Selasa, 30 Oktober 2012

Nyeri Tulang - Sebuah Tinjauan Patofisiologi

Nyeri tulang berbeda dalam banyak hal dengan tipe-tipe nyeri yang lain (Mercadante 1997). Sementara nyeri kulit ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, menusuk, stabbing atau rasa terbakar, nyeri tulang seringkali diterima sebagai nyeri pegal. Ia mungkin disertai oleh nyeri sebar dan spasme otot yang hampir tidak pernah terjadi pada nyeri kulit.Respon terhadap pengobatan dengan opioid dan penghambat prostaglandin seringkali berbeda di antara nyeri kulit dan nyeri tulang.

Mekanisme nyeri tulang tidak jelas dalam beberapa hal. Adalah sulit untuk menjelaskan kenapa beberpa proses penyakit tulang menyebabkan nyeri sementara yang lainnya, hal yang sangat sama, tidak demikian adanya. Telah diketahui dengan jelas bahwa, bahkan patologi yang sama - mis., metastasis kanker dalam tulang - dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa lokasi namun tidak pada lokasi lainnya (Front dkk 1979, Patt 1993).

Menjadi pertanyaan, apakah pusat pemrosesan informasi nosiseptif adalah berbeda untuk tulang. Nosisepsi tulang kemungkinan diproses oleh SSP dalam cara yang sama dengan jaringan lain dari asal mesodermal sama seperti sendi dan otot. Yang menjadi perhatian adalah adanya temuan akhir-akhir ini bahwa satu perubahan dalam tingkah laku SSP (sensasi pusat) dapat dilihat sebagai sebuah konsekuensi dari masukan dari serat-C nosiseptif yang kuat dan/atau berkepanjangan dari kulit, sendi dan otot (Ma dan Woolf 1996). Fenomena ini disebabkan oleh plastisitas SSP dalam cara yang sama seperti halnya the wind-up phenomenon yang menimbulkan satu peningkatan bertahap dalam aktifitas neuron tanduk medula spinalis dalam responnya terhadap ransangan berulang (Mendel dan Wall 1965) dan seringkali menghidupkan lebih lama rangsangan berbahaya baik dalam waktu maupun respon amplitudo (Woolf 1986, 1996). Lebih lanjut, sensitisasi pusat muncul sebagai hiperalgesia dan alodinia sekunder (Woolf 1996) - mis., mengebor sebuah lobang pada tibia dari seekor tikus besar menghasilkan hiperalgesia dan alodinia sekunder (Houghton dkk. 1997), menunjukkan adanya sensitisasi pusat. Selain itu, beberapa bukti klinis mengindikasikan bahwa sensitisasi pusat dilibatkan dalam mekanisme nyeri pada manusia (Arendt-Nielson dan Peterson-Felix 1995), termasuk nosisepsi tulang (Mercadante 1997).

Tersedia pengetahuan yang lebih luas lagi sekitaran mekanisme periferal. Syaraf berkandungan peptida nosiseptif menarik perhatian khusus dalam tinjauan ini. Serat-serat dengan substansi imunoreaktif-P dijumpai pada periosteum manusia oleh Gronblad dkk. (1984) dan, bersama-sama dengan serat-serat dengan imunoreaktif-calcitonin gene-related peptide (CGRP), juga terlihat dalam tulang dan sumsum tulang (Bjurholm dkk. 1988, Imai dkk. 1994, 1997. Semua peptida ini hadir dalam serat syaraf dan terminal-terminal ditandai seperti apa yang dimiliki oleh serat tipe IVa dan IVb dengan menggunakan PGP 9.5 synaptophysin-immunoreactivity. Hubungan yang mungkin di antara nosisepsi dan inflamasi telah didiskusikan oleh Hukkanen dkk. (1992). Walaupun syaraf-syaraf berkandungan-SP di dalam tulang subkhondral sehat mungkin bukan nosiseptif, serat-serat yang sama di dalam tulang di balik defek tulang rawan mungkin berperan nosiseptif (Fortier dan Nixon 1997). Lebih lanjut, telah disarankan akhir-akhir ini bahwa serat-serat syaraf berkandungan SP dan CGRP, dijumpai dalam tulang sesamoid proksimal kuda, adalah nosiseptif (Cornelissen dkk. 1998). Sebuah tinjauan akhir-akhir ini menjelaskan syaraf-syaraf berkandungan SP dan CGRP adalah sebagai sensoris dan terlibat dalam inflamasi neurogenik (Iversen 1998) dan juga pada plat subkhondral terinflamasi dari patela (Wojtys dkk. 1990).

