Minggu, 18 April 2010

Pluripotent Cell Stem Lines

Pendahuluan

Derivasi sel-sel stem embryonik manusia 10 tahun yang lalu telah memicu luapan animo masyarakat akan sel stem, di mana semua tahap pencapaian saat itu adalah bergantung dari hasil-hasil riset yang telah dilaksanakan beberapa dekade sebelumnya pada sel-sel karsinoma embryonik tikus dan sel-sel stem embryonik tikus. Sebaliknya, derivasi sel-sel stem pluripoten terinduksi (induced pluripotent stem cells) pada tikus dan manusia akhir-akhir ini adalah bergantung dari hasil-hasil studi pada sel-sel stem embryonik tikus dan manusia. Baik sel-sel stem embryonik manusia maupun sel-sel stem pluripoten terinduksi pada manusia dapat dengan jelas berkemampuan memperbaharui diri in vitro sementara mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi derivatif-derivatif ketiga lapis benih (germ) lanjut, kesemuanya itu memberi gambaran yang sangat bermanfaat dalam memahami diferensiasi dan fungsi jaringan manusia, bagi pengujian penyaringan obat dan toksisitas obat, dan bagi terapi-terapi transplantasi seluler. Tulisan ini meninjau keluarga dari pluripotent cell lines yang didapat dari embryo-embryo usia awal dan dari sel-sel benih, dan membandingkan mereka dengan apa yang saat ini disebutkan sebagai sel-sel stem pluripoten terinduksi (induced pluripotent stem cells).

Sel-sel Stem Pluripoten dari Asal Berbeda

Sel-sel Karsinoma Embryonal (EC)

Lingkup pengetahuan sel-sel stem dimulai dengan studi mengenai teratokarsinoma pada tahun 1950-an. Teratokarsinoma merupakan tumor sel benih maligna yang mengandung suatu komponen EC takterdiferensiasi dan suatu komponen terdiferensiasi yang dapat termasuk semua dari ketiga jenis sel lapis benih. Meskipun teratokarsinoma telah dijelaskan berabad lalu, jarangnya tumor ini terjadi membuatnya sulit untuk dipelajari. Temuan bahwa tikus jantan strain 129 memiliki satu insiden teratoma testikuler yang tinggi (atau lebih tepatnya, teratokarsinoma; hingga 1%)(Stevens and Little 1954) membuatnya dapat dianalisis eksperimental untuk pertama kali. Tetap bertahannya komponen sel EC memungkinkan teratoma secara serial ditransplantasikan di antara tikus, sebagaimana fungsi sel-sel takterdiferensiasi ini sebagai sel stem bagi komponen-komponen tumor lainnya. Pada tahun 1964 (Kleinsmith and Pierce 1964) mempertunjukkan bahwa satu sel EC tunggal adalah mampu baik dalam pembaharuan diri yang tak terbatas maupun dalam diferensiasi multilineage, memapankan eksistensi dari satu sel stem pluripoten dan juga penambahan pada kerangka intelektual bagi sel-sel embryonik (ES) tikus maupun manusia. Hal ini juga merupakan pengunjukkan eksperimental pertama dari satu sel stem kanker, mendahului keinginan intens masa kini dalam hal sel-sel stem kanker lewat beberapa dekade. EC cell line tikus yang dapat secara stabil dibiakkan in vitro telah mapan dalam awal tahun 1970-an (Kahan and Ephrussi 1970) dan telah dipelajari secara luas sebagai “in vitro caricatures of development", sebagaimana mereka dapat dikultur dalam jumlah yang mencukupi untuk membentuk eksperimen-eksperimen yang adalah tidak memungkinkan dilakukan dengan menggunakan embryo-embryo mamalia intak.
Adanya kesamaan secara alami sifat-sifat perkembangan sel-sel EC dengan sel-sel benih usia awal mengawali untuk dilakukannya penelusuran bagi satu pembandingan in vivo dari sel-sel ini. Perkembangan mamalia dimulai dari satu sel tunggal yang dapat memberikan pemunculan dari semua jenis sel yang dibutuhkan bagi adanya kehidupan baru, namun melalui kelanjutan kejadian-kejadian diferensiasi, potensi perkembangan menjadi semakin terbatas. Sebagaimana satu sel benih berbelah, ia membentuk sebuah morula, yang merupakan satu kelompok sel-sel takterdiferensiasi mirip buah “murbai”. Kejadian diferensiasi terjadi ketika lapis luar sel-sel morula berdiferensiasi menjadi trophecderm, untuk membentuk benih stadium blastocyst. Sel-sel di dalam blastocyst (inner cell mass, atau ICM) memberikan pemunculan bagi semua sel-sel tubuh dewasa dan beberapa jenis jaringan ekstra embryonik, sementara trophecderm memberi pemunculan bagi lapis luar plasenta. Sel-sel EC tikus mengekspresikan antigen dan protein yang adalah sama dengan sel-sel dalam ICM (Gachellin et al. 1977; Solter and Knowles 1978), yang mengawali konsep bahwa sel-sel EC merupakan satu pembandingan in vitro dari sel-sel pluripoten yang ada dalam ICM (Martin 1980). Sesungguhnya, beberapa EC cell line adalah dapat menyumbang bagi pemunculan berjenis tipe sel somatik setelah injeksi ke dalam blastocyst tikus (Brinster 1974). Bagaimanapun, kebanyakan EC cell line memiliki keterbatasan potensi perkembangan dan menyumbang secara buruk bagi tikus-tikus chimeric, yang sepertinya hal ini adalah akibat dari akumulasi perubahan-perubahan genetik selama pembentukan dan pertumbuhan teratokarsinoma (Atkin et al. 1974).
Sel-sel EC manusia selanjutnya terderivasi (Hogan et al. 1977), dan sel-sel ini terbukti menjadi secara bermakna berbeda dari sel-sel EC tikus. Sebagai contoh, SSEA-1, satu penanda permukaan sel yang secara spesifik terekspresi pada sel-sel EC tikus, adalah tidak terdapat pada sel-sel EC manusia, sementara SSEA-3, SSEA-4, TRA-1-60, dan TRA-1-81 adalah tidak terdapat pada sel-sel EC tikus namun terdapat pada sel-sel EC manusia (Andrews et al. 1982, 1984; Kannagi et al 1983). Juga, berlawanan dengan sel-sel EC tikus, sel-sel EC manusia adalah sangat euploid, yang sepertinya hal ini menjadikannya memiliki ketidakmampuan untuk berdiferensiasi menjadi satu rentangan luas tipe sel somatik, dan membatasi kegunaannya sebagai satu model in vitro perkembangan manusia. Apakah berbagai perbedaan dalam hal permukaan sel dan morfologi antara sel-sel EC manusia dan tikus merefleksikan perbedaan khas spesies dalam embryologi tahap awal ataukah merefleksikan beberapa pecularity dari transformasi neoplatik dari sel-sel benih manusia, saat itu masih merupakan satu pertanyaan terbuka hingga kemudian dikenalnya derivasi sel-sel ES manusia.

Sel-sel Stem Embryonik (ES) Tikus

Sel-sel pluripoten hanya sebentar (transient) berada dalam embryo in vivo, sebagaimana mereka berdiferensiasi dengan cepat menjadi bermacam sel-sel somatik lewat adanya proses perkembangan. Bagaimanapun, bila embryo tikus usia awal di transfer ke lokasi-lokasi ekstrauterin, seperti misalnya pada kapsul-kapsul ginjal atau testis, mereka dapat berkembang menjadi teratokarsinoma (Solter et al. 1970; Steven 1970). Tingginya frekuensi pembentukan teratokarsinoma, bahkan pada strain-strain yang tidak berkecenderungan secara spontan memiliki satu insiden meningkat dari tumor-tumor sel benih, menyarankan bahwa proses ini bukanlah sebagai hasil dari kejadian-kejadian transformasi neoplastik jarang. Eksperimen-eksperimen transplantasi embryo ini menunjukkan bahwa embryo yang intak memiliki satu populasi sel yang dapat memberikan pemunculan pluripotent stem cell lines, dan temuan kunci ini mengawali penelusuran bagi kondisi-kondisi kultur yang akan memungkinkan derivasi in vitro langsung sel-sel stem pluripoten dari embryo, tanpa perlu kebutuhan sela bagi pembentukan karsinoma in vivo.
ES cell lines tikus pertamakali diderivasi dari blastocyst ICM tikus menggunakan kondisi-kondisi kultur (fibroblast feeder layers and serum) yang sebelumnya digunakan bagi sel-sel EC tikus (Evans and Kaufman 1981; Martin 1981). Kultur-kultur sel ES yang secara klonal diderivasi dari satu sel tunggal dapat berdiferensiasi menjadi satu varietas luas tipe-tipe sel in vitro dan membentuk teratokarsinoma bila diinjeksikan ke dalam mice (Martin 1981). Lebih penting lagi, tidak sebagaimana halnya sel-sel EC, sel-sel yang secara karyotipik adalah normal ini dapat menyumbang pada satu frekuensi tinggi untuk satu varietas jaringan-jaringan pada chimera, termasuk sel-sel benih, jadi, menyediakan satu jalan praktis untuk mengenalkan modifikasi-modifikasi ke mouse germ line (Bradley et al. 1984). Efisiensi dari derivasi sel ES tikus adalah sangat dipengaruhi oleh latar belakang genetik. Sebagai contoh, sel-sel ES dapat dengan mudah diderivasi dari129/strain ter-Sv bawaan (inbred) namun kurang efisien dari strain C57BL/6 (Ledermann and Burki 1991). Bagaimanapun, sel-sel ES tikus dapat diderivasi dari beberapa strain-strain nonpermisif menggunakan protokol-protokol dimodifikasi (McWhit et al. 1996). Sel-sel ES tikus telah juga diderivasi dari embryo-embryo stadium berbelah dan bahkan dari blastomer-blastomer individual dari stadium embryo dua hingga delapan sel (Chung et al. 2006; Wakayama et al. 2007)
Cell feeder layers yang secara mitosis takteraktifasikan merupakan media kultur yang pertamakali digunakan untuk menyokong sel-sel epitel yang bersifat sulit dikultur (difficult-to-culture) (Puck et al. 1956) kemudian secara sukses diadaptasikan untuk keperluan kultur sel-sel EC tikus (Martin and Evans 1975) dan sel-sel ES tikus (Evans and Kaufman 1981). Medium yang “dikondisikan” melalui kokultur dengan berbagai jenis sel didapatkan mampu untuk mempertahankan sel-sel ES dalam ketiadaan feeders, dan fraksinasi dari medium yang terkondisikan mengawali untuk identifikasi terhadap leukemia inhibitory factor (LIF), yang merupakan satu sitokin yang mempertahankan sel-sel ES (Smith et al. 1988; Williams et al. 1988). LIF dan sitokin-sitokin terkait dengannya bekerja melalui reseptor gp130 (Yoshida et al. 1994). Pengikatan LIF akan menginduksi dimerisasi LIFR/ reseptor-reseptor gp130, yang sebaliknya akan mengaktifasi Janus-associated tyrosine kinase (JAK)/the latent signal transducer and activator of transcription factor (STAT3) (Yoshida et al 1994), dan Shp2/kaskade ERK mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Takashaki-Tezuka et al.1998). Aktifasi STAT3 sendiri saja adalah cukup untuk pembaharuan diri sel-sel ES tikus bermediasikan LIF dengan adanya serum (Matsuda et al. 1999). Aktifasi ERK, bagaimanapun, nampaknya mengganggu proliferasi sel ES. Sebaliknya, penekanan jalur ERK oleh penambahan inhibitor MEK PD098059 mendorong pembaharuan diri sel ES (Burdon et al 1999). Jadi efek proliferasi dari LIF pada sel-sel ES tikus memerlukan satu keseimbangan yang dibuat dengan tepat di antara efektor-efektor positif dan negatif.
Dalam medium bebas-serum, LIF sendiri saja adalah tidak cukup untuk mencegah diferensiasi sel-sel ES tikus, namun dalam kombinasinya dengan BMP (bone morphogenetic proteine, anggota dari superfamili TGFβ), sel-sel ES tikus dapat dipertahankan (Ying et al. 2003). BMPs menginduksi ekspresi protein-protein Id (inhibitor of differentiation) melalui jalur Smad. Ekspresi Id berlebihan dengan sendirinya dapat mendorong proliferasi sel ES tikus dalam keberadaan LIF sendiri saja tanpa memerlukan baik BMPs ataupun serum. Bagaimanapun, BMPs mungkin juga beraksi melalui penghambatan jalur-jalur MAPK yang tak bergantung Smad. Yang belakangan disebut adalah disokong oleh fakta-fakta bahwa sel-sel ES dapat di derivasi dari blastocyst yang kurang mengandung Smad4 (pasangan tersering untuk semua Smad) (Sirard et al. 1988) dan bahwa penghambatan p38 MAPK oleh SB203580 memungkinkan derivasi sel-sel ES dari blastocyst yang kurang mengandung BMP type I receptor Alk-3, yang mana sebelumnya menahan derivasi sel-sel ES (Qi et al. 2004). Dalam perkembangan normal, bagaimanapun, kelihatannya tidak diperlukannya LIF, gp 130 ataupun STAT3 sebelum gastrulasi (Escary et al. 1993; Yoshida et al. 1996; Takeda et al. 1997), dan embryo-embryo tikus mutant homozygous Alk-3 dapat berkembang secara normal ke stadium pasca-implantasi awal (Mishina et al. 1995). Jadi, ICM pluripotent/epiblast dapat menjalankan jalur-jalur pensinyalan alternatif bagi proliferasi takterdiferensiasi (undifferentiated proliferation).
Yang lebih terkini, pluripotent stem cell lines (epiblast stem cells atau EpiSCs) yang telah mapan dari epiblast yang diisolasikan dari embryo-embryo tikus pascaimplantasi E5.5 ke E6.5 yang berbeda secara bermakna dari sel-sel ES tikus namun berbagi ciri-ciri kunci dengan sel-sel ES manusia (lihat bawah) (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007). Sebagai contoh, derivasi EpiSCs gagal dalam keberadaan LIF dan/atau BMP4, dua faktor yang dibutuhkan untuk derivasi dan pembaharuan diri sel-sel ES tikus. Sebaliknya, sama halnya dengan sel-sel ES dan iPS manusia, FGF dan pensinyalan Activin/Nodal adalah penting bagi derivasi EpiSC. Ekspresi gen oleh EpiSCs secara dekat merefleksikan asal epiblas pasca implantasi (post-implantation epiblast origin) mereka dan adalah berbeda dari sel-sel ES tikus. Setidaknya, EpiSCs memang berbagi dua buah gambaran kunci yang khas sel-sel ES, yaitu: proliferasi in vitro dan diferensiasi mutilineage yang memanjang. Kemampuan menciptakan sel-sel stem pluripoten dari embryo-embryo pascaimplantasi usia awal adalah konsisten dengan ekspreimen-eksperimen transplantasi embryo ekstrauterin usia awal di mana embryo-embryo tikus yang ditransplantasikan pada stadium-stadium yang berrentang dari satu sel hingga egg cylinder (E8) adalah mampu membentuk teratokarsinoma (Stevens 1968, 1970; Solter et al. 1970), namun kemampuan ini adalah dengan cepat menghilang dengan berlanjutnya perkembangan.

