Sabtu, 31 Desember 2011

Regenerasi Tulang: Interaksi Molekuler dan Seluler dengan Keramik Kalsium Fosfat

Abstrak

Biokeramik kalsium fosfat secara luas digunakan dalam berbagai aplikasi orthopedi dan gigi dan porous scaffolds made mereka merupakan kandidat serius dalam wilayah perekayasaan jaringan tulang. Mereka memiliki sifat-sifat unggul bagi penyetimulasian pembentukan tulang dan penyatuan tulang, keduanya dikaitkan dengan berbagai interaksi spesifik dari permukaan mereka dengan cairan dan sl ekstraseluler, mis., berbagai perubahan ionik, pengaturan ulang molekuler superfisial dan aktifitas seluler.

Kata kunci: kalsium fosfat, biomaterial, rekayasa jaringan, sel osteoprogenitor, osteokonduksi, osteoinduksi

Pendahuluan

Biokeramik kalsium fosfat memiliki sebuah karakteristik unik untuk substitusi tulang dibandingkan dengan biomaterial lainnya. Mereka memiliki kemiripan komposisi dengan mineral tulang dalam hal mereka menginduksi satu respon biologis yang sama dengan apa yang terbangkitkan sewaktu remodeling tulang terjadi. Remodeling atau pembaruan tulang terdiri dari penyerapan mineral tulang tua disandingkan dengan pembentukan tulang baru. Sewaktu penyerapan, produk-produk degradasi dari biokeramik kalsium fosfat (ion-ion kalsium dan fosfat) secara alami dimetabolisasi dan mereka tidaklah menginduksi level-level kalsium atau fosfat taknormal  dalam urin, serum, atau organ (hati, kulit, otak, jantung, ginjal, paru, dan usus halus) (den Hollander dkk 1991). Biomaterial kalsium fosfat secara berhasil digunakan dalam pembedahan kranio-maksilofasial, gigi, dan orthopedi. Mereka berasal dari sintetik (didapat setelah aqueous precipitation atau setelah sintering) atau berasal alami (kering-beku atau tulang tersimpan pada bank tulang dan yang berasal dari hidroksiapatit koral), dan mereka digunakan sebagi filler tulang dalam bentuk semen atau granul. Karena mereka tidak dapat menggantikan seperti fungsi tulang sebagai penopangan-beban akibat dari sifat-sifat mekanik mereka yang rendah, mereka juga dengan berhasil digunakan sebagai selimutan (coatings) pada implan-implan panggul dan gigi metalik di klinik (Epinette dan Manley 2004). Biomaterial kalsium fosfat alam berpori telah dipilih sebagai kandidat scaffold relevan dalam perekayasaan jaringan tulang (Kruyt dkk 2004; Arinzeh dkk 2005). Teknisnya, banyak prosedur telah dikembangkan untuk merangkai the scaffolds, seperti misalnya rapid prototyping (Wilson dkk 2004), phase mixing (Li dkk 2002), penggunaan agen-agen porogenik (Barralet dkk 2002), atau shape replication (Tancred dkk 1998). Tambahannya, melalui penyeleksin dan/atau pengobinasian fase-fase kalsium fosfat, seseorang dapat merangkai kinetika penyerapan (resorption kinetics), dan juga efek penyetimulasian mereka pada pembentukan tulang (Dhert dkk 1991; Dhert dkk 1993; Barrere dkk 2003a; Rahbek dkk 2004; Habibovic dkk 2005b; Schopper dkk 2005).
Tinjauan ini menekankan pada interaksi molekuler dan seluler yang terjadi pada permukaan kalsium fofat dan menghubungkan mereka dengan kerelevansiannya dalam regenerasi tulang.

Tulang

Tulang merupakan komponen dari sistim skelet yang dilibatkan dalam perlindungan, penyokongan, dan gerakan tubuh. Tulang merupakan sebuah lokasi perlindungan dan penghasilan dari jaringan khusus seperti misalnya sistim pembentukan-darah, mis., sumsum tulang. Jantung, paru, dan organ-organ dan struktur-struktur lainnya dalam dada dilindungi oleh tulang yang membentuk sangkar rusuk. Fungsi dari organ-organ ini meliputi gerakan, ekspansi, dan kontraksi memerlukan fleksibilitas dan elastisitas dari perlindungan sangkar rusuk. Tulang menyokong secara struktural aksi mekanik jaringan lunak, seperti kontraksi otot-otot atau ekspansi paru. Akhirnya, ia adalah sebuah gudang penyimpanan mineral, di mana sistim endokrin mengatur level ion kalsium dan fosfat di dalam cairan tubuh yang bersirkulasi.

Struktur tulang
Struktur makro- dan mikroskopik tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik, metabolik, dan mekanik. Semua faktor intrinsik ini merupakan penyebab utama dari diversitas makrostruktural tulang. Sebagai contoh, tulang dengan permukaan luas, berupa plat mendatar, seperti skapula, merupakan tempat terpancangnya masa otot besar, pada mana tulang berbentuk pipa berlobang dan berdinding tebal, seperti femur atau radius, menyokong berat beban. Semua tulang terdiri dari sebuah struktur ganda dasar, yang kepentingan dari padanya bervariasi sesuai dengan fungsinya. Satu lapisan eksterna, atau korteks, menyelimuti tulang; ia adalah halus, padat, dan kontinyu. Dalam interior, tulang kanselus terrangkai dalam sebuah jejaring dari plat dan spikula saling berpotongan bervariasi dalam besarannya dan menutupi ruang-ruang. Semua kavitas ini terisi dengan pembuluh darah dan sumsum, baik yang berwarna merah adalah hematopoietik, ataupun kuning adalah adipos, karakternya bervariasi dengan usia dan lokasi.
Secara mikroskopis, tulang merupakan sebuah bentuk jaringan ikat yang sangat kompleks dan khusus. Ia merupakan sebuah jaringan termineralisasi, yang berkomposisikan sebuah matriks organik diperkuat oleh deposit dari kristal kalsium fosfat; dengan kata lain, tulang merupakan sebuah material komposit alami. Matriks organik berkomposisikan serat kolagen tipe I (mendekati 95%) dan proteoglikan dan berbagai protein non-kolagen (5%). Matriks organik ini, terkalsifikasi oleh mineral kalsium fostat, menanamkan sel-sel tulang, yang mana berpartisipasi dalam mempertahankan dan mengorganisasi tulang, disebut sel-sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit, dan osteoklas.

Sifat-sifat mekanik tulang
Persatuan yang kuat campuran dari komponen-komponen anorganik keras dengan organik menghasilkan sifat-sifat mekanik yang sempurna. Sebagai contoh, spesimen tulang kompak diketahui memiliki tensile strength 700 hingga 1400 kg/cm2, dan compressive strength dalam rentangan 1400 hingga 2100 kg/cm2. Nilai-nilai ini adalah di dalam besaran yang sama seperti untuk aluminium atau baja ringan, namun tulang adalah lebih ringan banyak. Daya kekuatan tulang yang besar terujud terutama sepanjang aksisnya dan karenanya secara kasarnya sejajar dengan aksis serat kolagen maupun dengan aksis panjang kristal mineral. Walaupun kelihatannya kaku, tulang memerlihatkan sebuah derajat elastisitas yang besar, yang mana adalah penting dalam kemampuan kerangka untuk menahan benturan. Perkiraan modulus elastisitas contoh-contoh tulang adalah dari urutan 420 hingga 700 kg/cm2, nilai-nilai yang sangat jauh lebih rendah dibandingkan dengan baja untuk contoh mengindikasikan elastisitas tulang yang jauh lebih besar.

Pembaruan tulang
Tulang adalah sebuah jaringan dinamik. Dalam tahun pertama kehidupan, laju turnover dari skelet mendekati 100% per tahun. Laju kecepatan ini menurun hingga sekitar 10% per tahun dalam usia akhir masa kanak-kanak, dan kemudian biasanya berlanjut sedikitnya seperti laju ini atau lebih lambat sepanjang usia, hingga seratus tahun. Setelah penyempurnaan pertumbuhan tulang, bone turnover adalah terutama dari hasil remodeling: sebuah siklus terkoordinasi dari penyerapan dan pembentukan jaringan pada regio ekstensif tulang dan periode yang lama. Sepanjang usia remodeling fisiologis, pembuangan, dan penggantian tulang, pada lokasi yang sama secara kasar, terjadi tanpa memengaruhi bentuk atau densitas tulang, melewati serangkaian kejadian yang meliputi (i) aktifasi osteoklas, (ii) penyerapan tulang, (iii) aktifasi osteoblas, (iv) pembentukan tulang baru pada lokasi penyerapan (Buckwalter et al 1996). Karena sifat remodeling ini, berbagai defek dan fraktur dengan mudah diperbaiki hingga ke ukurannya yang disebut defek kritis (critical defects), didefinisikan sebagai defek dengan ukuran yang akan tidak sembuh selama masa hidup khewan (Schmitz and Hollinger 1986). Untuk defek yang lebih besar, intervensi manusia diperlukan dalam rangka membantu atau merangsang penyembuhan.