Osteoid osteoma, sebuah tumor tulang yang memberikan rasa amat sakit dikelilingi oleh syaraf-syaraf, yang menarik perhatian (O'Connell dkk. 1998). Jaringan yang dibuang lewat pembedahan diperiksa secara histologis menggunakan sebuah teknik pewarnaan perak tradisional (Esquerdo dkk 1976). Serat-serat tak bermyelin dijumpai langsung di sekitar tumor demikian juga terpisah dari pembuluh darah. Untuk mencapai regio sklerotik (nidus), serat bermyelin tipis utama (Aδ) terlihat menembus tulang bersama pembuluh darah (Grecko dkk 1988). Pada mana nidus berlokasi di dalam korteks, serat-serat syaraf mencapai lesi lewat ruang perivaskuler havers atau dari periosteum. Dengan menggunakan polyclonal antibodies untuk PGE2, protein S-100 dan protein gene product 9.5 (PGP 9.5), Hasegawa dkk. (1993) menandai serat-serat syaraf. Sementara antibodi utuk protein S-100 berikatan ke serat-serat bermyelin, antibodi untuk PGP 9.5 berikatan ke seluruh nerve ending. Serat syaraf yang positif untuk PGP 9.5 dan proten S-100 dideteksi sekeliling nidus dalam paling banyak kasus dan di dalam nidus pada beberapa kasus. Sebuah hubungan yang dekat di antara syaraf dan pembuluh darah terlihat.

Pada kondisi normal, serat sensoris tidak dipengaruhi oleh stimulasi simpatetik. Namun, pada - mis.nya arthritis - serat sensorik sendi dapat berrespon terhadap aktifitas simpatetik (Kidd dkk. 1996). Adalah masuk akal untuk menganggap bahwa fenomena yang sama adalah juga sahih untuk tulang. Kehadiran serat-serat adrenergik dalam kanal-kanal havers (Milgram dan Robinson 1995) menguatkan pandangan ini.

Tabel 1. Agen-agen nosiseptif dalam jaringan tulang selama banyak kondisi patologis berbeda

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Agen nosiseptif a                  Kondisi                                                            Peneliti

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
     SP b                            Inflamasi neurogenik                                        Iversen 1998
     SP                               Inflamasi tulang subkhondral                           Wojtys dkk. 1990
     SP                               Osteoarthritis                                                   Fortier dan Nixon 1997
     CGRP c                       Inflamasi neurogenik                                        Iversen 1998
     CGRP                          Inflamasi tulang subkhondral                           Wojtys dkk. 1990
     PGE2                          Osteomyelitis                                                    Plotquin dkk. 1991
     PGE2                          Osteoid osteoma                                              Wold dkk. 1988
     PGE2                          Osteoblastoma                                                 Wold dkk. 1988
     Prostaglandins            Metastasis tulang                                             Eisenberg dkk. 1994
     IL-6 d                           Metastasis tulang                                             Siris 1997
     Histamine                    Edema intraoseus                                             Bennet 1988
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
a Agen-agen ini seringkali dihubungkan dengan nosisepsi
b Substance P
c Calcitonin-gene-related peptide
d Interleukin-1

Inflamasi

Perbandingannya dengan inflamasi dalam sendi mungkin relevan karena tulang dan sendi memiliki asal mesodermal sama. Hiperalgesia, yang disebabkan oleh inflamasi, muncul memainkan sebuah peran kunci dalam nyeri sendi (Schaible dan Blair 1993). Telah menjadi mapan bahwa hiperalgesia secara khas terlihat pada inflamasi bergantung pada kehadiran prostaglandin (Schmidt dkk 1994). Temuan akhir-akhir ini memerlihatkan bahwa prostaglandin dihasilkan di dalam jaringan tulang - mis., dalam responnya terhadap pembebanan mekanik. Lebih jauh, prostaglandin kemungkinan terlibat dalam mekanisme kehilangan tulang yang terjadi selama inflamasi dan imobilisasi (Klein-Nulend dkk. 1997). Sintesis prostaglandin PGE2, PGI2 dan PGF2α dikatalisis oleh cyclooxygenase (COX). Produksi enzim ini dirangsang oleh sitokin, faktor pertumbuhan, mediator inflamasi, promoters tumor, dan hormon (De Witt 1991). Dua isoenzimnya telah diidentifikasi. COX-1 secara permanen hadir dalam kebanyakan jaringan. Bentuk lainnya (COX-2) diinduksi, mis., selama inflamasi (Siegle dkk. 1998). Namun, produksi fisiologis prostaglandin dalam tulang kelihatannya bergantung pada COX-2 (Forwood 1996).