Pluripotent Cell Lines yang Diderivasi dari Sel-sel Benih

Kendatipun bukti bahwa teratokarsinoma telah diketahui dapat diderivasi dari primordial germ cells (PGCs) (Stevens 1962), tidaklah demikian adanya hingga tahun 1992 bahwa sel-sel stem pluripoten (embryonic germ cells atau EG cells) berhasil diderivasi dari PGCs secara langsung in vitro ( Matsui et al 1992; Resnick et al. 1992). Tidak sebagaimana halnya dengan sel-sel ES, derivasi inisial dari sel-sel EG tikus memerlukan satu kombinasi cell stem factor (SCF), LIF, FGF dalam keberadaan dari satu feeder layer. Dalam kultur, sel-sel EG secara morfologis tak dapat dibedakan dari sel-sel ES tikus dan juga dari ekspresi khas penanda sel ES yang khas seperti misalnya SSEA-1 dan Okt4. Dan, hal yang sama dengan sel-sel ES, setelah injeksi blastocyst, mereka dapat dengan ekstensif menyumbang ke tikus chimeric termasuk sel-sel benih (Labosky et al. 1994; Stewart et al. 1994). Tidak seperti halnya sel-sel ES, bagaimanapun, sel-sel EG mempertahankan beberapa ciri dari PGCs aslinya, termasuk genome wide dimethylation, penghapusan dari genomic imprints, dan reaktifasi khromosom-X (Labosky et al. 1994; Tada et al. 1997), yang kesemuanya ini sepertinya merefleksikan stadium-stadium perkembangan dari PGCs dari mana mereka diderivasi (Shovlin et al. 2008). Sel-sel stem pluripoten (multipotent germline stem cells atau mGSCs) yang lebih terkini telah diderivasi baik dari testis tikus neonatus maupun dewasa (Kanatsu-Shinohara et al 2004; Guan et al 2006). mGSCs berbagi satu morfologi yang sama dengan sel-sel ES tikus, yaitu: mengekspres penanda-penanda spesifik sel ES tikus yang khas, berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, membentuk teratoma, dan menyumbang secara ekstensif ke chimera termasuk sel-sel germline setelah injeksinya ke dalam blastocyst. Bagaimanapun, mGSCs memiliki status yang berbeda baik dari sel-sel ES maupun sel-sel stem germline (Kanatsu-Shinohara et al. 2004). Testis tikus mengandung subpopulasi-subpopulasi sel-sel stem germline berbeda (Izadvar et al. 2008). Asal dari mGSCs adalah dalam beberapa hal belumlah jelas, meski hal ini dapat menjadi mungkin bahwa kultur in vitro sel-sel stem germline memrogram ulang sejumlah kecil sel-sel ini untuk menjadikannya suatu keadaan mirip sel ES. Sebagai contoh, kultur dari GPR125+ (c-Kit−) spermatogonial progenitor cells (GSPCs) mampu mengubah sel-sel ini menjadi sel-sel stem pluripoten (multipotent adult spermatogonia-derived stem cells, atau MASCs), yang dapat berdiferensiasi menjadi derivatif-derivatif semua dari ketiga lapis benih utama baik in vitro maupun in vivo (Seandal et al. 2007). MASCs, bagaimanapun memiliki satu pola ekspresi gen yang berbeda baik dari GSPCs maupun sel-sel ES.
Derivasi sel-sel EG manusia telah dilaporkan pada tahun 1998 (Shamblott et al. 1998), namun meski ada dukungan oleh banyak pihak, potensi proliferatif jangka panjang mereka nampaknya terbatas (Turnpenny et al. 2003). Bagian awal sel-sel EG manusia telah dilaporkan berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, namun hal ini belum ditunjukkan adalah dari satu cell line yang berasal klonal dan stabil, tidak juga hingga sekarang memiliki semacam human EG cell lines yang dilaporkan untuk membentuk teratoma. Di samping memiliki perbedaan dalam hal berbagai kebutuhan faktor pertumbuhan dari sel-sel ES manusia, sel-sel EG manusia memiliki satu morfologi yang sangat berbeda dan mengekspres SSEA-1, satu penanda permukaan sel yang tidak ada pada pada sel-sel ES manusia namun ada pada sel-sel benih manusia usia awal. Sel-sel EC manusia adalah juga berasal sel benih (germ cell-derived) dan berbagi dalam berbagai penanda dan morfologi dasar sel-sel ES manusia, jadi berbagai perbedaan ini menyarankan bahwa satu langkah final dalam mengkonversi berbagai human germ cell line ini menjadi ke satu sel proliferatif yang sebanding dengan sel-sel ES/EC manusia adalah masih tetap belum terhubungkan (missing). Sifat-sifat dari human EG cell lines yang dilaporkan hingga saat ini menyarankan keberbedaan berdasar spesies yang mendasar (fundamental species-specific differences) di antara biologi sel benih tikus dan manusia usia awal dan menyarankan bahwa pembandingannya yang terdapat pada manusia adalah sebanding benar dengan sel-sel EG tikus adalah belum dapat diambil.

Sel-sel Stem Embryonik (ES) Manusia

Ada semacam keterlambatan yang berarti atara derivasi sel-sel ES tikus dalam tahun 1981 dengan derivasi sel-sel ES manusia pada tahun 1998 (Thomson et al. 1998), meskipun banyak usaha sebelumnya telah dilakukan dalam derivasi sel ES manusia. Keterlambatan ini utamanya disebabkan oleh berbagai keberbedaan sel ES berdasar spesies (species-specific ES cell differences) dan media kultur embryo manusia yang suboptimal. Sebagai contoh, isolasi ICMs dari blastocyst manusia telah dilaporkan sebelumnya (Bongso et al. 1994), namun kultur lanjutannya dalam media yang ditambah dengan LIF dan serum, kondisi-kondisi yang memungkinkan derivasi sel-sel ES tikus, menghasilkan hanya dalam diferensiasi, tidak dalam derivasi dari pluripotent cell lines stabil. Pada pertengahan tahun 1990, ES cell lines diderivasi dari dua primata bukan manusia: monyet rhesus dan common marmoset (Thomson et al. 1995, 1996). Pengalaman dengan ES cel lines primata tersebut dan perbaikan dalam kondisi-kondisi kultur yang menyertainya bagi embryo-embryo IVF manusia (Gardner et al. 1998) memungkinkan berlanjutnya derivasi ES cell lines manusia (Thomson et al. 1998). Sel-sel ES manusia adalah normal secara karyotpik dan, bahkan setelah proliferasi takterdiferensiasikan yang berkepanjangan, mempertahankan potensi perkembangannya untuk menyumbang bagi kemajuan menderivasi ketiga lapis benih, bahkan setelah derivasi klonal (Amit et al. 2000). Hal yang sama dengan sel-sel ES tikus, sel-sel ES manusia adalah diambilkan dari morula, embryo stadium balstocyst akhir (Stojkovic et al. 2004; Strelchenko et al.2004), blastomer tunggal (Klimanskaya et al. 2006), dan embryo-embryo parthenogenetik (Lin et al.2007; Mai et al. 2007; Reyazova et al.2007). Adalah belum diketahui apakah pluripotent cell lines yang diambil dari sumber-sumber berbeda ini memiliki perbedaan-perbedaan perkembangan yang konsisten atau apakah mereka memiliki satu potensi yang ekuivalen. Media kultur fibroblast feeder layer yang diinaktivasi secara mitotik dan media kultur yang berkandungan serum digunakan dalam derivasi tahap awal sel-sel ES manusia, yang secara esensiil merupakan kondisi yang sama yang digunakan untuk derivasi sel-sel ES tikus sebelum masa pengidentifikasian LIF (Thomson et al. 1998). Bagaimanapun, hal tersebut sekarang nampaknya merupakan kejadian ikutan yang menguntungkan bahwa fibroblast feeder layers menyokong baik sel-sel ES tikus maupun manusia, sebagaimana faktor-faktor spesifik yang biasa dipakai untuk mempertahankan sel-sel ES tikus tidaklah menyokong sel-sel ES manusia. LIF dan sitokin-sitokin yang terkait gagal dalam menyokong sel-sel ES primata manusia dan bukan manusia pada media kultur berkandungan serum yang menyokong sel-sel ES tikus (Thomson et al.1998; Daheron et al. 2004; Humphrey et al. 2004). Konsisten dengan pengamatan ini, sel-sel ES manusia tidak mengekspres atau mengekspres pada level yang sangat rendah dari komponen-komponen penting jalur LIF—LIFR, gp 130, dan JAK 1 dan 2 (Brandenberger et al. 2004), dan dalam kondisi-kondisi yang memang menyokong sel-sel ES manusia, STAT3 adalah sedikit sekali teraktifasi (Daheron et al. 2004). Komponen-komponen dari jalur BMP adalah semuanya muncul pada sel-sel ES manusia (Rho et al. 2006), namun tidak seperti sel-sel ES tikus, penambahan BMP pada sel-sel ES manusia dalam kondisi-kondisi yang sebaliknya akan menyokong pembaharuan diri, menyebabkan percepatan diferensiasi (Xu et al. 2002).
Hal yang sebaliknya untuk sel-sel ES tikus, FGF dan pensinyalan TGFβ/Activin/Nodal adalah merupakan hal penting sentral bagi pembaharuan diri sel-sel ES manusia, membuat sel-sel ES manusia sama dengan apa yang telah dijelaskan akhir-akhir ini mengenai sel-sel stem tikus berasal epiblast (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007). Basic FGF (bFGF) membolehkan pertumbuhan klonal sel-sel ES manusia pada sel-sel fibroblast dalam keberadaan satu pengganti serum yang tersedia secara komersiil (Amit et al. 2000). Pada konsentrasinya yang tinggi, bFGF membolehkan feeder independent growth sel-sel ES manusia yang dikultur dalam pengganti serum yang sama (Wang et al. 2005; Xu et al. 2005; R.H. Xu et al. 2005; Levenstein et al. 2006). Mekanisme melalui mana konsentrasi bFGF yang tinggi ini mengusahakan fungsinya adalah belum selengkapnya diketahui, meskipun satu dari efeknya adalah menekan pensinyalan BMP (R.H. Xu et al.2005). Serum dan satu pengganti serum yang telah digunakan luas memiliki aktifitas mirip BMP yang bermakna, yang adalah mencukupi untuk menginduksi diferensiasi sel-sel ES manusia, dan pengkondisian medium ini pada sel-sel fibroblast akan mengurangi aktifitas ini. Pada konsentrasi bFGF yang sedang (40 ng/mL), penambahan noggin atau penghambat lain pensinyalan BMP secara bermakna menurunkan latar belakang diferensiasi sel-sel ES manusia. Pada konsentrasinya yang lebih tinggi (100 ng/mL), bFGF sendiri menekan pensinyalan BMP dalam sel-sel ES manusia hingga ke level yang sebanding dengan apa yang telah diamati dalam medium terkondisikan fibroblast (fibroblast-conditioned medium), dan penambahan noggin tidak lagi memiliki satu efek bermakna. Penekanan aktifitas BMP dengan sendirinya adalah tidak mencukupi guna mempertahankan sel-sel ES manusia (R.H. Xu et al. 2005), jadi, muncul banyak peran tambahan bagi pensinyalan bFGF. Fakta telah menyarankan bahwa bFGF mengatur ke hulu (up-regulates) ekspresi TGFβ ligands baik dalam sel-sel feeder maupun sel-sel ES manusia, yang sebaliknya, dapat mendorong pembaharuan diri sel-sel ES manusia (Greber et al. 2007). Sel-sel ES manusia sendiri memroduksi FGF, yang nampaknya tidak mencukupi bagi kultur sel dengan kepadatan rendah namun dapat mempertahankan kultur-kultur densitas tinggi untuk berbagai periode yang bervariasi. Penghambatan FGFRs oleh SU5402 menyebabkan diferensiasi sel-sel ES manusia (Drovak et al. 2005), menyarankan adanya ketersangkutan FGFRs. Kejadian-kejadian hilir (downstream) yang dibutuhkan, bagaimanapun, adalah masih tetap belum diketahui benar, namun beberapa fakta mengimplikasikan bahwa terdapat aktifasi dari jalur-jalur ERK dan PI3K (Kang et al. 2005; Li et al. 2007).
Baik Activin maupun TGFβ memiliki efek positif kuat pada proliferasi takterdiferensiasi dari sel-sel ES manusia dalam keberadaan konsentrasi FGFs yang rendah atau sedang, dan berdasarkan studi-studi inhibitor, telah disarankan bahwa pensinyalan TGFβ/Activin adalah esensiil untuk pembaharuan diri sel-sel ES manusia (Beattie et al. 2005; James et al. 2005; Vallier et al. 2005). Bagaimanapun, ketika pensinyalan TGFβ/Activin dihambat dengan SB431542, terjadi satu peningkatan seiring dengan aktifitas pensinyalan BMP (Beattie et al. 2005; James et al. 2005; Vallier et al. 2005), jadi tidaklah jelas apakah pensinyalan melalui TGFβ/Activin adalah semata-mata bekerja untuk menghambat the sister BMP Pathway, atau apakah pensinyalan TGFβ/Activin memiliki hal lainnya, yaitu berupa peran-peran independen. Berbagai studi akhir-akhir ini telah memperlihatkan interaksi-interaksi berganda di antara jalur-jalur FGF, TGFβ, dan BMP dalam sel-sel ES manusia. Activin menginduksi ekspresi bFGF (Xiao et al. 2006), dan bFGF menginduksi ekspresi Tgfβ1/TGFβ1 dan Grem1/GREM1 (satu antagonis BMP) dan menghambat ekspresi Bmp4/BMP4 baik dalam fibroblast feeder maupun dalam sel-sel ES manusia (Greber et al. 2007). Penginduksian timbal balik di antara jalur-jalur FGF dan TGFβ/Activin ini sepertinya menjelaskan kenapa pada dosis bFGF yang tinggi, TGFβ/Activin berasal eksogen hanya memiliki efek yang sangat sedang pada proliferasi sel ES manusia takterdiferensiasi (Ludwig et al. 2006) dan, hal yang sama, pada dosis Activin yang mencukupi, dosis FGF berasal eksogen yang menguntungkan adalah sangat berkurang (Vallier et al 2005; Xiao et al. 2006).
Meskipun faktor-faktor pertumbuhan lainnya telah dilaporkan memiliki satu efek positif pada pertumbuhan sel ES manusia termasuk Wnt (Sato et al. 2004), IGF1 (Bendall et al. 2007), heregulin (Wang et al. 2007), pleiotrophin (Soh et al. 2007), sphingosine-1-phosphate (S1P), dan PDGF (Pebay, et al. 2005), terdapat jelas tambahan jalur penting yang belum teridentifikasi. Sebagai contoh, meskipun bahan-bahan yang telah diketahui dapat meningkatkan efisiensi kultur sel ES manusia klonal seperti misalnya Rock inhibitor Y-27632 (Watanabe et al. 2007), efisiensi yang seperti itu untuk low passage cells, meskipun demikian, tetaplah buruk. Efisiensi yang rendah ini bukanlah semata-mata akibat dari kerusakan sel terkait dengan disosiasi sel, sebagaimana sel-sel ES manusia sendiri-sendiri memang dapat bertahan pada satu frekuensi tinggi bila ditaburkan (seeded) pada satu tingkat kepadatan yang cukup, menyarankan bahwa interaksi-interaksi penting antara sel ES – sel ES belum dapat dijelaskan.