Mineral tulang
Mineral tulang, atau enamel (apatit biologis) memiliki struktur dekat dengan sebuah struktur apatitik kalsium fosfat terkarbonasi tipe AB lebih atau kurang defisien (more or less deficient), yang dapat diwakilkan sementara dengan rumus (Rey 1990),

 
 
Namun, apatit mineral tulang mengandung kelompok karbonat dan fosfat non-apatitik, yang mana, secara struktural dan fisik, tak stabil dan sangat reaktif. Reaktifitas tinggi ini menyediakan fitur fisikokimia, biologis, fungsional dan kimia tertentu yang penting dalam pembentukan dan disolusi dari kristal dalam jaringan biologis. Terlebih, tulang mengandung elemen-elemen minor dan trace, yang tidak diindikasikan dalam rumusan di atas dan yang sulit untuk dipertalikan baik dengan fase mineral ataupun dengan matriks organik (Rey 1990). Di dalam tulang dan jaringan termineralisasi lainnya, kristal mineral dibentuk dari plat tipis berbentuk tidak teratur. Ukurannya berrentang dalam panjang dari 20 Å untuk partikel yang paling kecil, hingga 1100 Å untuk partikel terbesar (Moradianoldak et al 1991; Kim et al 1995) Semua kristal tulang ini memapar sebuah permukaan sangat luas dengan cairan ekstraseluler, yang adalah sangat penting bagi pertukaran ion cepat dengan cairan ini.
Mineral tulang memulai nukleasi (nucleate) ke dalam lobang dan pori yang hadir dalam serat-serat kolagen (Glimcher 1987). Nukleasi heterogenus ini dikatalisis oleh keberadaan kelompok ester terfosfatkan (phosphated esters groups) (Glimcher dkk 1984) dan kelompok karboksilat (Rhee dkk 2000) yang terdapat dalam serat-serat kolagen. Setelahnya, pertumbuhan, atau mineralisasi, berlangsung sepanjang serat-serat kolagen, alhasil menghubung-hubungkan keseluruhan serat-serat kolagen.
Berlangsungnya fase mineral utama yang terbentuk mendahului apatit mineral tulang dewasa masih dalam perdebatan. Menurut Posner, apatit mineral tulang berasal dari klaster kalsium fosfast (Ca9(PO4)6) yang terpaket secara acak dengan air antarmuka untuk membentuk prekursor kalsium fosfat amorf (Poner 1985). Teori ini didukung oleh keberadaan beberapa penghambat pertumbuhan kalsium fosfat seperti misalnya magnesium yang menyetabilisasi keadaan amorf. Namun, fase-fase dicalcium phosphate (DCPD) (Grynpas dkk 1984; Roberts dkk 1992) dan octacalcium phosphate (OCP) telah juga diajukan sebagai prekursor mineral tulang karena persamaan parsiilnya, khususnya di antara apatit dan OCP (Brown dkk 1987). DCDP dan OCP secara kinetik lebih disuka untuk dibandingkan dengan fase-fase apatitik, mendukung peranan mereka sebagai prekursor dalam pembentukan apatit tulang (Nancollas dan Wu 2000). Namun, Kuhn dkk (2000) telah memerlihatkan bahwa fase apatitik kelihatannya menjadi yang  sangat dominan dibandingkan dengan kemungkinan fase-fase transien lainnya bahkan pada saat stadium-stadium paling awal mineralisasi.

Kalsium fosfat yang relevan secara biologis

Klasium fosfat sintetik
Kalsium fosfat, atau lebih tepatnya calcium orthophosphate, merupakan garam dari orthophosphoric acid (H3PO4), dan dus dapat membentuk senyawsa yang mengandung atau .
Garam kalsium fosfat merupakan sebuah kelompok yang luas senyawa-senyawa (Elliot 1994). Tabel 1 meringkas nama kimia, formula, singkatan, dan perbandingan kalsium terhadap fosfor (Ca/P) dari beberapa senyawa kalsium fosfat. Garam kalsium fosfat bervariasi oleh komposisi dan struktur kristal mereka, mengawali kepada sifat-sifat fisikokimia spesifik.

Tabel 1
Biologi utama berbagai garam kalsium fosfat relevan

 Apatit
Hidroksiapatit (HA) stoikhiometrik adalah anggota dari kelompok apatitik umum dan luas, diwakilkan oleh formula:
Di mana Me adalah merupakan metal divalen (Ca2+, Sr2+, Ba2+, Pb2+ …), XO4 adalah sebuah anion trivalen , dan Y adalah sebuah anion monovalen (F Cl, Br, I, OH…). Struktur kristal apatitik biasanya memiliki sebuah kisi heksagonal, memiliki kemapuan kuat membentuk cairan solid, dan menerima sejmlah substitusi.
Struktur apatit biologis, disebut mineral tulang, dentin, atau enamel gigi, adalah jauh berbeda dari HA stoikhiometrik karena oleh banyaknya substitusi (i) oleh hydrogenophosphate dari kelompok XO4 dan (ii) oleh carbonate dari kelompok Y2 dan XO4. Tambahannya, Rey (1990) memerlihatkan bahwa apatit-apatit mineral tulang mengandung kelompok-kelompok karbonat dan fosfat non-apatitik, yang mana, secara struktur dan fisik, tak stabil dan sangat reaktif (Rey 1990). Rektifitas tinggi ini menyediakan fitur-fitur fisikokimia, biologis, fungsional, dan kimia tertentu yang penting dalam pembentukan dan disolusi kristal dalam jaringan biologis. Substitusi memengaruhi parameter apatitic lattice: ukuran kristal dikurangi, dan dengan demikian area permukaan ditingkatkan dibandingkan dengan HA stoikiometrik (Legeros 1991). Apatit-apatit biologis mengandung bermacam trace elements dari asal intrinsik, sebagai contoh, florid hadir dalam apatit gigi dan menganugrahkan email gigi daya disolusi rendahnya untuk menahan serangan asam; atau dari asal ekstrinsik, sebagai contoh, polusi air merupakan sebuah asupan langsung trace elements bagi tulang akibat dari kapasitas penerimaannya yang tinggi (Cazalbou dkk 2004). Tambahannya, semua trace elements ini hadir dalam cairan ekstraseluler dan dalam apatit tulang mungkin memiliki sebuah peran spesifik pada kualitas tulang dan kesehatan. Tabel 2 menghadirkan trace elements yang dikenal memiliki suatu efek pada tulang.

Tabel 2
Penyeleksian dari beberapa trace elements yang memiliki satu efek pada tulang seperti atau pada biomaterial kalsium fosfat

Biomaterial berbasis-HA hingga saat ini telah menjadi material paling banyak digunakan dalam substitusi tulang modern (Epinette dan Manley 2004). Secara klinik, biomaterial apatitik secara luas digunakan dalam bentuk sintered macroporous granules, semen dalam berbagai aplikasi yang non-load-bearing, dan dalam bentuk atau selimutan pada berbagai prothese metalik. Lebih terkini, biomaterial apatit terkarbonasi telah dikembangkan sebagaimana karakteristik komposisi dan struktur mereka yang mendekati apa yang terdapat pada mineral tulang. Tapi superioritas mereka dibandingkan dengan apatit murni belumlah terbukti

Trikalsium fosfat
Dua fase berbeda major dari kristal anhydrous tricalcium phosphate (TCP) memerlihatkan: fase-fase α-TCP dan β-TCP. α-TCP berkristalisasi dalam kelompok monoclinic space, dan β-TCP berkristalisasi dalam kelompok rhombohedral space. Di samping persaman komposisi kimia mereka, fitur-fitur kristalografik berbeda mereka menganugerahkan fitur-fitur resorpsi berbeda: α-TCP lebih mudah larut dibandingkan dengan β-TCP dan ini diperoleh setelah memanaskan β-TCP hingga ke lebih dari 1170°C. Secara klinis, α-TCP merupakan sebuah reagen major dalam komposisi semen sebagaimana mereka berhidrolisa menjadi struktur-struktur apatitik, tapi ia juga solid di bawah bentuk bubuk, blok, atau granul, seperti β-TCP. Dalam berbagai studi pra-klinik, selimutan TCP pada prosthese panggul telah dibandingkan dengan selimutan HA bagi pembentukan tulang dan fiksasi tulang (Dhert dkk 1991, 1993).

Dikalsium fosfat dihidrat
Kristal-kristal DCPD (CaHPO4.2H2O) adalah monoklinik. Terdapat empat formula per unit sel dengan sebuah unit asimetrik CaHPO4.2H2O. Kristal DCPD merupakan satu dari garam kalsium fosfat yang paling mudah larut, dan yang paling stabil pada pH=5.0. Mereka dapat berupa produk akhir dari brushite calcium phosphate cement. Namun, dalam aplikasi klinis, kristal DCPD digunakan sebagai sebuah komponen awal bagi semen tulang.

