Jumat, 07 Desember 2012

Sulihan Tulang Berpengeresapan-Antibiotik dalam Bedah Orthopedi dan Trauma - Sebuah Tinjauan Sistematik Literatur

Abstrak
Terdapat beberapa pilihan untuk terapi antibiotik lokal pada bedah orthopedi dan trauma. Selama tahun-tahun lalu, penggunaan antibiotic-impregnated bone grafts (AIBGs) telah menjadi satu prosedur populer dalam mengobati berbagai infeksi tulang dan sendi. Keuntungan major AIBGs meliputi kemungkinan impregnasi (pengeresapan) bermacam-macam antibiotik bergantung pada profil sensitifitas dari organisme penyebab, di mana satu pembedahan ekstra bertujuan membuang pembawa antibiotik tidak dibutuhkan, sebagaimana pada penggunaan semen tulang berbebankan-antibiotik. Namun, simpulan umumnya tidak dapat dengan jelas tergambarkan dari literatur yang ada akibat dari keberbedaan dalam hal penggunaan macam jenis tulang, metode pengeresapan, antibiotik, dosisnya, situasi laboratorium, atau indikasi klinik. Tulisan ini meninjau literatur sehubungan dengan topik ini dan menyoroti beberapa pilihan ke tulang dan antibiotik, rincian pembuatannya, dan pengalaman klinik.

1. Pendahuluan
Kendatipun telah terdapat berbagai kemajuan dalam  penggunaan tindakan pencegahan, infeksi masih tetap merupakan sebuah komplikasi major dalam bedah orthopedi dan traumatologi. Bergantung pada pelokalisasian infeksi, saat manifestasi infeksi, kehadiran barang dari logam, organisme patogen, virulensinya, dan profil sensitifitas antibiotik, beberapa pilihan pengobatan telah tersedia, yang kebanyakannya terdiri dari revisi bedah, terapi antibiotik sistemik dan lokal.
Terdapat sejumlah perangkat untuk terapi antibiotik lokal. Idealnya, semua perangkat ini haruslah melepas konsentrasi antibiotik-tinggi sepanjang satu periode waktu yang berkepanjangan dalam rangka tidak hanya mengeradikasi infeksi namun juga mencegah timbulnya infeksi berulang yang disebabkan oleh bakteri yang mungkin bertahan hidup setelah konsentrasi antibiotik jatuh ke level-level subinhibitor. Umumnya, semua media ini dibagi menjadi biodegradabel (mis., spon kolagen) dan berupa media yang harus dibuang melalui satu tindakan pembedahan lanjutannya (mis., semen atau manik-manik pengatur jarak). Spon kolagen mengelusi antibiotik dengan memadai sepanjang 7 – 14 hari in vivo (1). Perangkat semen dapat melepas antibiotik hingga 30 hari setelah pengimplatasiannya, di mana majoritas jumlah pengelusian antibiotik terjadi dalam 48 jam pertama (2). Namun, pada tahun-tahun belakangan dijumpai meningkatnya jumlah kajian yang mengindikasikan bahwa bakteri mampu untuk melekat ke atau bahkan mengkolonisasi semen berbebankan-antibiotik sehingga membuat perhatian meningkat yang terkait dengan periode pengimplatasian yang berkepanjangan dan kemungkinan infeksi berulang atau persisten (3). Satu solusi yang mungkin adalah dapat berupa pemakaian peralatan biodegradabel dengan sifat-sifat farmakokinetik lebih unggul dibanding dengan spon kolagen, tetapi juga dengan pilihan dari pengeresapan tambahan antibiotik (antibiotik-antibiotik) tergantung pada organisme penyebab tertentu.