Induced pluripotent stem cells

Pengkloningan Dolly menunjukkan bahwa material trans-acting pada oosit mamalia adalah mencukupi untuk mengubah status epigenetik dari satu nukleus terdiferensiasi menjadi ke satu status totipoten (Wilmut et al. 1997). Temuan ini sepenuhnya mengubah kerangka fakir para ahli biologi perkembangan yang sebelumnya beranggapan hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada mamalia (McGrath dan Solter 1984). Segera setelah derivasi sel-sel ES manusia, disarankan bahwa somatic cell nuclear transfer (SCNT) mungkin dapat digunakan untuk menciptakan sel-sel stem bagi pasien tertentu (patient-specific stem cells). Pada kenyataannya, aplikasi SCNT ke material manusia terbukti sulit, dan hanya baru-baru ini saja tercapai pada primata bukan manusia (Byrne et al. 2007). Dalam studi-studi ini, dua ES cell lines primata diderivasi dari 304 oosit menggunakan SCNT dari sel-sel fibroblas. Jadi, meskipun SCNT adalah secara biologis memungkinkan dilakukan dalam material primata, berbagai jenis pertimbangan efisiensi saat-saat ini akan membuatnya tidak praktis bagi penggunaan klinis manusia secara luas, dan kemajuan cepat saat ini dengan pemrograman ulang menggunakan faktor-faktor tertentukan menyarankan bahwa melalui penggunaan teknik pendekatan lainnya diharapkan akan menjadi lebih praktis.
Keberhasilan yang dicapai SCNT menunjukkan bahwa pemrograman ulang dapat dimediasi oleh faktor-faktor trans-acting. Melalui fusi sel ke sel, sel-sel EC, sel-sel ES dan sel-sel EG adalah juga memiliki kemampuan mengembalikan status terdiferensiasi dari sel-sel somatik ke status yang dimiliki sel-sel stem pluripoten (Miller dan Ruddle 1976, 1977a, b; Tada et al. 1997, 2001; Cowan et al. 2005; Yu et al. 2006), yang menyarankan bahwa adanya kehadiran dari aktifitas pemrograman ulang yang sama pada sel-sel stem pluripoten ini. Namun bukan SCNT juga bukan eksperimen fusi sel ke sel yang menawarkan petunjuk pada seberapa banyak atau faktor-faktor mana saja yang diperlukan. Terdapat dua kelompok yang berhasil menjalankan penyaringan terhadap faktor-faktor yang berkemampuan dalam memrogram ulang sel-sel somatik. Kelompok Yamanaka (Takahashi dan Yamanaka 2006) menjalankan penyaringan mereka dengan menggunakan sel-sel somatik tikus dan mengidentifikasi Oct4, Sox2, c-Myc, dan Klf4 sebagai yang mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel fibroblast tikus menjadi sel-sel yang sangat mirip sel-sel ES tikus. Hasil-hasil ini kemudian dengan cepat dikonfirmasikan dan diperluas pada material tikus (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; ernig et al. 2007) dan selanjutnya berhasil diaplikasikan ke material manusia (Takahashi et al. 2007; Lowry et al. 2008; Park et al. 2008). Kelompok berikutnya secara independen mencari satu penyaringan yang sama menggunakan hanya material manusia, dimulai dengan observasi bahwa sel-sel ES manusia memrogram ulang sel-sel hematopoietik dalam fusi sel ke sel (Yu et al. 2006) dan mengekspresi berlebih kombinasi-kombinasi dari faktor-faktor yang sangat diperkaya dalam sel-sel ES manusia pada sel-sel somatik manusia. Penyaringan dari kelompok kedua ini menghasilkan OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28 sebagai yang mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia, dengan OCT4 dan SOX2 sebagai yang berkemampuan tingkat esensiil dan dua faktor lainnya adalah berkemampuan tingkat kuat (strong) untuk NANOG dan berkemampuan tingkat sedang untuk LIN28 dalam memengaruhi efisiensi bagi pemrograman ulang (Yu et al. 2007). OCT4, SOX2, dan NANOG jelas sekali mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia fetal, neonatal (Yu et al. 2007), dan sel-sel manusia dewasa (J. Yu dan J. Thomson, unpubl.) dalam ketiadaan LIN28. c-Myc dan KLF4 tidak dimasukkan ke dalam daftar calon gen yang diperiksa di sini, sebagaimana kedua gen ini tidaklah diperkaya dalam sel-sel ES manusia. Jadi kedua teknik penyaringan tersebut menunjukkan dua perbedaan pengambilan contoh (sampling) faktor-faktor pemrograman ulang potensiil.
Karena beberapa set gen awal dipilih oleh kedua kelompok periset untuk melengkapi gen-gen yang sebelumnya menunjukkan memiliki satu peran dalam pluripotensi, set-set gen berhasil yang pertama yang diujikan oleh kelompok Yamanaka (Takahashi dan Yamanaka 2006) (24 gen-gen) dan kelompok kedua (14 gen-gen) adalah bertumpang tindih sangat ekstensif. Jadi, dua cara penyaringan tersebut dengan jelas tidak mewakili satu pengambilan sampel yang benar-benar independen dan acak dari faktor-faktor pemrograman ulang potensiil. Adalah masih harus dilihat apakah faktor-faktor lain dapat disubstitusikan untuk OCT4 dan SOX2, meskipun kelihatannya hal ini adalah bahwa beberapa kombinasi lain akan mampu menyubstitusi untuk efek positif dari KLF4/c-Myc dan NANOG/LIN28.
Sel-sel iPS tikus adalah benar-benar sama dengan esl-sel ES tikus. Meskipun sel-sel iPS tikus pada awalnya tidak menyumbang ke germline chimera (Takahashi dan Yamanaka 2006), modifikasi berikutnya dari prosedur dalam menyeleksi sel-sel iPS didasarkan pada reaktifasi promoter OCT4 atau NANOG menghasilkan sel-sel iPS yang lebih mendekati untuk menyerupai sel-sel ES tikus (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; Wernig et al. 2007), termasuk kemampuan dalam menyumbang ke germlines. Seleksi genetik yang diaplikasikan selama pemrograman ulang, bagaimanapun, setelahnya menunjukkan menjadi tidak penting dalam mendapatkan sel-sel iPS yang sangat menyerupai sel-sel ES, seperti misalnya, sebagaimana sel-sel yang demikian dapat diseleksi berdasarkan hanya pada morfologi koloni saja (Blelloch et al. 2007; Meissner et al. 2007). Meskipun tingkat kesamaan yang terdapat di antara sel-sel iPS dengan sel-sel ES tikus adalah tinggi, pembentukan tumor dalam sel iPS tikus chimeric adalah tinggi, yang kemungkinan diakibatkan dari adanya ekspresi c-Myc pada sel-sel somatik diderivasi dari sel iPS (iPS cell-derived somatic cells) (Maherali et al. 2007; Okita et al. 2007; Wernig et al. 2007). Yang lebih terkini, telah ditunjukkan bahwa OCT4, SOX2, c-Myc, dan KLF4 adalah cukup untuk memungkinkan pemrograman ulang baik bagi sel-sel somatik tikus maupun manusia, walaupun pada satu efisiensi yang jauh lebih rendah dibandingkan bila c-Myc ikut disertakan (Nakagawa et al. 2008).
Sel-sel iPS manusia, yang diproduksi baik oleh ekspresi OCT4, SOX2, c-Myc, dan KLF4 ataupun oleh OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28 adalah juga benar-benar sama dengan sel-sel ES manusia. Sel-sel ini secara morfologis adalah sama dengan sel-sel ES manusia, mengekspresikan antigen-antigen dan gen-gen permukaan sel-spesifik ES yang tipikal, berdiferensiasi menjadi multiple lineages in vitro, dan membentuk teratoma berkandungan derivatif-derivatif terdiferensiasi dari ketiga lapis benih utama bila diinjeksikan ke dalam tikus-tikus dengan gangguan imun. Memang, pluripotent cell lines yang baru ini adalah cocok dengan semua kriteria asli yang diajukan bagi sel-sel ES manusia (Thomson et al. 1998), kecuali mereka adalah tidak diderivasi dari embryo. Pemrograman ulang oleh Oct4, Sox2, Nanog, dan Lin28 belum dilaporkan bagi sel-sel tikus, meskipun Nanog dilaporkan tidak untuk memengaruhi frekuensi dari pemrograman ulang sel-sel tikus dalam kondisi-kondisi kultur sel ES tikus (Takahashi dan Yamanaka 2006). Anehnya, ekspresi Nanog memang besar sekali meningkatkan kemampuan sel-sel ES tikus untuk program ulang sel-sel stem syaraf lewat fusi sel ke sel (hingga 200 kali lipat) (Silva et al. 2006). Mempertimbangkan temuan terakhir bahwa EpiSCs tikus berbagi fitur kunci dengan sel-sel ES manusia, termasuk ketidakbergantungannya pada bFGF dan TGFβ/Activin dan kurangnya kebergantungan pada LIF (Brons et al. 2007; Tesar et al. 2007), hal ini akan menjadi penting dalam mengusahakan pemrograman ulang sel-sel tikus dalam kondisi-kondisi kultur EpiSCs/sel ES manusia.
Telah terdapat literatur ekstensif tentang Oct4, Sox2,, dan Nanog sebagai regulator-regulator kunci pluripotensi, namun mekanisme melalui mana sejumlah faktor-faktor transkripsi terbatas tersebut secara bersama-sama bekerja (orchesterate) untuk menghapus status terdiferensiasi hanyalah baru tahap sedang mulai dipelajari. Oct4, satu anggota dari famili POU faktor-faktor transkripsi, adalah esensiil baik untuk derivasi maupun untuk mempertahankan sel-sel ES (Pesce et al. 1998). Ekspresi Oct4 pada tikus terbatas pada embryo-embryo usia awal dan sel-sel benih (Scholer et al. 1998), dan penghilangan homozygous (homozygous deletion) dari gen ini menyebabkan satu kegagalan dalam pembentukan ICM (Nichols et al. 1998). Bagi sel-sel ES tikus agar tetap takterdiferensiasi, ekspresi Oct4 harus dipertahankan di dalam satu rentangan kritis. Ekspresi berlebih dari protein ini menyebabkan diferensiasi menjadi endoderm dan mesoderm, sementara penurunan ekspresi mengawali diferensiasi menjadi trofoblas (Niwa et al. 2000). Ekspresi Oct4 adalah juga merupakan satu penanda dari sel-sel ES manusia, dan pengaturannya ke hilir mengawali diferensiasi dan ekspresi penanda-penanda trofoblas (Matin et al. 2004). Sox2, satu anggota dari famili Sox dari faktor-faktor transkripsi box HMG, juga memainkan satu peranan kunci dalam pembaharuan diri dan kepluripotensian sel-sel ES. Seperti halnya dengan Oct4, ekspresi Sox2 dalam sel-sel ES perlu di pertahankan dalam satu rentangan kritis. Ekspresinya di luar rentangan tersebut mengawali untuk diferensiasi sel-sel ES (Fong et al. 2008; Kopp et al. 2008). Nanog merupakan satu homeodomain-bearing transcription factor. Ekspresinya, sama seperti Oct4, menurunkan dengan cepat diferensiasi sel-sel ES (Chambers et al. 2003; Mitsui et al. 2003). Bagaimanapun, tidak seperti Oct4, ekspresi berlebih Nanog dalam sel-sel ES tikus memungkinkan pembaharuan diri mereka menjadi tidak bergantung LIF/STAT3, meski Nanog nampaknya tidak menjadi satu target hilir langsung dari jalur LIF/STAT3 (Chambers et al. 2003). Ekspresi berlebih Nanog juga memungkinkan pertumbuhan takbergantung feeder (independent-feeder growth) dari sel-sel ES manusia dan memperbaiki efisiensi kloningnya (Darr et al. 2006), baik dalam hal penyumbangan sifat-sifat (property likely contributing) hingga iPS clone recovery yang berhasil. Baik di dalam sel-sel ES tikus maupun manusia, menurunnya ekspresi Nanog mempredisposisi untuk diferensiasi bagi extraembryonic lineages (Chamber et al. 2003; Mitsui et al. 2003; Hyslop et al. 2005), namun ekspresi Nanog adalah tidak secara absolut dibutuhkan bagi pluripotensi sel-sel ES, sebagaimana sel-sel ES dapat mempertahankan kemampuan akan pembaharuan diri dalam ketiadaannya (Chambers et al. 2007). Melalui satu analisis genome-wide location, DNA-binding sites dari Oct4, Sox2, dan Nanog telah dipelajari secara ekstensif (Boyer et al. 2005). Sebagai tambahan untuk pengaturan transkripsi mereka (Catena et al. 2004; Kuroda et al. 2005; Okumura-Nakanishi et al. 2005), ketiga jenis faktor transkripsi ini dapat juga mengaktifasi atau menekan ekspresi dari berbagai jenis gen lainnya, termasuk faktor-faktor transkripsi yang penting bagi perkembangan.
Peranan dari c-Myc, Klf4, dan Lin28 dalam kepluripotensiannya adalah kurang dipelajari, dan peranan mereka di dalam pemrograman ulang adalah bahkan kurang jelas. Ekspresi berlebih c-Myc di dalam sel-sel ES tikus membolehkan pembaharuan diri yang takbergantung LIF (LIF-independent self renewal) (Cartwright et al. 2005), namun ekspresi berlebih c-Myc di dalam sel-sel ES manusia mengawali kematian sel dan diferensiasi (Sumi et al. 2007). Jadi, ini merupakan hal yang agak mengejutkan bahwa ekspresi c-Myc memperbaiki efisiensi derivasi sel iPS manusia, dan sulitnya pencapaian level kritis c-Myc baik dalam starting fibroblast maupun the resulting iPS cells adalah merupakan satu penjelasan yang masuk akal bagi bagaimana telah terbukti sulitnya mengaplikasikan faktor-faktor pemrograman ulang tikus ke pada sel-sel manusia. Studi-studi terkini tentang sel-sel tikus menyarankan bahwa pemrograman ulang adalah lebih merupakan satu proses lambat yang ditandai oleh satu pengaturan ke hulu yang bertahap gen-gen penanda ES-cell specific dan memerlukan ekspresi dari gen-gen pemrograman ulang untuk sedikitnya 12 d (Brambrink et al. 2008), menyarankan bahwa sel-sel perlu untuk maju melalui divisi sel berganda (multiple cell divisions). Satu kemungkinannya adalah bahwa c-Myc membantu dalam pemrograman ulang sel-sel somatik manusia melalui satu kemampuannya mengarahkan divisi sel (cell division), yang telah ditunjukkan menjadi penting dalam pemrograman ulang sel somatik baik pada SCNT maupun pada eksprerimen-eksperimen fusi sel-ke-sel (Fulka et al. 1996; Sullivan et al. 2006). Klf4 akhir-akhir ini telah menunjukkan untuk berbagai banyak target-target DNA dengan Nanog di dalam sel-sel ES tikus, dan pengaturannya ke hilir dengan anggota-anggota Klf lainnya mengawali untuk diferensiasi (Jiang et al. 2008). Lin28 akhir-akhir ini telah menunjukkan mengeblok pemrosesan differentiation-inducing microRNAs (Viswanathan et al. 2008). Lokus Lin28 diidentifikasi sebagai satu lokasi pengikatan (binding site) bagi Oct4, Sox2, dan Nanog dalam satu genome-wide location analysis (Boyer et al. 2005), menyarankan bahwa ketiga faktor-faktor pemrograman ulang ini mungkin menginduksi ekspresinya dan, melalui level-level penginduksian yang tepat, memungkinkan pemrograman ulang terlaksana di dalam ketiadaannya. Level-level ekspresi Lin28 adalah juga penting di dalam eksperimen-eksperimen pemrograman ulang, sebagaimana pada level-level ekspresi yang tiggi, ia adalah toksik (J. Yu dan J. Thomson, unpubl.).
Efisiensi dari pemrograman ulang sel-sel fibroblas dewasa adalah masih rendah (<0.1%), namun apakah frekuensi ini mencerminkan kebutuhan akan ketepatan waktu, keseimbangan, dan level-level absolut dari ekspresi gen-gen pemrograman ulang, atau seleksi bagi perubahan-perubahan genetik/epigenetik yang jarang baik yang nampak pada saat-saat awal dalam populasi sel-sel somatik ataukah didapatkan selama kultur pemrograman ulang yang memanjang, masih tetap belum terpecahkan. Nampaknya bahwa integrasi retroviral menjadi lokasi-lokasi spesifik di dalam genom sel somatik adalah tidak dibutuhkan (Aoi et al. 2008). Tambahannya, sel-sel iPS sepertinya tidaklah berasal dari sel-sel stem pluripoten jarang yang telah ada di dalam kultur sel somatik, sebagaimana sel-sel iPS berasal liver menunjukkan memiliki satu asal (origin) sel-sel yang mengekspres albumin (Aoi et al. 2008), dan sel-sel iPS yang akhir-akhir ini telah diambilkan dari sel-sel β pankreas (Stadtfeld et al. 2008) dan sel-sel B dewasa (Hanna et al. 2008). Penyertaan faktor-faktor tambahan, seperti misalnya TERT, gen-gen T, dan pengaturan ke hilir dari faktor-faktor transkripsi yang spesifik sel somatik (misalnya, pengeturan ke hilir Pax5 di dalam sel-sel B dewasa), dapat memperbaiki efisiensi proses pemrograman ulang (Hanna et al. 2008; Mali et al. 2008). Bagaimanapun, sejak klon-klon yang terprogram ulang dapat menjadi secara konsisten kembali pulih dan berbanyak diri dengan keberadaan kombinasi-kombinasi gen, untuk berbagai aplikasi praktis, efisiensi pemrograman ulang yang rendah saat ini bukanlah sebenarnya merupakan satu isu, kecuali kalau pemrograman ulang menyeleksi bagi kejadian-kejadian genetik atau epigenetik tidak normal yang secara stabil dipropagasi di dalam resulting iPS cell lines. Guna membantu memecahkan isu-isu ini, dan bagi aplikasi-aplikasi klinis yang potensiil, metode-metode untuk menginduksi sel-sel iPS yang tetap mempertahankan genom tidak berubah adalah esensiil dan merupakan hal yang sedang secara aktif dicari oleh banyak pihak.

