Jumat, 25 Januari 2013

Antibiotik sebagai Molekul Sinyal

1. Tinjauan

Lebih dari lima dekade terakhir, pemakaian berlebih antibiotik telah mengawali meluasnya resistensi bakteri patogenik. Resistensi ini, digabungkan dengan lambatnya kemajuan dalam pendisainan teraputik baru, telah memicu semacam krisis dalam pengobatan dari banyak sekali penyakit yang mudah disembuhkan. Usaha kuat telah ditujukan dalam mengembangkan senyawa baru yang efektif menarget fitur penting dari hidup mikroba, namun sebagian besarnya adalah, hanya efek penghambatan pertumbuhan mereka saja yang secara ekstensif dikaji. Seberapa rendah konsentrasi antimikroba memengaruhi ketahanan hidup bakteri dan yang paling penting, apakah molekulnya mungkin memiliki fungsi lain pada konsentrasi sub-inhibitor (SIC) merupakan pertanyaan yang masih belum terjawab. Banyak kajian rintisan tentang respon transcriptome global dari banyak patogen manusia yang penting terhadap SICs antibiotik telah mengunjukkan bahwa semua molekul ini dapat memengaruhi pengekspresian gen-gen yang terkait dengan virulensi, kolonisasi, motilitas, respon stres dan/atau pembentukan biofilem. Riset lebih jauh telah memerlihatkan bahwa beberapa dari efek ini adalah hasil dari percampuran dengan komunikasi antar sel-sel bakteri. Pengamatan ini mendorong timbulnya ide bahwa antiniotik mungkin senyatanya bekerja sebagai molekul sinyal dalam lingkungan alam, memudahkan interaksi intra- atau antarspesies di dalam komunitas mikroba. Dalam tinjauan ini, digarisbawahi contoh-contoh efek dari bermacam antimikroba relevan secara klinik dan produk-produk alami lainnya terhadap program perkembangan bakteri, dengan sebuah penekanan pada pembentukan biofilem. Bagaimana pengetahuan ini dapat dipakai untuk mengembangkan pemakaian antibiotik saat ini dan bagaimana terapi baru yang menarget proses-proses mikroba alternatif yang memungkinkan dapat dikembangkan juga didiskusikan.

2. Pendahuluan

Antibiotik telah secara ekstensif dipakai dalam mengobati berbagai penyakit infeksi. Letalitas dari semua senyawa ini telah dieksploitasi dalam berbagai teknik pendekatan klinik dan laboratorik dan target spesifik mereka dalam fisiologi bakterial telah pula dijelaskan. Namun, sejalan dengan perkembangan obat-obat itu berdatangan masalah tentang meningkatnya resistensi mikroba, menghasilkan peningkatan dramatis menurunnya efektifitas teraputik (1). Mikroba patogenik dengan cepat mengevolusikan berbagai mekanisme efisien seperti resistensi, meliputi peningkatan efflux, inaktifasi enzimatik, modifikasi target, atau pembentukan biofilem (2).
Konsentrasi dari semua molekul ini yang dibutuhkan untuk mencapai satu efek antimikroba kemungkinan besar menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan konsentrasi pada mana semua molekul ini dapat dijumpai dalam lingkungan alami. Sementara kita tahu efek mereka pada konsentrasi lethal, aktifitas molekul ini pada konsentrasi di bawah batas penghambatan membutuhkan penyelidikan lebih mendalam (3). Temuan dari ahli farmasi abad ke sembilan belas, Hugo Schulz, yang mencatat bahwa desinfektan tertentu dapat memiliki efek stimulasi terhadap pertumbuhan jamur pada konsentrasi rendah, dapat dipertimbangkan sebagai bukti pertama bahwa aksi dari sebuah antimikroba dapat menyebabkan satu respon berbeda bergantung pada konsentrasi. Pengamatannya merupakan contoh pertama dari apa yang kemudiannya disebut hormesis. Istilah ini diciptakan oleh Chester Southam dan John Ehrlich pada pertengahan-1920-an dan ini digunakan untuk merujuk ke pada kemampuan dari molekul tertentu untuk menginduksi respon berbeda bergantung pada konsentrasi yang digunakan (3). Sejumlah besar informasi yang berhubungan dengan konsentrasi lethal antibiotik, target, atau efek samping, berbeda secara dramatik dengan sejumlah relatif sedikit kajian yang memusatkan pada efek mereka pada konsentrasi di bawah konsentrasi penghambatan minimal (MIC). Sebagaimana ditunjukkan oleh Davies, hanya sefraksi kecil dari produk alami yang memiliki aktifitas antimikroba telah secara ekstensif dikajikan, dan peran mereka dalam setingan alami dipahami dengan buruk. Jadi, adalah memungkinkan bahwa banyak dari molekul ini tadinya dipertimbangkan sebagai antibiotik mungkin memiliki sebuah fungsi berbeda dalam alam. Sekarang dipercaya bahwa banyak dari senyawa ini mungkin bekerja sebagai molekul pensinyalan yang memodulasi pengekspresian gen dalam populasi mikroba, atau fungsi fisiologis seperti misalnya motilitas, pigmentasi, dan penghasilan metabolit, dan sehingga ini memudahkan komunikasi inter- dan intra-spesies (4).
Kekurangan mendasar dari pemahaman ini mungkin berakar pada konsepsi kita tentang dunia mikroba sebagai spesies tunggal dan terpisah, sebagaimana mereka biasanya dikajikan di bawah kondisi laboratorium. Namun, dalam alam, setiap niche adalah kompleks, dan pada tingkatan berbeda, bervariasi dalam komposisi komunitas mikroba (5, 6-8). Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa molekul berfluktuasi dalam konsentrasi dan keragaman, sehingga memudahkan komunikasi di antara spesies (9). Banyak jalur penelitian menarik memusat pada pemahaman bagaimana beberapa antibiotik dapat memengaruhi, apakah secara positif atauka negatif, sistim komunikasi sel-sel, dan respon-respon fisiologis yang terpengaruhi sebagai sebuah hasilnya. Dalam beberapa kasus, produk alami dapat memengaruhi kemampuan bakteri untuk transisi dari sebuah bentuk plankton ke agregat multiseluler kompleks melekat pada permukaan yang dikenal sebagai biofilem. Sel-sel dalam biofilem terbungkus dalam sebuah matriks ekstraseluler yang bekerja sebagai sebuah penghalang bagi antibiotik (10). Satu contohnya adalah biofilem yang dihasilkan oleh patogen Gram-negatif, Pseudomonas aeruginosa, yang resisten terhadap antibiotik yang dihasilkan oleh pesaingnya, Gram-positif. Studi pada banyak model mikroorganisme dari genera Bacillus, Streptomyces, dan Pseudomonas mencurahkan cahaya baru pada dunia menarik dari pensinyalan sel dan komunikasi dalam dunia mikroba (5, 12, 13).
Akan didiskusikan dalam tinjauan ini beberapa contoh dari dwifungsi beberapa antibiotik yang telah dikenal baik, meliputi apa yang ketika digunakan pada SIC mendorong sebuah respon menarik dalam populasi bakteri dan implikasi ekologi dari respon bermacam-macam itu. Juga, peran dari antibiotik yang disintesis secara alami akan didiskusikan dalam konteks komunikasi sel dalam lingkungan alami, termasuk satu dari lingkungan niche yang paling dieksploitasi untuk penemuan antibiotik, tanah.

3. Antibiotik

Penemuan streptomycin pada tahun 1944 merangsang eksplorasi tempat baru untuk menemukan metabolit baru dengan aktifitas antimikroba (14, 15). Sifat dan struktur molekul-molekul ini sungguh sangat bervariasi, dan mereka dapat disintesis oleh manusia, atau dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti jamur atau bakteri. Teknik pendekatan baru menyumbang dengan sangat besar bagi pengembangan sebuah generasi baru antibiotik, disebut ‘semi-sintetik’. Semua obat ini secara alaminya adalah antibiotik yang selanjutnya secara kimia dimodifikasi untuk mengatasi berbagai defisiensi dalam hal efikasi, stabilitas, target fisiologis, dll., yang dijumpai sebagaimana bentuk aselinya (16-18). Selain itu, kajian dalam sistim berbeda telah menyumbang bagi satu pemahaman yang lebih baik dari jalur-jalur yang telibat dalam biosintesis produk alami, dan kondisi-kondisi dan sinyal-sinyal yang memicu produksi mereka (19).