Sebagai wahana pembawanya yang mungkin dapat memecahkan permasalahan tersebut adalah tulang itu sendiri. Konsep dari mengeresapkan tulang dengan antibiotik bukanlah merupakan satu ide baru. De Grood adalah yang pertamakali melaporkan mencampurkan penisilin dengan tulang kanselus ketika ia mengisi defek tulang pada tahun 1947 (4). Dua pasiennya dengan berhasil terobati untuk sisa lobang akibat dari osteomyelitis. Walaupun ide ini kelihatannya menjanjikan, tidaklah demikian halnya perkembangannya hingga kemudian pada pertengahan tahun 80-an yang melaporkan lebih lanjut dalam berbagai penyajiannya pada berbagai pertemuan ilmiah berbeda tentang penggunaan cara-cara ini (5 – 7). Sejak itu, berbagai laporan telah dipublikasikan tentang pemakaian sulihan tulang berpengeresapan-antibiotik in vitro, khewan, dan dalam berbagai kajian in vivo.
Kendatipun popularitas pilihan pengobatan ini meningkat, simpulan umumnya masih tetap tidak dapat digambarkan dari literatur yang ada akibat dari keberbedaan tulang dan antibiotika yang digunakan, metode dan dosis pengerasapannya, situasi laboratorium, atau indikasi klinisnya. Oleh sebab itu, tujuan dari tulisan ini adalah meninjau literatur yang berhubungan dengan topik ini dan menyorot ke pada pilihan tulang dan antibiotik, rincian pembuatannya, dan pengalaman klinik.

2. Penyertaan Kajian
Satu penelusuran literatur sistematik dilakukan hingga 2010. Penelusuran istilah meliputi “bone (allo)graft(s)”, dan “antibiotic-loaded/impregnated”, sendiri-sendiri dan kombinasinya. Hanya artikel tentang bedah orthopedi dan trauma dievaluasi kecuali bagi artikel yang berasal dari fasilitas bedah lainnya tapi menyediakan informasi baru untuk topik ini. Dari kajian yang diambil awalnya, penelusuran lanjutannya dilaksanakan diseluruh bibliografi dari publikasi-publikasi yang teridentifikasi untuk memasukkan sebanyak mungkin kajian-kajian. Hanya publikasi berbahasa Inggris dimasukkan ke dalam proses peninjauan. Tulisan berupa tinjauan dan laporan kasus dikeluarkan dari kajian  kecuali jika mereka menyediakan informasi baru yang tidak dilaporkan dalam publikasi teridentifikasi lainnya. Seluruhnya sebanyak 35 kajian dapat diidentifikasi (7-41).

3. Pemilihan Sulihan Tulang
Berdasarkan pada pengalaman yang diperoleh dari pembedahan aseptik, sebagian terbesar kajian melapor tentang pemakaian sulihan tulang kanselus (Tabel 1). Disebabkan oleh telah dikenalnya sifat-sifat osteokonduktifnya, tulang kanselus membawa risiko teoretik pembentukan sekuester yang lebih rendah dibandingkan dengan tulang kortikal yang hal ini sangat penting dalam pengobatan infeksi tulang.
Bergantung pada indikasi bedah itu sendiri, pelokalisasian infeksi, ukuran defek tulang, dan kehadiran dari satu bank tulang internal, baik sulihan tulang otolog ataupun alogenik mungkin digunakan. Secara umum, terdapat tiga tipe sulihan tulang alogenik yang tersedia : (i) segar atau beku-segar, (ii) beku-kering, dan (iii) beku-kering terdemineralisasi. Kendatipun penggunaannya yang mendunia dari bermacam tipe sulihan tulang itu, tidak terdapat informasi apakah terdapat perbedaan yang terkait sifat-sifat farmakokinetik di antara kelompok-kelompok sulihan itu. Terlebih, adalah belum jelas apakah tidakan fragmentasi manual sulihan sebelum atau sesudah proses pengeresapan mungkin juga memiliki dampak teoretik pada sifat-sifat farmakokinetik dari AIBGs.

4. Pembebanan Antibiotik: Pemilihan Obat dan Metode Pengeresapannya
Pengetahuan tentang sifat-sifat farmakokinetik tulang itu sendiri demikian juga tentang kemungkinan pengaruh antibiotik yang tergabung terhadap sifat-sifat fisik tulang merupakan satu bahan pemikiran penting sebelum pemakaian klinik sulihan tulang berbebankan-antibiotik diputuskan. Secara teoritis, semua antibiotik mungkin cocok untuk pengeresapan tulang sepanjang mereka dielusikan hingga mencapai jumlah yang mencukupi. Sebaliknya dengan semen tulang akrilik, di mana panas akibat polimerisasi mengawali ke satu penginaktifasian agen-agen yang digabungkan (2), sifat-sifat fisik antibiotik tidak dipengaruhi oleh proses pengeresapan pada lokasi AIBGs.