Simpulan

Sejak saat pertama pendemonstrasian bahwa komponen sel EC dari teratokarsinoma adalah satu sel stem pluripoten, famili dari pluripotent stem cell lines yang dapat membentuk tertoma telah bertumbuh yang di dalamnya adalah termasuk sel-se ES, EpiSCs, EG, mGSCs, dan pula saat ini telah dikenal sel-sel iPS. Namun, meskipun melalui lebih dari 40 tahun riset tentang sel-sel stem pluripoten, hingga kini masih tetap belum memungkinkan untuk menuangkannya dalam satu paragraf tulisan sederhana yang mampu menjelaskan mengapa sel-sel khusus ini dapat berdiferensiasi menjadi kesemua tipe sel, tetapi yang lainnya tidak bisa demikian. Kekurangan pemahaman kita dalam hal status pluripoten adalah dipertunjukkan oleh fakta bahwa meskipun kelompok periset terkini saat-saat ini telah menunjukkan bahwa OCT4, SOX2, dan NANOG adalah mencukupi untuk memrogram ulang sel-sel manusia, namun hal itu tidaklah memrediksi kemampuan ini terlebih dahulu, namun setidaknya tidak lagi diperlukannya pengerjaan penyaringan yang cukup membuang waktu di mana selanjutnya dapat mempersempit daftar hingga menjadi hanya ke tiga faktor ini. Bagaimanapun, meski tiga faktor spesifik ini dipertimbangkan menjadi faktor-faktor kunci dalam kepluripotensialan, bahkan dengan peninjauan ke belakang dan dengan adanya ledakan data terkini tentang genome-wide protein-DNA dan interaksi-interaksi protein-dengan-protein mereka, adalah masih tetap tidak memungkinkan untuk menjelaskan bagaimana gen-gen ini (atau berbagai kombinasi yang dengan sukses digunakan oleh beberapa kelompok periset lain) adalah mencukupi unuk menginduksi proses pemrograman ulang, atau memrediksi apakah kombinasi-kombinasi faktor-faktor tambahan kemungkinan juga menjdi sukses dalam memrogram ulang sel-sel somatik.
Transplatasi seluler berbasis sel-sel iPS memiliki potensi klinis sangat besar, namun satu kedokteran regeneratif yang sejati haruslah mengarahkan sel-sel endogen untuk berpartisipasi dalam proses perbaikan jaringan rusak yang tidak dapat secara normal melakukan sendiri regenerasinya, dan regenerasi yang seperti itu haruslah memerlukan perubahan-perubahan nonfisiologis dalam status diferensiasi. Saat ini, satu perubahan dramatik yang seperti itu yaitu konversi satu sel somatik menjadi ke satu sel stem pluripoten telah tercapai, yang dengan jelas penyaringan yang sama seperti itu dapat digunakan untuk menguji apakah transisi-transisi nonfisiologis yang lainnya dapat diinduksikan di antara tipe-tipe sel lainnya melalui sejumlah faktor yang terbatas. Bagaimanapun, dengan ruang pengombinasian faktor-faktor yang luas yang dapat diujikan bagi setiap pasangan tipe-tipe sel yang diberikan, kemajuan dalam memrediksi faktor-faktor yang mana, bila ada, yang dapat memediasi transisi seperti itu dan kemudian mereka menjadi esensiil. Seperti halnya pengkloningan Dolly telah menginspirasi para peneliti untuk mencari faktor-faktor tertentu yang dapat memediasi proses pemrograman ulang menjadi ke satu status takterdiferensiasi, derivasi sel-sel iPS oleh satu set kecil faktor-faktor akan mengilhami para peneliti untuk mengusahakan penginduksian yang sama di antara tipe-tipe sel lainnya, sebagaimana kelihatannya saat ini jauh lebih banyak yang masuk akal bahwa eksperimen-eksperimen seperti itu akan berhasil. Bila eksperimen-eksperimen tersebut ternyata terbukti berhasil, warisan dari sel-sel iPS dapat merupakan kelahiran kedokteran regeneratif yang sebenarnya.

Rabu, 14 April 2010

Orthopedi Berbasis Fakta: Isu-isu dalam Disain Penelitian, Analisis, dan Penilaian Kritis


PENDAHULUAN

Evolusi kedokteran berbasis fakta telah mengawali pengembangan keprofesian berbasis fakta seperti keperawatan, fisioterapi, terapi okupasi, podiatri, dan spesialisasi. Kedokteran berbasis fakta diperlukan bagi seluruh displin, termasuk obstetri, ginekologi, penyakit dalam dan bedah, dan bedah orthopedi.

Apakah Kedokteran Berbasis Fakta itu?
Istilah kedokteran berbasis fakta pertamakali diperkenalkan dalam satu dokumen bertahun 1990 bagi aplikan ke program residensi kedokteran penyakit dalam pada Universitas McMaster. Kedokteran berbasis fakta saat itu dijelaskan sebagai ”satu sikap skeptisisme yang tercerahkan menuju kepada aplikasi teknologi diagnostik, teraputik, dan prognostik”. Pendekatan berbasis fakta untuk memraktekkan kedokteran didasari pada satu kesadaran akan fakta pada mana satu praktik klinisi adalah didasarkan dan dikuatkan dari penarikan simpulan oleh fakta itu. Praktik kedokteran berbasis fakta yang paling canggih sebaliknya memerlukan satu penjelasan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan klinis yang relevan, satu penelusuran literatur menyeluruh terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang ada, satu penilaian kritis dari fakta yang ada dan tingkat mampu-gunanya bagi situasi klinis, dan satu aplikasi seimbang dari berbagai simpulan bagi masalah klinis. Aplikasi seimbang dari fakta (dalam hal ini berupa pembuatan putusan klinis) merupakan aspek sentral dari kedokteran berbasis fakta dan termasuk di dalamnya, atas dasar prinsip-prinsip berbasis fakta, integrasi dari ahli klinik dan nilai-nilai putusan dengan pasien dan masyarakat, dan dengan fakta penelitian terbaik yang ada.

Terdapat lebih dari 3800 jurnal dan 7300 paper dipublikasikan tiap minggu. Penyedia layanan kesehatan, untuk mengakomodasikan jadual padat mereka, memerlukan pengembangan kelihaian untuk secara efisien mengidentifikasi kualitas informasi terbaik guna menuntun praktik mereka. Bagaimanapun, kedokteran berbasis fakta menyangkut lebih dari hanya penilaian kritis terhadap literatur. Menemukan fakta membutuhkan kelihaian dalam penelusuran, dan menilai fakta memerlukan satu pemahaman akan hirarki dari disain penelitian. Satu evaluasi dari kurikula berbasis fakta menggunakan kelompok fokus dan data survei menunjukkan bahwa pelajar menghargai kelihaian dan peningkatan pengetahuan dalam menjalankan berbagai tuntunan dalam satu kebiasaan berbasis fakta namun tidak yakin bahwa penelusuran mereka adalah lengkap. Evaluasi klinis dari implementasi tuntunan menunjukkan perbaikan dalam beberapa penanda klinis dari penanganan diabetes, sebagai contoh. Bagaimanakah kedokteran berbasis fakta dapat berbeda dari pendekatan-pendekatan tradisional bagi penyediaan layanan kesehatan? Berdasar pada paradigma tradisional, para klinisi mungkin mengevaluasi dan memecahkan berbagai masalah klinis melalui cara lewat bercermin pada pengalaman klinis mereka sendiri, dengan mengevaluasi dasar-dasar biologi dan patofisiologi dari penyakit, atau melalui konsultasinya dengan buku teks atau ahli lokal. Bagi banyak praktisi, keterbatasan waktu seringkali membatasi pendalaman tinjauan dari tulisan-tulisan yang terpublikasi. Jadi, mereka sering membenarkan bahwa simpulan dari tulisan adalah akurat. Pada akhirnya, observasi mereka dari pengalaman klinis hari-ke-hari menjadi satu cara umum dalam membentuk dan mempertahankan pengetahuan akan prognosis pasien, terhadap nilai-nilai uji diagnostik, dan terhadap efikasi pengobatan. Oleh karena paradigma ini menempatkan nilai tinggi pada otoritas keilmiahan tradisional dan melekat pada pendekatan-pendekatan baku, pelatihan dan pengertian umum kedokteran tradisional menyediakan satu dasar adekuat bagi evaluasi berbagai uji dan pengobatan baru. Kadar keahlian dan pengalaman klinis adalah cukup dalam menjalankan tuntunan bagi praktik klinis.

Praktik berdasar fakta, di lain pihak, memosisikan bahwa meski patofisiologi dan pengalaman klinis adalah penting, hanya saja keduanya belum cukup menuntun untuk berpraktik. Sumber-sumber fakta dari dua hal di atas seperti itu dapat mengawali satu prediksi tak-akurat tentang tampilan berbagai uji diagnostik dan berbagai efikasi dari pengobatan. Sebagaimana halnya pendekatan tradisional kepada layanan kesehatan, paradigma layanan kesehatan berbasis fakta juga mengasumsikan bahwa pengalaman klinis dan pengembangan insting-insting klinis (khususnya yang berkaitan dengan diagnosis) merupakan elemen-elemen penting dari kompetensi dokter. Bagaimanapun, pendekatan berbasis fakta terdiri dari beberapa langkah tambahan. Langkah-langkah ini adalah termasuk: pengalaman dalam mengidentifikasi berbagai jeda (gap) pengetahuan penting dan berbagai kebutuhan informasi, me-formulasikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat terjawabkan, mengidentifikasi penelitian-penelitian yang secara potensial adalah relevan, menentukan tingkat kesahihan fakta dan hasil-hasil, mengembangkan kebijakan-kebijakan klinik yang berkesinambungan dengan fakta penelitian dan rangkaian klinik, dan mengaplikasikan fakta penelitian kepada pasien sendiri dengan pengalaman-pengalaman khusus, ekspektasi, dan nilai-nilai mereka.

Dalam beberapa tahun belakangan, berbagai konsep dan ide yang mengarah pada dan secara kolektif berlabelkan sebagai kedokteran berbasis fakta, telah menjadi lebih lumrah dengan berbagai istilah seperti tuntunan berbasis fakta, arahan layanan berbasis fakta, dan soal-soal dan penyelesaian berbasis fakta menjadi lebih sering dijumpai. Kontroversi telah bergeser dari, apakah konsep baru akan dijalankan, menjadi ke, bagaimana menjalankannya dengan sepantasnya dan secara efisien, sementara menghindarkan konflik-konflik potensiil yang terkait dengan beberapa konsep keliru tentang apakah sebenarnya kedokteran berbasis fakta itu dan apakah yang bukan. Konsep-konsep terkait kedokteran berbasis fakta seperti hirarki dari fakta, analisis meta, confidence intervals (CIs), dan disain studi adalah sangat luas yang bagi para klinisi yang berkeinginan untuk memiliki satu pengertian yang lebih baik akan literatur-literatur kedokteran terakhir tidak memiliki pilihan namun harus menjadi terbiasa dengan prinsip-prinsip dan metodologi-metodologi kedokteran berbasis fakta itu.Kritik-kritik terhadap kedokteran berbasis fakta telah secara keliru menyarankan bahwa hal itu semua tidak lain adalah menyamakan antara fakta dengan hasil-hasil percobaan acak, antara kebermaknaan statistik dengan relevansi klinis, antara fakta (tidak tergantung macamnya) dengan keputusan-keputusan, dan antara kurangnya fakta dari efikasi dengan fakta akan kurangnya efikasi. Berbagai kritik lainnya mendebat bahwa kedokteran berbasis fakta bukanlah merupakan satu alat bagi penyediaan layanan pasien yang optimal, namun hanyalah merupakan satu alat yang berisikan perhitungan untung rugi saja. Semua pernyataan ini adalah pengkarakterisasian keliru yang mendasar. Meskipun kedokteran berbasis fakta adalah kadang diterima sebagai satu hal yang melekat erat kepada temuan-temuan dari percobaan-percobaan yang teracakkan, namun ia secara akurat lebih menyangkut penggunaan yang terketahuikan (informed) dan efektif dari keseluruhan tipe fakta-fakta, yang secara khusus adalah fakta dari literatur medis, dalam layanan pasien. Dengan peningkatan terus menerus jumlah dari informasi yang tersedia, satu paradigma yang bergeser dari praktik tradisional menuju ke satu situasi yang meliputi memformulasi pertanyaan, penentuan sahih dari berbagai studi yang ada, dan penggunaan yang tepat akan fakta penelitian kepada pasien secara individu haruslah dipertimbangkan.
Tulisan ini merupakan satu pemandangan umum dari prinsip-prinsip disain penelitian, berbagai isu statistik penting, dasar-dasar penilaian kritis, dan panduan praktis bagi pengembangan dari satu proposal penelitian.

MENEMUKAN FAKTA
Data dasar biomedik yang paling sering digunakan yang diproduksi oleh the National Library of Medicine adalah Medline. Pencarian Medline secara gratis tersedia pada internet sebagai PubMed. Index Medline lebih dari 4000 jurnal-jurnal biomedik (11 juta citations) yang meliputi dari tahun 1966 hingga kini.

Hanya sebagian kecil artikel dalam Medline melaporkan fakta yang dapat diaplikasikan secara langsung bagi praktik klinis. Satu metoda bagi pengembangan dalam mendapatkan studi-studi berkualitas tinggi yang dapat terpakai bagi praktik klinik adalah meliputi pencarian peristilahan yang memilah studi-studi pada stadium lanjutan dari uji-uji bagi aplikasi klinik.