3.1. Antibiotik Diproduksi dalam Metabolisme Sekunder
Sebagaimana disampaikan di atas, tanah menjadi lingkungan yang paling tergali dalam pencarian bagi produk-produk alami dengan aktifitas antimikroba. Keragaman mikroorganisme yang hidup dalam tanah tampaknya tak berujung, dengan streptomyces, baccili, dan myxococci di antaranya yang terkaji paling baik sebagai penghasil antimikroba (19, 20). Kendatipun berbagai perbedaan dalam aktifitas dan struktur, kebanyakan antibiotik seringkali dihasilkan sebagai metabolit sekunder, yakni mereka dihasilkan  melalui jalur sekunder tak diperlukan dalam banyak kondisi pertumbuhan (17). Ketika bakteri bertumbuh di bawah kondisi percobaan, dinamisasi pertumbuhan sel dengan jelas memerlihatkan stadium berbeda yang mengindikasikan aktifitas metabolik. Ketika nutrien ada dalam jumlah sangat banyak, mesin-mesin untuk produksi asam nukleat, protein dan molekul makro lainnya yang penting untuk memertahankan pertumbuhan adalah aktif sepenuhnya dan mengijinkan untuk pertumbuhan eksponensiil populasi. Namun, ketika nutrien menjadi terbatas, sel menghentikan pertumbuhannya dan memasuki fase stasioner. Pembatasan nutrien menghasilkan pergantian enzim, dan seringkali membuka rute metabolik mengawali produksi metabolit sekunder (17). Peran dari antibiotik ini dapat berrentang dari membunuh atau menghambat pesaing untuk mengontrol pertumbuhan sel atau memodulasi morfologi koloni.

3.2. Pengaturan Produksi Antibiotik: Quorum Sensing
Penghasilan antibiotik adalah di bawah kontrol genetik ketat. Dari banyak kajian tentang bermacam sistem bakteri, diketahui adanya eksistensi dari rute pensinyalan kompleks yang mengijinkan komunikasi di antara sel, termasuk inter- dan intra-spesies (21-23). Pensinyalan seperti itu membutuhkan satu sistim transduksi yang mengintegrasikan informasi eksternal ini, menghasilkan penginduksian produksi antibiotik, pada waktu, jumlah yang tepat dan oleh persentase atau subpopulasi yang juga tepat (23) (Gambar 1). Kajian dari bermacam antibiotik telah mengawali ke pada satu pemahaman mendasar dari pengaturan produksi antibiotik, molekul sinyal dan terlibatnya klaster-klaster gen, dan bagaimana semua sirkuit ini diintegrasikan ke dalam jalur pengaturan global (24-27).

Gambar 1

Sistim komunikasi quorum sensing pada bakteri. (A) Pada bakteri Gram-negatif, QS diatur oleh umumnya disebut sistim Luxl-LuxR. Molekul sinyal homoserine lactone (HL) disintesis oleh Luxl. Ketika HL mencapai satu ambang, ia berikatan dengan pengatur transkripsi LuxR yang mengatur pengekspresian gen target. (B) Pada bakteri Gram-positif, pengaturan diarahkan oleh sistim two-component signal-transduction system. Molekul sinyal biasanya peptid-peptid kecil apakah termodifikasi secara pasca-translasi ataukah tidak, yang disekresikan lewat ABC exporter system (Ex). Molekul yang disekresikan berikatan dengan reseptor, satu sensor kinase (SK) yang mengautofosforilasikan satu residu histidin. Kemudian, kelompok fosfat ditransfer ke protein response regulator (RR) yang mungkin satu faktor transkripsi dengan demikian mengatur pengekspresian gen-gen target. Produksi antibiotik adalah di bawah kontrol sistim QS, sebagai contoh (C) antibiotik β-lactam carbapenem oleh patogen Gram-negatif Erwinia carotovora, dan (D) antibiotik aminoglycoside streptomycin oleh spesies Streptomyces.

Sebagaimana disebutkan di atas, produksi antibiotik umumnya terjadi ketika sel mencapai fase stasioner, dan seringkali, densitas sel yang relatif tinggi dibutuhkan untuk produksi antibiotik yang kuat. Bakteri yang mengendalikan proses ini secara harfiah ‘menghitung’ anggota sel dalam benihan. Anggota populasi bacteria count dalam sebuah proses quorum sensing dengan melepas molekul pensinyalan produksi-sendiri  atau autoinducers (AI) yang berakumulasi eksternal. Ketika molekul autoinducing berkonsentrasi dalam medium di atas satu ambang tertentu, mereka memicu respon quorum sensing. Sifat molekul menentukan spesifisitas untuk reseptor, dan memastikan pengenalan dan perkiraan jawaban genetik yang tepat dalam populasi (13). Kata “quorum” adalah istilah resmi yang dengan ketat menyebutkan jumlah minimum kepala dari seluruh anggota yang dibutuhkan untuk membuat satu keputusan. Ahli mikrobiologi, bagaimanapun, menggunakan pengertian dari istilah ini untuk memberi contoh proses membuat-putusan yang digunakan oleh bakteri untuk mengkoordinasikan pengekspresian gen mereka sesuai dengan kepadatan populasi mereka. Salah satu alasan untuk membatasi produksi antibiotik untuk situasi di mana satu “quorum” telah tercapai adalah mungkin memastikan bahwa antibiotik akan diproduksi dalam jumlah cukup untuk berdampak terhadap komunitas mikroba sekelilingnya.
Pada bakteri gram-negatif, acyl homoserine lactones (AHLs) adalah sebuah klas penting autoinducers, yang mengandung struktur berbeda dalam ekor alifatik mereka (Gambar 1A). Pada P. aeruginosa dikenal dua buah AHLs quorum-sytem, lhs dan rhl, yang masing-masingnya memiliki AHL synthase sendiri-sendiri (Lasl dan RhlI). Masing-masing sinyal AHL mengikat reseptor seasal yang benar, LasR atau RhlR, dan memicu pengekspresian se set gen yang terlibat dalam proses fisiologis berbeda seperti misalnya virulensi atau pembentukan biofilem (28-30). Sebagaimana dicontohkan dalam Gambar 1A, pada Erwinia carotovora, sistim pensinyalan ini mengatur pengekspresian gen-gen yang terlibat dalam produksi antibiotik β-lactam carbapenem (31, 32).
Pada bakteri gram-positif, molekul quorum-sensing biasanya memodifikasi peptida kecil-kecil atau asam amino, yang dirasakan (sensed) oleh kinase-kinase terkait-membran (Gambar 1B). Dalam menanggapinya, sensor kinase fosforilat, sebuah pengatur respon serumpun, pada akhirnya menyalakan pengekspresian dari serangkaian tertentu gen. Contoh-contoh dari molekul-molekul sinyal yang terlibat dalam komunikasi sel dengan sel adalah autoinducer peptide (AIP) pada Streptococcus aureus, ComX atau CSF pada Bacillus subtilis dan CSP pada Streptococcus pneumonie, dan mereka mengontrol pengekspresian gen-gen yang terlibat dalam berjenis proses meliputi virulensi, kompetensi atau sporulasi. Dalam contoh dari bakterium patogenik S. aureus, AIP berasal dari produk gen agrD sebagai sebuah pra-peptid yang kemudiannya diproses menjadi bentukan dewasanya sebagai sebuah peptid siklik dengan sebuah cincin thiolactone dan diekspor ke luar sel. Bentuk dewasa di luar dirasakan oleh sebuah reseptor yang mengaktifasi satu pengatur yang pada akhirnya mengatur gen secara positif atau negatif (34, 35). Satu pengecualian terhadap aturan ini adalah asam lemak berasal γ-butyrolactone, molekul kecil yang mengatur penginduksian dari sejumlah besar antibiotik dan kadang juga diferensiasi menjadi aerial hyphae pada spesies Streptomyces (36). Pada Streptomyces griseus, A-Factor (γ-butyrolactone) diikat oleh reseptor, ArpA, yang melepas represi promotor-promotor spesifik terlibat, contohnya, dalam produksi streptomycin (Gambar 1B), dan pembentukan aerial hyphae (37). Sistem γ-butyrolactone yang sama telah ditemukan untuk mengontrol produksi banyak produk alami dalam berbagai streptomycetes, termasuk virginiamycin pada S. virginiae, showdowmycin pada S. lavendulae, dan actinorhodin dan prodiginines pada S. coelicolor (38).
Di samping semua mekanisme QS ini, sisitim komunikasi menakjubkan lainnya adalah AI-2/Lux system, yang mulanya ditemukan pada Vibrio harveyi, dan sekarang dikenal menjadi sebuah sistim QS yang tersebar luas di antara bakteri gram-positif maupun gram-negatif. Sistim ini diusulkan untuk terlibat dalam banyak proses termasuk virulensi dan pembentukan biofilem. Fitur penting dari sistim ini adalah bahwa karena prevalensi dari reseptor sinyal AI-2 [derived signal dari dihydroxy-pentanedione (DPD)] pada beragam spesies bakteria, molekul ini mungkin memasilitasi komunikasi baik inter- maupun intra-spesies (39). Terdapat contoh-contoh di mana pensinyalan AHLs di antara dua spesies berbeda mengawali ke pada sebuah interaksi kooperatif atau kompetitif. Contoh yang paling elok dari kebermaknaan dari komunikasi seperti itu mungkin dapat dijumpai pada biofilem multispesies dibentuk oleh Pseudomonas aeruginosa dan Bulkholderia cepacia. Kedua organisme ini hidup berdampingan dalam paru pasien-pasien dengan fibrosis kistik. Ini mengusulkan bahwa set gen diekspresikan sehingga P. aeruginosa mengkolonisasi pertama dan selanjutnya berkomunikasi dengan B. cepacia untuk memasilitasi kemapanannya dalam tubuh inang (40).