Walau tidak terdapat tuntunan spesifik, pemilihan obat haruslah secara umum dibuat berdampingan dengan profil sensitifitas dari organisme patogen penyebab (bila diketahui sebelum operasi). Sebaliknya kalau itu tidak tersedia, satu perhitungan terapi antibiotik lokal haruslah dipakai, dalam hal ini harus efektif melawan organisme patogen yang sering pada bedah orthopedi (mis., Staphylococci). Laporan data literatur kebanyakannya tentang pembebanan-monoantibiotik. Informasi yang lebih terinci tentang topik ini didiskusikan kemudian pada tulisan ini.
Berkaitan dengan proses pengeresapan, banyak metoda dijelaskan dalam literatur. Beberapa penulis menggabungkan antibiotik dengan cara pencampuran manual, sementara yang lainnya menempatkan sulihan tulang ke dalam cairan berisikan-antibiotik untuk bermacam-macam periode waktu. Pada beberapa kasusnya, sulihan tulang yang dipanen telah dipersiapkan secara khusus sebelum tindakan pengeresapan antibiotik (34). Metode yang mana yang mengawali ke pada pengeresapan antibiotik yang paling tinggi, bagaimanapun, masih tetap belum diketahui.
Di samping bermacam metoda tersebut di atas, terdapat laporan tunggal telah mengindikasikan bahwa iontoforesis mungkin juga menjadi satu metoda baru untuk menggabungkan antibiotik ke dalam tulang (17, 24, 27). Di bawah kondisi-kondisi eksperimental, level-level tinggi gentamisin dan flukloksasilin dapat dilepas secara dini, di mana sejumlah yang cukup dapat dielusikan untuk satu periode hingga dua minggu dan antibiotik tetap aktif secara biologis (17).
Lebih lanjut, timbul perbedaan sehubungan dengan rasio antibiotik/sulihan tulang yang pas. Beberapa peneliti menentukan jumlah pengeresapan per kaput femur atau per gram tulang, di mana yang lainnya menentukan ini menurut volum tulang. Ini semua membuat satu usaha untuk melakukan pembandingan dari literatur menjadi sangat sulit. Secara intraoperatif, tulang yang terpanen mungkin bervariasi luas menurut luasnya atau tidak dapat diperbandingkan dengan sebuah kaput femur bergantung pada area panenan (mis., krista iliak anterior) disebabkan oleh perbedaan menurut struktur kanselus atau densitas tulang. Dengan demikian, untuk kajian lebih lanjutnya mungkin disarankan dalam penentuan jumlah antibiotik adalah disesuaikan dengan volum tulang yang digunakan yang dengan cara itu akan lebih mudah untuk menentukannya secara intraoperatif dibandingkan dengan berat tulang.

5. Sifat-sifat Farmakokinetik
Pengetahuan tentang kinetik elusi dari AIBGs merupakan pemikiran yang sangat dibutuhkan untuk perencanaan dan pengobatan infeksi tulang dan sendi yang berhasil. Sejumlah publikasi menyediakan informasi sekitaran topik ini yang kebanyakan darinya adalah berupa kajian in vitro dan khewan.