Octakalsium fosfat
Kristal octacalcium phosphate (OCP, Ca8H2(PO4)6.5H2O) adalah triklinik dan mereka terdiri dari selang-seling antara (alternating) “apatite layers” (rangkaian kelompok kalsium dan fosfat yang sama dengan pada apatit) dengan “hydrated layers”. Kedua lapisan ini terhubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan Van der Walls dan hidrogen. OCP seringkali terjadi sebagai sebuah transient intermediate dalam presipitasi dari HA yang lebih stabil secara thermodinamik dan dalam apatit-apatit biologis. Hubungan dekat di antara OCP dengan HA telah digunakan untuk menjelaskan penggabungan (lewat hidrolisis) dari kotoran, khususnya ion karbonat, magnesium, dan sodium, dan dengan demikian the non-stoichiometry of precipitated apatites (Legeros 1991). OCP adalah biokompatibel, dapat diserap, dan osteokonduktif dalam bentuk bubuk padat atau dalam bentuk pelapisan biomimetik (Barrere dkk 1999, 2003a; Sasano dkk 1999). Dalam otot kambing, material berpori berlapis-OCP biomimetik dijumpai menjadi osteokonduktif (Barrere dkk 2003a). Namun, semua material ini belumlah digunakan secara klinis.

Kalsium fosfat amorf
Kalsium fosfat amorf bervsariasi luas dalam komposisi karena adanya kemungkinan insersi dari banyak ion sekunder. Mereka dikarakterisasi dengan benturan difraksi sinar-x yang luas, dan dengan pita-pita PO4 komponen-tunggal infra merah. Unit struktur dasar dari kalsium fosfat amorf adalah sebuah klaster ion terdiri dari Ca9(PO4)6 terpaket dengan air antar muka untuk membentuk entitas yang lebih besar. Kalsium fosfat amorf merupakan garam kalsium fosfat yang paling mudah larut; mereka digunakan sebagai komponen awal dari beberapa semen.

Kalsium fosfat bifasik
Klasium fosfat bifasik (BCP) merupakan sebuah campuran dari dua fase kalsium fosfat berbeda: HA yang berdaya larut cukup dan trikalsium fosfat yang berdaya larut tinggi pada perbandingan berbeda. BCPs didapat dengan sintering apatit-apatit difisien (Ca10-xMx(PO4)6-y(HPO4)y(OH)2, Ca/P<1.67) pada atau di atas 700°C mengikuti reaksi berikut (Legaros dkk 2003):


Kobinasi kedua fase kalsium fosfat berbeda ini dengan kelarutan berbeda dalam sebuah biomaterial memungkinkan kinetika degradasinya untuk disetel in vitro dan in vivo. Secara klinis, BCP digunakan sebagai bone fillers.

Stabilitas kalsium fosfat

Stabilitas thermal
Disampaikan di sini sebuah ringkasan mengenai tingkah laku transformasi thermal, yang secara ekstensif dikembangkan oleh Elliot (Elliot 1994).
TCP dan HA adalah satu-satunya garam kalsium fosfat yang sepenuhnya stabil hingga 1000°C. Untuk TCP, hingga 1125°C, β-TCP adalah fase yang paling stabil, di mana di atas ini dan hingga 1430°C fase α-TCP adalah yang paling stabil. Untuk HA stoikhiometrik, di atas 1000°C, beberapa kelompok hidroksil mungkin berkondensasi untuk menghasilkan air mengikuti reaksi berikut:


DCPD, OCP, karbonat, dan/atau apatit defisien adalah menjadi sasaran transformasi thermal:
Fase-fase berkandungan-air seperti misalnya DCPD atau dehidrat OCP pada suhu mendekati 180°C. Fase-fase kalsium fosfat berkandungan HPO4 seperti misalnya apatit difisien, OCP atau DCPD memungkinkan satu kondensasi yang menghasilkan pembentukan ion pirofosfat  pada suhu mendekati 300°C mengikuti reaksi:

  
Bergantung pada mode substitusi, perlakuan thermal dari apatit terkarbonasi dapat mengawali ke pada pelepasan gas CO2 dengan pengaturan ulang ikutannya.
Sebagai sebuah hasil dari perlakuan thermal apatit terkarbonasi dan/atau apatit defisien, OCP, dan DCPD akan berubah bentuk menjadi sebuah campuran dari sub-products: pirofosfat, HA, dan TCP.

Stabilitas dalam sistim fisiologis
Pembentukan, disolusi, dan transformasi kalsium fosfat adalah bergantung pada sifat-sifat dari wujud kalsium fosfat (ukuran partikel, fitur kristalografik, densitas) dan sifat dari cairan (komposisi, pH, suhu).
Kebanyakan kalsium fosfat adalah berdaya larut cukup dalam air, dan beberapa adalah sangat tak larut, namun seluruhnya larut dalam asam. Kelarutan mereka, didefinisikan sebagai jumlah zat terlarut yang terkandung dalam sebuah cairan tersaturasi ketika partikel-partikel dari zat terlarut adalah secara terus-menerus berlarut sementara partikel-partikel lainnya kembali ke fase zat terlarut padat (bertumbuh) pada laju kecepatan yang benar-benar sama (Wu dan Nancollas 1998), menurun dengan meningkatnya suhu dan pH (de Groot 1983).
Setiap fase kalsium fosfat memiliki kelarutan thermodinamiknya sendiri-sendiri. Sebagai contoh pada pH=7 dan 37°C, HA adalah dalam fase paling stabil, diikuti oleh TCP, OCP, dan akhirnya DCPD. Namun, semua pertimbangan thermodinamikal ini adalah di bawah kondisi setimbang, dan dengan demikian mereka tidaklah memperhitungkan kinetika yang menentukan pembentukan dari satu atau fase yang lainnya di bawah kondisi dinamik.
Faktor penting kedua dalam kestabilan kalsium fosfat adalah karakteristik dari cairan di dalam mana semua garam ini dibentuk atau diletakkan, disebut cairan jenuh dalam ion-ion kalsium dan fosfat bebas (Tang dkk 2001). Pada pH dan suhu yang diberikan, suatu cairan yang berkandungan bebas ion kalsium dan fosfat dapat di kategorisasikan menjadi tiga keadaan berbeda: (i) zona stabil (tak jenuh), di mana kristalisasi adalah tidak mungkin, (ii) zona metastabil (jenuh), di mana kristalisasi spontan dari garam kalsium dan fosfat adalah mustahil, walau konsentrasinya adalah lebih tinggi dibandingkan dengan yang sama dengan kelarutan garam. Bila sebuah benih kristal diletakkan dalam suatu cairan metastabil, pertumbuhan akan terjadi pada benih; (iii) zona takstabil atau labil (jenuh), di mana kristalisasi spontan kalsium fosfat adalah mungkin, tapi tidak tak terelakkan (Mullin 1993).
Cairan ekstraseluler yang jenuh untuk kalsium dan fosfat dapat menginduksi nukleasi dan pertumbuhan kristal kalsium fosfat baru.

Lingkungan biologis

In vivo, interaksi di antara implan dengan “lingkungan biologis” nya adalah sangatlah kompleks akibat dari kondisi tidak-seimbang dan akibat dari banyaknya senyawa yang tidak tertentukan yang memainkan peran di dalam semua interaksi ini. Dhert dkk (1998) menekankan kinetika dari kejadian awal berlangsung di dalam bulan pertama pada antar muka di antara implan berselubung-kalsium fosfat dalam sebuah press fit model, mis., implan dengan dimensi defeknya adalah sama, mengimplikasikan sebuah kontak maksimal di antara jaringan tulang inang dengan biomaterial. Dengan mengabaikan sifat-sifat biomaterial, lingkungan biologis berkembang dengan berjalannya waktu. Dalam hari ke tiga, darah akan sudah menginvasi keseluruhan ruang-ruang kosong di antara tulang asli dengan implan. Setelah itu, pada akhir minggu pertama pengimplantasian, kalus dan jaringan mesenkhimal akan mengganti keseluruhan darah sementara resorpsi tulang inang dimulai. Akhirnya, di antara minggu kedua dengan keempat pengimplantasian, kalus, jaringan mesenkhimal, dan tulang inang akan telah menghilang secara bertahap mendukung terbentuknya tulang baru sementara remodeling tulang mengambil alih (Dhert dkk 1998). Singkatnya, komponen dari cairan biologis dan sel akan berinteraksi dengan biomaterial. Sifat-sifat biomaterial dapat memengaruhi interaksi molekuler dan seluler pada permukaannya dan dengan konsekuensi dapat memengaruhi proses pembentukan tulang.