Semua data eksperimental menyarankan bahwa, tulang dapat menghasilkan prostaglandin, yakni, bermacam kondisi yang mengakibatkan hiperalgesia hadir dalam tulang. Studi klinis belakangan ini memerlihatkan kepentingan prostaglandin dalam nyeri tulang. Jadi, produksi prostaglandin dalam - mis., tulang osteomyelitis manusia - telah diunjukkan. Plotquin dkk (1991) memerlihatkan bahwa produksi PGE2 meningkat sebesar 5 - 30 kali pada tulang terinfeksi. Peran prostaglandin dalam memerantarai nosisepsi dikaitkan dengan osteoid osteoma dan osteoblastoma telah dipelajari. Dibandingkan dengan tulang normal, ekstrak dari jaringan yang terhomogenisasi dari osteoid osteoma dan osteoblastoma memerlihatkan peningkatan konsentrasi PGE2. Peningkatan produksi prostaglandin seperti itu tidak terlihat pada giant cell tumor of bone (Woold dkk. 1988). Bersesuaian dengan temuan ini, nyeri dilaporkan hanya pada sebuah keadaan lanjut dari giant cell tumor of the bone (Edeiken dkk. 1990a). Di lain pihak, nyeri merupakan gejala utama pada osteoid osteoma (Esquerdo dkk. 1976, Greco dkk. 1988, Hasegawa dkk 1993). Secara khusus, nyeri malam hari terjadi, namun dikurangi dengan pemberian NSAIDs.

Prostaglandin juga memainkan sebuah peran penting dalam nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang. Telah dilaporkan (Eisenberg dkk. 1994), bahwa NSAID adalah sangat efektif dalam menurunkan rasa nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang. Nyeri yang disebabkan oleh metastasis kanker telah ditemukan berrespon juga terhadap radiasi dengan dosis 40 -50 Gy yang difraksinasi pada 2 Gy per hari (Bagshaw dkk. 1992). Pemberian radiasi adalah efektif sebanyak 70% -80% kasus, dan telah diusulkan bahwa hal ini dikarenakan oleh penghambatan pelepasan bermacam mediator dari respon inflamasi (Mercadante 1997). Bifosfonat, seperti etidronate, alendronate dan clodronate menghambat produksi IL-6 yang terstimulasi IL-1 dan TNF-α pada beberapa sel tulang manusia (Giuliani dkk. 1996). Karena nyeri disebabkan oleh patologi tulang seringkali berkurang dengan bifosfonat, (Siris 1997), adalah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa pengalaman nyeri dan kondisi ini dan kondisi yang sama lainnya adalah berhubungan dengan IL-6 dan secara tak langsung dengan prostaglandin.


Nyeri yang disebabkan oleh fraktur

Alasan yang telah dikenal baik untuk terjadinya nyeri tulang adalah fraktur yang disebabkan oleh trauma. Telah disarankan juga bahwa fraktur-fraktur kecil - fraktur mikro - yang disebabkan oleh stres mekanik dapat menyebabkan nyeri. Apakah fraktur mikro secara umum menyebabkan nyeri belumlah ditetapkan.

Penyembuhan fraktur tulang terdiri dari satu seri kejadian yang bertumpang tindih; inflamasi, pembentukan kalus lunak, pembentukan kalus keras dan remodeling (Soames 1995). Selama fase inflamasi, hiperalgesia dan nyeri mungkin berhubungan dengan pelepasan sitokin, prostanoid, histamin dan bradikinin. Hiperalgesia dan alodinia mekanik sekunder dijumpai setelah dilakukan pengeboran sebuah lobang pada tibia dan kalkaneus (Houghton dkk. 1997).