Sebagai wahana pembawa pengeresapan-antibiotik lokal lain, seperti misalnya semen tulang, gentamisin dianggap merupakan antibiotik dengan sifat-sifat farmakokinetik yang paling baik (2). Namun, dalam kasus AIBGs, antibiotik lainnya telah terbukti unggul. Dalam satu kajian in vitro, Winkler dkk dapat mengunjukkan bahwa vancomycin secara bermakna lebih baik terelusi dari tulang kanselus dalam perbandingannya dengan tobramycin (34). Witsø dkk. menyelidiki kinetik pelepasan dari 8 antibiotik dari tulang kanselus dan melaporkan satu elusi hingga 21 hari dengan rifampicin yang terpanjang dan betalactamase yang terpendek (37). Kanellakopoulou dkk membandingkan elusi fusidic acid dan teicoplanin dari tulang kanselus in vitro (20). Sementara sulihan alogenik yang terresapi dengan fusidic acid dapat melepas konsentrasi tinggi untuk 20 hari pertama, sulihan alogenik yang terbebankan teicoplanin memerlihatkan konsentrasi rendah setelah 4 hari pertama.
Konsentrasi antibiotik terelusikan dari sulihan tulang terresapi-antibiotik adalah jauh melebihi dari pada wahana pembawa berbebankan-antibiotik lokal lainnya (11, 21, 34, 36). Kanellakopoulou dkk menentukan konsentrasi moxifloxacin tertinggi melebihi 4,500 μg/mL pada hari pertama di bawah kondisi eksperimental (21). Winkler dkk membandingkan in vitro kinetik elusi tulang kortikal dan kanselus diresapi dengan vancomycin dan tobramycin (34). Konsentrasi vancomycin awal tertinggi rata-ratanya adalah 20,900 μg/mL dan 5, 700 μg/mL secara berturut-turut (perbedaannya adalah bermakna). Pelepasan tobramycin secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan vancomycin. Buttaro dkk melaporkan konsentrasi vancomycin tertinggi sebesar 1,400 μg/mL dari sulihan tulang yang digunakan dalam pengobatan arthroplasti panggul terinfeksi (11). Untuk indikasi bedah yang sama, Winkler dkk dapat mengukur rerata level vancomycin dalam cairan drainase sebesar 535 μg/mL pada hari pertama pascaoperasi, menurun hingga 400 μg/mL pada hari ketiga (36). Walaupun konsentrasi lokal tinggi memenuhi syarat bagi berhasilnya eradikasi infeksi, harus diingat bahwa semua konsentrasi ini mungkin berhubungan dengan satu efek beracun yang menyertainya terhadap sel. Konsentrasi tinggi vancomycin telah dilaporkan sebagai pada dasarnya menurunkan replikasi osteoblas dan bahkan menyebabkan kematian sel (42, 43).
Dalam hal kombinasi antibiotik, satu efek sinergistik telah dijelaskan di antara aminoglycoside dan glycopeptide ketika dielusikan dari semen tulang akrilik (2). Efek ini mungkin muncul bagi satu kelompok antibiotik tunggal atau keduanya bergantung pada rasio antibiotik (2). Sepanjang yang diketahui, terdapat hanya satu kajian tunggal yang mencoba menyelidiki efek ini pada lokasi AIBGs. Witsø dkk. melaporkan bahwa jumlah vancomycin yang dielusikan dari sulihan terbebani-vancomycin-netilmicin secara bermakna menurun dibandingkan dengan sulihan yang dibebankan hanya dengan vancomycin, di mana pelepasan netilmicin adalah sama pada kedua kelompok (39). Apakah efek ini mungkin bervariasi bergantung pada rasio antibiotik dari kedua agen ini ataukah juga demikian adanya untuk kelompok antibiotik lainnya masih tidak jelas.
Rhyu dkk. menyelidiki apakah satu proses demineralisasi dapat memiliki sebuah dampak positif pada sifat-sifat farmakokinetik tulang kanselus berbebankan-vancomycin dan apakah penambahan darah akan bekerja sebagi sebuah penghalang biologis untuk mengontrol angka laju pelepasan obat (32). Para peneliti telah dapat mengunjukkan satu perbedaan bermakna sehubungan dengan jumlah serapan antibiotik di antara tulang demineral dengan yang tidak demineral. Lebih jauh, penambahan darah secara bermakna memperlambat elusi antibiotik selama 7 hari pertama in vitro.