Komponen molekuler

Tubuh manusia dapat dibagi menjadi dua kompartemen cair major: 2/3 nya adalah cairan intraseluler di dalam sel, dan 1/3 nya adalah cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi kompartemen yang lebih kecil yang dibedakah oleh lokasi yang berbeda dan dengan karakteristik kinetik yang berbeda: (i) cairan interstisiil terletak di dalam celah dari seluruh jaringan tubuh yang memandikan seluruh sel dalam tubuh dan menghubungkan di antara cairan interseluler dengan kompartemen intravaskuler. Oksigen, makanan, sampah, dan pesan-pesan kimia kesemuanya lewat melalui cairan interstisiil; (ii) plasma merupakan kompartemen cairan major satu-satunya yang keberadaannya sebagai sebuah koleksi cairan nyata kesemua dalam sebuah lokasi. Ia berbeda dari cairan interstisiil dalam hal isi proteinnya yang jauh lebih tinggi dan dalam hal tingginya jumlah aliran yang beredar banyak (fungsi transpor). Plasma adalah cair pada mana sel-sel darah merah dan sel darah putih digantungkan. Air pada plasma adalah dengan bebas dapat ditukarkan dengan yang ada dalam sel-sel tubuh dan dengan cairan ekstraseluler lainnya dan ia tersedia untuk memertahankan keadaan hidrasi normal dari keseluruhan jaringan; (iii) cairan transeluler adalah sebuah kompartemen kecil yang mewakili keseluruhan dari cairan tubuh yang terbentuk dari aktifitas transpor sel-sel; (iv) tulang dan jaringan ikat padat mewakili 15% dari air tubuh (intraseluler:ekstraseluler, 55:45). Air ini dimobilisasi jauh lebih lambat dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya dari cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler adalah terdiri dari molekul-molekul yang larut dalam air: bahan-bahan organik (berbagai gula asam amino, koenzim asam lemak, vitamin, hormon, neurotransmiter) dan anorganik (kalsium, fosfat, kalium, karbonat, sulfat, magnesium, khlorida, natrium, tembaga, seng) juga produk-produk sampah dari metabolisme seluler.

Komponen seluler

Ketika pembentukan tulang berlangsung dalam suatu organisme selama perkembangan embryonic, remodeling pertumbuhan , dan penyembuhan fraktur, dan setelah implantasi ektopik dari berbagai matriks osteoinduktif, suatu sebuah penyimpanan besar dari sel-sel dalam tubuh berkemampuan osteogenesis di sepanjang hidup organisme yang bersangkutan (Aubin 2001). Walaupun biomaterial dikenakan dengan sejumlah interaksi seluler dari beragam asal, di sini akan meninjau hanya sel-sel yang paling terkait secara langsung dengan pembentukan tulang dan regenerasi.

Osteoblas
Osteoblas berasal dari sel-sel punca mesenkhimal pluripoten yang memiliki kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi bermacam garis turunan. Osteoblas dewasa adalah tidak bergerak/beredar (non-migratory), merupakan sel yang sangat terdiferensiasi yang dapat berbeda secara substansiil di dalam sifat-sifatnya bergantung dari stadium perkembangan mereka. Fungsi dan fenotip mereka bermacam-macam dan empat kategori sel dapat di jelaskan sbb. Pertama-tama, osteoblas aktif berbentuk kuboid, mononuklear, dan mereka kaya akan aktifitas fosfatase akali. Mereka menyintesis dan menyekresi tipe I kolagen dan glikoprotein (osteopontin, osteokalsin), sitokin, dan faktor pertumbuhan ke dalam sebuah wilayah matriks tak termineralisasi (osteoid) di antara sel dengan matriks termineralisasi (Kartsogiannis dan Ng 2004). Osteoblas memroduksi juga mineral kalsium fosfat ekstra- dan intraseluler di dalam vesikel (Annaz dkk 2004b). Kedua, osteosit merupakan osteoblas dewasa yang menjadi terkungkung di dalam matriks tulang dan bertanggung jawab bagi pemeliharaannya. Ketiga, sel-sel bone-lining dijumpai sepanjang permukaan tulang yang tidak menjalani pembentukan tulang tidak juga penyerapan tulang. Akhirnya, osteoblas tak aktif adalah sel memanjang, tak dapat dibedakan secara morfologis dari sel-sel bone-lining.

Osteoklas
Osteoklas berasal dari sel-sel punca hematopoietik yang berdiferensiasi sepanjang garis turunan monosit-makrofag. Mereka bertanggung jawab bagi penyerapan tulang melalui pengasaman mineral tulang mengawali ke pada disolusinya dan melalui degradasi enzimatik dari matriks tulang ekstraseluler terdemineralisasi. Osteoklas dewasa merupakan sebuah sel terpolarisasi secara fungsional yang berikatan lewat kutub apikalnya dengan matriks tulang termineralisasi melalui pembentukan sebuah tight ring-like zone of adhesion, the sealing zone. Ikatan ini menyangkut interaksi spesifik di antara membran sel dengan beberapa protein matriks tulang lewat integrin (protein pengadhesian transmembran memerantarai interaksi-interaksi sel - substratum dan sel – sel). Dalam kompartemen penyerapan, bertempat di bawah sel dan dibatasi oleh the sealing zone, osteoklas membangkitkan sebuah lingkungan pengasaman mengakibatkan disolusi dari mineral tulang. Pengasaman osteoklastik ini diperantarai oleh aksi karbonat anhidrase yang memroduksi karbon dioksida, air, dan proton yang dikeluarkan melintasi membran sel ke dalam kompartemen penyerapan (Kartsogiannis dan Ng 2004).

Sel punca mesenkhim dan sel osteoprogenitor
Sel-sel punca mesenkhim dewasa dapat diiolasikan dari sumsum tulang, jaringan lemak, atau membran amniotik. Sel-sel punca mesenkhimal, oleh definisinya, berkapasitas pembaharuan diri dan mampu memopulasi ulang seluruh garis turunan diferensiasi yang tepat. Mereka adalah sel-sel multipoten yang dapat berdiferensiasi menjadi garis turunan osteoblastik, myoblastik, adipositik, khondrositik, endothelial, dan neurogenik melalui serangkaian diferensiasi langkah berganda sebagai berikut: proliferasi, commitment, progresi garis turunan, pendewasaan, dan diferensiasi. Untuk garis turunan osteogenik, sel-sel punca mesenkhimal menyokong sebuah kaskade langkah-langkah diferensiasi sebagaimana dijelaskan oleh rangkaian berikut: sel punca mesenkhimal à osteoprogenitor imatur à osteoprogenitor matur à praosteoblas à osteoblast matur à osteosit atau lining cells atau apoptosis. Semakin akhir stadium diferensiasi, maka semakin rendah kemampuan pembaharuan diri sel dan kapasitas peroliferasinya (Aubin 2001). Dalam sumsum tulang, sel-sel osteoprogenitor menunjukkan sebuah persentase sangat kecil ( eg <0.005%) dari tipe-tipe sel berinti dalam tulang dewasa sehat (Block 2005). Sel punca embryonik juga merupakan sebuah sumber potensiil dikarenakan oleh pluripotensialitas mereka dan dengan demikian kemampuan mereka untuk berdiferensiasi menjadi garis turunan osteogenik. Diferensiasi sel punca-osteoprogenitor dikontrol oleh “osteogenic mastergene” Cbfa1/Osf2 yang merintangi dalam mineralisasi tulang skelet dan gigi (Sodek dan Cheifetz 2001). Sel-sel osteoprogenitor yang menjalani diferensiasi mengekspres banyak makromolekul matriks tulang, disebut alkalin fosfatase, tipe I kolagen, Cbfa1, sialoprotein tulang, osteokalsin, dan osteopontin (Sodek dan Cheifetz 2001).