Osteofit dan nyeri pada osteoarthrosis adalah umum terjadi (Spector dkk. 1993). Disarankan bahwa, nyeri disebabkan oleh baik akibat regangan terminal-terminal syaraf dalam periosteum ataupun oleh fraktur mikro dalam tulang yang rapuh di dalam spur (Brandt 1999). Sebuah hubungan di antara fraktur mikro dengan nyeri tulang telah disarankan dalam sebuah seri kondisi klinis. Nyeri tulang seringkali terlihat dalam penyakit dari Paget (Meunier dkk. 1987, Kaplan 1994) yang secara normal berkurang dalam waktu 2 minggu melalui pengobatan dengan kalsitonin. Berkurangnya nyeri bertahan hingga beberapa bulan dan berhubungan dengan sebuah pengurangan dalam fosfatase alkali serum dan nilai hidroksiprolin urin. Plicamycin (sebuah antibiotik sitotoksik) juga mengurangi nyeri tulang dan bone turnover. Hal yang sama, bifosfonat mengurangi nyeri tulang bersama-sama dengan mengurangi konsentrasi fosfatase alkali serum, ekskresi hidroksiprolin, piridinolin dan collagen-derived N-telopeptide urin (Delmas dan Meunier 1997). High bone turnover dalam penyakit dari Paget mungkin menyebabkan struktur tulang rapuh dan fraktur mikro, yang lalu menyebabkan nyeri tulang.

Terlibatnya tulang adalah umum dalam penyakit dari Gaucher. Tiga tipe nyeri telah diperlihatkan pada pasien dengan penyakit dari Gaucher tipe 1. Pertama, nyeri ringan tidak spesifik dirasakan yang disebabkan oleh sel-sel Gaucher membungkus sumsum tulang. Kedua, kematian tulang menyebabkan nyeri tulang parah. Krisis tulang ini berkurang dalam semingu atau dua minggu, namun risiko terjadinya fraktur tetap berjalan. Akhirnya, kolapsnya vertebra diasosiasikan dengan nyeri (Edeiken dkk. 1990b, Katz dkk 1993a, b).

Pada 2 pasien, nyeri tulang transien dialami setelah satu pengijeksian i.v. rhG-CSF (recombinant human granulocyte colony-stimulating factor). Secara simultan, dijumpai satu peningkatan dalam aktifitas alkali fosfatase total dalam serum dan satu peningkatan jumlah netrofil. Karena CSF merangsang pembentukan prekursor osteoklas dini, meningkatnya aktifitas osteolitik dapat diharapkan terjadi (Fukutani dkk. 1989, Fruberg dkk. 1999). Karenanya, nyeri tulang mungkin disebabkan oleh osteoporosis teransien dan fraktur mikro.

Lesi-lesi tulang yang disebabkan oleh stres mekanik dipelajari dengan menggunakan pemindaian tulang (bone scan) pada 23 penari balet (Nussbaum dkk. 1988). Dalam 10 dari 13 penari, stress fracture, fraktur mikro dari trabekule dengan perbaikan tulangnya, terbanyak pada tibia, menyebabkan nyeri. Nyeri dilaporkan oleh 6 dari 19 penari dengan reaksi stres, area dengan percepatan remodeling dan resorpsi tulang, berlokasi pada kaki. Studi ini dengan jelas memerlihatkan bahwa tidak semua fraktur menimbulkan nyeri. Lokasi, ukuran dan bentuk lesi mungkin menentukan derajat pergerakan pada lokasi cedera, yang mana mungkin menjadi penting dari nosisepsi. Fraktur kelihatannya lebih mungkin menyebabkan nyeri dibandingkan dengan proses penyembuhan. Fraktur mikro yang terjadi pada origo atau insersi sebuah otot pada ekstremitas bawah telah juga diketahui menyebabkan nyeri yang menjadi semakin hebat dengan aktifitas fisik (Mills dkk. 1980). Lebih lanjut, dalam perekrutan militer sebanyak 64 orang, ditemukan sebanyak 124 buah lokasi stress fracture terkait dengan latihan. Senbanyak 26% kasusnya nyeri tidak dilaporkan (Groshar dkk. 1985). Sebanyak 3 orang tanpa keluhan nyeri memerlihatkan uptake isotop radioaktif yang tidak normal (stress reaction) 7 - 14 hari sebelum berkembangnya nyeri. Temuan ini mengindikasikan bahwa nyeri pada hakekatnya tidak disebabkan oleh fraktur.