PubMed memiliki satu feature khusus yang disebut Clinical Queries, yang secara otomatis menyaring penelusuran-penelusuran tentang pertanyan-pertanyaan akan terapi, diagnosis, etiologi, atau prognosis dengan cara menengok pada level-level tertinggi dari fakta dalam literatur. Saringan penelusuran Clinical Queries dapat diakses pada PubMed internet Website (www.pubmed.gov) dengan memilih ”clinical queries”. Sejak saat berada dalam situs Clinical Queries, tipe studi dapat diseleksi (terapi ataukah diagnosis), dan kemudian ”systemic reviews” dipilih. Kata kunci dapat dimasukkan untuk menidentifikasi studi-studi yang relevan.

DISAIN STUDI

Hirarki dari Disain Studi Penelitian

Dalam berbagai disain studi, terdapat satu hirarki fakta, dengan percobaan acak terkontrol menempati urutan teratas, studi observasional terkontrol berada di tengah, dan studi tanpa kontrol dan opini terletak di bawah (gambar 1).

Sackett telah mengusulkan satu sistim penderajatan yang mengkategorisasi hirarki dari disain penelitian sebagai level dari bukti (level of evidence). Masing-masing tingkat dikaitkan dengan satu tingkatan rekomendasi terkait: (1) grade A, consistent level I studies; (2), grade B, consistent level II or level III studies; (3) grade C, level IV studies; (4) grade D, level V evidence (Tabel 1).


Memahami keterkaitan antara disain studi dan level bukti adalah penting. Journal of Bone and Joint Surgery, Januari 2003, telah memublikasikan level fakta dikaitkan dengan masing-masing artikel ilmiah yang terpublikasikan guna menyediakan pembacanya dengan satu pendalaman dari tingkat kesahihan hasil-hasil studi. Studi-studi level 1 mungkin merupakan sumber yang paling cocok diaplikasikan ke layanan pasien, di mana studi-studi level IV akan diinterpretasikan dengan hati-hati. Sebagai contoh, pembaca harus menjadi lebih percaya diri akan hasil-hasil dari satu percobaan acak multisenter berkualitas tinggi dari tindakan pemasangan nail intrameduler femur dengan reaming berbanding tanpa reaming terhadap fungsi paru dan angka penyambungan (studi level 1) dibandingkan dengan dua seri kasus terpisah mengevaluasi apakah nailing femur dengan reaming atau tanpa reaming terhadap hasil yang sama (studi level IV). Bagaimanapun, bilamana percobaan acak tidak memungkinkan atau tidak etis, bentuk lain dari fakta seperti halnya seri kasus menjadi penting dalam menyediakan tuntunan bagi praktik.

Mengapakah gradasi rekomendasi adalah penting? Level dari gradasi fakta untuk satu studi khusus memberitahukan kita tentang artikel-artikel spesifik tersebut namun tidak samasekali tentang fakta sepenuhnya untuk satu pertanyaan klinik khusus. Tidak satu studipun pada akhirnya akan menyediakan semua jawaban. Para klinisi haruslah menengok hasil-hasil dari satu studi tunggal yang sama dalam studi lainnya dan di beberapa negara. Level dari fakta memiliki keterbatasan. Sebagai contoh, dua buah percobaan acak (keduanya dilabel sebagai fakta level I) mengevaluasi satu terapi orthopedi dengan memberikan simpulan yang sepenuhnya bertolak belakang, menimbulkan satu dilema bagi klinisi. Tingkatan-tingkatan rekomendasi di atas tersebut mempertimbangkan seluruh literatur berkualitas tertinggi pada terapi spesifik ini dan menyediakan satu rekomendasi menyeluruh (tabel 1). Tidak ada konsensus tentang optimal tidaknya sistim tingkatan rekomendasi. Beberapa sistim tingkatan rekomendasi telah diajukan namun tidak satupun dirasakan sahih.

Tipe-tipe dari disain studi yang dipakai dalam penelitian klinis dapat diklasifikasikan secara umum bergantung dari apakah studi tersebut berfokus pada penjelasan distribusi-distribusi atau karakteristik-karakteristik dari satu penyakit ataukah menguraikan determinan-determinannya (gambar 2).


Studi deskriptif menjelaskan distribusi dari satu penyakit, khususnya orang tipe apakah yang memiliki penyakit tersebut, pada lokasi-lokasi manakah, dan bilamana. Studi-studi cross-sectional, laporan kasus, dan seri kasus merupakan tipe dari studi deskriptif. Studi-studi analitik berfokus pada determinan-determinan dari satu penyakit melalui pengujian satu hipotesis dengan tujuan akhir memutuskan apakah satu pemaparan khusus sebagai yang menyebabkan ataukah yang mencegah penyakit. Strategi-strategi disain analitik adalah secara tipikal dikelompokkan menjadi dua tipe: studi observasional, seperti studi-studi kasus-kontrol, dan studi-studi eksperimental, yang juga disebut sebagai percobaan klinik. Perbedaan di antara kedua tipe studi analitik adalah peran di mana peneliti bermain pada masing-masing studi. Pada studi observasioanl, peneliti hanya mengawasi perjalanan alami kejadian-kejadian, di mana pada percobaan klinik peneliti melaksanakan intervensi atau terapi.

Tipe-tipe dari Disain Studi

Analisis-meta (Fakta level I; Rekomendasi tingkat A)

Meskipun tidak dipertimbangkan sebagai disain studi utama, analisis-meta pantas untuk disebutkan di sini oleh karena ia sering digunakan dalam literatur bedah. Satu analisis-meta adalah satu tinjauan sistimatik yang mengombinasikan hasil-hasil dari studi-studi jamak (dari sampel berukuran kecil-kecil) untuk menjawab satu pertanyaan klinis terfokus. Melalui judulnya yang sebagai satu tinjauan, maka satu analisis meta aslinya adalah retrospektif. Keuntungan utama analisis-meta adalah kemampuannya untuk meningkatkan ukuran sampel total studi melalui mengombinasikan hasil-hasil dari banyak studi-studi yang lebih kecil. Ketika studi-studi yang terdisain baik tersedia atas satu pertanyaan khusus dari apa yang ingin dicari, satu analisis-meta dapat menyediakan satu informasi penting untuk menuntun praktik klinik. Bagaimanapun, banyak ketidaksesuaian antara analisis-meta dari percobaan-percobaan kecil dengan percobaan besar tunggal telah dilaporkan. Gambar 3 menunjukkan bagaimana hasil-hasil dari banyak percobaan-percobaan teracakkan kecil-kecil dapat secara statistik dikombinasikan untuk menyediakan satu penyediaan simpulan dari keseluruhan efek manajemen pembedahan berbanding non bedah dari ruptur tendo Achilles terhadap angka ruptur ulangan pada pasien-pasien muda.

Semua percobaan, kecuali satu, memiliki satu CI yang lebar (crosses odds = 1.0 equivalence); bagaimanapun, hasil-hasil studi dikombinasikan secara statistik, hasil terkumpul (pooled result) menunjukkan satu keuntungan bermakna untuk perbaikan bedah dalam mengurangi kejadian ruptur ulangan (yaitu, CI nya lebih sempit dan tidak lagi menembus titik ekuivalensi 1.0). Isu kunci dengan analisis-meta adalah pemahaman bahwa kualitas dari primary studies adalah secara langsung terkait dengan kualitas hasil-hasil analisis-meta. Untuk alasan ini, beberapa peneliti mendebat bahwa analisis-meta terhadap studi-studi takteracakkan haruslah tidak pernah dapat dilaksanakan.


Percobaan-percobaan Acak Terkontrol

Percobaan acak terkontrol (fakta level I, rekomendasi tingkat A) adalah dipertimbangkan sebagai penyedia fakta tingkat tertinggi oleh karena pengacakkan merupakan satu-satunya metoda untuk pengontrolan faktor-faktor prognostik yang diketahui maupun yang tidak diketahui di antara dua kelompok yang diperbandingkan. Alokasi pengobatan yang tersembunyikan dan penyamaran (dalam hal penentu-penentu luaran, pasien-pasien, analisis-analisis data, dan ahli bedah-ahli bedah) akan membatasi kerancuan dalam disain ini. Kurangnya pengacakan memungkinkan satu studi secara potensiil menimbulkan ketidakseimbangan penting dalam hal karakteristik-karakteristik dasar di antara dua kelompok studi. Peneliti dapat mengacak pasien menggunakan satu tabel nomor-nomor acak (program komputer pembuat nomor acak). Tindakan pengacakan ini memastikan satu kemungkinan yang sama bagi pasien-pasien untuk dapat dialokasikan ke dalam kelompok pengobatan ataukah ke dalam kelompok kontrol. Pengacakan harus disembunyikan yaitu, peneliti-peneliti yang masuk dalam studi harus tidak dapat menentukan alokasi pengobatan bagi urutan pasien berikutnya. Penyembunyian adalah terbaik didapat melalui satu teknik pemanggilan 24-jam peneliti ataupun menggunakan sistim pengacakan berbasis internet. Hal itu dapat juga dicapai melalui pemakaian amplop surat buram yang berisikan alokasi acak dari pengobatannya. Penggunaan even-odd days, hari lahir pasien, atau nomor identifikasi dokumen rumah sakit tidak dianggap merupakan pengacakan yang tersembunyi dan harus dihindarkan. Pasien-pasien yang diacak ahli bedah (even-odd days) untuk menerima satu substitusi sulihan tulang bagi satu fraktur radius distal dapat dengan mudahnya mengintroduksi satu kerancuan seleksi dengan diketahuinya bahwa pasien urutan berikutnya dalam studi mereka akan menerima substitusi. Mereka mungkin pasien-pasien yang terpilih (atau dikeluarkan) yang seharusnya adalah ideal (atau tidak begitu ideal) bagi produk penelitian mereka berdasar atas kepercayaan-kepercayaan dari efikasinya.
Hasil-hasil luaran dalam satu percobaan teracakkan harus ditabulasikan berdasar pada pengobatan kepada pasien-pasien mana yang dialokasikan, dan tidak perlu kepada pengobatan-pengobatan yang seharusnya mereka terima. Sebagai contoh, seorang pasien dengan satu fraktur radius distal teracak ke satu semen tulang kalsium fosfat yang menerima pemasangan gips hanya karena masalah-masalah teknik haruslah tetap dikelompokkan ke kelompok semen tulang dalam analisisnya. Prinsip dari menganalisis hasil-hasil dalam hal alokasi pengobatan yang dimiliki pasien-pasien adalah disebut prinsip ”bermaksud untuk mengobati” (intention–to-treat) dan ini adalah penting dalam mempertahankan keseimbangan awal dari faktor-faktor prognostik yang ingin dicapai melalui tindakan pengacakan (gambar 4).

Sebagai tambahan kepada disain kelompok paralel yang tersering, percobaan teracakkan dapat menggunakan satu disain crossover. Pada disain ini, pasien-pasien menerima baik placebo ataupun obat aktif yang dipisahkan oleh sebuah jeda (periode pencucian/washed out). Pasien-pasien diposisikan tersamarkan dengan pengobatannya. Disain ini adalah efisien dalam mengurangi kebutuhan-kebutuhan akan keseluruhan besaran sampel dari satu studi (gambar 5). Evaluasi dari suatu obat baru pada pasien-pasien dengan penyakit kronik (seperti misalnya rheumatoid arthritis) adalah idealnya sasaran dari satu disain percobaan crossover.

Kekurangan dari tindakan pengacakan dalam percobaan-percobaan bedah adalah bahwa masing-masing ahli bedah mungkin tidak memiliki pengalaman atau ketrampilan yang sama dalam melaksanakan dua macam pengobatan yang akan dicobakan. Situasi ini menimbulkan satu dilema etik ketika dua pilihan pengobatan yang menguntungkan terjadi bagi satu kondisi muskuloskeletal. Meskipun dua macam pengobatan bedah mungkin menguntungkan, pasien-pasien mungkin tidak selalu memiliki kesempatan yang sama untuk menerima perawatan terbaik dalam kedua jenis pengobatan. Sebagai tambahan, percobaan teracakkan berkualitas tinggi adalah mahal untuk dijalankan dan hasilnya adalah seringkali tidak tersedia dalam beberapa tahun hingga follow-up selesai. Bagaimanapun, adalah tidak hanya disain-disain percobaan yang perlu baik adanya, namun demikian juga kenyataan menjalankannya sebagaimana ia memengaruhi masing-masing pasien secara individual. Akhirnya, hal ini adalah tergantung para peneliti klinik untuk memastikan bahwa pasien-pasien tidak menderita sebagai satu hasil dari penelitian klinis mereka. Kekuatan tindakan pengacakan adalah terletak pada bahwa, kelompok pengobatan dan kontrol setidaknya menjadi jauh lebih seimbang baik terhadap penentu-penentu hasil luaran yang diketahui maupun yang takdiketahui.

Kebanyakan intervensi-intervensi bedah memiliki pembawaan keuntungan dan risiko-risiko terkait. Sebelum menjalankan satu terapi baru, berbagai keuntungan dan kerugian terapi harus diketahui pasti, dan ia harus dikonfirmasikan bahwa sumber-sumber yang digunakan dalam intervensi akan tidak menjadi berlebihan. Disarankan menggunakan satu pendekatan tiga-langkah di dalam memakai sebuah artikel dari literatur medik untuk menuntun layanan pasien (Tabel 2). Adalah direkomendasikan bahwa, seorang dokter bertanya apakah studi yang akan dilaksanakannya dapat menyediakan hasil-hasil yang sahih (kesahihan internal), tinjauan dari hasil-hasil, dan mempertimbangkan bahwa hasil-hasilnya dapat dipergunakan sebagai layanan pasien (mampu-generalisasi/generalizability).

Studi observasional

Adalah biasanya tidak memungkinkan atau tak etis untuk mengacak pasien-pasien terhadap faktor-faktor prognostik berbeda. Sebagai contoh, bila merokok telah dikenal berpengaruh negatif bagi penyembuhan fraktur, ini seharusnya dengan jelas menimbulkan kesulitan untuk mengacak pasien-pasien berurutan menjadi merokok dan bukan merokok. Disain studi terbaik untuk mengidentifikasi keberadaan dari dan menentukan peningkatan risiko dikaitkan dengan satu faktor prognostik adalah studi kohort. Peranan studi-studi takacak (obervasional) dalam mengevaluasi pengobatan-pengobatan merupakan lingkup perdebatan yang masih berlanjut. Pilihan pengobatan yang disengaja dari masing-masing pasien mengimplikasikan bahwa, hasil luaran yang terobservasi dapat disebabkan oleh perbedaan-perbedaan di antara orang-orang yang menerima dua pengobatan, lebih dari pada pengobatannya sendiri. Tabel 3 menyediakan satu pendekatan tersetrukur untuk menaksir studi-studi observasional.

Faktor-faktor pengacau (confounding factors) tak dikenal dapat mengganggu usaha-usaha untuk membetulkan perbedaan-perbedaan yang teridentifikasi di antara kelompok-kelompok. Setidaknya, dokter-dokter memerlukan studi pemeriksaan-prognosis pasien-pasien kemungkinan luaran dari satu penyakit atau prosedur bedah, dan kemungkinan dengan yang mana mereka dapat diperkirakan bakal terjadi. Untuk mengestimasikan prognosis pasien, hasil-hasil luaran diperiksa dalam kelompok-kelompok pasien dengan satu penampilan klinis yang sama; sebagai contoh, pasien yang datang dengan satu fraktur ankle. Prognosis pasien kemudian diperhalus dengan cara memperhatikan subgrup-subgrup, dan memutuskan ke dalam subgrup mana pasien dimasukkan. Subgrup-subgrup ini mungkin didefinisikan oleh variabel-variabel demografik seperti misalnya umur (pasien lebih muda mungkin lebih baik dari pada yang berusia lebih tua), variabel-variabel kekhasan penyakit (hasil luaran pasien mungkin berbeda bila frakturnya adalah terbuka atau tertutup), atau faktor-faktor penyakit penyerta (mereka yang dengan penyerta diabetes mungkin lebih jelek hasilnya). Ketika variabel-variabel atau faktor-faktor memang senyatanya dapat memerkirakan pasien yang mana menjadi lebih baik atau memburuk, maka mereka disebut faktor-faktor prognostik.