Kejadian biologis pada substrat kalsium fosfat

Pertukaran ionik pada permukaan kalsium fosfat
Secara fisiko-kimia, permukaan kalsium fosfat menyokong kaskade disolusi-represipitasi sebagai hasil dari pertukaran pada sebuah antar muka padat – cair dalam kondisi-kondisi jenuh. Dalam sistim biologis, fenomena fisiko-kimia ini merupakan hasil dari sebuah proses dinamik multi-komponen menyangkutkan berbagai ion dan protein.
Dalam hal reaktifitas permukaan, transfer ionik terjadi dari fase padat ke fase berair encer lewat hidrasi permukaan dari kalsium, berbagai spesies fosfat anorganik, dan berbagai limbah yang mungkin seperti karbonat, fluorid, atau khlorida hadir dalam biomaterial. Di bawah kondisi fisiologis, proses disolusi ini adalah sangat bergantung pada sifat-sifat substrat kalsium fosfat (Okazaki dkk1982; Dhert dkk 1993; Ducheyne dkk 1993; Radin dan Ducheyne 1993; Christoffersen dkk 1997; Doi dkk 1999; Barrere dkk 2003b), dan pada komposisi dan kejenuhan dari lingkungan in vitro (Hyakuna dkk 1990; Raynaud dkk 1998; Tang dkk 2001), atau lokasi pengimplatasian in vitro (Daculsi dkk 1990; Barralet dkk 2000). Transfer ionik juga terjadi dari cairan sekitar substrat kalsium fosfat in vitro dan in vivio sebagaimana di ilustrasikan oleh pembentukan nanokristal apatit terkarbonasi sebagai hasil dari transformasi permukaan (Heughebaert dkk 1988; Daculsi dkk 1989, 1990; Johnsson dkk 1991; de Bruijn dkk 1992a; Radin dan Ducheyne 1993; Barrere dkk 2003b). Kehadiran magnesium dan karbonat menyumbang pembentukan dari sebuah apatit terkarbonasi yang terkristal dengan buruk yang memiliki gambaran sama dengan fase mineral tulang (Furedi-Milhofer dkk 1976; Legeros 1991; Elliot 1994). Dalam kehadiran protein, fase mineral yang terbentuk baru ini juga dikaitkan dengan bahan-bahan organik (Heughebaert dkk 1988; de Bruijn dkk 1995; Barrere dkk 2003b). Transformasi fase ini terjadi untuk keseluruhan biokeramik kalsium fosfat, bahkan untuk struktur-struktur apatitik stabil, karena mereka memiliki sebuah kemampuan kuat untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka melalui penerimaan ion-ion asing dan kemudian dilanjutkan dengan menopang pengaturan ulang atomik (Cazalbau dkk 2004). Namun, substrat hidroksiapatitik kristalin seringkali sangat stabil untuk berubah.
Hasil dari semua pertukaran ionik ini menguntungkan fase baik transformasi ataupun disolusi mengikuti urutan stabilitas thermodinamikal, mis HA>TCP>OCP>DCPD dari yang paling tak mudah larut hingga yang paling mudah larut. Reaktifitas permukaan ini memiliki berbagai implikasi penting di dalam relevansi biologis dari biokeramik kalsium fosfat. Namun, untuk sebuah fase kalsium fosfat tertentu gambaran kristalin misalnya, kehadiran standar dalam kisi kristal atau menurunnya ukuran kristal, memercepat disolusi. Alhasil, biomaterial amorf hancur lebih cepat dibandingkan dengan yang kristalin (Legeros 1991; de Bruijn dkk 1992b; Barrere dkk 2000). Tambahannya, kehadiran beberapa aditif berasal mineral di dalam struktur kalsium fosfat dapat memengaruhi kisi kristal, dan dengan demikian dapat memercepat disolusi, misalnya karbonat, silikat, atau strontium dalam HA. Di lain pihak, beberapa aditif menurunkan proses disolusi in vitro dan in vivo, misalnya fluorid dalam HA, magnesium atau seng dalam beta-TCP (Okazaki dkk 1982; Legeros 1991; Dhert dkk 1993; Elliot 1994; Christoffersen dkk 1997; Ito dkk 2002; Porter dkk 2004a). Penggabungan berbagai protein ke dalam kalsium fosfat dapat juga memengaruhi kinetika disolusi (Liu dkk 2003). Akhirnya, setidaknya porositas mikro maupun makro memainkan sebuah peran penting dalam proses disolusi fisikokimia kalsium fosfat. Semakin luas permukaan terpapar dengan lingkungan, maka semakin cepat kehancuran biomaterial, semua itu hanyalah karena jumlah pertukaran yang lebih besar dapat berlangsung di sana (Radin dan Ducheyne 1994).
Berbagai protein dari cairan sekitar juga tersangkut dalam mekanisme pertukaran ionik sebagaimana terawasi in vitro. Interaksi mereka dengan substrat kalsium fosfat bergantung pada karakteristik biokeramik (seperti misalnya fase, kristalinitas, komposisi, tekstur) (Sharpe dkk 1997; El-Ghannam dkk 1999; Rouahi dkk 2006), dan pada fitur-fitur protein (seperti penyesuaian, titik isoelektrik, komposisi), konsentrasi mereka, dan apakah mereka bekerja dalam larutan ataukah pada substrat (Johnsson dkk 1991; Hunter dkk 1996; Koutsopoulos dan Dalas 2000; Combes dan Rey 2002; Ofir dkk 2004). Pertama, dalam suspensi, protein dapat menghambat atau menyokong nukleasi dan pertumbuhan kalsium fosfat (Johnsson dkk 1991; Hunter dkk 1996; Boskey dan Paschalis 2001). Untuk protein-protein terfosforilasi, seperti kolagen, osteopontin, osteonektin, sialoprotein tulang, atau osteokalsin, berbagai entitas terfosforilasi telah mengunjukkan kemampuan mereka untuk menukleasi dan menumbuhkan kristal kalsium fosfat (Boskey dan Paschalis 2001). Namun, tidak semua protein terfosforilasi menginduksi pembentukan kalsium fosfat; osteopontin khususnya, merupakan sebuah penghambat kristalisasi kuat (Hunter dkk 1996). Kedua, ketika protein adsorb ke substrat kalsium fosfat, tugas mereka, konsentrasi mereka, dan kehadiran kalsium dalam cairan sekitar memengaruhi kinetika dan pola surface-coverage yang dapat berkembang dengan waktu (Kawasaki dkk 2003). Semua protein yang di-adsorb ini dapat setelah itu memengaruhi pembentukan baru kristal kalsium fosfat melalui pengeblokan atau bukan pengeblokan lokasi nukleasi substrat (Koutsopoulos dan Dalas 2000; Combes dan Rey 2002; Ofir dkk 2004), tanpa memerhatikan titik isoelektrik protein (Offir dkk 2004).
Semua hasil ini didapat dari percobaan in vitro yang berbeda kuat dengan percobaan in vivo, sebagaimana ratusan protein terdapat dalam cairan biologis, dan efek global mereka pada reaktifitas kalsium fosfat adalah terfahami tak mencukupi. Namun, jelaslah bahwa mereka memainkan sebuah peran yang bermakna dalam pertukaran ionik dan efek lanjutan mereka pada aktifitas biologis mereka, karena protein dideteksi dalam asosiasi dekat dengan apatit terkarbonasi nanokristalin yang terbentuk pada permukaan biokeramik kalsium fosfat in vitro dan in vivo (Heughebaert dkk 1988; Johnsson dkk 1991; de Bruijn dkk 1992b; de Bruijn dkk 1994b; Radin dkk 1998; Barrere dkk 2003b). Konseuensinya, sifat, kuantitas, dan penggabungan semua protein ini pada permukaan biomaterial akan menentukan aktifitas seluler (El-Ghannam dkk 1999; Rouahi dkk 2006).

Interaksi seluler dengan permukaan kalsium fosfat

Umumnya, interaksi sel – biomaterial bergantung pada karakteristik permukaan seperti misalnya topografi, kimiawi, dan fisika permukaan. Sebagaimana disebutkan di atas, karakteristik permukaan menentukan dinamika pertukaran ionik dan adsorpsi protein. Mereka juga memengaruhi aktifitas seluler, yaitu perlekatan, proliferasi, dan diferensiasi mereka.