4. Biofilem Bakteri

Pensinyalan sel dan kepadatan sel secara khusus penting dalam pembentukan biofilem yang padat dan terorganisasi spasial (Gambar 2). Semua komunitas bakteri ini seringkali melekat ke permukaan dan terselubung dalam sebuah matriks ekstraseluler yang secara normal dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Pembentukan biofilem terjadi dalam tanggapan terhadap isyarat lingkungan, yakni mati kelaparan, penghancuran oleh bahan kimiawi atau antimikroba. Walaupun sinyal dan gen spesifik terlibat dalam pembentukan biofilem bervariasi di antara spesies, kesamaan tertentu dapat dijumpai (12). Pembentukan biofilem meliputi transisi sel-sel dari gaya hidup planktonik menjadi komunitas sessile melekat ke satu permukaan, dan pembentukan dari satu matriks ekstraseluler yang membantu pembentukan arsitektur khas biofilem dan berkontribusi terhadap pergerakan makanan, oksigen, dan sinyal lingkungan lainnya (41).


Gambar 2
Bakteri mengembangkan komunitas kompleks secara struktural yang disebut biofilem. Pembentukan biofilem merespon faktor berganda dan dapat diatur oleh quorum sensing. Komunitas bakteri ini dibentuk oleh sel-sel yang terbenam di dalam satu matriks ekstrseluler berkomposisikan protein, eksopolisakharid dan molekul lainnya. Matriks ekstrseluler ini menganugerahkan kestabilan dan perlindungan sel-sel dari agresi eksternal sebagai antibiotik. Biofilem Bacillus subtilis in vitro mengembangkan: (A) Pandangan atas dari satu kulit tipis (pellicle) pada interfase cairan-udara pada standing liquid culture dan (B) morfologi koloni pada media beragar dan keduanya dikarakterisasi bagi pembentukan kerunyut tipikal. (C) Satu biofilem Pseudomonas aeruginosa tumbuh pada media beragar disuplemen dengan Congo Red kelihatan sebagai koloni berkerunyutan yang berwarna sangat merah.


Masuk ke dalam fase stasioner dalam tanggapannya terhadap keterbatasan makanan dapat memicu satu kaskade sinyal, sebagaimana dijelaskan pada bagian sistim QS, yang mengaktifasi pengekspresian gen yang terlibat dalam pembentukan biofilem (12, 29, 42). Beberapa dari gen ini mengkode komponen-komponen penting dari matriks ekstraseluler yang menyediakan stabilitas dan ketahanan terhadap biofilem. Berbekal semua pengetahuan ini, telah memungkinkan mengembangkan pengujian kadar dan tatanan biofilem in vitro yang dapat mengidentifikasi mutan dengan tanpa kemampuan membangun komunitas seperti itu. Dua contoh biofilem bakteri in vitro diperlihatkan dalam Gambar 2. Bakterium gram-positif B. subtilis membentuk kulit tipis dalam standing liquid cultures (Gambar 2A) dan membentuk koloni dalam media beragar (Gambar 2B) dengan gambaran tipikal sebagai kerunyut atau proyeksi aerial. Dalam kasus gram-negatif Pseudomonas aeruginosa, biofilem dapat divsualisasikan sebagai koloni kerunyut yang berwarna merah dalam kehadiran the dye congo-red (Gambar 2C). Kemampuan seperti itu disebabkan oleh produksi exopolysaccharide alginate, satu komponen matriks ekstraseluler. Matriks ekstraseluler tidak hanya perlu untuk membangun tulang punggung ketahanan biofilem, ia juga memengaruhi difusi molekul dan menjadi, sebagaimana disajikan kemudian, satu elemen kunci yang terlibat dalam mengurangi efisiensi antibiotik.
Biofilem adalah terdistribusi luas, dan efek mereka mungkin berguna atau merusak bergantung pada konteks. Dalam lingkungan klinik, biofilem dari bakteri patogenik mewakili satu masalah serius, di mana mereka bekerja sebagai nidi of infection, dan membuat eradikasi dari peralatan klinik menjadi sulit oleh sebab meningkatnya resistensi antibiotik (41, 43-47). Resistensi biofilem terhadap antibiotik diperoleh melalui mekanisme bermacam-macam termasuk penghalang fisiko-kimia yang disediakan oleh eksopolisakharid dan komponen matriks lain, dan degradasi dari antimikroba dan/atau perkembangan resistant cell lines (11, 48-50). Diketahui bahwa efikasi antibiotik bergantung pada dosis, waktu dan cara pemberian. Jadi, beberapa sel bakteri mungkin hanya menghadapi SICs dari antibiotik yang digunakan, yang mungkin menginduksi pembentukan biofilem, dan akhirnya menghasilkan meningkatnya resistensi. Kajian-kajian tentang biofilem telah memberi kejelasan pada fisiologi bakteri, regulasi gen, dan siklus hidup, dan menghasilkan informasi yang pada akhirnya menyumbang ke pada pengaturan biofilem dalam sebuah konteks klinik (51).

5. Antiniotik pada Konsentrasi Sub-Inhibitor

Memikirkan gagasan aseli hormesis (3), satu peningkatan jumlah kajian telah menggunakan teknologi microarray dan pustaka dari fusi transkripsional untuk menganalisis efek konsentrasi sub-inhibitor antibiotik terhadap fisiologi mikroba target (52-57). Semua kajian ini mengunjukkan perubahan dalam pengekspresian gen terlibat dalam proses biologi kunci termasuk transkripsi, translasi protein, transpor eksoprotein, respon stres umum, sintesis peptidoglikan, produksi eksopolisakharid, virulensi, quorum sensing, dan pembentukan biofilem (10). Banyak molekul memiliki sebuah efek pleiotropik, yakni mereka memengaruhi proses biologi berganda, atau bahkan menginduksi bermacam respon bergantung pada spesies bakteri. Dengan demikian, beberapa antibiotik kemungkinan memiliki target berganda dan, bergantung pada konsentrasi yang dipakai, mengikat secara istimewa ke satu atau yang lainnya.
Satu contoh dari bagaimana konsentrasi berbeda antibiotika dapat memengaruhi proses perkembangan bakterial dapat dengan mudah dilihat pada uji difusi agar paling sederhana (Gambar 3). Dalam contoh ini, dua antibiotik, Rifampicin (Gambar 3A), satu penghambat transkripsi dan Oligomycin A (Gambar 3B), satu penghambat mitokhondrial ATP synthase diujikan melawan bakteri Gram-positif Streptolomyces coelicor. Eksperimen sederhana ini mengilustrasikan bagaimana gradien difusi dari masing-masing antibiotik menginduksi fenotip berbeda, sebagai contoh, percepatan atau penghambatan perkembangan hypae aerial, atau perangsangan atau penghambatan actinorhodin dan sintesis undecylprodigiosin.
Gambar 3
Efek rifampicin dan oligomycin terhadap perkembangan S. coelicolor. Setiap sumuran (tepiannya kelihatan pada sisi kiri) mengandung 60µl dari cairan 20µg/ml dari setiap obat. (A) Rifampicin, sebuah penghambat transkripsi, menyebabkan serangkaian fenotip diseluruh gradien difusi. Ini terlihat sebagaimana produksi aerial hyphae dan actinorhodin dipercepat dekat sumuran. (B) Penghambat ATP synthase mitokhondria Oligomycin A menyebabkan satu zona penghambatan pertumbuhan, diikuti sebuah area produksi metabolit sekunder dan perkembangan aerial hyphae yang berubah.

Pengamatan bahwa antibiotik berbeda dapat menginduksi respon bakterial yang sama diilustrasikan oleh β-lactams, sekelompok antibiotik yang menghambat sistesis dinding sel, dan aminoglycosides, penghambat sintesis protein. Anggota dari kedua kelompok telah mengunjukkan menginduksi respon yang sama, pembentukan satu bioflem, pada konsentrasi sub-inhibitor (58, 59). Bahkan, analisis teoretis pendahuluan memerlihatkan bahwa respon yang sama dipicu oleh azithromycin (AZM) dan antibiotik lain seperti ciproflaxin dan ceftazidin bergantung pada pengikatan AZM dengan reseptor spesifik seperti misalnya LasR, yang mana, sebagaimana disebutkan di atas, terlibat dalam komunikasi sel dengan sel pada P. aeruginosa (60). Beberapa dari antibiotik ini secara alaminya dihasilkan oleh bakteri, dan lainnya dimodifikasi secara kimiawi. Dengan demikian, kesamaan struktural di antara molekul kecil sintetik dan alami mungkin menyumbang ke pada kesamaan di dalam modus tindakan (3).