Para peneliti mungkin membedakan di antara faktor-faktor prognostik dan faktor-faktor risiko, karakteristik-karakteristik pasien tersebut dikaitkan dengan perkembangan penyakit di tempat pertama. Sebagai contoh, kepadatan tulang rendah merupakan satu faktor risiko penting bagi berkembangnya satu fraktur panggul pada seorang pasien tua, namun tidaklah sepenting sebuah faktor prognostik dalam menentukan survival setelah fraktur panggul. Isu-isu dalam penentuan kesahihan dari studi-studi tentang faktor-faktor prognostik, dan penggunaan hasil-hasil dalam layanan pasien, adalah sama. Faktor-faktor risiko mungkin juga dipertimbangkan sebagai semacam faktor prognostik yang khusus.

Satu studi kohort dapat dijalankan dengan mengikuti satu atau lebih kelompok-kelompok (kohort) dari individu-individu yang belum pernah mengalami kejadian sebaliknya dan kejadian pengawasan jumlah hasil luaran sepanjang waktu. Follow-up dalam studi ini dipertimbangkan sebagai aktif yang merupakan kebalikan dari follow-up pasif (dengan grafik) dari studi-studi retrospektif. Satu studi kohort yang ideal adalah menyangkut pengambilan sampel yang tertentukan dengan baik dari individu-individu yang mewakili populasi yang diinginkan dan penggunaan kriteria hasil luaran yang objektif. Satu studi kohort yang potensiil mungkin mencatat status merokok dari seluruh urutan pasien-pasien yang dengan satu fraktur diafisis tibia dan membandingkannya dengan angka-angka dari nonunion (atau waktu untuk union fraktur).

Studi Kohort Prospektif (Fakta Level II; Rekomendasi Tingkat B)

Studi-studi kohort mungkin menjadi prospektif karena mereka memulainya pada satu titik terspesifikasi dalam hal waktu (waktu ketika gejala-gejala dimulai, atau waktu fraktur terjadi) dan bergerak ke depan dalam waktu untuk mengevaluasi efek satu prognostik potensiil (sebagai contoh, pengobatan dengan tindakan bedah dengan nonbedah) terhadap hasil luaran yang terspesifikasikan pada satu rentangan follow-up yang telah ditentukan sebelumnya. Studi –studi seperti ini memiliki keuntungan dalam hal kepastian bahwa semua data yang relevan adalah telah terkumpul sejak studi dimulai, namun seringkali pelaksanaannya membutuhkan banyak waktu.

Studi Kasus-Kontrol (Fakta Level III; Rekomendasi Tingkat B)

Untuk mempelajari faktor-faktor prognostik, ahli bedah dapat menggunakan satu disain studi alternatif pada mana individu-individu yang telah memiliki pengalaman kejadian hasil luaran adalah dibandingkan dengan pasien-pasien kontrol yang belum pernah memilikinya. Dalam studi-studi kasus-kontrol ini, ahli bedah dapat menghitung jumlah individu-individu dengan masing-masing faktor prognostik pada kedua kelompok (seperti, apakah pasien-pasien yang mengalami aseptic loosening dari penggantian total sendi panggulnya lebih memiliki penurunan kepadatan tulang dibandingkan dengan mereka yang tanpa mengalaminya?). Studi-studi kasus-kontrol memiliki keterbatasan dikarenakan oleh data yang terkumpul merupakan data bersifat retrospektif, sering didasarkan atas catatan rumah sakit atau atas ingatan pasien. Lebih jauh, studi-studi kasus-kontrol tidak menyediakan informasi tentang risiko absolut dari kejadian sebaliknya (adverse event), namun hanya tentang relative odds. Kecuali terhadap segala keterbatasannya tersebut, studi-studi kasus-kontrol dapat berguna ketika hasil-hasil luaran yang diinginkan adalah sangat jarang atau lama waktu follow-up yang dibutuhkan untuk mendeteksi hasil luaran yang diinginkan adalah lama.

Studi Kohort Retrospektif (Fakta Level IV; Rekomendasi Tingkat C)

Banyak studi dapat juga menjadi retrospektif sifatnya dalam hal mereka memulainya pada satu titik waktu yang terspesifikasikan dan bergerak ke belakang dalam waktu untuk mengumpulkan data dari faktor-faktor risiko bagi satu hasil luaran yang tak diharapkan (seperti misalnya, faktor-faktor risiko untuk nonunion fraktur) atau membandingkan hasil-hasil dari dua macam pengobatan. Keuntungan terbesar dari cara pendekatan ini adalah efisiensi dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data. Bagaimanapun, kekurangan utamanya adalah penelitinya kurang dapat memastikan kualitas data yang terkoleksi oleh karena peneliti seringkali percaya pada catatan-catatan pasien untuk informasi. Contohnya yang paling banyak adalah, variabilitas dari pelaporan dalam catatan pasien-pasien rumah sakit dapat menghambat pengumpulan dari seluruh data yang relevan.

ISU-ISU STATISTIK

Yang penting dalam menjalankan atau menaksir penelitian-penelitian klinik atau eksperimental adalah satu pemahaman mendasar tentang statistik. Ini bukan berarti bahwa semua peneliti atau pengguna hasil penelitian perlu sebagai ahli statistik. Hal ini, bagaimanapun, mengimplikasikan satu penghargaan kepada prinsip-prinsip dari uji-uji hipothesis, kesalahan-kesalahan dalam uji hipothesis, dasar-dasar simpulan statistik, penentuan besaran sampel, dan uji-uji statistik yang sering digunakan.

Uji Hipothesis

Paradigma esesiil untuk statistik inferensi dalam literatur medis adalah tiada lain uji hipothesis. Peneliti memulai dengan apa yang disebut dengan satu hipothesis nol yang bahwa uji statistik di disain untuk pertimbangan dan kemungkinan tidak terbukti,. Secara khas, hipothesis nol adalah bahwa tidaklah terdapat perbedaan di antara pengobatan yang sedang di perbandingkan. Dalam satu percobaan acak dengan satu kontrol plasebo, hipothesis nol dapat ditetapkan sebagai berikut: perbedaan sejatinya dalam efek pada hasil luaran yang diharapkan di antara pengobatan yang diteliti dengan kontrol adalah kosong samasekali (zero). Asumsi kemudian dapat dibuat bahwa, pengobatan adalah sama efektifnya, dan posisi ini melekat dengan, kecuali kalau data yang nanti membuatnya tak dapat dipertahankan.

Dalam kerangka uji hipothesis ini, analisis statistik menujukan pertanyaan ke pada: apakah data yang terobservasi adalah konsisten dengan hipothesis nol. Logika pendekatan ini adalah sebagai berikut: bahkan bila pengobatan sejatinya tidak memiliki pengaruh positif atau negatif terhadap hasil luaran (yaitu, besaran efeknya adalah samasekali kosong [zero]), hasil-hasil yang terobservasi akan jarang menunjukkan kesepadanan pasti; artinya tidak terdapat perbedaan akan diobservasi di antara kelompok eksperimental dan kontrol. Sebagaimana hasil-hasil lebih melebar dan melebar dari temuan ”tidak terdapat perbedaan”, hipothesis nol yang tidak menunjukkan perbedaan di antara efek-efek pengobatan menjadi semakin kurang dan kurang kredibel. Bilamana perbedaan di antara hasil-hasil pada kelompok pengobatan dan kontrol menjadi cukup besar, para klinisi harus percaya sepenuhnya pada hipothesis nol. Logika yang mendasari dari prinsip-prinsip ini akan dikembangkan lebih lanjut melalui penjelasan tentang peran dari kesempatan dalam penelitian klinis.

Dalam satu eksperimen hipotetik, satu koin dilemparkan sepuluh kali dan pada keseluruhan 10 kemungkinan, hasilnya adalah gambar kepala. Bagaimana mungkin kejadian ini dapat terjadi bilamana koinnya sendiri tidak rancu? Kebanyakan orang akan menyimpulkan bahwa tinggi ketidakmungkinannya kesempatan tersebut dapat menjelaskan hasil ekstrim ini. Hipothesis bahwa koinnya adalah tidak rancu (hipothesis nol) dapat disingkirkan, dan ini dapat disimpulkan bahwa koinnya adalah bias. Metoda statistik memungkinkan ketepatan yang lebih hanya melalui pemastian bagaimana ketidakmungkinan suatu hasil adalah harus terjadi hanya sebagai satu hasil dari kemungkinan bilamana hipothesis nol adalah benar. Berdasarkan pada hukum kemungkinan-kemungkinan multiplikatif untuk kejadian-kejadian independen (di mana satu kejadian tidak samasekali mempengaruhi yang lainnya), probabilitas dari 10 gambar kepala berurutan dapat ditemukan melalui pelipatan probabilitas dari satu gambar kepala tunggal (1/2) 10 kalinya; yaitu, 1/2 * 1/2 * 1/2, dan seterusnya. Probabilitas untuk mendapatkan 10 gambar kepala berurutan adalah kemudian mendekati kurang dari 1 dalam 1000. Dalam satu artikel jurnal, probabilitas ini diekspresikan sebagai satu P value, seperti misalnya P<.001. P Value

Apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan P value? Konvensi statistik menyebut bahwa hasil-hasil yang ada bila melewati batasan ini (yaitu, P value < .05) secara statistik adalah bermakna. Penyetingan ambang P value bagi kebermaknaan adalah berubah-ubah namun telah di-set ke 0.05 melalui konvensi. Arti dari secara statistik bermakna, berdasar dari Guyatt dkk, dengan demikian, adalah ”sufficiently unlikely to be due to chance alone (dengan keyakinan cukup bahwa tidak sepertinya dari hanya kesempatan itu sendiri sebagai pengaruh bahwa kita bersiap untuk menolak hipothesis nol”. Dengan kata lainnya, P value didefinisikan sebagai probabilitas, di bawah asumsi dari ketiadaan perbedaan (hipothesis nol), dari perolehan satu hasil yang sama dengan, atau lebih ekstrem dibandingkan dengan, apa yang senyatanya diobservasi.

Kesalahan-kesalahan dalam Uji Hipothesis


Setiap studi yang membandingkan satu atau lebih pengobatan (seperti halnya satu studi komparatif: percobaan teracakkan, studi observasional dengan kelompok kontrol, kasus-kontrol) dapat menjadi subjek kesalahan-kesalahan dalam uji hipothesis. Sebagai contoh, ketika peneliti menjalankan studi untuk menentukan apakah dua macam pengobatan hasil luaran berbeda, terdapat empat hasil-hasil luaran potensiil (tabel 4). Jenis-jenis hasil luaran ini adalah: (1) satu hasil positif yang sejati (studi secara benar mengidentifikasi satu perbedaan sejati di antara pengobatan-pengobatan); (2) satu hasil negatif sejati (studi secara benar mengidentifikasi ketiadaan perbedaan di antara pengobatan-pengobatan); (3) satu hasil negatif palsu – kesalahan tipe II (β) (studi secara salah menyimpulkan ketiadaan perbedaan di antara pengobatan-pengobatan ketika satu perbedaan senyatanya terjadi); (4) satu hasil positif palsu – kesalahan tipe I (α) (studi secara salah menyimpulkan bahwa terdapat satu perbedaan di antara pengobatan-pengobatan ketika ketiadaan perbedaan sebenarnya terjadi).

Kesalahan Tipe II (Kesalahan β)

Adalah diterima bahwa percobaan-percobaan pengobatan bedah mungkin berukuran terlalu kecil untuk memiliki satu pengaruh berarti bagi praktik klinik. Percobaan-percobaan berukuran kecil seperti itu menjadi subjek bagi kesalahan tipe II: probabilitas dari penyimpulan bahwa tidak terjadi perbedaan di antara kelompok-kelompok pengobatan, ketika, senyatanya, terdapat satu perbedaan (tabel 4). Para peneliti akan menerima satu angka kejadian kesalahan tipe II sebesar 20% (β = 0.20), yang mana berhubungan dengan satu kekuatan studi sebesar 80%. Kebanyakan peneliti setuju bahwa angka-angka kesalahan tipe II lebih besar dari 20% (kekuatan studi kurang dari 80%) adalah subjek dari risiko-risiko tinggi keadaan tidak dapat diterima (unacceptably) dari hasil-hasil negatif palsu.

Kesalahan Tipe I (Kesalahan α)

Kebanyakan dari kita telah terbiasa dengan konsep kesalahan tipe II sebagai risiko pembuatan penyimpulan dari ketiadaan perbedaan di antara dua pengobatan ketika satu perbedaan sebenarnya terjadi. Sesuatu yang kurang diapresiasi oleh para peneliti adalah risiko dari penyimpulan bahwa hasil-hasil penelitian dari studi khusus adalah benar adanya, ketika, dalam kenyataannya, mereka sebenarnya disebabkan oleh kesempatan (kesalahan dalam pengambilan sampel acak). Kesimpulan positif palsu yang keliru ini didisain sebagai kesalahan tipe I atau α (tabel 4). Melalui konvensi, kebanyakan studi dalam orthopedi menerima angka kesalahan tipe I sebesar 0.05. Jadi, peneliti dapat memerkirakan satu kesalahan positif palsu sekitar 5% dari 100 kali pengulangan.