Nyeri sering terjadi pada osteoporosis. Dalam sebuah percobaan klinis (Agnusdei dkk. 1989), osteoporosis diterapi dengan plasebo atau ipriplavone (sebuah derivatif isoplavone). Dalam kelompok yang disebut belakangan, restorasi massa tulang disertai oleh satu pengurangan bermakna dalam nyeri. Hasil yang sama dijumpai ketika osteoporosis pascamenopaus diterapi dengan salmon calcitonin (Tolino dkk. 1993). Berkurangnya nyeri dibarengi dengan meningkatnya konten mineral tulang. Agaknya, fraktur mikro merupakan penyebab nyeri dalam osteoporosis.

Pasien-pasien dengan metastasis tulang sklerotik dengan satu insiden fraktur yang rendah, kurang memiliki keluhan nyeri dibandingkan dengan mereka-mereka yang menderita metastasis tulang litik yang menyebabkan lebih banyak terjadi fraktur (Van Holten-Versantvoort dan Bijvoet 1989). Proses osteolitik disebabkan oleh sebuah perceraian proses pembentukan tulang dari penyerapan tulang, yang seringkali menghasilkan fraktur, hiperkalsemia, dan nyeri (Kanis 1995, Berruti dkk. 1999). Pengobatan dengan pamidronate (Purohit dkk 1994) mengurangi nyeri pada sekitar setengahnya (59%) dari mereka-mereka yang diterapi. Dalam sebuah tinjauan oleh Hortobagyi dkk. (1996), efek pamidronate terhadap nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang kelihatannya dihubungkan dengan penyembuhan atau stabilisasi dari lesi-lesi tulang litik. Bifosfonat memengaruhi proses osteolitik melalui pengurangan aktifitas osteoklas (Siris 1997). Efek analgesik pamidronate dan clodronate telah menjadi catatan (Fulfaro dkk. 1998). Nyeri yang disebabkan oleh metastasis tulang dari karsinoma prostat seringkali berrespon terhadap clodronate ketika diberikan secara intravena untuk 10 hari (Creswell dkk. 1995). Satu studi (Coindre dkk. 1985) mengamati pasien dengan metastasis tulang sklerotik dari karsinoma prostat. 3 pasien dengan osteomalasia dan fraktur leher femur berbeda dari yang lainnya dalam hal memiliki keluhan nyeri yang lebih intens dan persisten yang lebih sering, yang menyarankan bahwa nyeri tulang pada pasien-pasien karsinoma prostat utamanya disebabkan oleh fraktur.

Perubahan dalam tekanan intraosseous

Tulang terpapar oleh gaya-gaya mekanik seperti bending yang menyebabkan cairan mengalir ke dalam kanalikuli tulang kortikal, yang mana, sebagaimana halnya dalam tubulus gigi, dapat merangsang nerve ending nosiseptif. Inflamasi dan berbagai proses patologis yang sama dalam tulang, yang meningkatkan tekanan intraosseous, mungkin juga menyebabkan nyeri (Bennet 1998).
Seberapa besar energi mekanik ditransfer ke dalam elemen-elemen persyarafan dalam tulang belum dipahami benar, namun telah secara ekstensif distudikan pada gigi. Kedua jenis jaringan ini agak mirip, yang membuat perbandingannya berarti; jaringan lunak dan syaraf terbungkus dalam jaringan keras; tubulus mengandung prosesus sel dan cairan terdapat di kedua kasus (Soames 1995). Dalam gigi, pengeboran atau pengeringan cepat dentin yang terpapar dengan - mis., ledakan udara - kebanyakan menghasilkan nyeri tajam. Telah dipertunjukkan bahwa prosedur yang seperti itu menginduksi aliran cairan dalam tubulus dentin (Brannstrom 1996) yang, sebaliknya, menyebabkan aktifitas syaraf intradental (Narhi dan Haegerstam 1983). Pada studi klinis, aktifitas yang seperti itu telah memerlihatkan menyebabkan nyeri (Ahlquist dkk. 1984, Fors dkk. 1984).