6. Antibiotik yang Relevan secara Klinik

Adalah menarik bahwa antibiotik berbeda-beda secara struktural dengan modus tindakan berbeda dapat memancing respon yang sama dalam satu populasi bakteri, misalnya pembentukan biofilem. Pengamatan ini menyontohkan bagaimana satu respon tingkah laku tunggal mungkin terbukti menguntungkan dalam situasi stres banyak, termasuk interaksi  berseteru dengan mikroba dari beragam filogeni. Telah juga teramati bagaimana antibiotika berguna secara klinis, ketika dipakai pada SICnya, dapat mendorong satu respon transkripsional global. Aksi dari beberapa dari antibiotik klinik yang paling relevan telah dikajikan rinci terhadap patogen-patogen manusia penting, dengan hasil akhir menguraikan dasar-dasar untuk resistensi antibiotik dan akhirnya mengembangkan program khemoterapi yang lebih baik. Pada bagian berikutnya ditinjau beberapa klas major dari antibiotika yang dipakai secara klinis dan respon biologis yang mereka picu terhadap patogen penting pada manusia.

6.1. Aminoglycosides
Awal mula kelompok antibiotik ini dimulai pada pertengahan abad pertengahan duapuluhan dengan penemuan stretomycin (Gambar 4A). Belakangan, lebih banyak senyawa dari keluarga ini diungkap, di antara mereka, kanamycin dan tobramycin (Gambar 4A). Aktifitas antibiotika mereka didasarkan pada kemampuan menarget subunit ribosom 30S, menimbulkan penghambatan sintesis protein (61). Tobramycin dihasilkan oleh bakterium tanah Sterptomyces tenebrarius, dan dipakai untuk mengobati infeksi bakterial khronik seperti P. aeruginosa (62). Fakta bahwa kedua mikroorganisme tersebut bersama-sama keberadaannya dalam tanah mendorong sebuah hipotesis menarik; bahwa perkembangan dari resistensi pada P. aeruginosa terhadap tobramycin dapat merupakan sebuah respon adaptif dari P. aeruginosa akan kehadiran antibiotik ini dalam lingkungan alaminya dan dengan demikian, pengobatan pasien-pasien dengan tobramycin mungkin pada akhirnya dapat gagal menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh P. aeruginosa.

Gambar 4
Contoh-contoh dari antibiotik yang relevan secara klinik dipakai untuk pengobatan penyakit-penyakit penting pada manusia. (A) Aminoglycosides adalah inhibitor sintesis protein melalui penargetan ribosomal subunit 30S, (B) β-lactams menarget peptido-glycan bakteri,  (C) Macrolides menarget ribosomal subunit 50S dan mengeblok sintesis protein dan (D) Tetracyclines mengeblok pintu masuk t-RNA pada ribosom bakteri.


Hipotesis ini menyebabkan Hoffmann dan rekan menyelidiki efek konsentrasi sub-lethal tobramycin terhadap pembentukan biofilem P. aeruginosa dan E. Coli (58). Mereka menemukan bahwa konsenstrasi serendah 0.3 kali MIC menginduksi pembentukan biofilem hingga ke level ekivalen dari satu mutan dengan penguatan kemampuan pembentukan biofilem. Menariknya, respon ini tidak berhubungan dengan satu peningkatan produksi alginate, sebuah komponen major matriks ekstraseluler biofilem P. aeruginosa, namun ia lebih sebagai pemicu peningkatan jumlah sel di dalam komunitas biofilem. Respon ini tampaknya dimediasikan oleh gen arr (aminoglycoside response regulator), yang mengkode sebuah protein membran dalam dengan satu domain EAL (umum dijumpai dalam fosfodiesterase yang terlibat dalam degradasi c-di-GMP). Dalam model yang diajukan, antibiotika ini menginduksi aktifitas EAL dari protein Arr. Mekanisme apa yang berlaku di dalam tobramycin menginduksi aktifitas EAL belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa induksi ini menyebabkan satu pengurangan dalam level c-di-GMP. Konsekuensi akhirnya adalah meningkatnya pembentukan biofilem. Diketahui bahwa c-di-GMP mengatur banyak sekali gen-gen yang terlibat dalam proses-proses fisiologis bermacam-macam, termasuk motilitas dan/atau produksi pili, yang keduanya berpartisipasi di dalam pembentukan biofilem. Jadi, sementara mekanisme pasti bagaimana antibiotika ini menginduksi biofilem tidak diketahui, jelaslah bahwa ini lebih kompleks dari apa yang diperkirakan pada awalnya. Lebih terkini, sebuah kajian dengan isolat lingkungan dari P. aeruginosa mengunjukkan bahwa tobramycin mungkin menghambat sistim RhlI/R dengan menurunkan produksi sinyal QS C4-HSL (62). Dalam kasus ini, tobramycin berinteraksi dengan ribosom 16S RNA, mengeblok saluran keluar peptid yang sama seperti oleh azithromycin, satu antibiotik makrolid yang juga dipakai dalam mengobati penyakit infeksi khronik. Yang mengejutkan, efek ini tidak disebabkan oleh menurunnya transkripsi rhlI dan membutuhkan interaksi tobramycin-ribosom.
Semua pengamatan menarik ini menekankan fakta bahwa bakteri dari spesies yang sama telah meragamkan perbendaharaan genetik mereka untuk berrespon secara efisien untuk molekul-molekul tertentu bergantung pada lingkungan yang mereka duduki. Semua temuan ini menyarankan kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik dari sistim transduksi sinyal dan jalur-jalur fisiologis terlibat dalam resistensi antimikroba.

6.2. β-lactams
Β-lactam, adalah sekelompok antibiotik yang menarget biosintesis dinding sel dengan mengeblok reaksi transpeptidase yang memungkinkan covalent cross-linking peptida di dalam untaian peptidoglycan. Di dalam keluarga ini dijumpai penisilin (Gambar 4B) dan cephalosporin, yang dihasilkan oleh Penicillium chrysogenum dan Acromonium chrysogenum secara berturut-turut. β-lactam yang lainnya, adalah thienamycin, dihasilkan oleh Streptomyces flavogriseus. Obat klinik imipenem (Gambar 4B), satu varian yang dihasilkan dari thienamycin, didisain untuk memerbaiki fitur kekuatan alami carbapenem, dan digunakan dalam mengobati infeksi paru. Namun, terdapat perhatian besar akan stabilitas antibiotik ini dan perkembangan resistensinya akibat dari pengekspresian β-lactamases oleh beberapa bakteri patogenik. Dalam upaya untuk memahami dasar molekuler dari perkembangan resistensi β-lactam dalam patogen P. aeruginosa, sebuah analisis transcriptome global dilakukan dengan SIC imipenem (59). Dalam kajian ini, nampak bahwa, sebagaimana diperkirakan, imipenem menginduksi pengekspresian gen ampC, yang mengkode satu β-lactamase, dan ini berhubungan dengan resistensi antibiotik. Tambahannya, satu peningkatan dalam pengekspresian gen yang terlibat dalam produksi alginate juga teramati. Ini menghasilkan peningkatan produksi matriks ekstraseluler dan lebih padat, jadilah biofilem yang lebih kuat. Ini merupakan pengamatan relevan khusus karena alginate memiliki afinitas untuk antibiotik aminoglikosid seperti misalnya tobramycin. Jadi, sebuah peningkatan dalam produksi alginate tampaknya menurunkan penetrasi antibiotik dan menguatkan resistensi antibiotik (11, 63).
Eksperimen terkini pada bakterium gram-positif Streptococcus pneumoniae, memerlihatkan bahwa paparan dengan penicillin pada 50% minimal inhibitory concentration (MIC) juga merangsang pembentukan biofilem. Walaupun mekanismenya tidak jelas, kelihatannya penguatan pembentukan biofilem ini dimediasikan oleh pengturan ke-hulu (up-regulation) pengekspresian luxS (54). Akhir-akhir ini, Anmed dan rekan memerlihatkan bahwa penicillin sub-MICs dan dua obat berbeda secara struktural lainnya, ciprofloxacin (sebuah fluoroquinolone), dan tetracycline (sebuah penghambat translasi) juga menginduksi pembentukan biofilem pada patogen gram-positif lainnya, Staphylococcus intermedius. Meskipun modus tindakannya masih tidak jelas, induksi ini kelihatannya bekerja melalui sistim pensinyalan LuxS/AI-2 (64).