Satu review dari percobaan-percobaan teracakkan yang dipublikasikan akhir-akhir ini (dalam 2 tahun terakhir) dijalankan untuk menentukan risiko dari kesalahan tipe I di antara percobaan-percobaan bedah yang secara eksplisit tidak menyatakan satu hasil luaran primer. Satu penelitian manual dari empat buah jurnal orthopedi, enam buah jurnal bedah umum, dan lima buah jurnal medik dilaksanakan untuk mengidentifikasi percobaan-percobaan teracakkan yang dipublikasikan akhir-akhir ini. Informasi tentang hasil luaran dan perhitungan (adjusting) statistik untuk hasil-hasil luaran berganda dicatat untuk setiap studi. Risiko dari satu kesalahan tipe I dihitung untuk setiap studi yang tidak secara eksplisit menyatakan satu pengukuran hasil luaran primer guna pembandingan statistik utama. Sejumlah total 159 studi cocok dengan kriteria inklusi untuk mengikuti studi – 60 buah dari jurnal orthopedi, 49 buah dari jurnal-jurnal bedah non-orthopedi, dan 50 buah dari jurnal-jurnal medik. Dalam jurnal bedah orthopedi, hanya 33.3% dari percobaan menyediakan satu pernyataan eksplisit dari hasil luaran primernya, di mana 44.8% dari jurnal-jurnal bedah nonorthopedik dan 56.09% dari percobaan teracakkan dalam jurnal medik. Dari percobaan-percobaan yang tidak menyatakan satu pengukuran hasil luaran primer, risiko kesalahan tipe I (hasil-hasil positif palsu) dalam jurnal-jurnal bedah orthopedi dan nonorthopedi (rerata berturut-turut: 37.3% + 13.3% dan 37.6% + 10.5) adalah secara bermakna lebih besar dari pada jurnal medik (10.1% + 1.9%) (P< .05). Ini disimpulkan bahwa pelaporan hasil-hasil luaran primer dalam percobaan-percobaan adalah tidak adekuat; 1 dari 3 percobaan dalam percobaan-percobaan bedah dan 1 dari 10 dalam percobaan-percobaan medik berrisikokan dengan hasil-hasil positif palsu. Beberapa saja percobaan-percobaan dalam bedah dan medik mempertimbangkan perhitungan (adjusting) untuk pembandingan berganda. Kebanyakan pembaca secara intuitif skeptis ketika 1 dari sederetan 20 hasil-hasil luaran yang diukur oleh peneliti adalah bermakna (P< .05) di antara dua kelompok pengobatan. Situasi ini secara tipikal terjadi ketika para peneliti tidak begitu yakin apakah yang mereka cari, sehingga dari beberapa uji hipothesis diharapkan satu di antaranya mungkin benar. Aspek-aspek statistik dari isu pengujian berganda adalah straightforward. Bila sejumlah (n) dari kaitan-kaitan independen diperiksa untuk kebermaknaan statistik, probabilitas bahwa sedikitnya satu dari mereka akan dijumpai secara statistik bermakna adalah 1-(1-α) bila semua n dari setiap hipothesis nol adalah benar (gambar 6). Sehingga, ini dapat diperdebatkan bahwa studi-studi yang melaksanakan sejumlah besar pengukuran-pengukuran terhadap hubungan, secara jelas memiliki probabilitas lebih besar dalam menghasilkan beberapa hasil-hasil positif palsu akibat kesalahan pengacakan dibandingkan dengan apa yang dinyatakan level α untuk setiap pembandingan. Sebagai contoh, dengan α = 0.05 dan n = 20, probabilitas dari sedikitnya satu temuan bermakna secara statistik melalui kesempatan acak adalah 64% (dengan asumsi bahwa semua hipotesis nol adalah benar). Bila seorang peneliti memilih untuk memeriksa 50 buah hubungan-hubungan secara terpisah, probabilitas dari sedikitnya satu hasil bermakna secara statistik adalah 92%. Dalam tinjauan dari percobaan-percobaan teracakkan, jumlah dari uji-uji hubungan berrentang dari 2 hingga 35. Sehingga, studi-studi ini berrisikokan satu temuan positif palsu dari sebesar 9.8% hingga 83% dari seratus kali pengulangan. Banyak prosedur (koreksi Bonferroni) memerlukan kemunculan dari satu nilai P kritis yang lebih kecil untuk menolak hipotesis nol pada masing-masing uji hipothesis dari uji hipotheis multipelnya untuk mempertahankan level α bagi keseluruhan studi. Pendekatan ini adalah sederhana dan praktis namun secara potensiil dapat mengawali timbulnya berbagai situasi yang tidak menyamankan. Sebagai misal, bila seorang peneliti merencanakan untuk menjalankan 10 uji kebermaknaan bagi 10 pengukuran-pengukuran hasil luaran berbeda dan melaporkan kebermaknaan pada level P < .05, maka nilai P efektif tidaklah 0.05, namun agaknya di dekati melalui satu petunjuk praktis (10 hasil luaran x 0.05 = 0.5). Menggunakan petunjuk praktis ini, terdapat 50% kesempatan memiliki satu hasil positif palsu di antara 10 pengukuran-pengukuran hasil luaran. Untuk membatasi simpulan-simpulan yang keliru tersebut (kesalahan-kesalahan tipe α), maka level α dari kebermaknaan dapat diatur dari 0.05 hingga 0.005. Sehingga, hanya nilai-nilai P yang sedemikian jatuh ke nilai kurang dari 0.005 dipertimbangkan bermakna secara statistik dalam model ini.

Statistik Deskriptif


Mengukur Tendensi Sentral (Central Tendency) dan Sebaran (Spread)

Para peneliti akan sering menyediakan satu simpulan umum data dari satu studi klinis atau eksperimental. Beberapa jenis pengukuran dapat digunakan. Hal ini termasuk pengukuran-pengukuran dari tendensi sentral (rerata [mean], tengahan [median], modus [mode]) dan pengukuran-pengukuran sebaran (deviasi baku [standard deviation], rentangan [range], persentil [persentile]). Rerata sampel adalah sama dengan jumlah pengukuran-pengukuran dibagi oleh jumlah observasi-observasi. Tengahan dari satu set pengukuran-pengukuran adalah jumlah yang terletak di tengah-tengah. Modus, bagaimanapun, merupakan sejumlah angka yang paling sering muncul dalam set pengukuran-pengukuran. Variabel-variabel kontinyu (seperti misal tekanan darah atau berat badan) dapat disimpulkan dengan satu rerata bila datanya adalah terdistribusi secara normal. Bilamana datanya tidak terdistribusi secara normal, maka tengahan mungkin merupakan simpulan statistik yang lebih baik. Variabel-variabel kategorikal (seperti gradasi nyeri : 0 hingga 5) dapat disimpulkan menggunakan satu tengahan.

Bersamaan dengan pengukuran-pengukuran tendensi sentral, para peneliti akan sering memasukkan satu pengukuran dari sebaran. Deviasi baku (SD) adalah didapat dari akar pangkat dua dari varian sampel. Varian dihitung sebagai rata-rata dari hasil perkalian deviasi-deviasi pengukuran-pengukuran sekitar reratanya. Rentangan dari satu set data merefleksikan nilai terkecil dan nilai terbesar.

Distribusi normal

Sejumlah besar variabel-variabel kontinyu memiliki satu distribusi frekuensi dengan banyak nilai mendekati rerata dan secara progresif lebih sedikit nilai menuju ke arah ekstrem. Bila jumlah observasi adalah besar, kurva yang tergambar adalah berbentuk bel dan mendekati distribusi normal (gambar 7A). Beberapa uji statistik mengasumsikan satu distribusi normal (Student’s t test). Sebelum menjalankan satu uji statistik, sebuah plot data histogram sederhana dapat menyediakan suatu wawasan ke dalam distribusi sampel. Satu sampel yang tidak simetris adalah merupakan gambaran distribusi di mana rerata adalah tidak di pusat distribusi (gambar 7B). Uji-uji statistik yang dapat membantu dalam penentuan bagi normalitas termasuk adalah uji Kolmogorov-Smirnov dan statistik Shapiro-Wilk (W). Bila sampel tidak berdistribusi normal, Satu set uji statistik terpisah harus dilaksanakan. Uji-uji ini disebut sebagai uji-uji nonparametrik oleh karena mereka tidak mempergunakan parameter-parameter seperti misalnya rerata dan deviasi baku. Satu pendekatan alternatif adalah mengubah satu distribusi nonnormal ke satu distribusi normal melalui satu transformasi. Sebagai contoh, data dapat di-log-transform guna mengurangi ketidaksimetrisannya. Interpretasi dari hasil-hasil dapat menjadi sulit setelah transformasi seperti itu.

Mengukur Efek Pengobatan (Variabel-variabel Dikhotomus)

Informasi yang membandingkan hasil-hasil luaran (dikhotomus—mortalitas, reoperasi) dari dua prosedur dapat ditunjukkan ke pasien-pasien sebagai suatu odds ratio, risiko relatif, reduksi risiko relatif, reduksi risiko absolut, dan jumlah yang membutuhkan pegobatan (Tabel 5). Baik reduksi dalam risiko relatif dan reduksi dalam risiko absolut telah pernah dilaporkan memiliki pengaruh terkuat pada pembuatan putusan pasien dalam terapi-terapi nonbedah.

Interval Kepercayaan (Confidence Interval /CI) 95%

Peneliti biasanya (meski sering berubah-ubah) menggunakan CI 95%. CI 95% dapat dipertimbangkan sebagai pendefinisian rentangan yang menyangkut perbedaan sejati sebesar 95% dari seratus kali pengulangan. Dengan kata lain, Bila peneliti mengulangi studi mereka 100 kali, maka akan dapat diperkirakan bahwa estimasi poin dari hasil-hasilnya akan berada dalam CI 95% dari 100 kali pengulangan tersebut. Estimasi poin yang sebenarnya akan berada melewati ekstrem-ekstrem ini hanyalah sebesar 5% dari jumlah pengulangan, di mana ini merupakan satu sifat dari CI yang berkaitan sangat dekat dengan level konvensional kebermaknaan statistik yaitu P < p =" 0.05)" style="font-weight: bold;">PROPOSAL PENELITIAN

Disain dari satu studi dalam orthopedi memerlukan penggabungan dari seluruh konsep yang telah diuraikan di atas. Kesahihan dari satu studi klinis dapat dipastikan melalui penggunaan protokol penelitian yang hati-hati sebelum memulainya.

Langkah 1: Memformulasikan Pertanyaan

Secara tipikal, yang termasuk ke dalam formulasi pertanyaan adalah, satu deskripsi popuplasi, intervensi, dan hasil-hasil luaran. Pertanyaan akan juga menentukan disain studi yang paling cocok. Sebagai contoh, pertanyaan berikut dapat diusulkan: Apakah efek dari internal fiksasi berbanding arthroplasti (intervensi) bagi angka bedah revisi (hasil luaran) pada pasien-pasien berusia lebih tua dari 65 tahun yang dengan fraktur-fraktur kolum femur (populasi). Pertanyaan ini mungkin paling baik dijawab dengan satu percobaan acak.

Langkah 2: Menjalankan satu Tinjauan Literatur yang Sistimatik

Sebelum menyetujui satu proyek yang akan dibayar dengan sejumlah besar waktu, personil, dan dana, peneliti harus memastikan bahwa pengusulan studinya adalah benar-benar baru dan dengan tingkat pemahaman terkini dari satu masalah yang tinggi. Satu tinjauan sistimatik dan hati-hati terhadap literatur yang tersedia dapat menginformasi peneliti sekitar fakta terkini. Satu analisis meta yang terjalankan dengan baik adalah tak bernilai karena ini adalah tidak biasa untuk studi-studi tunggal dalam menyediakan jawaban-jawaban definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan klinis. Lebih lanjut, satu tinjauan kuantitatif yang terjalankan dengan baik mungkin dapat memecahkan ketidaksesuaian di antara studi-studi yang dengan hasil-hasil menimbulkan konflik. Prinsip-prinsip yang menuntun dalam menjalankan analisis-analisis meta adalah termasuk satu pertanyaan layanan kesehatan spesifik, satu strategi penelitian yang paripurna, penentuan kemampuan dapat diproduksinya kembali (reproducibility) dari seleksi studi (study selection), penentuan kesahihan studi, evaluasi dari heterogeneitas (berbagai perbedaan dalam efek yang timbul di sepanjang studi), dan inklusi dari seluruh pengukuran efek pengobatan yang relevan dan yang berguna secara klinis.
Langkah 3: Memutuskan Disain Studi

Sebagaimana telah disampaikan di atas, pertanyaan adalah menginformasi disain studi. Bila seorang peneliti berkeinginan membandingkan hasil-hasil dari dua atau lebih strategi pengobatan, satu percobaan acak terkontrol merupakan pilihan terbaik; bagaimanapun, bila tujuannya adalah untuk mengidentifikasi prediktor-prediktor mortalitas pada pasien-pasien yang diterapi untuk fraktur-fraktur sekitar panggul, satu studi kasus-kontrol dapat didisain guna membandingkan variabel-variabel prognostik pada pasien-pasien yang meninggal dibandingkan dengan mereka yang hidup. Bila seorang peneliti berencana untuk membandingkan hasil-hasil luaran setelah menjalani penanganan bedah dengan pengobatan konservatif dari fraktur-fraktur spinal, satu studi kohort prospektif mungkin adalah yang terbaik. Pengacakan pasien-pasien dalam keadaan ini mungkin dianggap tidak etis.

Langkah 4: Kriteria Elijibilitas

Peneliti haruslah tegas tentang kriteria bagi pasien-pasien mana yang akan dimasukkan ke dalam studi mereka. Satu daftar kriteria yang memenuhi syarat (elijibilitas) yang besar dan paripurna akan membatasi kemampuan me-generalisasi (generalizability) dari hasil-hasil studi (kesahihan eksternal) yang melewati kelompok spesifik pasien-pasien yang masuk ke dalam penelitian. Jadi, satu strategi untuk mengembangkan validitas eksternal dari suatu percobaan acak adalah menjadi bagian dalam mengikuti satu bermacam-macam kelompok pasien-pasien. Sebagai alternatif, dalam satu studi kohort di mana risiko timbulnya berbagai ketidakseimbangan di antara kelompok-kelompok pasien adalah tinggi, memiliki satu daftar kriteria (inklusi dan eksklusi) yang paripurna sehingga memungkinkan dapat memperbaiki tingkatan hingga tercapaikan kelompok-kelompok pasien yang sama/seimbang. Studi-studi pendahuluan mengenai elijibilitas dapat bermanfaat dalam membantu penentuan angka pendaftaran pasien (patient enrollment rates) dalam satu pusat penelitian khusus atau keadaan khusus.
Langkah 5: Identifikasi Subjek

Berbagai strategi untuk mengidentifikasi dan menyertakan pasien-pasien ke dalam satu studi harus terdefinisikan sebelum memulai satu studi. Adapun berbagai pertimbangannya adalah apakah menyertakan pasien-pasien dari satu pusat penelitian tunggal (akademik berbanding komunitas), pusat penelitian multipel, dan satu kota, wilayah dalam satu negara, atau negara berbanding banyak kota, banyak wilayah dalam satu negara, dan negara-negara. Keputusan mungkin juga menyangkut apakah menyertakan keseluruhan populasi ataukah satu sampel dari satu populasi. Dalam kebanyakan kejadian, para peneliti akan memasukkan apakah berupa satu sampel acak, satu sampel acak sistimatik (pengambilan setiap kali kesekian pasien dari satu daftar) ataukah satu convenience sample (mereka yang menunjukkan diri ke klinik patah tulang) dari satu populasi.

Langkah 6: Menentukan Intervensi

Rincian intervensi perlu dijelaskan sebelum studi dimulai. Dalam banyak intervensi bedah, ahli bedah mungkin membutuhkan pelatihan atau pendidikan tambahan mengenai satu teknik bedah yang jarang mereka lakukan. Berbagai protokol penanganan pasien harus ditinjau kembali oleh seluruh peneliti dan dibakukan guna membatasi berbagai kerancuan kointervensi (yaitu, berbagai aplikasi berbeda dari intervensi-intervensi tambahan yang mungkin memengaruhi hasil-hasil luaran pasien)

Langkah 7: Memilih Hasil-hasil Luaran Primer/Sekunder

Pemilihan cara pengukuran hasil luaran memiliki banyak implikasi penting pada ukuran sampel yang dibutuhkan. Pengukuran hasil luaran kontinyu (seperti lama rawat inap, kehilangan darah, skor-skor fungsional) telah diketahui memerlukan jumlah sampel pasien yang lebih sedikit guna mencapai kekuatan studi yang adekuat dibandingkan variabel-variabel hasil luaran dikhotomus (mortalitas, angka-angka infeksi, angka-angka reoperasi). Berikut, penjelasan tentang kekuatan studi melalui peninjauan ke dalam studi-studi yang terpublikasi dengan 50 pasien atau kurang untuk memeriksa efek dari variabel hasil luaran. Terdapat 76 percobaan dengan ukuran sampel sebanyak 50 pasien atau kurang (29 percobaan, hasil-hasil luaran kontinyu; 47 percobaan, hasil-hasil luaran dikhotomus). Studi-studi yang melaporkan hasil-hasil luaran kontinyu memiliki kekuatan rerata yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan yang melaporkan variabel-variabel dikhotomus (kekuatan = 49% berbanding 38%, P = 0.042). Sebanyak dua kali jumlah percobaan dengan variabel-variabel hasil luaran kontinyu mencapai level-level kekuatan studi yang dapat diterima (sebagai contoh, kekuatan > 80%) bila dibandingkan percobaan dengan variabel-variabel dikhotomus (37% berbanding 18.6%, P = 0.04).