6. Temuan Histopatologik, Radiografik, dan Imunohistokimia dalam Kajian-kajian pada Khewan
Sepanjang sebuah operasi sulihan tulang, biasanya terjadi satu penundaan di antara usaha untuk mendapatkan sulihan dengan pengimplantasiannya. Penundaannya dapat berrentang dari beberapa menit hingga beberapa jam. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan praktis berkenaan dengan berbagai efek buruk pada osteogenesis pada akhirnya: untuk berapa lama sulihan dapat dibiarkan tanpa menjadi rusak, lingkungan optimal untuk sulihan, dan berbagai efek merusak dari antibiotik terhadap sulihan dan bantalan sulihan. Gray dan Elves mencoba untuk menjawab semua pertanyaan ini pada sebuah kajian pada tikus (19). Peneliti ini dapat mengunjukkan bahwa serapan antibiotik yang digunakan memiliki perbedaan yang bermakna bergantung pada media yang digunakan juga periode waktu penyimpanan. Lebih jauh, pemakaian setiap persiapan antibiotik mengawali ke pada menurunnya sangat bermakna dalam indeks relatif osteogenesis dibandingkan dengan kontrol tanpa pengobatan. Temuan yang sama dapat memerlihatkan dalam pemeriksaan histologis dari semua sulihan ini, yang mengindikasikan satu penurunan dalam laju osteogenesis; namun, efek ini adalah bergantung-dosis antibiotik. Sebaliknya, Peri tidak dapat menentukan setiap perbedaan statistik dari aktifitas osteogenik di antara sulihan tulang bersuplementasikan-antibiotik dan kontrol mereka pada satu model babi (29). Dalam kajian ini, tulang demineralisasi memiliki satu serapan antibiotik yang lebih tinggi dibandingkan dengan sulihan alogenik mineralisasi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok berbebankan-antibiotik. Lebih jauh, sulihan demineralisasi merangsang lebih banyak pertumbuhan tulang dibandingkan dengan sulihan mineralisasi pada kelompok berbebankan-antibiotik.
Pada sebuah model anjing, Lindsey dan rekan-rekannya tidak dapat mengamati adanya perbedaan statistik dalam hal histologis, mikroradiografik, ataupun biomekanik setelah pengimplantasian sulihan tulang berbebankan–tobramycin dibandingkan dengan kelompok kontrol (25). Level serum tobramycin pada 24 dan 48 jam ditemukan di bawah level teraputik normal. Hal yang sama dengan itu, Buttaro dkk menyelidiki dalam satu kajian pada khewan babi, temuan radiografik, histopatologik, dan imunohistokimia setelah penggabungan sulihan tulang terresapi-vancomycin (10). Dibandingkan dengan kelompok kontrol di mana sulihan tulang alogenik tanpa antibiotik digunakan, peneliti di sini tidak dapat menentukan ada perbedaan statistik di antara kedua kelompok berdasarkan penyembuhan tulang radiografi, laju penggabungan sulihan, atau parameter-parameter histopatologik atau imunohistokimia yang sama lainnya. Konsentrasi antibiotik dapat mencapai hingga 220 kali MIC (minimum inhibitory concentration) pada satu rasio 1g vancomycin/300 g sulihan alogenik tulang. Sebaliknya, tetracycline yang didepositkan secara lokal diperlihatkan oleh Gudmundson dengan jelas menghambat penggabungan sulihan tulang (44).

7. Pengalaman Klinis
Dalam praktek klinik, AIBGs mungkin digunakan untuk profilaksis juga untuk tujuan pengobatan infeksi tulang dan sendi (Tabel 1). Pemakaian profilaktik dari sulihan tulang berbebankan-antibiotik untuk pencegahan infeksi luka setelah pembedahan orthopedi jarang sekali dibicarakan dalam literatur. Sepanjang yang diketahui, hanya terdapat dua buah kajian saja yang mencoba menyelidiki efek profilaktik ini pada laju infeksi pascaoperatif. Borkhuu dan rekan melaporkan satu penurunan bermakna dalam laju infeksi setelah pembedahan tulang belakang pada anak-anak dengan skoliosis karena palsi serebral setelah pemakaian lokal AIBGs dibandingkan dengan kelompok di mana sulihan tulang polos diinsersikan (dari 15% hingga 4%) (9). Khoo dkk. menentukan laju infeksi pada 31 kasus setelah insersi dari 34 sulihan alogenik segmental teriontoforesis pada lokasi dari berbagai macam pembedahan orthopedi penyelamatan anggota gerak (24). Tidak terdapat infeksi dini, walaupun dua infeksi lanjut terjadi yang diduga akibat proses hematogen pada masa ikutan rata-rata 51 (24-82) bulan. 28 dari 34 sulihan alogenik dipertahankan.