6.3. Macrolides
Macrolide merupakan sekelompok antibiotik yang mengerahkan aktifitas bakterisidanya dengan menargetkan subunit 50S ribosom dan mengeblok saluran keluar polipeptid, jadi, penghambatan sintesis protein. Antibiotik penting anggota dari kelompok ini adalah erythromicin, dihasilkan oleh Saccaharopolyspora erythraea, tylosin, dihasilkan oleh Streptomyces fradiae, dan obat semisntetik clarithromycin dan azithromycin (Gambar 4C) (65).
Sebagaimana dibicarakan sebelumnya, beberapa antibiotika dapat mengganggu sistim komunikasi antar sel dan memancing penurunan pembentukan biofilem. Sementara penghambatan produksi biofilem mungkin tampak seperti efek yang diinginkan, ia mungkin memiliki konsekuensi yang tak diinginkan berupa penguatan virulensi patogen, sebuah pertimbangan yang khususnya relevan dalam pengobatan infeksi khronik. Ini telah diamati untuk erythromicin derivative antibiotic azithromycin (AZM). Pada konsentrasi sub-inhibitor, molekul ini menghambat aktifitas enzimatik guanosine diphosphomannose dehydrogenase dalam jalur biosintetik alginate dari mukoid strain P. aeruginosa. Telah diusulkan, bagaimanapun, bahwa modus tindakan untuk AZM mungkin berupa penghambatan komunikasi antar sel dengan mengganggu sistim pensinyalan QS (66). Dalam sebuah kajian terkini, profil transkripsi P. aeruginosa dalam responnya terhadap satu SIC dari AZM mengunjukkan menurunnya pengekspresian rafnolipid dan protein adhesin LecA, keduanya ini terlibat dalam pembentukan biofilem, sebagaimana diperkirakan dari penggangguannya terhadap sistim QS (60, 67). Namun, satu peningkatan dalam level pengekspresian dari type three secretion system (T3S) genes juga teramati. T3S digunakan oleh bakteri patogen untuk mengirim efektor ke dalam sitoplasma sel inang, dan dengan demikian memainkan sebuah peran langsung dalam virulensi dan sitotoksisitas bakteri (68). Dalam sebuah kajian terpisah, diamati bahwa pengobatan dengan AZM dan macrolides terkait, erythromycin dan calrithromycin, menghasilkan peningkatan mortalitas tikus kecil percobaan setelah infeksi buatan dengan P. aeruginosa (69). Jadi, Penentuan waktu pemberian antibiotik bisa relevan bagi pengobatan penyakit, yakni respon bervariasi mungkin dicapai dalam rejimen profilaktik vs kuratif. Berbagai temuan seperti itu menyarankan bahwa penelitian lebih banyak dibutuhkan untuk mengarakterisasi lebih baik lagi dampak dari molekul-molekul kecil terhadap sistim komunikasi dan virulensi bakteri dan relevansi berbagai perubahan seperti itu dari perspektif evolusi dan ekologi.

6.4. Tetracyclines
Tetracycline adalah satu famili dari antibiotik yang ditemukan pada abad pertengahan duapuluhan dan meliputi chlortetracycline, dan tetracycline yang keduanya dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens, atau oxytetracycline yang diisolasikan dari S. rimosus, dan obat-obat semi-sintetik doxycycline dan minocycline (Gambar 4D). Semua antibiotik ini menarget subunit 30S ribosom melalui pengeblokan masuknya aminoacyl-tRNAs ke the A site.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya untuk AZM, kajian-kajian pemrofilan transkripsi P. aeruginosa setelah pemaparan SIC tetracycline, memerlihatkan satu peningkatan pengekspresian gen T3S dan dan sebagai konsekuensinya satu virulensi yang lebih tinggi dari P. aeruginosa (70). Hal yang sama seperti apa yang telah dijelaskan untuk penicillin, SIC tetracycline atau quinupristin-dalfopristin telah diamati menginduksi pembentukan biofilem. Benihan Streptococci diobati dengan semua senyawa ini pada SIC menguatkan pengekspresian gen-gen yang bertanggung jawab untuk produksi exopolysacharide sebelas kali lipat (71).

7. Pensinyalan oleh Molekul-molekul Kecil Alami

Sebagaimana ditekankan sebelumnya, majoritas antibiotik yang dipakai dalam pengobatan infeksi pada manusia adalah didasarkan atas molekul-molekul yang dihasilkan secara alami. Permasalahan sekitaran resistensi bakteri, dan stabilitas atau masa simpan telah mengarahkan pengembangan dari varian-varian yang menanggulangi semua keterbatasan ini, jadi, memerbaiki efisiensi pengelolaan penyakit. Semua molekul ini harus dibuat di dalam habitat alami di mana penghasilnya biasa hidup. Dengan demikian, berbagai respon terhadap SIC dari produk alami (yakni, perangsangan pembentukan biofilem, atau peningkatan virulensi) yang teramati in vitro haruslah dipertimbangkan dalam satu konteks ekologis. Sebagai tambahan terhadap semua antibiotik ini, seseorang dapat membayangkan sebuah dunianya molekul-molekul kecil yang mungkin berpartisipasi dalam rute-rute komunikasi bermacam-macam, sehingga membangkitkan berbagai macam respon.

7.1. Phenazines
P. aeruginosa dikenal menghasilkan satu famili aktif-redoks dari pigmen yang disebut phenazine, yang pada awalnya dijumpai memiliki aktifitas antimikroba (72). Menariknya, phenazine benar-benar sama strukturnya dengan quinones, sekelompok molekul yang dipakai untuk transfer elektron pada rantai transpor elektron bakteri (Gambar 5A). Newman dan rekan mengunjukkan phenazine memiliki satu peran dalam tranfer elektron ekstraseluler untuk membangkitkan energi bagi pertumbuhan (73, 74). Dalam konteks interaksi intraspesies, phenazine mungkin dipertimbangkan sebagai pemain dalam pensinyalan sel. Apa yang dihasilkan dari penelitian oleh Dietrich dan rekan memerlihatkan bahwa satu mutan yang tak mampu menghasilkan phenazine mampu menghasilkan sebuah biofilem yang lebih kuat sebagaimana dinilai dari sebuah morfologi koloni yang lebih berkerut dibandingkan dengan satu strain tipe-liar (74). Fenotip berbeda ini terjadi oleh penginduksian gen diatur-SoxR (SoxR-regulated genes) dan gen-gen lainnya seperti pel, bertanggung jawab dalam menghasilkan eksopolisakharid. Menariknya, SoxR sebelumnya dianggap mengontrol pengekspresian gen dalam responnya terhadap stres-stres oksidatif. Satu respon yang sama dengan pigmen-pigmen yang dihasilkan sendiri juga teramati pada bakteri tak terkait S. coelicolor, menyarankan sebuah peran yang lebih kompleks, namun tetap lestari secara luas, dari pigmen-pigmen reaktif-redoks dalam mengatur tingkah laku komunitas dan komunikasi antar sel.

Gambar 5
Molekul-molekul kecil alami dihasilkan oleh mikroorganisme berbeda. (A) Pyocyanin, phenazin yang dihasilkan oleh P. aeruginosa, dan antibiotik berstruktur sama quinolone dengan satu peran dalam pembentukan biofilem berkerunyut. (B) Furanones (2-furanone) dihasilkan oleh tumbuhan berbeda adalah secara struktural sama dengan molekul sinyal QS N-acyl-homoserine-lactone atau autoinducer-2, dan dengan demikian mungkin mengganggu komunikasi di antara bakteri. (C) Surfactin, sebuah lipopeptid dihasilkan oleh B. subtilis bekerja sebagai satu molekul sinyal dalam pembentukan biofilem stabil dari B. subtilis. Molekul berbeda-beda secara struktural lainnya dihasilkan oleh organisme lain, sebagai nystatin, valinomycin atau nisin menginduksi respon yang sama lewat KinC sensor kinase.

7.2. Furanones
Furanones (Gambar 5B) adalah sekelompok molekul yang dimurnikan dari ganggang laut Delisea pulchra. Molekul ini dihasilkan dan disekresikan, yang pada akhirnya mengurangi kolonisasi bakteri melalui penggangguan sistim QS baik pada patogen Gram-negatif (Acyl-homoserine lactone system) maupun Gram-positif (sistim pensinyalan AI-2) (75, 76). Untuk alasan ini, dipertimbangkan sebagai satu mekanisme yang dikembangkan ganggang untuk bertahan melawan kolonisasi bakteri. Dalam sebuah kajian belakangan ini, berbagai furanone berbeda dievaluasi tentang aktifitas mereka pada SIC melawan S. aureus (77). Menariknya, diunjukkan bahwa furanone mengganggu sistim QS, dan sebagai hasilnya memicu satu peningkatan dalam pembentukan biofilem, sebuah efek yang sama yang dirangsang oleh molekul-molekul berbeda secara struktural lainnya seperti misalnya tetracycline atau quinupristin-dalfopristin. Efek ini disebabkan oleh satu penginduksian dalam pengekspresian gen ica yang bertanggung jawab untuk produksi polysaccharide intercellular adhesin (PIA) yang diperlukan bagi pembentukan biofilem yang kuat. Walau memerlukan penjelasan, data awal menyarankan bahwa produksi pengekspresian PIA berlebih ini disebabkan oleh sebuah pengaturan ke hilir gen-gen luxS yang membentuk sebagian dari Lux Quorum Sensing communication system.