Refleks axon kemungkinan aktif dalam tulang karena bermacam peptid - mis., SP, CGRP bersama-sama dengan VIP - ditemukan dalam syaraf tulang (lihat atas). Peptid-peptid seperti itu secara normal berhubungan dengan hiperalgesia dan nyeri pada - mis., sendi (Kid dkk. 1996). Seberapa besar PGI2 dan PGE2 dilepaskan oleh strain (Zaman dkk. 1997) menyumbang timbulnya hiperalgesia dan nyeri tulang, belum diketahui. Nyeri yang disebabkan oleh pulpitis, bagaimanapun, mungkin relevan dalam konteks ini karena telah disarankan bahwa peningkatan tekanan intrapulpal yang sedikit yang disebabkan oleh edema inflamasi akan merangsang nosiseptor (Skidmore 1991) dan mekanisme yang sama mungkin aktif dalam sumsum tulang. Dalam tulang dengan dindingnya yang kaku, inflamasi neurogenik dan vasodilatasi dan edema yang dihasilkan dapat meningkatkan tekanan dan menyebabkan nyeri ((Pilmore dkk. 1998). Neuron sensitif terhadap tekanan untuk tingkatan yang lebih besar atau lebih kecil; pertama, serat-serat bermyelin diblok, lalu kemudian serat-serat yang tidak bermyelin. Dengan demikian, konsekuensi klinisnya akan berupa satu peningkatan dalam nyeri tajam disebabkan oleh perangsangan dari serat-serat bermyelin yang tersensitisasi, diikuti oleh satu nyeri tumpul ketika serat-serat bermyelin, namun tidak serat-serat tak bermyelin, diblok, lalu kemudian analgesia, ketika kedua jenis serat diblok. Rangkaian seperti itu nampak dalam pulpitis (Ngassapa 1996). Nyeri adalah umum terjadi pada osteomyelitis (Norden 1985). Sebagaimana halnya dalam pulpitis pada gigi, rasa sakit kemudian menghilang.

Karena tulang trabekuler terhubung dengan ruang subperiosteum lewat kanal dari Volksmann, transportasi cairan steril atau terinfeksi melewati kanal ini mungkin menjelaskan hiperalgesia periosteal. Meningkatnya tekanan intraoseus mungkin selanjutnya mencapai satu level ketika cairan didorong melalui kanal dari Volkmann menuju ruang subperiosteal. Hasilnya akan berupa satu nyeri yang terpisah antara nyeri periosteum dengan nyeri tulang (Clawson 1980). Di lain pihak, bila kompresi syaraf ekstensif terjadi, nervus akan terblok (Rydevik 1979) dan rasa sakit tidak terasakan. Pada osteomyelitis yang tidak diobati, inflamasi dan nyeri lokal bersama-sama dengan satu peningkatan angka sedimentasi eritrosit dapat terjadi sekarang dan berlanjut sepanjang tahun (Bouvier dkk 1993, Lew dan Waldvogel 1997).

Pasien dewasa dengan thalasemia kadang kala mengeluhkan nyeri tulang, yang dianggap sebagai meluasnya proses-proses sumsum tulang yang meningkatkan tekanan intraoseus (Angastiniotis dkk 1998). Nyeri parah pada osteoarthrosis, yang secara khas berlanjut sepanjang malam dan berkurang dengan pengeboran tulang (Pedersen dkk 1995), disebabkan oleh satu peningkatan dalam tekanan intraoseus (Dieppe 1999).

Lesi-lsei tulang neoplastik dapat bervariasi dari lesi litik murni hingga area padat mengandung fokus-fokus tulang trabekuler, kartilago dan elemen-elemen fibrus. Tumor yang bertumbuh cepat mungkin dengan sepenuhnya menghancurkan korteks (Hasegawa dkk 1993, Longo 1994, Krane dan Schiller 1994) dan menyebabkan nyeri terkait dengan tekanan intraoseus yang tinggi. Telah disarankan bahwa nyeri tulang saat istirahat mungkin disebabkan oleh mekanisme ini (Chigira dkk 1984). Tambahan terhadap efek mekanik dari sebuah peningkatan dalam tekanan intraoseus, inflamasi yang diinduksi oleh pertumbuhan tumor memberi kontribusi terhadap nyeri (Bruera dan Ripamonti 1993).

