetahuan tersebut dalam prognostikasi, teknologi yang tepat dalam menentukan pola2 molekuler, dan akhirnya perkembangan dari teraputik baru yang telah menuntun dalam memerbaiki angka respon dan hasil luaran klinik dengan lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan khemoterapi sitotoksik baku.
Isu-isu major kemudian bermunculan dengan hadirnya setiap dari pertanyaan yang tersaji dalam tulisan ini. Definisi saat ini dari tanda-tanda molekuler adalah didasarkan pada klasifikasi histopatologi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang perlunya kebutuhan penggunaan sitogenetik dalam diagnosis vs pemakaian diagnosis histopatologik bila keduanya ekivalen. Dalam artikel ini, ditekankan pemakaian diagnosis molekuler haruslah dicadangkan untuk dilema diagnostik, khususnya ketika terdapat perbedaan yang cukup besar dalam prognosis dan dalam pemilihan pengobatan. Pertanyaan penting lainnya adalah sensitifitas dan spesifisitas dari tanda-tanda molekuler dalam mengidentifikasi neoplasma. Sejumlah sedikit tulisan saja yang menjelaskan satu analisis sensitifitas dan spesifisitas dari sebuah diagnosis molekuler karena diagnosis histopatologik masih merupakan baku emas untuk klasifikasi. Sebuah diagnosis histopatologik diperlukan secara apriori untuk identifikasi sebuah diagnosis molekuler. Adalah sulit mendisain satu kajian untuk mencari sebuah anomali molekuler dan kemudian menetapkan sebuah diagnosis histopatologik. Kebanyakan tulisan memilih untuk menjawab isu ini dengan menentukan prevalensi dari sebuah tanda molekuler. Isu lainnya adalah eksistensi dari satu tumor campur dengan gambaran kombinasi, yang kadang menyebabkan hasil-hasil diagnostik molekuler menjadi kontroversi. Hal ini disorot baik dengan transkrip fusi TLS-CHOP, yang dijelaskan sebelumnya sebagai yang memiliki satu asosiasi kuat dan spesifik dengan liposarkoma miksoid (dengan translokasi yang sama yang tersaji pada LS sel bulat murni dan kombinasi miksoid dan liposarkoma sel bulat) mengijinkannya menjadi terbedakan dari well-differentiated LS (WDLS) dengan liposarkoma pleomorfik, yang mengandung translokasi kambuhan tak spesifik (28). Meski demikian, sebuah laporan tunggal akhir-akhir ini menyarankan transkrip fusi TLS-CHOP mungkin juga hadir dalam LS pleomorfik dan WDLS (105). Eksistensi dari tumor campuran dengan gambaran kombinasi dari liposarkoma miksoid dengan WDLS telah diajukan berdasarkan atas kasus-kasus liposarkoma yang memerlihatkan gambaran histologik dari keduanya (101). Ini kembali menyorot fenomena tentang mengembangkan peralatan diagnostik berdasarkan pada baku emas tak sempurna. Mengingat adanya bias interobserver dan kurangnya sampel lengkap, banyak tumor-tumor seperti itu akan dipertimbangkan sebagai liposarkoma miksoid. Mengidentifikasi sebuah komponen sel bulat dapat menjadi sangat menantang dalam situasi ini dan tidak diperlukan untuk diagnosis. Sekalipun demikian, mengidentifikasi fenomena dari sebuah liposarkoma miksoid sebenarnya” adalah penting karena mereka sangat metastatik (52).
Data pada alat diagnostik dalam pemakaiannya untuk mengidentifikasi satu translokasi khusus terbatas untuk metode terpilih oleh kajian individual yang pertama mengindentifikasi translokasi molekular. Sangat sedikit sekali kajian menyuguhkan efikasi penggunaan peralatan pilihan mereka vs penggunaan metode-metoda yang ada. Dengan demikian, tersedia kesempatan besar dalam menghitung sensitifitas dan spesifisitas dari penggunaan sebuah peralatan khusus dalam menentukan translokasi molekuler spesifik.
Penanda molekuler menjanjikan sebuah kerangka prediktif untuk prognosis; namun, beberapa dari data ini juga membangkitkan kontroversi dan, tidak jarang, temuan kontradiktif. Debat belakangan ini sekitaran nilai prognostik gen sarkoma sinovial adalah sebuah contoh dari banyak isu yang dihadapi dalam kajian-kajian penanda prognostik molekuler pada kanker. Dalam sebuah kajian rintisan retrospektif terobosan yang dipublikasikan pada 1998, Kawai dkk (49) menemukan pasien-pasien dengan tumor-tumor lokal yang menyimpan transkrip fusi SYT-SSX1 menurunkan ketahanan hidup bebas-metastasis. Hasil yang sama kemudiannya diperoleh dalam empat buah kajian retrospektif lainnya (45, 65, 73, 76) dan dan selanjutnya didukung oleh sebuah kajian multisenter besar oleh Ladanyi dkk (56). Namun, pertanyaan yang sama dialamatkan ulang pada kajian multinasional yang lainnya oleh Guillou dkk (36) melaporkan tidak ada hubungan di antara tipe gen fusi dengan hasil luaran klinik. Jadi, faktor-faktor apakah yang dapat diperhitungkan untuk semua hasil berbeda-beda ini, dan pelajaran bernilai apakah yang dapat diambil dari semua kajian ini? Sebuah simpulan yang dibuat oleh Oliveira dkk (75) menyorot berbagai defisiensi dalam penggunaan disain retrospektif dalam kajian prognostik dan kekurangan yang tidak dapat terhindarkan, meliputi hilangnya data dan kemungkinan beberapa bias penyeleksian. Sebagaimana dijelaskan oleh peneliti ini, validasi faktor prognostik yang diduga haruslah lebih teliti dan dilaksanakan dalam tiga fase major: kajian eksplorasi, investigasi konfirmasi retrospektif, dan kajian prospektif.
Banyak rintangan tambahan yang melampaui pemahaman dari biologi berbagai subtipe tumor masih tetap perlu diatasi. Bahkan dengan yang lebih baru, agen-agen lebih spesifik untuk pengobatan sistemik, molekul-molekul hilir kunci dari target-target spesifik, yang menyatakan sebuah respon bagus terhadap pengobatan, masih tetap untuk diidentifikasi. Tambahan pula, identifikasi dari pasien-pasien sendiri-sendiri yang paling mungkin untuk berrespon terhadap pengobatan spesifik, yakni, sebuah obat target yang benar-benar baru, sebuah khemoterapi baku, atau sebuah kombinasinya, akan bergantung pada perkembangan dari penanda hayati yang kuat yang dapat diperhitungkan untuk variabilitas genetik pada tumor, lingkungan mikro tumor, dan setiap dari bibit turunan pasien-pasien. Bahkan bila sebuah subtipe sarkoma dikaitkan dengan satu jalur molekuler teraktifasi, perkembangan metoda untuk secara akurat mengidentifikasi aktifasi jalur akan menjadi sangat penting sebelum penerimaan pasien dalam satu percobaan obat target.