7.3. Surfactin
Walaupun beberapa antibiotik telah memerlihatkan menginduksi pembentukan biofilem, pensinyalan yang mendasari efek ini masih tidak jelas. Cukup menarik dalam hal ini adalah  wawasan baru yang diperoleh dari berbagai kajian dengan bakteri nonpatogenik B. subtilis. Kajian-kajian dengan organisme ini, yang telah dikenal baik sebagai satu model bagi diferensiasi sel bakteri, mengunjukkan bahwa biofilem berkomposisikan tipe-tipe sel berbeda, dan yang paling penting, semua tipe sel ini dipertahankan dari waktu ke waktu (78, 79). Bahkan, distribusi ruang yang jelas dari semua tipe sel ini membuat dimungkinkannya pembentukan biofilem yang teratur secara arsitektural (78). Pengetahuan ini memberikan kita kemampuan untuk menentukan anatomi biofilem, dan relevan dalam rangka untuk memahami bagaimana molekul-molekul yang bermacam-macam dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan mereka.
Lebih belakangan lagi, Lopez dan rekan mengunjukkan bahwa satu molekul kecil alami, surfactin, memainkan sebuah peran sebagai molekul sinyal yang mengaktifasi jalur yang terlibat dalam pembentukan biofilem (80). Surfactin adalah sebuah lipopeptide yang pada mulanya dijelaskan memiliki aktifitas anti jamur (Gambar 5C). Seperti surfactin pada B. subtilis, lipopetide yang lainnya dihasilkan dalam spesies bakteri bermacam-macam dan beberapa di antaranya telah dieksploitasi bagi pemakaian klinik dikarenakan aktifitas surfaktan dan anti jamur mereka (81). Famili dari senyawa ini dilihat sebagai satu famili baru antimikroba menarik karena modus tindakannya. Kebanyakan dari mereka membentuk pori-pori dalam membran, memunculkan disintegrasi membran dan akhirnya kematian sel (82-84). Fungsi lainnya yang dikaitkan dengan lipopeptide adalah untuk menurunkan tegangan permukaan cairan. Namun, peran yang paling menyolok dan tak terduga dari senyawa ini adalah bahwa ia sebagai satu pemain kunci dalam sistim QS yang merangsang aktifasi jalur pengaturan yang terlibat dalam pembentukan biofilem pada B. subtilis (80).
Dalam kajian Lopez dkk. 2009, diajukan usulan bahwa pembentukan pori memicu sebuah kaskade pensinyalan, diawali dengan perembesan kalium dari sitoplasma sel, yang memancing satu stres fisiologi yang pada akhirnya dirasakan oleh sebuah sensor kinase terkait-membran, KinC. KinC sebaliknya menginduksi pengekspresian gen-gen yang terlibat dalam produksi matriks ekstraseluler lewat pengatur respon seasalnya (80). Mengingat bahwa sistim mengenal fungsi dari molekul pensinyalan alih-alih dari struktur molekulnya, pembentukan biofilem dapat dirangsang oleh berbagai macam produk alami yang berbagi kemampuan untuk membuat pori dalam membran dan menyebabkan perembesan kalium dari sitoplasma. Di antara molekul ini adalah macrolyde polyenes nystatin dan amphotericin juga antibiotik peptid gramidicin dan valinomycin, yang kesemuanya dihasilkan oleh bakteri penghuni-tanah (Gambar 5C). Karena semua molekul kecil penginduksian dihasilkan oleh bakteri penghuni-tanah, adalah masuk akal untuk memikirkan bahwa, B. subtilis menggunakan mekanisme ini dalam alam untuk merasakan dan berrespon secara luas terhadap kehadiran bakteri berbeda.
Kajian tentang B. subtilis dengan demikian telah memercepat akuisisi pengetahuan tentang jalur genetik yang terlibat dalam respon-respon yang diinduksi oleh semua molekul pembentukan-pori ini (79). Namun, menarik untuk dicatat bahwa dari pada semua populasi, hanya satu subpopulasi dari sel B. subtilis yang khusus menyintesis surfactin. Jadi, kajian lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana diferensiasi dari sel-sel penghasil surfactin dikontrol. Disarankan bahwa pengatur ComA~P, yang secara langsung mengaktifasi pengekspresian surfactin operon, mungkin merespon juga untuk SpoOA secara bistable (85).
Jalur pensinyalan surfactin telah dilaporkan belakangan ini memerlihatkan level kompleksitas lainnya, mengilustrasikan kecanggihan dari pensinyalan inter-seluler dalam sel-sel bakteri. Telah diunjukkan bahwa surfactin, sekali dihasilkan oleh satu subpopulasi sel khusus, dapat dirasakan secara satu arah oleh subpopulasi unik lain. Situasi ini berbeda secara dramatik dari arsitektur dari sistim QS tipikal, di mana semua sel menghasilkan dan merasakan molekul sinyal (86). Dengan demikian, sistim pensinyalan QS tipikal dapat di jelaskan sebagai otokrin, yang jelas terbalik dengan apa yang teramati untuk surfactin, yang dapat dipertimbangkan sebagai sebuah contoh pensinyalan parakrin karena sel-sel penghasil tidaklah mendeteksi molekul sinyal (87).

7.4. Microcins
7.4.1. Peptida Antimikroba Kanibalisme
Terdapat molekul kecil lain yang dapat memicu pembentukan biofilem walaupun peran aseli mereka ditemukan berbeda secara menyeluruh. Ini adalah kasus untuk sejumlah toksin dengan sifat-sifat antibiotik yang terlibat dalam diferensiasi sel. Pada B. subtilis sebagai contoh, satu subpopulasi terdiferensiasi dari sel-sel khusus menyekresi dua toksin yang melisis satu fraksi dari saudara kandungnya yang sensitif. Proses ini disebut kanibalisme karena sel-sel yang lisis melepas makanan yang selanjutnya dipakai oleh komunitas (88). Subpopulasi dari sel-sel kanibal adalah populasi yang sama yang menghasilkan matriks ekstraseluler yang dibutuhkan untuk pembentukan biofilem. Kanibalisme dan produksi matriks keduanya dipicu pada subpopulasi yang sama dalam responnya terhadap molekul pensinyalan surfactin. Selanjutnya, sel-sel penghasil-matriks menggunakan makanan yang dilepaskan oleh sel-sel yang dikanibal, sebagaimana ia adalah satu-satunya subpopulasi mengekspres resistensi terhadap toksin ini dan antimikroba yang sama. sebagai hasilnya, subpopulasi ini meningkat dan produksi matriks diperkuat baik ketika toksin kanibalisme dihasilkan ataukah dalam kehadiran antimikroba lain. Ini merupakan sebuah mekanisme pertahanan untuk melindungi B. subtilis dari antibiotik lain yang hadir dalam setingan alami (85). Lebih belakangan, sebuah kajian menjelaskan struktur dari dua toksin kanibalisme dan mengurai aktifitas bakterisidal mereka. Pada semua eksperimen ini, toksin ditambahkan secara eksternal, dan diunjukkan bahwa satu dari toksin itu, toksin Sdp (42-amino acid peptide), dan bukannya toksin kedua Skf (26-amino acid peptide) yang memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bermacam-macam patogen (89).
Contoh-contoh untuk toksin kanibal dengan peran berbeda dapat dijumpai pada bakteri Gram-positif Streptococcus pneumoniae. Pada kasus ini, satu populasi dari sel-sel yang kompeten menghasilkan dan menyekresi sebuah peptida antimikroba yang membunuh satu fraksi dari saudaranya sendiri yang sensitif sementara itu mereka bertumbuh dalam fase eksponen (90, 91). Contoh lainnya adalah Myxococcus xanthus, satu bakteri Gram-negatif dengan kemampuan untuk sporulasi, yang biasa digunakan sebagai sebuah model untuk mengkaji diferensiasi sel. Di bawah kondisi kelaparan bakteri ini mampu memeroleh makanan dengan cara memangsa bakteri lain (92). Aktifitas predator ini dicapai melalui penggunaan dari satu daya kekuatan metabolit sekunder yang tidak hanya memiliki aktifitas antimikroba namun juga memiliki kemampuan untuk menginduksi produksi Dkxanthenes, sebuah famili dari pigmen yang berhubungan untuk sporulasi (93).