Kalsium fosfat – osteoblas dan sel osteoprogenitor
In vitro, interaksi sel – biomaterial diuji oleh osteoblas primer, garis sel osteosarkoma, dan sel osteoprogenitor - mesenkhimal yang dikeluarkan dari sumsum tulang. Lebih dan lebih banyak lagi penelitian saat ini mengalamatkan interaksi di antara sel-sel progenitor -  punca mesenkhimal dan scaffolds, sebagaimana semua sel-sel ini berpartisipasi pada stadium dini dari pembentukan jaringan tulang in vivo (Dhert dkk 1998; Davies dan Hosseini 2001; Devlin dan Sloan 2002).
Sealiknya dengan osteoblas terdiferensiasi, sel-sel osteoprogenitor adalah beredar, merupakan sel sangat proliferatif dan mereka memiliki suatu potensi diferensiasi yang lebih besar. Mereka dapat bermigrasi pada sebuah substrat dengan cara membangkitkan siklus adhesi lemah,traksi, pergerakan, dan pelepasan. Pada akhir fase migrasi, seperti sel-sel osteoprogenitor – mesenkhimal osteoblas melekat ke substrat dengan cara mengembangkan perlekatan fokal kuat dengan substrat dalam rangka memulai fase diferensiasi mereka. Migrasi dan perlekatan sel-sel tulang umumnya diperantarai lewat integrin yang adalah protein transmembran (Anselme 2000). Di antara superfamili integrin, fibronektin dan vitronektin merupakan perotein terlibat dalam perlekatan osteoblas pada biomaterial in vitro (El Ghannam dkk 1999; Anselme 2000). Prihal interaksi mereka dengan kalsium fosfat, osteoblas sangat erat dalam kontaknya dengan permukaan kalsium fosfat karena produksi kolagen ekstraseluler yang dengan kuatnya melekat tegak lurus atau sejajar dengan substrat (Annaz dkk 2004b).
Fase diferensiasi osteogenik terdiri dari tiga periode biologis utama: proliferasi seluler, maturasi seluler, dan mineralisasi matriks. Melalui semua periode ini, osteoblas diketahui menyintesis dan sesudahnya menyekresi kolagen tipe I, alkali fosfatase, dan protein matriks tulang ekstraseluler non-kolagen lain seperti misalnya osteokalsin, osteopontin, osteonektin, dan sialoprotein tulang. Kolagen tipe I diekspres selama periode awal proliferasi dan biosintesis matriks ekstraseluler, pada mana alkali fosfatase diekspres selama periode pasca-proliferatif dari maturasi matriks ekstraseluler, dan pengekspresian osteopontin, osteokalsin, dan sialoprotein tulang terjadi kemudiannya selama periode ketiga mineralisasi matriks-ekstraseluler (Sodek dan Cheifetz 2001). Konsekuensinya, karena tidak ada penanda tunggal spesifik untuk osteoblas, maka pengekspresian seluler dari sebuah rentangan protein non-kolagen dan kolagen demikian juga alkali fosfatase dan Cbfa1 haruslah diselidiki, ketika memeriksa diferensiasi osteoblastik. Akhirnya, osteoblas berpasrtisipasi secara aktif terhadap mineralisasi biomaterial (Radin dkk 1998) dengan cara menghasilkan vesikel-vesikel berkandungan kalsium fosfat (Annaz dkk 2004b). Dalam praktik, mineralisasi osteoblas tidak dapat diuji pada biomaterial kalsium fosfat oleh sebab kesamaan dalam komposisi di antara substrat dengan mineral ekstraseluler
Beberapa parameter kalsium fosfat dapat memengaruhi aktifitas seluler:
-      (i) Disolusi. Bergantung pada reaktifitas kalsium fosfat (mis., tingkah laku disolusi – presipitasi) fungsi osteoblas dapat dipengaruhi, dalam proliferasi mereka, diferensiasi mereka, dan fenotip maturasi mereka (de Bruijn dkk 1992a, 1994b; Midy dkk 2001; Knabe dkk 2004; Siebers dkk 2004; Wang dkk 2004; Arinzeh dkk 2005; Berube dkk 2005). De Bruijn dkk mengunjukkan sebuah kaitan jelas di antara angka disolusi dengan pembentukan tulang dini in vivo dan dengan diferensiasi osteogenik in vitro, menyarankan dengan demikian pengaruh dari kalsium dan fosfat anorganik bebas pada pembentukan tulang (de Bruijn dkk 1992a, 1994b). Sebagaimana diterangkan sebelumya, konsentrasi kalsium dan fosfat lingkungan mungkin meningkat atau menurun ketika keramik kalsium fosfat terbenam. Level modifikasi ini yang diinduksi oleh pembenaman keramik kalsium fosfat dapat bahkan menginduksi kematian sel (Hyakuna dkk 1989). Perubahan dalam isi kalsium atau fosfat dalam medium benihan  juga memengaruhi aktifitas osteoblastik secara langsung (Bellows dkk 1992; Meleti dkk 2000; Adams dkk 2001; Dvorak dkk 2004). Sebagai sebuah konsekuensi dari transformasi permukaan, aktifitas seluler selanjutnya mungkin terpengaruh sebagaimana substrat berubah secara bermakna (Anselme dkk 1997);
-      (ii) Komposisi. Sebuah perubahan dalam perbandingan kalsium terhadap fosfat dalam biokeramik berarti sebuah perubahan dalam komposisi dan sebagai konsekuensinya sebuah efek langsung pada mekanisme pertukaran ionik, sebagaimana dibicarakan sebelumnya. Penggabungan ion mineral seperti misalnya seng (hingga ke tingkat tertentu) atau silikat dalam biokeramik kalsium fosfat menunjukan satu peningkatan perlekatan dan proliferasi osteoblas (Ishikaw dkk 2002; Thian dkk 2005). Sementara kehadiran karbonat dalam jejaring apatitik biomaterial memiliki efek berlawanan pada proliferasi osteoblastik dan produksi alkali fosfatase dibandingkan dengan substrat HA (Anselme dkk 1997; Redey dkk 2000; Midy dkk 2001);
-      (iii) Topografi. Di satu sisi, permukaan kalsium fosfat beralur memengaruhi tuntunan osteoblastik, dan profil aluran bebas dari sifat substrat (Lu dan Leng 2003). Di lain pihak, dalam kontaknya dengan pori mikro dan makro keramik kalsium fosfat, osteoblas merasakan mikroporositas permukaan dan mereka dapat menjembatani bahkan pori-pori besar yang berkali-kali lebih besar dari osteoblas yang sepenuhnya diratakan (Annaz dkk 2004a). Untuk diferensiasi osteoblas, Chou dkk mengunjukkan in vitro bahwa sel-sel MC3T3 peka terhadap bentuk kristal: kristal apatit besar menginduksi lebih banyak pengespresian sialoprotein tulang dan osteokalsin setelah 3 minggu pembenihan dibanding kristal apatit kecil (Chou dkk 2005b);
-         (iv) Energi permukaan. Studi oleh Redey dkk (2000) memerlihatkan bahwa energi permukaan dengan kuat memengaruhi aktifitas osteoblastik awal bagi proliferasi dan fungsi, sementara pada satu waktu belakangan, permukaan yang kurang menguntungkan menunjukkan sebuah aktifitas osteoblastik yang sebanding terhadap permukaan yang paling menguntungkan.

Kalcium-fosfat – osteoklas
Heymann dkk (1999) telah secara ekstensif menangani degradasi seluler keramik kalsium fosfat in vitro dan in vivo. Setelah kolonisasi substrat oleh monosit – makrofag yang direkrut selama reaksi inflamasi setelah pembedahan (Basle dkk 1993; Heymann dkk 1999), osteoklas bertanggung jawab untuk terjadinya degradasi mineral tulang, yaitu resorpsi tulang. Teramati bahwa, osteoklas mendegradasi keramik kalsium fosfat dalam sebuah cara yang sama dengan mineral tulang: osteoklas melekat erat dengan substrate sealing zone. Di tengah-tengah zona ini, mereka menyekresi H+ mengawali ke pada sebuah pH=4 - 5 lokal. In vivo, osteoklas berpartisipasi secara parsiil dalam degradasi keramik kalsium fosfat (Gauthier dkk 1999; Lu dkk 2002; Ooms dkk 2002; Wenisch dkk 2003; Zerbo dkk 2005). Dalam kontaknya dengan osteoklas, biokeramik yang diimplantasikan memamerkan lobang-lobang resorpsi terkait dengan tulang yang terbentuk baru (Gauthier dkk 1999; Ooms dkk 2002; Wenisch dkk 2003). Namun, degradasi in vivo material kalsium fosfat juga dikaitkan dengan sebuah fenomena disolusi (Gauthier dkk 1999; Lu dkk 2002). Aktifitas osteoklas versus proses disolusi dari sebuah keramik kalsium fosfat bergantung pada sifat kalsium fosfat (seperti misal, semen, keramik kumpulan besar, partikel, TCP berdaya larut tinggi, HA berdaya larut rendah) (Gauthier dkk 1999; Lu dkk 2002). Dalam degradasi dari keramik TCP berdaya larut tinggi in vivo, Zerbo dkk (2005) menunjukkan bahwa disolusi fisikokimia berlangsung hingga ke satu tingkat yang lebih besar dari pada resorpsi osteoklastik. Osteoklas juga dapat mendegradasi kalsium fosfat melalui proses fagositik, yaitu, penggabungan dalam sitoplasma sel dan kemudiannya dicernakan melalui serangan asam atau proses enzimatik ketika partikel-partikel biomaterial dibangkitkan sebagai hasil dari disolusi lokal pada batas-batas butiran ataupun melalui stress mekanik yang membangkitkan debris (Heymann dkk 1999). Aktifitas osteoklastik biasanya ditentukan oleh sebuah enzim osteoklastik spesifik (tartrate-resistent acid phosphatase) bergantung pada sifat-sifat intrinsik keramik kalsium fosfat yang dapat bervariasi dari satu studi ke studi lainnya. Namun, beberapa kecenderungan umum dapat diuraikan sbb:

-      (i) Kinetika disolusi fisikokimia dari bio-material: keramik kalsium fosfat tidaklah seluruhnya berinteraksi dalam cara yang sama dengan osteoklas. Pelepasan ion kalsium dari biomaterial kelihatannya memainkan sebuah peran penting dalam aktifitas osteoklastik; level ion kalsium di atas rentangan kritis, resorpsi osteoklastik dihambat (de Bruijn dkk 1994a; Yamada dkk 1997; Doi dkk 1999). Bersama-sama dengan tingkah laku disolusi, struktur keramik kalsium fosfat dan kristalinitas memengaruhi aktifitas osteoklastik (de Bruijn dkk 1994a; Yamada dkk 1997; Leeuwenburgh dkk 2001).
-      (ii) Karbonat dan ion mineral lainnya: garam apatitik terkarbonasi, mis., dentin, mineral tulang, apatit terkarbonasi sintetik, dan berbagai struktur kalsium karbonat (yaitu, aroganite, calcite), diresorpsi oleh osteoklas. Telah diajukan, isi karbonat mungkin merangsang aktifitas anhidrase karbonik yang telah dikenal mendorong sekresi asidik osteoklastik in vitro (Doi dkk 1999; Leeuwenburgh dkk 2001). Di sisi lain, seng dan fluorid yang terkandung dalam biomaterial kalsium fosfat telah juga memerlihatkan sebuah efek penghambatan pada resorpsi osteoklastik in vitro (Sakae dkk 2000; Ito dkk 2002) dan in vivo (Kawamura dkk 2003; Sakae dkk 2003) untuk konsentrasi yang spesifik dalam kalsium fosfat – kalsium fosfat berisikan seng.
-       (iii) Energi permukaan biomaterial kalsium fosfat: Komponen kutub energi permukaan diketahui memodulasi adhesi osteoklastik in vitro. Namun, penyebaran dan resorpsi lanjutannya tidaklah dipengaruhi oleh pertimbangan energi permukaan (Redey dkk 1999).
-       (iv) Kkesaran permukaan diketahui umumnya memengaruhi perlekatan sel in vitro dan ditunjukan juga in vitro bagi perlekatan osteoklastik. Permukaan apatitik kasar nampaknya menguatkan perlekatan osteoklastik dibandingkan dengan yang berpermukaan halus (Gomi dkk 1993).