Table 1
Pengalaman klinis dalam hal pemakaian sulihan tulang berbebankan-antibiotik pada bedah orthopedi dan trauma.



Prihal pemakaian teraputik AIBGs, beberapa hasil sangat menggembirakan akhir-akhir ini telah dipublikasikan sekitaran penggunaan sulihan tulang berbebankan-vncomycin dalam pengobatan infeksi lanjut setelah penggantian sendi panggul total. Dalam laporan terakhir mereka, Winkle dkk. menemukan satu laju eradikasi infeksi sebesar 92% pada 37 pasien pada rerata ikutan selama 4 tahun setelah revisi tidak pakai semen satu-tahapan (36). Setelah revisi dua-tahapan pada 29 kasus, Buttaro dkk. dapat mengamati adanya laju infeksi berulang sebesar 3.3% pada rerata ikutan selama 32 bulan (11). Dengan berhasilnya pengobatan, ini mengawali mereka membuat usulan bahwa tulang terresapi-vancomycin dapat juga digunakan sebagai profilaksis antibiotik pada pasien-pasien yang menjalani revisi ganti sendi panggul total  untuk aseptic loosening. Hasil menggembirakan yang sama juga dilaporkan oleh English dan rekan setelah pemakaian sulihan tulang berbebankan-vancomycin, -gentamicin, atau –flucoxacillin (18).
Dalam karya lainnya oleh Buttaro dkk. (12), mereka memiliki kesempatan untuk mengevaluasi secara histologik tingkah laku semua sulihan alogenik ini dalam satu rekonstruksi femur dan asetabuler. Kedua pasien menderita fraktur periprostetik yang mesti direvisi. Mikroskopi pembesaran rendah memerlihatkan tiga area pada kedua spesimen biopsi. Tulang laminer dan periosteum yang normal secara histologis teramati pada area eksternal. Tulang trabekuler viabel dengan polymethylmetacrylate teramati pada area tengah spesimen, juga kadang makrofag, yang barangkali dalam responnya terhadap partikel semen. Pulau-pulau tulang nekrotik kecil teramati dalam wilayah ini. Teramati sejumlah bervariasi jaringan fibrotik mengelilingi tulang ini, juga limfosit dan sel plasma. Area interna memerlihatkan fragmen tulang nekrotik dan vabel, yang diinterpretasikan sebagai tergabungnya sulihan tulang. Fragmen tulang trabekuler nekrotik kecil-kecil secara bertahap digantikan oleh tulang baru viabel, dijelaskan sebagai creeping substitution, menyarankan bahwa tulang nekrotik adalah sulihan alogenik. Inflamasi akut atau wear debris tidak ada bukti. Berdasarkan atas semua temuan ini, peneliti menyimpulkan bahwa level-level tinggi vancomycin tidak memengaruhi penggabungan sulihan tulang dalam sebuah setingan klinik.