7.4.2. Bacteriocins. Lantibiotik
Kelompok menarik lainnya dari microcin adalah yang dihasilkan oleh bakteri saluran pencernaan, yang telah diajukan sebagai memainkan satu peran kunci dalam pengontrolan populasi bakteri gastrointestinal, konon dengan cara antibiosis. Microcin adalah secara tipikalnya peptid tersintesis secara ribosomal, dengan panjang dan fitur bervariasi. Semua peptid ini memiliki spektrum dan modus aksi antimikroba berbeda, dengan beberapa di antaranya menarget baik dinding sel maupun membran sel, dan yang lainnya hanya membran sel saja. Dengan demikian mereka dapat diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok sub-famili berbeda-beda (94-96). Satu dari fitur yang paling berharga dari semua peptid ini adalah bahwa mereka dipakai secara istimewa dalam preservasi makanan kemasan melawan kontaminasi yang tak diinginkan. AS-48 adalah satu dari bakteriocin terpilih untuk tujuan-tujuan seperti itu. Peptid ini dihasilkan oleh Enterococcus faecalis, dan strukturnya telah dijelaskan (97). Aktifitas bakterisida dari molekul ini bergantung pada kemampuannya untuk membentuk pori-pori dalam membran bakteri lain, namun sebaliknya dengan microcin lain seperti misalnya nisin, ia tidaklah berinteraksi dengan Lipid-II. Namun, Sebagaimana sebelumnya teramati untuk molekul yang lainnya, satu adaptasi dengan enterocin ini telah teramati pada patogen yang ditularkan melalui makanan Lysteria monocytogenes dan Bacillus cereus, setelah pemaparan kontinyu dengan molekul ini. Kajian terkini dari Grande-Brugo dkk. mengalamatkan pertanyaan ini dengan menganalisis efek dari konsentrasi sub-inhibitor dari AS-48 melawan B. cereus. Melalui pemakaian sebuah kombinasi dari analisis transkriptom global dan real-time PCR, mereka mengamati satu pengaturan-ke hulu pengekspresian gen pengkodean untuk protein membran, beberapa di antaranya di bawah pengontrolan regulator PadR, yang dikenal memodulasi proses fisiologi penting berkaitan dengan resistensi obat-ganda (multidrugs resistance), virulensi dan/atau detoksifikasi (98). Menggunakan satu prosedur eksperimen yang sama, bacteriocin lain, Lcn972 dari Lactococcus lactis, dijumpai mengatur ke hulu pengekspresian 26 gen dalam L. Lactis, beberapa di antaranya mengkode untuk protein membran tak dienal dan dua buah komponen sistim CesSR yang terlibat dalam respon stres pembungkusan-sel (99).
Nisin mewakili sebuah contoh menarik dari satu microcin dengan sebuah peran selain antibiosis. Nisin adalah satu antibiotik peptid dari 34 asam amino dihasilkan oleh Lactococcus lactis (Gambar 5C). Bacteriocin ini memiliki satu aktifitas berspektrum-luas dan juga dipakai untuk preservasi makanan prosesan dari kontaminasi dengan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Modus aksi nisin adalah penghambatan sintesis peptidoglikan dengan penginteraksiannya dengan Lipid-II, menghasilkan pembentukan pori-pori dalam membran bakteri. Molekul ini, seperti halnya toksin Bacillus lainnya, telah memerlihatkan mendorong pengembangan sel-sel penghasil matriks dalam komunitas B. subtilis, dengan demikian menginduksi pembentukan biofilem (80). Sebuah penjelasan yang mungkin untuk respon ini adalah keeksistensian akan kesamaan dalam struktur dan modus aksi mereka.
Menjelaskan berbagai efek dari semua microcin ini pada konsentrasi sub-letal akan membantu memahami apakah atau tidak sebuah respon yang sama adalah dipicu secara global atau agak secara spesifik dalam spesies-spesies bakteri berbeda-beda yang mengisi niche lingkungan yang sama. Pengidentifikasian molekul, reseptor dan gen-gen target, mungkin membantu dalam pendisainan strategi yang lebih efisien ditujukan untuk penguatan kemapanan mikrobiota menguntungkan atau penggangguan terhadap kemapanan komunitas patogenik.

8. Interaksi Interspesies digiring-antibiotik

Kebanyakan dari antibiotik yang dipakai dalam klinik dihasilkan secara alami oleh mikroba, atau dimodifikasi dari aselinya yang dijumpai di alam ini. Nampakbahwa beberapa dari mereka mungkin mendorong sebuah respon berbeda dari pada antibiosis ketika dipakai pada level SIC. Fakta bahwa beberapa produk alam tanpa disadari memicu pembentukan biofilem menyarankan bahwa ini mungkin menjadi sebuah mekanisme pertahanan dari saingannya. Nmun, sebagaimana dijelaskan di atas, spesies bakteri berbeda menggunakan sistim komunikasi berbeda; jadi, bagaimana sinyal dari awas berbeda dapat dirasakan oleh spesies bermacam-macam adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan penyelidikan lebih mendalam.
Sistim komunikasi yang relatif sering, AI-2, telah didiskusikan di sini, tapi dalam kasus-kasus banyak lainnya, jalur pensinyalan yang terlibat dalam komunikasi interspesies belumlah dengan jelas ditentukan. Sebuah contoh menarik dari komunikasi seperti itu telah diunjukkan di antara Stenotrophomonas maltofilia dan P. aeruginosa. Kedua organisme ini hadir berdampingan dalam lingkungan berbeda berrentang dari tanah hingga paru fibrosis kistik. Dalam sebuah karya terkini oleh Ryan dkk. (2008), diperlihatkan dengan cantiknya bagaimana satu diffusable signal factor (DSF), dari S. maltofilia (awalnya diidentifikasi dalam Xanthomonas campestris dan dikarakterisasi sebagai asam lemak taktersaturasi cis-11-methyl-2-dodecenoic acid), dapat ditangkap oleh P. aeruginosa (100). Penerimaan molekul ini dalam P. aeruginosa bergantung pada sensor kinase PA1396 yang memicu perubahan fisiologi penting termasuk pembentukan biofilem dan meningkatkan toleransi terhadap peptid antimikroba polymixin. Interaksi interspesies menarik lainnya teramati pada duo P. aeruginosa dan jamur Candida albicans (101). Dalam interaksi ini, C. albicans selamat dari gempuran P. aeruginosa dengan cara mengombinasi dua buah strategi. P. aeruginosa menghasilkan sebuah molekul homoserine lactone yang dirasakan oleh C. albicans, merangsang sebuah peralihan dari pertumbuhan filamen menjadi sebuah bentuk jamur yang lebih resisten. Menariknya, C. albicans menghasilkan sebuah molekul isoterpenoid, farnesol, yang mengganggu kaskade pensinyalan quinolone P. aeruginosa, yang mana akhirnya menghasilkan satu pengurangan produksi piocyanine dan virulensi.
Lebih dari hanya sekadar konteks klinik, tanah mewakili satu lingkungan sangat menarik untuk menggali interaksi mikroba dan molekul-molekul dengan satu peran dalam komunikasi antar sel. Satu dari interaksi seperti itu adalah terjadi di antara Streptomyces coelicolor dan jamur Schizophyllum commune. S. coelicolor adalah bakteri berbentuk filamen yang menjalani sebuah siklus perkembangan kompleks pada mana rantai sporanya dibentuk pada bagian akhir dari aerial hyphae dalam responnya terhadap keterbatasan makanan. S. coelicolor merupakan juga organisme model untuk genus Streptomyces, yang mana menghasilkan sangat banyak dari bermacam-macam antibiotik yang berguna secara klinik.  Kemudahan dalam mengendalikan genetik dari S. coelicolor telah menjadikannya sebuah sistim berharga bagi pengkajian biosintesis metabolit sekunder, diferensiasi sel, dan pensinyalan. Pembentukan aerial hyphae memerlukan dua operon, ramCSAB, yang mengkode sebuah peptid lantibiotic-like surfactant SapB, dan chpA-H yang mengkode untuk famili chaplin dari protein-protein yang terlibat dalam pembentukan sebuah selimutan spora hidrofobik (102-104). Dalam kajian terpisah, melalui penggunaan interaksi berpasang-pasangan dengan mikroorganisme berbeda, diunjukkan bahwa jalur diferensiasi seluler dalam S. coelicolor dapat diubah dalam cara berbeda. Sebagai contoh, B. subtilis menghasilkan dua molekul, bacillaene, dan surfactin, yang disebut belakangan, sebagaimana disebutkan di atas, memiliki satu peran sebagai sebuah molekul sinyal dalam proses perkembangan B. subtilis. Straight dan rekan dengan cantiknya mengunjukkan bagaimana kedua molekul ini menghambat pembentukan aerial hyphae dari S. coelicolor. Walaupun modus interaksi pastinya memerlukan penelitian lebih banyak lagi, telah disarankan bahwa itu dimediasikan melalui penggangguan produksi SapB dan chaplins (105). Dalam sebuah kajian terpisah teramati bahwa surfaktan SC3, dihasilkan oleh jamur Schizophyllum commune, dapat mengganti surfaktan SapB aselinya dalam pembentukan aerial hyphae (106).
Mengingat luasnya keragaman metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies Streptomyces dan keberadaan dari jalur-jalur pensinyalan perkembangan yang sama, adalah memungkinkan bahwa molekul-molekul yang terlibat dalam diferensiasi atau inisiasi produksi metabolit sekunder dalam satu spesies dapat memengaruhi satu tingkah laku yang sama dalam spesies Streptomyces berbeda. Satu contoh dari konsep seperti itu diilustrasikan dalam Gambar 6. Dalam percobaan ini, S. coelicolor diujikan melawan satu koleksi dari isolat Streptomyces berbeda. Pada babak pertama, suspensi bakteri ditutul dekat satu sama lainnya, dan setelah satu periode inkubasi, perubahan morfologi S. coelicolor divisualisasikan. Fakta bahwa variasi yang teramati pada S. coelicolor bahkan tanpa kontak fisik sekalipun, menyarankan bahwa molekul-molekul tersekresikan bertanggung jawab terhadap berbagai perubahan fenotipik yang teramati tersebut. Dalam babak kedua, ekstrak dari benihan sel diperoleh dan diujikan. Ekstrak memerlihatkan bermacam-macam aktifitas melawan S. coelicolor. Satu ekstrak dari S. californicus menyebabkan penghambatan pertumbuhan dekat sumuran, diikuti oleh satu daerah penghambatan (putih) aerial hyphae. Di dalam zona “botak”, area terpisah produksi metabolit sekunder oleh S. coelicolor teramati; dari tidak terdapat sama sekali (paling dekat sumuran), undecylprodigiosin (merah), dan actinorhodin (biru). Sebuah ekstrak dari S. griseolus menyebabkan satu daerah penghambatan pertumbuhan yang jelas diikuti oleh satu daerah percepatan perkembangan (nampak sebagai sebuah cincin aerial hyphae putih sekeliling sumuran dalam kolom 2). Akhirnya, sebuah ekstrak dari S. griseoaurantiacus memicu penguatan produksi actinorhodin sementara secara simultan mengahambat perkembangan aerial hyphae.