Gangguan Sirkulasi

Data eksperimental menyarankan bahwa edema yang disebabkan oleh inflamasi dalam tulang meningkatkan tekanan intraoseus (Rosier 1993). Bahkan satu peningkatan tekanan berderajat sedang pada kompartemen low-compliance, seperti misalnya gigi dan tulang, dapat menyebakan oklusi vena dan gangguan aliran darah (Wannfors dan Gazelius 1991). Walaupun oklusi arterial menimbulkan hipoksia yang lebih parah, oklusi vena mengawali ke pada satu reduksi tingkat sedang tekanan oksigen parsiil dalam tulang (Kiaer dkk. 1992). Namun, ketika tekanan venosa meningkat hingga ke tingkat yang sama dengan tekanan arterial dalam satu sistim tertutup seperti misalnya tulang, pasokan darah hampir sepenuhnya berhenti ( Mankin, 1992). Jadi, iskemia tulang selama 3 jam atau lebih menyebabkan satu respon inflamasi Kalebo dkk, 1986). Sel endothel terrangsang oleh hipoksia menghasilkan metabolit asam arakhidonat, seperti PGD2, PGF2A, PGI2, dan PGE2 yang terlibat dalam hiperalgesia (Michiels dkk., 1993). Level histamin lokal juga diperkirakan menyebabkan edema intraoseous, peningkatan tekanan intraoseous, dan nyeri (Bennett, 1988).
Selama berlangsung satu infeksi, aliran darah dalam tulang terganggu (Norden 1985). Proses  infeksi dapat berlanjut menimbulkan thrombosis pembuluh darah kecil-kecil. Inflamasi yang menghasilkan edema meningkatkan tekanan intraoseous, dengan berikutnya timbul satu pengurangan sirkulasi . Namun, pada fase dini infeksi dan selama eksaserbasi, aliran darah meningkat, hal yang merupakan sebaliknya terjadi dengan menurunnya aliran darah tulang pada fase inaktif penyakit (Wannfors dan Gazelius, 1991). Pada penderita dengan penyakit tulang dari Paget yang aktif, temuan laboratorium mengindikasikan bahwa percepatan turnover tulang dan meningkatnya aliran darah menuju ke jaringan tulang pada pasien yang tidak berobat, berjalan berdampingan dengan nyeri tulang (Wootton dkk., 1981, Agnusdei dkk., 1992). Satu peningkatan substansiil fosfatase alkali menyertai berlipatduanya aliran darah. Pengobatan dengan kalsitonin menurunkan aliran darah ke normal sebelum terlihat adanya perubahan dalam fosfatase alkali. Disarankan bahwa cepat berkurangnya nyeri tulang dihubungkan dengan menurunnya aliran darah. Ketika perekrutan osteoklas dihambat dengan semacam obat (ipriflavone), fosfatase alkali serum dan hidroksiprolin urin/ekskresi kreatinin berkurang secara simultan dengan satu pengurangan nyeri tulang bermakna (Crisp dkk., 1989, Agnusdei dkk., 1992). Berbagai temuan pada osteomyelitis dan penyakit dari Paget menyarankan bahwa nyeri tulang dapat terjadi bersama-sama dengan meningkatnya aliran darah intraoseous.
Osteonekrosis yang disebabkan oleh infark tulang meduler adalah biasanya terjadi diam-diam. Dalam satu bentuknya yang lebih luas yang melibatkan tulang meduler dan kortikal, osteonekrosis sangat sangat menimbulkan rasa sakit. Mankin (1992) menekankan bahwa oklusi thrombotik vena pembuangan meningkatkan tekanan venosa dalam tlang. Akibat berkurangnya pasokan darah dapat menyebabkan nekrosis tulang. Nyeri biasanya ringn dan difus pada bentuk khronik osteonekrosis, tapi dengan infark besar pada penyakit dari Gaucher, hemoglobinopati dan kondisi disbarik, akan dapat menjadi intens (Mankin, 1992, Mont dkk., 1997).
Nyeri tulang parah dapat juga merupakan efek samping pengobatan dengan cyclosporin setelah transplantasi organ (Barbosa dkk., 1995). Ia utamanya mengenai lutut dan pergelangan kaki, khas onsetnya akut, berjalan episodik, dan bilateral. Nyeri osteortikuler parah ekstremitas bawah terjadi pada beberapa pasien setelah transplantasi ginjal (Goffin dkk., 1993). Ia seringkali terjadi saat rebahan dan biasanya berkurang dengan duduk atau berjalan. Karena nyeri tulang dikurangi dengan calcium channel inhibitor, dan beberapa pasien memiliki juga osteonekrosis, nyeri mungkin disebabkan oleh sebuah mekanisme vaskuler. Pada 2 orang pasien dengan nyeri tulang setelah menjalani transplantasi ginjal, edema dan avascular necrosis jaringan tulang terlihat menggunakan MRI (Pilmore dkk., 1998).
Penyakit sel Sickle, sebuah gangguan genetik, adalah jamak terjadi pada beberapa wilayah orang Afrika (Berde dan Shapiro, 1995). Ini disebabkan oleh satu perubahan bentuk sel darah merah, Sel-sel ini kurang dapat berubah yang menghambat laju perjalanannya lewat pembuluh darah kecil. Endapan sel-sel darah merah yang terjadi dalam pembuluh darah kemudian seringkali menyebabkan iskemi atau infarksi. Episod vaso-oklusif seperti itu dimanifestasikan sebagai "krisis" atau "episod nyeri" (Dickerhoff dan von Ruecker, 1995). Lokasi nyeri yang sama dan infark tulang yang caisson-induced menyarankan bahwa infark mungkin memainkan satu peran dalam menghasilkan nyeri tulang (Horvath, 1978). Lebih lanjut, iskemi sumsum tulang fokal telah juga menyarankan sebagai penyebab dari nyeri tungkai bawah pada pasien dengan penyakit sumsum displastik dan proliferatif (Vande Berg dkk., 1993).