Langkah 8: Menghindari Kesalahan Tipe II: Ukuran Sampel dan Kekuatan Studi yang mencukupi

Kekuatan dari satu studi adalah probabilitas dari penyimpulan satu keberbedaan di antara dua macam pengobatan ketika satu di antaranya adalah senyatanya terjadi. Kekuatan (power) (1-β) secara sederhananya adalah komplemen dari kesalahan tipe II (β). Jadi, bila kesempatan dari satu penyimpulan studi takbenar sebesar 20% diterima (β = 0.20), adalah juga harus diterima bahwa penyimpulan yang benar akan ditarik sebesar 80% dari 100 kali pengulangan. Kekuatan studi harus digunakan sebelum memulai satu percobaan klinis untuk membantu penentuan ukuran sampel.

Kekuatan dari satu uji statistik adalah secara tipikal merupakan satu fungsi dari besarnya efek pengobatan, angka kesalahan tipe I (α) yang dibuat, dan ukuran sampel (N). Ketika mendisain satu percobaan, peneliti dapat memutuskannya berdasarkan kekuatan studi yang diinginkan (1-β) dan menghitung sampel yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Bila peneliti sedang menjalankan satu analisis kekuatan post hoc setelah menyelesaikan studi, mereka akan menggunakan ukuran sampel aktual yang didapat untuk menghitung kekuatan dari studi.

Besarnya efek adalah, sebagai contoh, keberbedaan di antara rerata skor fungsional dari kelompok yang tertangani lewat pembedahan dan kelompok yang tertangani dengan tanpa pembedahan. Guna mengompensasi untuk variabilitas dari skor-skor fungsional dalam setiap kelompok (deviasi varian atau deviasi baku sekitar skor-skor rerata), keberbedaan dapat dibagi oleh deviasi baku kelompok kontrol. Nilai resultan ini disebut dengan ’ukuran efek’. Interpretasi dari ’ukuran efek’ umumnya adalah bersifat klinis (is largely a clinical one). Ia harus mewakili satu titik di mana satu perubahan dalam praktik klinik akan dibuat bila hasil-hasilnya adalah benar. Cohen melaporkan beberapa tuntunan kasar untuk menginterpretasi ukuran-ukuran efek, dengan besaran 0.2 adalah efek kecil, 0.5 efek sedang, dan 0.8 efek besar.

Ukuran sampel memainkan satu peran penting dalam analisis kekuatan. Semakin kecil keberbedaan yang diinginkan seorang peneliti untuk deteksi, maka semakin besar ukuran sampel yang diperlukan bagi studinya. Contoh-contoh ekstrem dari ukuran-ukuran sampel yang besar bagi efek-efek pengobatan yang relatif kecil sering dijumpai dalam percobaan-percobaan sekitar penyakit kardiovaskuler. Percobaan akhir-akhir ini dari terapi angiotensin-converting enzyme-inhibitor pada pasien-pasien yang berada pada risiko tinggi untuk kejadian-kejadian kardiovaskuler terkumpul sebanyak 9,297 pasien guna mengidentifikasi keberbedaan sebesar 0.5% (P = 0.02) dalam infark otot jantung di antara kelompok-kelompok pengobatan dan plasebo.

Prevalensi kesalahan-kesalahan tipe II dalam percobaan-percobaan trauma orthopedi yang telah ditunjukkan selama ini, membuat peneliti-peneliti di masa datang harus berusaha keras untuk merencanakan sebelumnya perkiraan berbagai kebutuhan akan ukuran sampel yang didasarkan pada berbagai standar yang secara konvensional diterima bagi kekuatan studi (80%) dan kesalahan-kesalahan tipe I (α = 0.05). Studi-studi pendahuluan kecil tentang satu topik yang diminati atau laporan literatur sebelumnya dapat menjadi berguna dalam menentukan efek pengobatan yang diinginkan.

Sebagai contoh, dalam merencanakan satu percobaan mencari strategi alternatif bagi pengobatan fraktur-fraktur diafisis tibia, seorang peneliti mungkin harus mengidentifikasi satu tinjauan sistematik literatur yang melaporkan lama waktu penyembuhan fraktur dengan terapi jenis A adalah 120 + 4.5 hari, di mana lama waktu penyembuhan dengan pengobatan B (kelompok kontrol) dapat diperkirakan hingga mencapai 140 + 40 hari. Perkiraan perbedaan pengobatan di antara keduanya tersebut adalah 20 hari dan ukuran efeknya adalah 0.5 (20/40). Berdasarkan studinya Cohen, hasil ini adalah berkekuatan efek tingkat sedang dan adalah sepertinya secara klinis bermakna bila hal ini benar adanya. Ukuran sampel yang diantisipasi bagi pengukuran hasil luaran kontinyu ini ditentukan oleh persamaan berikut:

N = 2 {(Zα + Zβ)σ}2 / δ
di mana Zα = 1.96, Zβ = 0.84, σ = 40, dan δ = 20

Studi ini akan memerlukan sedikitnya 63 pasien guna memiliki kekuatan yang cukup untuk mengidentifikasi satu keberbedaan dari 20 hari di antara jenis-jenis pengobatan bila hal itu terjadi. Seorang peneliti mungkin kemudian memeriksa banyaknya pasien yang diobati pada pusat penelitian mereka selama tahun sebelumnya untuk menentukan apakah cukup pasien akan hadir ke pusat penelitiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam ukuran sampel.

Asumsinya dapat dibuat bahwa, peneliti yang sama akan memilih nonunion sebagai hasil luaran primer dari pada lama waktu untuk union. Berdasarkan pada literatur sebelumnya, peneliti percaya bahwa pengobatan A akan menghasilkan besaran angka union 95% dan pengobatan B (kelompok kontrol) menghasilkan satu angka union 90%. Satu perhitungan berbeda dari besarnya ukuran sampel bagi variabel-variabel dikhotomus ditunjukkan di bawah ini:

N = PA (100-PA) + PB (100-PB x f(α,β) / (PB – PA)2
di mana PA = 92, PB = 90, dan f(α,β) = 7.9

Sekarang, 869 pasien dibutuhkan untuk mengidentifikasi satu keberbedaan sebesar 5% dalam angka nonunion di antara pengobatan-pengobatan. Seorang peneliti mungkin mempertimbangkan bahwa jumlah ini adalah cukup besar untuk dihindari menjalankan percobaannya pada satu pusat penelitian saja, dan mungkin kemudian memilih untuk mendapatkan bantuan dukungan pada pusat-pusat penelitian multipel bagi percobaan ini.
Langkah 9: Merencanakan Analisis

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, pertanyaan penelitian, disain studi, dan usulan pengukuran hasil-hasil luaran akan menentukan prosedur-prosedur analisis.

Langkah 10: Memastikan Kelengkapan Follow up

Follow up yang tidak lengkap dapat secara serius mengacaukan kesahihan dari satu studi klinis. Bilamana pasien hilang dalam follow up, seserius apakah gangguannya terhadap kesahihan studi? Katakanlah petunjuk-petunjuk praktisnya (nilai ambang sebesar 20%) adalah keliru (misleading). Pertimbangkan satu percobaan acak hipothetik yang memasukkan 1000 pasien ke dalam kelompok pengobatan dan kontrol, di mana 200 (20%) dari padanya hilang untuk di follow up (100 pasien pada kelompok pengobatan dan 100 lainnya dalam kelompok kontrol). Pasien-pasien yang diobati memiliki hasil luaran yang bertentangan (adverse outcome) pada setengah angka dari kelompok kontrol (200 berbanding 400), merupakan satu reduksi dalam risiko relatif sebesar 50%. Untuk seberapa besarkah pasien-pasien yang hilang dalam follow up secara potensiil mengganggu penarikan simpulan bahwa pengobatan mengurangkan angka komplikasi sebanyak setengah? Bila asumsi terburuk dibuat, yang berarti semua pasien yang mendapatkan pengobatan hilang dalam follow up memiliki hasil luaran yang paling buruk, maka banyaknya hasil-hasil luaran yang bertentangan dalam kelompok pengobatan haruslah sebesar 300 (30%). Bilamana tidak terjadi hasil luaran yang bertentangan di antara pasien-pasien dalam kelompok kontrol yang hilang dalam follow up, maka estimasi terbaik dari efek pengobatan dalam mereduksi risiko komplikasi adalah berkurang dari (1 – 200/400) atau 50% ke (1 – 300/400) atau 25%. Jadi, asumsi terburuk mengubah estimasi besaran efek pengobatan. Bilamana mengasumsikan satu skenario kasus terburuk adalah tidak mengubah penarikan simpulan yang timbul dari hasil-hasil studi, maka kehilangan pasien dalam follow up tidak merupakan satu masalah.
Langkah 11: Pengelolaan Data

Peneliti harus merencanakan sebaik-baiknya berbagai strategi yang akan mereka gunakan untuk memastikan kualitas data dan penyimpanan data dalam persiapannya untuk analisis. Studi-studi yang besar seringkali memperkerjakan manajer-manajer bandar data penuh waktu dan asisten-asisten peneliti untuk mempersiapkan dan mengumpulkan formulir-formulir data, memastikan bahwa formulir-formulir data adalah komplit, dan memasukkan data ke dalam bandar data - bandar data terkomputerisasi bagi analisis di kemudian hari.

Langkah 12: Etika dan Tingkat Kerahasiaan Pasien (Confidentiality)

Akhir-akhir ini di Amerika Utara timbul tuntunan/aturan yang keras dalam menjalankan etika penelitian klinis dan eksperimental. Peneliti harus terbiasa dengan proses-proses peninjauan etika lokal dan institusional. Surat persetujuan harus dipersiapkan matang-matang dan perijinan untuk penelitian harus diperoleh sebelum studi dijalankan. Yang penting harus diingat pula adalah bahwa, karena semua ini berkaitan juga dengan masalah dana untuk pengobatan, tentu saja berbagai persyaratan dari kegiatan dukungan pendanaan pasien oleh asuransi harus menjadi pertimbangan.
Langkah 13: Membangun Tim Penelitian

Suatu proyek penelitian akan didukung oleh satu tim penelitian yang bermotivasi, kooperatif, dan kompeten. Tim yang optimal adalah lebih besar dari pada jumlah masing-masing bagiannya. Masing-masing anggotanya harus memiliki kemampuan spesifik untuk memastikan keseluruhan kompetensinya dipertahankan. Secara tipikalnya, Satu tim untuk studi yang besar harus memiliki ahli-ahli klinik, biostatistik, ahli metodologi/ahli epidemiologi, personil administratif, dan koordinator-koordinator penelitian/asisten-asisten. Peneliti utama adalah pemegang kunci bagi keseluruhan supervisi dan organisasi dari satu percobaan. Dalam satu percobaan multisenter, peneliti utama pada setiap lokasi pusat penelitian bertanggung jawab untuk memastikan kebersediaan menjalankan (compliance) studi, mengumpulkan pasien, follow up, dan pengumpulan formulir data dari waktu ke waktu.
Langkah 14: Menyediakan satu Jadual Waktu Penelitian

Menjalankan satu studi yang terdisain baik memerlukan satu komitmen waktu yang besar. Seringkali, dalam studi yang besar, fase perencanaan akan memerlukan hampir sebanyak waktu fase menjalankan studi. Sebagai satu petunjuk praktis, dapat diasumsikan bahwa, satu studi yang akan dijalankan setahun akan sedikitnya memerlukan perencanaan selama setahun (penelitian literatur, pengembangan protokol dan revisi, pencarian dana).

MENUJU PRAKTIK ORTHOPEDI BERBASIS FAKTA

Sumber-sumber bagi Praktisi

Praktek kedokteran berbasis fakta artinya memadukan keahlian klinik individual dengan fakta klinis eksternal terbaik yang tersedia dari penelitian sistematik. The User’s Guide to the Medical Literature yang terdapat pada Journal of the American Medical Association dan installments terkini dari User’s Guide to the Orthopaedic Literature dalam Journal of Bone and Joint Surgery memungkinkan para klinisi menggunakannya sebagai alat untuk secara kritis menentukan kualitas metodologi dari studi-studi individual dan mengaplikasikan fakta-faktanya.

Agar para klinisi dapat dengan mudah mengakses ke pada ketersediaan fakta terbaik, beberapa sumber khusus yang dapat dipakai adalah termasuk simpulan-simpulan dari studi-studi individual, berbagai tinjauan sistematik, dan berbagai tuntunan klinik berbasis fakta. Contoh salah satunya adalah Cochrane Database, yang merupakan satu bandar data tinjauan sistematik ekstensif terhadap berbagai topik dalam penyakit-penyakit muskuloskeletal. Tambahannya, Cochrane Database berisi satu registry percobaan klinik terkontrol, yang menyediakan satu daftar komprehensif percobaan-percobaan klinik acak dalam lingkup orthopedi dan dalam lingkup subspesialis lainnya. Canadian Journal of Surgery, Journal of Bone and Joint Surgery, dan Journal of Orthopaedic Trauma semuanya menyediakan simpulan fakta-fakta dari berbagai topik. Memadukan Nilai-nilai Pasien dengan Pembuatan Putusan

Oleh karena selalu terdapat keuntungan dan kerugian dalam suatu intervensi, sehingga hanya dengan fakta saja tidaklah cukup dapat menentukan perlakuan terbaik bagi pasien. Kebanyakan akan setuju bahwa nilai-nilai dan preferences yang harus digunakan oleh klinisi untuk menyeimbangkan risiko dan keuntungan adalah sebagaimana yang dimiliki pasien. Berdasarkan variabilitas nilai-nilai yang dimiliki pasien, dokter harus menindaklanjutinya dengan hati-hati sekali; adalah mudah untuk mengasumsikan bahwa nilai-nilai yang ada pada pasien dan dokternya adalah sama, namun asumsi ini mungkin tidaklah benar adanya. Tantangannya, kemudian, adalah mengintegrasikan fakta dengan nilai-nilai pada pasien. Bilamana keuntungan dan risiko adalah seimbang more precariously dan pilihan terbaik mungkin berbeda di antara pasien-pasien (across patient), maka klinisi harus bertandang ke pada variabilitas dalam nilai-nilainya pasien. Satu strategi mendasar untuk memadukan fakta dengan preferences adalah termasuk membicarakan berbagai keuntungan dan risiko ke pasien, sehingga memungkinkan mereka untuk memadukan nilai-nilai dan preferensi yang mereka miliki dalam keputusan.

SIMPULAN

Tujuan kedokteran berbasis fakta adalah untuk menyediakan praktisi-praktisi layanan kesehatan dan para pembuat putusan (dokter, perawat, petugas administrasi, regulator) dengan berbagai perangkat yang memungkinkan mereka untuk mengumpulkan, mengakses, menginterpretasi, dan menyimpulkan fakta yang diperlukan dalam membuat putusan-putusan yang informed dan untuk secara eksplisit mengintegrasikan fakta ini dengan nilai-nilai yang dimiliki pasien. Dalam situasi demikian, kedokteran berbasis fakta bukanlah merupakan satu akhir dari semuanya, namun terlebih merupakan satu set prinsip dan perangkat yang membantu klinisi membedakan fakta keliru dari ketidakpastian ilmiah nyata, membedakan fakta dari berbagai opini yang tidak berdasar, dan pada akhirnya guna menyediakan layanan pasien yang lebih baik.