Arah ke masa depan dalam interaksi sel – kalsium fosfat

Sumber-sumber sel
Saat ini, reaktifitas substrat kalsium fosfat dievaluasi dari osteoblas primer, garis turunan sel osteosarkoma, sel-sel pra-osteoblas, dan osteoprogenitor. Walaupun sel-sel osteoprogenitor manusia kelihatannya menjadi yang paling beradaptasi untuk perekayasaan jaringan tulang, sangat sedikit laporan yang berurusan dengan benihan sel-sel osteoprogenitor manusia. Semua sel ini adalah bergantung donor dan benihan (Mendes dkk 2002) dan pluripotensi mereka menurun dengan passage numbers. Kecuali banyak sel donor digunakan untuk menyaring biomaterial kalsium fosfat, sel-sel osteoprogenitor manusia tidaklah merupakan sebuah alat yang berguna untuk memahami berbagai interaksi mereka dengan kalsium fosfat, sebagaimana sel-sel donor yang lain mungkin bekerja dengan sangat berbeda. Sepengetahuan kita, tidak ada studi ekstensif terhadap sel osteoprogenitor manusia berbeda telah dilakukan secara umumnya pada biomaterial. Pada sisi lain,  cell lines memberikan hasil yang lebih direproduksi "dimanipulasi" dan mungkin tidak mewakili situasi nyata, sebagaimana cell lines berbeda mengunjukkan sebuah variasi dalam kebertanggapannya ketika dibenihkan pada sebuah material kalsium fosfat yang sama (Rochet dkk 2003). Sel-sel punca embryonik juga merupakan sebuah sumber potensiil dalam perekayasaan jaringan dan mereka telah pula diteliti pada biomaterial kalsium fosfat (Both dkk 2005; Melville dkk 2006)
Petanyaan yang masih tetap terbuka, tipe sel yang mana yang difokuskan dalam memahami berbagai interaksi sel – kalsium fosfat bagi sebuah teknik pendekatan perekayasaan jaringan.
Sistim ko-kultur, yaitu, membenihkan dua tipe sel, merupakan pusat perhatian baru dalam domain perekayasaan jaringan tulang. Sebagai contoh, jaringan tulang-terrekayasa menghasilkan viabilitas rendah akibat dari vaskularisasi yang tak menyukupi. Sebagaimana angiogenesis dalam sumsum tulang dikaitkan secara dekat dengan osteogenesis dalam perkembangan dan pendewasaan tulang, ko-kultur sel-sel osteoprogenitor dengan sel-sel endothel dimulaikan dalam rangka menyiptakan secara bersama-sama vaskularisasi dan pembentukan tulang. Namun, sepengetahuan kita, tidak terdapat laporan yang memasukkan pengaruh dari sebuah biomaterial kalsium fosfat (atau biomaterial lainnya) dengan ko-kultur osteoprogenitor-sel endothel. Hal ini harus diperhitungkan di masa depan, sebagaimana diperlihatkan bahwa sebuah substrat kalsium fosfat, dalam kontaknya dengan sebuah sistim ko-kultur hematopoietik-osteoblas, menginduksi sebuah jalur diferensiasi spesifik sepenuhnya dibandingkan dengan tissue culture-treated plastic (Rochet dkk 2002). Dapatkah proses resorpsi osteoklastik sebelumnya dari biomaterial kalsium fosfat akan memengaruhi aktifitas osteoblastik sebagaimana diamati dalam remodeling tulang alami?
Akhirnya, pengamatan langsung berbagai benihan sel luminesen transgenik menawarkan berbagai kesempatan besar untuk mengevaluasi berbagai aktifitas jangka panjang pada contoh yang sama in vivo dan in vitro (Cao dkk 2005; Kotobuki dkk 2005; de Boer dkk 2006). Secara lebih spesifik untuk tulang, de Boer dkk akhir-akhir ini telah mengalamatkan aplikasi kultur sel luminesen transgenic dipasangkan dengan reporters osteogenik (de Boer dkk 2006).

Keterbatasan pengujian in vitro
Kalsium fosfat adalah reaktif dan reaktifitas mereka bergantung pada karakteristik mereka (seperti misalnya komposisi, disolusi, sintering temperature, struktur mikro). Sebagai konsekuensinya, level kalsium dan fosfat dalam medium benihan sel dapat bervariasi secara substansiil tanpa menjadi terregulasi dan ini dapat memengaruhi fungsi sel (Bellows dkk 1992; Meleti dkk 2000; Adams dkk 2001; Midy dkk 2001; Dvorak dkk 2004; Wang dkk 2004; Arinzeh dkk 2005; Berube dkk 2005); sementara in vivo, semua variasi ini secara otomatik dan dengan cepat terregulasi. Dengan demikian, prediktibilitas in vitro dari biomaterial seperti itu seringkali tidak meyakinkan (Habibovic dkk 2005a). Dalam konteks perekayasaan jaringan tulang, scaffolds dan sel ada dalam kontak in vitro untuk beberapa hari sebelum diimplantasikan, karenanya aktifitas seluler in vitro tetap bersangkut paut. Namun, Kruyt dkk (2004) tidaklah menjumpai satupun perbedaan in vivo di antara rekayasa konstruksi jaringan tulang dikultur dalam medium diferensiasi merangsang atau tidak-merangsang osteogenik selama 6 hari, sementara mereka mengukur sebuah keberbedaan bermakna dalam aktifitas alkali fosfatase in vitro di antara kedua kondisi itu. Di sisi lain, jumlah pengujian biologis meningkat seiring waktu, namun mereka masih tetap dalam tahap perkembangan. Kadangkala sulit dipahami pengaturan beberapa protein sebagaimana dilaporkan oleh Chou dkk (Chou dkk 2005a, 2005b). Hitungan aktifitas alkali fosfatase adalah merupakan yang paling sering dan merupakan pengujian biologis langsung pada diferensiasi osteogenik, namun kehadiran dari fosfat anorganik dapat menghambat produksi oleh sel dari aktifitas alkali fosfatase tanpa penghambatan proses mineralisasi ikutannya oleh osteoblas (Bellows dkk 1992). Jadi, mengukur aktifitas alkali fosfatase sebagai sebuah pengujian diferensiasi unik pada biokeramik kalsium fosfat mungkin tidak mewakili satu hitungan sahih dari diferensiasi osteogenik.

Relevansi kalsium fosfat bagi regenerasi jaringan tulang

Kemampuan pengikatan-tulang (bone-bonding ability)
Fenomena pertukaran ionik yang terjadi dengan biokeramik kalsium fosfat dikaitkan dengan reaktifitas menuju bone bonding, yaitu, pembentukan dari sebuah lapisan termineralisasi antar muka di antara biokeramik dengan jaringan tulang yang menjamin kohesi mereka. Secara struktural, lapisan ini adalah sebanding dengan filem yang tumbuh in vitro melalui mekanisme disolusi-presipitasi, yaitu nanokristal dari apatit terkarbonasi di dalam cairan tubuh dalam simulasi yang meniru komposisi mineral plasma arah. Ketika dibentuk dalam kehadiran eksperimen-eksperimen sel-sel osteogenik, lapisan termineralsasi ini sebanding dengan cement lines tersintesis in vivo (de Bruijn dkk 1995; Dvies 1996). In vivo (lingkungan osseous dan non-osseous), fisiko-kimia, dan kontinyuitas kristalografik dapat teramati di antara implan kalsium fosfat dengan lapisan termineralisasi yang terbentuk baru (Daculsi dkk 1989; de Bruijn dkk 1992b; Neo dkk 1993).Peristiwa dan ketebalannya dihubungkan dengan reaktifitas (disolusi-presipitasi) substrat kalsium fosfat (Neo dkk 1993), yang disebut bioaktifitas (Hench dan Wilson 1984). Antar muka termineralisasi ini memastikan sebuah kohesi fisikokimia dan mekanik di antara implan dengan tulang inang. Hal ini sangat relevan bagi aplikasi penopangan-beban, yaitu, berbagai prostesis metalik panggul yang terselimuti dengan kalsium fosfat yang mana tidak diragukan lagi memerbaiki stabilitas mekanik implan melalui penambahan dan pemercepatan aposisi tulang (Geesink dkk 1987; Dhert dkk 1993; Rahbek dkk 2004).