Di samping penggunaannya yang menjanjikan dari yang tersebut dalam pengobatan pembedahan orthopedi infeksi, hasil yang memuaskan yang sama telah dipublikasikan dari pembedahan trauma. Chan dan rekan mengevaluasi dalam laporan terakhir mereka 96 pasien yang diobati untuk non-union tibia terinfeksi (15). Semua pasien ditangani dengan terapi manik-manik antibiotik lokal dan pengeresapan-antibiotik berjenjang (n = 46) atau dengan sulihan tulang kanselus otogen murni (n = 50). Pada kelompok pertama, laju eradikasi infeksi adalah sebesar 95% pada rata-rata pengikutan selama 4.8 tahun, di mana pada kelompok kedua lajunya adalah 82% pada rata-rata pengikutan selama 4.5 tahun (berbeda bermakna). Laju penyatuan tulangnya adalah 100% pada kelompok pertama dan 98% pada kelompok kedua, berturut-turut. Dalam satu laporan yang sama, Chen dkk. (16) dapat mengamati satu laju eradikasi infeksi sebesar 100% pada 18 pasien yang menderita defek tibia terinfeksi kecil pada sebuah rata-rata pengikutan selama 48 bulan setelah penyulihan tulang terresapi-vancomycin (16). Penyatuan tulang tercapai dalam 72% kasus pada rata-rata 5.8 bulan. Peneliti mengaitkan laju penyatuan tulang yang bermutu lebih rendah ini dibandingkan dengan hasil-hasil dari Chan dkk. (15) dengan dosis vancomycin yang digunakan lebih rendah.
Terdapat sebuah kajian tunggal yang melaporkan pemakaian klinik sulihan xenogenik dalam pengobatan osteomyelitis kronik. Seber dkk. menyajikan tujuh kasus yang dapat dengan berhasil diobati dengan memakai sulihan xenogenik berbebankan-gentamicin pada satu rata-rata pengikutan selama 3.5 tahun (33) Peneliti ini menyebutkan bahwa walaupun kemampuan osteogenik sulihan xenogenik bermutu lebih rendah dibanding dengan tulang otolog, dalam beberapa kasus adalah tidaklah mungkin mengisi lobang bsar dengan sulihan otolog, dan angka kesakitan dari lokasi donor mungkin mengikuti.
Dalam beberapa kasus dengan kehilangan tulang masif akibat dari infeksi kronik, ahli bedah seringkali memiliki kemungkinan langkah rekonstruktif terbatas. Pemakaian sulihan alogenik struktural mungkin menjadi sebuah penyelesaian yang memungkinkan karena sulihan alogenik ini dapat tetap menjaga jaringan lunak dan prostese revisi konvensional dapat tetap digunakan. Di sisi lainnya, perhatian mungkin meningkat karena sulihan alogenik pasti avaskuler selama periode pascaoperatif dini dan membawa risiko tinggi kolonisasi bakterial, dan, karenanya, memunculkan infeksi klinik. Namun, Michalak dan rekan dapat mengunjukkan bahwa pemakaian sulihan alogenik segmental teriontoforesis mungkin menjadi satu pilihan efektif dalam menangani infeksi pada arthroplasti revisi (27). Dua belas pasien menjalani revisi dua-tahap untuk infeksi dengan  major uncontained bony defect diobati dengan pengimplantasian sulihan alogenik struktural yang dibebankan dengan gentamicin dan flucloxacillin lewat iontoforesis. Pada rerata pengikutan 47 bulan tidak satupun pasien menjadi terinfeksi ulang dan seluruh sulihan alogenik tetap in situ, yang memberikan satu laju penahanan sulihan alogenik sebesar 100%. Hanya dalam satu kasus, tindakan penyulihan tulang lanjutan dilakukan akibat dari non-union 26 bulan setelah pembedahan pertama.

8. Perlekatan Bakterial
Walaupun tulang otolog merupakan standar emas untuk restorasi tulang, morbiditas lokasi donor dan terbatasnya volum tulang telah mengawali ke pada meningkatnya penggunaan tulang sulihan alogenik. Sebagai ilustrasi, sedikitnya 800,000 transplantasi sulihan alogenik tulang dilakukan setahunnya di Amerika Serikat (23). Kendatipun profilaksis antibiotik telah meluas sedemikian rupa, insiden kolonisasi sulihan yang dilaporkan masih tetap pada rentangan 4% hingga 12% (23). Seperti implan metalik, sulihan alogenik bekerja sebagai badan-badan asing yang sangat berpori, nonseluler, dan avaskuler yang mudah sekali mengalami pengadhesian bakteri. Sekali bakteri melekat, mereka menyekresi matriks glikokaliks tebal menyebabkan mereka tidak sampai terawasi oleh sistim imun dan mekanisme pertahanan seluler lokal (23). Sebagai tambahan atas soal ini, kolonisasi bakterial dapat juga terjadi pada AIBGs ketika antibiotik dielusikan dalam jumlahnya yang tak mencukupi (di bawah MIC) dan bakteria bertahan hidup kendatipun konsentrasi antibiotik-tinggi pada awalnya sudah tersedia. Lebih lanjut, tipe juga lokasi donor mungkin juga mengawali timbulnya laju kontaminasi berbeda.