Gambar 6
Penyaringan untuk isolat yang menyebabkan perkembangan/perubahan morfologis pada S. coelicolor. Lajur pertama: 5µl cairan spora padat dari WT Streptomyces coelicoor M145 (sendiri pada baris 1) dan berbagai isolat Streptomyces liar yang terlihat 1 cm terpisah  pada agar R2YE. Isolat disaring untuk kemampuan mereka memengaruhi morfologi S. coelicolor. Lajur kedua: Isolat liar ditumbuhkan sebagai rumput pada agar, dan diekstrak dengan ethanol. Ekstrak kemudian diujikan untuk aktifitas morfologi melawan rumput S. coelicolor (digambarkan) setelah 48 jam. Lajur ketiga: Pandangan jarak dekat sumuran yang sama yang diperlihatkan pada lajur 2 setelah 72 jam. Baris satu memerlihatkan satu koloni kontrol dari S. coelicolor dan sebuah sumuran dengan ekstrak dari sebuah plat tak terinokulasi. Ekstrak memerlihatkan bermacam aktifitas melawan S. coelicolor.

Sebuah contoh pelaporan yang bagus dari molekul-molekul yang dihasilkan oleh satu spesies Streptomyces memengaruhi program perkembangan yang lainnya, yaitu adalah pamamycin-607, satu makrolid terisolasikan dari S. alboniger (107). Molekul ini telah dilaporkan menginduksi ketidakseimbangan dalam level-level Ca2+ di dalam sel yang meregulasi pembentukan aerial hyphae. Diperlihatkan in vitro bahwa penambahan eksternal dari makrolid ini mampu memerbaharui pembentukan struktur aerial pada spesies Streptomyces berbeda, hanya beberapa darinya adalah penghasil pamamycin-607. Semua temuan ini menyarankan bahwa walaupun molekul ini dapat berfungsi sebagai sebuah pengatur diferensiasi-sel, ia tidaklah dimanfaatkan sebagai satu sinyal global bagi pembentukan struktur aerial pada semua spesies Streptomyces.
Pemanfaatan analisis two-dimensional MALDI-TOF mass spectrometry akhir-akhir ini untuk mengkaji interaksi berpasangan klasik merupakan sebuah cara baru yang ampuh untuk menentukan dengan lebih akurat pertukaran sinyal di antara bakteri berbeda. Kekuatan dan kemolekan teknik ini bergantung pada fakta bahwa distribusi tata ruang molekul-molekul yang terlibat dalam komunikasi dapat dideteksi sekitaran koloni mikroorganisme in situ. Ia juga menyediakan satu kesempatan untuk menentukan pemandangan dari sinyal yang berfluktuasi di antara spesies berbeda ketika bertumbuh bersama. Memakai teknik ini, Yang dan rekan menyelidiki interaksi dari dua macam mikroorganisme tanah, B. subtilis dan S. coelicolor (108). Mereka mendapatkan bahwa surfactin, dihasilkan oleh B. subtilis, tidak hanya memengaruhi program perkembangan S. coelicolor, namun juga menurunkan produksi calcium dependent antibiotic (CDA), sebuah senyawa dengan aktifitas melawan organisme Gram-positif. Mereka menyediakan sebuah daftar molekul yang terpengaruh selama interaksi ini dan bagaimana produksi mereka berevolusi sepanjang waktu, menggarisbawahi kompleksitas sinyal yang terlibat dalam komunikasi interspesies. Dalam kajian yang lain, 2D MALDI-TOF dipergunakan guna mengkaji bagaimana faktor kanibalistik B. subtilis terlibat dalam pembunuhan saudaranya yang rentan (89). Dalam studi ini, hasil yang menarik dan tak terduga teramati, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa strain yang sudah jinak dari B. subtilis PY79, menghasilkan surfactin. Sebaliknya, dua peptid kanibalistik (SKF dan SDF) tidak menyebar ke dalam medium, sebagaimana yang dilakukan surfactin dan subtilosin. Semua percobaan ini menyediakan basis bagi pemurnian lebih lanjut protokol dari faktor-faktor kanibalisme, dan struktur mereka dijelaskan

9. Simpulan dan Sudut Pandang

Pada masa belum lama ini, antibiotik telah secara luas dimanfaatkan karena kemampuannya mengobati banyak penyakit infeksi pada manusia. Dengan seringkali meningkatnya kegagalan dari beberapa molekul ini dalam mengontrol banyak infeksi yang dapat terobati sebelumnya telah memacu penyelidikan mekanisme yang bertanggung jawab untuk resistensi seperti itu. Satu kesatuan fitur di antara hasil-hasil kajian diperoleh dari beberapa kajian rintisan yang telah mengamati bahwa banyak antibiotik yang telah dikenal dengan baik nyatanya menginduksi berbagai respon bakteri berbeda ketika diaplikasikan pada konsentrasi sub-inhibitor. Dalam semua kajian ini, senyawa yang dimurnikan dianalisis untuk kemampuannya dalam menimbulkan efek respon global menggunakan analisis transkriptomik. Belakangan, semua hasil ini dikonfirmasi menggunakan peralatan genetik lainnya, seperti RT-PCR atau transcriptional promoter fusions untuk melaporkan protein-protein.
Usaha untuk mengidentifikasi target-target yang dipengaruhi oleh dosis sub-inhibitor dari semua antibiotik ini mengunjukkan bahwa banyak dari mereka mengganggu sistim komunikasi antar sel, dan bergantung pada spesies bakteri, mungkin memengaruhi virulensi, faktor-faktor respon stres, atau diferensiasi dan perubahan morfologi sel. Kajian lebih banyak diperlukan dalam rangka memerjelas bagaimana respon berbeda ini tercapai dan pemain-pemain mana sajakah yang terlibat. Mudah-mudahan saja, pengetahuan yang diperoleh dari kajian-kajian seperti itu akan membantu dalam perkembangan rejimen teraputik untuk mendorong atau menghambat sebuah respon bakteri spesifik, sebagai contoh, pendorongan pembentukan biofilem dari bakteri menguntungkan untuk melindungi terhadap patogen yang menyerang atau penghambatan spesifik dari berbagai proses virulensi.
Secara tradisi, mikroorganisme yang tak dapat dibenihkan mungkin juga mewakili satu contoh yang patut diperhatikan dari kerjasama mikroba penting. Saat ini, kita kekurangan pemahaman yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kebanyakan mikroba dalam sebuah setingan laboratorium. Satu penjelasannya yang mungkin adalah bahwa mereka memerlukan satu atau lebih pasangan mikroba untuk tumbuh. Dalam sebuah kerangka seperti itu, satu spesies bakteri mungkin menyediakan bagi lainnya dengan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk menyokong ketahanan hidupnya. Sebagaimana diungkap oleh Lewis dkk., 2010, mikroorganisme-mikroorganisme yang tidak dapat dibenihkan ini mungkin mewakili sumber menarik lainnya dari metabolit sekunder baru (109). Dalam kajian ini, dijumpai bahwa siderophores (molekul yang berikatan ke dan memungkinkannya besi hadir dalam medium) dari satu organisme mendorong pertumbuhan yang lainnya, yang sebelumnya adalah mikroorganisme pasangan yang tak dibenih. Contoh menarik lainnya teramati untuk dua bakteri laut, Micrococcus lotus dan Micrococcus polysiphoniae (110). Pertumbuhan yang disebut pertama disokong oleh yang disebut belakangan, dan menariknya, hal itu berlangsung dalam sebuah cara-cara yang bergantung jarak, di mana semakin dekat mereka dibenihkan, semakin lebih baik pertumbuhannya. Produksi dari lima siderophores berbeda terdeteksi dalam analisis fraksinasi lebih lanjut. Dalam contoh ini, siderophores, dipakai untuk kompetisi dalam beberapa lingkungan, terbukti berguna bagi pemapanan dari satu interaksi timbal balik. Faktor-faktor apa yang terlibat, dan bagaimana metabolit sekunder lainnya mungkin dihasilkan dan partisipasi dalam komunikasi di antara spesies, akan menyumbang pemahaman kita dalam hal kompleksitas dari komunikasi interspesies.
Sekarang, dengan rentangan lebih besar dalam teknik yang tersedia, kita siap untuk membuat kemajuan dramatik dalam hal pemahaman komunikasi bakteri. Adalah juga sepertinya bahwa semua kajian ini akan menghasilkan molekul-molekul baru yang dapat dianalisis rinci bagi aplikasi teraputik mereka, termasuk pemodulasian konsorsia bakteri dan diferensiasi sel.