Osteoinduksi oleh kalsium fosfat
Material osteoinduktif merupakan biomaterial yang memiliki sifat-sifat intrinsik untuk menginduksi pembentukan tulang dalam sebuah lingkungan non-osseous. Akhir-akhir ini, telah diunjukkan pada kambing, kalsium fosfat berpori-makro osteoinduktif dapat merangsang pembentukan lebih banyak tulang sebagaimana perekayasaan jaringan hasilkan secara ektopik (Kruyt dkk 2004) dan seperti dalam model-model defek orthopedi berukuran kritis (Habibovic dkk 2005b). Walaupun mekanisme osteoinduksi masih belum jelas, sifat-sifat pertukaran ionik scaffolds kalsium fosfat dengan lingkungan yang mengitari telah menunjukkan sebagai sebuah parameter relevan di antara hal yang lainnya (Yuan dkk 2001). Melalui pengimplantasian intramuskuler pada kambing dua buah scaffolds kalsium fosfat berpori makro yang identik dalam komposisi, kristalinitas, dan porositas tapi dengan mikroporositas berbeda, Habibovic dkk (2005b) telah mengunjukkan bahwa sebuah peningkatan mikroporositas telah bertanggung jawab bagi pembentukan tulang ektopik. Mikroporositas tinggi ini secara langsung dikaitkan dengan permukaan terpapar, dan dengan demikian suatu disolusi meningkat dalam pori di mana level dari level kritis stabil dari ion kalsium bebas dan kemungkinan ion orthofosfat bebas dapat memicu diferensiai sel menjadi garis turunan osteogenik. Tambahannya, melalui sebuah proses disolusi-presipitasi, perkembangan dari sebuah lapisan mineral seperti-tulang dapat memulai pembentukan tulang baik melalui peniruan dengan struktur mineral tulang ataukah melalui kehadiran bahan-bahan osteogenik (sebagai contoh bone morphogenetic proteins, BMPs) yang terkandung alami dalam cairan tubuh yang mungkin telah terkonsentrasi pada lapisan mineral yang terbentuk baru (Ripamonti 1996).

Tailoring kinetika resorpsi kalsium fosfat
Pada berbagai defek besar yang tak mngkin sembuh secara alami oleh tulang, pengaturan kinetika degradasi dari pengisi tulang kalsium fosfat dengan kinetika dari angka pembentukan tulang hingga kini masih merupakan sebuah tantangan besar dalam regenerasi jaringan tulang. Sementara penyumbangan terhadap pembentukan tulang, the scaffolds haruslah berdegradasi dengan sebuah cara yang terkontrol untuk meninggalkan lebih banyak ruang bagi tulang yag terbentuk baru hingga tercapai regenerasi jaringan sepenuhnya. Pencampuran pada berbagai perbandingan dari sebuah fase dapat larut rendah (HA) dengan sebuah fase dapat larut tinggi (TCP amorf) menghasilkan keramik kalsium fosfat bifasik (BCP), meliputi aditif (magnesium, karboat, fluorid) dalam satu fase kristalin yang diberikan, atau fase-fase kalsium fosfat berbeda yang diseleksi (amorf, DCPD, OCP, HA, TCP), adalah pilihan untuk menyesuaikan kinetik degradasi keramik kalsium dari beberapa minggu hingga beberapa tahun. Dalam teori dan dalam praktik, seseorang dapat mengubah kinetika resorpsi keramik kalsium fosfat; namun, tidak ada scaffolds yang dapat larut universal telah dikembangkan, dan sifat-sifat degradasi mereka haruslah didisain bergantung pada pengaplikasian mereka. Di bawah, disampaikan dua tipe pola degradasi dijelaskan, satunya bagi penopangan-beban dan yang lainnya bagi pengaplikasian penopangan-tanpa beban

Aplikasi penopangan-beban
Kalsium fosfat yang diaplikasikan sebagai selimutan pada prostesis metalik memiliki satu catatan klinik dengan angka keberhasilan tinggi untuk arthoplati panggul (Epinette dan Manley 2004). Selimutan ini secara bermakna memercepat pertumbuhan tulang pada implan metalik, memerbaiki fiksasi implan, dan memerpanjang umur pakai prostesis. Berbagai studi pada khewan ekstensif yang telah dilaksanakan memerhitungkan angka pembentukan tulang versus angka resorpsi dan stabilitas mekanik. Melalui perubahan parameter dari selimutan (teknik, temperatur, komposisi) seseorang dapat mengubah karakteristik degradasi dari selimutan. Untuk prostesis panggul, kinetik resorpsi selimutan kalsium fosfat memiliki sebuah paradigma tertentu. Di satu sisi, selimutan yang dapat larut menguatkan pembentukan tulang pada saat dini tahap pengimplantasian, menginduksikan sebuah fiksasi dini yang cepat, namun selimutan yang dapat larut dapat mengawali ke pada satu instabilitas mekanik tahap kedua di antara implan metalik dengan tulang sekitarnya. Di sisi lain, selimutan yang tak dapat larut melambatkan fiksasi tulang, yaitu, stabilitas mekanik tahap pertama, namun selimutan yang tak dapat larut menyetabilisasi fiksasi jangka-panjang implan dengan jaringan sekitar (Dhert dkk 1993, 1998; de Bruijn dkk 1994b; Rahbek dkk 2004).

Aplikasi penopangan tanpa-beban
Pada situasi tanpa-pembebanan, kalsium fosfat telanjang digunakan sebagai granul atau semen. Komposisi mereka dapat memiliki variasi keterbatasan yang sebenarnya dengan memertimbangkan struktur, penggabungan aditif, dan pencampuran fase mereka. Scaffolds sekarang ada yang berdegradasi terlalu cepat (dan dengan demikian tidak memungkinkan stabilitas mencukupi bagi pembentukan tulang baru), ataukah scaffolds yang tidak terresorpsi sepenuhnya (dan masih terbungkus oleh tulang ang terbentuk baru, menghindari restorasi menyeluruh dari kekuatan mekanik tulang alami). Satu cara umum untuk menyempurnakan sifat-sifat degradasi scaffolds kalsium fosfat adalah mengombinasikan sebuah fase yang dapat larut tinggi (TCP) dengan sebuah fase yang tak dapat larut (HA), untuk menyiptakan apa yang disebut keramik BCP (Legeros dkk 2003). Bergantung pada perbandingan HA/TCP, pembentukan tulang versus resorpsi biomaterial dapat diperbaiki secara bermakna atau diturunkan (Schopper dkk 2005).

Fungsionalisasi kalsium fosfat bagi pemicuan regenerasi tulang
Mengingat sifat disolusi kalsium fosfat, beberapa kelompok peneliti telah menggunakan keramik kalsium fosfat sebagai sistim pengiriman melalui (i) adsorpsi pada bubuk diikuti oleh kompaksi (ii) ko-presipitasi, atau (iii) penambahan pasta semen diaplikasikan dalam regenerasi tulang dan berbagai wilayah terapi gen (Shen dkk 2004), atau pengiriman obat lokal (Urist dkk 1987; Lebugle dkk 2002; Stigter dkk 2004; Kroese-Deutman dkk 2005; Liu dkk 2005). Untuk stimulasi regenerasi tulang, berbagai protein spesifik telah digunakan lewat pembawa kalsium fosfat. Bone morphogenetic proteins (BMP, khususnya BMP-2) adsorps pada keramik (Urist dkk 1987; Kroese-Deutman dkk 2005) atau ko-presipitasi ke dalam selimutan apatit terkarbonasi biomimetik (Liu dkk 2005) menginduksi lebih banyak pembentukan tulang dibandingkan dengan hanya keramik in vivo. Akhir-akhir ini, penggabungan ion silikat dan seng, dalam keramik TCP dan HA berturut-turut, dilaporkan memiliki sebuah pengaruh bermakna pada osteogenesis in vitro dan in vivo (Kawamura dkk 2000; Ikeuchi dkk 2003; Porter dkk 2004b).

Simpulan dan perspektif ke depan

Kalsium fosfat memiliki sifat-sifat intrinsik yang merangsang regenerasi tulang. Namun, saat ini, mekanisme perangsangan mereka masih terfahami tidak mencukupi. Potensi nanoteknologi yang diaplikasikan dalam regenerasi jaringan telah mengunjukkan banyak jalan berbeda, mis., (i) penggabungan gen-gen luminesen dalam sel-sel dan khewan (Cao dkk 2005; de Ber dkk 2006), memungkinkan pencitraan molekuler langsung dan dengan demikian dapat mengikutinya pada beberapa kali pada seekor khewan dan pada satu tipe biomaterial; (ii) penyusunan-mikro biomaterial pada skala nano-liter (Anderson dkk 2004) memungkinkan dilakukannya penyaringan ribuan biomaterial relevan dalam sebuah pengurangan waktu yang bermakna, dan fasilitas; (iii) peregulasian-nanotopografi permukaan diferensiasi sel (McBeath dkk 2004). Perkembangan nanoteknologi lebih lanjut  yang diaplikasikan pada wilayah biomaterial, dan seluler dan molekuler biologi akan memasilitasi wawasan yang lebih dekat dan pemahaman yang lebih dalam pada level-level interaksi sel – biomaterial. Terimakasih diucapkan atas kontribusi nanoteknologi yang memungkinkan kita berharap menerobos perkembangan biomaterial dan scaffolds baru bagi pengobatan defek tulang lebih efisien.