Ketonis dan rekan mencoba untuk menilai sifat-sifat antimikroba in vitro dari sulihan alogenik tulang melawan satu strain S. aureus (23). Tiga kelompok diujikan dalam kajian ini: tulang dengan antibiotik, tulang di mana vancomycin ditambahkan sebagai cairan 12 jam setelah kontaminasi bakterial awal, dan tulang dibebankan dengan vancomycin dari sejak semula. Sulihan alogenik berpengeresapan-vancomycin mengunjukkan secara bermakna sifat-sifat antibakterial yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang lainnya. Peneliti dapat mengamati bahwa S. aureus berkemampuan melekatkan diri dan menginisiasi pembentukan biofilem dalam 6 jam. Kelihatannya bahwa kolonisasi bakterial dipotensiasikan oleh keadaan alami tulang yang berpori yang menyediakan bakteri dengan niche terlindungi secara topografi di mana mereka dapat menempel, berproliferasi, dan membentuk sebuah biofilem dewasa.

9. Toksisitas Sistemik
Idealnya, pembawa antibiotik lokal haruslah melepas konsentrasi antibiotik-tinggi yang dengan jauh melebihi apa yang dicapai setelah pemberian secara sistemik dengan toksisitas sistemik yang rendah atau tidak ada. Adalah telah dikenal bahwa walaupun perlatan berbebankan-antibiotik lainnya seperti semen tulang akrilik dianggap aman, satu risiko tersisa masih tetap ada (45).
Sehubungan dengan toksisitas sistemik AIBGs, data literaturnya langka. Pada 1986, McLaren dan Maniaci menyajikan satu kajian in vivo yang menggali keefektifan pengiriman antibiotik dengan memakai sulihan tulang kanselus morselized sebagai sebuah wahana untuk tobramycin bentuk bedak (5). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan lokal dengan manik-manik antibiotik dapat dicapai hingga 3 minggu tanpa konsentrasi serum toksik. Pada 1988, McLaren kembali menemukan konsentrasi rendah antibiotik dalam serum dan urin, kendati level-level jaringan lokalnya tinggi (6). Temuan ini  memicunya untuk merekomendasikan sulihan tulang kanselus berpengeresapan-tobramycin sebagai sebuah metode efektif untuk merekonstruksi secara akut kehilangan tulang pada fraktur-fraktur terbuka.
Witsø dkk. mengkaji konsentrasi sistemik setelah insersi lokal sulihan tulang berbebankan-netilmicin, -vancomycin pada satu model kelinci (39). Pada khewan yang dioperasi dengan pengimplantasian tulang berbebankan-netilmicin, rerata konsentrasi puncak adalah 4.2 (3.7-4.7) μg/mL 2 – 3 jam pascaoperatif, pada mana yang dengan vancomycin tidak dapat dideteksi sama sekali dalam serum. Winkler dkk. dapat mengukur satu rerata level serum pascaoperatif dari vancomycin sebesar 0.2 (0.0-1.8) μg/mL pada hari pascaoperatif pertama (36). Pada 37 kasus fungsi ginjal tidak memerlihatkan perubahan luar biasa apapun pascaoperatif. Seber dkk. menentukan level urin gentamicin setelah penginsersian sulihan xenogenik berbebankan-gentamicin dalam mengobati osteomyelitis (33). Level rerata pada 24 jam adalah 4 μg/mL, menurun di bawah level efektif sebesar 0.5 μg/mL setelah 8 hari. Tidak satupun kasus akibat nefrotiksisitas atau ototoksisitas dapat diamati.