Kondisi tulang tanpa nyeri

Fakta bahwa beberapa metastasis tulang dari kanker menyebabkan nyeri namun yang lainnya tidak demikian (Walley dan Hager, 1995) menyarankan bahwa produksi lokal agen-agen pemodulasi-nyeri mungkin bertanggung jawab bagi analgesia pada beberapa kasus. Menurut Ethassan dkk. (1998), produksi opioid dalam jaringan tulang adalah terlibat dalam pengontrolan pembentukan tulang dan dalam nosisepsi. Rosen dan Bar-Shavit (1994) dan Rosen dkk. (1998) menemukan bahwa sel-sel osteoblastik berkemampuan menyintesis proenkephalin m-RNA. Jadi, enkephalin juga terbentuk dalam tulang. Menurut semua peneliti ini, opioid terlibat dalam perkembangan dan remodeling tulang dan produksinya diinisiasi saat pertumbuhan cepat dibutuhkan, seperti mislanya perbaikan patah tulang. Menurut Stein (1995), efek antinosiseptif opioid lebih jelas pada jaringan terinflamasi, sebagiannya karena lebih mudahnya akses ke reseptor opioid perifer setelah disrupsi perineurium selama berlangsungnya sebuah inflamasi. Tambahan pula, satu subpopulasi sel imun dalam nodus limfatik - misalnya, memory CD4+ T-cells-produce B-endorphins, yang mungkin mengontrol nyeri pada lokasi inflamasi (Sharp dan Yaksh, 1997).

Simpulan

Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk meringkas data klinik pada nyeri yang disebabkan oleh bermacam proses penyakit dalm tulang dan untuk mengintegrasikan data itu dengan temuan eksperimental dari mekanisme patofisiologi yang relevan. Inflamasi kelihatannya memainkan peran penting dalam nosisepsi tulang. Beberapa data mengindikasikan bahwa mediator inflamasi menyebabkan hiperalgesia dalam tulang, sebagaimana dalam banyak jaringn lainnya. Nyeri pada tumor tulang primer, pada lesi metastatik litik dan pada penyakit dari Paget sebagiannya dikarenakan oleh respon imun namun ia tidaklah jelas apakah ini semata-mata oleh pelepasan substansi yang merangsang nosiseptor secara langsung, ataukah lewat sebuah inflamasi yang terinisiasi dan kemudian terjadinya hiperalgesia. Pada beberapa kondisi patologis tulang, nyeri menyertai patah tulang. Namun, komponen inflamasi dari fase dini penyembuhan patah tulang dan hiperalgesia yang terjadi kemungkinan penting untuk nosisepsi. Sebuah perubahan tingkat sedang dalam tekanan intraoseous kelihatan menginduksi nyeri tulang. Sebuah peningkatan tekanan yang persisten menurunkan aliran darah dan mengeblok syaraf, menyebabkan anestesia. Ketika tekanan intraoseous melebihi level tertentu, cairan dalam tulang memasuki ruang subperiosteal dan menginduksi satu reaksi periosteal yang nyeri. Pada beberapa kondisi, nyeri tulang kelihatannya disebabkan oleh infark dan iskemi. Pada yang lainnya, kelihatannya dikaitkan dengan sebuah peningkatan dalam aliran darah intraoseous. Mekanisme yang mendasari nyeri tulang yang disebabkan oleh perubahan dalam pasokan darah tidaklah jelas. Temuan klinik bahwa hanya beberapa lesi tulang menyebabkan nyeri dapat, sedikitnya sebagian, dijelaskan dengan satu mekanisme opioid pada jaringn tulang yang terjangkiti.